• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Vitamin A dan Minyak Sawit Kasar (MSK) Terhadap Keawetan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penambahan Vitamin A dan Minyak Sawit Kasar (MSK) Terhadap Keawetan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour.)"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

DEVI YULIAWATI

A54103017

PROGRAM STUDI

GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

(CPO) to The Durability of Torbangun ( Lour.) Soup (Under tuition of Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. and drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD.)

(3)

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bambang Tri Waluyo

dan Titik Wahyuni. Pendidikan TK ditempuh di Taman Kanak-Kanak PTPN VIII

Tanjung Morawa, Sumatera Utara dari tahun 1989-1990 dan Taman

Kanan-Kanak Bhayangkari Curug, Tangerang dari tahun 1990-1991. Pendidikan SD

ditempuh di SD Islamic Village, Karawaci, Tangerang dari tahun 1991-1997.

Penulis melanjutkan pendidikan SLTP di SLTP Dian Harapan Karawaci,

Tangerang dari tahun 1997-1998, dan di SLTP Negeri 1 Subang, Jawa Barat dari

tahun 1998-2000. Pendidikan SMU ditempuh di SMU Negeri 1 Subang, Jawa

Barat dari tahun 2000-2003.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat dan

Sumberdaya Keluarga pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

IPB (USMI). Pada periode 2003/2004 pernah menjadi anggota Biro Hubungan

Masyarakat Forum Keluarga Masjid GMSK (FKMG). Pada periode 2004/2005

pernah menjadi anggota Biro Kajian Strategis Himpunan Mahsiswa Peminat Ilmu

Gizi Pertanian (HIMAGITA). Sejak tahun 2004-2006 penulis aktif sebagai staf

Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi (BKG) dan pada periode 2006/2007

pernah menjabat sebagai ketua Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi

(BKG). Pada tahun 2007 penulis menjadi asisten untuk mata kuliah Metabolisme

(4)

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis

menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. dan Bapak Drh. Rizal Damanik M.Rep.Sc,

PhD sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan semangat

dan masukan ilmu yang sangat berarti dan dengan sabar membimbing

penulis selama penelitian hingga penyelesaian tugas akhir ini.

2. Keluargaku tersayang : Papa, Mama, Eca, Ipam, dan Kkku sebagai sumber

semangat, motivasi, finansial dan kasih sayang yang tidak pernah habis

3. Pak Mashudi yang telah banyak membantu dan menjadi teman untuk

berdiskusi tentang penelitian ini.

4. Ibu Ir. Cesilia Meti Dwiriani, Msc sebagai pembimbing akademik.

5. Ibu Dr.Ir Lilik Kustiyah, MS sebagai dosen pemandu seminar.

6. Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS sebagai dosen penguji yang telah begitu

banyak memberikan saran.

7. Bu Dini, Mas Yudi, Pak Lalu, dan Pak Danu di Balitpasca Panen, Cimanggu

Bogor atas bantuan dan bimbingannya.

8. Seluruh dosen dan staf Departemen GM (Teh Popon, Bu Yati, Teh Yati, Pak

Ugan, dan Mas Rena) yang telah mendidik, membimbing, dan membantu

dengan penuh kasih sayang, serta canda ria.

9. Temanku senasib dan sepenanggungan dalam suka dan duka (Betsy dan

Deni Alam’39) : Andi, Inoel, Malie, Bambang, Ade, Wewew, Vivi, Tika, Tegar,

Maning, Nining, MeiMei, Aris, Yudith, Sendi, dan seluruh GMSK’40. Terima

kasih atas kenangan yang begitu indah.

10. Teman-teman di HIMAGITA dan BKG yang telah memberikan warna berbeda

pada dunia.

11. Kakak-kakakku GMSK’37 (Mbak Nisa’14, Mbak Ama, dan Mbak Mada),

GMSK’38, GMSK’39, dan Adik-Adikku GMSK’41,GM’42, serta IKK’42.

12. Semua Pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi

ini, memberi bantuan spiritual yang tidak dapat terhitung dan tergantikan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juli 2007

(5)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar belakang... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Daun Torbangun ... 3

Santan kelapa ... 5

Reaksi oksidasi ... 8

Antioksidan ... 9

Vitamin A ... 10

Minyak Sawit Kasar ... 12

Mikrobiologi pangan ... 17

BAHAN DAN METODE ... 23

Waktu dan tempat ... 23

Bahan dan alat ... 23

Metode penelitian ... 24

Pengolahan dan analisis data ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Uji kimiawi kerusakkan lemak ... 31

Nilai pH ... 31

Total Asam Tertritasi (TAT) ... 34

Bilangan peroksida ... 37

Thiobarbituric acids (TBA) ... 41

Hasil analisis Vitamin A dan ß-karoten ... 45

Pengaruh pengolahan dan penyimpanan ... 45

Peranan STA dan STM dalam memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) Vitamin A Uji organoleptik ... 48

Hasil uji mikrobiologi ... 49

(6)

Halaman

Sayur Torbangun vitamin A ... 51

Sayur Torbangun MSK ... 52

Hasil uji hedonik organoleptik ... 55

Aroma ... 55

Warna ... 57

Kekentalan ... 59

Tekstur ... 61

Kelebihan dan kekurangan penggunaan tablet vitamin A dan MSK sebagai antioksidan ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

Kesimpulan ... 65

Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun katuk ... 4

2. Komposisi zat gizi sayur sop daun Torbangun (150 g) ... 5

3. Pengaruh penambahan air terhadap komposisi kimia santan ... 6

4. Kandungan asam lemak minyak sawit kasar ... 13

5. Karakteristik minyak sawit kasar ... 13

6. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit kasar ... 16

7. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun pada berbagai jenis analisis ... 25

8. Hasil analisis proksimat sop daun Torbangun ... 25

9. Contoh untuk analisis HPLC ... 28

10. Kandungan vitamin A pada sop daun Torbangun dan bahan penyusunnya (RE/100 g) ... 46

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Daun Torbangun. ... 3

2. Reaksi umum proses oksidasi lemak dan minyak ... 8

3. Struktur vitamin A ... 11

4. Tablet vitamin A 20.000 IU merek Kimia Farma ... 11

5. MSK di dalam kemasan botol ... 13

6. Struktur umum ß-karoten ... 17

7. Diagram alir penelitian ... 24

8. Diagram alir proses pengolahan sayur sop daun Torbangun ... 27

9. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 31

10. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 32

10. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) sop daun Torbangun ... 34

11. Pengaruh sumber antioksidan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 36

12. Pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 37

13. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38

14. Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38

15. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun ... 42

16.Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun... 43

17.Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun kontrol (STK) ... 50

18.Perubahan jumlah sayur Torbangun dengan penambahan tablet vitamin A (STA) ... 52

20. Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun dengan penambahan MSK (STM) ... 54

21. Nilai median uji aroma pada jam ke-12 ... 56

22. Nilai median uji aroma pada jam ke-36 ... 56

23. Nilai grand median uji aroma ... 57

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

25. Nilai median uji warna pada jam ke-36 ... 58

26. Nilai grand median uji warna ... 59

27. Nilai median uji kekentalan jam ke-12 ... 60

28. Nilai median uji kekentalan pada jam ke-36 ... 60

29. Perbandingan nilai median uji kekentalan pada lama penyimpanan ke-12 jam dan ke-36 jam ... 61

30. Nilai median uji tekstur pada jam ke-12 ... 62

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perhitungan konversi tablet vitamin A yang dibutuhkan/Kg bahan . 71

2. Metode analisis uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 72

3. Prosedur analisis HPLC vitamin A dan ß-karoten ... 74

4. Perhitungan retensi vitamin A akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STA ... 75

5. Perhitungan retensi ß-karoten akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STM ... 77

6. Uji mikrobiologi dengan metode Total Plate Count (TPC) ... 79

7. Lembar penilaian organoleptik uji hedonik ... 80

8. Analisis data hasil uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 81

9. Perhitungan retensi vitamin A daun Torbangun pada STK... 86

10. Tingkat kecukupan vitamin A dari STA dan STM ... 87

11. Perhitungan jumlah mikroorganisme ... 88

12. Hasil analisis data organoleptik uji hedonik ... 90

13. Perhitungan biaya penggunaan antioksidan tablet vitamin A dan MSK ... 94

14. Metode analisis proksimat ... 95

15. Tabel data sampel yang dianalisis dengan metode HPLC ... 97

(11)

Oleh:

DEVI YULIAWATI

A54103017

PROGRAM STUDI

GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

(12)

(CPO) to The Durability of Torbangun ( Lour.) Soup (Under tuition of Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. and drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD.)

(13)

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bambang Tri Waluyo

dan Titik Wahyuni. Pendidikan TK ditempuh di Taman Kanak-Kanak PTPN VIII

Tanjung Morawa, Sumatera Utara dari tahun 1989-1990 dan Taman

Kanan-Kanak Bhayangkari Curug, Tangerang dari tahun 1990-1991. Pendidikan SD

ditempuh di SD Islamic Village, Karawaci, Tangerang dari tahun 1991-1997.

