Skripsi
UPACARA RITUAL PESTA BONA TAON PADA MASYARAKAT
SIMARPINGGAN KECAMATAN SORKAM : SUATU TINJAUAN
FOLKLOR
Dikerjakan O
L E H
Nama : Christ Sihombing. Nim : 030703015
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN
PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi
salah satu syarat ujian untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Bahasa dan
Sastra Batak di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.
Hari/Tanggal : ……….
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan
Dekan,
Nip : 1312098531
Drs. Syaifuddin, M.A..Ph.D
Panitia Ujian :
No Nama Tanda Tangan
1. ……… ………...
2. ……… ………
3. ……… ………
4. ……… ………
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberi
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses pengerjaan
skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat
Simarpinggan Kecamatan Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor”.
Skripsi ini disusun dalam 5 (lima) bab, yakni bagian bab pertama adalah
pendahuluan yang dibagi atas: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan anggapan dasar, bagian bab kedua merupakan tinjauan
pustaka yang terdiri dari kepustakaan yang relevan dibagi atas pengertian upacara
ritual, pengertian pesta Bona Taon pada masyarakat desa Simarpinggan, pengertian
folklor, dan pembagian folklor, teori yang digunakan, pada bab ketiga merupakan
metode penelitian yang dibagi atas metode dasar, lokasi penelitian, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data, pada bab keempat merupakan
pembahasan yang terdiri dari tahap pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon pada
masyarakat desa Simarpinggan yang dibagi atas pra-upacara (sebelum upacara) dan
proses pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon, fungsi upacara ritual pesta Bona
Taon pada masyarakat desa Simarpinggan, hubungan upacara ritual pesta Bona Taon
dengan kajian folklor yang terdiri dari kelompok folklor lisan, kelompok folklor
sebagian lisan, dan kelompok folklor bukan lisan, sosial-budaya masyarakat pelaku
upacara ritual pesta Bona Taon yang terdiri dari sistem kekerabatan, propesi atau
yang merupakan kesimpulan dan saran, diuraikan mengenai kesimpulan dan saran
dari penulis kemudian ditutup dengan daftar pustaka dan lampiran.
Judul ini diperoleh dan dimunculkan berdasarkan data-data yang diperoleh dari
beberapa informan yang aktif mengetahui upacara ritual pesta Bona Taon. Penulis
mengangkat judul ini karena sepanjang pengetahuan penulis upacara ritual ini belum
pernah diangkat dan dianalisis ataupun dibukukan.
Penulis menyadari, kalau skripsi ini belumlah sempurna. Penulis membuka diri
kepada semua pihak untuk memberikan saran serta masukan demi tercapainya skripsi
ini ke arah penyempurnaan.
Medan, Mei 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, dari lubuk hati yang tulus dan ikhlas penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara, Pembantu Dekan I, II, III, Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
2. Drs. Baharuddin, M. Hum. Selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas
Sastra Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan dorongan
dan semangat kepada penulis.
3. Dra. Herlina Ginting, M.Hum. Selaku pembimbing I, yang telah banyak
mengorbankan waktu dan tenaga serta memberikan perhatiannya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. Sumurung Simorangkir, M.Pd. Selaku pembimbing II, dan sekaligus
dosen wali penulis yang telah memberikan tenaga, pikiran, dan waktu untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara yang
telah mendidik penulis semenjak berada di Departemen Sastra Daerah
Universitas Sumatera Utara.
6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis J. Sihombing. S.Pd. dan ibunda
tercinta D. Situmeang. Ampd, yang telah banyak berkorban baik materi,
tenaga, yang melimpahkan kasih sayang kepada penulis dan doa sehingga
7. Kepada abang penulis Joy Amrod Sihombing dan Kakak ipar penulis Lesta
Ria Br.Simanjuntak, dan adik-adik penulis Cory Elita, Anna Bella Ohari,
Koko Res Monang dan si kecil tersayang Bella Vista, yang telah banyak
memberikan dorongan dan harapan serta hiburan kepada penulis.
8. Keluarga Abdul Halim Pohan dan Nur’hayati Lubis yang sangat menyayangi
penulis layaknya seorang anak.
9. Rekan-rekan satu stambuk 2003, Dedy Uthari, Armen , Eko Saut, Epan,
Lizen, Marjuki, Martiwan, Risdo, Ihsan, Herbet, Tama, Risnawati, Anda
Wahyu, Fitri, Marta, Suri, Yulia, Melpa, Yuli, dan yang lainnya. Salut dan
bangga punya teman seperti kalian.
10.Kepada semua informan yang banyak memberikan informasi sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan dengan baik.
11.Kepada rekan-rekan seperjuangan Jan, Frans, Ma’in, Marcel, Jul Kling, Jul
Murdep, Panji, Kalkun, Ipan, Kibo, Julianto, Dayat, dan yang lainnya.
12.Seluruh keluarga besar yang tinggal di desa Simarpinggan yang banyak
memberikan dorongan kepada penulis sehingga mencapai gelar sarjana.
Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis hanya dapat mengucapkan
terima kasih. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan kehidupan yang baik
kepada kita semua. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, sekarang dan
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……… i
UCAPAN TERIMA KASIH………... iii
DAFTAR ISI.……….. iv
BAB I PENDAHAULUAN………... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ……….. 1
1.2. Rumusan Masalah………... 6
1.3. Tujuan Penelitian……….. 6
1.4. Manfaat Penelitian……… 7
1.5. Anggapan Dasar………. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 9
2.1. Kepustakaan Yang Relevan……… 9
2.1.1. Pengertian Upacara Ritual………. 9
2.1.2. Pengertian Bona Taon pada masyarakat desa Simarpinggan... 11
2.1.3. Pengertian Folklor………..………... 12
2.1.4. Pembagian Folklor……… 14
BAB III METODE PENELITIAN………. 24
3.1. Metode Dasar………... 24
3.2. Lokasi Penelitian……….. 25
3.3. Metode Pengumpulan Data………... 25
3.4. Metode Analisis Data………... 25
BAB IV PEMBAHASAN………. 27
4.1. Tahap Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan……….... 27
4.1.1. Pra-Upacara (sebelum upacara)……….... 27
4.1.2. Proses Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon………... 36
4.2. Fungsi Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan………... 44
4.3. Hubungan Upacara Ritual Pesta Bona Taon dengan Kajian Folklor... 47
4.3.1. Kelompok Folklor Lisan………... 47
4.3.2. Kelompok Folklor Sebagian Lisan………... 54
4.3.3. Kelompok Folklor Bukan Lisan ………... 56
Pesta Bona Taon…... 58
4.4.1. Sistem Kekerabatan………... 59
4.4.2. Propesi atau Mata Pencaharian………... 62
4.4.3. Kepercayaan………... 62
4.4.4. Bahasa………... 64
4.4.5. Nilai Pendidikan………... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………... 67
5.1. Kesimpulan………. 67
5.2. Saran……….……….. 70
DAFTAR PUSTAKA………... 71 LAMPIRAN:
Lampiran 1: Surat Keterangan Kepala Desa Simarpinggan
Lampiran 2: Surat Izin Penelitian
Lampiran 3: Daftar Informan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa,
yang pada umumnya mempunyai nilai budaya yang tersendiri. Dalam kehidupan
berbangsa yang satu, semua suku bangsa Indonesia pada umumnya memiliki
perbedaan dalam berbudaya. Perbedaan yang dimaksud adalah bahasa, sastra, dan
budaya. Masing-masing perbedaan yang terdapat dalam suku bangsa itu tetap dijaga
dan dipelihara demi pengembangan ilmu bahasa, sastra, dan budaya.
Kebudayaan nasional harus dipelihara dan dikembangkan untuk menjalin
kehidupan bangsa Indonesia yang bersatu. Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa
suku bangsa yang mempunyai kebudayaan tersendiri dan selalu mendukung
perkembangan budaya nasional.
Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek pada
berbagai jenis prilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh.
Perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan tidak terlepas dari masalah
kesusastraan daerah, karena sastra daerah adalah salah satu modal memperkaya dan
memberikan sumbangan terhadap sastra Indonesia.
Kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa yang perlu dipelihara agar
dapat memperkaya dan mewarnai kebudayaan nasional, karena kebudayaan daerah
merupakan sumber paling potensial yang dapat memberikan corak dan karakteristik
Hal ini dapat dilihat dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 32
bagian penjelasan yang berbunyi:
“Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai upaya budi
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayan lama dan asli yang terdapat sebagai
kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indanesia terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Upaya kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adat, budaya, dan
persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan dari kebudayaan asing yang
dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajad
kemanusiaan bangsa Indonesia”.
Kebudayaan tetap berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga
menghasilkan beragam budaya. Khasanah kekayaan budaya suku bangsa di Indonesia
masih banyak dalam bentuk tidak tertulis (lisan) dan sebagian lainnya telah terhimpun
dalam data verbal.
Berbagai kepercayan rakyat, adat istiadat, mitos, serta deskriptif tentang wujud
unsur-unsur tentang kebudayaan yang telah tergabung dalam folklor, masih banyak
yang belum diketahui secara luas untuk dapat dicatat dan dibukukan.
Dalam tradisi Batak Toba, secara umum banyak memiliki jenis upacara adat.
Saat ini tradisi yang dimiliki oleh nenek moyang Batak Toba itu masih ada yang
bertahan tetapi tidak dipungkiri telah banyak juga yang punah. Begitu pula dengan
sejarah perkembangan kebudayaan di Indonesia dan daerah-daerah.
Kebudayaan daerah terangkum di dalam kebudayaan nasional. Salah satu dari
kebudayaan itu adalah kebudayaan suku Batak Toba, sebagian besar suku Batak Toba
Sebagai salah satu contoh dapat dilihat dalam upacara ritual yang dilakukan oleh
masyarakat desa Simarpinggan kecamatan Sorkam kabupaten Tapanuli Tengah.
Masyarakat desa Simarpinggan adalah kelompok masyarakat Batak Toba yang
berasal dari berbagai marga. Mereka masih melaksanakan tradisi sesuai dengan tradisi
lama yang diwariskan kepada mereka, seperti upacara ritual pesta Bona Taon yang
dilakukan sejak zaman dahulu pada setiap tahunnya.
Upacara ritual pesta Bona Taon ini dilaksanakan ketika musim tanam tiba.
Biasanya diselenggarakan di awal tahun sesuai dengan kalender pertanian tradisional
yang diumumkan oleh pemerintah setempat atas pemberitahuan Hatobangon Ni Huta
(orang yang dituakan di Desa Simarpinggan/pengetua adat). Upacara ritual ini sangat
penting dalam kebudayaan masyarakat desa Simarpinggan, dan telah dilaksanakan
secara turun-temurun dan merupakan warisan budaya nenek moyang masyarakat desa
Simarpinggan.
Sesungguhnya banyak hal mistik yang terdapat dalam upacara ritual pesta
Bona Taon ini. Salah satunya adalah upacara ini harus dilangsungkan di sebidang
tanah ‘Onan’ yang dianggap keramat oleh masyarakat desa Simarpinggan karena
tanah itu dipilih sebagai tempat penguburan bersama, peradilan (toguan), dan pasar.
Tanah itu khusus dipilih pengetua-pengetua adat setempat sebagai tempat
berlangsungnya upacara ritual pesta Bona Taon tersebut.
Adapun tujuan upacara ritual pesta Bona Taon ini adalah untuk berdoa kepada
Sang Maha Pencipta (Debata Mulajadi Na Bolon) dan mendoakan para leluhur yang
terlebih dahulu meninggalkan mereka. Hal ini bertujuan agar kelak hasil panen
kehidupan yang makmur terwujud. Upacara ini juga diyakini dapat menghindarkan
mereka dari musibah-musibah bencana alam seperti banjir, gempa, longsor, dan
lain-lain.
Upacara ritual pesta Bona Taon yang dilaksanakan masyarakat desa
Simarpinggan pada saat ini, sangat jarang kita temui di daerah batak lainnya. Hal
inilah yang membuat penulis tertarik untuk mendeskripsikan dan mengkaji tentang
upacara ritual pesta Bona Taon yang dilaksanakan oleh masyarakat desa
Simarpinggan kecamatan Sorkam sebagai tugas akhir penulis.
Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa penulis melihat ada kaitan yang
erat antara upacara ritual pesta Bona Taon dengan folklor. Upacara tersebut
memperlihatkan corak khas kebudayaan daerah, khususnya suku Batak Toba.
Disamping sebagai corak dan ciri khas, upacara tersebut sekaligus sebagai alat untuk
menjaga kelangsungan kebudayaan yang mereka miliki.
Maka pada kesempatan ini, penulis menggunakan kajian folklor dalam
menganalisis upacara ritual pesta Bona Taon tersebut karena folklor mempunyai
kelompok besar dalam upacara ini.
Adapun salah satu yang tergolong folklor dalam upacara ritual pesta Bona
Taon ini adalah seperti kepercayaan rakyat masyarakat desa Simarpinggan yang
terdapat pada folklor lisan tentang kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat sering
juga disebut ‘takhyul’. Takhyul adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan
Barat yang dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga
Penulis tinggal di daerah Simarpinggan kecamatan Sorkam sehingga sering
mengikuti dan menyaksikan upacara ritual pesta Bona Taon ini. Selain itu, penulis
juga adalah suku Batak. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis membuat judul
“Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat Simarpinggan Kecamatan
Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor”.
Semoga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan bermanfaat terutama
dalam melestarikan budaya khususnya kebudayaan suku Batak Toba. Agar kekayaan
kebudayaan di Indonesia dapat tercatat secara faktual.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah sangat penting dalam pembuatan skripsi, karena dengan
adanya perumusan masalah maka deskripsi masalah akan terarah, sehingga hasilnya
dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Adapun masalah yang akan dibahas
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon di Desa
Simarpinggan.
2. Bagaimana fungsi upacara ritual pesta Bona Taon pada masyarakat desa
Simarpinggan.
3. Bagaimana hubungan upacara ritual pesta Bona Taon dengan kajian Folklor.
4. Bagaimana sosial-budaya masyarakat pelaku upacara ritual pesta Bona Taon
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yang hendak dicapai dalam skripsi adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon di Desa
Simarpinggan.
2. Menjelaskan fungsi upacara ritual pesta Bona Taon pada masyarakat desa
Simarpinggan.
3. Menganalisis hubungan upacara ritual pesta Bona Taon dengan kajian Folklor.
4. Menjelaskan sosial-budaya masyarakat pelaku upacara ritual pesta Bona Taon
di Desa Simarpinggan.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana masyarakat desa Simarpinggan dalam mengikuti
upacara ritual pesta Bona Taon.
2. Untuk mendokumentasikan upacara ritual pesta Bona Taon agar terhindar dari
kepunahan sehingga dapat diwariskan kepada generasi penerus.
3. Untuk mengungkap dan melestarikan budaya-budaya di sekitar masyarakat.
4. Memperkaya apresiasi sastra daerah, khususnya apresiasi terhadap budaya
Batak.
5. Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta
1.5. Anggapan Dasar
Anggapan dasar merupakan titik tolak pemikiran untuk penyelidikan tertentu
yang sebenarnya dapat diterima tanpa perlu dibuktikan. (Anwarsyah, 1993: 7)
Anggapan dasar atau asumsi merupakan pokok-pokok pikiran yang menjadi
landasan atau dijadikan titik tolak dalam mendekati masalah. (Anwarsyah, 1993: 7)
Berdasarkan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, maka anggapan dasar
dalam skripsi ini adalah “Upacara ritual pesta Bona Taon merupakan sebagian dari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung
pemecahan masalah dalam suatu penelitian yang semuanya itu bersumber dari
pendapat para ahli, emperisme (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar peneliti
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Sesuai dengan judul “Upacara Ritual Pesta Bona Taon Pada Masyarakat
Simarpinggan Kecamatan Sorkam: Suatu Tinjauan Folklor”. Penulis menggunakan
buku karangan Danandjaja yang berjudul “Folklor Indonesia”. Buku ini digunakan
untuk membantu penulis dalam mengkaji dan menganalisis upacara ritual pesta Bona
Taon tersebut.
2.1. Kepustakaan yang relevan 2.1.1. Pengertian Upacara Ritual
Sesuai dengan etimologisnya, upacara ritual dapat dibagi atas dua kata yakni
upacara dan ritual. Upacara adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan sekelompok
orang serta memiliki tahapan yang sudah diatur sesuai dengan tujuan acara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Ritual adalah suatu hal yang berhubungan
terhadap keyakinan dan kepercayaan spritual dengan suatu tujuan tertentu.
(Situmorang, 2004: 175)
Maka Situmorang dapat menyimpulkan bahwa pengertian upacara ritual
terhadap keyakinan dan kepercayaan spritual dengan suatu tujuan tertentu.
(Situmorang, 2004: 175)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian upacara adalah
sebagai berikut:
a) Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan
tertentu menurut adat atau agama,
b) Perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan
peristiwa penting.
Sedangkan pengertian ritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah hal ihwal tatacara dalam upacara keagamaan. (Team Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, 2002: 1386)
Menurut Purba dan Pasaribu, dalam buku yang berjudul “Musik Populer”
mengatakan bahwa: Upacara Ritual dapat diartikan sebagai peranan yang dilakukan
oleh komunitas pendukung suatu agama, adat-istiadat, kepercayaan, atau prinsip,
dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan ajaran atau nilai-nilai budaya dan spritual
yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka. (Purba dan Pasaribu,
2004: 134)
Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah:
sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang
biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1990: 190)
Setiap tahun pada bulan Januari, masyarakat desa Simarpinggan selalu
menggelar upacara yang bernama Bona Taon. (arti harfiahnya: Pangkal Tahun). Dulu
diberi nama pesta sekarang partangiangan atau kebaktian. Kegiatannya sama saja
yaitu kumpul-kumpul sesama, kebaktian sejenak, makan-makan, menari bersama
(manortor), dan nyanyi-nyanyi.
Upacara ini telah berlangsung dan menjadi tradisi sejak zaman nenek moyang
masyarakat desa Simarpinggan. Upacara ritual pesta Bona Taon ini dilakukan setiap
awal tahun. Acara ini dilakukan untuk merajut silaturahmi kebersamaan dan tali
persaudaraan masyarakat desa Simarpinggan.
Dari pengamatan penulis Bona Taon ini dilakukan oleh semua masyarakat
desa Simarpinggan, mulai dari keluarga yang bertalian darah secara dekat sampai
pada kumpulan marga-marga yang ada di Desa Simarpinggan. Maka dapat
disimpulkan penulis bahwa Bona Taon adalah sebagai peneguhan citra diri pada suatu
kelompok.
Menurut Bapak Situmeang selaku kepala desa Simarpinggan, pesta Bona Taon
mempunyai pengertian sebagai pesta atau upacara ritual untuk membuka tahun.
Dilaksanakan diawal tahun dan dimaksudkan agar tahun yang akan dijalani membawa
berkah seperti hasil pertanian di desa itu berhasil dan melimpah ruah.
2.1.3. Pengertian Folklor
Berdasarkan etimologisnya, kata folklor berasal dari bahasa Inggris yakni
folklore. Kata itu merupakan kata majemuk yang berasal dari dua buah kata yakni folk
Menurut Dundes dalam Danandjaya folk adalah sekelompok orang yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga data dibedakan dari
kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna
kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa
yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. (Danandjaja, 1986: 1)
Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah mempunyai suatu
tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua
generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu, yang paling
penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri.
(Danandjaja, 1986: 2)
Jadi, folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri
pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian
sebagai kesatuan masyarakat. (Danandjaja, 1986: 2)
Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah sebagian kebudayaannya, yang
diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). (Danandjaja,
1986: 2)
Menurut Danandjaja (1986: 3) mengatakan secara keseluruhan defenisi folklor
adalah sebagai berikut:
“Sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun cantoh yang disertai dengan
Dengan demikian yang menjadi objek penelitian folklor di Indonesia, baik
yang di pusat maupun di daerah, baik yang di kota maupun di desa, di kraton maupun
di kampung, baik pribumi maupun keturunan asing (peranakan); baik warga negara
maupun asing, asalkan mereka sadar akan identitas kelompoknya dan
mengembangkan kebudayaan mereka di bumi Indonesia. Bahkan penelitian folklor
Indonesia dapat diperluas dengan meneliti folklor dari folklor Indonesia yang kini
sudah lama bermukim di luar negeri, seperti Indo-Belanda di negeri Belanda
California, orang Jawa di Suriname. Sangat luas jangkauan penelitian folklor ini
sehingga dapat menjangkau masyarakat Indonesia dimana saja, asalkan mereka masih
sadar akan identitas kelompoknya. (Danandjaja, 1986: 3)
2.1.4. Pembagian Folklor
Menurut Brunvand (1968: 2) dalam Danandjaja (1986: 21), mengatakan
bahwa folklor dapat digolongkan kedalam 3 (tiga) kelompok besar berdasarkan
tipenya: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (pertly verbal
folklore), dan (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore).
1. Folkor Lisan
Menurut Danandjaja dalam bukunya yang berjudul “Folklor Indonesia”
mengatakan bahwa: Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
(Danandjaja, 1986: 21)
Folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain:
a. Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel
Bentuk-bentuk folklor lisan yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat
adalah logat (dialect) bahasa-bahasa Nusantara, misalnya logat bahasa Jawa dari
Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh
bahasa Sunda. (Danandjaja, 1986: 22)
Bentuk lain bahasa rakyat adalah Slang. Menurut Webster’s New World
Dictionary of American Language (1959) dalam buku Danandjaja (1986: 23),
mengatakan asal slang adalah kosa kata dan idiom para penjahat gelandangan atau
kolektif khusus. Maksudnya diciptakannya bahasa slang ini adalah untuk
menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar. Pada masa kini slang dalam arti
khusus itu (bahasa rahasia) disebut cant. (Danandjaja, 1986: 23)
Bentuk bahasa rakyat yang lain lagi di Indonesia adalah cara pemberian nama
pada seseorang. Di Jawa tengah misalnya, orang Jawa tidak mempunyai nama
keluarga. Untuk memberi nama pada seorang anak, para orang tuanya harus
memperhitungkan tanggal dan lahirnya, sehingga sesuai dengan nama yang diberikan.
Sehubungan dengan cara pemberian nama, di Indonesia juga ada kebiasaan untuk
memberi julukan kepada seseorang, selain nama pribadinya. Di antara orang Betawi
julukan itu biasanya ada hubungan erat dengan fisiogomi (physiognomy) atau bentuk
tubuh si anak. Umpamanya seorang anak akan dijuluki dengan nama Si Pesek, apabila
bentuk hidungnya pipih. (Danandjaja, 1986: 25)
Bentuk folklor lainnya yang juga termasuk dalam golongan bahasa rakyat
adalah gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional. Gelar kebangsawanan seorang
pria di Jawa Tengah, dengan urut-urutan dari yang paling rendah sampai yang paling
raden mas panji, dan raden mas aria. Dan bagi wanita adalah raden roro, raden
ajeng, dan raden ayu. Gelar-gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional seperti itu
masih dipergunakan sampai sekarang pada masyarakat di Jawa Tengah. (Danandjaja,
1986: 26)
b. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa.
