PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
080200283
ANDRI YUNA GINTING
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
080200283
ANDRI YUNA GINTING
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
NIP. 196002141987032002
SURIA NINGSIH, SH., M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS Suria Ningsih, SH., M.Hum
NIP. 195409121984031001 NIP. 196002141987032002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN
DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)”
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum
5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing II penulis yang
telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Bapak Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I Penulis
yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.
7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.
8. Teman-Teman stambuk 2008 yang telah mendukung dan memberikan
motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.
Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena
keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan
dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum
di negara Republik Indonesia.
Medan, Juli 2013 Hormat Saya
ABSTRAK
PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)
* Andri Yuna Ginting **Pendastaren Tarigan
***Suria Ningsih
Kota Medan sebagai Pemerintah yang menjalankan dan menegakkan peraturan menghendaki agar dalam kegiatan pembangunan dan pengolaan klub malam, khususnya dalam pengadaan bangunan klub malam agar tercipta suatu ketertiban dan keteraturan dalam pelaksanaan pembangunan klub malam tersebut. Pemerintah kota khususnya dinas pariwisata dituntut untuk menyingkapi dan mengatasi terhadap masalah pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan agar tidak merugikan semua pihak, selain juga pemerintahan kota berusaha untuk memikirkan bagaimana dalam mengadakan penegakan hukum, dan upaya-upaya apa yang perlu dilakukan dalam menimalkan terhadap pelanggaran hukum yang terjadi serta memikirkan upaya proses perbaikannya kedepan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pengaturan hukum mengenai pemberian izin tempat hiburan, prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara dan tindakan Pemko Medan jika ada tempat yang tidak memiliki izin dan bagi yang memiliki izin.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini skripsi adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan. Sumber Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dibagi adalah data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni :Bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier.
Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum bersegi satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak kepada masyarakat. Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum Administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat agar mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hambatan yang dihadapi dalam perolehan izin tempat hiburan, setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah: Belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif dan komprehensif. Banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan izin.Tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Diadakannya izin hanya semata-mata dengan tujuan pemasukan bagi pendapatan daerah.Bagi tempat hiburan yang telah habis masa berlaku izinnya atau belum memiliki izin sama sekali maupun yang melanggar jam operasional, akan terlebih dahulu kita surati. Namun apabila setelah tiga kali kita surati pengelola tetap tidak mematuhi, baru kita ambil tindakan.
Kata Kunci : Prosedur, Izin, Tempat Hiburan. *Mahasiswa
**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
9. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
10.Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11.Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
12.Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum
13.Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing II penulis yang
telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.
14.Bapak Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I Penulis
yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.
15.Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.
16.Kedua orang tua penulis Ayahanda Ir. M. A. Ginting dan Ibunda E. br.
Tarigan, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun
material sehingga terselesaikanya skripsi ini.
17.Teman-Teman stambuk 2008 yang telah mendukung dan memberikan
motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.
Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena
keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan
dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum
Medan, Juli 2013 Hormat Saya
Andri Yuna Ginting
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN ... 27
A. Pengertian Tempat Hiburan ... 27
B. Perizinan Sebagai Instrumen Pengendalian ... 29
C. Tujuan dari Perolehan Izin Tempat Hiburan ... 37
BAB III PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA ... 40
A. Prosedur Perolehan Tempat Hiburan ... 40
B. Hambatan yang dihadapi dalam Perolehan Izin Tempat Hiburan ... 45
BAB IV PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN
DAN PENGENDALIAN ... 56
A. Pengertian Penyelenggaraan Perizinan ... 56
B. Pengawasan izin Gangguan Restoran ... 64
C. Konsep Upaya Pengendalian Kegiatan /Proses Pelayanan ... 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum)
* Andri Yuna Ginting **Pendastaren Tarigan
***Suria Ningsih
Kota Medan sebagai Pemerintah yang menjalankan dan menegakkan peraturan menghendaki agar dalam kegiatan pembangunan dan pengolaan klub malam, khususnya dalam pengadaan bangunan klub malam agar tercipta suatu ketertiban dan keteraturan dalam pelaksanaan pembangunan klub malam tersebut. Pemerintah kota khususnya dinas pariwisata dituntut untuk menyingkapi dan mengatasi terhadap masalah pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan agar tidak merugikan semua pihak, selain juga pemerintahan kota berusaha untuk memikirkan bagaimana dalam mengadakan penegakan hukum, dan upaya-upaya apa yang perlu dilakukan dalam menimalkan terhadap pelanggaran hukum yang terjadi serta memikirkan upaya proses perbaikannya kedepan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pengaturan hukum mengenai pemberian izin tempat hiburan, prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara dan tindakan Pemko Medan jika ada tempat yang tidak memiliki izin dan bagi yang memiliki izin.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini skripsi adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan. Sumber Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dibagi adalah data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni :Bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier.
Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum bersegi satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak kepada masyarakat. Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum Administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat agar mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hambatan yang dihadapi dalam perolehan izin tempat hiburan, setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah: Belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif dan komprehensif. Banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan izin.Tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Diadakannya izin hanya semata-mata dengan tujuan pemasukan bagi pendapatan daerah.Bagi tempat hiburan yang telah habis masa berlaku izinnya atau belum memiliki izin sama sekali maupun yang melanggar jam operasional, akan terlebih dahulu kita surati. Namun apabila setelah tiga kali kita surati pengelola tetap tidak mematuhi, baru kita ambil tindakan.