Penulis melanjutkan pendidikan SLTP di SLTP Dian Harapan Karawaci,

Tangerang dari tahun 1997-1998, dan di SLTP Negeri 1 Subang, Jawa Barat dari

tahun 1998-2000. Pendidikan SMU ditempuh di SMU Negeri 1 Subang, Jawa

Barat dari tahun 2000-2003.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat dan

Sumberdaya Keluarga pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

IPB (USMI). Pada periode 2003/2004 pernah menjadi anggota Biro Hubungan

Masyarakat Forum Keluarga Masjid GMSK (FKMG). Pada periode 2004/2005

pernah menjadi anggota Biro Kajian Strategis Himpunan Mahsiswa Peminat Ilmu

Gizi Pertanian (HIMAGITA). Sejak tahun 2004-2006 penulis aktif sebagai staf

Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi (BKG) dan pada periode 2006/2007

pernah menjabat sebagai ketua Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi

(BKG). Pada tahun 2007 penulis menjadi asisten untuk mata kuliah Metabolisme

(14)

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis

menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. dan Bapak Drh. Rizal Damanik M.Rep.Sc,

PhD sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan semangat

dan masukan ilmu yang sangat berarti dan dengan sabar membimbing

penulis selama penelitian hingga penyelesaian tugas akhir ini.

2. Keluargaku tersayang : Papa, Mama, Eca, Ipam, dan Kkku sebagai sumber

semangat, motivasi, finansial dan kasih sayang yang tidak pernah habis

3. Pak Mashudi yang telah banyak membantu dan menjadi teman untuk

berdiskusi tentang penelitian ini.

4. Ibu Ir. Cesilia Meti Dwiriani, Msc sebagai pembimbing akademik.

5. Ibu Dr.Ir Lilik Kustiyah, MS sebagai dosen pemandu seminar.

6. Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS sebagai dosen penguji yang telah begitu

banyak memberikan saran.

7. Bu Dini, Mas Yudi, Pak Lalu, dan Pak Danu di Balitpasca Panen, Cimanggu

Bogor atas bantuan dan bimbingannya.

8. Seluruh dosen dan staf Departemen GM (Teh Popon, Bu Yati, Teh Yati, Pak

Ugan, dan Mas Rena) yang telah mendidik, membimbing, dan membantu

dengan penuh kasih sayang, serta canda ria.

9. Temanku senasib dan sepenanggungan dalam suka dan duka (Betsy dan

Deni Alam’39) : Andi, Inoel, Malie, Bambang, Ade, Wewew, Vivi, Tika, Tegar,

Maning, Nining, MeiMei, Aris, Yudith, Sendi, dan seluruh GMSK’40. Terima

kasih atas kenangan yang begitu indah.

10. Teman-teman di HIMAGITA dan BKG yang telah memberikan warna berbeda

pada dunia.

11. Kakak-kakakku GMSK’37 (Mbak Nisa’14, Mbak Ama, dan Mbak Mada),

GMSK’38, GMSK’39, dan Adik-Adikku GMSK’41,GM’42, serta IKK’42.

12. Semua Pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi

ini, memberi bantuan spiritual yang tidak dapat terhitung dan tergantikan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juli 2007

(15)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar belakang... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Daun Torbangun ... 3

Santan kelapa ... 5

Reaksi oksidasi ... 8

Antioksidan ... 9

Vitamin A ... 10

Minyak Sawit Kasar ... 12

Mikrobiologi pangan ... 17

BAHAN DAN METODE ... 23

Waktu dan tempat ... 23

Bahan dan alat ... 23

Metode penelitian ... 24

Pengolahan dan analisis data ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Uji kimiawi kerusakkan lemak ... 31

Nilai pH ... 31

Total Asam Tertritasi (TAT) ... 34

Bilangan peroksida ... 37

Thiobarbituric acids (TBA) ... 41

Hasil analisis Vitamin A dan ß-karoten ... 45

Pengaruh pengolahan dan penyimpanan ... 45

Peranan STA dan STM dalam memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) Vitamin A Uji organoleptik ... 48

Hasil uji mikrobiologi ... 49

(16)

Halaman

Sayur Torbangun vitamin A ... 51

Sayur Torbangun MSK ... 52

Hasil uji hedonik organoleptik ... 55

Aroma ... 55

Warna ... 57

Kekentalan ... 59

Tekstur ... 61

Kelebihan dan kekurangan penggunaan tablet vitamin A dan MSK sebagai antioksidan ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

Kesimpulan ... 65

Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun katuk ... 4

2. Komposisi zat gizi sayur sop daun Torbangun (150 g) ... 5

3. Pengaruh penambahan air terhadap komposisi kimia santan ... 6

4. Kandungan asam lemak minyak sawit kasar ... 13

5. Karakteristik minyak sawit kasar ... 13

6. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit kasar ... 16

7. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun pada berbagai jenis analisis ... 25

8. Hasil analisis proksimat sop daun Torbangun ... 25

9. Contoh untuk analisis HPLC ... 28

10. Kandungan vitamin A pada sop daun Torbangun dan bahan penyusunnya (RE/100 g) ... 46

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Daun Torbangun. ... 3

2. Reaksi umum proses oksidasi lemak dan minyak ... 8

3. Struktur vitamin A ... 11

4. Tablet vitamin A 20.000 IU merek Kimia Farma ... 11

5. MSK di dalam kemasan botol ... 13

6. Struktur umum ß-karoten ... 17

7. Diagram alir penelitian ... 24

8. Diagram alir proses pengolahan sayur sop daun Torbangun ... 27

9. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 31

10. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 32

10. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) sop daun Torbangun ... 34

11. Pengaruh sumber antioksidan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 36

12. Pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 37

13. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38

14. Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38

15. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun ... 42

16.Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun... 43

17.Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun kontrol (STK) ... 50

18.Perubahan jumlah sayur Torbangun dengan penambahan tablet vitamin A (STA) ... 52

20. Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun dengan penambahan MSK (STM) ... 54

21. Nilai median uji aroma pada jam ke-12 ... 56

22. Nilai median uji aroma pada jam ke-36 ... 56

23. Nilai grand median uji aroma ... 57

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

25. Nilai median uji warna pada jam ke-36 ... 58

26. Nilai grand median uji warna ... 59

27. Nilai median uji kekentalan jam ke-12 ... 60

28. Nilai median uji kekentalan pada jam ke-36 ... 60

29. Perbandingan nilai median uji kekentalan pada lama penyimpanan ke-12 jam dan ke-36 jam ... 61

30. Nilai median uji tekstur pada jam ke-12 ... 62

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perhitungan konversi tablet vitamin A yang dibutuhkan/Kg bahan . 71

2. Metode analisis uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 72

3. Prosedur analisis HPLC vitamin A dan ß-karoten ... 74

4. Perhitungan retensi vitamin A akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STA ... 75

5. Perhitungan retensi ß-karoten akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STM ... 77

6. Uji mikrobiologi dengan metode Total Plate Count (TPC) ... 79

7. Lembar penilaian organoleptik uji hedonik ... 80

8. Analisis data hasil uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 81

9. Perhitungan retensi vitamin A daun Torbangun pada STK... 86

10. Tingkat kecukupan vitamin A dari STA dan STM ... 87

11. Perhitungan jumlah mikroorganisme ... 88

12. Hasil analisis data organoleptik uji hedonik ... 90

13. Perhitungan biaya penggunaan antioksidan tablet vitamin A dan MSK ... 94

14. Metode analisis proksimat ... 95

15. Tabel data sampel yang dianalisis dengan metode HPLC ... 97

(21)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kepercayaan terhadap suatu jenis makanan yang dapat bermanfaat

selama masa kehamilan dan menyusui berkembang luas di dalam kepercayaan

wanita tradisional di Indonesia (Damanik et al. 2004). Makanan merupakan

sumber utama dalam memenuhi kebutuhan gizi janin yang ada di dalam

kandungan dan juga bayi yang telah dilahirkan melalui Air Susu Ibu (ASI).

Sebagai contoh, wanita Batak yang sedang menyusui di Kabupaten Simalungun,

Sumetera Utara mempunyai tradisi dan kepercayaan bahwa dengan

mengkonsumsi daun Torbangun selama satu bulan setelah melahirkan akan

meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2001). Tradisi tersebut telah berjalan

selama ratusan tahun dan sampai sekarang masih terus dilakukan.

Daun Torbangun tersebut diolah menjadi makanan yang dikenal dengan

sayur sop daun Torbangun. Proses pengolahan sayur sop daun Torbangun

biasanya dilakukan oleh ibu, ibu mertua, atau suami (Damanik et al. 2001). Pada

masa kini, daun Torbangun dimasak dengan menggunakan santan dan

ditambahkan potongan ayam atau ikan untuk meningkatkan palatabilitas.

Selain menambah cita rasa, pengunaan santan dalam pembuatan sop

daun Torbangun dapat menyebabkan kerugian yaitu mudah teroksidasi karena

kandungan lemaknya yang tinggi. Selanjutnya, selama penyimpanan, kerusakan

fisik dan kimia dapat terjadi. Selain itu, penurunan mutu selama penyimpanan

dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba yang tumbuh pada sayur santan

daun Torbangun.

