• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink dengan Pertumbuhan Linier Anak TK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink dengan Pertumbuhan Linier Anak TK"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN, KALSIUM

DAN ZINK DENGAN PERTUMBUHAN LINIER ANAK TK

WINDA ARMELIA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink dengan Pertumbuhan Linier Anak TK adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

WINDA ARMELIA. Hubungan Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink dengan Pertumbuhan Linier Anak TK. Dibimbing olehHARDINSYAH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier anak sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). Penelitian dilakukan menggunakan desain crosssectional study terhadap 86 siswa dari dua TK favorit di kota dan kabupaten Bogor yaitu TK Negeri Mexindo dan TK Aliya. Asupan protein, kalsium dan zink diperoleh dari data konsumsi pangan yang dikumpulkan dengan metode FFQ semi kuantitatif (Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire) selama sebulan terakhir yang diisi oleh ibu anak. Data tinggi badan, berat badan, riwayat kelahiran dan riwayat penyakit anak juga dikumpulkan. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan signifikan antara tingkat kecukupan energi, kalsium dan zink, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu serta pendapatan keluarga dengan pertumbuhan linier anak (p<0.01 dan p< 0.05). Kata kunci: anak prasekolah, kalsium, pertumbuhan linier, tingkat kecukupan, zink.

ABSTRACT

WINDA ARMELIA. Correlation between Protein, Calcium and Zink Sufficiency Level with Linear Growth of Pre-School Children. Supervised by HARDINSYAH.

The purpose of this study was to analyze the correlation between protein, calcium and zinc sufficiency level with linear growth in pre-school children (PSC). This study was conducted by applying a cross sectional study design implemented among 86 pre-school children from two favourite kindergartens in the city and regency of Bogor, the Mexindo and Aliya kindergarten. Intake of protein, calcium and zinc derived from the food consumption data collected by applying a 30 days semi-quantitative FFQ method filled by the child's mother. Data of height, weight, birth and medical history of child were also collected. The statistical analysis showed significant correlation between energy, calcium and zinc sufficiency level, father's height, maternal height, father’s education, mother’s education and family income with linear growth of pre-school children (p<0.01 and p<0.05).

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN, KALSIUM

DAN ZINK DENGAN PERTUMBUHAN LINIER ANAK TK

WINDA ARMELIA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Hubungan Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink dengan Pertumbuhan Linier Anak TK

Nama : Winda Armelia NIM : I14124009

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Hardinsyah MS Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Drs Rimbawan Ph D Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul ―Hubungan Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink dengan Pertumbuhan Linier Anak TK‖ ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu, bimbingan dan masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini.

2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan karya ilmiah ini.

3. Kepala sekolah TK Negeri Mexindo dan Aliya, ibu Siti Sofiah dan Ir. Ani Anggraeni M.Pd serta guru-guru TK yang telah turut membantu dalam pengambilan data penelitian.

4. Keluarga tercinta: ayahanda (H. Bakhtiar), ibunda (Hj.Arlina), Febi Rosadi (abang) dan Ferni Deswita (kakak) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

5. Teman-teman pembahas seminar: Isra Maretfa, Riski Stefiani, Ida Halida dan Annisa Putri Gazali yang telah memberikan saran selama seminar.

6. Para sahabat : Syarifah Hayatun Nufus, Faradina Mutari, Renni Noor beserta edward, Fadhillah Safriani, Pina Yasinta, Rita Halim, Gunawan Wibisono, Lia Maratus Sholihah, Tita Nia Fanina, Titis Susiloyanti, Irma Febrianti, Agung Kurnia, Liris Istiya, Anisah Citra, Fajar Safitri, Nida Rifsinia, Pak Satibi, Pak Agung, Nur Azizah, Putri Aksova, tim intervensi Eva, Wayan, Nazif, Fanni dan Icha serta teman-teman Alih Jenis lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Tidak lupa kepada teh Nining beserta keluarga besar yang telah menyediakan tempat tinggal selama di Bogor.

Penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Aamiin.

(11)
(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2 KERANGKA PEMIKIRAN 2

METODE PENELITIAN 4 Desain, Waktu dan Tempat Penelitian 4 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 4 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5 Pengolahan dan Analisis Data 6 Definisi Operasional 10 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Gambaran umum Taman Kanak-kanak 11

Karakteristik anak dan keluarga 12

Riwayat penyakit 15

Konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink 18

Tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink 21

Hubungan karakteristik keluarga serta tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier anak 23

Faktor risiko mengalami keterlambatan pertumbuhan linier 25

SIMPULAN DAN SARAN 26 Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27 LAMPIRAN 31

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 5

2 Klaim kandungan protein dalam bahan pangan 6

3 Model persamaan estimasi kecukupan energi anak 7

4 Perhitungan kecukupan protein berdasarkan kelompok umur 8 5 Jenis peubah dan pengkategorian data penelitian 9 6 Karakteristik serta riwayat kelahiran anak menurut jenis kelamin 12

7 Karakteristik keluarga menurut jenis kelamin 14

8 Sebaran contoh berdasarkan jenis, lama, frekuensi dan skor morbiditas

menjelang umur 1 tahun 16

9 Sebaran contoh berdasarkan jenis, lama, frekuensi dan skor morbiditas

1 tahun terakhir 17

10 Rata-rata(median) frekuensi konsumsi pangan sumber protein, kalsium

dan zink (kali/minggu) 18

11 Rata-rata(median) jumlah konsumsi pangan sumber protein, kalsium

dan zink (g/kap/hari) 19

12 Perbedaan jumlah konsumsi pangan berdasarkan kategori z-score TB/U

(g/kap/hari) 20

13 Tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink contoh 21 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein, kalsium dan

zink 22

15 Nilai koefisien korelasi hubungan antar peubah 23 16 Analisis bivariat berbagai peubah dengan nilai z-score TB/U 25

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier anak TK 3

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan (kali/minggu) 31 2 Rata-rata jumlah konsumsi pangan (g/kap/hari) 32

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada prinsipnya pertumbuhan anak terdiri dari pertumbuhan linier dan pertumbuhan non linier. Bentuk dari pertumbuhan linier adalah ukuran yang berhubungan dengan penambahan panjang. Tinggi badan merupakan ukuran linier yang paling sering digunakan. Pada keadaan normal, tinggi badan seorang anak bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Tubuh yang pendek (stunting) menunjukkan keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita dalam waktu yang relatif lama (Supariasa 2002).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi stunting pada balita sebesar 37.2% dan pada anak umur 5 tahun sebesar 28.3%, hal ini bermakna bahwa setelah umur 4 tahun pun masalah stunting masih besar ditemukan. Menurut Bappenas (2011) berdasarkan hasil Riskedas yang telah dilakukan pada tahun 2007 dan 2010, secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi dan protein anak balita Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005.

Hayati (2013) menyatakan bahwa stunting terjadi karena kegagalan mencapai potensi pertumbuhan linier tulang. Stunting berisiko terhadap tumbuh kembang anak seperti terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan motorik dan mental, meningkatnya risiko morbiditas serta menurunnya nilai inteligensi (Remans et al. 2011). Pertumbuhan linier yang baik memerlukan konsumsi zat gizi dalam jumlah yang cukup dan mutu yang baik seperti protein dan zat gizi mikro. Protein merupakan zat gizi yang penting dalam membantu pertumbuhan linier. Menurut Gibson (2005), pertumbuhan tinggi badan bisa terhambat bila anak mengalami defisiensi protein meskipun intake energinya cukup.