Menurut Cervanter dalam buku Danandjaja (1986: 28) mendefinisikan
peribahasa atau ungkapan tradisional sebagai kalimat pendek yang disarikan dari
pengalaman yang panjang, sedangkan Bertrand Russel dalam buku Danandjaja
(1986:28) menganggapnya sebagai kebijaksanaan orang banyak yang merupakan
kecerdasan seseorang.
Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan
oleh mereka yang hendak menelitinya: (a) peribahasa harus berupa satu kalimat
ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional saja, seperti misalnya
“astaga” atau “ajigile”, (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar,
misalnya “seperti katak yang congkak” adalah peribahasa, tetapi “seperti kodok yang
sombong” bukan peribahasa, (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya
hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang
berbentuk syair, iklan, reportase olah raga, dan sebagainya. (Brunvard, 1968: 38)
dalam buku (Danandjaja, 1986: 28)
c. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki.
Menurut Danandjaja dalam bukunya yang berjudul “Folklor Indonesia”
mengatakan bahwa: Pertanyaan tradisional, di Indonesia lebih terkenal dengan nama
yang tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikian rupa, sehingga jawabnya sukar,
bahkan seringkali juga baru dapat dijawab setelah mengetahui lebih dahulu jawabnya.
(Danandjaja, 1986: 34)
Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes dalam buku Danandjaja , (1986:
34) yang berjudul “Folklor Indonesia” mengatakan bahwa: teka-teki adalah
Ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan
(descriptive), sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabnya
(referent) harus diterka.
Selanjutnya menurut kedua sarjana itu teka-teki dapat digolongkan kedalam
dua kategori umum, yakni (1) teka-teki yang tidak bertentangan (nonoppositional
riddles), dan (2) teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles). Pembagian itu
berdasarkan ada atau tidak adanya pertentangan di antara unsur-unsur pelukisan.
d. Sajak dan Puisi Rakyat
Kekhususan genre folklor lisan ini adalah bahwa kalimatnya tidak berbentuk
bebas (free phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat
adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari
beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang
pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Puisi rakyat
dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan tradisional (teka-teki),
cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat yang berupa mantra-mantra. (Danandjaja, 1986:
48)
Menurut William R. Bascom dalam buku Danandjaja (1986: 49) yang
berjudul “Folklor Indonesia” mengatakan bahwa cerita rakyat dapat dibagi dalam
tiga golongan besar yaitu: (1). Mite (myth) adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap
benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh
para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia
yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau, (2).
Legenda (legend) adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh empunya cerita
sebagai suatu kejadiaan yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite,
legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu
lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda biasanya
bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal di daerah-daerah
yang berbeda. Selain itu, legenda acapkali tersebar dalam bentuk pengelompokan
yang disebut siklus (cycle), yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh
atau suatu kejadian tertentu, dan (3). Dogeng (folklate). Jika legenda adalah sejarah
kolektif (folk history), maka dogeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan.
Selanjutnya dogeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap
benar-benar terjadi. Dogeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga
yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran.
(Danandjaja, 1984: 99)
f. Nyanyian Rakyat (folksongs)
Menurut Brunvand dalam buku Danandjaja yang berjudul “Folklor
Indonesia” mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk
kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Dalam
nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan,
sehingga salah besar jika dalam pengumpulan nyanyian rakyat orang tidak sekaligus
mengumpulkan lagunya. (Danandjaja, 1986: 141)
2. Folklor Sebagian Lisan
Danandjaja dalam bukunya: “Folklor Indonesia” mengatakan bahwa: Folklor
sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan gabungan unsur lisan dan
bukan lisan. (Danandjaja, 1986: 153)
Adapun yang tergolong dalam kelompok ini adalah:
a. Kepercayaan Rakyat
Kepercayaan rakyat atau yang sering kali juga disebut “takhyu”, adalah
kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana bahkan pandir,
tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Berhubung kata “takhyul” mengandung arti merendahkan atau menghina, maka ahli
folklor modern lebih senang mempergunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief)
atau keyakinan rakyat daripada “takhyul” (superstitious), karena takhyul berarti
“hanya khayalan belaka”, (sesuatu yang) hanya di angan-angan saja (sebenarnya tidak
ada). Demikian juga juga istilah superstition barasal dari kata Latin supertitio, yang
berarti “keterlaluan takut pada dewa-dewa”. (Danandjaja, 1986: 153)
Walaupun sudah dihindarkan pemakaian istilah takhyul dan lebih banyak
dipergunakan istilah kepercayaan, namun bagi orang awam yang berpendidikan
Barat, tetap masih memandang rendah kepercayaan rakyat. Hal ini disebabkan oleh
sudah tentu tidak dapat dibenarkan. Menurut Brunvand (1968: 178) dalam buku
Danandjaja (1986: 153) yang berjudul “Folklor Indonesia”, sikap ini tidak dapat
dibenarkan berdasarkan dua hal seperti berikut:
Pertama, takhyul bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga kelakuan
(behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga alat, dan
biasanya juga ungkapan serta sajak. (Danandjaja, 1986: 153)
Kedua, dalam kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak ada orang, yang
bagaimana modernnya, dapat bebas dari takhyul, baik dalam hal kepercayaannya
maupun dalam kelakuannya. (Danandjaja, 1986: 153)
b. Permainan Rakyat
Menurut Danandjaja (1986: 171) dalam bukunya yang berjudul “Folklor
Indonesia” mengatakan bahwa: Setiap bangsa di dunia umumnya mempunyai
permainan rakyat. Kegiatan ini juga termasuk folklor karena diperolehnya melalui
warisan lisan. Hal ini terutama berlaku pada permainan rakyat kanak-kanak, karena
permainan ini disebarkan hampir murni melalui tradisi lisan dan banyak diantaranya
disebarluaskan tanpa bantuan orang dewasa seperti orangtua mereka atau guru
sekolah mereka. Permainan rakyat di dunia ini, untuk orang dewasa maupun
kanak-kanak, biasanya berdasarkan gerak tubuh seperti lari, dan lompat; atau berdasarkan
kegiatan sosial sederhana, seperti kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian, dan
berkelahi-kelahian. (Danandjaja, 1986: 171)
Berdasarkan perbedaan sifat permainan, maka permainan rakyat (folk games)
dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu permainan untuk bermain (play) dan
bertanding, adalah bahwa yang pertama lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang
atau rekreasi, sedangkan yang kedua bersifat kurang mempunyai sifat itu. Namun
yang kedua hampir selalu mempunyai lima sifat khusus, seperti (1) terorganisasi, (2)
perlombaan (competitive), (3) harus dimainkan paling sedikit dua orang peserta, (4)
mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dan
(5) mempunyai peraturan yang telah diterima bersama oleh para pesertanya.
(Danandjaja, 1986: 171)
3. Folklor Bukan Lisan
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun
unsur lisan dan bukan unsur lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua
subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor
yang tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah,
bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan
perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional
(gesture). Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat
tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya
di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika),
dan musik rakyat. (Danandjaja, 1986: 22)
2.2. Teori yang Digunakan
Teori merupakan prinsip dasar yang terwujud dan berlaku secara umum dan
akan mempermudah seorang penulis untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi
Meninjau suatu karya tulis harus mempunyai landasan tulisan yang jelas. Agar
masalah yang hendak diuraikan dapat terperinci dan terarah dengan baik.
Poerwadarminta mengatakan teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai suatu
keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian). (Poerwadarminta, 1976: 1054)
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa teori adalah suatu alat untuk
sarana khusus bagi penulis untuk memandang suatu masalah, atau dengan kata
lainnya untuk mengatakan hubungan sistematik pada sebuah uraian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Danandjaja tentang bukunya yang berjudul “Folklor Indonesia”, yaitu Teori Folklor.