Antioksidan merupakan senyawa yang terdapat secara alami pada

hampir semua bahan pangan. Senyawa tersebut berfungsi untuk melindungi

bahan pangan dari kerusakan karena terjadinya reaksi oksidasi lemak atau

minyak yang menjadikan bahan pangan beraroma tengik. Walaupun antioksidan

terdapat dalam bahan pangan secara alami, jika bahan pangan tersebut

mengalami proses pengolahan, maka akan terjadi degradasi kimia dan fisika,

sehingga fungsinya sebagai antioksidan semakin berkurang. Oleh karena itu,

perlu ditambahkan zat antioksidan yang memberikan dua keuntungan, pada satu

sisi mampu berfungsi sebagai antioksidan sehingga dapat meningkatkan

keawetan, dan di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan gizi mikro (vitamin dan

(22)

Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang dikenal sebagai zat gizi

yang sangat diperlukan tubuh. Selain itu, vitamin A dapat berperan sebagai

antioksidan dan mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh. Menurut La

Chance (1996) yang diacu dalam Muchtadi dan Astawan (2001), dengan

konsumsi 3,2 mg karoten/hari mampu memberikan efek protektif. Salah satu

bahan pangan yang kaya akan β-karoten sebagai pro vitamin A adalah minyak

sawit kasar (MSK).

Pengkajian mengenai pengaruh penambahan antioksidan vitamin A dan

karotenoid yang banyak terdapat pada MSK terhadap keawetan sayur sop daun

Torbangun belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik

untuk mengkaji lebih dalam aspek ini dalam suatu penelitian dengan harapan

hasilnya dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Tujuan Tujuan Umum :

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh penambahan vitamin A

dan minyak sawit kasar (MSK) sebagai antioksidan terhadap keawetan sop daun

Torbangun (Coleus amboinicus Lour.).

Tujuan khusus :

1. Menetapkan konsentrasi antioksidan (vitamin A dan MSK) yang

ditambahkan dan lama penyimpanan maksimal sayur sop daun

Torbangun.

2. Mempelajari pengaruh antioksidan terhadap kerusakan lemak selama

penyimpanan.

3. Menganalisis kadar vitamin A sayur sop daun Torbangun selama

penyimpanan.

4. Menganalisis jumlah mikroorganisme dengan metode Total Plate Count

(TPC) dalam sayur sop daun Torbangun.

5. Mempelajari tingkat kesukaan sayur sop daun Torbangun

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk

pengembangan produksi sayur santan daun Torbangun. Selain itu diharapkan

dengan adanya penelitian ini sayur sop daun Torbangun dapat diterima oleh

(23)

TINJAUAN PUSTAKA Daun Torbangun

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) termasuk dalam bangsa

solanes, suku labiatae, dan marga coleus (de Padva et al 1999). Tanaman ini

memiliki nama-nama yang berbeda untuk setiap daerah dan suku bangsa, yaitu

ajeran atau ajiran (Sunda), daun kucing (Jawa), Torbangun (Batak), sukan

(melayu), daun kambing (Madura), iwak (Bali), dan kunu etu (Timor)

(Syamsuhidayat & Hutapea 1991, diacu dalam Puspitasari 2003).

Daun Torbangun mempunyai sifat khas, yakni mampu menghangatkan

tubuh. Daun Torbangun juga mampu menetralkan, dan membersihkan darah.

Gambar daun Torbangun ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 Daun Torbangun.

Deskripsi botani

Daun Torbangun merupakan tanaman semak yang menjalar. Batangnya

berkayu, lunak, dan beruas-ruas. Ruas yang menempel di tanah akan tumbuh

akar, batang muda berwarna hijau pucat. Daun tunggal, mudah patah, berbentuk

bulat telur, tebal, tepinya beringgit, berambut, panjang 6-7 cm, lebar 5-6 cm,

bertulang menyirip, dan berwarna hijau muda. Bunga majemuk, berbentuk

tandan, mahkota bentuk mangkok berwarna ungu. Bagian yang dapat digunakan

yakni seluruh bagian tumbuhan. Jarang berbunga namun mudah sekali dibiakkan

dengan stek dan cepat berakar di dalam tanah (Heyne 1987, diacu dalam

Puspitasari 2003).

Komposisi zat gizi daun Torbangun

Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam Daftar

Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia tahun 1990 menyebutkan bahwa dalam

(24)

mg, dan karoten total sebesar 13288 µkg. Kandungan kalsium, besi, dan karoten

total pada daun Torbangun tersebut lebih besar dibandingkan dengan daun

katuk (Sauropus androgynus). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi

daun Torbangun dan katuk tercantum dalam Tabel 1 di bawah ini

Tabel 1 Komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun katuk

Komposisi zat gizi Daun Torbangun Daun katuk

Energi (kkal)

Protein (g)

Lemak (g)

Hidrat arang (g)

Serat (g)

Abu (g)

Kalsium (mg)

Phosfor (mg)

Besi (mg)

Karoten total (µkg)

Vitamin A

Vitamin B1

Vitamin C

Air

Berat dapat dimakan 27 1.3 0.6 4.0 1.0 1.6 279 40 13.6 13288 0 0.16 5.1 92.5 66 59 6.4 1.0 9.9 1.5 1.7 233 98 3.5 10020 0 0 164 81 42

Sumber: Mahmud et al (1990)

Pemanfaatan daun Torbangun

Pemanfaatan daun Torbangun terutama dilakukan oleh masyarakat etnis

Batak dalam bentuk olahannya, yakni sayur sop daun Torbangun. Masyarakat

etnis batak percaya bahwa sayur sop daun Torbangun mampu meningkatkan

produksi air susu ibu (ASI) (Damanik et al. 2001 & 2004).

Hal tersebut di atas ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah. Berdasarkan

hasil penelitian Damanik (2006) bahwa pada saat minggu kedua (hari ke 14

hingga ke 28 setelah suplementasi sayur sop daun Torbangun), wanita yang

telah mengkonsumsi sayur sop daun Torbangun tetap mengalami peningkatan

kuantitas ASI. Selain itu, daun Torbangun juga mampu meningkatkan kesehatan

wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterine cleansing agent, dan dalam

(25)

proses melahirkan (Damanik, et al. 2001). Komposisi zat gizi sayur sop daun

Torbangun dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi zat gizi sayur sop daun Torbangun (150g)

Zat gizi Rata-rata ± SD

Lemak (g)

Protein (g)

Karbohidrat (g)

Air (g)

Mineral (mg)

Seng

Besi

Kalsium

Magnesium

Pottasium

16,3 ± 4,6

2,4 ± 0,1

5,3 ± 0,3

121,5 ± 14,7

2,8 ± 0,1

6,8 ± 0,1

393,1 ± 6,5

124,1 ± 6,3

1219,2 ± 80,7

Sumber: Damanik et al. (2006)

Santan Kelapa

Santan kelapa adalah sebutan yang digunakan untuk cairan yang

dihasilkan dari proses ekstraksi daging kelapa yang telah diparut secara manual

atau menggunakan alat, dengan atau tanpa penambahan air (Gonzales 1990).

Definisi lain dari santan kelapa adalah produk cair yang diperoleh dengan

menyaring daging buah kelapa (Cocos nucifera) dengan atau tanpa penambahan

bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-3816-1995 tentang santan

kelapa). Santan berbentuk emulsi lemak dalam air dengan ukuran partikel lebih

besar dari 1µ sehingga berwarna putih susu (Kirk & Othmer 1950)

Santan kelapa biasanya dihasilkan dari buah kelapa yang telah matang,

berusia sekitar 12 bulan. Pada usia tersebut, daging buah kelapa telah mengeras

dan tebal, dengan komposisi yang dimiliki adalah : kelembaban 50%, minyak

34%, protein 3.5%, serat 3%, abu 2.2%, dan karbohidrat 7.3%. Santan kelapa

banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam mengolah ikan, daging sapi,

daging unggas, dan sayur-sayuran sebagai makanan. Selain itu, santan kelapa

juga dapat digunakan dalam proses pembuatan kue (Gonzales 1990).

Santan kelapa terdiri atas globula-globula kecil yang terdapat dalam fase

minyak yang terdispersi di dalam air. Globula-globula tersebut hampir sama

(26)

Emulsi santan relatif stabil karena memiliki fosfolipid, lesitin, dan sepalin

yang diketahui berfungsi sebagai stabilizer (Gonzales 1990). Stabilitas emulsi

dipengaruhi oleh ukuran partikel, perbedaan densitas kedua fase, viskositas,

muatan partikel, jumlah dan jenis emulsifier serta suhu penyimpanan

(Soemaatmadja 1974). Lemak dalam santan, selain sebagai pelarut vitamin A, D,

E, dan K juga dapat menambah citarasa bahan pangan atau memberi rasa gurih

pada makanan dan menambah kalori (Winarno 1997).