Kata Kunci : Prosedur, Izin, Tempat Hiburan. *Mahasiswa
**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya
Dalam suatu Kota terdapat berbagai macam hiburan seperti: permainan
anak-anak, billiard, rekreasi panti pijat, tempat pemancingan, hiburan malam, atau klub
malam ini membutuhkan surat izin usaha karena mengundang keramaian di atur
dalam Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No
37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum1
Adanya aturan-aturan untuk mengatur hal tersebut berarti selain membawa
manfaat juga dapat menimbulkan permasalahan mengenai implementasi Perda No
37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum
mengenai pendirian klub malam di Kota Medan. Pengertian izin usaha adalah :
Izin yang diberikan oleh Walikota Medan untuk mengusahakan tempat hiburan
Klub malam atau sering di sebut juga dengan diskotik adalah bentuk usaha
hiburan yang menawarkan berbagai acara yang dikemas dalam pergaulan massa
kini yang sering dinamakan night party yang ditawarkan pada kebanyakan
generasi muda maupun orang dewasa untuk mengambil kesenangan agar
bertujuan menghilangkan kebosanan akvitas sehari-hari yakni dengan adanya
hiburan klub malam, dan klub malam merupakan tempat hiburan yang .
1
mempertunjukan hiburan musik-musik dengan balutan minuman keras dan
beraneka macam pertunjukan lain.
Pandangan masyarakat klub malam merupakan tempat konstitusi
kemaksiatan dalam pergaualan generasi muda yang mengikuti era modernisasi
dan kebudayaan barat dikarenakan wadah untuk kenakalan masyarakat khususnya
generasi muda berupa: seks bebas, narkotika, minuman keras yang dapat
mengakibatkan kerugian jiwa raga seseorang dan dapat menghancurkan generasi
muda dengan gaya hidup seperti itu.
Gaya kehidupan yang ditampilkan dalam pergaulan di klub malam pada
zaman sekarang mempunyai keunikan tersendiri dalam pergaulan tersebut, dengan
menampilkan beberapa tata cara busana yang disesuaikan dengan acara night
party yang ada selalu di berikan oleh klub malam dengan menarik pengunjung
agar datang dan menikmati acara tersebut.
Pandangan terhadap klub malam selama ini ternyata tidak mempengaruhi
minat masyarakat untuk menikmati dan melakukan kegiatan di klub malam dan
dapat menciptakan lapangan baru pada warga setempat ataupun warga lain yang
menginginkan pekerjaan dan bahkan para mahasiswa ikut serta dalam kegiatan
klub malam. Kegiatan klub malam dan tata cara pergaulan yang mempunyai ciri
khas tersendiri, unik, terpisah dan berbeda dari kebiasan umum melibatkan
sekelompok atau orang sebagai tata kehidupan ataupun tata kehidupannya dapat
dikaitkan sebagai subkultur tersendiri dalam kehidupan masyarakat yang
menginkan hiburan yang terdapat bentuk-bentuk hiburan malam seperti bioskop,
berbeda-beda sehingga klub malam itu dapat digunakan tanpa batas dan
banyaknya klub malam digunakan sumber keuntungan sehingga bentuk klub
malam tersebut tidak murni.
Klub malam berusaha agar Administrasi selalu rapi dan bagus,
dikarenakan tidak melanggar aturan perizinan Perda No 37 tahun 2002, tentang
Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum di Kota Medan. Klub
malam merupakan badan usaha hiburan malam harus memiliki ketergantungan
dan surat izin usaha karena mengundang keramaian, sehingga diperlukan suatu
aturan main yang mencapai keadaan yang baik.
Persyaratan Administrasi klub malam ditata sesuai dengan
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dan disesuaikan berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan
Umum. Maksud dan tujuan keberadaan klub malam adalah untuk memberikan
hiburan alternatif kepada masyarakat. Klub malam sebagai bentuk badan hukum
yang telah diatur dalam Peraturan Daerah No 37 tahun 2002, tentang Pendirian
Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum berkewajiban untuk membuat dan
menetapkan anggaran dasarnya.
Kota Medan sebagai Pemerintah yang menjalankan dan menegakkan
peraturan menghendaki agar dalam kegiatan pembangunan dan pengolaan klub
malam, khususnya dalam pengadaan bangunan klub malam agar tercipta suatu
ketertiban dan keteraturan dalam pelaksanaan pembangunan klub malam tersebut.
Pemerintah kota khususnya dinas pariwisata dituntut untuk menyingkapi
tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum agar tidak
merugikan semua pihak, selain juga pemerintahan kota berusaha untuk
memikirkan bagaimana dalam mengadakan penegakan hukum, dan upaya-upaya
apa yang perlu dilakukan dalam menimalkan terhadap pelanggaran hukum yang
terjadi serta memikirkan upaya proses perbaikannya kedepan.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi pemerintah kota memang
sangat komplek sekali, khususnya dalam hal pelaksanaan pembangunan yang
berkaitan dengan izin klub malam berdasarkan Peraturan Daerah No 37 tahun
2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum di kawasan
Kota Medan. Upaya untuk menciptakan pelaksaan pembangunan di daerah yang
tertib, sehat, dan terarah diperlukan pengaturan dalam keberadaan klub malam
yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Izin usaha di
bidang rekreasi dan hiburan umum ini di tetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum.
Peraturan daerah ini digunakan karena adanya keramaian dan tempat-tempat
tersebut yang dikelola oleh swasta, baik perorangan maupun konsorsium.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari dinas pendapatan daerah Kota
Medan, bisnis hiburan memang patut diperhitungkan sebagai kontributor
Pendapatan Asli Daerah di Kota Medan. Apalagi Kota Medan termasuk lima
besar kota terbesar di Indonesia, tentunya mobilitas perekonomian cukup berjalan
tinggi. Dimana dengan banyaknya tersedia hiburan akan mendatangkan
penerimaan yang banyak bagi Pendapatan Asli Daerah. Berarti semakin banyak
kontribusi terbesar dari bisnis hiburan diperoleh lewat pajak hiburan. Pendapatan
Asli Daerah diperoleh dari pajak hiburan berasal dari pengunjung yang
mendatangi tempat-tempat hiburan.
