• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

PERAN KSPPM DALAM MEMBANGUN PRAKARSA

MASYARAKAT DI TAPANULI UTARA (1985 – 1994)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : ROGANDA P. SIMANJUNTAK NIM : 040706010

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

PERAN KSPPM DALAM MEMBANGUN PRAKARSA

MASYARAKAT DI TAPANULI UTARA (1985 – 1994)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : ROGANDA P. SIMANJUNTAK NIM : 040706010

Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan NIP 195811041986011002

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERAN KSPPM DALAM MEMBANGUN PRAKARSA

MASYARAKAT DI TAPANULI UTARA (1985 – 1994)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : ROGANDA P. SIMANJUNTAK NIM : 040706010

Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan NIP 195811041986011002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk

melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERAN KSPPM DALAM MEMBANGUN PRAKARSA

MASYARAKAT DI TAPANULI UTARA (1985 – 1994)

Yang diajukan oleh: Nama: Roganda P. Simanjuntak

NIM: 040706010

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan tanggal…….

NIP 195811041986011002

Ketua Departemen Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap, S.U tanggal………. NIP 195406031983032001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(5)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap, S.U

NIP 195406031983032001

(6)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU

Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A Ph.D

NIP 196509091994031004

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1 ... ( )

2 ... ( )

3 ... ( )

4 ... ( )

(7)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

ABSTRAK

Kebijakan pembangunan Orde Baru yang bersifat top-down, menjadi

penyebab hilangnya prakarsa masyarakat. Pada tahun 1980-an, Tapanuli

dikonotasikan sebagai wilayah miskin atau populer ketika itu dengan istilah “Peta

Kemiskinan”. Kemudian atas kolaborasi pemerintah dan pengusaha, investasi datang

dalam bentuk pembangunan industri. Pembangunan industri ini dapat dipercaya

mampu mengentaskan kemiskinan di Tapanuli. Maka, tahun 1975 dibangunlah

Proyek PLTA Asahan (Inalum). Berikutnya, seperti diketahui juga tidak begitu sulit

bagi pemerintah melanjutkan proyek pembangunan pabrik pulp dan rayon PT. Inti

Indorayon Utama pada tahun 1986.

Dalam proses pembangunan industri raksasa tersebut, khususnya dampak

pembangunan proyek Asahan, petani menjadi ‘tumbal’ pembangunan. Lahan

pertanian yang semula dapat menjadi tumpuan hidup, berubah menjadi malapetaka.

Atas dasar itu, sekelompok warga gereja, akademisi, mahasiswa, yang prihatin

terhadap ketidakadilan, kemiskinan, dan kasus-kasus hukum yang terjadi akibat

kebijakan-kebijakan pemerintah mendirikan Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa

Masyarakat (KSPPM), tepatnya pada 23 Februari 1985. Sejak saat itu program

KSPPM bersifat menyeluruh dan menyatu dengan strategi pendampingan

pengorganisasian masyarakat. Transformasi sosial dan penguatan masyarakat

dilaksanakan melalui program-program seperti program dibidang penyadaran dan

bantuan hukum, pertanian, pengembangan ekonomi masyarakat, perempuan,

infrastruktur.

Oleh karena keberpihakan KSPPM itulah yang menyebabkan KSPPM pada

tahun 1990, dilarang kegiatannya oleh Dandim Tapanuli Utara. Hal ini pun

berdampak terhadap pengorganisasian masyarakat yang dilakukan di Taput. Mulai

dari pembubaran kegiatan-kegiatan yang dilakukan di desa-desa hingga intimidasi

yang dilakukan militer kepada petani dampingan dan staf KSPPM. Peran KSPPM

dalam pengorganisasian masyarakat menuju pengembangan prakarsa masyarakat

(8)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam proses pengenalan diri, rangkaian demi rangkaian perjalan hidup harus

benar-benar dirasakan dan dimaknai. Akapah itu pahit manisnya kehidupan, suka dan

duka, dan sebagainya. Untuk itu semua aktifitas dalam kehidupan harus terekam

dengan benar dan dibutuhkan refleksi diri secara terus-menerus. Selain berfungsi

untuk bahan acuan untuk kehidupan yang sekarang dan yang akan datang, juga dapat

membantu diri sendiri untuk menemukan nilai-nilai kehidupan yang bisa digunakan

untuk memberikan pengaruh dalam melawan struktur kehidupan yang menindas.

Penulis, selama menjalani studi di Universitas Sumatera Utara cukup banyak

menjalani rangkaian perjalanan hidup dan merekamnya. Ketika studi yang di dapat

dari kampus seolah-olah ingin mengarahkan menutup mata dengan kenyataan yang

ada di masyarakat, hal itu dapat penulis cegah. Melalui persentuhan dan merasakan

langsung bagaimana struktur masyarakat yang menindas buruh, tani, dan kaum miskin

kota yang terpinggirkan, memberikan refleksi yang cukup berarti bagi penulis. Untuk

itulah penulis segera menyelesaikan skripsi ini, dengan tujuan agar kembali ke

tengah-tengah masyarakat yang terpinggirkan di negeri ini dan berjuang bersamanya

serta dengan mereka yang memiliki visi yang sama dengan penulis.

Oleh Karena itu, dalam proses penyelesaian studi khususnya proses

penyelesaian skripsi ini cukup banyak pihak yang membantu penulis dalam

mengerjakan skripsi ini. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Ayahanda Robert Simanjuntak dan Ibunda tersayang Tiromlah Hutauruk yang

telah mendidik dan membimbing saya dengan ketulusan hati yang dalam,

memberikan motivasi kepada saya untuk menggapai segala angan dan

(9)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

2. Abang dan adik-adik saya yang terkasih: Bang Darwin, Rido, Rihol, Radius,

Roni Boy atas segala dukungannya.

3. Prof. Syaifuddin, M.A. Phd selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

4. Dra. Fitriaty Harahap S.U, dan Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Ketua dan

Sekretaris Departemen Sejarah.

5. Drs. Suprayitno M.Hum selaku dosen wali penulis.

6. Drs. Samsul Tarigan selaku dosen pembimbing, yang telah memberi saran dan

membimbing penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Bapak dan ibu dosen di Departemen Sejarah yang telah mendidik penulis

selama mahasiswa.

8. Rekan-rekan juang KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). Di komunitas

inilah yang membantu penulis mendapatkan kegelisan tentang realita struktur

masyarakat yang menindas. Melalui diskusi kritis dan persentuhan langsung

dengan kaum yang terpinggirkan karena telah dipersatukan dalam roh

perjuangan. Tetaplah setia dengan nilai-nilai perjuangan yang telah kita

bangun bersama.

9. Kepada KSPPM dan Dimpos Manalu sebagai Direktur Program beserta

rekan-rekan staf yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas

kerjasamanya melalui diskusi-diskusi dan membantu penulis bersentuhan

langsung dengan petani-petani kritis yang memiliki semangat juang. Teruslah

berjuang rekan-rekan.

10.Rekan-rekan petani dampingan KSPPM yang memiliki semangat juang.

Teruslah berjuang dalam merebut hak-hak yang dirampas oleh pengusaha dan

(10)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

11.UKM KMK USU yang telah membina spiritual penulis, untuk semakin

mengenaliNya.

12.Kelompok Kecil Rajawali (Era, Jhon, Tongam, Randi) yang telah memberikan

arti persekutuan dan perjuangan.

13.Adik-adik di Kelompok Kecil Sereniti ( Disa, Juli, Mellita, Inta) yang telah

memberikan semangat untuk tetap setia kepadaNya. Tetaplah setia.

14.Rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Pro demokrasi .

