MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
Nur Azizah
107034002303
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh : Nur Azizah 107034002303
Di Bawah Bimbingan
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
ABSTRAK
Mahar atau maskawin juga dapat disebut shadaqah adalah merupakan kewajiban suami terhadap istri sebagai pembuka faraj bagi suami dan juga sebagai pemberian yang dapat menyenangkan istri. Syarat minimal maskawin adalah sebuah cincin besi. Pendapat lain kadar mahar dikiaskan maskawin boleh berupa hafalan ayat-ayat Al-Qur‟an yang diberikan kepada isteri sesudah menikah sehingga mahar tersebut boleh hutang, maksudnya mahar tidak terbilang sesuai kemampuan dan sebaliknya maskawin itu harus disegerakan.
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا ها مسب
Alhamdulillâh, segala puja dan puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah
SWT. Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan
ridho dan kekuatan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Mahar Dalam Perspektif Hadis. Semoga salawat serta salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan, rintangan dan hambatan
yang dialami oleh penulis. Namun, dengan niat, keteguhan hati dan motivasi yang
membumbung tinggi serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka
kesulitan tersebut serasa lenyap dibakar semangat, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan, baik itu dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk
pemahaman yang tertuang didalamnya, karena keterbasan ilmu yang dimiliki
penulis. Bila dibandingkan dengan skripsi yang lain, skripsi ini hanyalah sebuah
lilin dari sekian banyak kilauan lampu yang bercahaya. Walaupun demikian,
setidaknya dapat memberikan cahaya bagi yang ada disekitarnya. Bila
dibandingkan dengan ilmu Allah maka skripsi bagaikan setitik debu dari seluruh
debu yang ada di alam semesta.
Dengan rasa syukur dan dengan kerendahan hati, penulis haturkan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan segala
1. Prof. DR. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat.
3. Dr. Bustamin, M. Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis sekaligus sebagai
pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan dan arahan yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Untuk Bapak Muslim terima kasih atas jasa-jasanya. Semoga Allah SWT
memberikan balasan, rahmat, dan maghfirah-Nya
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis, semoga ilmu yang telah diberikan
dapat bermanfaat.
6. Kedua orangtuaku, ibunda Asni dan ayahanda Yusuf Talen. Amat, yang
telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih dan sayangnya.
Ucapan terima kasih penulis kepada keduanya tak kunjung henti-hentinya
terucap atas segala doa dan harapan baiknya, selalu memotivasi penulis
untuk maju
7. Nita Zahra., kakakku bersama keluarga yang sudi membangunkanku dari
lena kemalasan
8. Pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan
Utama UIN, dan Perpustakaan Iman Jama, yang telah sudi kiranya
melayani dan membantu penulis dalam melengkapi buku-buku rujukan
9. Teman-teman angkatan 2007, khususnya untuk mahasiswa kelas TH A,
Rizza Kurniatillah (Acil) ,Sofia Rosdanila, Dian Kusnadi, dan lainnya yang
tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan kenangan manis
yang tak dapat untuk dilupakan bagi penulis. Semoga kita dapat menjadi
orang-orang yang sukses dan beruntung, baik di dunia maupun di akherat
kelak. Amien.
10.Kepada Hadi Yono (Buy) yang telah banyak membantu dan memberikan
dorongan, khususnya sport sampai akhir mengikuti tahap demi tahap dalam
proses penyelesaian skripsi ini
11.Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan yang
setimpal atas segala bantuannya.
Tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Jakarta, 11 Januari 2012
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
TRANSLITERASI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Metodologi Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II MAHAR DAN PERMASALAHANNYA ... 11
A. Pengertian Mahar ... 11
B. Dasar Hukum Mahar ... 14
1. Al- Qur‟an ... 15
2. As-Sunnah ... 19
C. Syarat Sahnya Mahar ... 22
D. Mahar Adalah Hak si Perempuan Bukan Hak Walinya ... 25
E. Pelaksanaan Pemberian Mahar ... 26
BAB III HADIS- HADIS MENGENAI MAHAR ... 32
A. Teks Hadis dan Terjemahannya ... 32
B. Asbabul Wurud ... 37
C. Bentuk Mahar ... 38
D. Macam-Macam Mahar dalam Hadis ... 40
BAB IV ANALISA KANDUNGAN HADIS-HADIS MAHAR ... 43
A. Mahar Menurut Ulama Secara Umum ... 43
B. Analisa ... 52
BAB V PENUTUP ... 61
A. Kesimpulan ... 61
B. Saran-Saran ... 61
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
„ koma terbalik di atas hadap kanan
Vokal Panjang : â : û : î Vokal Tunggal
Fathah : a Kasrah : i
Dammah : u
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong, dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷ a fathah
ﹻ i kasrah
ﹹ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﺃ
ai a dan i
ﺃ au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), dalam bahasa Arab
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﺃ ﺃ â a dengan topi di atas
ﺇ î I dengan topi di atas
ﺃ
ْ û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara bahasa Arab dilambangkan
dengan لا, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan
ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ة لاtidak
dituliskan ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 dibawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
Nomor Kata Arab Alih Aksara
1 ط tarîqah
2 ماسإا م لا al-jâmi'ah al-islâmiyyah
3 د ج لاة ح wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, namun
dalam alih aksara huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama
tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû
Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berhubungan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan, meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad
al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad Palimbânî. Nuruddin Raniri, tidak Nûr
al-Dîn al-Rânîrî.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis adalah referensi kedua dalam ajaran Islam setelah al-Qur‟an.
Hadis yang dijadikan sebagai sumber kedua dalam Islam sering kali
dipergunakan untuk memecahkan persoalan yang muncul dalam berbagai
aspek kehidupan, oleh karena itu Hadis Nabi SAW memiliki fungsi penting
dalam kaitannya dengan Al-Qur‟an, yaitu sebagai penjelas dan penjabar
Al-Qur‟an dalam segala masalah termasuk pernikahan.1
Pernikahan merupakan salah satu dari sunah Rasul, ia diartikan sebagai
sebuah ikatan dan perjanjian antara suami isteri yang mengharuskan
masing-masing pihak mentaati semua kewajibannya, demi memenuhi hak pihak lain.
Ketika Allah SWT mewajibkan suami menyerahkan mahar kepada isteri, agar
suami menghayati kemuliaan dan kehormatan isteri, maka Allah SWT
memerintahkannya agar mahar diberikan sebagai pemberian atau hibah yang
bersifat suka rela.2
Pernikahan memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya,
karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi.
Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk
meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami
yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganya kelak. Sebab
1
Hasbi As-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Cet. Ke-8, h. 179
2
M. Ali al-Syabuni, Al-Jawadj al-Islami al-Mubakkir, Penerjemah: M. Nurdin, Kawinlah
Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), Cet.
pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari prilaku yang keji (zina),
dan mengembangkan keturunan yang menegangakan tauhid di atas muka
bumi ini.