(16)

2

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier pada anak TK. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik anak dan keluarga, riwayat kelahiran serta riwayat penyakit anak.

2. Menganalisis konsumsi pangan dan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink pada anak.

3. Menganalisis hubungan karakteristik anak dan keluarga serta tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier anak.

4. Menganalisis faktor risiko anak mempunyai pertumbuhan linier rendah (z-score TB/U <-1 SD).

Manfaat

Data hasil penelitian ini secara khusus diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat umum mengenai pentingnya konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink untuk mendukung pertumbuhan linier. Informasi ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan orang tua dalam memberikan gizi yang baik untuk menunjang pertumbuhan linier anak sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya balita pendek. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi pengembangan keilmuan dan institusi terkait, seperti institusi pendidikan dan kesehatan serta kepada pembuat kebijakan terutama dalam bidang pangan dan gizi.

KERANGKA PEMIKIRAN

Konsumsi pangan adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi seseorang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau beragam. Semakin beragam bahan pangan yang dikonsumsi semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh sehingga dapat meningkatkan mutu gizinya. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh karakteristik individu dan keluarga. Karakteristik individu berupa jenis kelamin, umur dan berat badan anak. Karakteristik keluarga yaitu besar keluarga, pendidikan, pekerjaan serta pendapatan orang tua. Banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi konsumsi pangan. Pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pengasuhan yang diberikan kepada anak. Pekerjaan dan pendapatan orang tua memiliki peranan yang penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf hidup keluarga yang berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan.

(17)

3 dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan sehingga diperoleh tingkat kecukupan gizi anak. Skema kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier pada anak disajikan pada gambar 1.

Keterangan :

: Peubah yang diteliti : Peubah yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier anak

Karakteristik keluarga : - Pendidikan orangtua - Pekerjaan orangtua - Pendapatan orangtua - Besar keluarga

Tingkat kecukupan

kalsium

Tingkat kecukupan

zink Tingkat

kecukupan protein

Konsumsi pangan sumber (protein, kalsium dan zink)

Karakteristik anak : - Jenis kelamin - Umur

- Berat badan

Pertumbuhan linier (z-score TB/U)

- Riwayat kelahiran (berat lahir dan panjang lahir)

- Riwayat penyakit - Tinggi badan anak Genetik :

(18)

4

METODE

Desain, Waktu dan Tempat

Penelitian ini menggunakan desain crosssectional study yaitu mengumpulkan berbagai informasi pada suatu waktu dan tidak melakukan atau memberikan intervensi apapun kepada contoh. Waktu penelitian adalah bulan Mei-Juni 2014 bertempat di taman kanak–kanak. TK yang terpilih adalah TK Negeri Mexindo Bogor dan TK Aliya. Kedua TK ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa TK tersebut merupakan TK favorit di kota dan kabupaten Bogor serta berada pada kondisi sosial ekonomi menengah ke atas sehingga diharapkan kualitas makanan yang dikonsumsi anak-anak baik.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi penelitian adalah seluruh siswa TK Negeri Mexindo dan TK Aliya Bogor. Penarikan contoh dilakukan secara purposive sampling dan memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah siswa laki–laki maupun perempuan yang berstatus aktif sebagai siswa kelas A di TK Negeri Mexindo dan Aliya tahun ajaran 2013/2014, bersedia menjadi contoh penelitian dan diukur tinggi serta berat badannya, orang tua bersedia bekerjasama dan memberikan informasi yang diperluan terkait penelitian. Jumlah contoh minimal dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus studi proporsi one grup (Swarjana 2012) yaitu :

Keterangan:

n = Jumlah contoh

Z = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 sebesar 95% (1.96)

p = Proporsi balita stunted Provinsi Jawa Barat tahun 2010 sebesar 33.6% e = Presisi (10%)

(19)

5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengukuran langsung terhadap anak dan pengisian kuesioner yang meliputi data karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan tinggi badan orang tua), karakteristik anak (jenis kelamin, umur, tinggi badan, berat badan, riwayat kelahiran serta riwayat penyakit). Data pola konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink dikumpulkan menggunakan instrumen FFQ semi kuantitatif (Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire) selama satu bulan terakhir diisi ibu. Data tinggi badan anak diperoleh melalui pengukuran langsung pada anak menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Peubah Alat Cara pengumpulan data

Data primer

1 Karakteristik anak :

 Jenis kelamin

 Umur

 Tinggi badan

 Berat badan

Kuesioner Pengukuran tinggi badan anak dilakukan oleh enumerator menggunakan

microtoise dengan

ketelitian 0.1 cm

2 Riwayat sakit/morbiditas anak Kuesioner diisi oleh ibu anak 3 Riwayat kelahiran anak :

 Berat lahir

 Panjang lahir

Kuesioner diisi oleh ibu anak

4 Karakteristik keluarga :

 Besar keluarga

 Pekerjaan orang tua

 Pendidikan orang tua

 Pendapatan orang tua

 Tinggi badan ibu

 Tinggi badan ayah

Kuesioner diisi oleh ibu anak

5 Frekuensi, jenis dan jumlah konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink

Kuesioner FFQ semi kuantitatif (Semi

QuantitativeFood Frequency

Questionnaire)

diisi oleh ibu anak

Data sekunder

6 Data kandungan (protein, kalsium dan zink) pangan

e-file berbagai

kandungan gizi pangan.

Menggunakan acuan daftar komposisi pangan

7 Keadaan umum taman kanak-kanak

Kuesioner Diambil dari arsip sekolah TK

(20)

6

(2007), serta data keadaan umum lokasi penelitian yang diperoleh dari profil taman kanak-kanak yang bersangkutan berupa fasilitas taman kanak–kanak serta jumlah siswa pada tahun ajaran tersebut.

Pengklasifikasian bahan pangan yang merupakan ―sumber‖ protein, kalsium dan zink berdasarkan aturan BPOM (2011) yang mengatur tentang klaim kandungan gizi pangan. Pangan dikatakan sebagai ―sumber‖ protein jika setidaknya memenuhi 20% ALG per 100 g pangan dalam bentuk padat dan 10% ALG per 100 mL dalam bentuk cair. Nilai ALG untuk protein adalah 60 g, sehingga ditetapkan bahan pangan merupakan ―sumber‖ protein jika kandungan proteinnya tidak kurang dari 6 g/100 mL (bentuk cair) dan 12 g/100 g (bentuk padat). Bahan pangan yang kandungan proteinnya dibawah nilai tersebut tidak diklasifikasikan sebagai ―sumber‖ protein. Perhitungan bahan pangan sebagai ―sumber‖ kalsium dan zink juga dilakukan dengan cara yang sama. Nilai ALG untuk kalsium adalah 800 mg, sedangkan zink sebesar 12 mg (Lampiran 3). Persyaratan kandungan gizi pangan menurut BPOM terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klaim kandungan protein, kalsium dan zink dalam bahan pangan Komponen Klaim Persyaratan tidak kurang dari

Protein sumber 20% ALG per 100 g (dalam bentuk padat) 10% ALG per 100 mL (dalam bentuk cair) Tinggi 35% ALG per 100 g (dalam bentuk padat)

17.5% ALG per 100 mL (dalam bentuk cair) Kalsium dan Zink sumber 15% ALG per 100 g (dalam bentuk padat)

7.5% ALG per 100 mL (dalam bentuk cair) Tinggi 2 kali jumlah untuk ―sumber‖

Sumber : BPOM (2011).

