• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 Tahun 2002, Tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi Dan Hiburan Umum)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 Tahun 2002, Tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi Dan Hiburan Umum)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

080200283

ANDRI YUNA GINTING

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

080200283

ANDRI YUNA GINTING

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

NIP. 196002141987032002

SURIA NINGSIH, SH., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS Suria Ningsih, SH., M.Hum

NIP. 195409121984031001 NIP. 196002141987032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN

DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)”

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum

(4)

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing II penulis yang

telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Bapak Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I Penulis

yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

8. Teman-Teman stambuk 2008 yang telah mendukung dan memberikan

motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena

keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan

dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum

di negara Republik Indonesia.

Medan, Juli 2013 Hormat Saya

(5)

ABSTRAK

PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)

* Andri Yuna Ginting **Pendastaren Tarigan

***Suria Ningsih

Kota Medan sebagai Pemerintah yang menjalankan dan menegakkan peraturan menghendaki agar dalam kegiatan pembangunan dan pengolaan klub malam, khususnya dalam pengadaan bangunan klub malam agar tercipta suatu ketertiban dan keteraturan dalam pelaksanaan pembangunan klub malam tersebut. Pemerintah kota khususnya dinas pariwisata dituntut untuk menyingkapi dan mengatasi terhadap masalah pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan agar tidak merugikan semua pihak, selain juga pemerintahan kota berusaha untuk memikirkan bagaimana dalam mengadakan penegakan hukum, dan upaya-upaya apa yang perlu dilakukan dalam menimalkan terhadap pelanggaran hukum yang terjadi serta memikirkan upaya proses perbaikannya kedepan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pengaturan hukum mengenai pemberian izin tempat hiburan, prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara dan tindakan Pemko Medan jika ada tempat yang tidak memiliki izin dan bagi yang memiliki izin.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini skripsi adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan. Sumber Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dibagi adalah data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni :Bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier.

Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum bersegi satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak kepada masyarakat. Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum Administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat agar mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hambatan yang dihadapi dalam perolehan izin tempat hiburan, setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah: Belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif dan komprehensif. Banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan izin.Tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Diadakannya izin hanya semata-mata dengan tujuan pemasukan bagi pendapatan daerah.Bagi tempat hiburan yang telah habis masa berlaku izinnya atau belum memiliki izin sama sekali maupun yang melanggar jam operasional, akan terlebih dahulu kita surati. Namun apabila setelah tiga kali kita surati pengelola tetap tidak mematuhi, baru kita ambil tindakan.

Kata Kunci : Prosedur, Izin, Tempat Hiburan. *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

9. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

10.Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum

(7)

13.Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing II penulis yang

telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

14.Bapak Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I Penulis

yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

15.Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

16.Kedua orang tua penulis Ayahanda Ir. M. A. Ginting dan Ibunda E. br.

Tarigan, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun

material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

17.Teman-Teman stambuk 2008 yang telah mendukung dan memberikan

motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena

keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan

dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum

(8)

Medan, Juli 2013 Hormat Saya

Andri Yuna Ginting

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN ... 27

A. Pengertian Tempat Hiburan ... 27

B. Perizinan Sebagai Instrumen Pengendalian ... 29

C. Tujuan dari Perolehan Izin Tempat Hiburan ... 37

BAB III PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA ... 40

A. Prosedur Perolehan Tempat Hiburan ... 40

B. Hambatan yang dihadapi dalam Perolehan Izin Tempat Hiburan ... 45

(10)

BAB IV PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN

DAN PENGENDALIAN ... 56

A. Pengertian Penyelenggaraan Perizinan ... 56

B. Pengawasan izin Gangguan Restoran ... 64

C. Konsep Upaya Pengendalian Kegiatan /Proses Pelayanan ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA

(11)

ABSTRAK

PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)

* Andri Yuna Ginting **Pendastaren Tarigan

***Suria Ningsih

Kota Medan sebagai Pemerintah yang menjalankan dan menegakkan peraturan menghendaki agar dalam kegiatan pembangunan dan pengolaan klub malam, khususnya dalam pengadaan bangunan klub malam agar tercipta suatu ketertiban dan keteraturan dalam pelaksanaan pembangunan klub malam tersebut. Pemerintah kota khususnya dinas pariwisata dituntut untuk menyingkapi dan mengatasi terhadap masalah pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan agar tidak merugikan semua pihak, selain juga pemerintahan kota berusaha untuk memikirkan bagaimana dalam mengadakan penegakan hukum, dan upaya-upaya apa yang perlu dilakukan dalam menimalkan terhadap pelanggaran hukum yang terjadi serta memikirkan upaya proses perbaikannya kedepan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pengaturan hukum mengenai pemberian izin tempat hiburan, prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara dan tindakan Pemko Medan jika ada tempat yang tidak memiliki izin dan bagi yang memiliki izin.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini skripsi adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan. Sumber Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dibagi adalah data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni :Bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier.

Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum bersegi satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak kepada masyarakat. Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum Administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat agar mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hambatan yang dihadapi dalam perolehan izin tempat hiburan, setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah: Belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif dan komprehensif. Banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan izin.Tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Diadakannya izin hanya semata-mata dengan tujuan pemasukan bagi pendapatan daerah.Bagi tempat hiburan yang telah habis masa berlaku izinnya atau belum memiliki izin sama sekali maupun yang melanggar jam operasional, akan terlebih dahulu kita surati. Namun apabila setelah tiga kali kita surati pengelola tetap tidak mematuhi, baru kita ambil tindakan.

