PERBEDAAN POSTPURCHASE DISSONANCE PADA PEMBELIAN
SECARA ONLINE DAN OFFLINE
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Skripsi
Oleh:
ELKA PUTRI DESI AMANDA TARIGAN
081301041
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perbedaan Postpurchase Dissonance Pada Pembelian Online dan Offline
Elka Putri Desi Amanda Tarigan dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRAK
Berkembangnya gaya hidup dinamis pada konsumen, membuat strategi pemasaran yang digunakan juga semakin beragam. Salah satunya adalah pembelian secara online. Namun, pembelian secara online memiliki beberapa kekurangan terkait dengan keamanan dan kontak langsung dengan produk. Beberapa risiko membuat individu cenderung lebih memilih untuk melakukan pembelian secara offline. Ketika individu menemukan faktor negatif dari alternatif pilihannya maka hal ini dapat menyebabkan keraguan setelah membeli produk tersebut. Hal ini dikenal dengan istilah postpurchase dissonance. Postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit suatu produk.
Penelitian ini adalah penelitan kuantitatif komparatif dan bertujuan mengetahui perbedaan postpurchase dissonance antara konsumen yang melakukan pembelian secara
online dan offline. Jumlah sampel penelitian ini adalah 200 orang konsumen yang terdiri dari 100 subjek yang membeli online dan 100 subjek yang membeli offline. Teknik pengambilan sampel menggunakan convenient sampling. Data dikumpulkan melalui skala postpurchase dissonance dan dianalisis secara statistik dengan uji t.
Hasil analisa data menunjukkan adanya perbedaan postpurchase dissonance pada pembelian online dan offline. Konsumen yang melakukan pembelian secara online memiliki tingkat postpurchase dissonance yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen yang melakukan pembelian offline.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak produsen agar dapat mengetahui bahwa konsumen dapat mengalami suatu keraguan terhadap produk yang telah mereka beli yang pada ujungnya berakibat pada menurunnya tingkat pembelian produk mereka.
The Difference of Postpurchase Dissonance Between
Online And Offline Purchasing
Elka Putri Desi Amanda Tarigan and Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRACT
The development of dynamic lifestyle on the consumer, the using of marketing strategy has also increasingly become diversed. One of them is online purchasing. However, online purchasing have some weakness associated to security and direct contact with the products. Some risk make individuals tend to choose offline purchasing. When individuals find the negative factor out of their alternatives of choices, it will cause doubt after purchasing the product. It is known as postpurchase dissonance. Postpurchase dissonance is a doubtful experienced by consumer after making a difficult purchasing decision towards a product.
The study was a comparative quantitative and aims to find out the difference of postpurchase dissonance between online and offline purchasing. The number of samples were 200 consumers consisted of 100 online purchaser and 100 offline purchaser. The sampling technique was used convenient sampling. Data was collected using the the scale of postpurchase dissonance and statistically analysis using t-test.
The results showed that a difference of postpurchase dissonance between online and offline purchasing. The level of postpurchase dissonance on online purchasing was higher than the offline purchasing consumers.
This study is expected to be an input for producers to know that consumers can experience a doubt to products they had bought and eventually gives impact on decreasing of the level of purchases towards their products.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan
kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan, dengan judul : postpurchase dissonance pada
pembelian secara online dan offline.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah
sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Prof. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
2. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A., psikolog selaku pembimbing skripsi yang telah
banyak membantu dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai.
3. Ibu Meidriani Ayu Siregar, S.Psi, M.Kes. selaku dosen pembimbing akademik.
4. Bapak Zulkarnain, Ph.D., psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing saya.
5. Kak Cherly Kemala Ulfa, M.Psi., psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing saya.
6. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai Fakultas Psikologi USU.
7. Mama dan papa tercinta yang telah mendo’akan, mendukung dan mencurahkan segala
kasih sayang yang tidak pernah berhenti.
8. Sepupuku Loi, Bi Etha dan seluruh keluarga besar yang selalu ada untuk membantu
dan mendengarkan semua cerita saya.
9. Sahabat-sahabat terbaikku Tasya, Puti, Vivi, Stela, Egi dan Dinda yang selalu
10.Ludi dan Dicky sebagai orang yang selalu mendorongku untuk tetap fokus
mengerjakan skripsi, selalu menghibur dan membantu.
11.Teman-teman angkatan 2008 yang selalu bisa memberikan keceriaan semasa kuliah.
12.Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama
proses penyelesaian skripsi ini, yang namanya mungkin tidak sengaja terlupakan oleh
peneliti, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki
kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat terbuka terhadap masukan, kritikan, serta saran
yang membangun yang dapat digunakan untuk perbaikan proposal skripsi ini di kemudian
hari. Akhir kata penulis mengharapkan agar proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap
orang yang membacanya.
Medan, April 2012
DAFTAR ISI
1. Postpurchase Evaluation ... 11
2. Cognitive Dissonance ... 12
3. Teori Postpurchase Dissonance ... 14
3.1. Pengertian Postpurchase Dissonance ... 14
3.2. Aspek-aspek Postpurchase Dissonance ... 16
3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance ... 18
B. Pembelian Online Dan Offline ... 23
1. Pembelian Online ... 23
1.1. Pengertian Pembelian Online ... 23
1.2. Manfaat Pembelian Online ... 24
2. Pembelian Offline ... 26
2.1. Pengertian Pembelian Offline ... 26
2.2. Hambatan dalam Pembelian Offline ... 26
C. Perbedaan Postpurchase Dissonance Pada Orang Yang Melakukan Pembelian Secara Online Dan Offline ... 27
D. Hipotesa Penelitian ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 32
1. Postpurchase Dissonance ... 32
2. Tipe Pembelian ... 32
2.1. Pembelian Online ... 32
2.2. Pembelian Offline ... 33
3. Rentang Waktu Pembelian Produk ... 33
C. Populasi, Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel ... 33
1. Populasi dan Sampel ... 33
2. Teknik Pengambilan Sampel ... 34
D. Alat Pengumpulan Data ... 35
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 38
1. Uji Validitas... 38
2. Uji Reliabilitas Alat Ukur... 30
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 41
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 41
2. Pelaksanaan Penelitian ... 41
3. Pengolahan Data Penelitian ... 42
G. Metode Analisa Data ... 42
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 44
A. Deskripsi Data Penelitian ... 44
B. Hasil Penelitian Utama ... 50
1.1 Asumsi Normalitas ... 50
1.2 Uji Homogenitas ... 51
2. Uji Hipotesa Penelitian ... 52
3. Kategorisasi Skor Postpurchase Dissonance ... 53
C. Pembahasan ... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran ... 60
1. Saran Metodologis ... 60
2. Saran Praktis ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 64
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Distribusi Aitem-aitem Skala Postpurchase Dissonance 37
Tabel 2 Penyebaran Subjek yang Membeli Offline Berdasarkan Jenis Kelamin
44
Tabel 3 Penyebaran Subjek yang Membeli Online Berdasarkan Jenis Kelamin
45
Tabel 4 Penyebaran Subjek yang Membeli Offline Berdasarkan Usia
45
Tabel 5 Penyebaran Subjek yang Membeli Online Berdasarkan Usia
46
Tabel 6 Deskripsi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Konsumen
Offline
46
Tabel 7 Deskripsi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Konsumen
Online
47
Tabel 8 Deskripsi Berdasarkan Pekerjaan Pada Konsumen Offline 47 Tabel 9 Deskripsi Berdasarkan Pekerjaan Pada Konsumen Online 48
Tabel 10 Deskripsi Data Berdasarkan Rentang Waktu Dissonance
PadaKonsumen Offline 48
49
Tabel 11 Deskripsi Data Berdasarkan Rentang Waktu Dissonance
Pada Konsumen Online 48
49
Tabel 12 Deskripsi Berdasarkan Alokasi Dana Pada Konsumen
Offline 49
50
Tabel 13 Deskripsi Berdasarkan Alokasi Dana Pada Konsumen
Online 49
50
Tabel 14 Data Uji Normalitas Sebaran Variabel Penelitian 51 Tabel 15 Uji Homogenitas dengan Levene’s Test 51 Tabel 16 Deskripsi skor Postpurchase Dissonance 52
Tabel 17 Independent Samples Test 53
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Postpurchase Dissonance 70
Lampiran 2. Uji Normalitas 74
Lampiran 3. Uji Hipotesa Penelitian 75
Perbedaan Postpurchase Dissonance Pada Pembelian Online dan Offline
Elka Putri Desi Amanda Tarigan dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRAK
Berkembangnya gaya hidup dinamis pada konsumen, membuat strategi pemasaran yang digunakan juga semakin beragam. Salah satunya adalah pembelian secara online. Namun, pembelian secara online memiliki beberapa kekurangan terkait dengan keamanan dan kontak langsung dengan produk. Beberapa risiko membuat individu cenderung lebih memilih untuk melakukan pembelian secara offline. Ketika individu menemukan faktor negatif dari alternatif pilihannya maka hal ini dapat menyebabkan keraguan setelah membeli produk tersebut. Hal ini dikenal dengan istilah postpurchase dissonance. Postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit suatu produk.