Pernikahan merupakan suatu kontrak sosial antar seseorang laki-laki
dan perempuan untuk hidup bersama tanpa di batasi oleh waktu tertentu.
Dalam Islam, pemberian maskawin merupakan kewajiban yang harus dibayar
oleh seorang laki-laki yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi suami
dari seorang perempuan.
Mahar merupakan hak murni perempuan yang disyariat‟kan untuk
memberikan kepada perempuan sebagai ungkapan keinginan pria terhadap
perempuan tersebut, dan sebagai salah satu tanda kecintaan dan kasih sayang
calon suami kepada calon istri, dan suatu pemberian wajib sebagai bentuk
penghargaan calon suami kepada calon istri yang dilamar, serta sebagai
simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan
yang akan menjadi istrinya3 Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur‟an
Ayat di atas menjelaskan, bahwa hendaklah kalian memberikan mahar
kepada wanita yang akan kalian nikahi sebagai satu pemberian yang bersifat
3
Syeikh Shalih bin Ghanim, al-Sadlan, Seputar Pernikahan, (Jakarta: Darul Haq, 2002), cet. I, h. 27
4
suka rela. Dan kalau mereka memberikan kembali sebagian dari maharnya
kepadamu, maka kalian boleh mengembilnya, tanpa kalian menanggung dosa
karenannya. Jadi, mahar disini harus ada dalam suatu pernikahan. Tujuan
pemberiannya adalah untuk melanggengkan dan memperkuat ikatan tali cinta
kasih pasangan suami istri serta membantu meringankan biaya
penyelenggaraan pernikahan.5
Dalam Ensiklopedi Islam Al-Kamil, mahar merupakan hak bagi
perempuan dan kewajiaban suami untuk membayarnya, sebagai penghalal atas
kehormatannya. Dan menjadikan menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi
suami untuk menghormati perempuan dengan memberikan mahar tersebut.
Sebagai perintah atas eksitensi perempuan, syiar bagi kedudukannya dan
sebagai ganti atas sksual dengannya. Serta untuk menyenangkan hatinya dan
kerelaan atas tanggung jawab laki-laki (suami) kepadanya.6
Sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa mahar dalam perkawinan
tidak termasuk dalam rukum dan bukan syarat sahnya aqad nikah karena
menghilangkan mahar dengan sengaja tidak mempengaruhi batalnya
perkawinan.7 Pendapat Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur
penganutnya dengan berbagai aturan di semua aspek, termasuk aspek mahar
dalam perkawinan. Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal
yang harus diperhatikan antara lain adalah mahar, karena salah satu hubungan
Islam yang timbul dari sebab perkawinan adalah kewajiabn calon suami untuk
mengeluarkan sejumlah kekayaan kepada isterinya yang disebut mahar.
5
M. Ali al-Syabuni, Al- Jawadj al-Islami al-Mubakkir, h. 87-88
6
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tawaijiri, Ensiklopedia Al-Kamil, penyunting, team Darus Sunnah, Cet. 4, Jakarta, 2008, h. 1005-1006
7
Jadi, mahar yang dimaksud ialah merupakan syariat Islam yang
diwajibkan bagi pemuda yang hendak menikahi seorang wanita, Sebagai
pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan
keluarganya.8 Mahar juga berfungsi sebagai tanda ketulusan niat dari calon
suami untuk membina suatu kehidupan berumah tangga bersama calon
istrinya.9
Pada kenyataannya, terutama pada kalangan masyarakat awam
sebagian masih banyak yang belum mengerti hakikat dari pemberian
maskawin. Mereka beranggapan maskawin atau mahar hanyalah pelengkap
sebuah ritual akad nikah semata, kendati mereka menganggap hal ini wajib
atau harus diadakan.
Dengan demikian, tak sedikit orang membedakan antara maskawin
atau mahar dengan bawaan (gawan, istilah jawa). Jika maskawin diberikan
oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang akan di nikahinya,
maka gawan juga diberikan sebagaimana halnya maskawin, tetapi sudah
menjadi kebiasaan atau tradisi bahwa gawan bisa kembali atau selayaknya,
jika dikemudian hari terpaksa harus berpisah atau bercerai.
Dari dua jenis pemberian ini menjadikan mahar seolah tidak begitu
penting, karena mahar ini menjadi hak penuh istri, yang tidak ada harapan
untuk diambil kembali oleh laki-laki yang menikahinya. Sehingga dengan
adanya pemahaman seperti ini, tak jarang mahar diberikan hanya bentuk dan
rupa sedikit saja dari harta yang ia punya, sebagai kebiasaan yang perlu
8
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), cet Ke-I, h. 219
9
dikritisi, mayoritas mereka menjadikan seperangkat peralatan shalat bagi
perempuan untuk menjadi mahar, semestinya untuk gawan, ia lebih besar dari
mahar, misalnya emas 10 gram.
Hal ini yang harus diluruskan untuk lebih bisa menjadikan arti sebuah
pernikahan yang bertanggungjawab bisa tercapai, jadi bukan sekedar kontrak
sosial tanpa makna, karena hakikat pernikahan adalah untuk bisa hidup
bersama sebagai satu kesatuan yang utuh, yang di dalamnya harus saling
melengkapi, saling memberi dan menerima.
Mahar disini sangatlah penting, karena mahar bisa menjadikan
keluarga berceraiberainya sebuah pernikahan. Memberikan mahar juga harus
adil, agar keluarga tidak hancur berantakan, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw dalam hadisnya:
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abi Umar Al-Makki sedangkan lafazhnyadari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Abdurrahman
bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada „Aisyah, shallallahu „alaihi
wasallam; Berapakah maskawin Rasulallah shallallahu „alaihi wasalam? Dia
menjawab; mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy.Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?Abu Salamah berkata; Saya
wasallam untuk masing-masing istri beliau.10
Persoalan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan keadaan atau
tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam.Mahar dalam Islam merupakan
pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam
perkawinan.Kemudian mahar menjadi milik mempelai itu sendiri, bukan milik
siapa pun selain istri. Islam telah mengangkat derajat perempuan, karena
mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa.11
Keadaan dan kondisi tersebut menurut hemat penulis sangatlah
menarik untuk diangkat kepermukaan dalam bentuk tulisan atas pertimbangan
dan alasan diatas mengilhami penulis untuk menyusun skripsi ini dengan
judul:“Mahar Dalam Perspektif Hadis”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis menjelaskan penelitian terhadap kajian
tentang tinjauan hukum Islam tentang mahar.