Kata Kunci : Prosedur, Izin, Tempat Hiburan. *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya

Dalam suatu Kota terdapat berbagai macam hiburan seperti: permainan

anak-anak, billiard, rekreasi panti pijat, tempat pemancingan, hiburan malam, atau klub

malam ini membutuhkan surat izin usaha karena mengundang keramaian di atur

dalam Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No

37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum1

Adanya aturan-aturan untuk mengatur hal tersebut berarti selain membawa

manfaat juga dapat menimbulkan permasalahan mengenai implementasi Perda No

37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum

mengenai pendirian klub malam di Kota Medan. Pengertian izin usaha adalah :

Izin yang diberikan oleh Walikota Medan untuk mengusahakan tempat hiburan

Klub malam atau sering di sebut juga dengan diskotik adalah bentuk usaha

hiburan yang menawarkan berbagai acara yang dikemas dalam pergaulan massa

kini yang sering dinamakan night party yang ditawarkan pada kebanyakan

generasi muda maupun orang dewasa untuk mengambil kesenangan agar

bertujuan menghilangkan kebosanan akvitas sehari-hari yakni dengan adanya

hiburan klub malam, dan klub malam merupakan tempat hiburan yang .

1

(13)

mempertunjukan hiburan musik-musik dengan balutan minuman keras dan

beraneka macam pertunjukan lain.

Pandangan masyarakat klub malam merupakan tempat konstitusi

kemaksiatan dalam pergaualan generasi muda yang mengikuti era modernisasi

dan kebudayaan barat dikarenakan wadah untuk kenakalan masyarakat khususnya

generasi muda berupa: seks bebas, narkotika, minuman keras yang dapat

mengakibatkan kerugian jiwa raga seseorang dan dapat menghancurkan generasi

muda dengan gaya hidup seperti itu.

Gaya kehidupan yang ditampilkan dalam pergaulan di klub malam pada

zaman sekarang mempunyai keunikan tersendiri dalam pergaulan tersebut, dengan

menampilkan beberapa tata cara busana yang disesuaikan dengan acara night

party yang ada selalu di berikan oleh klub malam dengan menarik pengunjung

agar datang dan menikmati acara tersebut.

Pandangan terhadap klub malam selama ini ternyata tidak mempengaruhi

minat masyarakat untuk menikmati dan melakukan kegiatan di klub malam dan

dapat menciptakan lapangan baru pada warga setempat ataupun warga lain yang

menginginkan pekerjaan dan bahkan para mahasiswa ikut serta dalam kegiatan

klub malam. Kegiatan klub malam dan tata cara pergaulan yang mempunyai ciri

khas tersendiri, unik, terpisah dan berbeda dari kebiasan umum melibatkan

sekelompok atau orang sebagai tata kehidupan ataupun tata kehidupannya dapat

dikaitkan sebagai subkultur tersendiri dalam kehidupan masyarakat yang

menginkan hiburan yang terdapat bentuk-bentuk hiburan malam seperti bioskop,

(14)

berbeda-beda sehingga klub malam itu dapat digunakan tanpa batas dan

banyaknya klub malam digunakan sumber keuntungan sehingga bentuk klub

malam tersebut tidak murni.

Klub malam berusaha agar Administrasi selalu rapi dan bagus,

dikarenakan tidak melanggar aturan perizinan Perda No 37 tahun 2002, tentang

Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum di Kota Medan. Klub

malam merupakan badan usaha hiburan malam harus memiliki ketergantungan

dan surat izin usaha karena mengundang keramaian, sehingga diperlukan suatu

aturan main yang mencapai keadaan yang baik.

Persyaratan Administrasi klub malam ditata sesuai dengan

ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dan disesuaikan berdasarkan Peraturan Daerah

Nomor No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan

Umum. Maksud dan tujuan keberadaan klub malam adalah untuk memberikan

hiburan alternatif kepada masyarakat. Klub malam sebagai bentuk badan hukum

yang telah diatur dalam Peraturan Daerah No 37 tahun 2002, tentang Pendirian

Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum berkewajiban untuk membuat dan

menetapkan anggaran dasarnya.

Kota Medan sebagai Pemerintah yang menjalankan dan menegakkan

peraturan menghendaki agar dalam kegiatan pembangunan dan pengolaan klub

malam, khususnya dalam pengadaan bangunan klub malam agar tercipta suatu

ketertiban dan keteraturan dalam pelaksanaan pembangunan klub malam tersebut.

Pemerintah kota khususnya dinas pariwisata dituntut untuk menyingkapi

(15)

tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum agar tidak

merugikan semua pihak, selain juga pemerintahan kota berusaha untuk

memikirkan bagaimana dalam mengadakan penegakan hukum, dan upaya-upaya

apa yang perlu dilakukan dalam menimalkan terhadap pelanggaran hukum yang

terjadi serta memikirkan upaya proses perbaikannya kedepan.

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi pemerintah kota memang

sangat komplek sekali, khususnya dalam hal pelaksanaan pembangunan yang

berkaitan dengan izin klub malam berdasarkan Peraturan Daerah No 37 tahun

2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum di kawasan

Kota Medan. Upaya untuk menciptakan pelaksaan pembangunan di daerah yang

tertib, sehat, dan terarah diperlukan pengaturan dalam keberadaan klub malam

yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Izin usaha di

bidang rekreasi dan hiburan umum ini di tetapkan berdasarkan Peraturan Daerah

No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum.

Peraturan daerah ini digunakan karena adanya keramaian dan tempat-tempat

tersebut yang dikelola oleh swasta, baik perorangan maupun konsorsium.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari dinas pendapatan daerah Kota

Medan, bisnis hiburan memang patut diperhitungkan sebagai kontributor

Pendapatan Asli Daerah di Kota Medan. Apalagi Kota Medan termasuk lima

besar kota terbesar di Indonesia, tentunya mobilitas perekonomian cukup berjalan

tinggi. Dimana dengan banyaknya tersedia hiburan akan mendatangkan

penerimaan yang banyak bagi Pendapatan Asli Daerah. Berarti semakin banyak

(16)

kontribusi terbesar dari bisnis hiburan diperoleh lewat pajak hiburan. Pendapatan

Asli Daerah diperoleh dari pajak hiburan berasal dari pengunjung yang

mendatangi tempat-tempat hiburan.

Adapun jenis hiburan di Kota Medan yang dikenakan dan dipungut pajak

hiburannya adalah bioskop, diskotik, karaoke, billiard, ketangkasan, panti pijat,

mandi uap/ Spa, salon, internet, dan keramaian umum/kolam renang.