Danandjaja membagi folklor atas tiga bagian yaitu:
1) Folklor lisan (verbal folklore),
2) Folklor sebagian lisan (pertly verbal folklore), dan
3) Folklor bukan lisan (non verbal folklore).
Dalam membicarakan fungsi folklor penulis mengacu kepada teori Bascom
(Danandjaja, 1986: 19) menyatakan fungsi penelitian folklor terbagi atas empat yaitu:
1) Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin
angan-angan suatu kolektif,
2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan,
3) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device), dan
4) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
Begitupun penulis tidak hanya terpaku pada pendapat Bascom diatas tetapi
fungsi-fungsi upacara ritual ini akan disesuaikan dengan fungsi yang berlaku bagi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Dasar
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam meneliti upacara ritual pesta
Bona Taon adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yang
bersifat deskriptif, bertujuan untuk menggambarkan secara tepat tata cara pelaksanaan
upacara ritual pesta Bona Taon untuk melihat adanya hubungan tertentu antara suatu
gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa,
mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah
yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1990: 29) sedangkan menurut Suryabrata S,
(1985: 176) penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses
menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah
dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak
mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Dalam mengumpulkan data-data yang nantinya dapat digunakan untuk
menjawab segala permasalahan yang ada, Nettl (1963: 62) menawarkan cara kerjanya
yaitu dengan kerja lapangan (field work). Dalam penelitian lapangan penulis langsung
berinteraksi dengan komunitas atau masyarakat yang membutuhkan (pelaku upacara
ritual pesta Bona Taon). Kegiatan ini dilakukan dengan melihat dan mengamati
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di Desa Simarpinggan
Kecamatan Sorkam Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. Kira-kira
dua kilometer di sebelah Utara Kota Sibolga, dijalan menuju Barus, dikaki tebing
terjal bukit barisan sepanjang garis pantai barat Sumatera Utara yang menghadap
Samudera Indonesia.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
1. Metode Wawancara, yaitu metode yang dilakukan untuk mendapatkan
keterangan lebih lanjut tentang data yang penulis butuhkan. Adapun teknik
yang digunakan dalam metode ini adalah teknik catat.
2. Metode Observasi partisipatif, yaitu penulis secara langsung turun kelapangan
melakukan pengamatan, dan ikut berpartisipasi dalam upacara ritual pesta
Bona Taon tersebut. Tehnik yang digunakan yaitu tehnik catat.
3. Metode Kepustakaaan (library reseacd) yaitu dengan mencari data dari
buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
3.4. Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data
yang mentah sehingga menjadi data yang cermat atau akurat dan ilmiah, dimana data
didapatkan dengan menggunakan alat pencatat seperti buku, pulpen, catatan dan
kamera.
Pada dasarnya, dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas
Untuk menganalisis data penelitian ini penulis menggunakan metode
Struktural (Nettle dan Bruno, 1964: 125 ), yakni:
1. Mengidentifikasikan data dari lapangan.
Mengidentifikasikan data dari lapangan maksudnya setelah data terkumpul
dari lapangan maka diklasifikasi dan dipilah-pilah sesuai dengan kebutuhan
akan data. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulis dalam menganalisis
data-data yang didapat.
2. Data yang diperoleh akan disusun menjadi tulisan yang baik.
Setelah data diklasifikasi sesuai dengan jenis data yang diperoleh. Kemudian
data-data yang telah terkumpul dan terklasifikasi dibuat dalam bentuk tulisan
atau naratif. Hal ini dikarenakan ini adalah penelitian sastra, maka bentuknya
haruslah berbentuk deskripsi atau narasi.
3. Mengambil kesimpulan dari data penelitian.
Penulis mempunyai tujuan bahwa hasil analisis yang digunakan sudah
terfokus pada satu domain yang akan menghasilkan analisis yang terbatas
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Tahap Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan
4.1.1. Pra-Upacara (sebelum pelaksanaan)
Sebelum pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon, ada beberapa tahap
yang harus dilaksanakan yaitu:
1. Sungkun Nipi
Sungkun nipi ini adalah tahap pelaksanaan dimana roh nenek moyang datang
melalui mimpi kepada Hatobangon Ni Huta untuk menyampaikan pelaksanaan
upacara ritual pesta Bona Taon dan pada saat ini juga diberitahukan kapan waktu
yang tepat untuk upacara ritual pesta Bona Taon itu dilaksanakan.
Yang dilakukan Hatobangon Ni Huta sebelum memimpikan para roh-roh
nenek moyang masyarakat desa Simarpinggan adalah dengan cara menyediakan tiga
lembar daun sirih serta tiga rupa itak (tepung beras yang dikepal) yang tiga warna
(putih, kuning, merah) ditempatkan dalam bakul kecil. Sebelum Hatobangon Ni Huta
tidur, sesajian (sesajen) itu didoakannya dengan mengucapkan mantra-mantranya,
adapun isi mantranya adalah sebagai berikut: ‘Ale Ompung Mulajadi Na Bolon,
marpanghirimon do namangoloi jala namangulahon patik ni debata, nadapotsa do
sogot hangoluan ni tondi asing ni ngolu ni diri on’.
Maksud dari mantra yang diucapkan Hatobangon Ni Huta adalah:
mempunyai harapan kelak memperoleh kehidupan yang abadi selain dari kehidupan
dunia ini”.
Diyakini masyarakat desa Simarpinggan bahwa dalam mimpi Hatobangon Ni
Huta akan bertemu dengan roh-roh penghuni alam semesta atau roh-roh leluhur yang
sudah mati yang disebut begu dalam bahasa Batak Toba untuk membicarakan kapan
ditentukan hari yang baik untuk memulai upacara ritual pesta Bona Taon itu.
Setelah Hatobangon Ni Huta terbangun dari tidurnya dan sudah mendapat
waktu yang tepat untuk hari pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon yang akan
segera dilaksanakan oleh masyarakat desa Simarpinggan, kemudian Hatobangon Ni
Huta menberitahukan kepada keluarga-keluarga terdekatnya, pengetua adat, dan
perwakilan marga-marga yang ada di Desa Simarpinggan.
2. Marhusip
Marhusip merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam rangka
perencanaan pelaksanaan upacara ritual pesta Bona Taon. Arti harafiahnya Marhusip
dalam bahasa batak Toba adalah berbisik. Penulis tidak tahu persis kenapa kata
Marhusip digunakan dalam kegiatan upacara ritual pesta Bona Taon ini, sebab pada
hakekatnya dalam setiap pembicaraan, acara ini bukanlah berbisik bisik melainkan
berbicara normal seperti sediakala dan terkadang diselingi canda dan tawa.
Dari pengalaman penulis setelah mengikuti upacara ritual pesta Bona Taon ini.
Pada tahap acara Marhusip ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini belumlah
disaksikan secara terbuka oleh masyarakat umum (kerabat-kerabat secara
keseluruhan) namun terbatas hanya Hatobangon Ni Huta, perwakilan marga-marga,
Proses pelaksanaan acara Marhusip yang dilakukan masyarakat desa
Simarpinggan adalah sebagai berikut:
Para perwakilan marga-marga datang secara resmi menemui Hatobangon Ni
Huta dengan membawa Sipanganon (makanan) dan tentunya kedatangan ini telah
disepakati dengan tujuan untuk membicarakan tentang pelaksanaan upacara ritual
pesta Bona Taon yang akan dilaksanakan, sehingga Hatobangon Ni Huta
mengundang para pengetua-pengetua adat desa Simarpinggan untuk menerima
kedatangan para perwakilan marga-marga yang ada di Desa Simarpinggan.