Penelitian ini adalah penelitan kuantitatif komparatif dan bertujuan mengetahui perbedaan postpurchase dissonance antara konsumen yang melakukan pembelian secara
online dan offline. Jumlah sampel penelitian ini adalah 200 orang konsumen yang terdiri dari 100 subjek yang membeli online dan 100 subjek yang membeli offline. Teknik pengambilan sampel menggunakan convenient sampling. Data dikumpulkan melalui skala postpurchase dissonance dan dianalisis secara statistik dengan uji t.
Hasil analisa data menunjukkan adanya perbedaan postpurchase dissonance pada pembelian online dan offline. Konsumen yang melakukan pembelian secara online memiliki tingkat postpurchase dissonance yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen yang melakukan pembelian offline.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak produsen agar dapat mengetahui bahwa konsumen dapat mengalami suatu keraguan terhadap produk yang telah mereka beli yang pada ujungnya berakibat pada menurunnya tingkat pembelian produk mereka.
The Difference of Postpurchase Dissonance Between
Online And Offline Purchasing
Elka Putri Desi Amanda Tarigan and Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRACT
The development of dynamic lifestyle on the consumer, the using of marketing strategy has also increasingly become diversed. One of them is online purchasing. However, online purchasing have some weakness associated to security and direct contact with the products. Some risk make individuals tend to choose offline purchasing. When individuals find the negative factor out of their alternatives of choices, it will cause doubt after purchasing the product. It is known as postpurchase dissonance. Postpurchase dissonance is a doubtful experienced by consumer after making a difficult purchasing decision towards a product.
The study was a comparative quantitative and aims to find out the difference of postpurchase dissonance between online and offline purchasing. The number of samples were 200 consumers consisted of 100 online purchaser and 100 offline purchaser. The sampling technique was used convenient sampling. Data was collected using the the scale of postpurchase dissonance and statistically analysis using t-test.
The results showed that a difference of postpurchase dissonance between online and offline purchasing. The level of postpurchase dissonance on online purchasing was higher than the offline purchasing consumers.
This study is expected to be an input for producers to know that consumers can experience a doubt to products they had bought and eventually gives impact on decreasing of the level of purchases towards their products.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, kemampuan
individu untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Hal ini dikarenakan kebutuhan
manusia tidak dapat terpuaskan secara permanen. Dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, manusia perlu melakukan pencarian, pembelian, penggunaan, dan
evaluasi terhadap suatu produk atau jasa. Disaat itu pula, konsumen mengambil banyak
macam keputusan terkait dengan pembelian yang dilakukan setiap hari (Schiffman dan
Kanuk, 2007).
Setelah pembelian suatu poduk atau jasa, seringkali konsumen merasakan
ketidaksesuaian terhadap produk atau jasa yang dibelinya. Ketidaksesuaian yang timbul bisa
disebabkan oleh beberapa hal, seperti pola pikir yang tidak konsisten (karena opini dan
pendapat tertentu) dan juga karena pengalaman sebelumnya. Ketidaksesuaian ini
menyebabkan perasaan bersalah atau cemas sehingga umumnya konsumen berusaha untuk
mengurangi perasaan tidak nyaman ini dengan mengambil beberapa tindakan, seperti
mengubah sikap atau memodifikasi perilaku (Solomon, 2007). Festiger (dalam Cornwell,
2007) menyatakan perasaan tersebut sebagai cognitive dissonance yaitu sebuah perasaaan
tidak nyaman yang disebabkan oleh tindakan yang tidak konsisten dengan sikap seseorang.
Fenomena ini dalam perilaku membeli disebut juga sebagai postpurchase dissonance.
Postpurchase dissonance merupakan suatu tahap dari postpurchase consumer behavior yang
terjadi setelah adanya proses pembelian yang membuat konsumen memiliki perasaan yang
tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang cenderung diatasi dengan
Postpurchase dissonance juga disebabkan karena setiap alternatif yang dihadapi oleh
konsumen mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masalah yang dihadapi oleh konsumen
setelah keputusan pembelian dibuat adalah alternatif produk yang dipilih menunjukkan
kekurangan, sedangkan alternatif produk yang ditolak justru menunjukkan faktor-faktor yang
menarik. Hal ini mengindikasikan aspek-aspek negatif dari produk yang terpilih dengan
aspek positif dari produk yang ditolak menimbulkan disonansi kognitif bagi pembeli (Loudon
& Bitta, 1993).
Faktor penyebab postpurchase dissonance dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
faktor internal dan faktor eksternal individu. Faktor internal adalah kondisi kepribadian
individu yang menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen
pada produk yang telah dipilihnya, tingkat pengetahuan dan keberanian mengambil resiko.
Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi diluar individu, dalam hal ini misalnya adanya
sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi (Hawkins,
Mothersbaugh & Best 2007). Dari kedua faktor di atas, maka faktor eksternal akan menjadi
hal yang menarik untuk dikaji. Misalnya, bagaimana kinerja produk dan ketersediaan
informasi mengenai suatu produk mempengaruhi seorang konsumen setelah dilakukannya
pembelian.