Kontribusi pajak hiburan yang selama ini dipungut tentunya akan

menambah Pendapatan Asli Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

daerah akan bermanfaat bagi proses pembiayaan pembangunan dan juga

digunakan untuk berbagai pelayanan umum yang berguna untuk pembangunan

Kota Medan. Oleh karena itu, hiburan diharapkan dapat menambah pemasukan ke

kas daerah dari sisi penerimaan pajak hiburan.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Prosedur perolehan izin tempat hiburan

ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Mengenai Pemberian Izin Tempat

Hiburan?

2. Bagaimana prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari perspektif

(17)

3. Bagaimana Tindakan Pemko Medan jika ada tempat hiburan yang tidak

memiliki izin dan bagi yang memiliki izin ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai pemberian izin tempat

hiburan

b. Untuk mengetahui prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari

perspektif hukum administrasi negara.

c. Untuk mengetahui tindakan Pemko Medan jika ada tempat hiburan

yang tidak memiliki izin dan bagi yang memiliki izin

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan

yang bersifat teoritis terutama bagi kalangan akademis dan berguna untuk

kepentingan yang bersifat praktis terutama bagi para pengambil kebijakan

pemerintah.

a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan memberi informasi dan sumbangan

pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam Hukum

(18)

b. Secara praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada

masyarakat dan pemerintah daerah tentang pelaksaanaan sistem

perizinan daerah dalam era otonomi daerah

2) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi

pemerintah daerah dan legislatif dalam merumuskan peraturan

daerah yang menyangkut tentang perizinan

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara maupun Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum,

bahwa penelitian dengan judul prosedur izin tempat hiburan ditinjau dari

perspektif Hukum Administrasi Negara (StudiPeraturan Daerah Kota Medan

Peraturan Daerah Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha

Rekreasi dan Hiburan Umum) belum ada, tetapi judul yang hampir sama dengan

judul di atas. Adapun judul skripsi yang hampir dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut :

Martunas Sianturi, 9002001164 dengan judul skripsi Aspek Hukum

Administrasi Negara Dalam Pemberian Izin Penyiaran (Studi Kasus PT. Radio

Khamasutra), Ronal Hasiholan B, 890200124 dengan judul Beberapa hal yang

menyangkut perizinan Paket II Kotamadya Medan dan Swita Memory Rezeki S,

930200225, Tinjauan Yuridis Surat Izin Sebagai Dasar Berdirinya suatu Komplek

Hunian di Medan. Berdasarkan daftar judul skripsi di atas, maka penulisan skripsi

(19)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam negara hukum modern tugas pokok negara tidak saja terletak pada

pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid)

bagi seluruh rakyat. Sebagai negara berdasar atas hukum, negara Indonesia

didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Selain

itu adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.

Upaya memajukan kesejahteraan umum dan obyektif yang membuat

negara Indonesia terkategori sebagai negara hokum modern (moderne rechtsstaat)

ataupun bercorak welfare state (welvaarstaat; wohlfahrtsstaat) ditujukan untuk

merealisasikan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan

spiritual.2

Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, cita

desentralisasi senantiasa menjadi bagian dalam praktik pemerintahan Negara.

Pasal 18 UUD RI 1945 perubahan kedua tahun 2000, ditegaskan bahwa

pemerintah terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur

dengan undang-undang, langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh

Pemerintah, seperti lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang

Sehubungan dengan hal tersebut, terkandung makna bahwa negara atau

pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban yang mutlak untuk

menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk menyelenggarakan kesejahteraan

rakyat tersebut, pajak berperan sangat sentral dalam memenuhi kebutuhan

anggaran untuk itu.

2

(20)

mengatur tentang pemerintahan daerah. Melalui undang-undang tersebut bangsa

Indonesia menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam sistem administrasi

pemerintahannya3

“Otonomi daerah adalah wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan

sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu lingkungan wilayah

tertentu yang mencakup mengatur, mengurus, mengendalikan, dan

mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi kehidupan penduduk.” .

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam undang-undang tersebut juga disebutkan

bahwa :

“Daerah otonom, atau yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Sementara pendapat The Liang Gie seperti dikutip oleh Hanif Nurcholis

menjelaskan bahwa :

4

1. Bidang legislasi, yakni atas prakarsa sendiri membuat peraturan daerah

(Perda) dan peraturan kepala daerah.

Berdasarkan asas umum pemerintahan, yang menjadi urusan pemerintahan

daerah meliputi hal berikut :

3

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta Gramedia, 2007), hal. 7.

4

(21)

2. Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah

adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,

demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan

penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

3. Perencanaan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan

daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.5

Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam penjelasan umum

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah

diberikan kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi

daerah. Dengan demikian pungutan daerah itu meliputi pajak daerah dan retribusi

daerah.

Jenis pajak kabupaten/kota yang dipungut adalah pajak hotel, pajak

restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak

pengambilan bahan galian golongan c, dan pajak parkir. Dasar hukum

pemungutan pajak daerah adalah hukum pajak daerah (Peraturan Daerah), dengan

batasan pada Pasal 5A ayat (2) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Syarat yang ditentukan adalah peraturan

daerah yang di pergunakan untuk mengatur Pajak Daerah substansinya harus

selaras dengan substansi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya. Demikian juga dalam pasal 4 ayat (3) menyebutkan Peraturan

Daerah yang dibuat dan dipergunakan sebagai dasar pemungutan pajak daerah

sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai nama, objek, dan subjek

5

(22)

pajak; dasar pengenaan pajak, tarif, dan cara perhitungan pajak; wilayah

pemungutan; penetapan; tata cara pembayaran dan penagihan; kadaluarsa.

Bangsa Indonesia sebagai Negara hukum maka dalam segala tindakannya

juga harus berdasarkan atas aturan hukum termasuk bidang perpajakan. Hal ini

menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak dari masyarakat karena pemungutan

pajak yang tidak didasari hukum adalah perampokan. Ketentuan Pasal 23A UUD

RI 1945 bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan

Negara harus diatur dengan undang-undang, merupakan landasan yuridis

konstitusional bagi Negara untuk memungut pajak.