Sesampainya pengetua-pengetua adat dan perwakilan marga-marga di dalam
rumah Hatobangon Ni Huta, pihak perwakilan marga-marga desa Simarpinggan
menyampaikan bahwa mereka datang dengan membawa Sipanganon (makanan).
Kemudian Hatobangon Ni Huta menyuruh salah satu pengetua adat untuk Manigat
(pengertian Indonesianya membuka pembungkus disertai merapikan) makanan yang
dimaksud, lalu kemudian dipersiapkan hidangan untuk dimakan para undangan yang
telah hadir.
Setelah makanan terhidang, salah satu pihak perwakilan marga-marga
mempersembahkan (Pasahathon) makanan (Sipanganon) yang dibawa oleh
perwakilan marga-marga , makanan (Sipanganon) ini adalah seekor ikan mas yang
sudah dimasak dan diatur sedemikian rupa pada tempatnya, dipersembahkan kepada
Hatobangon Ni Huta, dan disaksikan oleh pengetua-pengetua adat.
Hatobangon Ni Huta duduk berhadapan dengan salah satu perwakilan
marga-marga yang akan memberikan makanan (Sipanganon) kepada Hatobangon Ni Huta,
marga tersebut mengucapkan sepatah kata, adapun sepatah kata yang diucapkannya
berbentuk umpasa.
Adapun umpasa yang disampaikan salah satu perwakilan marga-marga kepada
Hatobangon Ni Huta itu adalah sebagai berikut:
Sise do mula ni hata, sungkun mula ni uhum,
‘ramah tamah awalnya pembicaraan, pertanyaan awalnya peraturan’
Gokhon sipaimaon jou-jou sialusan.
‘undangan yang ditunggu panggilan yang dijawab’.
Kemudian Hatobangon Ni Huta membalas umpasa yang disampaikan salah
satu perwakilan marga-marga itu dan didengarkan oleh semua yang hadir pada acara
tersebut. Adapun umpasa yang diucapkan Hatobangon Ni Huta yang ditujukan
kepada perwakilan marga-marga itu adalah sebagai berikut:
Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi
Napinungka ni ompunta na parjolo
Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi
Artinya: (Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, yang sudah dimulai
leluhur kita terdahulu kita perbaiki dari belakang). Maksudnya: adat istiadat yang
sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil
diperbaiki (disesuaikan) dari belakang.
Hatobangon Ni Huta selaku tuan rumah meminta agar yang membawakan doa
merekalah yang membawa makanan (Sipanganon) tersebut. Doapun dipanjatkan
kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan), lalu kemudian semua yang hadir makan
bersama sama. Adapun doa yang disebutkan perwakilan marga-marga setelah
diterjemahkan penulis ke dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut:
”Dangka ni arirang ma na peak di tonga ni huta on, badan ma na so ra sirang,
tondi ta namarsigonggoman”. ”Tangki ma jala ualang, galinggang jala garege, sai
tubu ma di hita angka anak partahi, jala ulu balang dohot angka boru par mas jala
pareme”. ”Eme sitamba tua parlinggoman ni siborok, ompunta debata do silehon tua,
sai horas ma hita di parorot”. ”Sahat-sahat ni solu sahat ma tu Tigaras, sahat ma hita
leleng mangolu, sahat gabe jala horas”.
Adapun tujuan doa salah satu pengetua adat kepada Debata Mulajadi Na
Bolon adalah sebagai berikut:
Agar menjadi berkat bagi kami Ompung yang menyucikan tubuh dan jiwa
kami di masa mendatang, supaya berlipat ganda yang baik bagi kami, berlimpah
kebijaksanaan seperti raja, termulia bersama istri yang tercinta, dan berilah pada kami
anak-anak yang bijak dan pintar. Agar menyehatkan kami, menjadi obat dan
penangkal penyakit dan bahaya; perlindungan dan kekebalan pada kami, agar kami
tidak tercemar dan terurapkan dari penyucian, yang tidak bisa dihukum.
Setelah selesai makan, Hatobangon Ni Huta memulai pembicaraan, dan
disampaikan oleh pihak perwakilan marga-marga kepada Hatobangon Ni Huta.
Lalu perwakilan marga-marga menjawab bahwa makanan (Sipanganon)
tersebut merupakan Surung Surung (dalam bahasa batak surung surung merupakan
Jambar atau hak Raja yang tidak perlu dibagikan pada saat acara tersebut).
Adapun maksud dan tujuan dari pembicaraan mereka adalah tentang kesediaan
Hatobangon Ni Huta pada upacara ritual pesta Bona Taon yang akan segera
dilaksanakan oleh masyarakat desa Simarpinggan.
Kemudian Hatobangon Ni Huta memberitahukan kepada pengetua-pengetua
adat desa Simarpinggan (tetua atau orang yang dihormati disekitar tempat tinggal)
yang hadir juga dalam acara Marhusip tersebut, tentang maksud dan tujuan yang
disampaikan oleh perwakilan marga-marga tersebut.
Lalu berdasarkan pertimbangan dari pengetua-pengetua adat desa
Simarpinggan, permohonan perwakilan marga-marga tersebut dikabulkan, bahwa
Hatobangan Ni Huta sudah siap-sedia untuk melaksanakan upacara ritual pesta Bona
Taon yang akan dilaksanakan masyarakat desa Simarpinggan. Maka acara Marhusip
selesai dilaksanakan setelah Hatobangon Ni Huta menjawab permohonan dari
perwakilan marga-marga tersebut.
3. Martonggo Raja
Pada tahap acara Martonggo Raja ini adalah suatu kegiatan pra pesta/acara
yang bertujuan untuk: mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis
dan non teknis, pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah
ditentukan tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan, memohon
izin pada masyarakat sekitar atau penggunaan fasilitas umum.
Pada tahap acara ini, Hatobangon Ni Huta mengundang semua
pengetua-pengetua adat seperti yang mewakili marga Aritonang, Situmeang, Sihombing,
Simatupang, Huta Barat, Huta Galung, Simanjuntak dan marga-marga lainnya yang
ada di desa Simarpinggan. Maka dilaksanakanlah acara Martonggo Raja, pertemuan
ini dimaksudkan agar mereka menentukan tanggal pelaksanaan upacara ritual pesta
Bona Taon serta mempersiapkan segala keperluan untuk melaksanakan acara tersebut.
Adapun proses pelaksanaan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Hatobangon Ni Huta menyediakan makanan (Sipanganon) untuk makan bersama.
Makanan (Sipanganon) yang disampaikan oleh Hatobangon Ni Huta kepada
perwakilan marga-marga yang hadir bertujuan agar pelaksanaan upacara ritual pesta
Bona Taon dilaksanakan dengan baik dan sukses. Hatobangon Ni Huta mengatakan
bahwa makanan (Sipanganon) tersebut merupakan Jambar bagi perwakilan raja-raja
yang tidak perlu dibagikan pada saat acara tersebut sambil mengucapkan sepatah kata
berbentuk umpasa. Adapun umpasa yang disampaikan kepada perwakilan
marga-marga adalah sebagai berikut:
‘Bergendang sitidaon, makan kuda sigapiton’
Tu jolo nilangkahon, tupudi sinarihon.
‘Melangkah kedepan, kebelakang dipikirkan’
Pada saat inilah dibagikan (didistribusikan) undangan kepada semua
masyarakat desa Simarpinggan yang sudah ditentukan hari pelaksanaannya upacara
ritual pesta Bona Taon tersebut. Pada saat ini dipersiapkan apa saja yang dibutuhkan
dan siapa yang melaksanakannya seperti persiapan panggung disediakan oleh
pemuda-pemudi masyarakat desa Simarpinggan, persiapan makanan dan minuman
dipersiapkan dari pihak parboru, persiapan tempat penanaman bibit tanaman
dipersiapkan oleh suhut (tuan rumah), tempat penyembelihan hewan persembahan
dipersiapkan oleh pengetua-pengetua adat dan lain-lain.