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan program Microsoft Office Excel 2010, SPSS for windows versi 16.0, WHO Anthro 3.2.2 dan WHO AnthroPlus 1.0.4. Proses pengolahan data melalui tahapan editing, coding, entry, cleaning dan analisis data. Pada tahap cleaning diperoleh total keseluruhan contoh yang layak dianalisis sebanyak 69 anak. Analisis data dilakukan secara deskiptif dan inferensia. Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi, rata-rata dan standar deviasi. Analisis inferensia dilakukan untuk melihat hubungan antar peubah.

Data yang dianalisis secara deskriptif meliputi data karakteristik anak berupa (jenis kelamin, umur, dan status gizi yang dihitung berdasarkan indeks antropometri TB/U dan BB/U); riwayat kelahiran (berat lahir dan panjang lahir), riwayat penyakit (jenis penyakit, frekuensi sakit, lama sakit serta skor morbiditas), karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan serta tinggi badan orang tua); pola konsumsi, asupan dan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink.

(21)

7 dikategorikan berdasarkan BPS (2000) yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari. Frekuensi sakit dikelompokan menjadi 1 kali, 2 kali dan ≥3 kali dalam setahun. Skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit untuk setiap jenis penyakit. Skor morbiditas dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi baik (0-19), sedang (20-39) dan kurang (40-60).

Data konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink diperoleh dari kuesioner FFQ semi kuantitatif. Kandungan gizi dari masing–masing pangan yang dikonsumsi anak dihitung menggunakan e-file rekapitulasi berbagai kandungan zat gizi. Data konsumsi pangan kemudian dikonversi menjadi data asupan protein (g), kalsium (mg) dan zink (mg). Data asupan protein kemudian dibandingkan dengan kebutuhan protein masing-masing anak, sedangkan asupan kalsium dan zink dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG 2014) untuk mendapatkan data tingkat kecukupan gizi (TKG) tiap anak.

Kebutuhan energi untuk anak umur 4-6 tahun dihitung berdasarkan model persamaan IOM (2005) dalam Kemenkes (2014). Kebutuhan energi sejak umur empat tahun dikoreksi dengan faktor kategori aktivitas fisik (PA). Aktivitas fisik anak umur 4-6 tahun diasumsikan ringan. Hal ini sejalan dengan temuan Riskesdas 2007 yang menyimpulkan bahwa lebih dari 90% penduduk Indonesia berada pada kategori aktivitas fisik ringan (Kemenkes 2014).

Tabel 3 Model persamaan estimasi kecukupan energi anak

Model persamaan Kecukupan energi

(kkal) Anak laki-laki 4-6 tahun

TEE = [88.5-(61.9xU) + PA x (26.7xBB+903xTB)]+ 20 kkal Keterangan :

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.26 (aktif) PA = 1.13 (ringan) PA = 1.42 (sangat aktif)

TEE+0.1 TEE

Anak perempuan 3-9 tahun

TEE = [135.3-(30.8xU) + PA x (10xBB+934xTB)]+ 20 kkal Keterangan :

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.31 (aktif) PA = 1.16 (ringan) PA = 1.56 (sangat aktif)

TEE+0.1 TEE

Sumber : IOM (2005) dalam Kemenkes 2014. Keterangan :

U = umur (tahun), BB = berat badan (kg), TB= tinggi badan (m) TEE = Total Energy Expenditure – total pengeluaran energi (kkal) PA = koefisien aktivitas fisik

Berbagai faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi anak adalah berat badan, tinggi badan, pertumbuhan dan perkembangan (umur), jenis kelamin, energi cadangan bagi anak serta thermic effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran energi karena asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure (TEE). Nilai TEF untuk anak umur 4-6 tahun adalah 10% (Mahan & Escoot 2008 dalam Kemenkes 2014).

(22)

8

Perhitungan data kebutuhan protein didasarkan pada formula Angka Kebutuhan Protein dalam WNPG (2012) sesuai dengan kelompok umur. Perhitungan kebutuhan protein disesuaikan dengan berat badan aktual anak serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein sebesar 1.5. Faktor koreksi mutu protein tersebut didasarkan pada rendahnya mutu protein makanan penduduk Indonesia. Kebutuhan protein dihitung berdasarkan kelompok umur (Tabel 4).

Keterangan : AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB/hari), BB = berat badan aktual (kg), faktor koreksi mutu protein bagi anak = 1.5

Tabel 4 Perhitungan kebutuhan protein berdasarkan kelompok umur

Umur Formula kebutuhan protein

1-3 tahun 1.3 g/kg BB x 1.5

4-6 tahun 1.2 g/kg BB x 1.5

Sumber : WNPG (2012)

Perhitungan kecukupan kalsium dan zink berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) sesuai umur (WNPG 2012). Nilai AKG yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menghitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG). TKG dihitung menggunakan rumus berikut :

Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menjadi 5 kategori menurut Depkes (1996) yaitu defisit berat (<70% AKG), defisit sedang (70-79% AKG), defisit ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG) dan lebih (≥120% AKG). Tingkat kecukupan kalsium dan zink menurut Gibson (2005) dikategorikan menjadi ―kurang’ jika TKG <77% dan ―cukup‖ jika ≥77%. (Tabel 5).

Analisis statistik inferensia dilakukan menggunakan uji korelasi Spearman, uji independent sample t-test serta uji chi-square. Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan karakteristik anak dan keluarga serta tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier anak. Uji independent sample t-test digunakan untuk melihat perbedaan jumlah konsumsi kelompok pangan berdasarkan nilai z-score TB/U anak, serta uji chi-square untuk mengetahui nilai odds ratio (OR) peubah yang berhubungan dengan pertumbuhan linier anak. Syarat penggunaan uji chi-square adalah tidak ada sel yang nilai observed bernilai nol serta nilai expected count yang kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel yang ada (Dahlan 2009). Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah (α=0.05) sehingga akan terdapat hubungan bermakna jika p-value <0.05.

Tingkat Kecukupan Zat Gizi = asupan zat gizi X 100% AKG

(23)

9 Tabel 5 Jenis peubah dan pengkategorian data penelitian

No Peubah Kategori Sumber

1. Sangat pendek : Z-score <-3SD 2. Pendek : Z-score < -2SD

8 Besar keluarga 1. Keluarga kecil (≤ 4 orang) 2. Keluarga sedang (5-6 orang) 3. Keluarga besar (≥ 7 orang)

Hurlock 1998 3. Ibu rumah tangga 4. Pegawai swasta

1. Defisit berat (<70% AKG) 2. Defisit sedang (70-79% AKG) 3. Defisit ringan (80-89% AKG) 4. Normal (90-119% AKG)

(24)

10

Definisi Operasional

Contoh adalah siswa taman kanak-kanak yang digunakan dalam penelitian dan berada di lokasi penelitian.

Karakteristik contoh adalah keadaan contoh yang meliputi jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan dan status gizi menurut indeks TB/U dan BB/U.

Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga contoh yang meliputi besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan serta tinggi badan orang tua.

Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal dalam satu rumah dan hidup dari sumber penghasilan yang sama. Besar keluarga dikategorikan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥ 7 orang).

Jenis pekerjaan orangtua adalah pekerjaan atau mata pencaharian orangtua contoh yang dikelompokkan menjadi PNS, pegawai swasta, wiraswasta, TNI/Polri, dan ibu rumah tangga (hanya ibu).

Tingkat pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan terakhir yang diikuti orangtua contoh, yang dikelompokkan menjadi tidak sekolah, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan Tinggi.

Pendapatan keluarga adalah besarnya penghasilan keluarga yang diperoleh baik dari ayah, ibu maupun anggota keluarga lain yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (rupiah/bulan). Pendapatan dikelompokkan menjadi <Rp2 000 000, Rp 2 000 000-3 000.000, Rp 3 000 000-5 000 000, dan >Rp 5 000 000.

Tinggi badan adalah ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan linier yang diukur menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm.

Pertumbuhan linier adalah status tinggi badan anak yang dinilai berdasarkan Z-score TB/U.

Morbiditas adalah kejadian sakit infeksi dan non infeksi yang dilihat dari frekuensi dan lama sakit yang pernah diderita oleh contoh

Frekuensi sakit adalah seberapa sering anak mengalami sakit dengan gejala/jenis penyakit yang sejenis dalam satu tahun terakhir dan dikelompokkan menjadi 1 kali, 2 kali dan ≥3 kali.

Lama sakit adalah waktu yang dilalui anak dalam keadaan sakit (dalam hari) akibat serangan penyakit infeksi atau non infeksi dan dikelompokkan menjadi 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari.

Skor morbiditas adalah keadaan atau kondisi tubuh anak yang dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit kemudian dikategorikan menjadi baik (0-19), sedang (20-39) dan kurang (40-60).

Pola konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink adalah kebiasaan mengkonsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink yang meliputi jenis, frekuensi dan jumlah pangan yang dikonsumsi

(25)

11

Tingkat kecukupan kalsium adalah perbandingan jumlah asupan kalsium contoh dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan umur dan jenis kelamin contoh.

Tingkat kecukupan zink adalah perbandingan jumlah asupan zink contoh dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan umur dan jenis kelamin contoh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Taman Kanak-kanak

Taman kanak-kanak yang digunakan sebagai tempat penelitian ini adalah TK negeri Mexindo dan TK Aliya. TK negeri Mexindo diresmikan pada tahun 1965 atas dasar kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Mexico di bidang pendidikan. Pada saat diresmikan Taman kanak-kanak ini langsung berstatus negeri. Mexindo merupakan singkatan dari Mexico Indonesia. Tujuan pendidikan TK ini adalah membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perkembangan selanjutnya. TK negeri Mexindo terletak di Jalan Malabar No 4, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat. Jumlah murid yang terdaftar di TK ini adalah 200 orang, yang terdiri atas kelompok A sebanyak 75 orang, dan kelompok B sebanyak 125 orang. TK ini dikepalai oleh Siti Sofiah. Jumlah tenaga pendidik di TK Mexindo adalah 21 orang. TK Mexindo memiliki fasilitas yang cukup lengkap, antara lain 8 ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, perpustakaan, UKS, aula, area berkebun, arena bermain, kolam renang dan toilet.

(26)

12

Karakteristik anak dan keluarga

Contoh dalam penelitian ini merupakan siswa TK kelas A yang diambil dari TK negeri Mexindo dan Aliya. Jumlah keseluruhan contoh yaitu 69 anak yang terdiri dari laki-laki (55.1%) dan perempuan (44.9%) dengan kisaran umur antara 53-70 bulan. Anak yang berumur <60 bulan sebesar 26.1% sedangkan yang berumur ≥60 bulan sebesar 73.9%. Rata-rata berat badan anak adalah 19.1 kg, sedangkan rata-rata tinggi badan anak laki-laki dan perempuan berturut-turut 110.1 cm dan 109.2 cm (Tabel 6).

Sebanyak 91.3% anak mempunyai status gizi baik, 5.8% gizi lebih dan 2.9% gizi kurang. Pada keadaan normal dimana kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan anak bertambah mengikuti pertambahan umur, sebaliknya dalam keadaan abnormal, berat badan dapat bertambah lebih cepat atau lambat dari keadaan normal (Supariasa 2002).

Berdasarkan status tinggi badannya, mayoritas anak (95.6%) mempunyai tinggi badan normal, namun masih ditemukan 4.4% anak bertubuh pendek (stunting) dengan distribusi laki-laki 66.7% dan perempuan 33.3%. Stunting adalah kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier karena kurangnya pemenuhan gizi atau rendahnya tingkat kesehatan (World Bank 2006). Istilah stunting untuk menunjukkan indeks tinggi badan berdasarkan umur (TB/U) yang rendah. Indikator ini menggambarkan gangguan gizi yang terjadi pada kurun waktu yang panjang (Reinhard et al. 2002). Anak dianggap stunting bila memiliki nilai indeks TB/U di bawah -2 SD standar antropometri WHO 2005 (World Bank 2006).

Tabel 6 Karakteristik serta riwayat kelahiran anak menurut jenis kelamin

Peubah Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Umur rata-rata(median), min-max (bulan) 64.2(65), 57-69 60.6(60), 53-70

<60 10 55.6 8 44.4 18 26.1

≥60 28 54.9 23 45.1 51 73.9

Tinggi badan rata-rata(median),min-max (cm) 110.1(109), 99.6-120 109.2(108.9), 99.5-119.5 Berat badan rata-rata(median), min-max (kg) 19.1(18.4), 14-29.1 19.1(18.8), 12.2-30.2 Berat lahir rata-rata (median), min-max (g) 3275.8(3200), 2600-4400 3127.1(3120), 2300-4900

(27)

13 Sebanyak 95.6% anak lahir dengan berat normal (≥2500 g), namun 4.4% anak lahir dengan berat rendah (<2500 g). Berdasarkan definisi yang ditetapkan oleh WHO, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah berat bayi saat lahir yang kurang dari 2500 gram (UNICEF/WHO 2004). Bayi yang lahir dengan berat badan rendah menandakan kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi pada saat kehamilan atau lahir dari ibu penderita kurang energi kronis (KEK), artinya, ibu dengan gizi kurang sejak trimester awal sampai akhir kehamilan akan melahirkan BBLR, yang nantinya akan menjadi stunting (Kusharisupeni 2006).

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara berat lahir dengan pertumbuhan linier anak (p>0.05, r= 0.25). Penelitian ini sejalan dengan Anugraheni dan Kartasurya (2012) yang melihat faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 12-36 bulan di Kabupaten Pati menggunakan desain case control yang hasilnya menunjukkan bahwa berat lahir bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak, namun penelitian Aerts et al. (2004) di Brazil Selatan mengenai determinan retardasi pertumbuhan pada anak menunjukkan hasil yang berbeda yaitu anak BBLR (<2500 g) berisiko mengalami stunting sebesar 3.79 kali dibandingkan anak yang lahir dengan berat lahir normal (≥2500 g), begitu juga penelitian Hayati (2013) yang menyatakan bahwa anak BBLR berisiko mengalami stunting 1.81 kali lebih tinggi dibanding dengan anak yang lahir dengan berat lahir normal. Penelitian Hayati (2013) menggunakan data Riskesdas dengan jumlah contoh yang lebih besar. Pada penelitian ini riwayat BBLR hanya ditemukan pada 4.4% contoh. BBLR adalah hasil dari kelahiran prematur (sebelum 37 minggu kehamilan) atau karena pertumbuhan intra uterine yang terbatas. BBLR berhubungan dengan morbiditas, mortalitas anak, perkembangan kognitif serta risiko penyakit kronis di kemudian hari (UNICEF/WHO 2004).