Pengertian hukum pajak secara umum terdapat beberapa pendapat

Menurut Rochmat Soemitro menyatakan bahwa : “Hukum pajak ialah suatu

kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai

pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak menerangkan :

siapa wajib pajak (subyek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap

pemerintah, hak-hak pemerintah, obyek-obyek apa yang dikenakan pemerintah,

cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.” 6

6

Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, (Yogyakarta : FH UII Press, 2008), hal.230.

Hukum Pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu hukum pajak

material dan hukum pajak formal. Pembedaan ini berdasarkan pada pemikiran

bahwa yang menimbulkan hutang pajak adalah hukum pajak material dan bukan

(23)

a. Hukum pajak material

Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat norma-norma

yang menerangkan keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus

dikenakan pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang

timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak, serta hubungan hukum

antara pemerintah dan wajib pajak, yaitu mengenai subjek pajak, wajib

pajak, obyek pajak dan tarif.

b. Hukum pajak formal

Hukum Pajak Formal ialah hukum pajak yang memuat peraturan-peraturan

mengenai cara-cara hukum pajak material menjadi kenyataan antara lain

adalah mengenai surat pemberitahuan, surat ketetapan pajak, surat tagihan,

pembukuan, surat keberatan/minta banding, pembayaran/penagihan pajak

(dengan paksa), cara menghitung pajak, sanksi administrasi, ketentuan

hukum pidana, penyidikan dan lain-lain.7

7

Jajat Djuhadiat S, Modul DPT III Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : Departemen Keuangan-BPLK, 1993), hal 15.

Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro, dalam bukunya Pajak dan

Pembangunan, seperti dikutip R. Santoso Brotodihardjo bahwa pajak adalah

peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Negara untuk membiayai

pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang

merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak menurut R. Santoso

(24)

1. Pajak dipungut berdasarkan/ dengan kekuatan undang-undang serta

aturan pelaksanaannya

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun

daerah.

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang

bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk

membiayai public investment.

5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu

mengatur.8

Fungsi pajak menurut Rochmat Soemitro ada 3, yaitu :

9

1. Fungsi Budgeter;

2. Fungsi Mengatur;

3. Untuk menanggulangi Inflasi;

Fungsi yang pertama, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : “...

pajak-pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas

negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi budgeter.”10

8

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung : Eresco, 1995), hal.6

9

Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, (Bandung : Eresco, 1988), hal .2-3

10

Ibid, hal .2

Untuk menguatkan pendapat tersebut, ditunjukkan bahwa dalam APBD

(25)

Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada Daerah, disamping subsidi, merupakan

sumber pendapatan daerah yang penting.

Mengenai tujuan hukum pada umumnya, kita pernah mendengar ajaran

berbagai sarjana, Aristoteles yang telah terkenal dalam bukunya, Rhetorica,

menganggap bahwa hukum hertugas membuat adanya keadilan. Demikian pula

dalam hukum pajak karena pada hakekatnya pajak merupakan peralihan kekayaan

dari sektor swasta ke sektor negara, dan dapat dipaksakan. Maka agar tidak

menimbulkan perlawanan, pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat

antara lain :

1. Membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak (Asas Keadilan)

Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip

mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari.

lnilah sendi pokok yang seharusnya diperhatikan baik-baik oleh setiap

negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak. Maka

dari itu, syarat mutlak bagi pembuat undang undang (pajak), juga syarat

mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang berkewajiban

melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan

perbuatan-perbuatan yang adil pula.

Syarat keadilan dapat dibagi menjadi :

a. Keadilan horisontal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar

(26)

b. Keadilan vertikal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar

(gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama.11

Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah

mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan

merata. Artinya bahwa pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding

dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan

sesuai dengan manfaat yang diterimanya.

Di atas telah diuraikan bahwa hukum pajak harus mengabdi kepada

keadilan. Lepas dari kenyataan bahwa pada pelaksanaannya pembuat

undang-undang pajak harus selalu memegang teguh kepada asas keadilan, seringkali juga

dipersoalkan, apakah pemungutan pajak oleh suatu negara berdasarkan pula atas

keadilan. Apa dasar hukumnya, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan

perkataan lain: atas dasar apakah maka negara seakan-akan memberikan hak

kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan yang disebut pajak itu. Maka

sejak abad ke-18 timbullah teori-teori guna memberikan

dasar-menyatakan-keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya,

antara lain :

1) Teori Asuransi (Verzeringstheory)

Teori ini menyatakan bahwa termasuk dalam tugas negara untuk

melindungi orang dan segala kepentingannya: keselamatan dan keamanan

jiwa, juga harta bendanya. Sebagaimana juga halnya dengan setiap

perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk perlindungan tersebut di

11

(27)

atas diperlukan pembayaran premi, dan di dalam hal ini, pajak inilah yang

dianggap sehagai preminya, yang pada waktu-waktu yang tertentu harus

dibayar oleh masing-masing. Hal inilah yang menjadi kelemahan dari teori

asuransi, karena:

(1) Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara,

antara pembayanan jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang

diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung,

namun teori ini oleh para penganutnya dipertahankan, sekadar untuk

memberikan dasar hukum kepada pemungutan pajak saja. Pembayaran

pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang

kepada perusahaan pertanggungan.

(2) Teori Kepentingan (Belangentheory)

Teori ini dalam ajarannya yang semula, hanya memperhatikan

pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk

seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan

orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat

baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta

harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang

dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya, dibebankan

kepada seluruh penduduk tersebut.

Terhadap teori ini pun juga mulai ditinggalkan sebab dalam ajarannya

(28)

besar kecilnya kepentingan masyarakat dihubungkan dengan tugas atau

jasa pelayanan negara.

2) Teori Gaya Pikul

Yang menjadi pokok pangkal teori ini pun adalah asas keadilan, yaitu

tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus

dibayar menurut gaya pikul seseorang, dan sekadar untuk mengukur gaya

pikul ini, dapatlah dipergunakan, selain besarnya penghasilan dan

kekayaan, juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Hingga kini

teori ini masih dipertahankan oleh kebanyakan sarjana terkemuka dalam

lapangan hukum pajak. Mr. J.H.R. Sinninghe Damste pernah mencoba

untuk menguraikan segala sesuatu semata-mata dengan gaya pikul ini

dalam bukunya mengenai pajak pendapatan (pajak yang penting), bahwa

selain daripada gaya pikul, harus pula diperhatikan

kepentingan-kepentingan yang lain dari para wajib pajak.