Postpurchase dissonance, seperti berita yang dimuat dalam situs KapanLagi.com
menyatakan bahwa rasa bersalah konsumen berhubungan dengan pembelian yang impulsif
(lapar mata), pembelian yang selalu mengutamakan merek tanpa peduli berapa pun harganya,
hasrat ingin berbelanja serta membeli barang yang ternyata tidak penting. Kemudian, terlalu
memanjakan diri dalam berbelanja juga biasanya membuat konsumen menyesal dan merasa
bersalah. Ketika konsumen mengalami postpurchase dissonance, maka konsumen akan
cenderung lebih peka dan hati-hati terhadap segala macam bentuk komunikasi yang
untuk menarik konsumen adalah potongan harga atau dikenal dengan sebutan diskon.
Pemberian diskon bertujuan untuk menarik minat kosumen agar tergiur dengan harga murah
dan membeli produk tersebut. Potongan harga seringkali menjadi godaan bagi para konsumen
meskipun produk tersebut tidak dibutuhkannya. Hal tersebut adalah salah satu alasan
mengapa postpurchase dissonance terjadi pada diri konsumen (Hawkins, Mothersbaugh &
Best, 2007).
Kebanyakan pembelian biasanya diikuti dengan penggunaan produk meskipun
postpurchase dissonance terjadi. Selama atau setelah menggunakan suatu produk, proses
pembelian dan produk akan dievaluasi oleh konsumen. Ketika konsumen merasa tidak puas
terhadap produk tersebut, maka keluhan dari konsumen juga akan meningkat. Hal ini sesuai
hasil penelitian yang dilakukan oleh Keng dan Liao (2009) yang menyebutkan bahwa
postpurchase dissonance secara signifikan memiliki hubungan negatif dengan kepuasan
konsumen dan pembelian kembali. Ketika konsumen mengalami ketidaknyamanan secara
psikologis karena ketidakkonsistenan antara sikap dan perilaku setelah membeli maka hal
tersebut akan berpengaruh negatif terhadap penilaian dan perasaan mereka akan suatu
produk/jasa.
Keng dan Liao (2009) juga menambahkan bahwa postpurchase dissonance
mengakibatkan menurunnya keinginan konsumen untuk tetap menggunakan atau memilih
produk/jasa tersebut. Postpurchase dissonance juga meningkatkan tingkat komplain
seseorang akan produk/jasa itu. Kepuasan konsumen memiliki pengaruh positif terhadap
intensitas membeli kembali produk/jasa dan pengaruh negatif dengan tingkat komplain
konsumen. Untuk itu, ketika konsumen merasa senang terhadap pembelian yang dilakukan
maka mereka cenderung akan tetap menggunakan produk/jasa atau akan membeli kembali
produk/jasa atau akan membeli kembali produk/jasa tersebut kedepannya. Namun, ketika
mereka cenderung akan mencari informasi relevan melalui media eksternal seperti internet,
televisi, radio, pendapat keluarga, dan lain-lain untuk memastikan bahwa dirinya telah
membuat keputusan yang memuaskan (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007).
Fenomena disonansi kognitif lain yang tidak bisa diabaikan adalah pembelian online.
Hal ini dikarenakan adanya ketidakpastian saat membeli produk atau jasa (Koller, Salzberger,
& Streif, 2008). Seiring dengan kemajuan teknologi dalam bidang internet dan komputer,
akses jaringan internet dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Berdasarkan hasil riset
yang dilakukan MarkPlus Insight yang dikutip Kompas.com, populasi pengguna internet di
Indonesia yang saat ini mencapai 55.000.000, perlu dipertimbangkan sebagai konsumen
potensial oleh para peritel.
Internet telah mengalami pertumbuhan yang signifikan sejak tahun 1995 sebagian
besar karena World Web Wide yang mudah digunakan dan lebih aplikatif dari versi
sebelumnya (Hanson, 2000). Saat ini penggunaan internet telah menjadi kebutuhan semua
orang, khususnya bagi pelaku bisnis sebagai alat promosi. Internet memainkan peran penting
sebagai sumber informasi sebelum melakukan pembelian dan juga sarana bagi para
konsumen untuk membeli suatu produk yang disebut juga online ritel (Hawkins,
Mothersbaugh dan Best, 2007). Pembelian yang dilakukan secara online merupakan bentuk
komunikasi baru yang tidak memerlukan komunikasi tatap muka secara langsung melainkan
dapat dilakukan secara terpisah dari dan ke seluruh dunia melalui notebook, komputer,
ataupun telepon selular yang terhubung dengan layanan akses internet (Hawkins,
Mothersbaugh dan Best, 2007).
Berdasarkan UCLA Center for Communication Policy (dalam Cole, 2003), pembelian
secara online merupakan salah satu aktivitas internet yang paling populer saat ini. Hal ini
terlihat melalui pesatnya perkembangan online shop sekarang ini. Ritel online yang ada
Messenger hingga ada yang sengaja membuat website khusus untuk memasarkan produk
yang dijualnya.
Online ritel memiliki kelebihan dari segi kenyamanan, harga, waktu, pengiriman
barang dan atribut lain daripada yang ditemui di katalog, pasar tradisional ataupun toko
lainnya. Constantinides (2004) mengatakan bahwa pembelian secara online dapat mengubah
persepsi, sikap dan perilaku klien terhadap ritel tradisional dikarenakan kemudahan yang
ditawarkan. Berdasarkan survey yang dilakukan Roper (dalam Hawkins, Mothersbaugh &
Best, 2007) didapatkan hasil bahwa konsumen lebih memilih untuk tidak berbelanja langsung
ke toko dikarenakan terbatasnya pengetahuan penjual tentang barang yang mereka tawarkan,
banyak waktu yang terbuang dan juga suasana toko yang padat. Selain itu, dengan
berkembangnya gaya hidup dinamis pada konsumen maka pembelian secara online menjadi
salah satu alternatif yang dipilih.
Terlepas dari kelebihan yang ditawarkan dengan pembelian online, terdapat beberapa
kekurangan yaitu dari sisi keamanan dalam melakukan pembayaran dengan kartu kredit, tidak
adanya kontak langsung dengan produk dan biaya pengiriman yang terlalu mahal. Untuk itu,
besar kemungkinan ketika konsumen telah melakukan pembelian secara online, muncul
perasaan khawatir dan ragu terhadap kondisi barang dan lamanya proses pengiriman barang
(Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007). Bagi sebagian besar konsumen, pembelian secara
offline dianggap menjadi pilihan yang lebih baik bagi mereka. Dengan cara tersebut,
konsumen merasa lebih aman, nyaman, akses dan pilihan produk yang lebih besar, interaktif
dan segera. Levin, Levin & Weller (2005) menambahkan bahwa ketika seseorang
membutuhkan produk/jasa yang sifatnya pribadi dan kebutuhan untuk melihat produk secara
langsung tinggi, maka individu akan lebih memilih untuk melakukan pembelian secara
Berdasarkan pemaparan di atas, konsumen yang melakukan pembelian secara online
memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami postpurchase dissonance
dibandingkan dengan konsumen yang melakukan pembelian secara offline. Hal ini
disebabkan dengan kurangnya kontak langsung dengan produk yang dibeli sehingga tidak
dapat dipastikan apakah barang yang dibeli sesuai dengan apa yang bayangkan. Namun,
melakukan pembelian offline tidak menjamin bahwa seorang konsumen bebas dari
postpurchase dissonance. Konsumen bisa saja menemukan alternatif lain yang menyebabkan
postpurchase dissonance. Untuk itu baik pembelian secara online ataupun offline bisa
menyebabkan individu mengalami postpurchase dissonance.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Perbedaan Postpurchase Dissonance pada Pembelian Secara Online dan
Offline.”