2. Perumusan Masalah
Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan mahar yang
disyariatkan agama Muslim?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti memiliki tujuan
tersendiri, demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis
mempunyai tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian di atas, penulisan
10
Muslim ibn al-Hajaj Abu al-Husain al- Naisyabūri al-Qusyairi, Shahih Muslim, Tahqiq:
Muhammad Fuad‟ Abd al-Bâqi, (Birut: Dar Ihya al-Turast al-„Arabi, tth.), hadis no. 2555.
11
ini bertujuan untuk:
1. Memotret dan mengkaji permasalahan yang timbul dalam kehidupan
masyarakat.
2. Untuk memperoleh pemahaman pribadi yang lebih mendalam tentang
mahar dalam hadis.
3. Dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis.
4. Menciptakan kehidupan harmonis dalam rumah tangga, di samping itu
juga dapat menambah khazanah kepustakaan, khususnya hadis mengenai
mahar.
5. Akhirnya yang tak kalah pentingnya, penelitian ini juga memiliki tujuan
formal, yaitu untuk memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar
kesarjanaan SI dalam bidang Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka
Dalam penelusuran pustaka, penulis menemukan adanya kajian sebagai
berikut:
1. Transformasi Pemahaman Masyarakat Tentang Mahar dalam Adat Jambi.
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.Oleh: Al- Faroby NIM 106044201455.Skripsi ini memaparkan
tentang pemahaman masyarakat Jambi terhadap perubahan bentuk mahar
dalam tradisinya. Transformasi yang terjadi di masyarakat Jambi
dilakukan dengan pendekatan adat mereka. Akan tetapi, skripsi ini tidak
menjelaskan secara detail mengapa sebagian besar masyarakat Jambi
masih enggan mempraktekkan mahar sesuai dengan anjuran hadis Nabi
2. Mahar Suami Meninggal Qobla Al-Dukhul (Analisis Terhadap Perbedaan
Mazhab & Kompilasi Hukum Islam di Indonesia). Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Oleh: Surina
Mohammad Napiah. NIM 107044103853. Skripsi ini memaparkan
tentang pandangan para ulama fiqh dengan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Akan tetapi, pada skripsi ini lebih banyak mengupas maharnya
suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi
Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut
secara luas.
3. Kadar Suami Meninggal Sebelum Dukhul (Analisis Terhadap Pemikiran
Mazhab Maliki). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010. Oleh: Juwariyah. NIM 107044103855.
Skripsi ini memaparkan tentang kadarnya suami meninggal sebelum
dukhulatas pandangan ulama mazhab Maliki saja. Akan tetapi, pada skripsi
ini fokus mengupas pendapat ulama Maliki tentang kadar maharnya suami
yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi
Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut
secara luas.
4. Telaah Atas Hadis Anjuran Memberi Kemudahan dalam Memberi Mahar.
Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2003 Oleh:Iin Rif’aini. NIM 199034016676. Skripsi ini memaparkan
tentang anjuran dalam memberikan kemudahan mahar. Skripsi ini fokus
pada hadis yang membahas memberi kemudahan tentang mahar tersebut.
tentang kadar maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan
fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman
tentang mahar tersebut secara luas.
Dari keempat skripsi di atas, penulis masih menemukan ruang untuk
membahas tentang mahar dalam perspektif hadis yang banyak memberikan
alternatif tentang mahar yang akan diberikan suami kepada calon istrinya.
E. Metodologi Penelitian
Dalam pengumpulan data, sering digunakan dua macam penelitian,
yaitu penelitian kepustakaan (Library research) dan penelitian lapangan (Field
Research). Untuk permasalah tersebut di atas, metode yang penulis gunakan
adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research), artinya data-data
berasal dari sumber-sumber kepustakaan baik berupa buku-buku, jurnal,
ensklopedia dan sebagainya, yang termasuk dalam data primer, seperti
kitab-kitab hadis, kitab-kitab rijal al-Hadis maupun skunder, seperti buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan yang di kaji dalam skripsi ini. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara lengkap serta untuk
menentukan kesimpulan yang akan diambil sebagai langkah penting.
F. Sistematika Penulisan
Dengan melihat tujuan untuk membuat dan mempertahankan karya ilmiah yang
sistematis serta memudahkan dan enak untuk dibaca, kajian ini disusun dengan
Bab I, Pendahuluan. Didalamnya bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
Kajian Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan
Bab II, Mahar dan Permasalahannya.Berisi pemahaman tentang pengertian
mahar, macam dan syarat-syaratnya, Eksistensi Mahar Dalam Perkawinan yang
mengupas tentang Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya, Syarat Sah Mahar,
Pelaksanaan Pemberian Mahar, dan Hikmah Mahar
Bab III, Hadis- hadis mengenai mahar yang berkenaan dengan mahar, diikuti teks
dan terjemahannya, asbabul wurud, Bentuk Mahar, Macam-macam Mahar dalam
Hadis
Bab IV , Pembahasan ini penulis mengupas tentang Mahar Menurut Ulama Secara
Umum disertai Analis
Bab V, Penutup. Berisi kesimpulan, usul dan saran. Kesimpulan merupakan
poin-poin penting hasil penelitian yang sekaligus merupakan jawaban terhadap
BAB II
MAHAR DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Mahar
Secara etimologi mahar adalah masdar dari kata م - - م yang
berarti maskawin.12Mahar yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan
sebutan maskawin, dalam Al-Qur‟an disebut dengan beberapa istilah, yaitu:
1. Ujr, jamak dari kata ajrum, yang artinya ganjaran atau hadiah, terdapat demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), Cet. Ke-I, h. 431
13
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
2. Saduqat, jamak dari kata Saduqah,yang artinya pemberian yang tulis,
terdapat dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa: 4
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Dan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW yang selalu
membeikan mahar kepada istri-istri beliau saat menikah15
3. Faridah, yang artinya sesuatu yang di wajibkan atau suatu bagian yang
ditetapkan, terdapat dalam al-Qur‟an surat al-baqarah: 236.16
14
Qs. Al- Maidah: 5
15
Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet ke-I, h. 672
16
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam Al-Qur‟an, dapat
dirumuskan bahwa mahar itu ialah suatu pemberian wajib dari suami kepada
istri sebagai hadiah yang tulus berkenaan dengan pernikahan antar keduanya,
yang sudah ditetapkan melalui al-Qur‟an, as-Sunah dan I‟jma,17 diberlakukan
dalam praktik dan suadah dikenal di kalangan khusus maupun umum dari
putra-putra muslim, sehingga mahar termasuk sesuatu yang sudah diketahui
pasti sebagai ajaran agama.
Pemberian mahar adalah salah satu yang disyariatkan oleh ajaran
agama Islam. Sebagaimana lamaran, maka mahar pun diberikan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan, pihak laki-lakilah yang datang ke wanita
untuk meminangnya dan mengungkapkan rasa cintanya, serta untuk
menegaskan ketulusan, dan menarik perhatiannya, maka laki-laki perlu
memberikan sesuatu sebagai bukti ketulusan hati, inilah yang dikenal dengan
sebutan mahar.