W.J. de Langen berpendapat dalam bukunya, De Grondbeginselen van het

Ned. Belasttingrecht, Jilid I, 1954, bahwa asas gaya pikul hingga kini

masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak,

walaupun tidak dapat disangkal, bahwa ada asas-asas lain, yang semenjak

tahun 1919 semakin menduduki tempat yang utama pula, seperti asas

perolehan utama dan asas kenikmatan. Maka asas gaya pikul ini

menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas

individu, seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan yang dapat

(29)

diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya

inilah yang disamakannya dengan gaya pikul seseorang. Karena perkataan

“dapat”, maka tabungan-tabungan seseorang termasuk pula ke dalam

pengertian gaya pikulnya. Mr. A.J. Cohen Stuart, sarjana yang telah

memperdalam penyelidikannya mengenai gaya pikul ini, dalam

disertasinya menyamakan gaya pikul dengan sebuah jembatan, yang

pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba

untuk dibebaninya, dan menyarankan ajaran, bahwa yang sangat

diperlukan untuk kehidupan, harus tidak di masukkan ke dalam pengertian

gaya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada,

jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak manusia

yang pertama adalah hak untuk hidup. Maka hak pertama bagi setiap

manusia yang dinamakan hak asas “minimum kehidupan” ini harus

pertama-tama diperhatikan, seperti memang ternyata dengan pajak-pajak

atas pendapatan dan kekayaan di hampir semua negara. Teori ini mencoba

mencari dasar keadilan dalam memungut pajak yang harus dinyatakan

sama beratnya untuk setiap orang, namun tidak menjawab atau

membenarkan mengapa suatu negara memungut pajak.

3) Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti

Berlawanan dengan ketiga teori di atas, yang tidak mengutamakan

kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori

ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga diajarkanlah

(30)

mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidak berdiri sendiri; dengan

tidak adanya persekutuan, tidaklah akan ada individu. Oleh karenanya

maka persekutuan itu (yang menjelma dalam negara) berhak atas satu dan

lain. Rakyat harus sadar bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban

asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara dalam bentuk

pembayaran pajak.

Dalam bukunya Beginselen van de Belastingheffing maka W.H. van de

Berge (pada waktu menulis: Wakil Direktur Jenderal Pajak, Nederland)

sebagai penganut teori ini mengutarakan, bahwa Negara sebagai

groepsverband (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan

syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum, dan

karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang

diperlukannya, termasuk juga tindakan-tindakan dalam lapangan pajak.

Jadi menurut teori ini dasar hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat

dengan negara, yang memungut pajak daripadanya. Teori ini juga

mengandung kelemahan bahwa negara merupakan lembaga yang bersifat

otoriter sehingga kurang memperhatikan unsur keadilan dalam persetujuan

pemungutan pajak.

4) Teori Asas Gaya Beli

Teori ini tidak mempersoalkan asal-mulanya negara memungut pajak,

melainkan hanya melihat kepada efeknya, dan dapat memandang efek

yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi

(31)

dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah

tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan

kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk

memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.

Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat

inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak;

bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan negara, melainkan

kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya

disimpulkan disini, bahwa teori ini menitikberatkan ajarannya kepada

fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan hukum (Asas Yuridis)

Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk

menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya.

Maka mengenai pajak di negara hukum segala sesuatu harus ditetapkan dalam

undang-undang. Juga dalam Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik

Indonesia dicantumkan (dalam Pasal 23 ayat 2), bahwa pengenaan dan

pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh

terjadi berdasarkan undang-undang.

Rasionya mengapa pengenaan pajak harus berdasarkan undang undang

adalah sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor rakyat ke

sektor pemerintah (untuk membiayai pengeluaran negara); untuk itu tidak dapat

(32)

kekayaan dari satu sektor ke sektor yang lain tanpa adanya kontraprestasi, hanya

dapat terjadi bila terjadi suatu hibah (wasiat).

Kemungkinan yang lain adalah, bahwa bilamana peralihan kekayaan itu

terjadi karena kekerasan/paksaan, yaitu dalam peristiwa perampasan atau

perampokan. Itulah sebabnya maka di Inggris berlaku suatu dalil yang berbunyi:

”No taxation without representation”, dan di Amerika: ”Taxation without

representation is robbery”. Selain secara formal harus dipungut

berdasarkan/dengan undang-undang, dalam menyusun undang-undangnya

nyata-nyata harus diusahakan oleh pembuat undang-undang tercapainya keadilan dalam

pemungutan pajak dengan mengindahkan keempat unsur dari Adam Smith’s

Canon. Karenanya, niscaya tidak lagi cara-cara lama akan terulang, yaitu untuk

Fiskus hanya dicantumkan haknya, dan untuk wajib pajak hanya kewajibannya

saja; kedua duanya harus diatur rapi pada pihak masing-masing. In concreto

secara umum tidak boleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:

a. Hak-hak Fiskus (yaitu Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat

Jenderal Bea Cukai) yang telah diberikan oleh pembuat undang undang

harus dijamin dapat terlaksananya dengan lancar;

b. Sebaliknya para wajib pajak harus pula mendapat jaminan hukum, agar

supaya ia tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh Fiskus

dengan aparaturnya. Segala sesuatu harus diatur dengan terang dan

tegas, bukan hanya mengenai kewajiban-kewajiban, melainkan juga

(33)

c. Jaminan terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau

perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkannya kepada

instansi-instansi pajak, dan yang harus tidak disalahgunakan oleh para

pejabatnya.

3. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu perekonomian (Asas Ekonomis)

Selain fungsi budgeter, pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk

menentukan politik perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan pemungutan

pajak harus tetap terjaga keseimbangan kehidupan ekonomi rakyat. Maka politik

pemungutan pajaknya :

1) Harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi

dan perdagangan.

2) Harus diusahakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam

usahanya menuju kebahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan

umum.