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat perbedaan postpurchase dissonance pada pembelian secara online
dan offline?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat perbedaan postpurchase dissonance antara
pembelian online dengan offline.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu Psikologi
terjadi dalam proses pembelian suatu barang oleh konsumen, dalam hal ini postpurchase
dissonance. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk memahami
perbedaan postpurchase dissonance yang dialami oleh konsumen yang melakukan pembelian
secara online ataupun offline
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Ahli pemasaran secara umum agar dapat menentukan strategi pemasaran yang tepat.
Ketika menjual produk yang sifatnya personal dan membutuhkan kontak dengan
produk, maka penjualan secara offline akan lebih efektif. Sedangkan produk yang
sifatnya tidak berisiko tinggi seperti tiket perjalanan, buku, pakaian, dan lain-lain
dapat dijual secara online.
b. Pemasar online dan web site designer memberikan perhatian khusus saat mendesain
dan membentuk retail online yang sesuai dengan minat pasar.
c. Para konsumen, dalam melakukan pertimbangan terlebih dahulu sebelum melakukan
pembelian.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian. Dalam bab ini digambarkan berbagai literatur serta beberapa
hasil penelitian sebelumnya mengenai postpurchase dissonance, dan dari beberapa
literatur dan penelitian sebelumnya tersebut dapat dilihat bagaimana seorang
mengakibatkan kecemasan ataupun keraguan atas keputusan membeli yang telah
konsumen tersebut lakukan, sehingga para produsen harus dapat memahami gejala
tersebut dan menetapkan strategi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.
Bab II Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek
penelitian. Memuat landasan teori mengenai postpurchase dissonance, faktor-faktor
yang mempengaruhi dan aspek-aspek postpurchase dissonance. Dalam bab ini juga
menjelaskan bagaimana kelebihan dan kekurangan metode pemasaran online dan
offline. Setelah itu, dijelaskan pula hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap
masalah penelitian yang menjelaskan perbedaan postpurchase dissonance pada orang
yang melakukan pembelian secara online dan offline.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode
pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji validitas dan reliabilitas alat ukur,
dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tipe pembelian yaitu pembelian online dan
pembelian offline, dan variabel tergantungnya adalah postpurchase dissonance. Alat
ukur yang digunakan adalah skala postpurchase dissonance.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan
pembahasan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. POSTPURCHASE DISSONANCE
1. Postpurchase Evaluation
Postpurchase (pasca pembelian) adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan
sejumlah konsep, antara lain harapan konsumen, kepuasan, keraguan dan mekanisme umpan
balik. Kepuasan merupakan emosi penting dari tahap ini dan merupakan penentu untuk
perilaku membeli di masa yang akan datang (Loudon & Bitta, 1993). Postpurchase juga
merupakan kondisi setelah pembelian (purchase) yang melibatkan kegiatan evaluasi terus
menerus dari individu dengan melibatkan sikap dan perasaannya (Solomon, 2007).
Ditambahkan pula oleh Hanna & Wozniak, (2001) bahwa postpurchase consideration adalah
evaluasi setelah pembelian yang melibatkan perasaan puas atau tidak puas pada konsumen
yang akan mempengaruhi untuk membeli ulang suatu produk.
Berdasarkan sejumlah definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa postpurchase evaluation adalah suatu aktivitas evaluasi terus menerus terhadap
produk yang dibeli dengan melibatkan sikap dan perasaan individu yang nantinya akan
menghasilkan perasaan puas atau tidak puas dan mengarah pada keputusan untuk mengulang
atau tidak produk yang sama.
2. Cognitive Dissonance
Menurut Solomon (2007), teori cognitive dissonance adalah salah satu dari
pendekatan terhadap tingkah laku yang paling penting berdasarkan pada prinsip konsistensi.
Teori ini mengemukakan bahwa orang termotivasi untuk mengurangi keadaan negatif dengan
dipercayai oleh seseorang bisa berupa dirinya sendiri, tingkah lakunya atau juga pengamatan
terhadap sekelilingnya. Pengurangan disonansi dapat timbul baik dengan menghilangkan,
menambah, atau mengganti elemen-elemen kognitif. Disonansi kognitif merupakan suatu
kondisi yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika kepercayaan mereka tidak
sejalan bersama dengan kenyataan yang ada. Kondisi ini mendorong mereka untuk merubah
pikiran, perasaan dan tindakan mereka agar sesuai dengan pembaharuan. Disonansi dirasakan
ketika seseorang berkomitmen pada dirinya sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang
tidak konsisten dengan perilaku dan kepercayaan mereka yang lainnya (East, 1997).
Menurut Festinger (dalam Loudon & Bitta, 1993) cognitive dissonance adalah
pernyataan psikologis yang muncul ketika seseorang menerima dua pemikiran, yang mana
keduanya ia yakini benar, namun tidak sesuai sehingga terlihat tidak konsisten. Disonansi
menghasilkan ketegangan sehingga individu mencari kesesuaian terhadap
ketidakkonsistenannya untuk mengurangi ketegangan secara psikologis.
Disonansi dapat muncul melalui tiga cara, yaitu:
1. Ketidaksesuaian logis (logical inconsistency) dapat memunculkan disonansi. Contoh:
Semua permen rasanya manis; permenku rasanya asam.
2. Disonansi muncul ketika seseorang mengalami ketidakkonsistenan antara sikap
dengan perilakunya atau antara kedua perilakunya.
Contoh: David sangat tidak menyetujui adanya perjudian, akan tetapi ia ikut berjudi di
pertandingan bola. Michael memuji produk sepatu Nike pada setiap kesempatan,
namun ia membeli sepatu Adidas.
3. Disonansi muncul ketika harapan kuat individu ditolak.
Contoh: Margaret berharap menemukan barang murah untuk menghemat dipinggir
Cognitive dissonance terjadi setelah keputusan sudah dibuat. Keputusan tersebut
membuat seseorang harus berkomitmen terhadap sikapnya agar terhindar dari disonansi.
Untuk itu, terdapat tiga cara yang dilakukan individu untuk mengurangi cognitive dissonance,
yaitu:
1. Rasionalisasi,
2. Mencari informasi tambahan yang mendukung atau konsisten terhadap perilakunya,
dan
3. Individu dapat mengubah atau menghilangkan elemen disonansi dengan cara
melupakan ataupun mengubah sikapnya.