(11)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

UcapanTerimakasih ... ii

Daftar Isi ... V BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah ...1

1.2 Rumusan masalah ...5

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian ...5

1.4 Tinjauan pustaka ...6

1.5 Metode penelitian ...7

BAB II GAMBARAN UMUM PENELITIAN 2.1 Letak Geografis ...8

2.2 Keadaan Masyarakat ...8

2.3 Latar Belakang Historis ...11

2.4 Sistem Kepemimpinan Masyarakat ...14

2.5 Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak Toba...16

BAB III LATAR BELAKANG BERDIRINYA KSPPM 3.1 Kondisi Umum Kebijakan Pembangunan Ekonomi Politik Nasional ...20

3.2 Munculnya Organisasi Non Pemerintah Nasional dan Lokal ...25

3.3 Tapanuli Sebagai Peta Kemiskinan...29

3.4 Ketidakpedulian Gereja Terhadap Persoalan Rakyat ...33

3.5 Dari KSPH Menjadi KSPPM ...37

3.6 Strategi Pendampingan ...41

BAB IV TANTANGAN KSPPM DALAM PEMBERDAYAAN RAKYAT 4.1 Pelarangan Kegiatan KSPPM ...46

4.2 Dampak Konflik HKBP ...51

BAB V KONTRIBUSI KSPPM TERHADAP MASYARAKAT DI TAPANULI 5.1 Penyadaran Hukum dan Bantuan Hukum ...56

(12)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

5.3 Pembangunan Infrastruktur ...63

5.4 Bidang Perempuan ...65

5.5 Pemberdayaan Ekonomi ...69

5.6 Pengorganisasian Masyarakat Terhadap Korban Pembangunan PT. Inti

Indorayon Utama ...70

BAB VI KESIMPULAN ...89

(13)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di masa Orde baru politik pembangunan adalah suatu reaksi total atas

pembangunan orde lama yang oleh Soekarno dilaksanakan atas prinsip “politics is the

king”. Soeharto ingin membalikkan kegagalan ekonomi Orla menjadi suatu sukses

pembangunan yang hebat dengan mengintrodusir prinsip “economi is the king”. 1

Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru juga

telah menggeser prioritas alokasi faktor produksi dari masyarakat kalangan bawah

yang dianggap kurang produktif, karena kurang bisa memproduksi nilai tambah yang

besar dari aset mereka, kekalangan atas yang disebut sebagai kelompok wiraswasta

pengusaha yang bisa menciptakan nilai tambah yang lebih besar dari aset yang sama.

Juga dalam mengubah ekonomi yang didasarkan pada industri, para petani dipaksa

untuk mengorbankan tanahnya untuk dijadikan kawasan industri.2

Sepanjang tahun 70-an pengusaha-pengusaha pribumi belumlah dalam kondisi

siap untuk menjawab tantangan industrialisasi terutama disebabkan kurangnya modal

yang nereka miliki. Oleh karena itu pemerintah mengincar investor luar negeri untuk

menanamkan modal mereka di Indonesia. Dengan segala fasilitas dan kemudahan

yang diberikan pemerintah kepada para investor ditambah jaminan kemanan yang

kuat dari pihak militer maka dalam kurun waktu tersebut dapat dikatakan Indonesia

merupakan surga bagi investor asing dan para pemilik modal lainnya. Kemudian

1

(14)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

dekade tahun 80-an ternyata tidak hanya dimanfaatkan oleh investor asing sebab

ternyata pemerintah pun berusaha memberikan kesempatan untuk berkembangnya

investor dalam negeri. Periode ini adalah juga masa pembentukan kroni-kroni

penguasa yang mendukung pengusaha dalam negeri khususnya etnis Tionghoa untuk

membangun kerajaan bisnis.

Selepas era kolonialisme, gerak pertumbuhan organisasi non pemerintah

semakin nyata. Perkembangan LSM yang pesat sebagai gerakan sosial terorganisir

atau disebut juga sebagai masyarakat sipil terorganisir3 di Indonesia sejak tahun 1970

sangatlah mengesankan jika ditinjau dari segi jumlah, keragaman serta letak

geografisnya. Beberapa faktor tampaknya menyumbang kepada kecenderungan ini.

Hal itu mencakup, di antara lainnya, kegagalan kebijakan pemerintah yang dirasakan

untuk memperkembangkan pembangunan secara efektif atau menaikkan standar hidup

kaum miskin.4

Namun dalam waktu kurang dari tiga dasawarsa, terjadi peningkatan jumlah

LSM yang tersebar tidak saja di kota-kota besar di Jawa, melainkan meluas di

pelbagai daerah terpencil sampai di kawasan yang tidak mudah dijangkau, hampir di

seluruh Indonesia. Jika melihat bidang ataupun masalah-masalah yang menjadi Jika di akhir tahun 1960an dan awal 1970an hanya ada sedikit sekali gerakan

sosial dan kelompok nonpemerintah yang secara aktif memiliki kepedulian dan

kemampuan untuk menangani masalah-masalah pembangunan, kini keadaan tersebut

sudah jauh berubah. Pada periode inilah dikenal sebagai kemunculan

organisasi-organisasi modern.

2

Mustain, Petani vz Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm.16

3

M. Hidayat Rahz, Menuju Masyarakat Terbuka, Yogyakarta: Insist Press Desember 1999, hlm.14-16

4

(15)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

kepedulian, atau masalah-masalah yang ditangani LSM pada tahun 1970an, juga telah

terjadi peningkatan yang luar biasa. Jika hanya memusatkan perhatian kepada

kebutuhan praktis dan pengembangan kelompok usaha bersama, kemudian masalah

yang ditangani LSM di tahun 1980an semakin luas mulai dari masalah lingkungan

dan perlindungan hutan hujan, masalah hak azasi manusia dan masalah yang berkaitan

dengan penindasan lainnya, masalah gender, masalah hak budaya dan hak

pengetahuan masyarakat adat, masalah eksploitasi buruh dan hak-hak berserikat bagi

kaum buruh serta banyak masalah lainnya yang tidak muncul di tahun 1970an5

Kebijakan pembangunan yang gencar-gencarnya dilaksanakan di daerah

Tapanuli sebagai akibat dari predikat yang disandang daerah ini sebagai “peta

kemiskinan”. Bagi pemerintah pada saat itu kemiskinan mesti dijawab dengan

modernisasi atau industrialisasi padat modal dan teknologi.. Hal ini terbukti dengan .

Sejumlah aktivis LSM bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi

politik untuk perubahan kebijakan yang dalam banyak manifestasinya dilakukan

dengan membuat pelbagai macam statement politik, petisi, lobbi, protes dan

demonstrasi.

Hal tersebut juga dilakukan oleh Kelompok Studi Penyadaran Hukum (

KSPH) di tahun 1980an. Dimana kelompok ini didirikan pada tahun 1983 atas

prakarsa sekelompok aktifis gereja (Pendeta), mahasiswa, akademisi, petani yang

prihatin terhadap ketidakadilan, kemiskinan, dan kasus-kasus hukum yang terjadi di

Tapanuli. Mereka melihat bahwa lembaga-lembaga agama seperti gereja tidak

berperan dalam menyikapi persoalan warga akibat dampak dari pembangunan

industri. Justru gereja-gereja terlarut dalam pelayanan di altar dan pembangunan yang

bersifat charity.

5

(16)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

pembangunan proyek Asahan (PT Inalum) pada tahun 1975 yang bekerjasama dengan

Jepang. Kemudian diikuti dengan berdirinya PT Inti Indorayon Utama pada tahun

1986 di Kecamatan Porsea. Tetapi tujuan yang awalnya untuk mengurangi angka

kemiskinan, berubah menjadi musibah kepada masyarakat sekitar proyek

pembangunan. Mulai dari perampasan tanah warga dengan manipulasi hukum adat,

pencemaran lingkungan dengan pembuangan limbah cair ke aliran sungai Asahan dan

gas beracun di udara sehingga berakibat langsung dengan kerusakan tanaman dan

peternakan warga sekitar yang bermata pencaharian petani.6

Hal inilah yang mendorong penulis untuk mencoba menguraikan perjalanan

KSPPM dari awal berdirinya (1985) sehingga pada tahun 1994 dimana pada tahun ini

KSPPM mendampingi masyarakat yang menjadi korban akibat pencemaran

lingkungan oleh PT. IIU. Meskipun demikian, penulis tetap bersikap kritis dalam

melakukan penelitian agar hasilnya objektif.

Oleh sebab itu yang dirasakan masyarakat adalah ketidakadilan dan proses

pemiskinan akibat dari pembangunan tersebut. Pada saat itu kegiatan Kelompok

Studi Penyadaran Hukum (KSPH) lebih difokuskan pada penyadaran hukum kepada

masyarakat (petani). Tetapi seiring berjalannya waktu semakin disadari bahwa

kemiskinan petani tidak hanya disebabkan kurangnya kesadaran hukum, melainkan

juga karena kurangnya pengetahuan tentang pertanian dan kurangnya sarana dan

fasilitas yang tersedia untuk menunjuang pertanian ke desa-desa. Dengan alasan

tersebut maka KSPH mengembangkan kelembagaan menjadi Kelompok Studi

Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) pada tahun 1985. Mulai saat itu

diputuskan untuk mendampingi masyarakat pada advokasi kasus-kasus hukum dan

pendampingan korban serta pengembangan pertanian rakyat.

(17)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji beberapa permasalahan yang penting

dari keberadaan KSPPM di Tapanuli dari tahun 1985-1994. Adapun permasalahan

yang dikaji yaitu:

1. Apa latar belakang KSPPM berdiri di Tapanuli Utara.

2. Tantangan yang dihadapi KSPPM dalam pengorganisasian masyarakat di

Tapanuli Utara.