17
Nihlah yang berasal dari rumpun kata an-Nahl mempunyai arti yang
sama dengan mahar, dalam Tafsir Al-Azhar dimaknai sebagai lebah. Lebah
diibaratkan sebagai seorang laki-laki yang mencari harta yang halal, laksana
seekor lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu (manisan
lebah),‟ dari hasil jerih payah itulah, yang nantinya akan di berikan kepada
calon istri sebagi pertanda ketulusan.18
Mahar bukan hanya sejumlah uang, harta dan barang-barang lainnya,
sebagaimana lahirnya, tetapi mahar adalah suatu pertanda kebenaran dan
kesungguhan cinta seorang laki-laki, kerena itulah mahar juga dinamakan
dengan shidaq (kebenaran). Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar,
tetapi dengan sarana ini ia dapat mengetahui ketulusan hati seorang laki-laki,
yang mampu menciptakan sebuah sarana yang sesuai bagi wanita agara wanita
tersebut dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Inilah salah satu
falsafah mahar.19
Jadi makna mahar dalam sebuah pernikahan, lebih dekat kepada
syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa nan suci, pemberian
mahar merupakan ungkapan tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai
Asy-Syari‟(pembuat aturan), dan kepada wanita yang akan dinikahi, sebagai teman
hidup dalam meniti kehidupan rumah tangga.20
B. Dasar Hukum Mahar
18
Hamka, Tafsir sl-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982), Cet. Ke I, Juz III, h 260
19
Ibrahim Amini, kiat Memilih Jodoh: Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, Penerjemah: Muhammad Taqi, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. Ke-I, h. 157
20
Para ulama Fiqh‟ telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar
atau maskawin itu adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an
Dalam surat An-Nisa‟ ayat 4 di sebutkan:
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”.21
Dilihat dilalah dari ayat di atas bahwa Allah Swt telah
memerintahkan, pada suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya.
Kerena perintah tersebut tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan
kepada hukum sunat atau mubah, maka ia menghendaki kepada makna
wajib. Jadi mahar wajib bagi suami untuk dberikan kepada istrinya, karena
tidak ada qarniah yang menyimpang dari makna wajib kepada makna yang
lain.
Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna
Al-Faridhah Al-Wajibah (ketentuan yang wajib). Dengan begitu, makna ayat
adalah: “Dan berikanlah kepada wanita (istri-mu) mahar sebagai sebuah
ketentuan yang wajib”.
Pemberian tersebut juga sebagai tanda eratnya hubungan dan cinta
yang mendalam, disamping jalinan yang seharusnya menaungi rumah
21
tangga yang mereka bina. Namun demikian, seandainya istri merasa suka
atau rela memberikan kepada suaminya sesuatu dari maharnya tanpa
merasa dirugikan dan tanpa unsur paksaan atau tipuan, maka suami boleh
mengambil atau meggunakan pemberian itu dengan senang hati dan tidak
ada dosa bagi suami untuk mengambil serta menerimannya.
Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Islam sangat memperhatikan
dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak
kepadanya, di antaranya kedudukan seorang wanita dengan memberikan
hak kepadanya, di antaranya yaitu hak untuk menerima maskawin. Mahar
hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita
lainnya atau siapa saja, meskipun sangat dekat hubung dengannya. Orang
lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, bahkan oleh
suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri sendiri.
Di kalangan masyarakat, telah menjadi suatu tradisi yang
dijalankan secara turun menurun yaitu, bahwa mereka tidak cukup hanya
dengan pemberian makhar saja tetapi diberengi pula dengan anekaragam
hantaran (hadiah) lainnya, baik berupa makanan, pakaian, peralatan rumah
tangga dan lain-lain sebagai penghargaan dari calon suami kepada calon
istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya.
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa‟ ayat 20:
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain22, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.
Firman-Nya lagi dalam surat An-Nisa ayat 21
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa mahar ini wajib diberikan
kepada istri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar”.Ia
merupakan jalan yang menjadikan istri senang hatinya dan ridha menerima
kekuasaan suaminya kepada dirinya, seperti firman Allah SWT seperti
berikut:
“Artinya
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki23 (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian24(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu25. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Al-istimta‟ dalam ayat di atas artinya bersenang-senang dan Al-ita‟
mencangkup pengertian memberikan dan mengharuskan. Sedang Al-ujur
bisa diartikan dengan mahar26
Mahar dinamakan dengan ajr (upah), karena ia merupakan upah atau
imbalan dari kesediaan berenang-senang. Manfaat dan kesenangan yang
diperoleh seorang laki-laki dari seorang wanita (istrinya) ketika melakukan
hubungan suami istri yang disahkan melalui jalur pernikahan dan
memberikannya dalam bentuk mahar.
Jihad dilalah dari ayat ini sangat jelas, yaitu ketika Allah SWT
berfirman:Perintah di sini cukup tegas menunjukkan
kepada hukum wajib, sebab tidak ada sekali qarinah yang memalingkan kepada makna lain seperti mubah atau sunat
23
Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
24
Ialah: Selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
25
Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan
26
Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT mengatakan, wanita
maupun di antara wanita-wanita yang dihalalkan bagi kalian (kaum
laki-laki) untuk kalian nikahi, maka berikanlah imbalannya, yaitu maskawin
yang telah kalian wajibkan sebagai imbalan dari kenikmatan yang kalian
rasakan itu.
Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa ketika Allah
SWT memberikan kepada kaum laki-laki hak untuk mengatur wanita, hak
untuk memimpin rumah yang mereka tempati, dan hak menggauli istrinya.
Sebagai konsekuensinya, Allah SWT mewajibkan kepada laki-laki untuk
memberikan hak istrinya sebagai bentuk balasan atau penghargaan yang
akan menyenangkan dirinya dan menjamin terwujudnya keadilan antara
istri dan suami.
Mahar itu wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah
pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi
pasangan suami istri yang saling cinta-mencintai, ridha-meridhai menjadi
patri mesra dalam sebuah rumah tangga untuk meghadiahkan kembali
mahar itu kepada suaminya, demi kepentingan dan kesenangan bersama
karena harta telah menjadi harta istri.27
Hal ini dapat kita melihat contoh yang diberikan oleh Khadijah
selama masa perkawinannya dengan Nabi Muhammad SAW lima belas
tahun sebelum ia menjadi Rasulallah SAW. Mahar Khadijah dibayar
penuh oleh Nabi Muhammad SAW. setelah maskawin tersebut menjadi
27
miliknya dan telah bergabung dengan harta yang lain, demi cinta kepada
Rasulallah SAW dan untuk membantu perjuangannya, bukan hanya jiwa
dan raganya saja yang diserahkan kepada suaminya, bahkan hartanya pun
turut diserahkan semua. Sehingga pembelanjaan Rasulallah SAW dalam
melakukan penyebaran Islam di zaman perjuangan pertama tersebut,
sebagian besar adalah harta Khadijah. Demikianlah suri telada yang patut
diikuti dari kehidupan perkawinan Khadijah dengan Rasulallah SAW dari
sisi mahar.