3. Postpurchase Dissonance
3.1. Pengertian Postpurchase Dissonance
Postpurchase dissonance merupakan suatu tahap dari postpurchase consumer
behavior yang terjadi setelah adanya proses pembelian. Setelah proses pembelian, konsumen
memiliki perasaan yang tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang
cenderung untuk memecahkannya dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan
perilaku mereka (Schiffman dan Kanuk, 2007). Postpurchase dissonance juga didefinisikan
sebagai suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah
melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, dan
Best, 2007). Loudon & Bitta (1993) berpendapat bahwa postpurchase dissonance terjadi
sebagai hasil dari perbedaan antara keputusan konsumen dengan evaluasi sebelumnya.
Figur di bawah menunjukkan bahwa keraguan yang dialami oleh konsumen setelah
melakukan pembelian pada akhirnya akan mempengaruhi motivasi konsumen untuk membeli
ulang produk yang sama di kemudian hari, setelah konsumen tersebut melakukan evaluasi
Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen berada dalam suatu kondisi
yang mengharuskannya membuat komitmen yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan
alternatif dari pilihan alternatif lainnya yang tidak dipilih. Oleh karena itu kebanyakan limited
decision making tidak akan menghasilkan postpurchase dissonance karena konsumen tidak
mempertimbangkan tampilan-tampilan yang menarik yang ada dalam merek atau produk
yang tidak dipilih yang juga tidak ada dalam produk atau merek yang dipilih. Sedangkan,
keputusan yang melibatkan seseorang untuk memilih alternatif yang masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan tersendiri biasanya menimbulkan respon negatif ketika keputusan
akan diambil. Emosi negatif meningkatkan kemungkinan seorang konsumen untuk
menghindari atau menunda keputusannya (Hawkins, Mothersbaugh, dan Best, 2007).
Loudon dan Bitta (1993) juga menambahkan bahwa postpurchase dissonance akan
semakin tinggi ketika individu memiliki komitmen yang besar terhadap pembeliannya.
waktu, usaha dan ego. Selanjutnya, selama keputusan membeli dibuat, disonansi terjadi
ketika konsumen menyadari bahwa produk alternatif tersebut memiliki karakteristik positif
dan negatif. Untuk itu, setelah pembelian dilakukan, konsumen berusaha untuk mengurangi
perasaan bersalah atau disonansi yang muncul dengan beberapa cara, yaitu:
1. Meningkatkan ketertarikan terhadap produk yang ia beli;
2. Mengurangi rasa suka terhadap alternatif yang ditolak;
3. Mengurangi tingkat kepentingan terhadap keputusan membeli; serta
4. Mengembalikan produk ketika belum digunakan.
Berdasarkan sejumlah uraian mengenai postpurchase dissonance maka dapat
disimpulkan bahwa postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang
konsumen setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit dan relatif permanen
terhadap suatu produk.
3.2. Aspek-aspek Postpurchase Dissonance
Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) mengemukakan 3 dimensi yang digunakan
untuk mengukur postpurchase dissonance, yaitu:
1. Emotional
Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli.
Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah
orang tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting
bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase
dissonance.
2. Wisdom of Purchase
Kesadaran individu setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli
proses pembelian dilakukan individu, individu dihadapkan kepada
pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah ia lakukan. Apabila individu
merasa bahwa keputusan pembelian yang dilakukan adalah benar dan produk yang
telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami
postpurchase dissonance.
3. Concern over deal
Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah
dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) terhadap keyakinan mereka sendiri
terhadap produk yang dibeli. Individu yang melakukan keputusan membeli atas dasar
pertimbangan diri sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian
terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada informasi-informasi dari luar diri
individu tersebut yang dapat membuat individu mengalami postpurchase dissonance.
Ditambahkan pula oleh Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) bahwa untuk
melakukan pengukuran terhadap taraf postpurchase dissonance konsumen maka ada
sejumlah karakteristik sampel yang harus dipenuhi:
1. Konsumen menganggap keputusan untuk membeli produk tersebut adalah penting
bagi dirinya.
2. Ketika membeli produk tersebut konsumen membelinya atas dasar kemauan sendiri
tanpa adanya tekanan atau paksaan dari orang lain.
3. Produk tersebut tidak dapat dikembalikan lagi apabila telah dibeli.
Nadeem (2007) mengatakan bahwa di dalam pengukurannya postpurchase dissonance
haruslah dilakukan dalam rentang waktu yang berdekatan dengan proses pembelian. Hal ini
disebabkan bahwa ketika pengukuran dan pembelian dilakukan dalam jangka waktu yang
panjang (sekitar sebulan) maka dissonance dan anxiety yang dirasakan konsumen sudah jauh
3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance
Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu:
1. The degree of commitment or irrevocability of the decision
Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang
mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu
produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dan masing-masing alternatif
memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian
keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak
akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak
mungkin lagi diubah oleh konsumen tersebut.
2. The importance of decision to the consumer
Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya
mengalami disonansi. Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen
memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian.
Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah
kepada postpurchase dissonance yang akan dialami oleh konsumen tersebut.
3. The difficulty of choosing among alternatives
Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen
mengalami disonansi. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan
kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Atau
dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada
4. The individual’s tendency to experience anxiety
Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara satu
dengan yang lain dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh
salah trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan
dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan (nurture). Oleh karena
itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka
semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance.
Halloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) dalam penelitiannya mengenai disonansi
yang dialami konsumen menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan postpurchase
dissonance adalah : (1). Adanya sejumlah hal yang menarik dari sejumlah alternatif produk
yang tadinya ditolak oleh konsumen; (2). Munculnya faktor negatif dari produk alternatif
yang menjadi pilihan utama; (3). Banyaknya alternatif produk yang muncul; (4). Kekacauan
kognitif yang muncul pada saat melakukan pemilihan; (5). Keterlibatan kognitif pada produk;
(6). Bujukan dan pujian; (7). Ketidaksesuaian atau perilaku yang dipandang negatif pada saat
membeli; (8). Ketersediaan informasi; (9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi;
dan (10). Tingkat pengetahuan dan pengenalan produk.
Penelitian mengenai disonansi yang muncul pada konsumen menunjukkan bahwa
biasanya disonansi muncul pada kondisi sebagai berikut (Loudon & Bitta, 1993):
1. Jika batas ambang toleransi pada disonansi telah lewat, hal ini terjadi pada konsumen
yang sering memiliki pengalaman-pengalaman yang bersifat tidak konsisten dalam
kehidupannya.
2. Keputusan yang diambil tidak bisa diubah atau dibatalkan. Sering kali konsumen
berharap keputusan yang telah ia ambil dapat dibatalkan dan ia bisa kembali
mendapatkan uangnya. Hal ini terjadi pada pembelian dengan alokasi uang yang
3. Kurang memperhatikan alternatif merek lain pada kategori produk yang sama,
padahal semuanya memiliki hal-hal unik yang perlu untuk dipertimbangkan.