Adapun jenis hiburan di Kota Medan yang dikenakan dan dipungut pajak
hiburannya adalah bioskop, diskotik, karaoke, billiard, ketangkasan, panti pijat,
mandi uap/ Spa, salon, internet, dan keramaian umum/kolam renang.
Kontribusi pajak hiburan yang selama ini dipungut tentunya akan
menambah Pendapatan Asli Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah akan bermanfaat bagi proses pembiayaan pembangunan dan juga
digunakan untuk berbagai pelayanan umum yang berguna untuk pembangunan
Kota Medan. Oleh karena itu, hiburan diharapkan dapat menambah pemasukan ke
kas daerah dari sisi penerimaan pajak hiburan.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul “Prosedur perolehan izin tempat hiburan
ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Pengaturan Hukum Mengenai Pemberian Izin Tempat
Hiburan?
2. Bagaimana prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari perspektif
3. Bagaimana Tindakan Pemko Medan jika ada tempat hiburan yang tidak
memiliki izin dan bagi yang memiliki izin ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah
a. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai pemberian izin tempat
hiburan
b. Untuk mengetahui prosedur perolehan izin tempat hiburan ditinjau dari
perspektif hukum administrasi negara.
c. Untuk mengetahui tindakan Pemko Medan jika ada tempat hiburan
yang tidak memiliki izin dan bagi yang memiliki izin
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan
yang bersifat teoritis terutama bagi kalangan akademis dan berguna untuk
kepentingan yang bersifat praktis terutama bagi para pengambil kebijakan
pemerintah.
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan memberi informasi dan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam Hukum
b. Secara praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada
masyarakat dan pemerintah daerah tentang pelaksaanaan sistem
perizinan daerah dalam era otonomi daerah
2) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi
pemerintah daerah dan legislatif dalam merumuskan peraturan
daerah yang menyangkut tentang perizinan
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara maupun Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum,
bahwa penelitian dengan judul prosedur izin tempat hiburan ditinjau dari
perspektif Hukum Administrasi Negara (StudiPeraturan Daerah Kota Medan
Peraturan Daerah Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha
Rekreasi dan Hiburan Umum) belum ada, tetapi judul yang hampir sama dengan
judul di atas. Adapun judul skripsi yang hampir dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut :
Martunas Sianturi, 9002001164 dengan judul skripsi Aspek Hukum
Administrasi Negara Dalam Pemberian Izin Penyiaran (Studi Kasus PT. Radio
Khamasutra), Ronal Hasiholan B, 890200124 dengan judul Beberapa hal yang
menyangkut perizinan Paket II Kotamadya Medan dan Swita Memory Rezeki S,
930200225, Tinjauan Yuridis Surat Izin Sebagai Dasar Berdirinya suatu Komplek
Hunian di Medan. Berdasarkan daftar judul skripsi di atas, maka penulisan skripsi
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam negara hukum modern tugas pokok negara tidak saja terletak pada
pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid)
bagi seluruh rakyat. Sebagai negara berdasar atas hukum, negara Indonesia
didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Selain
itu adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
Upaya memajukan kesejahteraan umum dan obyektif yang membuat
negara Indonesia terkategori sebagai negara hokum modern (moderne rechtsstaat)
ataupun bercorak welfare state (welvaarstaat; wohlfahrtsstaat) ditujukan untuk
merealisasikan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual.2
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, cita
desentralisasi senantiasa menjadi bagian dalam praktik pemerintahan Negara.
Pasal 18 UUD RI 1945 perubahan kedua tahun 2000, ditegaskan bahwa
pemerintah terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur
dengan undang-undang, langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh
Pemerintah, seperti lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang
Sehubungan dengan hal tersebut, terkandung makna bahwa negara atau
pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban yang mutlak untuk
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk menyelenggarakan kesejahteraan
rakyat tersebut, pajak berperan sangat sentral dalam memenuhi kebutuhan
anggaran untuk itu.
2
mengatur tentang pemerintahan daerah. Melalui undang-undang tersebut bangsa
Indonesia menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam sistem administrasi
pemerintahannya3
“Otonomi daerah adalah wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan
sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu lingkungan wilayah
tertentu yang mencakup mengatur, mengurus, mengendalikan, dan
mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi kehidupan penduduk.” .
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam undang-undang tersebut juga disebutkan
bahwa :
“Daerah otonom, atau yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sementara pendapat The Liang Gie seperti dikutip oleh Hanif Nurcholis
menjelaskan bahwa :
4
1. Bidang legislasi, yakni atas prakarsa sendiri membuat peraturan daerah
(Perda) dan peraturan kepala daerah.
Berdasarkan asas umum pemerintahan, yang menjadi urusan pemerintahan
daerah meliputi hal berikut :
3
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta Gramedia, 2007), hal. 7.
4
2. Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
3. Perencanaan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.5
Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah
diberikan kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi
daerah. Dengan demikian pungutan daerah itu meliputi pajak daerah dan retribusi
daerah.
Jenis pajak kabupaten/kota yang dipungut adalah pajak hotel, pajak
restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak
pengambilan bahan galian golongan c, dan pajak parkir. Dasar hukum
pemungutan pajak daerah adalah hukum pajak daerah (Peraturan Daerah), dengan
batasan pada Pasal 5A ayat (2) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Syarat yang ditentukan adalah peraturan
daerah yang di pergunakan untuk mengatur Pajak Daerah substansinya harus
selaras dengan substansi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Demikian juga dalam pasal 4 ayat (3) menyebutkan Peraturan
Daerah yang dibuat dan dipergunakan sebagai dasar pemungutan pajak daerah
sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai nama, objek, dan subjek
5
pajak; dasar pengenaan pajak, tarif, dan cara perhitungan pajak; wilayah
pemungutan; penetapan; tata cara pembayaran dan penagihan; kadaluarsa.