Kesimpulannya adalah, bahwa keseimbangan dalam kehidupan ekonomi

tidak boleh terganggu dengan adanya pemungutan pajak, sesuai dengan fungsi

kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.

4. Pemungutan pajak harus sederhana (Asas Finansial)

Sistem pemungutan pajak yang sederhana dan mudah untuk dilaksanakan,

akan sangat membantu masyarakat untuk menghitung sendiri jumlah pajaknya.

Maka pemungutan pajak harus diusahakan seefektif dan seefisien mungkin.

Sesuai dengan fungsi budgeternya, maka sudah barang tentu bahwa biaya

(34)

dalam bandingan dengan pendapatannya. Sebab inilah hasil yang dicapainya, yang

harus dapat menyumbang banyak dalam menutup pengeluaran-pengeluaran yang

dilakukan oleh negara, termasuk juga biaya-biaya untuk aparatur Fiskus sendiri.

Sehingga pemungutan pajak harus mempertimbangkan biaya dan manfaatnya.

Selain itu, untuk menghindarkan tertimbunnya tunggakantunggakan pajak,

haruslah selalu diteliti, apakah syarat-syarat penting telah dipenuhi untuk dapat

memungut pajak dengan efektif. Syarat ini antara lain adalah, bahwa pengenaan

pajak harus dilakukan pada saat yang terbaik bagi yang harus membayarnya, yaitu

harus sedekatdekatnya saatnya dengan saat terjadinya perbuatan, peristiwa,

ataupun keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak itu, sehingga sangat

mudahnya dibayar oleh orang-orang yang bersangkutan. Sistem ini sesuai

pernyataan ”pay as you earn”, seperti telah dipraktekkan di Amerika Serikat dan

Inggris.

Salah satu pedoman pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam

Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of

Nations (terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai

asas pemungutan pajak yang dinamainya “The Four Maxims” atau ”The Four

Canon”dengan uraiannya sebagai berikut:

1) Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing

hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang

dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah

perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas kepentingan). Dalam asas

(35)

di antara sesama wajib pajak, Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak

harus dikenakan pajak yang sama pula.

2) Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak

mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainity” ini,

kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek objek,

besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

3)Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is

most likely to be convenient for the contributor to pay it”. Teknik

pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut “convenience of

payment”) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang

paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat dekatnya dengan

detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.

4) “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of

the pockets of the people as little as possible over and above what it brings

into to public treasury of the State”. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa

pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat hematnya; jangan

sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.12

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan

12

(36)

perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan

permasalahan.

2. Sumber Data

Sumber Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dibagi adalah

data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat13

1) Undang-undang Dasar 1945.

Bahan

hukum primer yang digunakan adalah :

2) Undang-undang No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan

Retribusi Daerah.

3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

4) Peraturan menteri dalam Negeri No.27 Tahun 2009 pedoman

penetapan izin gangguan di daerah.

5) Perda Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha

Rekreasi dan Hiburan Umum

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

sekunder yaitu berupa literatur-literatur.14

13

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : IND-HILLCO, 2001), hal. 13.

14

(37)

c. Bahan hukum tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder.15

3. Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum tersier yang

digunakan adalah: Kamus bahasa Indonesia :

Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca

buku dan mempelajari literatur yang diolah dan dirumuskan secara sistematis

sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya.

4. Analisis Bahan Hukum

Analisa bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisa

bahan hukum deduktif, artinya perumusan analisa dari hal yang umum yakni

mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perizinan tempat hiburan;

dengan memenuhi syarat-syarat yang berlaku di Dinas Pariwisata Kota Medan

15

(38)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

A. Pengertian Tempat Hiburan

Hiburan adalah segala sesuatu baik yang berbentuk kata-kata, tempat,

benda, perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau

sedih.16

Selain itu terdapat tempat-tempat hiburan atau klab malam (night club)

sebagai tempat-tempat untuk melepas lelah, umumnya berupa rumah makan atau

restoran yang dilengkapi hotel serta sarana hiburan seperti musik, karaoke, opera.

Ada pula yang menyediakan permainan seperti bilyar hingga sarana perjudian.

Bagi kalangan tertentu, permainan judi (gambling) dianggap sebagai hiburan atau

sarana membuang sial. Selain itu, di beberapa negara ada juga klab-klab malam

yang diperuntukkan untuk pertemuan keluarga yang tentunya berbeda dengan klab

klab malam pada umumnya.

Pada umumnya hiburan dapat berupa musik, film, opera, drama, ataupun

berupa permainan bahkan olahraga. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya

hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya. Mengisi kegiatan

di waktu senggang seperti membuat kerajinan, keterampilan, membaca juga dapat

dikatagorikan sebagai hiburanBagi orang tertentu yang memiliki sifat workaholic,

bekerja adalah hiburan dibandingkan dengan berdiam diri.

16

(39)

Pada umumnya hiburan dapat berupa musik, film, opera, drama, ataupun

berupa permainan bahkan olahraga. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya

hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya. Mengisi kegiatan

di waktu senggang seperti membuat kerajinan, keterampilan, membaca juga dapat

dikatagorikan sebagai hiburan

Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UU PDRD diuraikan bahwa objek pajak

hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Hiburan

adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau keramaian yang

dinikmati dengan dipungut bayaran. Daerah dapat mengecualikan jenis hiburan

yang sesuai dengan kebijakan daerah sebagai objek pajak. Yang dimaksud dengan

hiburan adalah :17

1. Tontonan film

2. Pergelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana

3. Kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya

4. Pameran

5. Diskotik, karaoke, club malam dan sejenisnya

6. Sirkus, acrobat dan sulap

7. Permainan bilyar, golf dan bolling

8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan

9. Panti pijat, refleksi, mandi uap /spa dan pusat kebugaran (fitness center)

17

(40)

Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati

hiburan dan wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang

menyelenggarakan hiburan. Selanjutnya dasar pengenaan pajak hiburan adalah

jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara

hiburan. Jumlah uang yang seharusnya diterima termasuk potongan harga dan

tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan. Tarif pajak

hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) khusus

untuk hiburan berupa pergelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke,

club malam, permainan ketangkasan, panti pijat dan mandi uap /spa, tarif pajak

hibura n ditetapkan paling tinggi 75 % (tujuh puluh lima persen). Khusus hiburan

kesenian rakyat atau tradisional dikenakan tarif pajak hiburan ditetapkan paling

tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif pajak hiburan hiburan ditetapkan

dengan peraturan daerah.