4. Alternatif pada merk lain untuk produk yang sama sangat banyak dan semuanya
diamati dan dipelajari oleh konsumen. Semakin banyak informasi yang dimiliki
konsumen maka semakin sulit untuk memutuskan produk mana yang akan dibeli.
5. Semua alternatif merek untuk produk yang sama memiliki kualitas yang persis sama
pula.
6. Komitmen pada keputusan yang diambil disebabkan oleh kondisi psikologis.
Misalnya pada pembelian perabotan untuk ruang tamu yang dianggap penting karena
merefleksikan nilai rasa dekoratif, filosofi yang dianut dan gaya hidup konsumen. Hal
ini akan semakin penting jika keterlibatan ego juga terjadi pada saat pemilihan.
7. Tidak ada tekanan pada konsumen untuk membuat keputusan.
Dari sejumlah faktor yang dikemukakan (Hawkins, Mothersbaugh & Best 2007;
Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993) maka pada dasarnya faktor penyebab keraguan
pasca pembelian (postpurchase dissonance) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor
internal dan faktor eksternal dari diri individu. Eksternal adalah kondisi diluar individu,
dalam hal ini misalnya adanya sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan
ketersediaan informasi. Sedangkan faktor internal adalah kondisi kepribadian individu yang
menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen pada produk
yang telah dipilihnya, keberanian mengambil resiko dan tingkat pengetahuan yang dimiliki.
Dari dua faktor di atas yang memungkinkan seseorang mengalami postpurchase
dissonance, maka faktor eksternal menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih jauh. Dengan
perkembangan teknologi yang semakin pesat, pembelian melalui internet (online shopping)
menawarkan lingkungan belanja yang menyenangkan. Dengan meningkatnya pertumbuhan
dibandingkan dengan offline shopping. Begitu banyak dan luasnya informasi yang ditawarkan
melalui online sehingga individu dapat memahami produk/jasa yang ia inginkan lebih baik.
Namun, dengan kurangnya layanan personal, tidak adanya kontak dengan produk, dan
masalah terkait proses pengiriman, konsumen kemudian menyadari kerugian semacam ini
yang akan dihadapinya ketika melakukan pembelian online. Hasil penelitian yang dilakukan
Levin, Levin & Weller (2005) menunjukkan bahwa keuntungan dan kerugian yang dihadapi
saat melakukan pembelian online ataupun offline memainkan peran berbeda berdasarkan jenis
produk, konsumen dan situasi. Berdasarkan penelitian tersebut, faktor internal juga tidak
dapat diabaikan dalam penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Oliver, Westbrook, Havlena
& Holbrook (dalam Mooradian & Olver, 1997) memperlihatkan bahwa respon emosi adalah
komponen pokok dari pengalaman-pengalaman konsumsi dan hal tersebut berlaku baik pada
produk apa saja.
B. PEMBELIAN ONLINE DAN OFFLINE
1. Pembelian Online
1.1. Pengertian Pembelian Online
Pembelian online atau yang akrab disebut online shopping adalah proses pembelian
yang dilakukan individu tanpa diperlukannya komunikasi tatap muka secara langsung dengan
penjual melainkan dapat dilakukan secara terpisah dari dan ke seluruh dunia melalui
notebook, komputer, ataupun telepon selular yang terhubung dengan layanan akses internet
(dalam Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Menurut Andam (2003) online shopping
mengacu pada aktivitas bisnis yang meliputi jual beli produk ataupun jasa secara online yang
masing-masing pihak berhubungan melalui media elektronik tanpa adanya kontak fisik secara
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa alasan yang membuat seseorang memilih
untuk melakukan pembelian secara online diantaranya adalah faktor kenyamanan, barang
yang unik dan hemat waktu. Forrester Research (dalam Hawkins, Mothersbaugh & Best,
2007) membagi produk dan jasa kedalam tiga kelompok berdasarkan karakteristik pembelian
melalui internet yaitu:
1. Replenishment goods: harga terjangkau, pembelian dengan frekuensi tinggi.
Contohnya adalah produk kesehatan seperti vitamin dan alat kecantikan.
2. Researched items: banyak informasi. Penjualan yang tidak membutuhkan banyak
kontak. Contohnya adalah tiket perjalanan, perangkat komputer dan alat elektronik
lainnya.
3. Convenience items: barang yang berisiko rendah. Produk yang dijual adalah hal-hal
yang sifatnya mudah dikirim. Contohnya adalah buku, kaset dan bunga.
1.2. Manfaat Pembelian Online
Pembelian online memberikan manfaat pada konsumen maupun pemasar (Kotler &
Armstrong, 2001), yaitu:
a. Manfaat untuk Konsumen
Pembelian online memberikan kenyamanan dikarenakan individu tidak perlu
bergelut dengan lalu lintas, mencari tempat parkir, dan berjalan dari toko ke toko dan
lorong ke lorong untuk mencari dan memeriksa produk. Mereka dapat
membandingkan merek, memeriksa harga, dan memesan barang dagangan 24 jam
sehari dari mana saja. Pembelian online itu mudah dan pribadi sehingga pelanggan
menemui lebih sedikit masalah sewaktu membeli dan tidak harus menghadapi
Pembelian online menawarkan kepada konsumen beberapa keunggulan
tambahan. Jasa online komersial dan Internet memberi konsumen akses ke informasi
pembanding yang sangat banyak, informasi tentang perusahaan, produk, dan pesaing.
Di samping itu, pembelian online itu interaktif dan segera sehingga konsumen dapat
langsung berinteraksi dengan situs penjual untuk mencari informasi, produk, atau jasa
yang benar-benar mereka inginkan, kemudian memesan atau men-download
informasi itu di tempat.
b. Manfaat untuk Pemasar
Pembelian online merupakan cara yang bagus untuk pembangunan hubungan
pelanggan. Hubungan ini membuat perusahaan dan pelanggannya lebih akrab.
Perusahaan dapat berinteraksi dengan pelanggan untuk belajar lebih banyak tentang
kebutuhan dan keinginan pelanggan yang khusus. Sebaliknya, pelanggan online dapat
mengajukan pertanyaan dan umpan balik yang cepat. Berdasarkan interaksi yang
sedang berjalan ini, perusahaan dapat meningkatkan nilai dan kepuasan pelanggan
melalui perbaikan produk dan jasa.
Pemasaran online dapat mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi. Pemasar
online menghindari pengeluaran untuk merawat toko dan sewa, biaya asuransi, dan listrik
serta air yang menyertainya. Biaya yang relatif lebih rendah untuk membangun operasi
pemasaran online ini membuat perusahaan kecil maupun besar mampu membangunnya.
Pemasaran online juga menawarkan keluwesan yang lebih baik, yang membuat
pemasar dapat membuat penyesuaian yang berkelanjutan pada tawaran dan programnya.
