• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat Simarpinggan Kecamatan Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat Simarpinggan Kecamatan Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

UPACARA RITUAL PESTA BONA TAON PADA MASYARAKAT

SIMARPINGGAN KECAMATAN SORKAM : SUATU TINJAUAN

FOLKLOR

Dikerjakan O

L E H

Nama : Christ Sihombing. Nim : 030703015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN

(2)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi

salah satu syarat ujian untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Bahasa dan

Sastra Batak di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari/Tanggal : ……….

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan

Dekan,

Nip : 1312098531

Drs. Syaifuddin, M.A..Ph.D

Panitia Ujian :

No Nama Tanda Tangan

1. ……… ………...

2. ……… ………

3. ……… ………

4. ……… ………

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberi

rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses pengerjaan

skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat

Simarpinggan Kecamatan Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor”.

Skripsi ini disusun dalam 5 (lima) bab, yakni bagian bab pertama adalah

pendahuluan yang dibagi atas: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan anggapan dasar, bagian bab kedua merupakan tinjauan

pustaka yang terdiri dari kepustakaan yang relevan dibagi atas pengertian upacara

ritual, pengertian pesta Bona Taon pada masyarakat desa Simarpinggan, pengertian

folklor, dan pembagian folklor, teori yang digunakan, pada bab ketiga merupakan

metode penelitian yang dibagi atas metode dasar, lokasi penelitian, metode

pengumpulan data, dan metode analisis data, pada bab keempat merupakan

pembahasan yang terdiri dari tahap pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon pada

masyarakat desa Simarpinggan yang dibagi atas pra-upacara (sebelum upacara) dan

proses pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon, fungsi upacara ritual pesta Bona

Taon pada masyarakat desa Simarpinggan, hubungan upacara ritual pesta Bona Taon

dengan kajian folklor yang terdiri dari kelompok folklor lisan, kelompok folklor

sebagian lisan, dan kelompok folklor bukan lisan, sosial-budaya masyarakat pelaku

upacara ritual pesta Bona Taon yang terdiri dari sistem kekerabatan, propesi atau

(4)

yang merupakan kesimpulan dan saran, diuraikan mengenai kesimpulan dan saran

dari penulis kemudian ditutup dengan daftar pustaka dan lampiran.

Judul ini diperoleh dan dimunculkan berdasarkan data-data yang diperoleh dari

beberapa informan yang aktif mengetahui upacara ritual pesta Bona Taon. Penulis

mengangkat judul ini karena sepanjang pengetahuan penulis upacara ritual ini belum

pernah diangkat dan dianalisis ataupun dibukukan.

Penulis menyadari, kalau skripsi ini belumlah sempurna. Penulis membuka diri

kepada semua pihak untuk memberikan saran serta masukan demi tercapainya skripsi

ini ke arah penyempurnaan.

Medan, Mei 2009

Penulis

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, dari lubuk hati yang tulus dan ikhlas penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara, Pembantu Dekan I, II, III, Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

2. Drs. Baharuddin, M. Hum. Selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas

Sastra Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan dorongan

dan semangat kepada penulis.

3. Dra. Herlina Ginting, M.Hum. Selaku pembimbing I, yang telah banyak

mengorbankan waktu dan tenaga serta memberikan perhatiannya untuk

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Sumurung Simorangkir, M.Pd. Selaku pembimbing II, dan sekaligus

dosen wali penulis yang telah memberikan tenaga, pikiran, dan waktu untuk

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara yang

telah mendidik penulis semenjak berada di Departemen Sastra Daerah

Universitas Sumatera Utara.

6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis J. Sihombing. S.Pd. dan ibunda

tercinta D. Situmeang. Ampd, yang telah banyak berkorban baik materi,

tenaga, yang melimpahkan kasih sayang kepada penulis dan doa sehingga

(6)

7. Kepada abang penulis Joy Amrod Sihombing dan Kakak ipar penulis Lesta

Ria Br.Simanjuntak, dan adik-adik penulis Cory Elita, Anna Bella Ohari,

Koko Res Monang dan si kecil tersayang Bella Vista, yang telah banyak

memberikan dorongan dan harapan serta hiburan kepada penulis.

8. Keluarga Abdul Halim Pohan dan Nur’hayati Lubis yang sangat menyayangi

penulis layaknya seorang anak.

9. Rekan-rekan satu stambuk 2003, Dedy Uthari, Armen , Eko Saut, Epan,

Lizen, Marjuki, Martiwan, Risdo, Ihsan, Herbet, Tama, Risnawati, Anda

Wahyu, Fitri, Marta, Suri, Yulia, Melpa, Yuli, dan yang lainnya. Salut dan

bangga punya teman seperti kalian.

10.Kepada semua informan yang banyak memberikan informasi sehingga skripsi

ini dapat diselesaikan dengan baik.

11.Kepada rekan-rekan seperjuangan Jan, Frans, Ma’in, Marcel, Jul Kling, Jul

Murdep, Panji, Kalkun, Ipan, Kibo, Julianto, Dayat, dan yang lainnya.

12.Seluruh keluarga besar yang tinggal di desa Simarpinggan yang banyak

memberikan dorongan kepada penulis sehingga mencapai gelar sarjana.

Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis hanya dapat mengucapkan

terima kasih. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan kehidupan yang baik

kepada kita semua. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, sekarang dan

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……… i

UCAPAN TERIMA KASIH………... iii

DAFTAR ISI.……….. iv

BAB I PENDAHAULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2. Rumusan Masalah………... 6

1.3. Tujuan Penelitian……….. 6

1.4. Manfaat Penelitian……… 7

1.5. Anggapan Dasar………. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 9

2.1. Kepustakaan Yang Relevan……… 9

2.1.1. Pengertian Upacara Ritual………. 9

2.1.2. Pengertian Bona Taon pada masyarakat desa Simarpinggan... 11

2.1.3. Pengertian Folklor………..………... 12

2.1.4. Pembagian Folklor……… 14

(8)

BAB III METODE PENELITIAN………. 24

3.1. Metode Dasar………... 24

3.2. Lokasi Penelitian……….. 25

3.3. Metode Pengumpulan Data………... 25

3.4. Metode Analisis Data………... 25

BAB IV PEMBAHASAN………. 27

4.1. Tahap Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan……….... 27

4.1.1. Pra-Upacara (sebelum upacara)……….... 27

4.1.2. Proses Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon………... 36

4.2. Fungsi Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan………... 44

4.3. Hubungan Upacara Ritual Pesta Bona Taon dengan Kajian Folklor... 47

4.3.1. Kelompok Folklor Lisan………... 47

4.3.2. Kelompok Folklor Sebagian Lisan………... 54

4.3.3. Kelompok Folklor Bukan Lisan ………... 56

(9)

Pesta Bona Taon…... 58

4.4.1. Sistem Kekerabatan………... 59

4.4.2. Propesi atau Mata Pencaharian………... 62

4.4.3. Kepercayaan………... 62

4.4.4. Bahasa………... 64

4.4.5. Nilai Pendidikan………... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………... 67

5.1. Kesimpulan………. 67

5.2. Saran……….……….. 70

DAFTAR PUSTAKA………... 71 LAMPIRAN:

Lampiran 1: Surat Keterangan Kepala Desa Simarpinggan

Lampiran 2: Surat Izin Penelitian

Lampiran 3: Daftar Informan

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa,

yang pada umumnya mempunyai nilai budaya yang tersendiri. Dalam kehidupan

berbangsa yang satu, semua suku bangsa Indonesia pada umumnya memiliki

perbedaan dalam berbudaya. Perbedaan yang dimaksud adalah bahasa, sastra, dan

budaya. Masing-masing perbedaan yang terdapat dalam suku bangsa itu tetap dijaga

dan dipelihara demi pengembangan ilmu bahasa, sastra, dan budaya.

Kebudayaan nasional harus dipelihara dan dikembangkan untuk menjalin

kehidupan bangsa Indonesia yang bersatu. Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa

suku bangsa yang mempunyai kebudayaan tersendiri dan selalu mendukung

perkembangan budaya nasional.

Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek pada

berbagai jenis prilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh.

Perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan tidak terlepas dari masalah

kesusastraan daerah, karena sastra daerah adalah salah satu modal memperkaya dan

memberikan sumbangan terhadap sastra Indonesia.

Kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa yang perlu dipelihara agar

dapat memperkaya dan mewarnai kebudayaan nasional, karena kebudayaan daerah

merupakan sumber paling potensial yang dapat memberikan corak dan karakteristik

(11)

Hal ini dapat dilihat dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 32

bagian penjelasan yang berbunyi:

“Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai upaya budi

rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayan lama dan asli yang terdapat sebagai

kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indanesia terhitung sebagai kebudayaan

bangsa. Upaya kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adat, budaya, dan

persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan dari kebudayaan asing yang

dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajad

kemanusiaan bangsa Indonesia”.

Kebudayaan tetap berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga

menghasilkan beragam budaya. Khasanah kekayaan budaya suku bangsa di Indonesia

masih banyak dalam bentuk tidak tertulis (lisan) dan sebagian lainnya telah terhimpun

dalam data verbal.

Berbagai kepercayan rakyat, adat istiadat, mitos, serta deskriptif tentang wujud

unsur-unsur tentang kebudayaan yang telah tergabung dalam folklor, masih banyak

yang belum diketahui secara luas untuk dapat dicatat dan dibukukan.

Dalam tradisi Batak Toba, secara umum banyak memiliki jenis upacara adat.

Saat ini tradisi yang dimiliki oleh nenek moyang Batak Toba itu masih ada yang

bertahan tetapi tidak dipungkiri telah banyak juga yang punah. Begitu pula dengan

sejarah perkembangan kebudayaan di Indonesia dan daerah-daerah.

Kebudayaan daerah terangkum di dalam kebudayaan nasional. Salah satu dari

kebudayaan itu adalah kebudayaan suku Batak Toba, sebagian besar suku Batak Toba

(12)

Sebagai salah satu contoh dapat dilihat dalam upacara ritual yang dilakukan oleh

masyarakat desa Simarpinggan kecamatan Sorkam kabupaten Tapanuli Tengah.

Masyarakat desa Simarpinggan adalah kelompok masyarakat Batak Toba yang

berasal dari berbagai marga. Mereka masih melaksanakan tradisi sesuai dengan tradisi

lama yang diwariskan kepada mereka, seperti upacara ritual pesta Bona Taon yang

dilakukan sejak zaman dahulu pada setiap tahunnya.

Upacara ritual pesta Bona Taon ini dilaksanakan ketika musim tanam tiba.

Biasanya diselenggarakan di awal tahun sesuai dengan kalender pertanian tradisional

yang diumumkan oleh pemerintah setempat atas pemberitahuan Hatobangon Ni Huta

(orang yang dituakan di Desa Simarpinggan/pengetua adat). Upacara ritual ini sangat

penting dalam kebudayaan masyarakat desa Simarpinggan, dan telah dilaksanakan

secara turun-temurun dan merupakan warisan budaya nenek moyang masyarakat desa

Simarpinggan.

Sesungguhnya banyak hal mistik yang terdapat dalam upacara ritual pesta

Bona Taon ini. Salah satunya adalah upacara ini harus dilangsungkan di sebidang

tanah ‘Onan’ yang dianggap keramat oleh masyarakat desa Simarpinggan karena

tanah itu dipilih sebagai tempat penguburan bersama, peradilan (toguan), dan pasar.

Tanah itu khusus dipilih pengetua-pengetua adat setempat sebagai tempat

berlangsungnya upacara ritual pesta Bona Taon tersebut.

Adapun tujuan upacara ritual pesta Bona Taon ini adalah untuk berdoa kepada

Sang Maha Pencipta (Debata Mulajadi Na Bolon) dan mendoakan para leluhur yang

terlebih dahulu meninggalkan mereka. Hal ini bertujuan agar kelak hasil panen

(13)

kehidupan yang makmur terwujud. Upacara ini juga diyakini dapat menghindarkan

mereka dari musibah-musibah bencana alam seperti banjir, gempa, longsor, dan

lain-lain.

Upacara ritual pesta Bona Taon yang dilaksanakan masyarakat desa

Simarpinggan pada saat ini, sangat jarang kita temui di daerah batak lainnya. Hal

inilah yang membuat penulis tertarik untuk mendeskripsikan dan mengkaji tentang

upacara ritual pesta Bona Taon yang dilaksanakan oleh masyarakat desa

Simarpinggan kecamatan Sorkam sebagai tugas akhir penulis.

Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa penulis melihat ada kaitan yang

erat antara upacara ritual pesta Bona Taon dengan folklor. Upacara tersebut

memperlihatkan corak khas kebudayaan daerah, khususnya suku Batak Toba.

Disamping sebagai corak dan ciri khas, upacara tersebut sekaligus sebagai alat untuk

menjaga kelangsungan kebudayaan yang mereka miliki.

Maka pada kesempatan ini, penulis menggunakan kajian folklor dalam

menganalisis upacara ritual pesta Bona Taon tersebut karena folklor mempunyai

kelompok besar dalam upacara ini.

Adapun salah satu yang tergolong folklor dalam upacara ritual pesta Bona

Taon ini adalah seperti kepercayaan rakyat masyarakat desa Simarpinggan yang

terdapat pada folklor lisan tentang kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat sering

juga disebut ‘takhyul’. Takhyul adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan

Barat yang dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga

(14)

Penulis tinggal di daerah Simarpinggan kecamatan Sorkam sehingga sering

mengikuti dan menyaksikan upacara ritual pesta Bona Taon ini. Selain itu, penulis

juga adalah suku Batak. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis membuat judul

“Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat Simarpinggan Kecamatan

Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor”.

Semoga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan bermanfaat terutama

dalam melestarikan budaya khususnya kebudayaan suku Batak Toba. Agar kekayaan

kebudayaan di Indonesia dapat tercatat secara faktual.

1.2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting dalam pembuatan skripsi, karena dengan

adanya perumusan masalah maka deskripsi masalah akan terarah, sehingga hasilnya

dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Adapun masalah yang akan dibahas

dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon di Desa

Simarpinggan.

2. Bagaimana fungsi upacara ritual pesta Bona Taon pada masyarakat desa

Simarpinggan.

3. Bagaimana hubungan upacara ritual pesta Bona Taon dengan kajian Folklor.

4. Bagaimana sosial-budaya masyarakat pelaku upacara ritual pesta Bona Taon

(15)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yang hendak dicapai dalam skripsi adalah

sebagai berikut:

1. Menjelaskan pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon di Desa

Simarpinggan.

2. Menjelaskan fungsi upacara ritual pesta Bona Taon pada masyarakat desa

Simarpinggan.

3. Menganalisis hubungan upacara ritual pesta Bona Taon dengan kajian Folklor.

4. Menjelaskan sosial-budaya masyarakat pelaku upacara ritual pesta Bona Taon

di Desa Simarpinggan.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana masyarakat desa Simarpinggan dalam mengikuti

upacara ritual pesta Bona Taon.

2. Untuk mendokumentasikan upacara ritual pesta Bona Taon agar terhindar dari

kepunahan sehingga dapat diwariskan kepada generasi penerus.

3. Untuk mengungkap dan melestarikan budaya-budaya di sekitar masyarakat.

4. Memperkaya apresiasi sastra daerah, khususnya apresiasi terhadap budaya

Batak.

5. Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta

(16)

1.5. Anggapan Dasar

Anggapan dasar merupakan titik tolak pemikiran untuk penyelidikan tertentu

yang sebenarnya dapat diterima tanpa perlu dibuktikan. (Anwarsyah, 1993: 7)

Anggapan dasar atau asumsi merupakan pokok-pokok pikiran yang menjadi

landasan atau dijadikan titik tolak dalam mendekati masalah. (Anwarsyah, 1993: 7)

Berdasarkan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, maka anggapan dasar

dalam skripsi ini adalah “Upacara ritual pesta Bona Taon merupakan sebagian dari

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung

pemecahan masalah dalam suatu penelitian yang semuanya itu bersumber dari

pendapat para ahli, emperisme (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar peneliti

yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Sesuai dengan judul “Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat

Simarpinggan Kecamatan Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor”. Penulis menggunakan

buku karangan Danandjaja yang berjudul “Folklor Indonesia”. Buku ini digunakan

untuk membantu penulis dalam mengkaji dan menganalisis upacara ritual pesta Bona

Taon tersebut.