B. Perizinan Sebagai Instrumen Pengendalian

Instrumen pengendalian merupakan bagian dari upaya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam

Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan

fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

kerusakanlingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,

(41)

serupa juga diatur dalam pasal selanjutnya yaitu dalam Pasal 4 yang menyatakan

bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:

a. Perencanaan;

b. Pemanfaatan;

c. Pengendalian;

d. Pemeliharaan;

e. Pengawasan; dan

f. Penegakan hukum.

Dari kedua ketentuan tersebut diketahui bahwa upaya pengendalian

merupakan bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran

dan/atau kerusakanlingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 13 Pengendalian

pencemaran dan/ataukerusakan lingkungan hidup meliputi:

a. Pencegahan;

b. Penanggulangan; dan

c. Pemulihan.

Selanjutnya sesuai dengan Pasal 14 instrumen pencegahan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:

a. KLHS;

b. tata ruang;

c. baku mutu lingkungan hidup;

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;

(42)

f. UKL-UPL;

g. Perizinan;

h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;

j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. Analisis risiko lingkungan hidup;

l. Audit lingkungan hidup; dan

m. Instrumen lain sesuai dengan kebutuhandan/atau perkembangan ilmu

pengetahuan.

Di antara ke tiga belas instrumen pencegahan tersebut perizinan

merupakan instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai ujung

tombak dalam mengendalikan aktivitas rakyatnya. Esensi dari tindakan hukum

pemerintah berupa perizinan adalah melarang seseorang atau suatu badan hukum

tertentu melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa mendapatkan

persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha Negara

yang berwenang. Sehingga setiap usaha dan/atau kegiatan baru dapat

dilaksanakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang

berwenang.

Dalam setiap rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha

akan selalu dibebani oleh suatu instrument perlindungan yang disebut izin dalam

rangka menata ketertiban sebagai instrument preventif.18

18

Taufik Iman Santoso, Amdal, (Malang : Setara Press, 2008) hal 35

(43)

menyatakan bahwa perizinan merupakan instrument yang sangat penting dalam

rangka pengendalian lingkungan.19

N.M. Splet dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan suatu persetujuan dari

penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam

keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan (izin

dalam arti sempit)20

Utrecht memberikan pengertian izin (Vergunning) sebagai berikut:

bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi

masih juga memperkenanka nnya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk

masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi Negara yang

memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Spelt dan ten Berge, dalam izin

dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali

diizinkan. Artinya kemungkinan untuk seseorang atau suatu pihak tertutup kecuali

diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah mengikatkan perannya

dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan.

21

Adapun

pengertian perizinan Menurut Adrian Sutedi adalah salah satu bentuk pelaksanaan

fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah

terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.22

19

Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, (Surabaya : Airlangga University Press, 2010), hal 3

20

N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge disunting Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, (Surabaya : Yuridika, 1993), hal 2-3

21

OP. Cit. Utrecht,E. hal 187

22

Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. (Jakarta : Sinar Grafika. 2010), hal. 27

Perizinan dapat

(44)

melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu

organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat

melakukan suatu kegiatan atau tindakan.

Hal di atas menunjukkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu

instrument hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan

masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta

membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain.23

Pemerintah dalam menggunakan wewenang publik wajib mengikuti

aturan-aturan hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan

wewenang. Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum, yakni:24

1. Asas yuridikitas (rechtmatiheid), artinya keputusan pemerintahan maupun

administratif tidak boleh melanggar hukum;

2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil berdasarkan

suatu kesatuan undang-undang;

3. Asas diskresi (discretie, freies ermessen), artinya pejabat penguasa tidak

boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada

peraturannya”. Oleh karena itu, diberi kebebasan untuk mengambil

keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas

yuridiksi dan asas legalitas.

Penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya

untuk mengatur, tetapi juga untuk menetapkan. Dalam hal penetapan yang

ditujukan kepada individu, kewenangan pemerintah harus dilaksanakan

23

Tatik Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, dalam I Made Arya Utama, 2001, l 24

24

(45)

berdasarkan pada hukum yang jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Salah

satu penetapan yang banyak dikeluarkan pemerintah adalah izin.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang

memohonya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya

dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya

pengawasan.

Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali

diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan

dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteria-kriteria

yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi.

Perizinan merupakan instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah

sebagai ujung tombak dalam mengendalikan aktivitas rakyatnya. Esensi dari

tindakan hukum pemerintah berupa perizinan adalah melarang seseorang atau

suatu badan hukum tertentu melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa

mendapatkan persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata

usaha negara yang berwenang. Sehingga setiap usaha dan/atau kegiatan baru dapat

dilaksanakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang

berwenang.

Dalam setiap rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha

akan selalu dibebani oleh suatu instrument perlindungan yang disebut izin dalam

rangka menata ketertiban sebagai instrument preventif.25

25

Taufik Iman Santoso, Amdal, Setara Press, Malang, 2008 hal 35

(46)

menyatakan bahwa perizinan merupakan instrument yang sangat penting dalam

rangka pengendalian lingkungan.26

Izin merupakan wewenang yang bersifat hukum publik, wewenang

tersebut dapat berupa wewenang ketatanegaraan (staasrechtelijk bevoehdheid),

bisa juga berupa wewenang administrasi (administratiefrechtelijk bevoehdheid).

Wewenang menerbikan izin bisa berupa wewenang terikat (gebonden

bevoehdheid) dan bisa juga berupa wewenang bebas (discretionary power).27

Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum

bersegi satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak

kepada masyarakat.

Dengan wewenang tersebut penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan

menggunakan sarana izin sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku

masyarakat. Dengan memberi izin pemerintah memperkenankan pemohon

melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain melalui

perizinan diberikan perkenan untuk melakukan sesuatu yang diliarang, berarti

esensi dari perizinan adalah dilarangnya suatu tindakan, kecuali diperkenankan

dengan izin.