3. Sejauh mana kontribusi KSPPM terhadap masyarakat di Tapanuli Utara.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pembatasan periode 1985-1994

dikarenakan pada 1985 KSPPM didirikan. Tentunya banyak hal yang melatar

belakangi proses pendirian tersebut khususnya kebijakan pembangunan pada masa

orde baru.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

3.1 Tujuan

1. Menjelaskan latar belakang berdirinya KSPPM di Tapanuli Utara

2. Mengetahui tantangan dalam pendampingan terhadap masyarakat

3. Menjelaskan kontribusi yang diberikan KSPPM kepada masyarakat di

Tapanuli Utara

3.2 Manfaat

6

(18)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

1. Diharapkan tulisan ini dapat membantu pembaca untuk mengenal dan

mengetahui peran pendampingan KSPPM di Tapanuli Utara.

2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah yang berkaitan dengan gerakan

pendampingan terhadap masyarakat.

4. Tinjauan Pustaka

Dalam pemilihan topik, penulis menggunakan kedekatan emosional seperti

yang dikatakan oleh Kuntowijoyo. Namun penulis tidak melepaskan begitu saja

referensi untuk melakukan penelitian. Secara umum, buku-buku tentang organisasi

non pemerintahan (gerakan masyarakat sipil) ditulis secara nasional.

Untuk menutupi kekurangan ini, penulis menggunakan referensi yang

berkaitan dengan topik penulisan. Buku pertama yang penulis gunakan yaitu

“Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial” karya Mansour Fakih. Hubungan

dengan judul penelitian penulis adalah di dalam buku ini diterangkan gambaran

mengenai proses transformasi sosial yang dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil

dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia. Baik dalam bentuk,

tujuan, metode, orientasi gerakan dijelaskan dalam buku ini. Atas dasar tersebut, maka

penulis menjadikan buku ini sebagai bahan pemikiran dan sebagai gambaran singkat

gerakan KSPPM di Tapanuli.

Buku kedua yaitu “ Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan” yang

merupakan kumpulan tulisan aktifis gerakan masyarakat sipil. Buku ini menceritakan

tentang sejarah LSM di Indonesia, pandangan atau aspirasi, serta program yang

dilaksanakan LSM mulai dari awal munculnya LSM di Indonesia.

Di dalam buku yang ketiga yang berjudul “Membangun Prakarsa Gerakan

(19)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

juga terdapat catatan-catatan pengalaman KSPPM sebagai salah satu LSM tertua di

Sumatera Utara. Di sini juga dikupas berbagai isu lokal Sumatera Utara yang

terabaikan selama ini, di samping berbagai isu berkaitan dengan gerakan-gerakan

sosial kemasyarakatan di berbagai sektor seperi gerakan petani, gerakan lingkungan,

gerakan masyarakat adat. Tulisan ini membantu dalam topik tulisan yang dikaji

penulis, terutama dalam hal awal berdirinya KSPPM.

5. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan lima tahapan 4 yaitu:

pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.7

Selanjutnya tahap verifikasi atau kritik sumber yaitu yang terdiri dari kritik

internal (kredibilitas) dan kritik eksternal (autensitas dan original) dan interpretasi

akan penulis lakukan jika data yang diinginkan telah memadai. Setela dilakukan kritik

maka langkah selanjutnya yang dilakukan penulis adalah menginterpretasi

berdasarkan data-data yang telah diperoleh kemudian menghasilkan suatu kesimpulan

dari objek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk mengindari subjektifias. Langkah Pada tahap

pengumpulan sumber (heuristik), penulis melakukan studi pustaka dengan

mempergunakan buku yang berubungan dengan topik penulisan. Selain

buku-buku, penulis juga berusaha melengkapinya dengan dokumen baik berupa arsip

maupun klipping koran.

Untuk kekurangan, penulis akan lengkapi pada saat penelitian di lapangan. Di

mana dilakukan metode wawancara untuk melengkapi data yang telah diteliti.

Wawancara juga sangat memungkinkan mengingat periodesasi penelitian belum

terlalu jauh.

7

(20)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

terakhir yang dilakukan penulis adalah historiografi dimana penulis akan menjabarkan

asil penelitian sekaligus merangkainya dengan kronologis dan sistematis dalam

(21)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

BAB II

Gambaran Umum Penelitian 2.1Letak Geografis

Wilayah dataran tinggi Toba terdiri dari areal pertanian yang dihuni oleh

kelompok etnik Batak Toba. Tanah Batak yang dimaksud disini adalah daerah yang

didiami oleh masyarakat Batak di sekitar Danau toba atau dalam pengertian

administratifnya pada waktu pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Residensi

Tapanuli. Pada masa pemerintahan RI dewasa ini Keresidenan Tapanuli terbagi

menjadi beberapa kabupaten salah satu kabupaten tersebut ialah Kabupaten Tapanuli

Utara dengan ibukotanya Tarutung.

Adapun faktor geografis dalam penulisan sejarah adalah merupakan suatu hal

yang tidak boleh diabaikan. Sebab dengan melihat dan menganalisis daerah yang akan

diteliti, maka akan diperoleh berbagai aktifitas yang pernah terjadi di daerah itu serta

latar belakang historisnya. Kenyataan ini dikuatkan oleh Louis Gottschalk yang

menyatakan bahwa, cerita sejarah baru dianggap benar jika pengungkapan sejarah

disertai dengan menyebutkan daerah tempat kejadian sejarah itu.8

2.2Keadaan Masyarakat

Luas daerah Kabupaten Tapanuli Utara mencapai 13.877 km2 yang diperintah

oleh seorang Bupati. Di daerah dataran rendah penduduk mengusahakan tanaman

padi, sedangkan di daerah yang berbukit-bukit mereka mengusakan tanaman-tanaman

keras seperti kopi, cengkeh, kemenyan, dan sebagainya.

8

(22)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Etnik Batak Toba di dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat

mempunyai sistem adat istiadat yang disebut Dalihan Na Tolu. Fungsi adat Dalihan

Na Tolu ini sebagai sosial kontrol bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Etnik ini

dikenal sebagai etnik yang selalu menyelenggarakan berbagai upacara adat baik yang

mengenai hal-hal yang bersifat religius seperti penggalian tulang belulang para arwah

nenek moyang, perkawinan, pesta tugu, dan sebagainya. Pada saat upacara

berlangsung fungsi Dalihan Na Tolu mempunyai peranan yang sangat besar. Karena

adat Dalihan Na Tolu adalah dasar eksistensi sosiologis masyarakat Batak yang

terwujud berdasarkan keyakinan akan suatu totalitas dari berbagai unsur yang

berbeda. Pandangan ini didasarkan kepada keyakinan terhadap kosmos. Di dalam

Dalihan Na Tolu setiap marga mempunyai posisi masing-masing, tetapi kesemuanya

menunjuk kepada keharmonisan.9

1. Daerah yang paling rendah kedudukan wilayahnya disebut huta atau desa.

Huta ini biasanya dihuni oleh satu marga yaitu marga yang pertama sekali

membuka huta tersebut. Huta atau desa dipimpin oleh Raja Huta.

Masuknya pengaruh asing ke daerah Batak Toba memberi warna tersendiri

bagi kehiupan masyarakat etnik Batak Toba. hal ini ditandai dengan masuknya

pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh zending Jerman yaitu Rheinische Mission

Gessellchaft.

Masyarakat etnik Batak Toba, ikatan kekerabatannya menggunakan sistem

patrilineal. Masyarakatnya saling tolong-menolong di dalam suka dan duka sesuai

dengan ciri khas masyarakat Indonesia yaitu bersifat gotong-royong. Untuk mengatur

masyarakat di dalam suatu ruang lingkup tertentu yaitu daerah, maka daerah di Tanah

Batak secara traditional terbagi atas tiga wilayah yaitu:

9

(23)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

2. Horja, merupakan sebuah dewan atau gabungan dari beberapa desa yang

anggotanya terdiri dari raja-raja huta yang ketuanya disebut dengan raja doli.

Dewasa ini kedudukannya kira-kira dapat disamakan dengan wilayah

kecamatan yang membawahi beberapa buah huta. Pimpinan sebuah horja

diangkat berdasarkan pemilihan dari raja-raja huta.

3. Wilayah yang paling luas adalah bius yaitu merupakan gabungan dari tujuh

buah horja. Bius sebagai kumpulan horja, pengetuanya dinamakan raja

ihutan.