Sejumlah 85.5% anak lahir dengan panjang badan normal (≥48 cm), namun 14.5% anak masuk kategori lahir pendek (<48 cm). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa panjang lahir anak tidak berhubungan signifikan dengan pertumbuhan linier anak (p>0.05, r= 0.16). Penelitian Norliani (2005) tentang tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) memberikan hasil yang berbeda, dalam penelitiannya disebutkan bahwa tinggi badan anak yang pendek dipengaruhi oleh panjang lahir anak yang juga pendek dengan nilai OR=2.35. Penelitian Kusharisupeni (2006) dengan desain prospektif kohort menyimpulkan bahwa risiko gagal tumbuh (growth faltering) lebih besar pada anak yang telah mengalami gagal tumbuh sebelumnya, artinya panjang badan anak yang pendek disebabkan karena sudah mengalami gagal tumbuh sebelumnya sejak dari dalam kandungan. Gagal tumbuh berhubungan dengan kejadian stunting dan pertumbuhan linier anak.

(28)

14

dan p=0.02. Menurut Madanijah (2003) tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Marzuki (2006) menyatakan bahwa ibu yang berpendidikan tinggi cenderung akan memberikan makanan yang sehat kepada anaknya. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Zottarelli et al. (2007) juga menunjukkan bahwa prevalensi balita stunting meningkat dengan rendahnya tingkat pendidikan ibu dan ayah.

Tabel 7 Karakteristik keluarga menurut jenis kelamin

(29)

15

Pekerjaan ayah sebagian besar adalah pegawai swasta (53.6%), sedangkan ibu sebagian besar sebagai ibu rumah tangga (47.8%), namun ditemukan juga ibu yang menjadi pegawai swasta sebanyak 18.8% (Tabel 7). Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima. Sebagian besar keluarga contoh mempunyai pendapatan dengan golongan > Rp. 5 000 000 (62.3%). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua tidak berhubungan signifikan (p>0.05) dengan pertumbuhan linier anak, namun pendapatan orang tua berhubungan signifikan dengan pertumbuhan linier anak (p<0.01, r=0.34). Penelitian Girma et al. (2002) di Ethiopia menunjukkan prevalensi stunting paling tinggi pada anak dari rumah tangga yang sangat miskin (p<0.001). Semba et al. (2008) juga menemukan bahwa pendapatan yang rendah mengakibatkan keluarga tidak dapat mengakses makanan yang dapat memenuhi kebutuhan anak baik secara kualitas maupun kuantitas. Tingkat pendapatan sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan pola konsumsi karena mempengaruhi daya beli.

Sebagian besar anak (62.3%) tergolong dalam keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga (≤4 orang). Besar keluarga dapat mempengaruhi konsumsi pangan rumah tangga. Peningkatan jumlah anggota keluarga tanpa pendapatan yang cukup akan berpengaruh terhadap ketidakseimbangan distribusi makanan di dalam keluarga. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar keluarga tidak berhubungan signifikan dengan pertumbuhan linier anak (p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Andiani (2013) tentang faktor determinan stunting pada anak umur 0-59 bulan di Indonesia yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara besar keluarga dengan kejadian stunting, namun penelitian lain yang dilakukan Mahyar et al. (2010) tentang prevalensi underweight, stunting dan wasting pada anak-anak di Iran menemukan adanya hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan kejadian stunting (p<0.05).

Sebagian besar ayah (82.6%) dan ibu (89.9%) mempunyai tinggi badan diatas rata-rata standar tinggi badan orang Indonesia pada umumnya. Faktor genetik seperti tinggi badan orang tua turut menentukan tinggi badan anak. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tinggi badan ayah berhubungan signifikan dengan pertumbuhan linier anak (p<0.01, r= 0.34) begitu juga dengan tinggi badan ibu (p<0.05, r= 0.24). Hal ini sejalan dengan penelitian Hayati (2013) tentang faktor-faktor risiko stunting pada anak berumur 0-23 bulan yang menemukan bahwa risiko stunting pada anak yang lahir dari ibu pendek (<145 cm) 1.68 kali dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Amigo et al. (2001) juga menyatakan bahwa faktor genetik berupa tinggi badan orang tua sedikitnya memberikan dampak terhadap laju pertumbuhan anak.

Riwayat penyakit

(30)

16

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh suatu bibit penyakit seperti bakteri, virus, rickettsia, jamur, cacing dan sebagainya (Depkes 2005).

Penyakit infeksi yang banyak diderita anak adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), demam tinggi dan diare. Penyakit ISPA memiliki persentase terbesar pertama dengan persentase sebesar 45.8%. Penyakit infeksi lainnya seperti thypus, demam berdarah dan amandel hanya sedikit ditemukan. Pada jenis penyakit non infeksi, sebanyak 57.1% anak menderita alergi dengan persentase anak laki-laki 75% dan anak perempuan 25% (Tabel 8).

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan jenis, lama, frekuensi dan skor morbiditas menjelang umur 1 tahun

Peubah Laki-laki Perempuan Total

(31)

17 (2013) menyebutkan faktor–faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA yaitu bakteri, virus, dan jamur, kondisi cuaca, status gizi, status imun, sanitasi, dan polusi udara.

Lama sakit sebagian besar anak adalah 4-7 hari dengan persentase laki-laki 64.3% dan perempuan 35.7%. Frekuensi sakit sebagian besar anak yaitu ≥3 kali/tahun, dari data lama sakit dan frekuensi sakit didapat skor morbiditas. Skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit. Sebanyak 76.8% anak tergolong dalam skor morbiditas baik. Skor morbiditas yang semakin tinggi bisa disebabkan oleh dua hal yaitu frekuensi sakit yang sering dan lamanya anak menderita sakit. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan skor morbiditas tidak berhubungan signifikan (p>0.05) dengan pertumbuhan linier anak.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan jenis, lama, frekuensi dan skor morbiditas 1 tahun terakhir

Peubah Laki-laki Perempuan Total

(32)

18

Riwayat penyakit pada 1 tahun terakhir juga tidak jauh berbeda dengan 1 tahun pertama kelahiran. Sebagian besar (76.8%) anak pernah mengalami sakit dengan penyakit infeksi terbanyak yaitu ISPA (55.6%) dan penyakit non infeksi berupa alergi dan asma. Sebanyak 66.1% anak pernah sakit lebih dari 3 kali setahun dan lama sakit paling banyak dalam rentang 4-7 hari. Skor morbiditas sebagian besar anak (68.1%) dikategorikan baik. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa skor morbiditas pada 1 tahun terakhir tidak berhubungan signifikan (p>0.05) dengan pertumbuhan linier anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Torres et al. (2000) di Bangladesh yang menunjukkan penyakit infeksi tidak berhubungan signifikan dengan keterlambatan penambahan tinggi badan, namun berhubungan dengan penurunan berat badan pada anak-anak Bangladesh umur 5 sampai 11 tahun. Penyakit infeksi seperti diare berhubungan signifikan dengan penurunan berat badan selama setahun, namun ISPA tidak berhubungan secara signifikan, dengan perbaikan kondisi lingkungan dan asupan energi yang memadai, anak-anak dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhannya, namun jika faktor-faktor ini tidak dikoreksi, bagaimanapun, anak-anak tidak mungkin sembuh sepenuhnya dari defisit pertumbuhan akut dan pertumbuhan akan tetap terhambat.