Bangsa Indonesia sebagai Negara hukum maka dalam segala tindakannya
juga harus berdasarkan atas aturan hukum termasuk bidang perpajakan. Hal ini
menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak dari masyarakat karena pemungutan
pajak yang tidak didasari hukum adalah perampokan. Ketentuan Pasal 23A UUD
RI 1945 bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara harus diatur dengan undang-undang, merupakan landasan yuridis
konstitusional bagi Negara untuk memungut pajak.
Pengertian hukum pajak secara umum terdapat beberapa pendapat
Menurut Rochmat Soemitro menyatakan bahwa : “Hukum pajak ialah suatu
kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak menerangkan :
siapa wajib pajak (subyek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap
pemerintah, hak-hak pemerintah, obyek-obyek apa yang dikenakan pemerintah,
cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.” 6
6
Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, (Yogyakarta : FH UII Press, 2008), hal.230.
Hukum Pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu hukum pajak
material dan hukum pajak formal. Pembedaan ini berdasarkan pada pemikiran
bahwa yang menimbulkan hutang pajak adalah hukum pajak material dan bukan
a. Hukum pajak material
Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat norma-norma
yang menerangkan keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus
dikenakan pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang
timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak, serta hubungan hukum
antara pemerintah dan wajib pajak, yaitu mengenai subjek pajak, wajib
pajak, obyek pajak dan tarif.
b. Hukum pajak formal
Hukum Pajak Formal ialah hukum pajak yang memuat peraturan-peraturan
mengenai cara-cara hukum pajak material menjadi kenyataan antara lain
adalah mengenai surat pemberitahuan, surat ketetapan pajak, surat tagihan,
pembukuan, surat keberatan/minta banding, pembayaran/penagihan pajak
(dengan paksa), cara menghitung pajak, sanksi administrasi, ketentuan
hukum pidana, penyidikan dan lain-lain.7
7
Jajat Djuhadiat S, Modul DPT III Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : Departemen Keuangan-BPLK, 1993), hal 15.
Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro, dalam bukunya Pajak dan
Pembangunan, seperti dikutip R. Santoso Brotodihardjo bahwa pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak menurut R. Santoso
1. Pajak dipungut berdasarkan/ dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah.
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai public investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu
mengatur.8
Fungsi pajak menurut Rochmat Soemitro ada 3, yaitu :
9
1. Fungsi Budgeter;
2. Fungsi Mengatur;
3. Untuk menanggulangi Inflasi;
Fungsi yang pertama, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : “...
pajak-pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas
negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi budgeter.”10
8
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung : Eresco, 1995), hal.6
9
Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, (Bandung : Eresco, 1988), hal .2-3
10
Ibid, hal .2
Untuk menguatkan pendapat tersebut, ditunjukkan bahwa dalam APBD
Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada Daerah, disamping subsidi, merupakan
sumber pendapatan daerah yang penting.
Mengenai tujuan hukum pada umumnya, kita pernah mendengar ajaran
berbagai sarjana, Aristoteles yang telah terkenal dalam bukunya, Rhetorica,
menganggap bahwa hukum hertugas membuat adanya keadilan. Demikian pula
dalam hukum pajak karena pada hakekatnya pajak merupakan peralihan kekayaan
dari sektor swasta ke sektor negara, dan dapat dipaksakan. Maka agar tidak
menimbulkan perlawanan, pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat
antara lain :
1. Membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak (Asas Keadilan)
Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip
mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari.
lnilah sendi pokok yang seharusnya diperhatikan baik-baik oleh setiap
negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak. Maka
dari itu, syarat mutlak bagi pembuat undang undang (pajak), juga syarat
mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang berkewajiban
melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan
perbuatan-perbuatan yang adil pula.
Syarat keadilan dapat dibagi menjadi :
a. Keadilan horisontal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar
b. Keadilan vertikal, wajib pajak mempunyai kemampuan membayar
(gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama.11
Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah
mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan
merata. Artinya bahwa pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding
dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan
sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Di atas telah diuraikan bahwa hukum pajak harus mengabdi kepada
keadilan. Lepas dari kenyataan bahwa pada pelaksanaannya pembuat
undang-undang pajak harus selalu memegang teguh kepada asas keadilan, seringkali juga
dipersoalkan, apakah pemungutan pajak oleh suatu negara berdasarkan pula atas
keadilan. Apa dasar hukumnya, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan
perkataan lain: atas dasar apakah maka negara seakan-akan memberikan hak
kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan yang disebut pajak itu. Maka
sejak abad ke-18 timbullah teori-teori guna memberikan
dasar-menyatakan-keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya,
antara lain :
1) Teori Asuransi (Verzeringstheory)
Teori ini menyatakan bahwa termasuk dalam tugas negara untuk
melindungi orang dan segala kepentingannya: keselamatan dan keamanan
jiwa, juga harta bendanya. Sebagaimana juga halnya dengan setiap
perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk perlindungan tersebut di
11
atas diperlukan pembayaran premi, dan di dalam hal ini, pajak inilah yang
dianggap sehagai preminya, yang pada waktu-waktu yang tertentu harus
dibayar oleh masing-masing. Hal inilah yang menjadi kelemahan dari teori
asuransi, karena:
(1) Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara,
antara pembayanan jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang
diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung,
namun teori ini oleh para penganutnya dipertahankan, sekadar untuk
memberikan dasar hukum kepada pemungutan pajak saja. Pembayaran
pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang
kepada perusahaan pertanggungan.
(2) Teori Kepentingan (Belangentheory)
Teori ini dalam ajarannya yang semula, hanya memperhatikan
pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk
seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan
orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat
baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta
harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya, dibebankan
kepada seluruh penduduk tersebut.
Terhadap teori ini pun juga mulai ditinggalkan sebab dalam ajarannya
besar kecilnya kepentingan masyarakat dihubungkan dengan tugas atau
jasa pelayanan negara.