2.1. Kepustakaan yang relevan 2.1.1. Pengertian Upacara Ritual

Sesuai dengan etimologisnya, upacara ritual dapat dibagi atas dua kata yakni

upacara dan ritual. Upacara adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan sekelompok

orang serta memiliki tahapan yang sudah diatur sesuai dengan tujuan acara.

Sedangkan yang dimaksud dengan Ritual adalah suatu hal yang berhubungan

terhadap keyakinan dan kepercayaan spritual dengan suatu tujuan tertentu.

(Situmorang, 2004: 175)

Maka Situmorang dapat menyimpulkan bahwa pengertian upacara ritual

(18)

terhadap keyakinan dan kepercayaan spritual dengan suatu tujuan tertentu.

(Situmorang, 2004: 175)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian upacara adalah

sebagai berikut:

a) Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan

tertentu menurut adat atau agama,

b) Perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan

peristiwa penting.

Sedangkan pengertian ritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah hal ihwal tatacara dalam upacara keagamaan. (Team Penyusun

Kamus Pusat Bahasa, 2002: 1386)

Menurut Purba dan Pasaribu, dalam buku yang berjudul “Musik Populer”

mengatakan bahwa: Upacara Ritual dapat diartikan sebagai peranan yang dilakukan

oleh komunitas pendukung suatu agama, adat-istiadat, kepercayaan, atau prinsip,

dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan ajaran atau nilai-nilai budaya dan spritual

yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka. (Purba dan Pasaribu,

2004: 134)

Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah:

sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang

berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang

biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1990: 190)

(19)

Setiap tahun pada bulan Januari, masyarakat desa Simarpinggan selalu

menggelar upacara yang bernama Bona Taon. (arti harfiahnya: Pangkal Tahun). Dulu

diberi nama pesta sekarang partangiangan atau kebaktian. Kegiatannya sama saja

yaitu kumpul-kumpul sesama, kebaktian sejenak, makan-makan, menari bersama

(manortor), dan nyanyi-nyanyi.

Upacara ini telah berlangsung dan menjadi tradisi sejak zaman nenek moyang

masyarakat desa Simarpinggan. Upacara ritual pesta Bona Taon ini dilakukan setiap

awal tahun. Acara ini dilakukan untuk merajut silaturahmi kebersamaan dan tali

persaudaraan masyarakat desa Simarpinggan.

Dari pengamatan penulis Bona Taon ini dilakukan oleh semua masyarakat

desa Simarpinggan, mulai dari keluarga yang bertalian darah secara dekat sampai

pada kumpulan marga-marga yang ada di Desa Simarpinggan. Maka dapat

disimpulkan penulis bahwa Bona Taon adalah sebagai peneguhan citra diri pada suatu

kelompok.

Menurut Bapak Situmeang selaku kepala desa Simarpinggan, pesta Bona Taon

mempunyai pengertian sebagai pesta atau upacara ritual untuk membuka tahun.

Dilaksanakan diawal tahun dan dimaksudkan agar tahun yang akan dijalani membawa

berkah seperti hasil pertanian di desa itu berhasil dan melimpah ruah.

2.1.3. Pengertian Folklor

Berdasarkan etimologisnya, kata folklor berasal dari bahasa Inggris yakni

folklore. Kata itu merupakan kata majemuk yang berasal dari dua buah kata yakni folk

(20)

Menurut Dundes dalam Danandjaya folk adalah sekelompok orang yang

memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga data dibedakan dari

kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna

kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa

yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. (Danandjaja, 1986: 1)

Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah mempunyai suatu

tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua

generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu, yang paling

penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri.

(Danandjaja, 1986: 2)

Jadi, folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri

pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian

sebagai kesatuan masyarakat. (Danandjaja, 1986: 2)

Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah sebagian kebudayaannya, yang

diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai

dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). (Danandjaja,

1986: 2)

Menurut Danandjaja (1986: 3) mengatakan secara keseluruhan defenisi folklor

adalah sebagai berikut:

“Sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan

turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi

yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun cantoh yang disertai dengan

(21)

Dengan demikian yang menjadi objek penelitian folklor di Indonesia, baik

yang di pusat maupun di daerah, baik yang di kota maupun di desa, di kraton maupun

di kampung, baik pribumi maupun keturunan asing (peranakan); baik warga negara

maupun asing, asalkan mereka sadar akan identitas kelompoknya dan

mengembangkan kebudayaan mereka di bumi Indonesia. Bahkan penelitian folklor

Indonesia dapat diperluas dengan meneliti folklor dari folklor Indonesia yang kini

sudah lama bermukim di luar negeri, seperti Indo-Belanda di negeri Belanda

California, orang Jawa di Suriname. Sangat luas jangkauan penelitian folklor ini

sehingga dapat menjangkau masyarakat Indonesia dimana saja, asalkan mereka masih

sadar akan identitas kelompoknya. (Danandjaja, 1986: 3)

2.1.4. Pembagian Folklor

Menurut Brunvand (1968: 2) dalam Danandjaja (1986: 21), mengatakan

bahwa folklor dapat digolongkan kedalam 3 (tiga) kelompok besar berdasarkan

tipenya: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (pertly verbal

folklore), dan (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore).

1. Folkor Lisan

Menurut Danandjaja dalam bukunya yang berjudul “Folklor Indonesia”

mengatakan bahwa: Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.

(Danandjaja, 1986: 21)

Folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain:

a. Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel

(22)

Bentuk-bentuk folklor lisan yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat

adalah logat (dialect) bahasa-bahasa Nusantara, misalnya logat bahasa Jawa dari

Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh

bahasa Sunda. (Danandjaja, 1986: 22)

Bentuk lain bahasa rakyat adalah Slang. Menurut Webster’s New World

Dictionary of American Language (1959) dalam buku Danandjaja (1986: 23),

mengatakan asal slang adalah kosa kata dan idiom para penjahat gelandangan atau

kolektif khusus. Maksudnya diciptakannya bahasa slang ini adalah untuk

menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar. Pada masa kini slang dalam arti

khusus itu (bahasa rahasia) disebut cant. (Danandjaja, 1986: 23)

Bentuk bahasa rakyat yang lain lagi di Indonesia adalah cara pemberian nama

pada seseorang. Di Jawa tengah misalnya, orang Jawa tidak mempunyai nama

keluarga. Untuk memberi nama pada seorang anak, para orang tuanya harus

memperhitungkan tanggal dan lahirnya, sehingga sesuai dengan nama yang diberikan.

Sehubungan dengan cara pemberian nama, di Indonesia juga ada kebiasaan untuk

memberi julukan kepada seseorang, selain nama pribadinya. Di antara orang Betawi

julukan itu biasanya ada hubungan erat dengan fisiogomi (physiognomy) atau bentuk

tubuh si anak. Umpamanya seorang anak akan dijuluki dengan nama Si Pesek, apabila

bentuk hidungnya pipih. (Danandjaja, 1986: 25)

Bentuk folklor lainnya yang juga termasuk dalam golongan bahasa rakyat

adalah gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional. Gelar kebangsawanan seorang

pria di Jawa Tengah, dengan urut-urutan dari yang paling rendah sampai yang paling

(23)

raden mas panji, dan raden mas aria. Dan bagi wanita adalah raden roro, raden

ajeng, dan raden ayu. Gelar-gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional seperti itu

masih dipergunakan sampai sekarang pada masyarakat di Jawa Tengah. (Danandjaja,

1986: 26)

b. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa.

Menurut Cervanter dalam buku Danandjaja (1986: 28) mendefinisikan

peribahasa atau ungkapan tradisional sebagai kalimat pendek yang disarikan dari

pengalaman yang panjang, sedangkan Bertrand Russel dalam buku Danandjaja

(1986:28) menganggapnya sebagai kebijaksanaan orang banyak yang merupakan

kecerdasan seseorang.

Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan

oleh mereka yang hendak menelitinya: (a) peribahasa harus berupa satu kalimat

ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional saja, seperti misalnya

“astaga” atau “ajigile”, (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar,

misalnya “seperti katak yang congkak” adalah peribahasa, tetapi “seperti kodok yang

sombong” bukan peribahasa, (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya

hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang

berbentuk syair, iklan, reportase olah raga, dan sebagainya. (Brunvard, 1968: 38)

dalam buku (Danandjaja, 1986: 28)

c. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki.

Menurut Danandjaja dalam bukunya yang berjudul “Folklor Indonesia”

mengatakan bahwa: Pertanyaan tradisional, di Indonesia lebih terkenal dengan nama

(24)

yang tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikian rupa, sehingga jawabnya sukar,

bahkan seringkali juga baru dapat dijawab setelah mengetahui lebih dahulu jawabnya.

(Danandjaja, 1986: 34)

Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes dalam buku Danandjaja , (1986:

34) yang berjudul “Folklor Indonesia” mengatakan bahwa: teka-teki adalah

Ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan

(descriptive), sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabnya

(referent) harus diterka.

Selanjutnya menurut kedua sarjana itu teka-teki dapat digolongkan kedalam

dua kategori umum, yakni (1) teka-teki yang tidak bertentangan (nonoppositional

riddles), dan (2) teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles). Pembagian itu

berdasarkan ada atau tidak adanya pertentangan di antara unsur-unsur pelukisan.

d. Sajak dan Puisi Rakyat

Kekhususan genre folklor lisan ini adalah bahwa kalimatnya tidak berbentuk

bebas (free phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat

adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari

beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang

pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Puisi rakyat

dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan tradisional (teka-teki),

cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat yang berupa mantra-mantra. (Danandjaja, 1986:

48)

(25)

Menurut William R. Bascom dalam buku Danandjaja (1986: 49) yang

berjudul “Folklor Indonesia” mengatakan bahwa cerita rakyat dapat dibagi dalam

tiga golongan besar yaitu: (1). Mite (myth) adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap

benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh

para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia

yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau, (2).

Legenda (legend) adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh empunya cerita

sebagai suatu kejadiaan yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite,

legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu

lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda biasanya

bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal di daerah-daerah

yang berbeda. Selain itu, legenda acapkali tersebar dalam bentuk pengelompokan

yang disebut siklus (cycle), yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh

atau suatu kejadian tertentu, dan (3). Dogeng (folklate). Jika legenda adalah sejarah

kolektif (folk history), maka dogeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan.

Selanjutnya dogeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap

benar-benar terjadi. Dogeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga

yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran.

(Danandjaja, 1984: 99)

f. Nyanyian Rakyat (folksongs)

Menurut Brunvand dalam buku Danandjaja yang berjudul “Folklor

Indonesia” mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk

(26)

kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Dalam

nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan,

sehingga salah besar jika dalam pengumpulan nyanyian rakyat orang tidak sekaligus

mengumpulkan lagunya. (Danandjaja, 1986: 141)

2. Folklor Sebagian Lisan

Danandjaja dalam bukunya: “Folklor Indonesia” mengatakan bahwa: Folklor

sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan gabungan unsur lisan dan

bukan lisan. (Danandjaja, 1986: 153)

Adapun yang tergolong dalam kelompok ini adalah:

a. Kepercayaan Rakyat

Kepercayaan rakyat atau yang sering kali juga disebut “takhyu”, adalah

kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana bahkan pandir,

tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berhubung kata “takhyul” mengandung arti merendahkan atau menghina, maka ahli

folklor modern lebih senang mempergunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief)

atau keyakinan rakyat daripada “takhyul” (superstitious), karena takhyul berarti

“hanya khayalan belaka”, (sesuatu yang) hanya di angan-angan saja (sebenarnya tidak

ada). Demikian juga juga istilah superstition barasal dari kata Latin supertitio, yang

berarti “keterlaluan takut pada dewa-dewa”. (Danandjaja, 1986: 153)

Walaupun sudah dihindarkan pemakaian istilah takhyul dan lebih banyak

dipergunakan istilah kepercayaan, namun bagi orang awam yang berpendidikan

Barat, tetap masih memandang rendah kepercayaan rakyat. Hal ini disebabkan oleh

(27)

sudah tentu tidak dapat dibenarkan. Menurut Brunvand (1968: 178) dalam buku

Danandjaja (1986: 153) yang berjudul “Folklor Indonesia”, sikap ini tidak dapat

dibenarkan berdasarkan dua hal seperti berikut:

Pertama, takhyul bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga kelakuan

(behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga alat, dan

biasanya juga ungkapan serta sajak. (Danandjaja, 1986: 153)

Kedua, dalam kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak ada orang, yang

bagaimana modernnya, dapat bebas dari takhyul, baik dalam hal kepercayaannya

maupun dalam kelakuannya. (Danandjaja, 1986: 153)

b. Permainan Rakyat

Menurut Danandjaja (1986: 171) dalam bukunya yang berjudul “Folklor

Indonesia” mengatakan bahwa: Setiap bangsa di dunia umumnya mempunyai

permainan rakyat. Kegiatan ini juga termasuk folklor karena diperolehnya melalui

warisan lisan. Hal ini terutama berlaku pada permainan rakyat kanak-kanak, karena

permainan ini disebarkan hampir murni melalui tradisi lisan dan banyak diantaranya

disebarluaskan tanpa bantuan orang dewasa seperti orangtua mereka atau guru

sekolah mereka. Permainan rakyat di dunia ini, untuk orang dewasa maupun

kanak-kanak, biasanya berdasarkan gerak tubuh seperti lari, dan lompat; atau berdasarkan

kegiatan sosial sederhana, seperti kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian, dan

berkelahi-kelahian. (Danandjaja, 1986: 171)

Berdasarkan perbedaan sifat permainan, maka permainan rakyat (folk games)

dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu permainan untuk bermain (play) dan

(28)

bertanding, adalah bahwa yang pertama lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang

atau rekreasi, sedangkan yang kedua bersifat kurang mempunyai sifat itu. Namun

yang kedua hampir selalu mempunyai lima sifat khusus, seperti (1) terorganisasi, (2)

perlombaan (competitive), (3) harus dimainkan paling sedikit dua orang peserta, (4)

mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dan

(5) mempunyai peraturan yang telah diterima bersama oleh para pesertanya.

(Danandjaja, 1986: 171)

3. Folklor Bukan Lisan

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun

unsur lisan dan bukan unsur lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua

subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor

yang tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah,

bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan

perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional

(gesture). Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat

tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya

di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika),

dan musik rakyat. (Danandjaja, 1986: 22)

2.2. Teori yang Digunakan

Teori merupakan prinsip dasar yang terwujud dan berlaku secara umum dan

akan mempermudah seorang penulis untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi

(29)

Meninjau suatu karya tulis harus mempunyai landasan tulisan yang jelas. Agar

masalah yang hendak diuraikan dapat terperinci dan terarah dengan baik.

Poerwadarminta mengatakan teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai suatu

keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian). (Poerwadarminta, 1976: 1054)

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa teori adalah suatu alat untuk

sarana khusus bagi penulis untuk memandang suatu masalah, atau dengan kata

lainnya untuk mengatakan hubungan sistematik pada sebuah uraian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh

Danandjaja tentang bukunya yang berjudul “Folklor Indonesia”, yaitu Teori Folklor.

Danandjaja membagi folklor atas tiga bagian yaitu:

1) Folklor lisan (verbal folklore),

2) Folklor sebagian lisan (pertly verbal folklore), dan

3) Folklor bukan lisan (non verbal folklore).