Semua pembagian yang telah dilakukan di atas pada dasarnya mengikut pada

hokum adat Dalihan Na Tolu. Setiap ketua baik horja, huta, dan bius tidak diberi

upah atau gaji atas jabatan yang disandangnya itu. Sebab jabatan yang mereka pegang

hanyalah jabatan formalitas saja. Bagi orang Batak setiap individu mempunyai

kebebasan dan kemerdekaan sendiri. Jadi, para ketua di wilayah masing-masing

menghidupi dirinya dari hasil pertanian yang dikelolanya. Oleh karena itu di tanah

Batak tidak akan pernah dijumpai susunan organisasi kekuasaan atau pemerintahan

sebagaimana terdapat dalam suatu kerajaan. Sama halnya dengan onan atau pekan

bukan sebagai pusat pemerintahan, melainkan hanya sebagai tempat pertemuan.

Keadaan ini sangat berlainan dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Indonesia

yang menempatkan pusat kota sebagai pusat pemerintahan.

Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia keadaan masyarakat mengalami

perubahan. Peraturan yang berlaku tidak lagi menurut hukum adat, melainkan

menurut undang-undang yang berlaku dalam pemerintahan Negara Republik

Indonesia. Hal ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia yaitu masyarakat

(24)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

2.3Latar Belakang Historis

Wilayah tanah Batak yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten

Tapanuli Utara dewasa ini sebelum bangsa Belanda dapat menguasainya pada tahun

1907 yang ditandai dengan wafatnya Si Singamangaraja XII merupakan daerah yang

aman dan tenteram. Si Singamangaraja sendiri selain dianggap sebagai raja ia juga

ditabalkan sebagai imam bagi etnik Batak Toba. Meskipun yang dimaksud dengan

gelar raja disini hanyalah sebagai gelar kehormatan. Jadi, bukan seperti gelar raja

yang terdapat di suatu kerajaan. Imam berarti suatu penghargaan yang begitu tinggi.

Penyandang gelar ini dianggap oleh masyarakat sebagai utusan Mula Jadi Na Bolon

(Dewa tertinggi di dalam kepercayaan orang Batak yang menganut parmalim). Imam

mempunyai tugas sebagai penyampai pesan dari dewa dan juga menjadi wakil

masyarakat yang ingin berhubungan dengan dewa mereka.

Pada tahun 1825 orang-orang yang berasal dari Minangkabau mengadakan

invasi ke daerah tanah Batak untuk mengislamkan mereka. Pengislaman ini dipimpin

oleh Tuanku Rao, sedangkan masyarakat etnik Batak yang berasal dari sana ikut

memimpin pengislaman adalah Si Pongki Nangolngolan keponakan Si

Singamangaraja. Pengislaman ini tidak berhasil secara keseluruhan, sebab pada waktu

itu di Sumatera Barat sedang berkobar pula perlawanan rakyat Minangkabau melawan

Belanda yang dikenal dengan nama Perang Paderi. Terjadinya invasi yang dilakukan

oleh orang-orang Minangkabau mengakibatkan kesengsaraan pada masyarakat Batak.

Efek yang ditimbulkan itu adalah timbulnya wabah penyakit akibat banyaknya korban

yang meninggal, kelaparan, dan menjadikan orang Batak selalu curiga terhadap para

(25)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Pada tahun 1834 tanah Batak didatangi pula oleh dua orang missionaris dari

Amerika yang bernama Munson dan Lyman. Tetapi oleh karena orang-orang Batak

Toba yang telah membenci setiap para pendatang, maka kedua pendeta ini dibunuh

oleh raja Panggalamei di Lobu Pining pada tanggal 28 Juli 1834.

Masuknya pengaruh Belanda di tanah Batak, ketika Si Singamangaraja XII

dapat dibunuh mereka. Maka sejak itu pula tanah Batak dikuasai oleh Belanda.

Bangsa Belanda dapat menguasai dan menaklukkan tanah Batak berkat kelihaian dan

kepintaran Van der Tuuk mempelajari adat istiadat Batak serta mempelajari bahasa

Batak yang kemudian menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak Toba. Berhasilnya

Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Toba, maka masyarakat dapat mengetahui

arti dan ajaran yang dikandung di dalam agama Kristen.

Masuknya pengaruh bangsa Belanda ini sebenarnya tidak semua rakyat

menyukainya. Hal ini terbukti dengan meletusnya pemberontakan Parhudamdam

pada tahun 1916-1918. tetapi semuanya dapat dipadamkan oleh bangsa Belanda

melalui taktik devide et impera serta persenjataan mereka yang lebih lengkap dari

peralatan senjata rakyat di Tanah Batak.

Masyarakat etnik Batak yang mendiami dataran tinggi Toba disebut dengan

orang Batak Toba. Sistem kekerabatan mereka mengenal hula-hula, anak boru, dan

dongan sabutuha yang tercakup di dalam Dalihan Na Tolu atau tiga tungku.

Hula-hula adalah ikatan kekerabatan dari pihak isteri. Anak boru, ikatan dari pihak saudara

perempuan suami, sedangkan dongan sabutuha adalah ikatan kekeluargaan dari piak

suami.

Masyarakat Batak Toba meskipun mereka menganut paham kemerdekaan,

tetapi di dalam kenyataannya mereka mengenal pula stratifikasi atau pelapisan sosial

(26)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

1. Raja, yaitu orang-orang yang diangkat oleh masyarakat sebagai ketua di huta.

2. Masyarakat petani.

3. Budak, yaitu orang-orang yang kalah dalam peperangan antar huta.

Terdapat keunikan dalam masyarakat Batak, bahwa keduukan seseorang lebih

tinggi di dalam Dalihan Na Tolu daripada kedudukannya sendiri berdasarkan

kedudukannya berdasarkan masyarakatnya. Maksudnya, jika seseorang bagaimanapun

rendahnya kedudukannya di dalam, masyarakat tetapi jika di dalam Dalihan Na Tolu

ia menyandang gelar sebagai hula-hula, maka raja sekalipun yang berkedudukan

sebagai anak boru pada suatu upacara adat maka mau tidak mau raja tersebut harus

menghormati budak itu. Sebab fungsi si budak ketika itu sebagai hula-hula.

Selain penggolongan masyarakat di atas dikenal pula beberapa penggolongan

berdasarkan perbedaan usia, perbedaan pangkat, dan perbedaan sifat keaslian.

Penggolongan itu dapat pula diartikan menjadi pembagian menurut orang tua,

setengah tua dan orang muda. Ketiga-tiganya kelihatan jelas jika berlangsung

upacara-upacara adat. Sebagai contoh orang tua dalam upacara merupakan pemberi

saran, setengah tua yang melaksanakan upacara, sedangkan bagi orang muda tidak

memegang peranan apa-apa.

Penggolongan masyarakat berdasarkan kepada perbedaan pangkat dapat

dilihat dengan adanya orang yang berpangkat tinggi misalnya kepala huta/desa dan

masyarakat biasa seperti petani dan pedagang. Masyarakat yang paling rendah adalah

golongan budak.

Masyarakat etnik Batak Toba di dalam menopang kehidupannya pada

umumnya berasal dari hasil pertanian yang mereka usahakan. Pengelolaannya

dilakukan dengan cara yang masih sederhana sekali dan bersifat tradisional dengan

(27)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

pemeliharaan ternak. Masyarakat etnik Batak Toba dinilai banyak harta jika ia

mempunyai tanah yang luas serta banyak memiliki ternak peliharaan. Untuk

memperoleh hasil tambahan bagi memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka juga

giat mencari getah damar di hutan-hutan dan menenun ulos atau kain dan membuat

alat-alat rumah tangga bagi keperluan hidup mereka.

2.4Sistem Kepemimpinan Masyarakat

Etnik Batak Toba yang mendiami daerah Tapanuli bagian utara merupakan

masyarakat yang homogen. Pada masyarakat Batak Toba ini tidak dikenal suatu

pemerintahan yang berkuasa mutlak. Setiap huta atau kampung mempunyai

kekuasaan sendiri dan hidup merdeka. Bius yang diangkat dari ketua horja hanyalah

dianggap sebagai pemimpin formalitas saja. Masyarakat yang mendiami satu huta di

dalam memutuskan suatu kebijakan baru terlebih dulu bermusyawarah dengan warga

huta. Fungsi kepala huta hanyalah memberikan pengarahan dan akhirnya

memutuskan segala sesuatu yang telah diputuskan bersama.

Dari gambaran di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa sistem

kemasyarakatan di daerah Tapanuli Utara menggunakan sistem masyarakat tradisional

dan untuk meneruskan garis keturunan mereka masih memakai sistem kebebasan atau

pada masa sekarang disebut dengan demokrasi.