2) Teori Gaya Pikul
Yang menjadi pokok pangkal teori ini pun adalah asas keadilan, yaitu
tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus
dibayar menurut gaya pikul seseorang, dan sekadar untuk mengukur gaya
pikul ini, dapatlah dipergunakan, selain besarnya penghasilan dan
kekayaan, juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Hingga kini
teori ini masih dipertahankan oleh kebanyakan sarjana terkemuka dalam
lapangan hukum pajak. Mr. J.H.R. Sinninghe Damste pernah mencoba
untuk menguraikan segala sesuatu semata-mata dengan gaya pikul ini
dalam bukunya mengenai pajak pendapatan (pajak yang penting), bahwa
selain daripada gaya pikul, harus pula diperhatikan
kepentingan-kepentingan yang lain dari para wajib pajak.
W.J. de Langen berpendapat dalam bukunya, De Grondbeginselen van het
Ned. Belasttingrecht, Jilid I, 1954, bahwa asas gaya pikul hingga kini
masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak,
walaupun tidak dapat disangkal, bahwa ada asas-asas lain, yang semenjak
tahun 1919 semakin menduduki tempat yang utama pula, seperti asas
perolehan utama dan asas kenikmatan. Maka asas gaya pikul ini
menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas
individu, seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan yang dapat
diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya
inilah yang disamakannya dengan gaya pikul seseorang. Karena perkataan
“dapat”, maka tabungan-tabungan seseorang termasuk pula ke dalam
pengertian gaya pikulnya. Mr. A.J. Cohen Stuart, sarjana yang telah
memperdalam penyelidikannya mengenai gaya pikul ini, dalam
disertasinya menyamakan gaya pikul dengan sebuah jembatan, yang
pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba
untuk dibebaninya, dan menyarankan ajaran, bahwa yang sangat
diperlukan untuk kehidupan, harus tidak di masukkan ke dalam pengertian
gaya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada,
jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak manusia
yang pertama adalah hak untuk hidup. Maka hak pertama bagi setiap
manusia yang dinamakan hak asas “minimum kehidupan” ini harus
pertama-tama diperhatikan, seperti memang ternyata dengan pajak-pajak
atas pendapatan dan kekayaan di hampir semua negara. Teori ini mencoba
mencari dasar keadilan dalam memungut pajak yang harus dinyatakan
sama beratnya untuk setiap orang, namun tidak menjawab atau
membenarkan mengapa suatu negara memungut pajak.
3) Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Berlawanan dengan ketiga teori di atas, yang tidak mengutamakan
kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori
ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga diajarkanlah
mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidak berdiri sendiri; dengan
tidak adanya persekutuan, tidaklah akan ada individu. Oleh karenanya
maka persekutuan itu (yang menjelma dalam negara) berhak atas satu dan
lain. Rakyat harus sadar bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban
asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara dalam bentuk
pembayaran pajak.
Dalam bukunya Beginselen van de Belastingheffing maka W.H. van de
Berge (pada waktu menulis: Wakil Direktur Jenderal Pajak, Nederland)
sebagai penganut teori ini mengutarakan, bahwa Negara sebagai
groepsverband (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan
syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum, dan
karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukannya, termasuk juga tindakan-tindakan dalam lapangan pajak.
Jadi menurut teori ini dasar hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat
dengan negara, yang memungut pajak daripadanya. Teori ini juga
mengandung kelemahan bahwa negara merupakan lembaga yang bersifat
otoriter sehingga kurang memperhatikan unsur keadilan dalam persetujuan
pemungutan pajak.
4) Teori Asas Gaya Beli
Teori ini tidak mempersoalkan asal-mulanya negara memungut pajak,
melainkan hanya melihat kepada efeknya, dan dapat memandang efek
yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi
dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah
tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan
kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk
memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.
Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat
inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak;
bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan negara, melainkan
kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya
disimpulkan disini, bahwa teori ini menitikberatkan ajarannya kepada
fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan hukum (Asas Yuridis)
Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya.
Maka mengenai pajak di negara hukum segala sesuatu harus ditetapkan dalam
undang-undang. Juga dalam Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik
Indonesia dicantumkan (dalam Pasal 23 ayat 2), bahwa pengenaan dan
pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh
terjadi berdasarkan undang-undang.
Rasionya mengapa pengenaan pajak harus berdasarkan undang undang
adalah sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor rakyat ke
sektor pemerintah (untuk membiayai pengeluaran negara); untuk itu tidak dapat
kekayaan dari satu sektor ke sektor yang lain tanpa adanya kontraprestasi, hanya
dapat terjadi bila terjadi suatu hibah (wasiat).
Kemungkinan yang lain adalah, bahwa bilamana peralihan kekayaan itu
terjadi karena kekerasan/paksaan, yaitu dalam peristiwa perampasan atau
perampokan. Itulah sebabnya maka di Inggris berlaku suatu dalil yang berbunyi:
”No taxation without representation”, dan di Amerika: ”Taxation without
representation is robbery”. Selain secara formal harus dipungut
berdasarkan/dengan undang-undang, dalam menyusun undang-undangnya
nyata-nyata harus diusahakan oleh pembuat undang-undang tercapainya keadilan dalam
pemungutan pajak dengan mengindahkan keempat unsur dari Adam Smith’s
Canon. Karenanya, niscaya tidak lagi cara-cara lama akan terulang, yaitu untuk
Fiskus hanya dicantumkan haknya, dan untuk wajib pajak hanya kewajibannya
saja; kedua duanya harus diatur rapi pada pihak masing-masing. In concreto
secara umum tidak boleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:
a. Hak-hak Fiskus (yaitu Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat
Jenderal Bea Cukai) yang telah diberikan oleh pembuat undang undang
harus dijamin dapat terlaksananya dengan lancar;
b. Sebaliknya para wajib pajak harus pula mendapat jaminan hukum, agar
supaya ia tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh Fiskus
dengan aparaturnya. Segala sesuatu harus diatur dengan terang dan
tegas, bukan hanya mengenai kewajiban-kewajiban, melainkan juga
c. Jaminan terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau
perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkannya kepada
instansi-instansi pajak, dan yang harus tidak disalahgunakan oleh para
pejabatnya.
3. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu perekonomian (Asas Ekonomis)
Selain fungsi budgeter, pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk
menentukan politik perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan pemungutan
pajak harus tetap terjaga keseimbangan kehidupan ekonomi rakyat. Maka politik
pemungutan pajaknya :
1) Harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi
dan perdagangan.
2) Harus diusahakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam
usahanya menuju kebahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan
umum.
Kesimpulannya adalah, bahwa keseimbangan dalam kehidupan ekonomi
tidak boleh terganggu dengan adanya pemungutan pajak, sesuai dengan fungsi
kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.
4. Pemungutan pajak harus sederhana (Asas Finansial)
Sistem pemungutan pajak yang sederhana dan mudah untuk dilaksanakan,
akan sangat membantu masyarakat untuk menghitung sendiri jumlah pajaknya.
Maka pemungutan pajak harus diusahakan seefektif dan seefisien mungkin.
Sesuai dengan fungsi budgeternya, maka sudah barang tentu bahwa biaya
dalam bandingan dengan pendapatannya. Sebab inilah hasil yang dicapainya, yang
harus dapat menyumbang banyak dalam menutup pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan oleh negara, termasuk juga biaya-biaya untuk aparatur Fiskus sendiri.
Sehingga pemungutan pajak harus mempertimbangkan biaya dan manfaatnya.
Selain itu, untuk menghindarkan tertimbunnya tunggakantunggakan pajak,
haruslah selalu diteliti, apakah syarat-syarat penting telah dipenuhi untuk dapat
memungut pajak dengan efektif. Syarat ini antara lain adalah, bahwa pengenaan
pajak harus dilakukan pada saat yang terbaik bagi yang harus membayarnya, yaitu
harus sedekatdekatnya saatnya dengan saat terjadinya perbuatan, peristiwa,
ataupun keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak itu, sehingga sangat
mudahnya dibayar oleh orang-orang yang bersangkutan. Sistem ini sesuai
pernyataan ”pay as you earn”, seperti telah dipraktekkan di Amerika Serikat dan
Inggris.
Salah satu pedoman pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam
Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations (terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai
asas pemungutan pajak yang dinamainya “The Four Maxims” atau ”The Four
Canon”dengan uraiannya sebagai berikut:
1) Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang
dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah
perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas kepentingan). Dalam asas
di antara sesama wajib pajak, Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak
harus dikenakan pajak yang sama pula.
2) Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak
mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainity” ini,
kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek objek,
besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
3) “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is
most likely to be convenient for the contributor to pay it”. Teknik
pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut “convenience of
payment”) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang
paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat dekatnya dengan
detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4) “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of
the pockets of the people as little as possible over and above what it brings
into to public treasury of the State”. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa
pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat hematnya; jangan
sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.12
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan
12
perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan
permasalahan.
2. Sumber Data
Sumber Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dibagi adalah
data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat13
1) Undang-undang Dasar 1945.
Bahan
hukum primer yang digunakan adalah :
2) Undang-undang No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah.
3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4) Peraturan menteri dalam Negeri No.27 Tahun 2009 pedoman
penetapan izin gangguan di daerah.
5) Perda Kota Medan No 37 tahun 2002, tentang Pendirian Lokasi Usaha
Rekreasi dan Hiburan Umum
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
sekunder yaitu berupa literatur-literatur.14
13
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : IND-HILLCO, 2001), hal. 13.
14
c. Bahan hukum tersier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.15
3. Teknik Pengumpulan Data
Bahan hukum tersier yang
digunakan adalah: Kamus bahasa Indonesia :
Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca
buku dan mempelajari literatur yang diolah dan dirumuskan secara sistematis
sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya.
4. Analisis Bahan Hukum
Analisa bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisa
bahan hukum deduktif, artinya perumusan analisa dari hal yang umum yakni
mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perizinan tempat hiburan;
dengan memenuhi syarat-syarat yang berlaku di Dinas Pariwisata Kota Medan
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
A. Pengertian Tempat Hiburan
Hiburan adalah segala sesuatu baik yang berbentuk kata-kata, tempat,
benda, perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau
sedih.16
Selain itu terdapat tempat-tempat hiburan atau klab malam (night club)
sebagai tempat-tempat untuk melepas lelah, umumnya berupa rumah makan atau
restoran yang dilengkapi hotel serta sarana hiburan seperti musik, karaoke, opera.
Ada pula yang menyediakan permainan seperti bilyar hingga sarana perjudian.
Bagi kalangan tertentu, permainan judi (gambling) dianggap sebagai hiburan atau
sarana membuang sial. Selain itu, di beberapa negara ada juga klab-klab malam
yang diperuntukkan untuk pertemuan keluarga yang tentunya berbeda dengan klab
klab malam pada umumnya.
Pada umumnya hiburan dapat berupa musik, film, opera, drama, ataupun
berupa permainan bahkan olahraga. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya
hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya. Mengisi kegiatan
di waktu senggang seperti membuat kerajinan, keterampilan, membaca juga dapat
dikatagorikan sebagai hiburanBagi orang tertentu yang memiliki sifat workaholic,
bekerja adalah hiburan dibandingkan dengan berdiam diri.