Kemudian, katalog yang disiapkan secara online dapat disesuaikan setiap hari atau bahkan
setiap jam, yang membuat jenis produk, harga, dan promosi agar sesuai dengan keadaan pasar
1.3. Hambatan dalam Pembelian Online
Terdapat beberapa hambatan yang ditemui ketika seorang konsumen akan melakukan
pembelian online, beberapa di antaranya adalah (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007):
a. Keamanan dalam penggunaan kartu kredit,
b. Keterbatasan konsumen untuk melihat dan menyentuh produk yang mereka beli,
c. Internet hanya digunakan sebagai media mencari informasi, setelah itu ia memilih
membeli offline,
d. Biaya pengiriman yang terlalu tinggi, dan
e. Mendengar pengalaman buruk orang lain
2. Pembelian Offline
2.1 Pengertian Pembelian Offline
Pembelian offline adalah proses pembelian yang dilakukan seorang konsumen dengan
memilih produk atau jasa yang diinginkan secara langsung dengan melakukan tatap muka
dengan penjual untuk memperoleh tanggapan yang segera (Kotler & Armstrong, 2001).
2.2 Hambatan dalam Pembelian Offline
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa alasan mengapa seorang konsumen tidak
menyukai pembelian melalui toko yaitu (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007):
1. Penjual yang tidak memiliki informasi
2. Menunggu antrian
3. Butuh waktu yang lama untuk menemukan barang yang ia mau
4. Kemacetan
5. Keramaian
C. PERBEDAAN POSTPURCHASE DISSONANCE PADA ORANG YANG MELAKUKAN PEMBELIAN SECARA ONLINE DAN OFFLINE
Manusia melakukan kegiatan membeli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Manusia yang melakukan kegiatan membeli disebut sebagai konsumen. Dalam setiap
kegiatan yang dilakukannya, konsumen akan melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut
antara lain pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan
membeli dan tahap terakhir perilaku setelah pembelian (Kotler, 2003). Setiap tahapan
tersebut akan menuntun konsumen pada kesesuaian dalam pembelian produk.
Dalam tahap terakhir perilaku setelah pembelian, konsumen terkadang mengalami
perasaan bersalah dan cemas akan keputusan pembelian yang dilakukannya. Peristiwa
tersebut dikenal dengan istilah postpurchase dissonance. Postpurchase dissonance adalah
keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu
keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, dan Best, 2007).
Keraguan ini dapat dialami oleh seorang konsumen yang harus membuat keputusan di antara
banyaknya pilihan alternatif yang tersedia.
Sama halnya ketika individu dihadapkan pada alternatif pembelian secara online
ataupun offline. Masing-masing pilihan tersebut tentu saja memiliki kelebihan dan
kekurangan tersendiri. Akibatnya, ketika seseorang mengambil keputusan yang melibatkan
seseorang untuk memilih alternatif yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri, biasanya akan muncul respon negatif ketika keputusan akan diambil (Hawkins,
Mothersbaugh, dan Best, 2007).
Kelebihan pembelian secara online adalah kenyamanan yang didapat konsumen
karena bisa membeli kapan saja dan dimana saja melalui seluruh penjuru dunia. Produk yang
dipesan dikirim ke alamat yang diinginkan (Levin, Levin & Weller, 2005). Melalui
informasi yang bermanfaat sebagai dasar pertimbangan sebelum membeli (Basir, 2011).
Dengan cara ini pula, konsumen merasa dirinya terbebas dari tekanan ataupun paksaan dari
penjual.
Berbeda dengan pembelian secara online, pembelian secara offline memberikan
konsumen keleluasaan untuk memilih barang yang relevan, cepat, dan akurat. Kemudian,
dengan pembelian secara offline, seorang konsumen dapat bersentuhan langsung dengan
produknya sebelum melakukan pembelian sehingga konsumen yakin atas kualitas produk
tersebut. Halloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) menyatakan bahwa ketersediaan informasi,
dalam hal ini kontak langsung dengan penjual dan produk menjadi salah satu aspek yang
mempengaruhi terjadinya disonansi.
Bersamaan dengan semua kelebihan di atas, terdapat pula kekurangan pada
masing-masing alternatif tersebut. Adapun kekurangan pembelian online adalah kemungkinan
konsumen merasa khawatir terhadap kejujuran penjual dalam memberikan informasi
dikarenakan konsumen tidak dapat memeriksa secara langsung kualitas dari produk tersebut
(Harridge-March, 2006). Riegelsberger, Sasse, & McCarthy (2003) menyatakan bahwa
pembelian secara online berisiko lebih besar akan penipuan dan kerugian materi daripada
transaksi secara langsung, dalam hal ini pembelian offline (dalam Harridge-March, 2006;
Sarma & Ramesh, 2007). Loudon dan Bitta (1993) menyatakan bahwa postpurchase
dissonance akan semakin tinggi ketika individu memiliki komitmen besar berupa sejumlah
uang, waktu dan usaha yang telah digunakan terhadap pembeliannya. Untuk itu, bagi
sebagian orang, kegiatan online hanya dilakukan untuk melakukan proses pencarian
informasi sebanyak mungkin terkait produk/jasa yang diinginkan sebagai upaya untuk
menghindari kemungkinan tersebut
Sama halnya dengan pembelian online, pembelian secara offline pun memiliki
deal merupakan salah satu aspek yang menjadi kekurangan dalam pembelian secara offline
yang mana akan meningkatkan kecenderungan individu mengalami postpurchase dissonance.
Hal ini disebabkan oleh perubahan sikap yang dialami konsumen karena pengaruh penjual
berupa bujukan dan diskon, sehingga terjadi ketidakkonsistenan atas keyakinan yang dimiliki
individu sebelumnya. Forrester Research (Hawkins, Mothersbaugh, dan Best, 2007)
menyatakan bahwa tantangan terbesar yang konsumen hadapi ketika melakukan pembelian
secara offline adalah penjual memiliki informasi terbatas terhadap produk yang mereka jual,
antrian yang panjang, dan waktu yang dibutuhkan untuk menemukan barang yang ia mau.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa masing-masing tipe pembelian memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang melibatkan munculnya respon negatif ketika
keputusan akan diambil yang disebut postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh,
dan Best, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
postpurchase dissonance yang dialami oleh seorang konsumen yang melakukan pembelian
secara online dan offline.
D. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparasi. Pada
hakikatnya penelitian komparasi adalah “ex post facto”, artinya data dikumpulkan setelah
semua peristiwa yang diperhatikan terjadi. Kemudian peneliti memilih satu atau lebih efek
(variabel dependen) dan menguji data dengan kembali menelusuri waktu, mencari penyebab,
melihat hubungan, dan memahami artinya (Azwar, 2007). Nantinya, subyek ditanyakan
apakah dalam rentang satu bulan ia telah melakukan pembelian produk baik secara online
ataupun offline dan mengalami keraguan. Jika subyek mengalami hal tersebut maka subyek
merupakan sampel yang sesuai. Selanjutnya skala dan alat tes diberikan kepada subyek
tersebut.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Adapun variabel yang terlibat pada penelitian ini antara lain:
Variabel Tergantung : Postpurchase Dissonance
Variabel Bebas : Tipe Pembelian :
1. Pembelian Online
2. Pembelian Offline
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
1. Postpurchase Dissonance
Postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen
setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit dan relatif permanen terhadap suatu
produk.