Sistem kepemimpinan dalam masyarakat etnik Toba perlu diketahui agar dapat

dipahami bagaimana bentuk organisasi masyarakat yang ada di daerah itu dalam

usaha membentuk suatu masyarakat. Pengungkapan ini akan berguna untuk mencari

latar belakang pandangan hidup yang mendasari tingkah laku masyarakat etnik Batak

Toba. Di dalam masyarakat etnik Batak Toba ada dikenal stratifikasi masyarakat atau

pelapisan sosial masyarakat. Pelapisan sosial pada masyarakat etnik Toba yang ada di

(28)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

bentuk kerajaan. Kelas paling rendah pada masyarakat etnik Toba ialah kelas hatoban

atau budak. Penyandang hatoban ada dua kategori yaitu:

1. Budak yang kalah perang dinamakan parratean

2. Budak yang tidak dapat mengembalikan hutang yang dipinjamnya disebut

dengan taban-tabanan.10

Untuk membedakan antara masyarakat biasa dengan golongan budak, maka

setiap rumah yang penghuninya seorang budak, maka tangga rumahnya boleh terbuat

dari batu, melainkan harus terbuat dari kayu meskipun ia telah menjadi kaya raya.

Akan tetapi pada masyarakat Taput, tidak lagi mengenal seperti yang dilakukan pada

waktu dulu. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang layak itulah yang dapat

mengangkat harkat dan martabat bagi dirinya untuk kebebasan marganya.

Pergantian struktur sistem masyarakat bagi etnik Batak Toba diakibatkan oleh

masuknya inovasi yang dibawa oleh Belanda. Sebelum kedatangan bangsa Belanda,

birokrasi dipegang oleh etnik Batak yang dipilih berdasarkan musyawarah. Pemimpin

yang terpilih ditentukan oleh ascribed status, yaitu kedudukan yang diperoleh dengan

sendirinya akibat pengaruh asal usul. Ketika Belanda telah berkuasa sistem birokrasi

ditentukan oleh bangsa Belanda dengan melihat dan mempertimbangkan faktor

achieved status, yaitu kedudukan berdasarkan kecakapan, sehingga bentuk birokrasi

berubah dan terjadi pergeseran otoritas dari kekuasaan yang terbentuk tradisional

menjadi rasional legal.

Perubahan bentuk birokrasi ini menyebabkan munculnya penguasa-penguasa

baru yang tunduk dan patuh kepada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah

Belanda. Terjadinya perubahan struktur di Tanah Batak berakibat pada munculnya

10

(29)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

lapisan-lapisan baru yang selama ini berada di kelas bawah menjadi lapisan atas.

Demikian pula sebaliknya.

Perubahan dan inovasi telah berlangsung di daerah Tapanuli umumnya dan

daerah Tanah Batak Toba pada khususnya. Hal ini sangat berpengaruh bagi

masyarakat, sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat terhadap

inovasi yang dibawa oleh bangsa Belanda iu. Dengan demikian di Tanah Batak terjadi

penggolongan masyarakat setelah terjadinya inovasi itu menjadi tiga golongan .

Golongan yang pertama, masyarakat yang mau menerima inovasi yang dibawa oleh

Belanda. Pada umumnya golongan pertama ini adalah orang-orang yang tidak

memperoleh kedudukan semasa belum berkuasanya pihak pemerintah Belanda.

Masuknya Belanda ke daerah Batak Toba menumbangkan dominasi yang selama ini

dipegang oleh kekuasaan tradisional, sehingga beralihlah kekuasaan dipegang oleh

orang-orang yang mempunyai pendidikan cukup memadai. Golongan kedua,

golongan yang menolak inovasi yang dilakukan oleh bangsa Belanda. Golongan ini

adalah pengikut setia dari Si Singamangaraja yang dianggap mereka masih hidup

sepanjang aman sebagai pelindung mereka dalam suka dan duka. Terakhir, golongan

ketiga yaitu masyarakat yang melihat situasi di daerah tanah Batak tidak mungkin lagi

dipertahankan dari pengaruh dominasi bangsa asing, mau tidak mau harus menerima

keadaan ini. Golongan inilah yang dimaksud dengan golongan ketiga yaitu

orang-orang yang beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang sedang

berlangsung di daerah Batak Toba.

2.5 Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak Toba

Secara filosofis tanah bagi masyarakat Batak meliputi, bumi, air, dan segala

(30)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

diklasifikasikan sebagai ruang pemukiman, ruang produksi, serta ruang cadangan dan

pelestarian.

Ruang pemukiman terdiri dari tanah yang diperuntukkan sebagai pertapakan

rumah, pekarangan, jalan, perladangan, tepian untuk membersihkan tubuh dan

keperluan hidup, parit dan pagar, tumbuhan dan lumbung. Juga tanah diperuntukkan

sebagai tempat pemujaan, tempat bermusyawarah, tempat menumbuk padi, menjemur

kayu dan keperluan rumah tangga. Juga untuk keperluan sosial dan kehidupan, antara

lain sebagai tempat bertenun, menganyam, melaksanakan berbagai upacara,

peternakan, pertukangan, serta tempat bermain para remaja dan anak-anak.

Ruang produksi adalah tanah untuk lahan pertanian berupa sawah dan ladang.

Kedua jenis lahan tersebut diharapkan akan menghasilkan kebutuhan sandang pangan

dan kperluan untuk upacara sepanjang daur hidup. Di samping itu ruang produksi juga

dicadangkan sebagai ruang perluasan dan pemekaran pemukiman. Hutan adalah

tempat pengambilan perkayuan untuk rumah dan bangunan lainnya, peralatan rumah

tangga, tempat berburu dan menangkap ikan. Juga sebagai ruang untuk memperoleh

bahan ramuan bagi kehidupan seperti minuman, makanan, obat-obatan, bumbu,

buah-buahan, keperluan sandang, hiasan dan berbagai keperluan upacara. Di samping itu

hutan juga berfungsi sebagai ruang pengembangan dan pemekaran ruang produksi,

pemukiman dan hutan produksi.

Pembagian ruang tersebut bila diklasifikasikan dari segi pemilikan, akan

terlihat bahwa milik perorangan pada ruang pemukiman adalah pertapakan rumah,

pekarangan, perladangan sekitar pemukiman. Sedangkan jalan, pekarangan desa,

pekuburan, tempat bermuasyawarah, tepian pemandian, pagar, serta parit adalah milik

(31)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

bersama warga desa dan dimanfaatkan, diatur dan dipertanggungjawabkan secara

bersama-sama.

Milik perorangan diurus, dimanfaatkan dan dialihkan oleh perorangan atau

keluarga batih. Akan tetapi jalan, pekarangan desa, pekuburan, tempat

bermusyawarah, tepian untuk mandi, parit, pagar, tempat pemujaan, tidak dapat

diwariskan atau dialihkan kepada perorangan atau kepada orang lain oleh seseorang.

Hal yang menyangkut tempat-tempat tersebut harus dikelola secara musyawarah,

karena berkaitan dengan identitas dan kelengkapan desa sebagai milik bersama.

Sawah atau ladang sebagai lahan produksi umumnya dimiliki oleh

keluarga-keluarga. Lahan ini dimiliki sebagai warisan dari orang tua atau sebagai pemberian

dari hula-hula kepada puterinya atau borunya dalam bentuk pauseang dan indahan

arian. Pauseang adalah sawah yang diberikan oleh ayah seorang gadis yang telah

kawin. Pemberian ini dapat dilakukan pada saat pesta perkawinan berlangsung atau

selang beberapa lama setelah pesta. Pauseang diberikan dengan tujuan agar puterinya

yang baru menikah itu tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh makanan, agar

mendapat penghargaan kehormatan dari keluarga suaminya.

Seorang anak laki-laki yang telah menikah diharapkan dapat memisahkan diri

dari orang tuanya untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Untuk itu ia berhak

meminta panjaean yakni sebidang sawah dari orang tuanya, sebagai bagian atau

warisan. Selain sawah sering juga diberikan sebidang perladangan atau kebun untuk

menanam ubi, sayuran dan buah-buahan.

Pada masyarakat Batak toba yang berhak mendapat warisan sawah dan

perladangan adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak berhak

memperolehnya. Jika ada anak perempuan yang mendapat sawah dari orang tuanya,

(32)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Hubungan manusia dengan tanah amat erat, karena di atasnya manusia

dilahirkan, dibesarkan, disosialisasikan, beranak atau berketurunan serta pada akhir

hayatnya dikuburkan ke dalam tanah. Hubungan itu mutlak dan tidak dapat

dipisahkan. Disinilah pula ditemukan kehidupan dan perkembangan unsur

kebudayaan universal yakni sistem bahasa sebagai lambang komunikasi, sistem mata

pencaharian hidup, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem teknologi,

sistem keberanian dan religi atau kepercayaan.