16
Pada umumnya hiburan dapat berupa musik, film, opera, drama, ataupun
berupa permainan bahkan olahraga. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya
hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya. Mengisi kegiatan
di waktu senggang seperti membuat kerajinan, keterampilan, membaca juga dapat
dikatagorikan sebagai hiburan
Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UU PDRD diuraikan bahwa objek pajak
hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Hiburan
adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau keramaian yang
dinikmati dengan dipungut bayaran. Daerah dapat mengecualikan jenis hiburan
yang sesuai dengan kebijakan daerah sebagai objek pajak. Yang dimaksud dengan
hiburan adalah :17
1. Tontonan film
2. Pergelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana
3. Kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya
4. Pameran
5. Diskotik, karaoke, club malam dan sejenisnya
6. Sirkus, acrobat dan sulap
7. Permainan bilyar, golf dan bolling
8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan
9. Panti pijat, refleksi, mandi uap /spa dan pusat kebugaran (fitness center)
17
Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati
hiburan dan wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang
menyelenggarakan hiburan. Selanjutnya dasar pengenaan pajak hiburan adalah
jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara
hiburan. Jumlah uang yang seharusnya diterima termasuk potongan harga dan
tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan. Tarif pajak
hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) khusus
untuk hiburan berupa pergelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke,
club malam, permainan ketangkasan, panti pijat dan mandi uap /spa, tarif pajak
hibura n ditetapkan paling tinggi 75 % (tujuh puluh lima persen). Khusus hiburan
kesenian rakyat atau tradisional dikenakan tarif pajak hiburan ditetapkan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif pajak hiburan hiburan ditetapkan
dengan peraturan daerah.
B. Perizinan Sebagai Instrumen Pengendalian
Instrumen pengendalian merupakan bagian dari upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakanlingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
serupa juga diatur dalam pasal selanjutnya yaitu dalam Pasal 4 yang menyatakan
bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
a. Perencanaan;
b. Pemanfaatan;
c. Pengendalian;
d. Pemeliharaan;
e. Pengawasan; dan
f. Penegakan hukum.
Dari kedua ketentuan tersebut diketahui bahwa upaya pengendalian
merupakan bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakanlingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 13 Pengendalian
pencemaran dan/ataukerusakan lingkungan hidup meliputi:
a. Pencegahan;
b. Penanggulangan; dan
c. Pemulihan.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 14 instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
f. UKL-UPL;
g. Perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. Analisis risiko lingkungan hidup;
l. Audit lingkungan hidup; dan
m. Instrumen lain sesuai dengan kebutuhandan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
Di antara ke tiga belas instrumen pencegahan tersebut perizinan
merupakan instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai ujung
tombak dalam mengendalikan aktivitas rakyatnya. Esensi dari tindakan hukum
pemerintah berupa perizinan adalah melarang seseorang atau suatu badan hukum
tertentu melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa mendapatkan
persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha Negara
yang berwenang. Sehingga setiap usaha dan/atau kegiatan baru dapat
dilaksanakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang
berwenang.
Dalam setiap rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha
akan selalu dibebani oleh suatu instrument perlindungan yang disebut izin dalam
rangka menata ketertiban sebagai instrument preventif.18
18
Taufik Iman Santoso, Amdal, (Malang : Setara Press, 2008) hal 35
menyatakan bahwa perizinan merupakan instrument yang sangat penting dalam
rangka pengendalian lingkungan.19
N.M. Splet dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam
keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan (izin
dalam arti sempit)20
Utrecht memberikan pengertian izin (Vergunning) sebagai berikut:
bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi
masih juga memperkenanka nnya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi Negara yang
memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Spelt dan ten Berge, dalam izin
dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali
diizinkan. Artinya kemungkinan untuk seseorang atau suatu pihak tertutup kecuali
diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah mengikatkan perannya
dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan.
21
Adapun
pengertian perizinan Menurut Adrian Sutedi adalah salah satu bentuk pelaksanaan
fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.22
19
Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, (Surabaya : Airlangga University Press, 2010), hal 3
20
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge disunting Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, (Surabaya : Yuridika, 1993), hal 2-3
21
OP. Cit. Utrecht,E. hal 187
22
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. (Jakarta : Sinar Grafika. 2010), hal. 27
Perizinan dapat
melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu
organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat
melakukan suatu kegiatan atau tindakan.
Hal di atas menunjukkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu
instrument hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan
masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta
membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain.23
Pemerintah dalam menggunakan wewenang publik wajib mengikuti
aturan-aturan hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang. Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum, yakni:24
1. Asas yuridikitas (rechtmatiheid), artinya keputusan pemerintahan maupun
administratif tidak boleh melanggar hukum;
2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil berdasarkan
suatu kesatuan undang-undang;
3. Asas diskresi (discretie, freies ermessen), artinya pejabat penguasa tidak
boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada
peraturannya”. Oleh karena itu, diberi kebebasan untuk mengambil
keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas
yuridiksi dan asas legalitas.
Penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya
untuk mengatur, tetapi juga untuk menetapkan. Dalam hal penetapan yang
ditujukan kepada individu, kewenangan pemerintah harus dilaksanakan
23
Tatik Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, dalam I Made Arya Utama, 2001, l 24
24
berdasarkan pada hukum yang jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Salah
satu penetapan yang banyak dikeluarkan pemerintah adalah izin.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya
dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya
pengawasan.
Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali
diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan
dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteria-kriteria
yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi.
Perizinan merupakan instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah
sebagai ujung tombak dalam mengendalikan aktivitas rakyatnya. Esensi dari
tindakan hukum pemerintah berupa perizinan adalah melarang seseorang atau
suatu badan hukum tertentu melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa
mendapatkan persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata
usaha negara yang berwenang. Sehingga setiap usaha dan/atau kegiatan baru dapat
dilaksanakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang
berwenang.