Dan pada tahap acara ini juga dibicarakan tentang pembagian Jambar agar
pada hari pelaksanaan tidak ada salah paham dalam pembagian hewan persembahan
yang akan disembelih yaitu seekor kerbau.
Setelah tahap acara ini selesai, kemudian mereka menyampaikan kepada
khalayak ramai bahwa upacara ritual pesta Bona Taon akan segera dilaksanakan.
Mereka juga meminta ijin dari pemerintah setempat untuk pelaksanaan upacara ini.
Walaupun begitu, mereka tidak meminta untuk menjadikan hari pelaksanaan upacara
ritual pesta Bona Taon ini sebagai hari libur resmi lokal (hari libur resmi di desa itu).
desa. Pembagian tugas-tugas dilakukan dengan cara musyawarah dan menurut
kesepakatan mereka masing-masing.
4.1.2. Proses Pelaksanaan Upacara Ritual Pesta Bona Taon
Upacara ritual pesta Bona Taon dimulai pada pagi hari seiring terbitnya
matahari. Hatobangon Ni Huta membuka acara ini dengan memanjatkan doa kepada
Debata Mulajadi Na Bolon ‘sang pencipta’. Acara ini berlangsung di lapangan
(onan). Adapun doa yang diucapkan Hatobangon Ni Huta adalah sebagai berikut:
“Ditonggo asa diparo Mulajadi Na Bolon, tondi ni ompu tu ulaon on. Binahen
saring-saring ni ompung ta ma tu tambak na guminjang, tu ginjang ma parhorasan,
asa tu ginjang ma panggabean, patumpahon ni ompunta ma. Debata dohot tumpahon
ni tondi ni angka raja di loloan.
Artinya adalah setelah diterjemahkan penulis kedalam terjemahan bebas
bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
“Didoakan supaya didatangkan oleh Mulajadi Na Bolon rohnya ke dalam
upacara ini. Dengan ditaruhnya tulang belulang nenek moyang kita, ke dalam
kampung ini, kiranya meningkatlah kemakmuran, keberhasilan dan kesejahteraan
yang dikerjakan oleh Debata yang berbahagia, dan disokong oleh roh-roh para raja
yang hadir si sini”.
Doa ini secara langsung mengundang roh-roh nenek moyang untuk datang ke
ritual pesta Bona Taon yang akan segera dilaksanakan. .
Masyarakat desa Simarpinggan dalam tahap acara ini menyebut upacara Mala
Debata. Yang menarik dalam upacara ini adalah karena sebutannya menyangkut
Debata Mulajadi, tertuju pada Debata ‘Tuhan’. Mala Debata berarti memberikan
persembahan kepada Tuhan.
Jalannya upacara Mala Debata dilaksanakan dengan sederhana, yang diiringi
musik gondang tanpa tarian. Upacara itu dilaksanakan ditempat keramat, tempat itu
disebut Onan ‘lapangan’. Dipanggung alam terbuka itu didirikan sebuah Joro
‘bangunan mini rumah tradisional’.
Adapun proses pelaksanaan ritual Mala Debata yang dilakukan masyarkat
desa Simarpinggan adalah sebagai berikut:
Acara Mala Debata dilaksanakan dalam Joro yang bertempat di lapangan
(onan). Setelah gendang (gondang) dibunyikan, naiklah seorang wanita yang
sebelumnya sudah ditunjuk oleh Hatobangon Ni Huta ke dalam Joro tersebut. Si
wanita tersebut memakai kain tudung putih sambil menggendong sebuah guci berisi
air pagar ‘air suci’ dan membawa seekor ayam dan tujuh lembar daun sirih beralas
kain putih dengan sikap menyembah. Di dalam Joro sudah tersedia setumpuk
daupa ‘gabah’, yang ditempatkan dalam kuali tanah liat, diletakkanan diatas bara api.
Pada pelaksanaan ritual Mala Debata ini si wanita tadi, dibantu oleh empat orang
laki-laki yang ditunjuk oleh Hatobangon Ni Huta.
Pertama-tama si wanita itu berkeliling tujuh kali dalam Joro. Wanita tersebut
itu bergiliran mengikuti gerak wanita itu di dalam Joro tersebut. Hatobangon Ni Huta
memperhatikan gerakan mereka sambil membacakan doa kepada Debata Mulajadi
Na Bolon.
Setiap wanita itu berkeliling satu putaran dan empat orang laki-laki yang
berkeliling dalam Joro tersebut, Hatobangon Ni Huta-pun mengucapkan doa-doanya.
Adapun doa yang diucapkan Hatobangon Ni Huta kepada Debata Mulajadi
Na Bolon adalah sebagai berikut:
Adat do ugari
Sinihathon ni Mulajadi
Siradotan manipat ari
Siulahonon di siulu balang ari
Artinya dalam bahasa Indonesia setelah diterjemahkan penulis kedalam
terjemahan bebas bahasa Indonesia adalah sebagai berikut; Adat adalah aturan yang
ditetapkan oleh Tuhan Pencipta, yang harus dituruti sepanjang hari dan tampak dalam
kehidupan.
Selama upacara, semua pengetua-pengetua adat yang berperan serta dalam
upacara itu, duduk dilokasi berbentuk setengah lingkaran yang menghadap ke Joro
tersebut. Hatobangon Ni Huta duduk di bagian tengah didampingi oleh empat
pengetua adat lainnya. Disebelah kiri dan kanannya duduk para
Berikut di bawah ini gambar skema dari upacara ritual Mala Debata:
Pada pagi hari itu juga, masyarakat desa Simarpinggan sibuk mempersiapkan
perlengkapan acara seperti: makanan, minuman dan tempat persembahan, serta
menunggu dan menyambut para tamu undangan yang datang dari tempat jauh.
Setelah upacara Mala Debata sudah selesai maka dilaksanakan acara
selanjutnya adalah tahap penanaman bibit tanaman. Penanaman bibit tanaman ini
dipimpin oleh Hatobangon Ni Huta. Penanaman bibit tanaman ini dilakukan secara
simbolis yang dilaksanakan di tempat dimana mereka bertani. Adapun yang
dilakukan masyarakat desa Simarpinggan dalam acara ini adalah seluruh masyarakat
berkumpul dilokasi tempat penanaman bibit tanaman, lokasi tempat penanaman bibit Joro
Pengetua adat Hatobangon Ni Huta
Pengetua adat
tanaman ini ditentukan oleh Hatobangon Ni Huta dan pengetua-pengetua adat desa
Simarpinggan.
Hatobangon Ni Huta membuka acara ini dimulai dengan mengucapkan
mantra-mantranya kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan) agar bibit tanaman
yang ditanam mereka subur dan hasil panenannya melimpah ruah, sambil
memberikan cangkul kepada perwakilan marga-marga yang ada di Desa
Simarpinggan dan mengucapkan mantra-mantranya. Adapun mantra-mantranya yang
dipanjatkan Hatobangon Ni Huta kepada Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai
berikut:
Tul tanjung holi ampe tu bulung bira
(Luka pada tulang-tulang ditimpa kedaun talas)
Bisa ni tano bisa ni langit toh, lah, lah, lah, lah, lah, lah...
(Bisa tanah, bisa langit menjadi hilang, berkat Tuhan)
Selanjutnya para perwakilan marga-marga menanam bibit tanaman yang
sudah ditentukan lokasi penanaman bibit tanamannya sebelumnya. Adapun bibit
tanaman yang ditanam seperti padi dan jagung maupun bibit tanaman yang dijadikan
sebagai usaha keluarga seperti bibit pohon karet, durian, sawit, kopi, coklat, dan
lain-lain. Setelah acara ini selesai mereka kembali ke tempat pelaksanaan upacara ritual
pesta Bona Taon (onan).