Konsumsi Pangan Sumber Protein, Kalsium dan Zink

Frekuensi konsumsi pangan

Berdasarkan klasifikasi pangan menurut acuan BPOM (2011) diperoleh 22 jenis pangan yang dikatakan sebagai ―sumber‖ protein, kalsium dan zink. Jenis pangan yang paling sering dikonsumsi anak adalah telur ayam, tepung susu, ayam, tempe, susu kental manis, yoghurt, ikan segar dan kecap, sedangkan pangan yang jarang dikonsumsi adalah tutut, hati sapi dan kerang.

Tabel 10 Rata-rata(median) frekuensi konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink (kali/minggu)

Jenis Pangan Rata-rata konsumsi Jenis Pangan Rata-rata konsumsi

mean±SD min-max mean±SD min-max

Mengandung protein, kalsium dan zink Tepung susu

Mengandung protein dan zink Ayam

(33)

19 Telur ayam merupakan pangan yang paling sering dikonsumsi dengan rata-rata konsumsi 4.9±4.2 kali/minggu, tepung susu dikonsumsi 4.9±8.0 kali/minggu, ayam 3.9±3.7 kali/minggu, tempe 3.6±5.0 kali/minggu, susu kental manis 2.8±5.4 kali/minggu, yoghurt 2.2±3.4 kali/minggu, ikan segar 2.2±3.0 kali/minggu serta kecap 2.2±3.8 kali/minggu (Tabel 10).

Berdasarkan pengklasifikasian bahan pangan sebagai ―sumber‖ protein, kalsium dan zink diketahui bahwa tepung susu, sarden dan ikan teri merupakan pangan yang baik untuk menunjang pertumbuhan linier karena mempunyai kandungan protein, kalsium dan zink dalam jumlah yang relatif tinggi, dalam 100 gram tepung susu terdapat kandungan protein sebanyak 21.6 g, kalsium 770 mg dan zink 3.5 mg. Astawan (2005) menyebut susu sebagai makanan yang hampir sempurna karena kandungan zat gizinya yang lengkap berupa protein, karbohidrat, lemak, mineral, enzim-enzim, gas serta vitamin A, C dan D dalam jumlah memadai. Rata-rata konsumsi tepung susu pada anak sudah baik yaitu 4.9±8.0 kali/minggu, namun konsumsi ikan teri dan sarden pada anak-anak masih jarang dengan rata-rata konsumsi berturut-turut 0.3±0.9 dan 0.4±0.6 kali/minggu. Ikan teri mengandung 58.6 g protein, 1700 mg kalsium dan 5.2 mg zink/100 g nya, sedangkan sarden mengandung 24.6 g protein, 550 mg kalsium dan 3 mg zink/ 100 g nya.

Jumlah Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi. Almatsier (2006) menyatakan bahwa makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik, sehingga tidak memadai jumlah dan mutunya maka tubuh akan mengalami kekurangan zat gizi esensial tertentu.

Tabel 11 Rata-rata(median) jumlah konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink (g/kap/hari)

Jenis Pangan Rata-rata konsumsi Jenis Pangan Rata-rata konsumsi

mean±SD median mean±SD median

Mengandung protein, kalsium dan zink Tepung susu

Mengandung protein dan zink Ayam

(34)

20

Berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber protein, kalsium dan zink diatas terlihat bahwa pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar anak adalah telur ayam, tepung susu, ayam, tempe, susu kental manis, yoghurt, ikan segar dan kecap. Tepung susu merupakan pangan sumber protein, kalsium dan zink yang baik, dikonsumsi rata-rata 14.9±35.5 g/hari. Telur ayam dan ikan merupakan pangan sumber protein, dikonsumsi rata-rata sebesar 37.9±36.2 g/hari dan 15.8±21.4 g/hari. Ayam yang merupakan sumber protein dan zink dikonsumsi rata-rata 31.6±51.6 g/hari. Tempe dan susu kental manis yang merupakan sumber zink dikonsumsi sebesar 14.3±21.5 dan 38.1±70.9 g/hari, sedangkan yoghurt merupakan sumber kalsium dikonsumsi rata-rata 22.5±33.0 g/hari (Tabel 11).

Perbedaan Jumlah Konsumsi Pangan Berdasarkan Kategori z-score TB/U

Pola konsumsi pangan berbeda menurut status z-score TB/U anak, untuk melihat perbedaan pola konsumsi dari tiap kelompok pangan, anak dikelompokkan berdasarkan status z-score <-1 SD yaitu kelompok anak yang berisiko mengalami keterlambatan pertumbuhan linier karena mengarah ke -2 SD dan kelompok anak dengan status z-score ≥-1 SD. Tinggi badan rata-rata anak pada kelompok status z-score <-1 SD adalah 103.7±2.9 cm sedangkan pada kelompok status z-score ≥-1 SD adalah 111.4±3.9 cm.

Pada kelompok pangan hewani diketahui rata-rata konsumsi pangan hewani anak sebesar 112.8±82.7 g/hari. Konsumsi pangan hewani pada anak dengan status z-score ≥-1 SD sebesar 121.8±88.2 g/hari, jumlah ini lebih banyak dibandingkan anak dengan status z-score <-1 SD yaitu 80.4±48.3 g/hari. Tidak jauh berbeda dengan kelompok pangan hewani, kelompok pangan serealia, pangan nabati, jajanan serta susu dan olahannya umumnya dikonsumsi lebih banyak pada anak dengan nilai z-score ≥-1 SD. Perbedaan konsumsi terdapat pada kelompok sayur dan buah. Kelompok sayur dan buah dikonsumsi lebih banyak pada anak dengan nilai z-score <-1 SD yaitu sebesar 138.1±88.8 g/hari, sedangkan pada anak dengan nilai z-score ≥-1 SD sebesar 118.1±97.7 g/hari (Tabel 12). Tabel 12 Perbedaan Jumlah Konsumsi Pangan Berdasarkan Kategori z-score

TB/U (g/kap/hari) No Kelompok

Pangan

Z-score TB/U (mean±SD) Rata-rata <-1SD (103.7±2.9) ≥-1 SD (111.4±3.9)

1 Serealia 139.5±40.6 170.2±45.1* 163.5±45.6

2 Pangan hewani 80.4±48.3 121.8±88.2* 112.8±82.7

3 Pangan nabati 33.4±20.8 57.4±69.7 52.2±63.1

4 Sayur dan buah 138.1±88.8 118.1±97.7 122.5±95.6 5 Susu dan olahan 117.8±79.6 242.6±176.1** 215.5±167.8

6 Jajanan 44.3±45.4 64.5±73.9 60.1±68.9

Ket : **=sig pada (p<0.01), *=sig pada (p<0.05).