Dalam membicarakan fungsi folklor penulis mengacu kepada teori Bascom

(Danandjaja, 1986: 19) menyatakan fungsi penelitian folklor terbagi atas empat yaitu:

1) Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin

angan-angan suatu kolektif,

2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan,

3) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device), dan

4) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu

(30)

Begitupun penulis tidak hanya terpaku pada pendapat Bascom diatas tetapi

fungsi-fungsi upacara ritual ini akan disesuaikan dengan fungsi yang berlaku bagi

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Dasar

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam meneliti upacara ritual pesta

Bona Taon adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yang

bersifat deskriptif, bertujuan untuk menggambarkan secara tepat tata cara pelaksanaan

upacara ritual pesta Bona Taon untuk melihat adanya hubungan tertentu antara suatu

gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa,

mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah

yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1990: 29) sedangkan menurut Suryabrata S,

(1985: 176) penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses

menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah

dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak

mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Dalam mengumpulkan data-data yang nantinya dapat digunakan untuk

menjawab segala permasalahan yang ada, Nettl (1963: 62) menawarkan cara kerjanya

yaitu dengan kerja lapangan (field work). Dalam penelitian lapangan penulis langsung

berinteraksi dengan komunitas atau masyarakat yang membutuhkan (pelaku upacara

ritual pesta Bona Taon). Kegiatan ini dilakukan dengan melihat dan mengamati

(32)

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di Desa Simarpinggan

Kecamatan Sorkam Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. Kira-kira

dua kilometer di sebelah Utara Kota Sibolga, dijalan menuju Barus, dikaki tebing

terjal bukit barisan sepanjang garis pantai barat Sumatera Utara yang menghadap

Samudera Indonesia.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Metode Wawancara, yaitu metode yang dilakukan untuk mendapatkan

keterangan lebih lanjut tentang data yang penulis butuhkan. Adapun teknik

yang digunakan dalam metode ini adalah teknik catat.

2. Metode Observasi partisipatif, yaitu penulis secara langsung turun kelapangan

melakukan pengamatan, dan ikut berpartisipasi dalam upacara ritual pesta

Bona Taon tersebut. Tehnik yang digunakan yaitu tehnik catat.

3. Metode Kepustakaaan (library reseacd) yaitu dengan mencari data dari

buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3.4. Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data

yang mentah sehingga menjadi data yang cermat atau akurat dan ilmiah, dimana data

didapatkan dengan menggunakan alat pencatat seperti buku, pulpen, catatan dan

kamera.

Pada dasarnya, dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas

(33)

Untuk menganalisis data penelitian ini penulis menggunakan metode

Struktural (Nettle dan Bruno, 1964: 125 ), yakni:

1. Mengidentifikasikan data dari lapangan.

Mengidentifikasikan data dari lapangan maksudnya setelah data terkumpul

dari lapangan maka diklasifikasi dan dipilah-pilah sesuai dengan kebutuhan

akan data. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulis dalam menganalisis

data-data yang didapat.

2. Data yang diperoleh akan disusun menjadi tulisan yang baik.

Setelah data diklasifikasi sesuai dengan jenis data yang diperoleh. Kemudian

data-data yang telah terkumpul dan terklasifikasi dibuat dalam bentuk tulisan

atau naratif. Hal ini dikarenakan ini adalah penelitian sastra, maka bentuknya

haruslah berbentuk deskripsi atau narasi.

3. Mengambil kesimpulan dari data penelitian.

Penulis mempunyai tujuan bahwa hasil analisis yang digunakan sudah

terfokus pada satu domain yang akan menghasilkan analisis yang terbatas

(34)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Tahap Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan

4.1.1. Pra-Upacara (sebelum pelaksanaan)

Sebelum pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon, ada beberapa tahap

yang harus dilaksanakan yaitu:

1. Sungkun Nipi

Sungkun nipi ini adalah tahap pelaksanaan dimana roh nenek moyang datang

melalui mimpi kepada Hatobangon Ni Huta untuk menyampaikan pelaksanaan

upacara ritual pesta Bona Taon dan pada saat ini juga diberitahukan kapan waktu

yang tepat untuk upacara ritual pesta Bona Taon itu dilaksanakan.

Yang dilakukan Hatobangon Ni Huta sebelum memimpikan para roh-roh

nenek moyang masyarakat desa Simarpinggan adalah dengan cara menyediakan tiga

lembar daun sirih serta tiga rupa itak (tepung beras yang dikepal) yang tiga warna

(putih, kuning, merah) ditempatkan dalam bakul kecil. Sebelum Hatobangon Ni Huta

tidur, sesajian (sesajen) itu didoakannya dengan mengucapkan mantra-mantranya,

adapun isi mantranya adalah sebagai berikut: ‘Ale Ompung Mulajadi Na Bolon,

marpanghirimon do namangoloi jala namangulahon patik ni debata, nadapotsa do

sogot hangoluan ni tondi asing ni ngolu ni diri on’.

Maksud dari mantra yang diucapkan Hatobangon Ni Huta adalah:

(35)

mempunyai harapan kelak memperoleh kehidupan yang abadi selain dari kehidupan

dunia ini”.

Diyakini masyarakat desa Simarpinggan bahwa dalam mimpi Hatobangon Ni

Huta akan bertemu dengan roh-roh penghuni alam semesta atau roh-roh leluhur yang

sudah mati yang disebut begu dalam bahasa Batak Toba untuk membicarakan kapan

ditentukan hari yang baik untuk memulai upacara ritual pesta Bona Taon itu.

Setelah Hatobangon Ni Huta terbangun dari tidurnya dan sudah mendapat

waktu yang tepat untuk hari pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon yang akan

segera dilaksanakan oleh masyarakat desa Simarpinggan, kemudian Hatobangon Ni

Huta menberitahukan kepada keluarga-keluarga terdekatnya, pengetua adat, dan

perwakilan marga-marga yang ada di Desa Simarpinggan.

2. Marhusip

Marhusip merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam rangka

perencanaan pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon. Arti harafiahnya Marhusip

dalam bahasa batak Toba adalah berbisik. Penulis tidak tahu persis kenapa kata

Marhusip digunakan dalam kegiatan upacara ritual pesta Bona Taon ini, sebab pada

hakekatnya dalam setiap pembicaraan, acara ini bukanlah berbisik bisik melainkan

berbicara normal seperti sediakala dan terkadang diselingi canda dan tawa.

Dari pengalaman penulis setelah mengikuti upacara ritual pesta Bona Taon ini.

Pada tahap acara Marhusip ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini belumlah

disaksikan secara terbuka oleh masyarakat umum (kerabat-kerabat secara

keseluruhan) namun terbatas hanya Hatobangon Ni Huta, perwakilan marga-marga,

(36)

Proses pelaksanaan acara Marhusip yang dilakukan masyarakat desa

Simarpinggan adalah sebagai berikut:

Para perwakilan marga-marga datang secara resmi menemui Hatobangon Ni

Huta dengan membawa Sipanganon (makanan) dan tentunya kedatangan ini telah

disepakati dengan tujuan untuk membicarakan tentang pelaksanaan upacara ritual

pesta Bona Taon yang akan dilaksanakan, sehingga Hatobangon Ni Huta

mengundang para pengetua-pengetua adat desa Simarpinggan untuk menerima

kedatangan para perwakilan marga-marga yang ada di Desa Simarpinggan.

Sesampainya pengetua-pengetua adat dan perwakilan marga-marga di dalam

rumah Hatobangon Ni Huta, pihak perwakilan marga-marga desa Simarpinggan

menyampaikan bahwa mereka datang dengan membawa Sipanganon (makanan).

Kemudian Hatobangon Ni Huta menyuruh salah satu pengetua adat untuk Manigat

(pengertian Indonesianya membuka pembungkus disertai merapikan) makanan yang

dimaksud, lalu kemudian dipersiapkan hidangan untuk dimakan para undangan yang

telah hadir.

Setelah makanan terhidang, salah satu pihak perwakilan marga-marga

mempersembahkan (Pasahathon) makanan (Sipanganon) yang dibawa oleh

perwakilan marga-marga , makanan (Sipanganon) ini adalah seekor ikan mas yang

sudah dimasak dan diatur sedemikian rupa pada tempatnya, dipersembahkan kepada

Hatobangon Ni Huta, dan disaksikan oleh pengetua-pengetua adat.

Hatobangon Ni Huta duduk berhadapan dengan salah satu perwakilan

marga-marga yang akan memberikan makanan (Sipanganon) kepada Hatobangon Ni Huta,

(37)

marga tersebut mengucapkan sepatah kata, adapun sepatah kata yang diucapkannya

berbentuk umpasa.