Kualitas santan kelapa selain dipengaruhi oleh teknologi dalam

pemrosesan, juga dipengaruhi oleh perbedaan varietas, tingkat kematangan

buah kelapa, ukuran partikel daging buah, suhu pemrosesan, jumlah air yang

digunakan, dan tekanan yang diberikan saat proses ekstraksi. Rasio berat

daging buah kelapa dengan berat air yang terbaik adalah 1 : 3 agar ekstraksi

berjalan baik, sehingga lemak yang tersisa pada ampas relatif rendah

(Somaatmadja 1974). Penambahan air sangat mempengaruhi komposisi kimia

santan. Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia santan murni dan santan dengan

penambahan air.

Tabel 3 Pengaruh penambahan air terhadap komposisi kimia santan.

Zat gizi dan kalori Santan murni + air (1 : 1) Kalori (Kal) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg) Phospor (mg) Vitamin A (gram) Air (%) 324.0 4.2 34.3 5.6 14.0 1.9 0.0 54.9 122.0 2.0 10.0 7.6 25.0 0.1 0.0 80.0 Sumber: Cheosakul (1967) diacu dalam Somaatmadja (1974

Hasil penelitian Gonzales (1990) menunjukkan bahwa keefektifan dalam

penambahan air ke dalam daging buah kelapa bergantung pada suhu air dan

lama pencampuran. Efesiensi ekstraksi santan akan meningkat seiring dengan

meningkatnya suhu dan lama waktu pencampuran, yakni lebih dari 80o C saat

protein mulai terkoagulasi.

Menurut Muchtadi (1989), bila dibandingkan dengan proses perebusan,

pengukusan, dan penumisan, maka pemasakan sayuran di rumah tangga, akan

berpengaruh dalam menurunkan kadar antioksidan alami sayuran. Kadar

antioksidan yang mengalami penurunan terjadi pada vitamin C, alfa-tokoferol,

dan senyawa fenol yang terkandung dalam sayuran. Namun, ternyata

(27)

alfa-tokoferol yang mungkin disebabkan karena adanya tambahan antioksidan ini dari

minyak kelapa.

Kerusakan santan kelapa

Santan merupakan produk pangan yang mengandung kadar air, protein

dan lemak cukup tinggi, sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme

pembusuk dan santan menjadi mudah rusak. Kerusakan tersebut antara lain

pecahnya emulsi santan, timbulnya aroma tengik, dan perubahan warna menjadi

agak coklat (Soemaatmadja 1974).

Gonzales (1990) menyatakan bahwa selama santan disimpan atau

didiamkan, butir lemak yang diselubungi lapisan protein dan karbohidrat akan

memisah ke bagian atas dan membentuk kepala santan, sedangkan air tertinggal

di bawah. Pemanasan santan juga bertujuan untuk menggumpalkan protein dan

memecah emulsi santan, sehingga butir minyak bergabung serta menguapkan

airnya dan diperoleh minyak. Disamping itu, pemanasan juga dapat membunuh

mikroba dan menginaktivasi enzim (Bailey 1951).

Santan kelapa segar memiliki pH = 6 dan termasuk ke dalam makanan

dengan pH rendah. Gonzales (1990) melaporkan bahwa densitas dan pH santan

dipengaruhi oleh suhu, sedangkan kekentalan dan tegangan permukaan santan

akan meningkat tetap pada suhu di atas 60oC lalu kemudian menurun secara

perlahan. Hal tersebut mengacu pada terjadinya koagulasi protein yang terjadi

mulai suhu 60oC. Namun, menurut Hagenmaier (1980) yang diacu di dalam

Gonzales (1990) menyatakan bahwa koagulasi protein dimulai pada saat suhu

80oC. Protein santan seperti albumin, globulin, prolamin, dan glutelin mudah

terkoagulasi oleh panas dan mengendap pada pH = 4.

Santan kelapa adalah emulsi dari lemak, protein, dan karbohidrat dalam

air yang kemantapannya tidak bertahan lama. Dalam keadaan normal, santan

kelapa hanya tahan disimpan selama 24 jam. Setelah itu santan akan mudah

pecah dan menimbulkan bau serta rasa yang tidak sedap. Kandungan air dan

protein yang tinggi di dalam santan dapat menyebabkan santan mudah

mengalami kerusakan. Dengan adanya air, lemak dapat terhidrolisis menjadi

gliserol dan asam lemak. Adanya asam-asam lemak akan menimbulkan bau dan

(28)

Reaksi oksidasi

Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan

hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai

dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam

lemak bebas. Rancidity terbentuk karena adanya aldehida, bukan peroksida

(Ketaren 1986). Menurut Nawar (1996) reaksi umum proses oksidasi lemak dan

minyak diperlihatkan oleh Gambar 2.

Initiator

→

k1 radikal bebas (R?, ROO?) Initiation (Inisiasi) (1) R? + O2

→

2 k

ROO? (2)

ROO? + RH

→

k3 ROOH + R? Propagation (perambatan) (3)

R? + R?

→

k4 (4) R? + ROO?

→

k5 nonradical products (5) ROO? + ROO?

→

k6 Termination (penghentian) (6)

Gambar 2 Reaksi umum proses oksidasi lemak dan minyak (Nawar 1996)

Bentuk kerusakan lemak, terutama ketengikan yang paling penting

disebabkan oleh aksi oksigen udara terhadap lemak. Dalam bahan pangan

berlemak, unsur utama yang mudah mengalami oksidasi spontan adalah asam

lemak tidak jenuh dan sejumlah kecil persenyawaan yang merupakan unsur yang

cukup penting (Ketaren 1986).

Menurut Winarno (1997), kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya

bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh

proses otooksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak. Otooksidasi

dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh

faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak

atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam

porifirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim

lipoksidase.

Reaksi oksidasi dapat mengakibatkan berbagai macam kerugian,

kerugian-kerugian tersebut antara lain adalah: 1) penurunan nilai ekonomi yang

cukup besar, 2) mempengaruhi efisiensi dari tahap-tahap pengolahan, 3)

(29)

kerusakan vitamin, penurunan nilai gizi, dan adanya reaksi polimerisasi

(Sulaeman 1990).

Antioksidan

Salah satu cara yang paling sering dilakukan untuk mencegah terjadinya

oksidasi adalah penambahan antioksidan ke dalam bahan pangan berlipid.

Penggunaan antioksidan ini bertujuan untuk meminimalkan ketengikan,

menghambat pembentukan produk oksidasi yang bersifat toksik yang berdampak

pada penurunan kualitas gizi, dan untuk memperpanjang masa simpan makanan

(Fatimah 2005).

Antioksidan yang digunakan dalam bahan pangan harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut: 1) aktif pada konsentrasi rendah; 2) tidak

menimbulkan keracunan; 3) tidak menimbulkan bau, rasa, dan warna pada

bahan pangan; 4) mudah dicampur pada bahan pangan; 5) mudah diperoleh dan

murah; 6) mudah dideteksi, diidentifikasi, maupun diukur (Ludenberg 1961 diacu

dalam Priatna 1992).

Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dikelompokkan

sebagai pengurai peroksida dan penangkap radikal bebas. Sulfur dan fosfor

dalam bentuk sulfida, dithiocarbamate, fosfat dan dithiophosphate berfungsi

sebagai pengurai peroksida. Nitrogen dan oksigen dalam inhibitor sebagai

arylamines dan phenol berfungsi sebagai penangkap radikal bebas.

Winarno (1997) menyatakan bahwa adanya antioksidan dalam lemak

akan mengurangi kecepatan proses oksidasi. Antioksidan terdapat secara

alamiah dalam lemak nabati, dan kadang-kadang sengaja ditambahkan. Ada dua

macam antioksidan, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder.

Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi

berantai pembentuk radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk

ke dalam golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan.

Antioksidan primer yang berasal dari alam yang sering ditemukan adalah

tokoferol, sedangkan antioksidan primer yang berasal dari bahan sintetik atau

buatan misalnya adalah Butylated hydroxyanisole (BHA), Butylated

hydroxytoluene (BHT), Propylgallate (PG), dan NDGA (Nordihidroquairetic Acid).

Antioksidan sintetik yang ditambahkan ke dalam lemak atau bahan pangan untuk

mencegah ketengikan biasanya adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya

agak beracun. Oleh karena itu, penambahan antioksidan ini harus memenuhi

(30)

Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja

prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam

organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat

logam-logam (sequestran).

Menurut Surai (2003) ada bermacam-macam tanggapan sistem

antioksidan dalam melindungi sel-sel dari radikal bebas, sistem tersebut meliputi:

þ Antioksidan yang larut dalam lemak alami (vitamin A, vitamin E, karotenoid, asam urat, dan lain-lain).

þ Antioksidan yang larut dalam air (asam askorbat, asam urat, dan lain-lain).

þ Enzim-enzim antioksidan (katalase, glutathione peroksidase, dan superoksida dismutase)

þ Sistem redoks tiol yang terdiri dari sistem glutathion

Ruxton (1994) dalam Subekti (1997) menyatakan bahwa istilah zat gizi

antioksidan mengacu kepada kemampuan dari suatu zat gizi untuk mencegah

kerusakan oksidatif pada sel. Sebagai contoh adalah ß-karoten, vitamin C,

selenium, dan vitamin E.