Data mengenai postpurchase dissonance diperoleh melalui skala postpurchase
dissonance berdasarkan aspek-aspek postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh
Sweeney, Hausknecht, & Soutar(2000) yang terdiri dari tiga aspek yaitu emotional, wisdom
of purchase dan concern over deal. Skor yang diperoleh menunjukkan tinggi rendahnya
postpurchase dissonance yang dialami oleh seorang individu. Skor tinggi yang diperoleh oleh
seorang individu dari skala postpurchase dissonance menunjukkan subjek mengalami
dissonance yang tinggi. Sedangkan skor rendah yang diperoleh oleh seorang individu
menunjukkan bahwa subjek tidak mengalami dissonance.
2. Tipe Pembelian
2.1. Pembelian Online
Pembelian online atau yang akrab disebut online shopping adalah proses pembelian
yang dilakukan oleh individu tanpa memerlukan komunikasi tatap muka secara langsung
dengan penjual melainkan dapat dilakukan secara terpisah dari dan ke seluruh dunia melalui
notebook, komputer, ataupun telepon selular yang terhubung dengan layanan akses internet
dan melakukan pembayaran melalui atm.
2.2. Pembelian Offline
Pembelian offline adalah proses pembelian yang dilakukan seorang konsumen dengan
cara memilih produk atau jasa yang diinginkan secara langsung dengan melakukan tatap
3. Rentang Waktu Pembelian Produk
Produk yang dibeli oleh subyek penelitian adalah produk yang pembeliannya belum
lebih dari satu bulan (30 hari) terhitung dari saat membeli produk sampai dikenakan
penelitian ini. Hal ini disebabkan karena postpurchase dissonance akan lebih dirasakan
konsumen jika rentang waktu pembeliannya belum terlalu lama (Nadeem, 2007).
C. POPULASI, SAMPEL DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL
1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh objek yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi
sebagai jumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki suatu sifat yang sama
(Hadi, 2002). Sehubungan dengan hal ini, yang perlu mendapat perhatian bahwa sampel
harus mencerminkan keadaan populasinya, agar sampel dapat digeneralisasikan terhadap
populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh konsumen yang melakukan pernah
melakukan pembelian online ataupun offline. Mengingat keterbatasan waktu, biaya, dan
tenaga yang dimiliki oleh peneliti, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan
populasi yang dijadikan sebagai subyek penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel.
Selain itu tidak mungkin mendapatkan data dari populasi yang jumlahnya ribuan atau jutaan
(Sekaran, 2003).
Sampel adalah bagian dari populasi yang dijadikan sebagai bagian dari proses
penelitian dan setidaknya memiliki satu sifat populasinya (Hadi, 2002; Sekaran, 2003;
Malhotra, 2004). Sampel dalam penelitian ini adalah konsumen yang pernah melakukan
pembelian produk secara online ataupun offline dengan keputusan sendiri yang mengalami
2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampling non
probabilitas (non probablity sampling). Sampling non probabilitas adalah kondisi penelitian
yang masing-masing elemen atau anggota populasi tidak mempunyai peluang yang sama
untuk menjadi sampel (Sekaran, 2003; Ray, 2003; Malhotra, 2004; Burns & Bush, 2005).
Alasan metode ini adalah faktor biaya dan waktu yang lebih hemat (Sekaran, 2003).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convenient sampling, yaitu
pengumpulan informasi dari anggota populasi yang secara nyaman tersedia dan mudah dalam
mendapatkan akses ke subyek, hemat biaya, cepat dan nyaman (Sekaran, 2003; Ray, 2003).
Siegel (1997) menyatakan bahwa kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah sampel. Oleh karena itu mengenai jumlah sampel tidak ada batasan
jumlah sampel penelitian yang ideal. Namun menurut Roscoe (dalam Sekaran, 2003) ukuran
sampel yang lebih besar dari 30 orang dan kurang dari 500 orang adalah tepat untuk sebagian
besar penelitian.
D. ALAT PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen selfreport berupa
skala sikap. Azwar (2005) mengungkapkan skala sikap merupakan kumpulan
pernyataan-pernyataan mengenai suatu obyek sikap. Dari respon subyek pada setiap pernyataan-pernyataan tersebut
kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Cronbach (dalam
Azwar, 2005) menyatakan bahwa skala suatu bentuk pengukuran terhadap performansi
tipikal individu cenderung dimunculkan secara sadar atau tidak sadar dalam bentuk respon
terhadap situasisituasi tertentu yang sedang dihadapi.
1. Pernyataan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari
keadaan diri subyek yang tidak disadari.
2. Skala digunakan untuk mengukur suatu atribut tunggal.
3. Subyek tidak menyadari arah jawaban sesungguhnya yang diungkap dari
pernyataan skala.
Dalam penelitian ini digunakan skala postpurchase dissonance yang diadaptasi
berdasarkan penelitian Ginting (2009). Aitem-aitem dalam skala postpurchase dissonance
disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht, & Soutar
(2000), yang meliputi emotional, wisdom of purchase, dan concern over deal.
Skala tersebut terdiri dari aitem-aitem yang favorable dan unfavorable, dengan skala
Likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak
Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Penilaian skala untuk aitem favorable adalah nilai
4 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai, nilai 3 untuk nilai untuk jawaban Sesuai, nilai 2
untuk jawaban Tidak Sesuai, dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai. Sedangkan
penilaian untuk aitem unfavorable adalah nilai 1 untuk jawaban Sangat Sesuai, nilai 2 untuk
jawaban Sesuai, nilai 3 untuk jawaban Tidak Sesuai, serta nilai 4 untuk jawaban Sangat
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Azwar (2007) mengatakan bahwa tujuan dilakukannya uji coba alat ukuradalah untuk
melihat sejauh mana alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan
seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran. Uji coba skala dilakukan
dengan menyebarkan skala kepada responden uji coba yang memiliki karakteristik hampir
sama dengan karakteristik subjek penelitian. Skala postpurchase dissonance disebarkan,
dikumpulkan, dan diuji validitasnya yaitu validitas isi berdasarkan daya beda aitem-aitem
dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment yang diperoleh melalui
analisa data dengan menggunakan SPSS version 16.0 for windows. Aitem yang memiliki daya
beda cukup tinggi akan dihitung reliabilitasnya dengan menggunakan reliabilitas koefisien
alpha yang diperoleh melalui analisis data dengan menggunakan SPSS version 16.0 for
windows.
Aitem-aitem dalam skala yang memiliki validitas yang baik dengan daya beda cukup
tinggi dan reliabel akan digunakan untuk mengukur postpurchase dissonance.
1. Uji Validitas
Validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu mengukur apa yang
dimaksudkannya untuk diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat
kecermatan suatu tes (Azwar, 2007). Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini,
peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi
(content validity).
Suryabrata (2000) mengatakan bahwa validitas isi menunjukkan kepada sejauh mana
item-item yang dilihat dari isinya dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur.
Ukuran sejauh mana ini ditentukan berdasar derajat repesentatifnya alat ukur itu bagi isi hal
yang akan diukur. Validitas isi alat ukur ditentukan melalui pendapat professional