Adapun umpasa yang disampaikan salah satu perwakilan marga-marga kepada

Hatobangon Ni Huta itu adalah sebagai berikut:

Sise do mula ni hata, sungkun mula ni uhum,

‘ramah tamah awalnya pembicaraan, pertanyaan awalnya peraturan’

Gokhon sipaimaon jou-jou sialusan.

‘undangan yang ditunggu panggilan yang dijawab’.

Kemudian Hatobangon Ni Huta membalas umpasa yang disampaikan salah

satu perwakilan marga-marga itu dan didengarkan oleh semua yang hadir pada acara

tersebut. Adapun umpasa yang diucapkan Hatobangon Ni Huta yang ditujukan

kepada perwakilan marga-marga itu adalah sebagai berikut:

Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi

Napinungka ni ompunta na parjolo

Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi

Artinya: (Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, yang sudah dimulai

leluhur kita terdahulu kita perbaiki dari belakang). Maksudnya: adat istiadat yang

sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil

diperbaiki (disesuaikan) dari belakang.

Hatobangon Ni Huta selaku tuan rumah meminta agar yang membawakan doa

(38)

merekalah yang membawa makanan (Sipanganon) tersebut. Doapun dipanjatkan

kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan), lalu kemudian semua yang hadir makan

bersama sama. Adapun doa yang disebutkan perwakilan marga-marga setelah

diterjemahkan penulis ke dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia adalah sebagai

berikut:

”Dangka ni arirang ma na peak di tonga ni huta on, badan ma na so ra sirang,

tondi ta namarsigonggoman”. ”Tangki ma jala ualang, galinggang jala garege, sai

tubu ma di hita angka anak partahi, jala ulu balang dohot angka boru par mas jala

pareme”. ”Eme sitamba tua parlinggoman ni siborok, ompunta debata do silehon tua,

sai horas ma hita di parorot”. ”Sahat-sahat ni solu sahat ma tu Tigaras, sahat ma hita

leleng mangolu, sahat gabe jala horas”.

Adapun tujuan doa salah satu pengetua adat kepada Debata Mulajadi Na

Bolon adalah sebagai berikut:

Agar menjadi berkat bagi kami Ompung yang menyucikan tubuh dan jiwa

kami di masa mendatang, supaya berlipat ganda yang baik bagi kami, berlimpah

kebijaksanaan seperti raja, termulia bersama istri yang tercinta, dan berilah pada kami

anak-anak yang bijak dan pintar. Agar menyehatkan kami, menjadi obat dan

penangkal penyakit dan bahaya; perlindungan dan kekebalan pada kami, agar kami

tidak tercemar dan terurapkan dari penyucian, yang tidak bisa dihukum.

Setelah selesai makan, Hatobangon Ni Huta memulai pembicaraan, dan

(39)

disampaikan oleh pihak perwakilan marga-marga kepada Hatobangon Ni Huta.

Lalu perwakilan marga-marga menjawab bahwa makanan (Sipanganon)

tersebut merupakan Surung Surung (dalam bahasa batak surung surung merupakan

Jambar atau hak Raja yang tidak perlu dibagikan pada saat acara tersebut).

Adapun maksud dan tujuan dari pembicaraan mereka adalah tentang kesediaan

Hatobangon Ni Huta pada upacara ritual pesta Bona Taon yang akan segera

dilaksanakan oleh masyarakat desa Simarpinggan.

Kemudian Hatobangon Ni Huta memberitahukan kepada pengetua-pengetua

adat desa Simarpinggan (tetua atau orang yang dihormati disekitar tempat tinggal)

yang hadir juga dalam acara Marhusip tersebut, tentang maksud dan tujuan yang

disampaikan oleh perwakilan marga-marga tersebut.

Lalu berdasarkan pertimbangan dari pengetua-pengetua adat desa

Simarpinggan, permohonan perwakilan marga-marga tersebut dikabulkan, bahwa

Hatobangan Ni Huta sudah siap-sedia untuk melaksanakan upacara ritual pesta Bona

Taon yang akan dilaksanakan masyarakat desa Simarpinggan. Maka acara Marhusip

selesai dilaksanakan setelah Hatobangon Ni Huta menjawab permohonan dari

perwakilan marga-marga tersebut.

3. Martonggo Raja

Pada tahap acara Martonggo Raja ini adalah suatu kegiatan pra pesta/acara

(40)

yang bertujuan untuk: mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis

dan non teknis, pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah

ditentukan tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan, memohon

izin pada masyarakat sekitar atau penggunaan fasilitas umum.

Pada tahap acara ini, Hatobangon Ni Huta mengundang semua

pengetua-pengetua adat seperti yang mewakili marga Aritonang, Situmeang, Sihombing,

Simatupang, Huta Barat, Huta Galung, Simanjuntak dan marga-marga lainnya yang

ada di desa Simarpinggan. Maka dilaksanakanlah acara Martonggo Raja, pertemuan

ini dimaksudkan agar mereka menentukan tanggal pelaksanaan upacara ritual pesta

Bona Taon serta mempersiapkan segala keperluan untuk melaksanakan acara tersebut.

Adapun proses pelaksanaan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Hatobangon Ni Huta menyediakan makanan (Sipanganon) untuk makan bersama.

Makanan (Sipanganon) yang disampaikan oleh Hatobangon Ni Huta kepada

perwakilan marga-marga yang hadir bertujuan agar pelaksanaan upacara ritual pesta

Bona Taon dilaksanakan dengan baik dan sukses. Hatobangon Ni Huta mengatakan

bahwa makanan (Sipanganon) tersebut merupakan Jambar bagi perwakilan raja-raja

yang tidak perlu dibagikan pada saat acara tersebut sambil mengucapkan sepatah kata

berbentuk umpasa. Adapun umpasa yang disampaikan kepada perwakilan

marga-marga adalah sebagai berikut:

(41)

‘Bergendang sitidaon, makan kuda sigapiton’

Tu jolo nilangkahon, tupudi sinarihon.

‘Melangkah kedepan, kebelakang dipikirkan’

Pada saat inilah dibagikan (didistribusikan) undangan kepada semua

masyarakat desa Simarpinggan yang sudah ditentukan hari pelaksanaannya upacara

ritual pesta Bona Taon tersebut. Pada saat ini dipersiapkan apa saja yang dibutuhkan

dan siapa yang melaksanakannya seperti persiapan panggung disediakan oleh

pemuda-pemudi masyarakat desa Simarpinggan, persiapan makanan dan minuman

dipersiapkan dari pihak parboru, persiapan tempat penanaman bibit tanaman

dipersiapkan oleh suhut (tuan rumah), tempat penyembelihan hewan persembahan

dipersiapkan oleh pengetua-pengetua adat dan lain-lain.

Dan pada tahap acara ini juga dibicarakan tentang pembagian Jambar agar

pada hari pelaksanaan tidak ada salah paham dalam pembagian hewan persembahan

yang akan disembelih yaitu seekor kerbau.

Setelah tahap acara ini selesai, kemudian mereka menyampaikan kepada

khalayak ramai bahwa upacara ritual pesta Bona Taon akan segera dilaksanakan.

Mereka juga meminta ijin dari pemerintah setempat untuk pelaksanaan upacara ini.

Walaupun begitu, mereka tidak meminta untuk menjadikan hari pelaksanaan upacara

ritual pesta Bona Taon ini sebagai hari libur resmi lokal (hari libur resmi di desa itu).

(42)

desa. Pembagian tugas-tugas dilakukan dengan cara musyawarah dan menurut

kesepakatan mereka masing-masing.

4.1.2. Proses Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon

Upacara ritual pesta Bona Taon dimulai pada pagi hari seiring terbitnya

matahari. Hatobangon Ni Huta membuka acara ini dengan memanjatkan doa kepada

Debata Mulajadi Na Bolon ‘sang pencipta’. Acara ini berlangsung di lapangan

(onan). Adapun doa yang diucapkan Hatobangon Ni Huta adalah sebagai berikut:

“Ditonggo asa diparo Mulajadi Na Bolon, tondi ni ompu tu ulaon on. Binahen

saring-saring ni ompung ta ma tu tambak na guminjang, tu ginjang ma parhorasan,

asa tu ginjang ma panggabean, patumpahon ni ompunta ma. Debata dohot tumpahon

ni tondi ni angka raja di loloan.