Stabilitas antioksidan terhadap panas

Pemilihan antioksidan yang tahan terhadap pemanasan sangat penting

untuk bahan pangan berlemak yang menggunakan suhu tinggi dalam proses

pembuatannya atau dalam aplikasinya. Apabila digunakan antiosidan yang tidak

tahan terhadap panas akan menyebabkan mutu bahan pangan tidak seperti yang

diinginkan karena umur simpan bahan tersebut tidak dipenuhi.

Senyawa-senyawa antioksidan mempunyai ketahanan terhadap panas

yang berbeda-beda. Menurut Francis (1985) dalam Andarwulan dan Fardiaz

(1994) asam askorbat, karotenoid (terutama ß-karoten) dan tokoferol relatif tidak

tahan terhadap panas, udara dan oksigen. Namun, senyawa-senyawa golongan

flavonoid dan tanin relatif tahan panas.

Vitamin A

Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid

dan prekusor atau provitamin A atau karotenoid yang mempunyai aktivitas

biologik sebagai retinol. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning

dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan, vitamin A biasanya

terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang

(31)

Menurut Winarno (1997), pada umumnya vitamin A mempunyai sifat

stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Namun, mempunyai sifat yang mudah

teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama

[image:31.595.230.393.471.588.2]

udara, sinar, dan lemak yang sudah tengik.

Gambar 3 Struktur vitamin A (Winarno 1997)

Diacu dalam Almatsier (2000), vitamin A tahan terhadap panas cahaya

dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Pada cara memasak

biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi pada waktu menggoreng

dapat merusak vitamin A, begitupun oksidasi pada minyak yang tengik.

Ketersediaan biologik vitamin A dapat meningkat dengan hadirnya vitamin E dan

antioksidan lain.

Gambar 4 Tablet vitamin A 20.000 IU merek Kimia Farma

Berdasarkan Muhilal dan Sulaeman (2004), angka aman untuk

kecukupan gizi vitamin A yang dianjurkan bagi wanita yang berusia diatas 10

tahun adalah 500 RE. Bagi wanita menyusui dengan usia bayi 0-12 bulan

kebutuhannya ditambah 350 RE.

Hanya vitamin A dalam bentuk retinol dan retinoid saja yang dapat

menyebabkan keracunan akut, karena penyerapannya cukup efisien (mendekati

(32)

berasal dari makanan, sifatnya tidak beracun, karena efisiensi penyerapannya

menurun jika intiknya meningkat. Gejala kelebihan vitamin A akan terjadi bila

mengkonsumsi dalam bentuk vitamin A yang berlebih. Karoten tidak dapat

menimbulkan gejala kelebihan, karena absorpsi karoten menurun bila konsumsi

tinggi. Selain itu, sebagian karoten yang diserap tidak diubah menjadi vitamin A,

akan tetapi disimpan di dalam lemak. Bila lemak di bawah kulit mengandung

banyak karoten, warna kulit akan terlihat kekuningan (Almatsier 2000). Pada

orang dewasa yang mengalami keracunan, gejalanya adalah mual, muntah,

tekanan cairan cerebrospinal yang meningkat, pusing, penglihatan kabur, dan

penurunan koordinasi (Allen & Haskell 2002).

Makanan yang kaya akan vitamin A dapat mencegah pembentukan

radikal oksigen dan peroksida lemak, dan ß-karoten sangat efisien dalam

menetralisir radikal oksigen. Vitamin A bersama dengan vitamin C, vitamin E, dan

selenium dapat menetralisir efek peroksida dan mengurangi karsinogenesis

(Weisburger 1991, diacu dalam Subekti 1997).

Degradasi dari vitamin A (retinoid dan karotenoid aktif) pada umumnya

setara dengan degradasi oksidatif dari lemak tak jenuh. Faktor-faktor yang

mempengaruhi oksidasi lemak juga mampu meningkatkan degradasi vitamin A,

baik pada oksidasi langsung maupun efek tak langsung dari radikal bebas

(Fennema 1996).

Degradasi oksidatif dari vitamin A dan karotenoid dalam makanan dapat

terjadi melalui peroksidasi langsung atau penyebab tidak langsung karena hasil

sampingan oksidasi asam lemak berupa radikal-radikal bebas. β-karoten dan

mungkin karoten lain memiliki kemampuan sebagai antioksidan dibawah kondisi

kekurangan oksigen, dan mampu sebagai prooksidan dibawah kondisi

konsentrasi oksigen tinggi (Fennema 1996).

Minyak Sawit Kasar

Minyak Sawit Kasar (MSK) merupakan hasil terpenting dari tanaman

sawit. MSK terbagi menjadi dua, yakni inti sawit kasar yang dapat diolah lebih

lanjut menjadi Processed Palm Oil (PPO) dan minyak inti sawit. Bentuk-bentuk

olah lanjut MSK yang telah banyak dikembangkan secara komersial yang

menunjukkan besarnya nilai manfaat MSK. Contoh MSK yang telah dikemas

(33)
[image:33.595.223.403.82.228.2]

Gambar 5 Minyak sawit kasar.

Minyak sawit memiliki ketahanan terhadap oksidasi, tidak terbakar, dan

tidak berbusa pada suhu tinggi (Bakrie 1998). Oleh karena itu, MSK sangat tepat

dipakai untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga, industri, hotel, dan restauran

setelah dilakukan pemurnian terlebih dahulu.

MSK diperoleh dari bagian mesokarp dan bagian inti (kernel) yang

disebut minyak inti sawit. MSK tersusun atas unsur-unsur C, H, dan O seperti

jenis minyak yang lainnya. Komposisi asam lemak MSK dapat dilihat pada Tabel

4, sedangkan Tabel 5 menunjukkan karakteristik MSK. Unsur lainnya dari MSK,

seperti gum (getah atau lendir) yang terdiri dari pospatida, protein, residu,

karbohidrat, air dan resin serta asam lemak bebas (Ketaren 1986).

Tabel 4 Kandungan asam lemak dalam MSK

Jenis asam lemak Jumlah (%) Asam miristat

Asam palmitat Asam stearat Asam oleat Asam linoleat

0,9 – 1,4 % 41,9 – 46,7 % 4,3 – 5,1 % 37,3 – 40,5 % 9,1 – 10,6 %

Sumber Bernardini (1983) diacu dalam Hendrawati (2001)

Tabel 5 Karakteristik MSK

Bilangan Iod Melting point

Bilangan penyabunan Fraksi tak tersabunkan Fraksi asam lemak bebas

50 – 58 27 – 500 C 195 – 205 0,5 – 2 3,7

Sumber Bernardini (1983) diacu dalam Hendrawati (2001)

Seperti umumnya minyak dan lemak yang dapat dikonsumsi, minyak

sawit dan turunannya, seperti palm olein dan palm stearin mudah dicerna,

diserap, dan digunakan pada proses metabolisme normal. Minyak sawit memiliki

kandungan asam lemak yang komposisinya merupakan 51% asam lemak tak

jenuh dan 49% asam lemak jenuh, sedangkan palm olein mempunyai lebih dari

(34)

Minyak sawit kaya akan komponen-komponen mikro yang memperkaya

keunikan dan keragaman zat gizinya. Yang terpenting diantaranya adalah

kandungan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) dan karotenoid (umumnya alfa

dan ß-karoten) (Anonymous 2005).

MSK adalah sumber terbanyak karotenoid alami, dengan konsentrasi

antara 700-1000 ppm. Konsentrasi itu setara dengan 15 kali karotenoid yang

terdapat pada wortel. Karotenoid yang terdapat di dalam minyak sawit terutama

adalah ß-karoten (55%), alfa karoten (35%), dan sejumlah kecil likopen,

phytoene, dan zeacarotenes. Karotenoid alami dari minyak sawit ini mempunyai

efek sebagai antioksidan dan anti-kanker, seperti yang telah diuji coba pada

hewan percobaan (Anonymous 2005).

Mutu minyak sawit selain dipengaruhi oleh varietas tanaman, juga

dipengaruhi olah kondisi proses ekstrasi dan kondisi penanganan setelah proses.

Faktor-faktor mutu yang penting dalam penilaian mutu minyak sawit antara lain

kadar asam lemak bebas, kadar air, kadar kotoran, dan terkadang bilangan Iod,

bilangan peroksida, bilangan penyabunan dan warna (Ketaren 1986).

Dalam MSK masih terkandung kotoran-kotoran yang dikelompokkan

menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Kotoran yang tidak larut dalam minyak (Fat Insoluble)

2. Kotoran yang terdiri dari biji atau partikel jaringan, lendir dan getah,

serat-serat yang berasal dari kulit sawit, abu atau mineral (Fe, Cu, Mg, dan Ca)

serta air dalam jumlah kecil.

3. Kotoran yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak

Kotoran ini terdiri dari fosfolipid, karbohidrat, senyawa yang mengandung

nitrogen, dan senyawa kompleks lainnya.