2. As-Sunnah
Terdapat banyak hadis Rasulallah SAW sebagai dalil yang menyatakan
bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon
Artinya:
“Dari Sahl bin Sa‟idi, sesungguhnya Rasulallah SAW kedatangan tamu
seorang wanita yang mengatakan: “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali.
Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulallah SAW nikahlah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat kepadanya”. Rasulallah SAW lalu bertanya: Apakah kamu mempunyai sesuatu yang
bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?” Lali-laki itu menjawab:
“Saya tidak membpuyai apa-apa kecuali kain sarung yang saya pakai ini”.
Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau berikan kepdanya, maka
engkau akan duduk dengan tidak mengenakan kain sarung lagi. Kerena itu
carilah yang lain”. Lalu ia mencari tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: “Carilah meskipun hanya sebentuk cincin dari
besi”. Lelaki itu pun mencoba menyarinya namun tidak mendapatkan apa
-apa. Lalu rasulallah SAW bertanya lagi kepada laki-laki tadi: “Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat Al-Qur‟an”, Lelaki tadi menjawab:
“Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini”. Ada beberapa surat yang ia sebutkan. lalu Rasulallah SAW bersabda kepadanya: “Kalau begitu aku
nikahkan kamu dengannya dengan maskawin surat Al-Qur‟an yang kamu
hafal”. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
Wajah dilalah dari hadis ini adalah perintah Rasulalah SAW sendiri
pada laki-laki tersebut untuk mencari seuatu yang dapat dijadikan mahar.
Perintah itu menunjukkan kepada wajib Nabi SAW tetap menyuruhnya
untuk mencari sampai beberapa kali, sampai beliau mengatakan: Meskipun
sebentuk cincin dari besi”. Dalam hadis tersebut, pertama Nabi SAW
menyuruh mencari sesuatau untuk dijadikan mahar.Kata “sesuatu” pada
dasarnya mencangkup segala sesuatu yang baik bernilai atau yang tidak
bernilai. Namun ketika Rasulallah SAW mengatakan “meskipun sebentar
cincin dari besi” dapatlah dipahami bahwa yang di maksud dengan
28
“sesuatu” sebagai mahar dalam hadis di atad adalah sesuatu yang bernilai.
Maka tidak bisa dijadikan mahar yang tidak bernilai seperti sebiji padi.29
Berdasarkan hadis di atas dan juga hadis-hadis yang lain, jelaslah
bahwa mahar adalah seuatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh calon
suami yang akan menikahi calon istrinya. Oleh karena itu tidak mungkin
diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Namun masih perlu dikaji
apakah mahar merupakn salah satu rukun atau syarat sahnya nikah.Jumhur
ulama tetap berpendirian bahwa mahar tidak bisa dikatakan sebagi rukun
nikah atau syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai konsekuensi logis dari
pelaksanaan „aqad nikah.
Jelaslah mahar adalah wajib, ia boleh berupa barang (harta
kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berupa barang,
disyaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang berupa sesuatu
yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangkan kalau berupa
jasa atau mahar haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik.30
3. Ijma’
Para Ulama sepakat (ijma‟) bahwa mahar itu wajib hukumnya
dalam pernikahan dan mahar juga merupakan bagian dari syarat-syaratnya
nikah, yang harus dipikul oleh setiap calon suami terhadap calon istrinya.31
C. Syarat Sahnya Mahar
Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki (suami) terdapat seorang
29
Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi,., h. 362
30
Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, h. 363
31
calon istri adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau di
hilangkan, bahkan tidak dapat pula kurang dari syarat-syarat yang telah
ditentukannnya. Para fuqaha dalam hal ini menetapkan bahwa syarat-syarat
mahar tersebut adalah:
1. Benda halal yang suci
Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus terhindar dari
unsur-unsur haram, karena itu mahar harus boleh dimiliki atau diperjual belikan
atau dimanfaatkan. Dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah
disebutkan:
Artinya:
Bahwa keadaan suci, sah dimanfaatkan dengannya, maka tidak sah mahar dengan minuman keras, babi, darah dan bangkai karena yang demikian itu tidak ada harganya menurut pendapat syariat Islam.
Tidak dibenarkan benda-benda yang disebut di atas seperti minuman
keras, babi, darah dan bangkai sesuai menurut penjelasan Al-Qur‟an surat (binatang) yang disembelih atas nama selain Allah SWT
Dari pengertian ayat di atas dan hubungannya dengan kutipan yang
mengharamkannya mahar dengan benda yang tidak bermanfaat dalam
Islam, Maka dapat diambil perhatian bahwa segala benda yang haram
32
untuk dipergunakan atau dimanfaatkan haram pula dijadikan mahar.
2. Benda Yang Berharga
Disamping tidak bolehkannya mahar beda-benda yang telah
diharamkan dalam Islam, mahar juga tidak dibenarkan dengan
benda-benda atau sesuatau yang tidak ada harganya, seumpama sampah, biji
buah-buahan, buah-buahan yang busuk dan sebagainya. Hal ini dijelaskan
dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah sebagai berikut :
Artinya:
Mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai harga, maka tidak sah mahar dengan harganya murah yang tidak mempunyaiharga seperti biji gandum.
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwasannya mahar tidak dibenarkan dengan sesuatu benda yang tidak ada harga atau nilai, meskipun benda tersebut halal. Karena dengan demikian itu terlalu mempermudah, seharusnya mahar tersebut hendaklah yang dipandang baik, sebagaimana menurut pemahaman yang dapat diambil dari surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”
33
Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah., h. 98.
34
Hal ini juga dapat dilihat hadis Nabi SAW:
Artinya:
Dari Abi Salamah bin Abdurrahman berkata: Saya bertanya kepada Aisyah Istri Rasulallah SAW, berapa mas kawin Rasulallah SAW ? Aisyah Menjawab: mas kawin kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiyah dan nash. Aisyah bertanya: tahukah engkau akan nash itu? Saya menjawab : tidak tahu. Aisyah berkata: setengah uqiyah, maka yang demikian itu lima ratus dirham . Inilah maskawin Rasulallah bagi istri-istrinya (H.R. Muslim)
Hadis di atas menunjukan benda yang berharga seperti mata uang,
karena itu (mata uang) dapat dijadikan mahar. Hal seperti ini terdapat
dalam masyarakat sekarang, di mana pihak pengantin pria menyerahkan
sejumlah uang kepada pihak pengantin wanita pada saat „aqad nikah
sebagai maskawin.