Artinya adalah setelah diterjemahkan penulis kedalam terjemahan bebas

bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

“Didoakan supaya didatangkan oleh Mulajadi Na Bolon rohnya ke dalam

upacara ini. Dengan ditaruhnya tulang belulang nenek moyang kita, ke dalam

kampung ini, kiranya meningkatlah kemakmuran, keberhasilan dan kesejahteraan

yang dikerjakan oleh Debata yang berbahagia, dan disokong oleh roh-roh para raja

yang hadir si sini”.

Doa ini secara langsung mengundang roh-roh nenek moyang untuk datang ke

(43)

ritual pesta Bona Taon yang akan segera dilaksanakan. .

Masyarakat desa Simarpinggan dalam tahap acara ini menyebut upacara Mala

Debata. Yang menarik dalam upacara ini adalah karena sebutannya menyangkut

Debata Mulajadi, tertuju pada Debata ‘Tuhan’. Mala Debata berarti memberikan

persembahan kepada Tuhan.

Jalannya upacara Mala Debata dilaksanakan dengan sederhana, yang diiringi

musik gondang tanpa tarian. Upacara itu dilaksanakan ditempat keramat, tempat itu

disebut Onan ‘lapangan’. Dipanggung alam terbuka itu didirikan sebuah Joro

‘bangunan mini rumah tradisional’.

Adapun proses pelaksanaan ritual Mala Debata yang dilakukan masyarkat

desa Simarpinggan adalah sebagai berikut:

Acara Mala Debata dilaksanakan dalam Joro yang bertempat di lapangan

(onan). Setelah gendang (gondang) dibunyikan, naiklah seorang wanita yang

sebelumnya sudah ditunjuk oleh Hatobangon Ni Huta ke dalam Joro tersebut. Si

wanita tersebut memakai kain tudung putih sambil menggendong sebuah guci berisi

air pagar ‘air suci’ dan membawa seekor ayam dan tujuh lembar daun sirih beralas

kain putih dengan sikap menyembah. Di dalam Joro sudah tersedia setumpuk

daupa ‘gabah’, yang ditempatkan dalam kuali tanah liat, diletakkanan diatas bara api.

Pada pelaksanaan ritual Mala Debata ini si wanita tadi, dibantu oleh empat orang

laki-laki yang ditunjuk oleh Hatobangon Ni Huta.

Pertama-tama si wanita itu berkeliling tujuh kali dalam Joro. Wanita tersebut

(44)

itu bergiliran mengikuti gerak wanita itu di dalam Joro tersebut. Hatobangon Ni Huta

memperhatikan gerakan mereka sambil membacakan doa kepada Debata Mulajadi

Na Bolon.

Setiap wanita itu berkeliling satu putaran dan empat orang laki-laki yang

berkeliling dalam Joro tersebut, Hatobangon Ni Huta-pun mengucapkan doa-doanya.

Adapun doa yang diucapkan Hatobangon Ni Huta kepada Debata Mulajadi

Na Bolon adalah sebagai berikut:

Adat do ugari

Sinihathon ni Mulajadi

Siradotan manipat ari

Siulahonon di siulu balang ari

Artinya dalam bahasa Indonesia setelah diterjemahkan penulis kedalam

terjemahan bebas bahasa Indonesia adalah sebagai berikut; Adat adalah aturan yang

ditetapkan oleh Tuhan Pencipta, yang harus dituruti sepanjang hari dan tampak dalam

kehidupan.

Selama upacara, semua pengetua-pengetua adat yang berperan serta dalam

upacara itu, duduk dilokasi berbentuk setengah lingkaran yang menghadap ke Joro

tersebut. Hatobangon Ni Huta duduk di bagian tengah didampingi oleh empat

pengetua adat lainnya. Disebelah kiri dan kanannya duduk para

(45)

Berikut di bawah ini gambar skema dari upacara ritual Mala Debata:

Pada pagi hari itu juga, masyarakat desa Simarpinggan sibuk mempersiapkan

perlengkapan acara seperti: makanan, minuman dan tempat persembahan, serta

menunggu dan menyambut para tamu undangan yang datang dari tempat jauh.

Setelah upacara Mala Debata sudah selesai maka dilaksanakan acara

selanjutnya adalah tahap penanaman bibit tanaman. Penanaman bibit tanaman ini

dipimpin oleh Hatobangon Ni Huta. Penanaman bibit tanaman ini dilakukan secara

simbolis yang dilaksanakan di tempat dimana mereka bertani. Adapun yang

dilakukan masyarakat desa Simarpinggan dalam acara ini adalah seluruh masyarakat

berkumpul dilokasi tempat penanaman bibit tanaman, lokasi tempat penanaman bibit Joro

Pengetua adat Hatobangon Ni Huta

Pengetua adat

(46)

tanaman ini ditentukan oleh Hatobangon Ni Huta dan pengetua-pengetua adat desa

Simarpinggan.

Hatobangon Ni Huta membuka acara ini dimulai dengan mengucapkan

mantra-mantranya kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan) agar bibit tanaman

yang ditanam mereka subur dan hasil panenannya melimpah ruah, sambil

memberikan cangkul kepada perwakilan marga-marga yang ada di Desa

Simarpinggan dan mengucapkan mantra-mantranya. Adapun mantra-mantranya yang

dipanjatkan Hatobangon Ni Huta kepada Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai

berikut:

Tul tanjung holi ampe tu bulung bira

(Luka pada tulang-tulang ditimpa kedaun talas)

Bisa ni tano bisa ni langit toh, lah, lah, lah, lah, lah, lah...

(Bisa tanah, bisa langit menjadi hilang, berkat Tuhan)

Selanjutnya para perwakilan marga-marga menanam bibit tanaman yang

sudah ditentukan lokasi penanaman bibit tanamannya sebelumnya. Adapun bibit

tanaman yang ditanam seperti padi dan jagung maupun bibit tanaman yang dijadikan

sebagai usaha keluarga seperti bibit pohon karet, durian, sawit, kopi, coklat, dan

lain-lain. Setelah acara ini selesai mereka kembali ke tempat pelaksanaan upacara ritual

pesta Bona Taon (onan).

Menjelang siang hari hewan persembahan yaitu seekor kerbau digiring ke

Onan untuk disembelih. Yang mengiring hewan persembahan ini adalah seoramg

Pamuhai (penyembelih hewan persembahan). Pada saat itu hewan persembahan dapat

(47)

Hewan kerbau bersifat profan tergambar dari pandangan masyarakat desa

Simarpinggan bahwa kerbau merupakan hewan persembahan yang memiliki nilai

paling tinggi dibandingkan hewan lain.

Setelah semua peralatan untuk menyembelih hewan persembahan sudah

dipersiapkan kemudian hewan persembahan dibawa berkeliling oleh seorang

Pamuhai ke lapangan (onan) sebanyak tiga kali di tempat upacara ritual pesta Bona

Taon itu dilaksanakan, semua masyarakat yang hadir bersuka cita dan tanda suka

citanya mereka melemparkan beras (boras si pir ni tondi) kepada yang mengiring

kerbau tersebut sambil bersorak horas…horas…horas….

Horas adalah salam khas orang Batak yang berarti selamat, salam sejahtera,

yang kerap diucapkan dalam kehidupan sehari-hari bila dua orang atau lebih bertemu.

Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain

yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga

sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak.