Menjelang siang hari hewan persembahan yaitu seekor kerbau digiring ke
Onan untuk disembelih. Yang mengiring hewan persembahan ini adalah seoramg
Pamuhai (penyembelih hewan persembahan). Pada saat itu hewan persembahan dapat
Hewan kerbau bersifat profan tergambar dari pandangan masyarakat desa
Simarpinggan bahwa kerbau merupakan hewan persembahan yang memiliki nilai
paling tinggi dibandingkan hewan lain.
Setelah semua peralatan untuk menyembelih hewan persembahan sudah
dipersiapkan kemudian hewan persembahan dibawa berkeliling oleh seorang
Pamuhai ke lapangan (onan) sebanyak tiga kali di tempat upacara ritual pesta Bona
Taon itu dilaksanakan, semua masyarakat yang hadir bersuka cita dan tanda suka
citanya mereka melemparkan beras (boras si pir ni tondi) kepada yang mengiring
kerbau tersebut sambil bersorak horas…horas…horas….
Horas adalah salam khas orang Batak yang berarti selamat, salam sejahtera,
yang kerap diucapkan dalam kehidupan sehari-hari bila dua orang atau lebih bertemu.
Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain
yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga
sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak.
Kemudian setelah hewan persembahan tersebut sudah diikat maka semua
bersiap-siap untuk manortor (menari). Adapun jenis gondang yang mengiringi tor-tor
‘tarian’ yang mereka bawakan dalam upacara itu adalah:
1. Gondang Alu-alu, gondang sebelum acara dimulai,
2. Gondang Mula-mula, gondang bahwa acara sudah dimulai,
3. Gondang Somba-somba, gondang ini ditujukan kepada Ompung Debata
4. Gondang Elek-elek, gondang ini datang dari pihak hula-hula untuk mangelek
(merayu) parboru supaya tetap rajin karena mereka telah lelah dalam
mempersiapkan segala kelengkapan upacara ritual pesta Bona Taon ini,
5. Gondang Marpangidoan, semua yang hadir dapat manortor (menari) serta
meminta kepada Ompung Debata Mulajadi Na Bolon supaya mendapat
berkah,
6. Gondang Si Boru, diberikan khusus untuk pihak parboru untuk menari atau
manortor,
7. Gondang Liat-liat, gondang ini merupakan simbolis mengelilingi dunia serta
lambang persatuan,
8. Gondang Olop-olop, gondang ini adalah lambang ikrar bahwa semua telah
bersatu, dan
9. Gondang Hasahaton, gondang ini bertujuan agar segala sesuatu yang
diinginkan tercapai.
Pada saat ini juga hewan persembahan disembelih oleh seorang yang ahli
untuk menyembelih hewan persembahan tersebut, masyarakat desa Simarpinggan
menyebut dia dengan julukan Pamuhai. Dimana dia adalah seorang perantara yang
menyembelih hewan persembahan tersebut. Setelah hewan persembahan selesai
disembelih, dia langsung pulang tidak diperbolehkan melihat kebelakang (lokasi
upacara pesta Bona Taon). Datangnya dewa-dewa ditandai dengan datangnya angin
Pada tahap acara ini juga seluruh pelaku upacara ritual pesta Bona Taon
mengadakan pembagian Jambar (daging hewan persembahan dibagikan kepada yang
bersangkutan sesuai dengan aturan yang ada di Batak Toba).
Jambar adalah istilah yang sangat khas Batak. Kata Jambar menunjuk
kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok
orang). Yaitu: hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar)
Pada pembagian jambar juhut (hewan persembahan) terdapat aturan tertentu
yang disebut ruhut papangan yaitu:
a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula- hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur ) untuk pihak hasuhuton.
Adanya aturan memberi perlakuan khusus pada Raja yaitu masyarakat desa
Simarpinggan menjelaskan keberadaan tanduk kerbau sebagai ornamen rumah adat.
Perlakuan khusus kepada Hatobangon Ni Huta (pemimpin adat) adalah berupa
pemberian bagian kepala hewan persembahan tersebut.
Mereka yakin bahwa daging yang didapat dari hasil persembahan akan
menambah berkah bagi mereka yang memakannya. Setelah pembagian Jambar itu
selesai, maka upacara ritual pesta Bona Taon yang dilakukan masyarakat desa
4.2. Fungsi Upacara Ritual Pesta Bona Taon pada Masyarakat Desa Simarpinggan.
Upacara ritual pesta Bona Taon diselenggarakan oleh masyarakat Desa
Simarpinggan Kecamatan Sorkam Kabupaten Tapanuli-Tengah yang terdiri dari
agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik, semua menjadi satu tanpa membedakan
agama dan status sosial.
Masyarakat desa Simarpinggan ingin agar panenan berhasil sehingga mereka
melaksanakan upacara ritual pesta Bona Taon untuk menjamin sejauh mungkin
musim tumbuh yang baik dan panenan yang berhasil. Masyarakat desa Simarpinggan
ingin melestarikan kehendak yang baik leluhur mereka yang telah terlebih dahulu
meninggalkan mereka.
Semua upacara diarahkan pada masalah transformasi keadaan dalam manusia
dan alam. Tujuannya bermacam-macam; ada yang bertujuan untuk menjamin
perubahan amat cepat dan menyeluruh pada keadaan akhir yang diinginkan oleh
pelaku upacara ritual serta ada juga yang bertujuan untuk mencegah perubahan yang
tidak diinginkan.
Adapun fungsi upacara pesta Bona Taon pada masyarakat desa Simarpinggan
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai alat pewarisan adat istiadat atau tradisi kebudayaan kepada generasi
penerus. Dalam hal ini supaya generasi penerus di Desa Simarpinggan tidak
melupakan ajaran-ajaran yang telah diberikan oleh pengetua-pengetua adat,
karena merekalah yang nantinya akan meneruskan adat-istiadat kepada generasi
2. Sebagai alat persatuan masyarakat desa Simarpinggan. Kehidupan kota besar
dan modern membuat banyak orang, termasuk orang-orang Batak
terpencar-pencar dan tercerai-berai. Di kota yang sungguh ramai dan hiruk-pikuk seperti di
kota Jakarta banyak orang bisa merasa sepi, sendiri dan bahkan terasing. Melalui
upacara ritual pesta Bona Taon, masyarakat desa Simarpinggan menemukan
dirinya tidak sendirian namun memiliki keluarga, sanak dan saudara. Dan
perasaaan memiliki-dimiliki, disayang-menyayang itu sangat membahagiakan
serta menguatkan di tengah kenyataan hidup yang keras ini. Pengamatan
penulis, upacara ritual pesta Bona Taon sering sekali menjadi reuni dan ajang
nostalgia yang mengharukan antar orang-orang yang merasa bertalian darah.
3. Sebagai alat pencetus kepercayaan. Menurut Bona Taon ini, komunitas
masyarakat desa Simarpinggan diajak untuk menyatukan doa. Bersyukur atas
berkat yang telah diberikan, berdoa memohon perlindungan, penyertaan, dan
menuruti semua perintah-Nya. Apapun yang hendak mereka lakukan di tahun
yang baru ini tidak akan berhasil jika tidak disertai dan diberkati oleh Tuhan.
Oleh karena itu upacara ritual pesta Bona Taon bagi komunitas masyarakat desa
Simarpinggan memiliki fungsi spritual yang sangat dalam, yaitu sebagai suatu
ritus pemulihan dan penyegaran iman bersama. Maka, wajar jika tidak
melakukan upacara ritual pesta Bona Taon, banyak masyarakat desa
Simarpinggan merasa ada yang salah atau kurang dalam kehidupannya.
4. Sebagai penegasan identitas. Sejalan dengan itu upacara ritual pesta Bona Taon
juga menjadi wadah untuk menegaskan identitas suku Batak. Walaupun tidak