3. Benda Yang di Miliki
Disamping mahar tersebut sesuatu (benda) yang halal dan berharga, mahar
juga harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan dapat diserah kepada
pengantin perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti
35
burung yang terbang di udara atau ikan yang di laut yang belum dimiliki.
Hal ini juga di jelaskan dalam kitab Al-Fiqhu IslamiyWa Adillatuhu
sebagai berikut:
Artinya:
“Bahwa benar mahar itu terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu
seorang hamba sahaya yang lari (hamba sahaya tersebut tidak ada di depan mata) unta yang sesat (unta yang tidak ada di depan mata) atau sesuatu yang serupa keduanya.
Kutipan diatas menunjukkan tidak sah dijadikan mahar benda yang
bukan miliknya, seperti barang titipan orang kepadanya dan tidak sah juga
menjadikan mahar kalau tidak sanggup menyerahkannya, seperti miliknya
yang telah dirampas orang dan tidak sangup mengambilnya kembali.
D. Mahar Adalah Hak Si Perempuan Bukan Hak Walinya
Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon
mempelai wanita dan bukan hak wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar
ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya. Namun, tidak mengapa apabila si
wanita tersebut berunding dengan walinya untuk menentukan berapa besarnya
mas kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan si wanita.
Apabila si wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga
menentukan jumlah tertentu, maka yang diambil adalah ucapan si wanita.
Oleh karena mahar adalah hak si wanita, maka si wali ataupun yang lainnya
36
tidak boleh mengambil seluruh atau sebagian jumlah mahar tersebut tanpa ada
izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama Syafi'iyyah dan Hambali
berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh membayar mahar kecuali
kepada isterinya atau kepada orang yang diwakilkan oleh isterinya. 37
E. Pelaksanaan Pemberian Mahar
Berikut ini ada beberapa kondisi di mana apabila kondisi ini terjadi, maka
si suami boleh tidak membayar sisa maharnya atau semua maharnya, bahkan
boleh meminta sebagian atau seluruh mahar yang telah diberikannya.
Kondisi-kondisi dimaksud adalah:
1. Apabila si isteri meminta untuk bercerai dari si suaminya sebelum
keduanya melakukanhubungan badan.
Misalnya, apabila si isteri masuk Islam sementara suaminya masih
non muslim dan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka
menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, si suami boleh tidak membayar
mahar. Atau si isteri meminta dicerai lantaran suaminya impotent atau ada
penyakit menular yang tidak bisa disembuhkan, atau karena si suaminya
ternyata adalah saudara sesusu wanita tersebut dan keduanya belum
melakukan hubungan badan, maka si suami tidak mesti membayar mahar
kepada si wanita tadi. Bahkan menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah,
mereka tidak mengkhususkan perceraian itu harus datang dari pihak isteri.
Menurut mereka baik permintaan cerai itu datangnya dari pihak suami
ataupun isteri selama belum hubungan badan, maka hal demikian tidak
mengharuskan membayar Mahar Musamma atau Mahar Mitsil. Namun,
37
hemat penulis, yang lebih rajih adalah pendapat Syafi'iyyah dan Hanabilah
yang mensyaratkan bahwa perceraian tersebut datang dari pihak isteri
bukan dari pihak suami.
2. Apabila terjadi khulu' baik si isteri tersebut telah disetubuhi ataupun
belum.
Khulu' adalah permintaan cerai dari pihak isteri. Khulu berbeda
dengan talak. Apabila talak berupa permohonan cerai dari pihak laki-laki,
maka Khulu' perceraian akan tetapi datangnya daripihak isteri. Misalnya,
apabila si suaminya sangat kikir, atau impotent atau tidak pernah shalat
wajib, suka berjudi, mabuk dan lainnya, maka si isteri boleh meminta agar
si suami menceraikannya dengan catatan si isteri harus membayar 'iwad,
berupa sejumlah uang yang kira-kira cukup untuk dijadikan maskawin
baik besar maupun kecil untuk pembahasan lebih lanjut seputar Khulu' ini,
akan dibahas dalam makalah khusus.'Iwad atau uang ganti dalam Khulu'
tidak mesti sama dengan jumlah mas kawin yangditerimanya. Ia boleh
membayar berapa saja selama hal itu layak dijadikan mas kawin. Dalam
prakteknya Khulu' ini terjadi seperti ini: Si wanita meminta suaminya agar
menceraikannya karenasi isteri merasa tidak kuat dengan kelakuan si
suaminya yang sering mabuk-mabuk dan tidakpernah shalat. Lalu si
suaminya setuju. Kedua suami isteri tersebut lalu pergi ke pengadilan, dan
didepan pengadilan si suami mengatakan: "Saya telah mengkhulu' kamu
dengan uang ganti sebesar500 ribu rupiah, misalnya". Setelah itu, si isteri
memberikan uang sebesar 500 ribu rupiah sebagai iwad dari khulu
bercerai.
Dalam peraturan perkawinan yang berlaku untuk ummat Islam di
Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam, khulu ini diistilahkan dengan
Cerai Gugat. Cerai gugat adalah perceraian atas permohonan si isteri
dengan syarat si isteri harus membayarkan ganti rugi ('iwad) baik dengan
mengembalikan mas kawin yang pernah diterimanya dahulu maupun
berapa saja jumlahnya menurut kesepakatan dengan suaminya. Sedangkan
perceraian atas keinginan si suami disebut dengan Cerai Talak.
Apabila, si isteri meminta khulu kepada suaminya, baik si isteri
tersebut telah disetubuhi maupun belum, maka si suami tidak
berkewajiban membayar mas kawin. Sisa mas kawin yang belum
dibayarnya dapat dijadikan iwad khulu oleh si isteri sehingga dengan
demikian hutang sisa maskawin si laki-laki tersebut menjadi lunas, gugur
dan jatuh. Apabila mahar dari si suaminya sudah dibayar penuh, lalu si
isteri berkehendak untuk khulu, maka sebaiknya ia mengembalikan mas
kawin suaminya itu. Apabila si isteri tidak mempunyai cukup uang untuk
mengembalikan maskawin yang dahulu diterimanya, maka ia boleh
dengan jumlah yang lebih kecil, selama ada kerelaan dan keridhaan antara
kedua belah pihak.