4. Kotoran yang terlarut dalam minyak (Fat Soluble Compound)

Kotoran yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari asam lemak bebas,

sterol, hidrokarbon, mono, dan digliserida yang dihasilkan dari hidrolisa

trigliserida, zat warna yang terdiri dari karotenoid (total karoten yang

terdapat dalam MSK mencapai 800-1000 ppm), klorofil. Zat warna lain

yang dihasilkan dari proses oksidasi dan dekomposisi minyak yang terdiri

dari keton, aldehida, dan resin serta zat lain yang belum dapat

(35)

Kerusakan minyak

Pemanasan minyak dengan menggunakan suhu tinggi dan dengan

adanya oksigen, akan merusak asam-asam lemak tak jenuh yang ada di dalam

minyak. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat dilihat dari kenaikan

kekentalan, kenaikan bilangan peroksida, kenaikan kandungan asam lemak

bebas, dan penurunan bilangan iod (Perkins 1967, diacu dalam Hendrawati

2001).

Menurut Ketaren (1986), kerusakan minyak karena pemanasan pada

dasarnya disebabkan oleh beberapa reaksi, antara lain reaksi oksidasi,

polimerasi, dan hidrolisis. Ketengikan pada minyak akibat proses oksidasi terjadi

karena reaksi antara oksigen di udara dengan asam lemak tak jenuh dalam

minyak. Proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar, selama proses

pengolahan menggunakan suhu tinggi.

Hasil oksidasi minyak tidak hanya mengakibatkan rasa getir dan bau

tengik, tetapi juga menurunkan nilai gizi, karena merusakan vitamin (karoten dan

tokoferol) serta asam lemak esensial dalam lemak. Oksidasi terhadap ikatan

tidak jenuh dalam asam lemak terjadi pada suhu kamar hingga 1000 C dan setiap

satu ikatan tidak jenuh dapat mengabsorpsi dua atom oksigen, sehingga

terbentuk senyawa peroksida yang labil (Ketaren 1986).

Kerusakan minyak juga dapat diakibatkan oleh reaksi hidrolisis. Reaksi

hidrolisis terutama terjadi pada minyak yang mengandung asam lemak jenuh

berantai pendek. Asam lemak tersebut mudah menguap dan berbau tidak enak,

misalnya asam butirat, asam valerat, asam kaproat, dan ester alifatis yaitu metil

nonil keton (Perkins 1967 diacu dalam Hendrawati 2001).

Karoten

Karoten merupakan sumber vitamin A yang banyak terdapat di dalam

bahan makanan nabati. Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk

mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A. Dalam tanaman terdapat

beberapa jenis karoten, namun yang lebih banyak ditemukan adalah a-, ß-, ?-

karoten, dan mungkin juga terdapat kriptoxantin. Dalam bahan makanan terdapat

vitamin A dalam bentuk karoten sebagai ester dari vitamin A dan sebagai vitamin

A yang bebas. Keaktifan biologis karoten jauh lebih rendah dibandingkan dengan

vitamin A (Winarno 1997).

Sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning biasanya

(36)

sayuran dengan kadar karotennya. Semakin hijau daun tersebut, maka akan

semakin tinggi kadar karotennya (Winarno 1997). Namun, menurut West et al.

(2003), ß-karoten dalam sayur-sayuran mempunyai bioavailabilitas yang rendah.

Banyak faktor yang berpotensial mengurangi bioavailabilitas dan

bioefesiensi dari ß-karoten, seperti jenis karotenoid, ikatan molekuler, jumlah

karoten yang dikonsumsi dari makanan, matriks tempat karotenoid bergabung,

efek absorpsi dan biokonversi, status gizi masing-masing individu, faktor genetik,

dan interaksi antar faktor (West et al. 2003).

Kerusakan atau redegradasi karotenoid dapat disebabkan oleh oksidasi.

Mekanisme oksidasi yang terjadi secara kompleks dan tergantung pada

beberapa faktor. Karotenoid dapat dioksidasi melalui reaksi dengan oksigen yang

tergantung pada cahaya, panas, dan adanya prooksidan maupun antioksidan

(Francis 1985).

Menurut Meyer (1982), selama pemasakan, kehilangan karoten adalah

kecil, berkisar 5-10%. Warna karoten sedikit sekali dipengaruhi oleh suasana

asam, basa, volume air atau waktu pemanasan. Nilai gizi karoten dapat

dipertahankan selama pemasakan karena sifatnya yang tidak larut dalam air.

Menurut Muchtadi dan Nuraida (1986) minyak sawit mengandung karoten

sebanyak 600-1000 bps. Karoten pada minyak sawit pada umumnya tidak

disenangi konsumen karena memberikan penampakan yang jelek, oleh karena

itu dalam prosesnya dilakukan pemurnian (pemisahan karoten), yang berarti

membuang komponen penting dari minyak sawit tersebut. Komposisi karotenoid

dalam minyak sawit ada dalam Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi karotenoid dalam minyak sawit (Anonymous 2005)

Karotenoid Jumlah (%)

a-karoten ß-karoten ?-karoten likopen phytoene phytofluene cis ß-karoten cis a-karoten ?-karoten d-karoten neurossporene ß-zeakaroten a-zeakaroten 35.2 56.0 0.33 1.30 1.27 0.68 0.68 2.49 0.69 0.83 0.29 0.74 0.23

Diantara jenis-jenis karotenoid, ß-karoten menunjukkan aktivitas sebagai

(37)

adanya grup karbonil menunjukkan rendahnya aktivitas provitamin A jika

dibandingkan ß-karoten jika hanya satu cincin yang dipengaruhi, dan tidak

mempunyai aktivitas jika kedua cincin teroksigenasi (Fennema 1996). Gambar

struktur dari ß-karoten dapat dilihat pada Gambar 6.

ß-karoten mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dengan mencari-cari

oksigen bebas, hidroksil, dan radikal superoksida, serta dengan mereaksikan

dengan peroksil radikal (ROO). Peroksil radikal menyerang ß-karoten untuk

membentuk ROO- ß-karoten dimana peroksil radikal mengikatkan diri pada C ke

7 dari rantai karbon ß-karoten, elektron yang tidak berpasangan terdelokalisasi

melewati sistem ikatan rangkap terkonjugasi. ß-karoten tidak bertindak sebagai

pendonor H• seperti pada umumnya antioksidan fenolik. Antioksidan seperti

ß-karoten dan ß-karoten lain, menyebabkan penurunan total kerugian dari aktivitas

vitamin A tanpa memperhatikan mekanisme dimana inisiasi radikal bebas terjadi.

Untuk retinol dan retinil ester penyerangan oleh radikal bebas terjadi pada posisi

C14 dan C15 (Fennema 1996).

Gambar 6 Struktur umum ß-karoten

Oksidasi dari ß-karoten melibatkan pembentukan 5,6-epoksida, yang

dapat terisomerisasi menjadi 5,8-epoksida (mutachrome). Paparan cahaya dapat

menyebabkan oksidasi mutachrome menjadi produk degradasi pertama.

Fragmentasi ß-karoten menjadi molekul senyawa yang memiliki berat jenis yang

ringan dapat terjadi selama pemanasan. Volatil-volatil yang dihasilkan dapat

berpengaruh terhadap flavor. Fragmentasi juga dapat terjadi selama proses

(38)

Mikrobiologi Pangan

Bahan baku energi yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme

adalah glukosa. Dengan adanya oksigen, beberapa mikroorganisme mencerna

glukosa dan menghasilkan air, karbondioksida, dan sejumlah besar energi (ATP)

yang dapat digunakan untuk pertumbuhan. Metabolisme glukosa tersebut

dilakukan oleh mikroorganisme aerobik. Akan tetapi beberapa mikroorganisme

dapat mencerna bahan baku energinya tanpa adanya oksigen dan hasilnya,

hanya sebagian dari bahan baku energi yang dipecah. Hasil akhir yang diperoleh

bukan karbondioksida, air, dan sejumlah besar energi, tetapi hanya sejumlah

kecil energi, karbondioksida, air, dan produk akhir organik lainnya. Zat-zat produk

akhir ini termasuk sejumlah besar asam laktat, asam asetat, dan etanol, serta

sejumlah kecil asam organik volatil lainnya, alkohol, dan ester dari alkohol

tersebut. Pertumbuhan yang terjadi tanpa adanya oksigen sering dikenal sebagai

fermentasi. Berbagai mikroorganisme mampu memfermentasikan bahan pangan,

namun yang penting adalah bakteri pembentuk asam laktat, asam asetat, asam

propionat, dan beberapa jenis khamir dan kapang (Buckle et.al 1987).

Selain menguraikan karbohidrat, kebanyakan makanan yang

mengandung sejumlah lemak mudah mengalami hidrolisis dan oksidasi sehingga

menyebabkan perubahan citarasa makanan. Meskipun kebanyakan pemecahan

lemak pada makanan merupakan reaksi kimia non mikroba, tetapi berbagai

bakteri, khamir dan kapang mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis dan

mengoksidasi lemak (Fardiaz 1992b).