(33)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

BAB III

LATAR BELAKANG BERDIRINYA KSPPM

3.1 Kondisi Umum Kebijakan Pembangunan Ekonomi Politik Nasional

Politik rezim Orde Baru (Orba) lebih dekat pada model birokrasi otoriter.

Karakteristik model ini antara lain; adanya pola dominasi politik yang relatif stabil

dalam struktur dan proses, untuk menjaga dan mengendalikan berbagai potensi yang

hendak mengganggu apa yang sedang dilakukan rezim. Selain itu penguasa juga

merupakan oligarki yang anggotanya berasal dari kalangan berlatarbelakang militer

atau institusi militer. Dengan mengadopsi pendekatan teknokratis dalam pengambilan

keputusan, kelompok ini memegang kendali atas strukutur birokrasi yang lebih luas.

Ciri lainnya adalah adanya penggalangan dukungan massa yang dilakukan penguasa

secara terus-menerus sebagai sumber ligitimasi. Birokrasi otoriter ini berupaya

dengan cara represi, kooptasi, dan membangun jaringan organisasi korporatis untuk

mengendalikan para penentangnya.

Model birokrasi otoriter, dalam mencapai tujuannya, dengan membentuk

pluralisme terbatas yang sering dilakukan melalui jaringan korporatis. Dengan

membentuk asosiasi-asosiasi bisnis, profesi, pemuda, mahasiswa dan sebagainya.

Kelompok-kelompok ini dibentuk berkaitan dengan aktifitas kebijakan publik dengan

memonopoli representasi kepentingan fungsional dan mengawasinya melalui lembaga

birokrasi Negara. Sistem korporatisme Negara seperti ini secara vertikal merupakan

bagian dari masyarakat, menyatu dalam diri individu dan kelompok yang ada di dalam

sebuah jaringan dengan legitimasi yang terpusat pada birokrasi.

Dalam interaksi politik Indonesia era Orde Baru, telah mengalami

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Terutama pada awal 1970-an kala pendapatan

(34)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

industri dengan cepat. Di samping itu pertumbuhan juga dipicu masuknya

perusahaan-perusahaan multinasional yang bisa memberi modal, teknologi dan akses ke pasar

internasional. Dalam masa seperti ini perusahaan milik Negara memegang peran

membangun kerja sama dengan perusahaan asing. Demiian pula perusahaan swasta

mulai membentuk jaringan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan mereka

pun mulai bergantung pada korporasi internasional.

Ekspansi ekonomi tersebut kemudian menjadi mesin kontrol represif. Pihak

penguasa melakukan destruksi terhadap pusat-pusat kekuatan penantang atau lawan

politiknya, terutama kelompok-kelompok yang dianggap beraliran komunis dan

nasionalis yaitu dengan melarang berbagai kelompok politik, asosiasi perdagangan,

organisasi pedesaan yang berkaitan dengan etnik dan melakukan kontrol ketat

terhadap media massa serta menangkapi para pemimpin maupun kader mereka.

Untuk mengendalikan para pendukungnya, pihak penguasa membangun

kontrol yang ketat. Yaitu mengendalikan elemen-elemen pendukungnya dengan

mempersempit kebebasan organisasi massa yang potensial, memperluas peran militer

dengan memasukkan para pejabat militer ke dalam jajaran birokrasi dan menyiagakan

militer unuk menghadapi elemen-elemen pengganggu stabilias keamanan. Dengan

adanya kontrol terpusat ini, penguasa menghadapi problem pengawasan, terutama

karena munculnya restratifikasi sosial ekonomis baru. Yakni kesenjangan yang

dicerminkan oleh perilaku konsumtif dan gaya hidup yang ditiru dari luar negeri.

Dalam kondisi rezim seperti ini tidak menyia-nyiakan sumber manajemen

politik, untuk menjaga pengendalian atas nama perkotaan dan pedesaan, dengan

melakukan distribusi (pemerataan) keuntungan untuk menjamin loyalitas tradisional

(35)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Rezim yang represif melahirkan kebijakan ekonomi politik represif pula.

Dalam pengertian bahwa elite politik dalam pemerintah beradapan dengan masyarakat

secara vis-à-vis. Terutama pada awal era Orba merupakan masa, dimana penguasa

menghadapi problem ekonomi dan keamanan. Awalnya, masalah ekonomi berkaitan

dengan pengendalian inflasi. Kemudian rezim Orba mengadopsi “strategi

pembangunan”, terutama mengenai stabilitas harga. Penanganan masalah ini, tidak

hanya terkait dengan stabilitas ekonomi. Tetapi juga normalisasi kehidupan

masyarakat dan penataan kembali disiplin, serta citra kekuasaan pemerintah.

Sehubungan dengan masih lemahnya kondisi politik dalam negeri, maka untuk

menciptakan kekuatan pemerintah dalam membangun ekonomi domestik, pemerintah

menggalang dukungan luar negeri dengan mencari simpati negara-negara kapitalis..

Hal ini dilakukan misalnya dengan mengentikan konfrontasi dengan Malaysia;

mengembalikan perusahaan-perusaaan asing yang pernah dinasionalisasikan oleh

penguasa Orde Lama kepada para pemiliknya: mempermudah masuknya modal asing

dengan menerbitkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967.

Satu dekade usia Orba kemudian, Indonesia adalah satu contoh ‘success story’

dalam membangun ekonominya. Yaitu bisa mengendalikan inflasi secara efektif. Dan

pada akhir satu dekade berikutnya menjadi salah satu negara sedang berkembang yang

dengan cepat menjadi negara industri baru. Bahkan menjadi salah satu model negara

anggota penghasil minyak yang dapat memanfaatkan penghasilan dari minyak secara

efektif, yang dengan cepat mampu melakukan penyesuaian, ketika harga minyak jatuh

pada akhir 1980-an.

Ada beberapa episode penting perjalanan pengambilan kebijakan ekonomi

Indonesia pada masa Orba. Pertama, antara 1966-1970. Pada masa ini merupakan era

(36)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

mengandalkan inflasi, menjalin kembali hubungannya dengan masyarakat

penyandang dana internasional dan merehabilitasi infrastruktur. Pemerintah juga

menganut kebijakan ortodoks di bidang moneter dan fiskal untuk menurunkan inflasi

secara cepat sehingga perekonomian tumbuh rata-rata 6,6% pertahun, bahkan pada

1968 pertumbuhan mencapai 10,9%.

Kedua, periode pertumbuhan cepat antara 1971-1981. Dalam episode ini GDP

riil mencapai rata-rata 7,7% dan pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 5%. Ini

merupakan periode ekonomi luar biasa, disambung kacaunya kebijakan. Di bidang

ekonomi misalnya, ketika harga beras naik 4 kali lipat pada tahun 1972 menyusul

panen yang buruk. Menjelang dekade 1980-an mulai dilakukan devaluasi untuk

membenahi tingkat harga yang kompetitif dari sektor-sektor non-minyak.

Pada tahun 1982-1986 pemerintah melakukan penyesuaian karena jatuhnya

harga minyak, meningkatnya hutang luar negeri dan menurunnya pertumbuhan

ekonomi. Respon kebijakan pemerintah atas hal ini bersifat ambivalens. Yaitu

penyesuaian di bidang ekonomi makro dilakukan dengan cepat dan efektif. Sementara

hambatan perdagangan cenderung makin banyak, ketika harga minyak makin jatuh.

Dalam keadaan seperti ini pertumbuhan ekonomi mencapai 4,6% pertahun.

Akhir periode ini merupakan masa liberalisasi dan menyembuhkan ekonomi

yang diawali sejak 1987. Yaitu melanjutkan perbaikan fiskal, pengendalian nilai tukar

dan perbaikan mikroekonomi. Pertumbuhan ekonomi antara 1987-1991 mencapai

rata-rata 6,9%, meskipun tanpa sepenuhnya ditopang pendapatan dari minyak. Selain

itu ada dua kecenderungan perubahan orientasi ekspor. Khususnya di bidang

manufaktur dan menguatnya pertumbuhan di bidang perdagangan dan independensi

(37)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Dalam pembuatan perencanaan pembangunan ekonomi dilakukan secara

terpusat. Di tingkat nasional oleh Badan Perencana Pembangunan Naasional

(Bappenas). Dan pada tingkat daerah diperankan oleh Badan Perencana Pembangunan

Daerah (Bappeda). Di samping itu juga terdapat Biro Perencanaan yang ada di setiap

departemen pemerintah. Melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita),

pemerintah membuat prioritas setiap lima tahun ke depan. Rencana ini berisi estimasi

kecenderungan yang terkait dengan makro ekonomi pembangunan sektoral

demografis dan sosial yang diletakkan dalam kerangka makro. Hal ini menjadikan

sejumlah Repelita tidak sesuai dengan perkembangan. Misalnya yang terjadi pada

periode 1975-1982 ketika harga minyak mulai jatuh. Sehingga sejumlah Repelita

menjadi tidak relevan dengan kenyataan. Hal itu menunjukkan adanya kebijakan

ekonomi di satu sisi bersifat liberalistik.