Dalam setiap rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha
akan selalu dibebani oleh suatu instrument perlindungan yang disebut izin dalam
rangka menata ketertiban sebagai instrument preventif.25
25
Taufik Iman Santoso, Amdal, Setara Press, Malang, 2008 hal 35
menyatakan bahwa perizinan merupakan instrument yang sangat penting dalam
rangka pengendalian lingkungan.26
Izin merupakan wewenang yang bersifat hukum publik, wewenang
tersebut dapat berupa wewenang ketatanegaraan (staasrechtelijk bevoehdheid),
bisa juga berupa wewenang administrasi (administratiefrechtelijk bevoehdheid).
Wewenang menerbikan izin bisa berupa wewenang terikat (gebonden
bevoehdheid) dan bisa juga berupa wewenang bebas (discretionary power).27
Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum
bersegi satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak
kepada masyarakat.
Dengan wewenang tersebut penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan
menggunakan sarana izin sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku
masyarakat. Dengan memberi izin pemerintah memperkenankan pemohon
melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain melalui
perizinan diberikan perkenan untuk melakukan sesuatu yang diliarang, berarti
esensi dari perizinan adalah dilarangnya suatu tindakan, kecuali diperkenankan
dengan izin.
28
26
Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University Press, Surabaya, 2009, hal 3
27
Philipus M. Hadjon, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung.
28
Asep Warlan Yusuf dalam I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum erizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 56
Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu
wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum
mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.29
Dengan karakteristik yang demikian pemerintah dapat memprsyaratkan
setiap rencana kegiatan dan/atau usaha yang memiliki dampak terhadap
lingkungan hidup agar dilakukan atas persetujuan Pemerintah dalam bentuk
perizinan berwawasan lingkungan hidup.
30
Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakekatnya ditetapkan
untuk mengkonkritisasikan wewenangnya dengan beberapa tujuan (motif)
tertentu. Menurut Spelt dan Ten Berge, tujuan (motif) menggunakan sistem
perizinan dapat berupa:31
a. Kegiatan mengarahkan (mengendalikan–‘sturen’) akivitas-aktivitas
tertentu (misalnya izin bangunan);
b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);
c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin membongkar
pada monumen-monumen);
d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat
penduduk);
e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin
berdasarkan “Drank-en Horecawet, dimana pengurus harus memenuhi
syarat-syarat tertentu).
29
NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2.
30
I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 153 31
Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam perolehan izin tempat
hiburan, maka adapun motif yang terkandung di dalamnya adalah motif untuk
mengarahkan/mengendalikan. Motif untuk mengarahkan/mengendalikan adalah
untuk mengarahkan agar aktivitas yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan
peraturan undangan. Tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan disini adalah dimaksudkan agar usaha yang dijalankan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan usaha
yang akan diselenggarakan, untuk proses perizinan terkait usaha tersebut perlu
memperhatikan beberapa peraturan peraturan perundang-undangan khususnya.
C. Tujuan dari perolehan izin tempat hiburan
Melalui izin, pemerintah terlibat dalam kegiatan warga negara. Dalam hal
ini pemerintah mengarahkan warganya melalui instrumen yuridis berupa izin.
Kadang kala kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat,
bahkan tidak berhenti pada satu tahap, melainkan melalui serangkaian kebijakan.
Setelah izin diproses, masih dilakukan pengawasan, pemegangan izin diwajibkan
menyampaikan laporan secara berkala dan sebagainya. Pemerintah melakukan
pengendalian terhadap kegiatan masyarakat dengan menggunakan instrumen
perizinan. Izin dapat dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Spelt dan ten Berge, motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat
berupa keinginan mengarahkan (mengendalikan/sturen) aktivitas-aktivitas
tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan mengarahkan dengan
menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.32
1. Keinginan mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu. Tujuan dari perolehan izin tempat hiburan antara lain :
Adanya kemungkinan pemerintah menggunakan instrument izin untuk
mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan oleh masyarakat.
2. Mencegah bahaya terhadap lingkungan
Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditentukan bahwa
setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup.
3. Keinginan melindungi objek-objek tertentu
Pemerintah mempunyai kepentingan agar objek-objek tertentu yang
berguna bagi masyarakat tetap terjaga dan terlindungi. Objek tersebut
perlu mendapat perlindungan karena berbagai alasan.
4. Membagi benda-benda yang sedikit
Adakalahnya keguatan masyarakat yang berkaitan dengan sumber daya
jumlahnya sangat terbatas.
5. Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas
Izin dapat ditujukan untuk pengarahan dengan menyeleksi orang dan
aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan oleh warga masyarakat.
32
Tujuan tertentu lainnya, mengenai izin tujuan lain dari yang telah
disebutkan di atas, contohnya adalah izin yang dapat diberikan di lingkungan
BAB III
PROSEDUR PEROLEHAN IZIN TEMPAT HIBURAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A. Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan
Izin merupakan sebuah keputusan pemerintah, atau menurut
undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) disebut keputusan tata usaha
negara. Sebagai sebuah keputusan pemerintah, izin lahir tidak dengan sendirinya,
melainkan terlebih dahulu mesti ada permohonan dari seseorang atau suatu pihak
tertentu. Sebagai sebuah keputusan dari badan / pejabat yang berwenang, izin lahir
melalui serangkaian proses, yang dimulai dari permohonan yang kemudian
diproses melalui serangkaian tahapan yang kadang kala begitu panjang.
Pengajuan permohonan izin pada umumnya harus dilakukan secara
tertulis, sering kali dengan mengisi formulir tertentu yang sudah disediakan oleh
instansi yang berwenang mengeluarkan izin. Formulir yang tersedia pada
umumnya berisi kolom-kolom yang mesti diisi oleh pemohon. Adanya formulir
permohonan izin karena memudahkan pihak pemohon dalam pengajuan
permohonan izin karena yang bersangkutan tidak harus merangkai kalimat sendiri
yang berisi permohonan izin. Demikian pula bagi pihak aparatur yang menangani
permohonan, akan memudahkan dalam membaca dan mengelak permohonan
tersebut. Tata cara pen