Mengacu kepada Fardiaz (1992b), makanan yang telah mengalami

proses pengolahan biasanya masih mengandung mikroorganisme hidup yang

mempunyai sifat-sifat fisiologi yang tidak normal karena telah mengalami stres

selama pengolahan (pemanasan, pembekuan, iradiasi, dan sebagainya), serta

dari lingkungan sekitarnya. Mikroorganisme semacam ini disebut mikroorganisme

subletal. Mikroorganisme subletal dapat memperbaiki diri bila: 1) sel diinkubasi

pada substrat atau lingkungan yang sesuai, 2) disimpan dalam suhu yang

optimum (25oC – 37oC) dan waktu simpan yang sesuai, 3) sel yang telah sembuh

masih mempunyai ketahanan terhadap komponen selektif di dalam medium

seperti sel normal, 4) setelah sembuh, sel mampu berkembang biak dengan

(39)

Mutu Mikrobiologi

Mutu suatu produk menunjukkan identitas produk tersebut. Diacu dalam

Fardiaz (1993), dalam pengujian mutu bahan pangan diperlukan berbagai uji

yang mencakup uji fisik, uji mikrobiologi, dan uji organoleptik. Uji mikrobiologi

merupakan salah satu uji yang sangat penting, karena selain dapat menduga

daya tahan simpan makanan juga dapat digunakan sebagai indikator sanitasi

makanan atau indikator keamanan makanan.

Mikroorganisme indikator pada produk olahan pangan merupakan

mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai batasan penetapan mutu suatu

produk olahan pangan (Fardiaz 1992b). Mikroorganisme dapat mengakibatkan

berbagai perubahan fisik dan kimiawi dari suatu bahan pangan. Apabila

perubahan tersebut tidak diinginkan atau tidak dapat diterima oleh konsumen,

maka bahan pangan tersebut mengalami kerusakan (Buckle et al. 1987). Diacu

dalam Fardiaz (1994), dari segi mikrobiologi, makanan yang bermutu baik untuk

dihidangkan adalah makanan yang tidak basi atau berbau menyimpang dan

aman dikonsumsi.

Mikroba dalam Makanan

Diketahui ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya pencemaran

makanan, sehingga makanan menjadi tidak aman untuk dimakan. Pertama

adalah penanganan makanan tidak dilakukan dengan mengindahkan

syarat-syarat kebersihan. Kedua adalah alat-alat yang digunakan untuk menyiapkan,

mengolah, memasak, dan menyajikan makanan tidak dibersihkan semestinya,

dan yang terakhir adalah makanan didiamkan terlalu lama di lingkungan yang

temperaturnya memungkinkan berbagai mikroorganisme berkembang biak

(Moehyi 1992).

Meskipun proses pengolahan pada umumnya dapat membunuh

mikroorganisme, tetapi beberapa, termasuk spora dan beberapa sel vegetatif

masih dapat hidup setelah proses pengolahan. Tetapi selama penyimpanan

kering dan beku, mungkin terjadi penurunan jumlah mikroorganisme, yaitu

tergantung dari kondisi penyimpanan, jenis bahan pangan, dan jenis mikroflora

yang dominan (Fardiaz 1992a). Lain halnya dengan yang dikemukakan Buckle et

al. (1987), bahwa seringkali organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan

yang telah dimasak dibandingkan pada bahan pangan mentah, karena zat-zat

gizi tersedia lebih baik dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah

(40)

Adanya mikroorganisme psikrotrofik pada makanan yang telah diproses

dengan pemanasan biasanya menunjukkan adanya kontaminasi setelah

pengolahan. Meskipun mikroorganisme-mikroorganisme psikotrofik biasanya

mati karena proses pemanasan, mikroorganisme tersebut merupakan sumber

enzim proteolitik, dan lipolitik yang tahan panas dan masih mungkin dapat

menyebabkan kerusakan selama penyimpanan pada makanan yang telah

dipanaskan (Fardiaz 1992a).

Beberapa mikroba dapat mempengaruhi asam, sehingga dapat merubah

nilai pH (keasaman) produk dan lebih lanjut berpengaruh terhadap citarasa

produk. Perubahan komposisi produk akibat adanya aktivitas mikroba ditandai

dengan adanya perubahan bau, timbulnya asam, adanya busa, dan perubahan

warna (Winarno, Fardiaz, & Fardiaz 1980).

Kebanyakan makanan mengandung sejumlah lemak yang mudah

mengalami hidrolisa dan oksidasi sehingga menyebabkan perubahan citarasa

makanan, meskipun kebanyakan pemecahan lemak terjadi karena proses kimia

(reaksi non mikroba), tetapi beberapa bakteri, khamir, dan kapang mempunyai

kemampuan untuk menghidrolisis dan mengoksidasi lemak (Fardiaz 1992a).

Menurut anjuran Food and Drug Administration yang diacu dalam Fardiaz

(1994), untuk menjamin makanan siap santap tidak busuk dan aman dikonsumsi

maka sebaiknya makanan disimpan pada suhu lemari es, yaitu maksimal 40 C

untuk makanan yang dikonsumsi dalam keadaan dingin, atau pada suhu diatas

550 C untuk makanan yang dikonsumsi dalam keadaan hangat atau panas. Suhu

diantara 40C dan 550 C merupakan suhu kritis karena jasad renik dapat

berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan dan keracunan

makanan.

Hasil penelitian Sari (2001) menunjukkan bahwa sistem kontrol terhadap

suhu harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (1) sifat makanan

termasuk Aw, pH serta jenis dan mikroba yang mungkin mencemari makanan,

(2) masa simpan makanan, (3) cara pengolahan dan pengemasan, (4) cara

mengkonsumsi makanan, misalnya harus dimasak terlebih dahulu atau dapat

langsung dimakan. Alat pengukur suhu harus selalu diperiksa secara teratur dan

diuji ketepatannya.

Uji Mikrobiologi

Metode yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah mikroba di

(41)

Count (TPC), Most Probable Number (MPN), dan metode hitungan mikroskopik

langsung. Metode lainnya yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah

mikroba di dalam bahan pangan adalah metode turbidimetri (kekeruhan) dengan

menggunakan spektrofotometer. Tetapi metode ini sukar diterapkan pada bahan

pangan karena membutuhkan larutan medium yang bening (Fardiaz 1987).

Prinsip dari metode hitungan cawan adalah jika sel mikroba yang masih

hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut akan

berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan

mata tanpa menggunakan mikroskop. Metode HC ini merupakan cara yang

paling sensitif untuk menentukan jumlah mikroba, karena : 1) hanya sel yang

masih hidup yang dihitung, 2) beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus,

3) dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang

terbentuk mungkin berasal dari satu sel mikroba dengan penampakkan

pertumbuhan yang spesifik (Fardiaz 1987).

Selain keuntungan-keuntungan tersebut, metode HC juga memiliki

beberapa kelemahan, yaitu : 1) hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel

mikroba yang sebenarnya karena beberapa sel yang berdekatan mungkin

membentuk satu koloni, 2) medium dan kondisi yang berbeda mungkin

menghasilkan nilai yang berbeda, 3) mikroba yang ditumbuhkan harus dapat

tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang kompak dan jelas, tidak

menyebar, 4) memerlukan persiapan dan waktu inkubasi yang lama sehingga

pertumbuhan koloni dapat dihitung (Fardiaz 1987).

Uji mikrobiologi yang dilakukan terhadap bahan pangan mentah berbeda

dengan bahan makanan yang telah mengalami proses pengolahan seperti

pemanasan, pengeringan, pendinginan, pembekuan, iradiasi, penambahan

bahan pengawet, dan sebagainya. Kandungan mikroorganisme pada bahan

pangan mentah terutama dipengaruhi oleh jenis bahan pangan, sumber

kontaminasi, dan penanganan atau penyimpanan sebelum dilakukan proses

pengolahan. Kandungan mikroorganisme pada makanan olahan lebih spesifik

karena selain dipengaruhi oleh jenis bahan pangan, juga dipengaruhi oleh

ketahanan mikroorganisme terhadap proses pengolahan yang diterapkan pada

makanan tersebut (Fardiaz 1992b).

Media biakan yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri terdapat

dalam bentuk padat, semi padat, dan cair. Media padat diperoleh dengan

(42)

bahan pemadat karena tidak diuraikan oleh mikroorganisme. Agar dapat

membeku pada suhu diatas 450C. kandungan agar sebagai media pemadat

dalam media adalah 1.5-2%. Media harus disterilkan terlebih dahulu sebelum

digunakan supaya tidak tercemar oleh mikroorganisme dan tidak menyebabkan

kekeruhan media (Lay 1994).

Total mikroba

Total mikroba adalah jumlah flora mikroba tanpa menunjukkan jenis flora

mikroba tertentu yang ada dalam pangan. Perhitungan total mikroba berperan

dalam menentukan status sanitasi makanan. Bila makanan telah melalui proses

pemanasan dan tetap ditemukan mikroba pada saat pengujian, hal ini berarti

terjadi rekontaminasi atau pertumbuhan mikroba lagi (Shapton, D.A. & Shapton,

N.F. 1993). Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh New Hampshire Guideline

yang diacu dalam Shapton, D.A. dan Shapton, N.F. (1993), serta menurut

SNI-01-3816-1995 tentang santan kelapa, batas aman total mikroba dalam bahan

(43)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2006 hingga Maret

2007. Lokasi yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah

Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Kimia Gizi, dan Laboratorium

Sanitasi dan Keamanan Pangan, Program Studi S1 Gizi Masyarakat dan

Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis

HPLC dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Pasca Panen, Cimanggu, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) serta tablet vitamin A (merek Kimia Farma)

dan Minyak Sawit Kasar (MSK) sebagai antioksidan. Bahan pendukung lainnya

antara lain bumbu-bumbu, yang meliputi akuades, santan, bawang merah,

bawang putih, kunyit, jahe, kemiri, garam, jeruk nipis. Bahan tambahan lainnya

adalah bahan antioksidan, yang terdiri dari tablet vitamin A yang diperoleh dari

apotek Kimia Farma Bogor dan MSK dari Balai Penelitian Serpong serta

bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia dan uji mikrobiologi.