Kebutuhan pemerintah akan investasi, kapital dan teknologi dari luar negeri

terus meningkat sampai terjadinya peristiwa Malari (1974). Tetapi pada tahun

1980-an kebijak1980-an pemerintah kembali pada atur1980-an y1980-ang lebih liberal. Misalnya tercermin

dalam paket 6 Mei dan kebijakan yang memperbolehkan kepemilikan 100% modal

asing. Pada saat bersamaan juga semakin meningkat tuntutan bagi swastanisasi

BUMN, sehubungan dengan pertumbuhan dan kinerja yang buruk.

Kebijakan pembangunan ekonomi dalam dua dekade pertama rezim Orba,

merupakan awal yang menandai masa stabilitas politik dan ekonomi pemerintah pusat

lebih mengutamakan integrasi wilayah nasional. Hal ini berdampak pada mobilitas

dalam negeri, yang tercermin oleh besarnya daya tarik sumber daya pendidikan dan

ekonomi, yang terpusat di Pulau Jawa.

Oleh karena itu, program-program pembangunan pemerintah pusat yang

(38)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

seluruh negeri yang membawa stabilitas dalam negeri. Tetapi juga memperkuat

pemerintah pusat. Untuk itu diperlukan dukungan rakyat bagi terlaksananya

kebijakan-kebijakan pusat.

Dalam kaitan antara kekuasaan pemerintah pusat dan pembangunan di

Indonesia, terdapat dua kecenderungan umum. Yaitu adanya tuntutan pengakuan dan

kekuasaan yang final bagi pusat atas daerah di seluruh negeri. Kemudian adanya

kecenderungan pendelegasian wewenang secara gradual kepada pemerintah lokal di

tingkat provinsi. Hal tersebut tidak mudah diwujudkan. Secara umum terutama dalam

struktur birokrasi pemerintah mencerminkan sistem pengambilan keputusan top-down

dengan kekuasaan berada di tangan pejabat puncak di pelbagai tingkat pemerintahan.

3.2 Munculnya Organisasi Non Pemerintah

Kebijakan yang mempengaruhi proses pembangunan sepanjang dua dasawarsa

lampau di Indonesia didasarkan pada kerangka modernisasi yang menerapkan model

pembangunan pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini adalah strategi dan

kebijakan pertumbuhan ekonomi yang memberi perhatian khusus kepada tingkat

tabungan dan investasi serta intensitas modal dengan teknologi modern. Strategi dan

kebijakan ini mengasumsikan bahwa industrialisasi yang cepat dan perluasan sektor

modern pada umumnya adalah jawaban terbaik bagi kebutuhan pembangunan

ekonomi yang cepat dan penciptaan lowongan lapangan kerja. Model pertumbuhan ini

diterapkan baik di sektor industrialisasi perkotaan maupun sektor pertanian pedesaan.

Kebijakan pembangunan pertanian pedesaan diwujudkan melalui program “Revolusi

Hijau”.

Revolusi Hijau dan projek perkotaan menjadi pokok bahasan kritisme oleh

(39)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

LSM yang meningkat secara cepat dalam proses bantuan pembangunan sepanjang

tahun 1970-an punya keterkaitan dengan kritisme ini atas strategi pembangunan dan

merupakan reaksi bagi pendekatan pemerintah terhadap pembangunan yang dianggap

tidak memadai, khususnya dalam pengertian metodologis dan teknis. Beberapa faktor

tampaknya menyumbang kepada kecenderungan ini. Hal itu mencakup, di antara

lainnya, kegagalan kebijakan pemerintah yang dirasakan untuk memperkembangkan

pembangunan secara efektif atau menaikkan standar hidup kaum miskin.11

Sebenarnya, cikal bakal kehadiran ornop maupun LSM telah lama dikenal.

Pada era kolonialisme pun penampilan maupun orientasi gerakan beberapa organisasi

masyarakat memiliki kesamaan dengan karakteristik LSM saat ini. Pada tahun 1890,

Mardi Karya, sebuah organisasi yang dibentuk Suryopranoto telah berkecimpung

dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam persoalan sosial ekonomi,

sosial, maupun politik. Demikian pula sesudahnya, nama organisasi seperti Budi

Utomo, Taman Siswa. Sebagai organisasi, mereka sama-sama tidak berorientasi pada

keuntungan finansial. Mereka berasal dari rakyat, bekerja bersama-sama dengan

rakyat, dan semua upaya yang dilakukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat.12

Selepas era kolonialisme, gerak pertumbuhan organisasi non pemerintah

semakin nyata. Perkembangan LSM yang pesat sebagai gerakan sosial terorganisir Meskipun banyak kesamaan yang dimiliki, tidak berarti perbedaan tidak

tampak. Era kolonialisme melahirkan konsekuensi tersendiri bagi kemunculan sebuah

LSM. Dominasi pemerintahan kolonial dalam berbagai aspek kehidupan dianggap

menyisakan banyak kesengsaraan. Eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan

penjajah melahirkan sikap kebencian yang mendalam.

11

(40)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

atau disebut juga sebagai masyarakat sipil terorganisir13

12

Dharmawan, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, hlm 107

di Indonesia sejak tahun 1970

sangatlah mengesankan jika ditinjau dari segi jumlah, keragaman serta letak

geografisnya. Jika di akhir tahun 1960an dan awal 1970an hanya ada sedikit sekali

gerakan sosial dan kelompok nonpemerintah yang secara aktif memiliki kepedulian

dan kemampuan untuk menangani masalah-masalah pembangunan, kini keadaan

tersebut sudah jauh berubah. Pada periode inilah dikenal sebagai kemunculan

organisasi-organisasi modern. Nama-nama besar LSM seperti Bina Swadaya, Dian

Desa, LP3ES, Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) bermunculan dengan segenap

kiprahnya di masyarakat. Apalagi jika dilihat dari lokasi mereka, dari sedikit jumlah

organisasi tersebut sebagian terbesar berkedudukan di Jakarta atau kota-kota besar di

Jawa. Sebagian besar aktifis dalam LSM itu pada umumnya adalah mantan aktifis

mahasiswa di kota besar yang mendapat akses cukup luas terhadap sumber dana. Para

aktifis LSM di tahun 1970an tersebut bekerja dengan menganut kerangka kerja

developmentalisme. Tak satu pun LSM di tahun 1970an yang benar-benar menolak

konsep dasar dan gagasan pembangunan. Pertanyaan maupun kritik yang mereka

ajukan lebih dititikberatkan kepada implikasi metodologis dan teknis pembangunan.

Dengan demikian, yang dipermasalahkan oleh kebanyakan LSM pada masa itu

terpusat kepada pendekatan dan metodologi, seperti mempermasalahkan pendekatan

bottom up (dari bawah ke atas) yang ditawarkan oleh beberapa LSM dengan

pendekatan top down (dari atas ke bawah) yang diterapkan oleh pemerintah. Hasilnya,

pendekatan bottom up dan partisipasi menjadi isu besar. Sebagian besar proyek LSM

mengupayakan teknik dan metodologi “alternatif” dari metode dan pendekatan

(41)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

kecil; proyek pengembangan kerajinan; proyek peningkatan pendapatan; pelayanan

kesehatan masyarakat; program keluarga berencana dan pengendalian penduduk;

teknologi tepat guna dan proyek pembangunan pedesaan lainnya. Proyek-proyek itu

diimplementasikan terutama untuk menciptakan metodologi alternatif bagi

pendekatan top down pembangunan tersentralisir yang dijalankan oleh pemerintah

secara besar-besaran tanpa mempersoalkan aspek struktural dan keterkaitan sistemik

dari masalah yang sedang diupayakan pemecahannya.