28

26

Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University Press, Surabaya, 2009, hal 3

27

Philipus M. Hadjon, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung.

28

Asep Warlan Yusuf dalam I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum erizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 56

Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu

wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum

(47)

mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang

berlaku.29

Dengan karakteristik yang demikian pemerintah dapat memprsyaratkan

setiap rencana kegiatan dan/atau usaha yang memiliki dampak terhadap

lingkungan hidup agar dilakukan atas persetujuan Pemerintah dalam bentuk

perizinan berwawasan lingkungan hidup.

30

Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakekatnya ditetapkan

untuk mengkonkritisasikan wewenangnya dengan beberapa tujuan (motif)

tertentu. Menurut Spelt dan Ten Berge, tujuan (motif) menggunakan sistem

perizinan dapat berupa:31

a. Kegiatan mengarahkan (mengendalikan–‘sturen’) akivitas-aktivitas

tertentu (misalnya izin bangunan);

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin membongkar

pada monumen-monumen);

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat

penduduk);

e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin

berdasarkan “Drank-en Horecawet, dimana pengurus harus memenuhi

syarat-syarat tertentu).

29

NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2.

30

I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 153 31

(48)

Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam perolehan izin tempat

hiburan, maka adapun motif yang terkandung di dalamnya adalah motif untuk

mengarahkan/mengendalikan. Motif untuk mengarahkan/mengendalikan adalah

untuk mengarahkan agar aktivitas yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan

peraturan undangan. Tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan disini adalah dimaksudkan agar usaha yang dijalankan tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan usaha

yang akan diselenggarakan, untuk proses perizinan terkait usaha tersebut perlu

memperhatikan beberapa peraturan peraturan perundang-undangan khususnya.

C. Tujuan dari perolehan izin tempat hiburan

Melalui izin, pemerintah terlibat dalam kegiatan warga negara. Dalam hal

ini pemerintah mengarahkan warganya melalui instrumen yuridis berupa izin.

Kadang kala kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat,

bahkan tidak berhenti pada satu tahap, melainkan melalui serangkaian kebijakan.

Setelah izin diproses, masih dilakukan pengawasan, pemegangan izin diwajibkan

menyampaikan laporan secara berkala dan sebagainya. Pemerintah melakukan

pengendalian terhadap kegiatan masyarakat dengan menggunakan instrumen

perizinan. Izin dapat dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Spelt dan ten Berge, motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat

berupa keinginan mengarahkan (mengendalikan/sturen) aktivitas-aktivitas

(49)

tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan mengarahkan dengan

menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.32

1. Keinginan mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu. Tujuan dari perolehan izin tempat hiburan antara lain :

Adanya kemungkinan pemerintah menggunakan instrument izin untuk

mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan oleh masyarakat.

2. Mencegah bahaya terhadap lingkungan

Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditentukan bahwa

setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan

hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan

lingkungan hidup.

3. Keinginan melindungi objek-objek tertentu

Pemerintah mempunyai kepentingan agar objek-objek tertentu yang

berguna bagi masyarakat tetap terjaga dan terlindungi. Objek tersebut

perlu mendapat perlindungan karena berbagai alasan.

4. Membagi benda-benda yang sedikit

Adakalahnya keguatan masyarakat yang berkaitan dengan sumber daya

jumlahnya sangat terbatas.

5. Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas

Izin dapat ditujukan untuk pengarahan dengan menyeleksi orang dan

aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan oleh warga masyarakat.

32

(50)

Tujuan tertentu lainnya, mengenai izin tujuan lain dari yang telah

disebutkan di atas, contohnya adalah izin yang dapat diberikan di lingkungan

(51)

BAB III

PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan

Izin merupakan sebuah keputusan pemerintah, atau menurut

undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) disebut keputusan tata usaha

negara. Sebagai sebuah keputusan pemerintah, izin lahir tidak dengan sendirinya,

melainkan terlebih dahulu mesti ada permohonan dari seseorang atau suatu pihak

tertentu. Sebagai sebuah keputusan dari badan / pejabat yang berwenang, izin lahir

melalui serangkaian proses, yang dimulai dari permohonan yang kemudian

diproses melalui serangkaian tahapan yang kadang kala begitu panjang.

Pengajuan permohonan izin pada umumnya harus dilakukan secara

tertulis, sering kali dengan mengisi formulir tertentu yang sudah disediakan oleh

instansi yang berwenang mengeluarkan izin. Formulir yang tersedia pada

umumnya berisi kolom-kolom yang mesti diisi oleh pemohon. Adanya formulir

permohonan izin karena memudahkan pihak pemohon dalam pengajuan

permohonan izin karena yang bersangkutan tidak harus merangkai kalimat sendiri

yang berisi permohonan izin. Demikian pula bagi pihak aparatur yang menangani

permohonan, akan memudahkan dalam membaca dan mengelak permohonan

tersebut. Tata cara pen

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 7 Tahun 2002 Tentang Retibusi Pelayanan Parkir Ditepi Jalan Umum, Tempat Khusus Parkir Dan Perizinan Pelataran

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana izin dalam perspektif Hukum Administrasi Negara?Bagaimana Kendala-Kendala Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Peraturan Daerah

Widjaja, A.W, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Cetakan Kedua, Jakarta, 1999.

Untuk setiap pengusaha dan atau pemilik usaha rekreasi dan hiburan umum yang ada di daerah setelah Peraturan Daerah ini berlaku, wajib melaporkan, memberitahukan dan

Kota Medan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Kepariwisataan Ditinjau Dari Hukum.

Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, UII press, Yogyakarta, 2010. Siahaan, Marihot Pahala, Hukum Bangunan Gedung di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah bagaimana pajak hiburan dalam Hukum Administrasi Negara, bagaimana pelaksanaan pemungutan pajak hiburan di kota

Politik anggaran sangat penting untuk dikaji pada penelitian ini, sebab anggaran merupakan instrumen paling penting dalam kebijakan ekonomi yang dimiliki pemerintah baik pusat