Bahan kimia yang digunakan untuk uji mikrobiologi antara lain Plate

Count Agar/PCA (merek OXOID), NaCl 0,85%, alkohol 96%, alkohol 70%,

spirtus, aquades. Untuk uji kimiawi kerusakan lemak adalah asam asetat,

khloroform, KI jenuh, Na2S2O3 0,1 N, pati 1%, air destilata, HCl 4 M, Foaming

agent, pereaksi TBA, NaOH 0.1 M, KHP standar atau (COOH)2.2H2O, dan

fenoftalein 0.1% dalam alkohol. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis

HPLC vitamin A dan β-karoten adalah etanol (merek MERCK), akuades, KOH

50% (merek MERCK), asam askorbat (merek MERCK), heksan (merek MERCK),

BHT (merek MERCK), Na2SO4 anhydrous (merek MERCK), fase gerak asetonitril

: metanol : THF (28 : 25 :2) (merek MERCK), alkohol (merek MERCK), dan

sodium askorbat (merek MERCK)

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan sop daun Torbangun adalah

baskom, pisau, panci kaca, gelas ukur, sendok sayur, sendok teh, talenan,

ulekan, saringan, timbangan dan termometer. Alat-alat lain yang digunakan

antara lain adalah alat untuk melakukan analisis kimia, uji mikrobiologi, dan

(44)

Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia dan uji mikrobiologi adalah

cawan petri (diameter 10 cm), tabung reaksi (berulir dan tidak berulir),

erlenmeyer (100 ml, 250 ml, 300 ml, 500 ml, dan 1000 ml), gelas piala (500 ml,

1500 ml, dan 2000 ml), gelas ukur (100 ml), labu takar (2000 ml), labu destilasi,

gelas pengaduk, pipet (5 ml, dan 10 ml), Stearer, bulb, bunsen, alat titrasi, alat

destilasi, batu didih, penangas air, blender, neraca analitik, mortar, kertas saring,

sudip, rak tabung reaksi, botol penyemprot, jerigen, baskom, sikat, oven,

inkubator, otoklaf, spektrofotometer, dan lemari es. Peralatan yang digunakan

untuk analisis HPLC adalah neraca analitik, stearer, labu saponifikasi, alat

saponifikasi, corong pemisah, kertas saring (merek Whatman 41), freeze dryer,

evaporator, milipore (merek GELMAN), kolom C-18, dan alat HPLC (merek

WATERS).

Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu : penelitian pendahuluan dan

penelitian lanjutan.

Penelitian pendahuluan

Resep standar Analisis Penentuan jumlah Aox Proksimat & lama penyimpanan

Penelitian lanjutan

Uji mutu kimiawi Uji organoleptik : Uji vitamin A UjiMikrobiologi Lemak : & β-karoten :

[image:44.595.118.507.383.658.2]

pH, TAT, TBA Aroma, warna HPLC TPC bilangan peroksida tekstur, kekentalan

Gambar 7 Diagram alir penelitian

1. Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan terdiri atas dua tahap, yakni penetapan resep

standar yang digunakan selama penelitian dan penentuan jumlah antioksidan

(45)

orang wanita asli suku Batak. Resep standar pembuatan sayur sop daun

Torbangun dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun pada berbagai jenis analisis

No Bahan-bahan Resep standar Analisis lemak, TPC,uji hedonik

Analisis HPLC

1 Daun Torbangun segar 250 g 400 g 200 g

2 Santan 575 ml 920 ml 460 ml

3 Bawang putih 2.40 g 3.84 g 1.92 g

4 Bawang merah 9.94 g 15.9 g 7.95 g

5 Kemiri 9.2 g 14.72 g 7.36 g

6 Kunyit 1.79 g 2.86 g 1.43 g

7 Jahe 1.98 g 6.33 g 1.58 g

8 Laos 1.89 g 3.02 g 1.57 g

9 Sereh 1 tangkai 1 tangkai 1 tangkai

10 Merica 0.43 g 0.69 g 0.34 g

11 Garam Secukupnya Secukupnya Secukupnya

12 Air jeruk nipis 2 sdm 3 sdm 2.5 sdm

Total berat formula ± 725 g ± 1320 g ± 660 g

Proses pembuatan sop daun Torbangun adalah sebagai berikut:

1. Daun Torbangun disortasi dan dipisahkan dari tangkai, kemudian

ditimbang.

2. Bumbu-bumbu dibersihkan atau dikupas kemudian ditimbang dan dicuci.

3. Kemiri dan kunyit disangrai atau dibakar terlebih dahulu sebelum

dihaluskan.

4. Daun kemudian diremas-remas dengan menggunakan garam dan diperas

untuk mengurangi bau langu dan cairan hitam dari daun. Setelah itu,

dicuci bersih dan ditiriskan.

5. Bumbu-bumbu dihaluskan. Kemudian, santan dimasak bersama bumbu

dan sereh yang telah ditumbuk hingga mendidih. Setelah santan

mendidih, daun Torbangun dimasukkan, lalu masak hingga matang.

Setelah matang, sop daun Torbangun diangkat dan dihidangkan bersama

air perasan jeruk nipis.

6. Dikemas.

Tabel 8 Hasil analisis Proksimat sop daun Torbangun

Zat Gizi Jumlah (mg/100 g)

Karbohidrat 3.83

Air 84.43

Abu 0.9

Protein 3.84

(46)

Jenis antioksidan yang digunakan adalah antioksidan gizi yakni vitamin A.

Vitamin A murni yang digunakan adalah tablet vitamin A 20.000 IU (merek Kimia

Farma). Sebagai pembandingnya, digunakan antioksidan food based approach

yakni MSK karena kaya akan ß-karoten.

Untuk menentukan jumlah tablet vitamin A yang akan ditambahkan,

digunakan standar penambahan vitamin A dan ß-Karoten yakni sebesar 10-300

mg/kg bahan (SNI 01-0222-1995 tentang bahan tambahan makanan). Untuk

tujuan optimalisasi, vitamin A yang ditambahkan adalah sebesar 300 mg/kg

bahan. Perlakuan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

• Sop daun Torbangun kontrol, disingkat : STK

• Sop daun Torbangun dengan penambahan vitamin A, disingkat : STA

• Sop daun Torbangun dengan penambahan MSK, disingkat : STM Tablet vitamin A yang digunakan mempunyai kandungan vitamin A

sebesar 20.000 IU (sesuai informasi pada kemasan), dan mempunyai bobot per

tablet adalah 0,44 gram. Dengan menggunakan perhitungan secara konversi,

maka diperoleh penambahan tablet vitamin A adalah sebanyak 21,78 tablet,

dibulatkan menjadi 22 tablet vitamin A/kg sop daun Torbangun. Perhitungan

konversi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penentuan jumlah MSK yang akan ditambahkan adalah dengan cara

menambahkan sedikit demi sedikit MSK, hingga diperoleh angka 35 gram. Angka

35 gram ini dianggap s

Gambar

Gambar 3 Struktur vitamin A (Winarno 1997)
Gambar 5 Minyak sawit kasar.
Gambar 7 Diagram alir penelitian
Gambar 8 Diagram alir proses pengolahan sop daun Torbangun
+7

Referensi

Dokumen terkait

This final project report describe the problems faced by Tourism and Culture Office Boyolali to promote Boyolali tourism attraction and the strategies to overcome the problems..

Certainly of Response Index ( CRI ) merupakan model yang digunakan untuk mengukur tingkat keyakinan siswa terhadap materi yang telah diajarkan oleh guru dalam menjawab setiap

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pH tanah, drainase tanah, permeabilitas tanah, erosi, kemiringan lereng, batu besar, batu kecil, tekstur tanah,

a) Untuk para orangtua, hendaknya memberikan Pendidikan Agama Islam terutama Pendidikan Akhlak anak secara lebih baik dengan pengoptimalan yang efektif dikarenakan anak

a dua kelapa lebih berat daripada lima mangga b tiga semangka sama dengan

Observasi terhadap pelaksanaan program tindakan dilakukan selama implementasi. Hal-hal yang terjadi dalam implementasi tindakan baik yang sesuai dengan skenario.

Kondisi tinggi ini dapat diinterpretasikan bahwa subjek penelitian pada dasarnya memiliki sikap yang terbentuk dari aspek kepuasan kerja seperti yang dikemukakan oleh

Champignon ..Pada kenyataannya beberapa pendataan data jamur dan hasil produksi nya masih dilakukan dengan prosedur manual, misalnya pada contoh kasus penerimaan data