Kemudian setelah hewan persembahan tersebut sudah diikat maka semua

bersiap-siap untuk manortor (menari). Adapun jenis gondang yang mengiringi tor-tor

‘tarian’ yang mereka bawakan dalam upacara itu adalah:

1. Gondang Alu-alu, gondang sebelum acara dimulai,

2. Gondang Mula-mula, gondang bahwa acara sudah dimulai,

3. Gondang Somba-somba, gondang ini ditujukan kepada Ompung Debata

(48)

4. Gondang Elek-elek, gondang ini datang dari pihak hula-hula untuk mangelek

(merayu) parboru supaya tetap rajin karena mereka telah lelah dalam

mempersiapkan segala kelengkapan upacara ritual pesta Bona Taon ini,

5. Gondang Marpangidoan, semua yang hadir dapat manortor (menari) serta

meminta kepada Ompung Debata Mulajadi Na Bolon supaya mendapat

berkah,

6. Gondang Si Boru, diberikan khusus untuk pihak parboru untuk menari atau

manortor,

7. Gondang Liat-liat, gondang ini merupakan simbolis mengelilingi dunia serta

lambang persatuan,

8. Gondang Olop-olop, gondang ini adalah lambang ikrar bahwa semua telah

bersatu, dan

9. Gondang Hasahaton, gondang ini bertujuan agar segala sesuatu yang

diinginkan tercapai.

Pada saat ini juga hewan persembahan disembelih oleh seorang yang ahli

untuk menyembelih hewan persembahan tersebut, masyarakat desa Simarpinggan

menyebut dia dengan julukan Pamuhai. Dimana dia adalah seorang perantara yang

menyembelih hewan persembahan tersebut. Setelah hewan persembahan selesai

disembelih, dia langsung pulang tidak diperbolehkan melihat kebelakang (lokasi

upacara pesta Bona Taon). Datangnya dewa-dewa ditandai dengan datangnya angin

(49)

Pada tahap acara ini juga seluruh pelaku upacara ritual pesta Bona Taon

mengadakan pembagian Jambar (daging hewan persembahan dibagikan kepada yang

bersangkutan sesuai dengan aturan yang ada di Batak Toba).

Jambar adalah istilah yang sangat khas Batak. Kata Jambar menunjuk

kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok

orang). Yaitu: hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar)

Pada pembagian jambar juhut (hewan persembahan) terdapat aturan tertentu

yang disebut ruhut papangan yaitu:

a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.

b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.

c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.

d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula- hula.

e. Bagian belakang (ihur-ihur ) untuk pihak hasuhuton.

Adanya aturan memberi perlakuan khusus pada Raja yaitu masyarakat desa

Simarpinggan menjelaskan keberadaan tanduk kerbau sebagai ornamen rumah adat.

Perlakuan khusus kepada Hatobangon Ni Huta (pemimpin adat) adalah berupa

pemberian bagian kepala hewan persembahan tersebut.

Mereka yakin bahwa daging yang didapat dari hasil persembahan akan

menambah berkah bagi mereka yang memakannya. Setelah pembagian Jambar itu

selesai, maka upacara ritual pesta Bona Taon yang dilakukan masyarakat desa

(50)

4.2. Fungsi Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan.

Upacara ritual pesta Bona Taon diselenggarakan oleh masyarakat Desa

Simarpinggan Kecamatan Sorkam Kabupaten Tapanuli-Tengah yang terdiri dari

agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik, semua menjadi satu tanpa membedakan

agama dan status sosial.

Masyarakat desa Simarpinggan ingin agar panenan berhasil sehingga mereka

melaksanakan upacara ritual pesta Bona Taon untuk menjamin sejauh mungkin

musim tumbuh yang baik dan panenan yang berhasil. Masyarakat desa Simarpinggan

ingin melestarikan kehendak yang baik leluhur mereka yang telah terlebih dahulu

meninggalkan mereka.

Semua upacara diarahkan pada masalah transformasi keadaan dalam manusia

dan alam. Tujuannya bermacam-macam; ada yang bertujuan untuk menjamin

perubahan amat cepat dan menyeluruh pada keadaan akhir yang diinginkan oleh

pelaku upacara ritual serta ada juga yang bertujuan untuk mencegah perubahan yang

tidak diinginkan.

Adapun fungsi upacara pesta Bona Taon pada masyarakat desa Simarpinggan

adalah sebagai berikut:

1. Sebagai alat pewarisan adat istiadat atau tradisi kebudayaan kepada generasi

penerus. Dalam hal ini supaya generasi penerus di Desa Simarpinggan tidak

melupakan ajaran-ajaran yang telah diberikan oleh pengetua-pengetua adat,

karena merekalah yang nantinya akan meneruskan adat-istiadat kepada generasi

(51)

2. Sebagai alat persatuan masyarakat desa Simarpinggan. Kehidupan kota besar

dan modern membuat banyak orang, termasuk orang-orang Batak

terpencar-pencar dan tercerai-berai. Di kota yang sungguh ramai dan hiruk-pikuk seperti di

kota Jakarta banyak orang bisa merasa sepi, sendiri dan bahkan terasing. Melalui

upacara ritual pesta Bona Taon, masyarakat desa Simarpinggan menemukan

dirinya tidak sendirian namun memiliki keluarga, sanak dan saudara. Dan

perasaaan memiliki-dimiliki, disayang-menyayang itu sangat membahagiakan

serta menguatkan di tengah kenyataan hidup yang keras ini. Pengamatan

penulis, upacara ritual pesta Bona Taon sering sekali menjadi reuni dan ajang

nostalgia yang mengharukan antar orang-orang yang merasa bertalian darah.

3. Sebagai alat pencetus kepercayaan. Menurut Bona Taon ini, komunitas

masyarakat desa Simarpinggan diajak untuk menyatukan doa. Bersyukur atas

berkat yang telah diberikan, berdoa memohon perlindungan, penyertaan, dan

menuruti semua perintah-Nya. Apapun yang hendak mereka lakukan di tahun

yang baru ini tidak akan berhasil jika tidak disertai dan diberkati oleh Tuhan.

Oleh karena itu upacara ritual pesta Bona Taon bagi komunitas masyarakat desa

Simarpinggan memiliki fungsi spritual yang sangat dalam, yaitu sebagai suatu

ritus pemulihan dan penyegaran iman bersama. Maka, wajar jika tidak

melakukan upacara ritual pesta Bona Taon, banyak masyarakat desa

Simarpinggan merasa ada yang salah atau kurang dalam kehidupannya.

4. Sebagai penegasan identitas. Sejalan dengan itu upacara ritual pesta Bona Taon

juga menjadi wadah untuk menegaskan identitas suku Batak. Walaupun tidak

Gambar

Gambar 1: Salah satu pengetua adat desa Simarpinggan sedang menyangkul saat penanaman bibit  tanaman sedang berlangsung
Gambar 2: Hatobangon Ni Huta saat memberikan cangkul kepada salah satu masyarakat desa Simarpinggan
Gambar 5: Seoarang Datu ‘dukun’ sedang membacakan doa dan mantra-mantranya.
Gambar  7:   Masyarakat desa Simarpinggan sedang menari  ‘manortor’ ketika upacara ritual pesta Bona Taon sedang berlangsung
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tari Dakdeng adalah bagian dalam ritual upacara Tolak-bala, yang merupakan kesatuan dan pengiring dalam ritual upacara Tolak bala pada masyarakat Melayu di Desa

upacara ritual Jamuan Laut masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin.. memiliki perbedaan dalam hal penyampaian dengan

Bedasarkan hasil penilitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa bentuk penyajian upacara ritual Perumah Nini Tapin pada masyarakat Karo terdiri dari 3 yaitu persiapan

Untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam proses pelaksanaan upacara Ngaben pada masyarakat Bali di Desa Paya Tusam.. Untuk mengetahui kapan dilaksanakan upacara Ngaben

Pada masalah ini perhatian utama yang akan diteliti adalah pada upacara tradisi pesta laut yang merupakan suatu bentuk upacara khas masyarakat nelayan yang hidup di

Gong Timor dalam upacara ritual Tfua Ton berfungsi sebagai salah satu sarana yang dimainkan pada pada saat upacara berlangsung. Menurut kepercayaan masyarakat Desa Napan, Gong Timor

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam upacara ritual Reba pada masyarakat Luba Desa Tiworiwu Kecamatan Jerebuu mempunyai tata cara atau pelaksanaan yang

Musyawarah Mufakat dalam Upacara Ritual Syukuran Laut Masyarakat Melayu di Desa Jaring Halus Kecamatan SecanggangKabupaten Langkat. Universitas