Namun dalam waktu kurang dari tiga dasawarsa, terjadi peningkatan jumlah

LSM yang tersebar tidak saja di kota-kota besar di Jawa, melainkan meluas di

pelbagai daerah terpencil sampai di kawasan yang tidak mudah dijangkau, hampir di

seluruh Indonesia. Jika melihat bidang ataupun masalah-masalah yang menjadi

kepedulian, atau masalah-masalah yang ditangani LSM pada tahun 1970an, juga telah

terjadi peningkatan yang luar biasa. Jika hanya memusatkan perhatian kepada

kebutuhan praktis dan pengembangan kelompok usaha bersama, kemudian masalah

yang ditangani LSM di tahun 1980an semakin luas mulai dari masalah lingkungan

dan perlindungan hutan hujan, masalah hak azasi manusia dan masalah yang berkaitan

dengan penindasan lainnya, masalah gender, masalah hak budaya dan hak

pengetahuan masyarakat adat, masalah eksploitasi buruh dan hak-hak berserikat bagi

kaum buruh serta banyak masalah lainnya yang tidak muncul di tahun 1970an14

13

M. Hidayat Rahz, Menuju Masyarakat Terbuka, Yogyakarta: Insist Press Desember 1999, hlm.14-16

.

Sejumlah aktivis LSM bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi

politik untuk perubahan kebijakan yang dalam banyak manifestasinya dilakukan

dengan membuat pelbagai macam statement politik, petisi, lobbi, protes dan

(42)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Di Sumatera Utara, gaung LSM baru mulai kedengaran pada dekade tahun

80-an. Ketika itu belum banyak lembaga yang lahir. Kebanyakan lembaga yang ada,

masih mengatasnamakan agama di bawah divisi pelayanan dan pengembangan

masyarakat pada semua sekte gereja yang ada di Sumut. Paling tidak, bersamaan

dengan berlangsungnya pertemuan aktifis LSM di Sumatera Utara pada tanggal 13-15

Januari 1980 di zentrum GKPS Pematang Siantar15

Seperti yang dibahas dalam bab sebelumnya tentang kebijakan pemerintahan

Orba yang cenderung memposisikan rakyat sebagai objek pembangunan atau bersifat

top down. Dimana program-program pembangunan tidak memahami atau menyentuh

persoalan rakyat. Hal itulah yang dirasakan oleh warga di Tapanuli Utara. Taput bila

dibandingkan dengan daerah lain di Kawasan Pantai Barat khususnya bila

dibandingkan dengan daerah-daerah di kawasan pantai Timur Sumatera Utara

sangatlah tergolong miskin. Hal ini sudah menjadi isu nasional apalagi setelah salah

satu harian surat kabar nasional memuat berita tentang Tapanuli sebagai “Peta

Kemiskinan” pada tahun 1982. Kemudian hal tersebut didukung serta diperkuat oleh

akademisi Batak, perantau asal Tapanuli, serta pejabat pemerintah.

. Setelah itu bermunculan

dimana-mana, baik yang ditumbuhkan oleh sementara kalangan gereja, aktifis kampus dan

aktifis organisasi lain yang merasa sudah jenuh dengan sistem yang berlaku. Bentuk

kegiatan yang dipilih untuk mewujudkan komitmen keberpihakannya sangat

beranekaragam. Ada yang memilih bidang pertanian, teknologi tepat guna, koperasi,

anak kreatif,gelandangan, keterampilan wanita, dan sebagainya.

3.3 Tapanuli Sebagai Peta Kemiskinan

14

(43)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

Pemerintah dan para perantau asal Taput menyalahkan orang yang tinggal di

Bona Pasogit dengan menyebut mereka sebagai pemalas. Sebenarnya kalau dilihat

dari keadaan geografis daerah Taput sangatlah miskin sumber daya alam. Dimana

daerah yang berbukit-bukit, tandus sehingga sangat terbatas untuk untuk

mengembangkan pertanian. Hal inilah yang menyebabkan para pemuda asal Taput

secara ramai-ramai pergi merantau.

Dimulai dari tahun 1930-an telah terjadi proses urbanisasi, dimana warga

khususnya tenaga produktif pindah dan menetap di luar daerah Taput yaitu terdapat di

daerah Sumatera Timur karena tanah yang subur serta perkembangan perkebunan

pada saat itu.16

Dari data sensus 1980 di Tapanuli Utara, menunjukkan kebanyakan petani

mengusahai kurang dari 0,05ha. 47% dari jumlah rumahtangga petani mengusahai

kurang dari 0,25ha, 34% mengusahai 0,25-0,50ha, dan hanya sekitar 19% diatas 0,50.

Kemudian di Taput pada ketika itu, pendapatan rata-rata penduduk diperkirakan baru

mencapai Rp. 240.000/kapita/tahun sementara rata-rata nasional telah mencapai Rp.

600.000/kapita/tahun.

Bahkan sampai ke Pulau Jawa. Sehingga yang tinggal hanya

anak-anak dan orang tua. Tetapi sebenarnya kalau pemerintah bijaksana bisa saja

keterbatasan SDA tersebut menjadi peluang yang lebih baik.

17

Sebutan Tapanuli sebagai “Peta Kemiskinan” juga diperkuat dimana terdapat

wilayah atau desa miskin dan tertinggal. Seiring dengan sebutan tersebut dan

“demam” pembangunan dan modernisasi yang dicanangkan pemerintah Orba, maka

pemerintah menjawab sebutan kemiskinan tersebut dengan program-program seperti

15

Fachrurrarzi Malley (ed), “ Dialog: LSM, Pemerintah, Perguruan Tinggi, Pers”, Medan: WIM-SU, 1990.

16

Elvis dan OHS Purba, Migrasi Spontan Batak Toba.

17

(44)

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara (1985 – 1994), 2009.

pembangunan perusahaan industri raksasa. Yaitu proyek Asahan (PT. Inalum) pada

tahun 1975 dan PT. Inti Indorayon Utama (IIU) pada tahun 1986.

Proyek Asahan adalah sebuah proyek terpadu yang terdiri dari pembangunan

pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 604 Mw; masing-masing 248 MW

di Sigura-gura dan 320 MW di Tangga, pembangunan pabrik peleburan aluminium

berkapasitas 215.000 ton/ tahun. Kapasitas tersebut masih bisa ditambahkan hingga

1.050 MW dan industri peleburan aluminium berkapasitas 400.000 ton/ tahun dimana

suatu kapasitas tergolong besar di dunia.18 Merupakan proyek raksasa kerjasama

antarnegara yakni Indonesia dengan Jepang dibawah bendera PT. Indonesia Asahan

Aluminium (Inalum) dengan nilai proyek sebesar US $ 1,7 miliar.19

PT. Inalum memanfatkan Sungai Asahan yang merupakan air yang langsung

bersumber dari Danau Toba, maka terjadi pelebaran Sungai Asahan dan pengerukan

dasar sungai agar semakin dalam kemudian dibuat terowongan-terowongan besar agar

dapat mengalirkan air danau untuk memutar turbin. Ternyata berdampak lansung

terhadap permukaan air Danau Toba yaitu terjadi penurunan permukaan danau yang

diperkirakan 2 meter pada tahun 1980. Hal ini tentu disebabkan oleh terjadinya

perubahan kecepatan air mengalir dari sebelumnya paling besar 90/ton perdetik tetapi

setelah dasar sungai dikeruk menjadi meningkat sampai 150 ton/detik.20

18

Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara. Yogyakarta: UGM Press, 2009 hal.

19

Surat kabar harian Sinar Harapan,edisi 7 April 1980.

20

Surat kabar harian Kompas edisi 19 November 1980

Hal yang

sama juga berdampak kepada lingkungan disekitar Sungai Asahan. Di Desa Meranti

Utara sawah petani mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan proses pengerukan

Referensi

Dokumen terkait

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK/.01/2011tanggal18Agustus2011menjadiKantorPengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean B, adalah

Berdasarkan hasil uji signifikansi dengan uji t tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel Pendapatan Sektor Pariwisata berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Daerah

Menurut Kotler (2000: 9- 10), faktor sosial merupakan perilaku seseorang konsumen yang mempengaruhi faktor-faktor sosial seperti kelompok referensi, keluarga, serta peran

1) Membuat perencanaan yang matang, kemudian menetapkan kebijakan pembangunan instalasi komputer yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan. 2) Mensosialisasikan

Pengepungan hanya mungkin untuk jangka waktu singkat, tetapi tidak untuk sepuluh hari, yang ternyata menjadi periode waktu yang diperlukan dalam rilis besar radiasi dari

Ketika dilakukan terhadap semikonduktor, doping dapat diartikan sebagai penambahan pengotor intensional pada material semikonduktor dengan tujuan untuk memodifikasi

Perkawinan pada masyarakat Sakai yang berbeda suku, misalnya Sakai dengn Jawa, Batak, atau lain sebagainya, tradisi yang digunakan adalah tergantung berasal dari suku mana