3. Ibra' (tanazul) dari semua mahar baik sebelum dukhul maupun
setelah dukhul.
istilah, Ibra' mempunyai beberapa bentuk dan istilah. Di antaranya, Ibra' terjadi apabila seorang bapak berkata kepadasuami anak perempuannya: "Talaklah anak saya dan kamubebas dari mahar kamu yang belumkamu bayar", lalu si suami mentalaknya, maka ia bebas (bari') dari mas kawin tersebut. Praktek seperti ini disebut dengan Ibra'. Oleh karena itu, apabila seorang isteri atau walinya meminta sisuami untuk mentalaknya atau mengkhulu'nya dengan catatan apabila ia melakukannya makamaharnya akan gugur dan tidak mesti dibayar, lalu si suami tersebut melakukannya (menceraikannya), baik ia telah mendukhulnya maupun belum, maka mahar si suami jatuh dan tidak mesti dibayar.
4. Si isteri menghibahkan atau membebaskan si suami dari pembayaran
mahar.
Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dengan mahar dibayar setengahnya dan setengahnya lagi di bayar setelah menikah, atau maharnya belum dibayar samasekali (hutang), lalu setelah menikah si isteri menghadiahkan atau menghibahkan atau membebaskan maskawin tersebut karena, misalnya, merasa kasihan kepada suaminya, dan si suaminya menerima pembebasan mahar tersebut, maka kewajiban mahar bagi si suami menjadi gugur. Si suami tidak harus membayar mahar. Dengan catatan si isteri menghibahkannya itu dalam keadaan normal, sehat, dewasa, tidak dipaksa dan betul-betul berdasarkan keinginannya sendiri.
F. Hikmah Mahar
Salah satu usaha islam ialah memperhatikan dan menghargai
hak menerima hak mahar mengurusnya. Suami wajib memberi mahar kepada
istrinya bukan kepada ayahnya
Pensyari‟atan mahar dalam perkawinan mengandung arti yang sangat
mendalam, antara lain: sebagai penghormatan terhadap yang dicintai,
mengikat jalinan kasih sayang kepada istri serta mempererat hubungan antara
keduannya, bukan pula dianggap pemberian atau ganti rugi. Pemberian mahar
merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri berhati senang dan
ridha menerima kekuasaan suami tehadap dirinya.
Pemberian mahar itu kepada istri bukanlah harga dari wanita itu, dan
bukan pula sebagai pembelian wanita itu dari orang tuannya, akan tetapi
pensyari‟atan mahar tersebut merupakan salah satu syarat yang dapat
menghalalkan hubungan suami istri antara keduanya, yaitu hubungan timbal
balik dengan senang hati dan penuh kasih sayang dengan melakukan status
kepimpinan dalam rumah tangga secara tepat lagi ialah bertanggung jawab.
Dengan adanya kewajiban memberi mahar kepada istri terentanglah
tanggng jawab yang besar dari suami untuk memberikan mahar di dalam
kehidupan rumah tangga secara layak.
Adapun hikmah mahar menurut penulis adalah sebagai berikut:
1. Sebagai suatu motivasi dan tanggung jawab moral bagi setiap laki-laki
yang ingin melangsung perkawinan.
2. Sebagai suatu kebebasan dari larangan hukum yang mutlaq kepada yang
membenarkan di dalam perkawinan.
istri, sehingga terwujud rasa kebersamaan dengan pengertian yang sangat
luas.
4. Terjalinnya hubungan kasih sayang yang pantas dikenang oleh kedua
belah pihak (suami-istri)
5. Sebagai penetapan status dan martabat wanita yang sudah dijunjung
tinggi.
Demikianlah hikmah disyariatkannya mahar sehingga wanita tidak
dizalimi serta mendorong terciptanya keluarga-keluarga Islami dengan
BAB III
HADIS-HADIS MENGENAI MAHAR
A. Teks Hadis dan Terjemahannya
Dalam bab ini hadis-hadis mengenai mahar akan dibahas. Seluruh hadis
dari kitab-kitab asli yang memeuat hadis-hadis sahih, seperti al-jami‟ al-sahih
al-Bukhari, al-jami‟ al-sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa‟I Sunan
Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad dan lain- lain. Di antara hadis-hadis
tersebut adalah:
Artinya:
Dari Ibnu „Abbas, dia berkata: Ketika „Ali ra menikah dengan Fatimah ra putri dari Rasulallah SAW, beliau berkata kepada „Ali ra, “Berilah sesuatu (sebagai
mahar) kepadanya.” Dia menjawab, “saya tidak punya apa-apa. “ Beliau
bertanya. “Mana baju besi hutamiyahmu? “ Dia menjawab, “Dia ada padaku.
Beliau bersabda, “Berikanlah dia padanya.”
38(HR. Nasa‟i )
Lihat, Abu Abdullah al-Rahman Ibn Syu‟aib al-Nasa‟I, Sunan
Artinya:
Dari Abu Salamah Ibn „Abdur Rahman ra sesungguhnya dia berkata: “Saya
bertanya kepada „Aisyah istri Nabi SAW: Berapa banyak maskawin yang diberikan Rasulallah SAW? „Aisyah menjawab: Maskawin yang beliau
berikan kepada istri-istrinya ialah dua belas setengah uqiyah”. Ketika dianya
oleh „Aisyah berapa itu kira-kira, aku menjawab lima ratus dirham. Inilah maskawin yang diberikan oleh Rasulallah SAW kepada istri-istrinya”.
Artinya:
Dari Sabit dari anas ra berkata: Ketika Abu Talhah melamar Ummu Sulaim,
maka jawab Ummu Sulaim: “Demi Allah, wahai Abu Talhah tidaklah pantas
jika lamarmu ditolak, akan tetapi kamu seorang kafir sedangkan aku wanita muslim, maka tidak dihalalkan bagiku menikah denganmu, tetapi jika kamu bersedia masuk Islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak meminta yang
lain darimu.” Oleh sebab itu Abu Talhah masuk Islam dan Islamnya itulah
sebagai maskawinnya untuk Ummu Sulaim. Kata Sabit: Sama sekali aku benlum pernah mendengar wanita yang maskawinnya lebih mulia dari pada maskawin Ummu Sulaim, yaitu masuk Islam. Maka Talhah menikah dengannya dan ia sempat memberi anak baginya.
39
(HR. Muslim), Abu Husain Muslim Ibn Hajjaj al-Qusyairi, Al-Jami‟ al-Sahih
Muslim Kitab an-Nikah, هج ت ب ل ةﺃ لا هج لﺇ لا ب, (Beirut: Dar al- Fikr,
1993), Cet. Ke-I, Juz V, h. 229. Juga terdapat di Sunan Abu Daud, Kitab an-Nikah, ا لا ب, Juz III, hadis no. 2105, h. 199, dan Sunan Ibnu Majah, Kitab an-Nikah, ء لا ا س ب, Juz I, hadis no. 1886, h. 592
40(HR. Nasa‟i),
Artinya:
Dari „Urwah dari Ummu Habibah, sesungguhnya Rasulallah SAW telah mengawininya sedang ia berada di Habasyah yang dinikahkan oleh Najasyi (Raja Habasyah), dan ia memberi mahar empat ribu dirham serta memberi perbekalan dari dirinya, ia mengirimnya bersama Syurahbil Ibn Hasanah dan Rasulullah SAW tidak mengirim apapun kepadanya, sedang mahar untuk istri-istrinya (yang lain) adalah empat ratus dirham
Artinya:
Dari „Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda SAW bersabda: “Sesungguhnya
perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah
mahar-nya”
41(HR. Nasa‟i)
, Lihat, Ibid., h. 118. Juga terdapat pada Musnad Imam Ahmad Ibn
Hanbal, Kitab an-Nikah, Jilid VI, h. 467, dan Sunan Abu Daud, kitab an-Nikah, ,
Jilid II, hadis no. 2107, 2108, h. 200
42
Artinya:
Dari Abi „Ajfa ia berkata: Aku pernah mendengar „Umar Berkata: Janganlah
kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada wanita, karena wanita apabila ia seorang yang mulia di dunia atau orang yang terpelihara di akhirat, maka orang yang paling utama (dalam menghormati wanita) di antara kamu adalah Rasulallah SAW. Padahal berapakah Rasulallah SAW memberikan mahar kepada istri-istrinya, tidaklah seorangpun istrinya yang memberi mahar lebih dari 12 uqiyah
43(HR. Nasa‟i),
Lihat, Ibid., 117/118. Juga terdapat pada Sunan Ibnu Majah, Kitab
Artinya:
Dari Sahl Sa‟ad as-Sa‟idi, dia berkata Seorang perempuan suatu hari datang
kepada Rasulallah SAW dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Anda.” Sejenak Rasulallah SAW memperhatikan
perempuan itu dengan teliti. Kemudian Beliau mengangguk-nganggukan keplanya. Lama sekali Rasulallah SAW tidak memutuskan apa-apa terhadapnya, perempuan itu lalu duduk. Sesaat kemudian datang salah seorang
sahabat beliau dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, seandainya Anda tidak berkenan padanya, kawinkan saja aku padanya.” Rasulallah SAW bertanya “Apakah kamu punya sesuatu?” Sahabat itu menjawab:”Tidak ya Rasulallah SAW.” Beliau bersabda: Kalau begitu pulanglah kamu kepada keluargamu.
Lihat apakah kamu nanti akan bisa menemukan sesuatu. Maka pulanglah sahabat itu, kemudian kembali lagi dan berkata: “Tidak, aku tidak menemukan apa-apa.” Raulallah SAW masih mensaknya: “Kamu pulanglah lagi kepada
keluargamu, carilah sesuatu walaupun itu hanya berupa cincin dari besi.” Untuk kedua kalinya sahabat itu pulang, lalu kembali lagi lalu bekata:” Tidak
ya Rasulallah SAW, aku tidak menemukan sesuatu pun sekalipun itu hanya cincin dari besi. Cuma aku punya kain sarung ini. Aku akan berikan
seprohnya.” Rasulallah SAW bertanya: Lantas apa yang bisa kamu lakukan
terhadap kain sarungmu ini? Jika kamu memakainya, maka wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa. Demikaianlah juga bila ia dipakai olehnya, maka kamu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sejenak sahabat itu hanya duduk cukup lama sekali. Setelah itu dia bangkit berdiri. Tiba-tiba saja pandangan matanya tertunduk pada Rasulallah SAW yang memandang sedang memperhatikannya. Dia lalu pergi. Namun sasaat kemudian Rasulallah SAW bertanya: Apakah kamu tahu tentang al-Qur‟an ? Sahabat itu menjawab: Ya. Ada beberapa surat. Rasulallah SAW bertanya: Kamu dapat membacanya di luar kepala? Sahabat itu menjawab: Ya Rasulallah SAW bersabda: Jika begitu pergilah. Wanita itu menjadi istrinya dengan maskawin hapalan al-Qur‟an yang kamu punyai.
B. Asbabul Wurud
Dalam kitab Al-Bayan-Ta‟rif Fi Asbabul Wurud al-Hadis asy-Syarif,
mengatakan bahwa sebab turunnya hadis tersebut, sebagaimana yang
44
(HR. Bukhari), Lihat, Abu „Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhari, Al-Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah,. ج :..ص لا ل ل . ل لا ب
آ لا م م ب
. , (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Cet. ke-I, jilid III, H. 164. Juga terdapat pada
Sahih Muslim, Kitab an-Nikah, هج ت ب ل ةﺃ لا هج لﺇ لا ب, Juz V, hadis no.
tercantum dalam bab sebelumnya adalah mengenai kisah tentang mahar, yang
hadisnya berbunyi:
“Maskawin yang lebih baik ialah yang paling mudah”
Periwayat:
Al-Baihaqi dari „Uqbah Ibn „Amr, menurut al-Hakim hadis ini sahih
memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim diakui oleh adz-Zahabi.
Diriwayatkan dari „Uqbah, bahwa Rasulallah SAW telah bertanya
kepada seorang laki-laki, “apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya: Ya,
kemudian Rasulallah SAW bertanya kepada si wanita: apa kau suka? Ya,
Akhirnya menikahlah mereka tanpa mahar, Lalu orang tersebut ikut serta
dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya
antara wanita yang di kawininya mengambil anak panahnya sebagi pemberian
(mahar). Lalu wanita tersebut mengambilnya dan menjualnya seharga seratus
dirham, kemudian Rasulallah SAW bersabda: Maskawin yang lebih baik ialah
yang paling mudah, sedangkan maskawin paling sedikit dapat memberikan
kesaksian dan diharapkan berkahnya, oleh sebab itu „Umar Ibn Khatab telah
melarang maskawin yang berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulallah SAW dan
juga putri-putrinya menikah dengan maskawin yang tidak lebih dari 12
uqiyah.45
C. Bentuk Mahar
Pada umumnya mahar dalam bentuk uang atau barang berharga
45
lainnya, namun Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan
sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Qur‟an dan
demikian hadis Nabi SAW.46
Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan al-Qur‟an
sebagai mahar sebagaiman terdapat dalam hadis dari Sahl bin Sa‟adi‟ dalam
bentuk munttafaq „alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:
Artinya:
Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur‟an?” ia
menjawab: “ya. Surat ini, sambil menghitungnya?”. Nabi berkata: “Kamu hafal
surat-surat itu di luar kepala? “dia menjawab: “ya”. Nabi berkata: “pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan
al-Qur‟an
Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu
masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiya tersebut.
Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Hal ini terdapat dalam hadis
dari Anas ra. Yang muttafaq‟ alaih ucapan Anas:
Artinya:
Qutaibah bin Said dari Hamad dari Sabiq dan Syu‟eb Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah memerdekakan Sofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya)
46
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 100
47
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Sahih Muslim, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2003), Cet. Ke-I h. 572
48