(35)

21 yang mempunyai status z-score TB/U lebih baik (≥-1 SD) mengkonsumsi lebih banyak pangan hewani, susu dan olahannya serta serealia.

Pangan hewani merupakan sumber protein dengan mutu terbaik. Mutu protein makanan ditentukan salah satunya oleh komposisi dan jumlah asam amino esensial penyusunnya. Pangan hewani mengandung asam amino esensial lebih lengkap dan lebih banyak dibandingkan pangan nabati, karena itu pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati. Protein yang berasal dari hewani berperan dalam pertumbuhan linier dan pencegahan stunting (Kemenkes 2014).

Susu dan hasil olahannya merupakan sumber kalsium yang utama. Kebiasaan mengonsumsi pangan sumber kalsium dapat memberikan cadangan kalsium yang cukup yang diperlukan dalam pertumbuhan dan pembentukan tulang yang tercermin pada densitas tulang dan ukuran tulang termasuk tinggi badan (Zulianti 2008). Serealia merupakan pangan sumber zink yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah, hal ini disebabkan karena kandungan fitat dan serat yang tinggi sehingga menghambat absorpsi zink (Mann & Truswell 2007).

Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink

Tingkat kecukupan gizi adalah persentase asupan energi dan zat gizi yang dikonsumsi anak dibandingkan dengan angka kecukupan yang sudah dikonversi sesuai berat badan dan tinggi badan masing-masing anak. Secara umum rata-rata asupan energi anak laki-laki dan perempuan masih dibawah angka kebutuhan tiap anak. Kebutuhan energi berbeda untuk tiap individu, tergantung pada jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan serta aktivitas anak.

Tabel 13 Tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink contoh

Zat Gizi Laki-laki Perempuan Rata-rata

(36)

22

dan anak perempuan 1145.8±382.7 kkal/hari (Tabel 13), setelah dikategorikan berdasarkan tingkat kecukupannya diketahui sebanyak 53.7% anak mengalami defisit energi berat, 15.9% defisit sedang, 17.4 defisit ringan serta 13% anak tingkat kecukupan energinya normal (Tabel 14).

Asupan protein baik anak laki-laki maupun perempuan sudah baik bahkan melebihi angka kebutuhan protein per individunya. Rata-rata asupan protein anak laki-laki sebesar 49.8±17.1 g/hari dan perempuan 40.9±16.5 g/hari, sedangkan rata-rata kebutuhan protein anak sebesar 34.4±6.5 g/hari. Lebih dari separuh anak (53.6%) tingkat kecukupan proteinnya dikategorikan lebih dan 26.1% nya masih normal (Tabel 14). Tidak jauh berbeda dengan tingkat kecukupan protein, rata-rata tingkat kecukupan zink anak sudah melebihi kecukupan yang dianjurkan. Sebanyak 76.8% kecukupan zink anak dikategorikan cukup dan 23.2% nya masih dikategorikan kurang.

Tingkat kecukupan protein dan zink yang tinggi ini terlihat dari seringnya anak mengkonsumsi pangan sumber protein dan zink berdasarkan frekuensi konsumsi pangan (Tabel 10). Jenis pangan sumber protein dan zink yang paling sering dikonsumsi adalah tepung susu, ayam, telur ayam, dan tempe. Tepung susu megandung 21.6 g protein dan 3.5 mg zink/ 100 g nya, ayam mengandung 26.9 g protein dan 1.8 mg zink/ 100 g nya sedangkan tempe mengandung 19 g protein dan 1.8 mg zink/ 100 g nya.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink

Tingkat konsumsi Zat Gizi Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

(37)

23 tingkat kecukupan kalsiumnya cukup, sedangkan 43.5% masih dikategorikan kurang (Tabel 14).

Hubungan Karakteristik Keluarga serta Tingkat Kecukupan Protein, Kalsium dan Zink dengan Pertumbuhan Linier Anak

Tingkat kecukupan energi, kalsium dan zink, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu serta pendapatan keluarga berhubungan signifikan (p<0.01) dan (p<0.05) dengan pertumbuhan linier anak. Hal ini menandakan bahwa selain faktor gizi dan sosial ekonomi, faktor genetik juga turut menentukan tinggi badan seorang anak. Amigo et al. (2001) menyatakan faktor genetik berupa tinggi badan orang tua sedikitnya memberikan dampak terhadap laju pertumbuhan anak.

Tabel 15 Nilai koefisien korelasi hubungan antar peubah Peu

bah

Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

Y 1

X1 0.28* 1

X2 0.22 0.62** 1

X3 0.24* 0.41** 0.46** 1

X4 0.51** 0.48** 0.61** 0.32* 1

X5 0.24* 0.11 0.06 0.03 0.27* 1

X6 0.34** 0.11 0.10 -0.08 0.38** -0.02 1

X7 0.27* 0.08 0.24* 0.24* 0.35** -0.07 0.20 1

X8 0.26* 0.05 0.17 0.10 0.34** 0.02 0.25* 0.58* 1

X9 0.34* 0.25* 0.33* 0.00 0.37** 0.11 0.28* 0.26* 0.49* 1

Ket : Y=Z-score TB/U, X1=TKE, X2=TKP, X3=TKCa, X4=TKZn, X5=tinggi ibu, X6=tinggi ayah,

X7= pendidikan ayah, X8= pendidikan ibu, X9=pendapatan orang tua, **=sig (p<0.01), *=sig

(p<0.05).

Nilai koefisien korelasi (r) peubah tinggi badan ibu dan tinggi badan ayah berturut-turut adalah 0.24 dan 0.34. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian lain yang mengemukakan bahwa tinggi badan anak dipengaruhi oleh tinggi badan orang tua khususnya tinggi badan ibu. Arnelia (2011) menyatakan ada kaitan antara tinggi badan ibu dengan pencapaian pertumbuhan linier pada anak (p<0.01). Hayati (2013) juga menyebutkan bahwa anak yang lahir dari ibu pendek (<145 cm) berisiko mengalami stunting 1.68 kali dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Dekker et al. (2010) yang meneliti >3200 anak umur 5 -12 tahun di Kolombia menyebutkan anak dari ibu dengan tinggi badan di kuartil tertinggi (≥162 cm) memiliki risiko 78% lebih rendah untuk mengalami stunting dibandingkan anak dari ibu dengan tinggi badan terpendek (<154 cm) (p<0.0001).

(38)

24

linier. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Solihin et al. (2013) pada anak umur 3-5 tahun di wilayah Cibanteng Bogor yang menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi berhubungan positif signifikan dengan tinggi badan balita, semakin baik tingkat kecukupan energi balita, semakin baik pula status tinggi badannya. Setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan energi balita, akan menambah z-score TB/U balita sebesar 0.032 satuan.

Tingkat kecukupan protein tidak berhubungan signifikan (p>0.05) dengan pertumbuhan linier anak dengan nilai (r=0.22). Lebih dari separuh anak (53.6%) tingkat kecukupan proteinnya pada kategori lebih, artinya asupan protein sebagian besar anak sudah melebihi kebutuhan protein menurut kelompok umurnya sehingga secara statistik tidak berhubungan. Rata-rata kebutuhan protein anak sebesar 34.4±6.5 g/hari, namun asupan protein baik pada anak laik-laki maupun perempun sudah melebihi angka kebutuhannya dengan rata-rata 45.4±16.8 g/hari. Perhitungan kebutuhan protein anak didasarkan pada kebutuhan protein per kilogram berat badan menurut umur dan jenis kelamin serta mutu protein dalam pola konsumsi pangannya (Kemenkes 2014).

Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Lestari (1998) yang menunjukkan tingkat kecukupan protein berhubungan signifikan (p<0.05) dengan tinggi badan anak. Hoppe (2004) juga menyebutkan asupan protein berhubungan kuat dengan ukuran tubuh (tinggi dan berat badan), namun penelitian Willey (2009) yang mengevaluasi hubungan konsumsi susu dengan tinggi badan anak prasekolah di Amerika menyebutkan total protein tidak berhubungan dengan tinggi badan anak. Penelitian Hanum (2014) juga menemukan kecukupan protein berhubungan negatif dengan status gizi TB/U balita (p<0.05, r=-0.22), hal ini diduga karena penggunaan protein tersebut belum memadai dan efisien untuk pertumbuhan linier, ditemukan ada anak yang postur tinggi badannya normal namun mengalami defisiensi protein, sebaliknya ditemukan anak pendek namun mempunyai asupan protein yang baik. Konsumsi protein tidak secara langsung berhubungan dengan tinggi badan namun merupakan gambaran asupan pangan pada masa lampau.

Tingkat kecukupan kalsium berhubungan signifikan dengan pertumbuhan linier anak (p<0.05, r=0.24). Susu merupakan penyumbang kalsium harian terbesar dari diet anak. Gropper (2009) menyebutkan sumber kalsium terbaik adalah susu dan hasil olahannya. Berdasarkan frekuensi konsumsi pangan (Tabel 10) terlihat pangan yang sering dikonsumsi anak adalah tepung susu dengan rata-rata konsumsi 4.8±8.0 kali/minggu. Penelitian ini sejalan dengan Zulianti (2008) yang menyebutkan terdapat hubungan yang nyata antara frekuensi minum susu dan jumlah susu yang dikonsumsi dengan status tinggi badan, begitu juga Ernawati (2013) yang menyimpulkan bahwa anak yang setiap hari minum susu lebih tinggi daripada anak yang tidak setiap hari minum susu (p<0.05). Willey (2009) menyatakan total kalsium mempunyai efek positif pada tinggi badan (p<0.01). Kalsium berperan dalam pertumbuhan linier khususnya dalam pembentukan tulang. Asupan kalsium yang optimal penting untuk menunjang pertumbuhan. Tulang menjadi lebih kuat dan lebih padat pada anak– anak yang sedang tumbuh (Almatsier 2006).

(39)

25 sintesis DNA dan RNA, metabolisme alkohol, pembentukan tulang, keseimbangan asam basa, fungsi imun, reproduksi, pertumbuhan dan perkembangan (Bredbenner et al. 2009). Penelitian tentang peranan zink terhadap pertumbuhan linier telah banyak dikembangkan dan umumnya berupa suplementasi. Rivera et al. (1998) menemukan efek positif suplementasi zink terhadap pertumbuhan linier pada anak. Anak-anak yang menerima suplemen zink memiliki selisih panjang rata-rata 0.75 cm lebih tinggi dibanding yang tidak menerima suplementasi. Walravens et al. (1992) juga memberikan suplementasi zink pada anak yang lahir dari keluarga imigran berpenghasilan rendah di Prancis berumur 4-9 bulan. Skor perhitungan tinggi badan menurut umur pada balita yang diberi suplementasi berada diatas nilai referensi NCHS.

Karakteristik keluarga berupa pendidikan ayah, pendidikan ibu dan pendapatan keluarga juga berhubungan signifikan (p<0.05) dengan pertumbuhan linier anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Mahmood (2001) yang menunjukkan stunting pada anak berhubungan kuat dengan pendidikan ayah (p<0.001). Girma et al (2002) yang meneliti determinan status gizi wanita dan anak di Ethiopia menyebutkan prevalensi stunting paling tinggi terjadi pada anak dari rumah tangga yang sangat miskin (p<0.001).

Faktor Risiko Mengalami Keterlambatan Pertumbuhan Linier

Risiko mengalami kependekan atau nilai z-score yang mengarah ke -2 SD tertera pada (Tabel 16). Anak dikelompokkan berdasarkan status nilai z-score TB/U <-1SD dan ≥-1 SD. Tingkat kecukupan kalsium, zink serta tinggi badan ayah berhubungan signifikan dengan pertumbuhan linier anak. Anak yang tingkat kecukupan kalsiumnya kurang (<77% AKG) mempunyai kemungkinan 0.696 kali mempunyai nilai z-score yang rendah <-1 SD dibandingkan anak yang tingkat kecukupan kalsiumnya cukup (≥77% AKG).

Tabel 16 Analisis bivariat berbagai peubah dengan nilai z-score TB/U

Peubah Kategori <-1 SD ≥1 SD P OR

n % n %

TKE kurang 14 100.0 46 83.6

0.187 0.767

cukup 0 0.0 9 16.4

TKP kurang 5 35.7 9 16.4

0.108 2.840

cukup 9 64.3 46 83.6

TKCa kurang 14 100.0 32 58.2

0.003 0.696

cukup 0 0.0 23 41.8

TKZn kurang 9 64.3 7 12.7

0.000 12.343

cukup 5 35.7 48 87.3

Tinggi ibu <155 cm 3 21.4 4 7.3

0.117 3.477

≥155 cm 11 78.6 51 92.7

Tinggi ayah <165 cm 6 42.9 6 10.9

0.005 6.125 >165 cm 8 57.1 49 89.1

Total 14 20.3 55 79.7

(40)

26

yang tingkat kecukupan zinknya cukup (≥77% AKG). Tinggi badan ayah juga berhubungan dengan pertumbuhan linier anak. Tinggi badan ayah <165 cm mempunyai kemungkinan 6.125 kali mendapatkan nilai z-score TB/U <-1 SD. Penelitian hubungan tingkat kecukupan protein, kalsium dan zink dengan pertumbuhan linier anak TK ini memiliki beberapa keterbatasan karena hanya dilakukan pada skala kecil dengan jumlah keseluruhan contoh sebanyak 69 anak, diperlukan jumlah contoh yang lebih besar untuk melihat faktor risiko dan determinan penyebab keterlambatan pertumbuhan linier pada anak-anak.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sebanyak 91.3% anak mempunyai status gizi baik, 4.4% anak tergolong stunting, 14.5% lahir pendek (<48 cm), 4.4% BBLR (<2500 g), 76.8% skor morbiditasnya baik (0-19) dengan penyakit terbanyak ISPA. Median tinggi badan ayah 170 cm, median tinggi badan ibu 169 cm dan sebagian besar berasal dari golongan ekonomi menengah keatas. Pangan sumber protein, kalsium dan zink yang sering dikonsumsi yaitu telur ayam, tepung susu, kecap ayam, susu kental manis, yoghurt dan tempe. Pangan yang jarang dikonsumsi berupa tutut, hati sapi, dan kerang.

Asupan energi dan kalsium anak umumnya masih dibawah AKG yang dianjurkan. Sebanyak 53.6% anak tingkat kecukupan proteinnya lebih, 33.3% tingkat kecukupan kalsium cukup serta 76.8% anak tingkat kecukupan zink dikategorikan cukup. Tingkat kecukupan energi, kalsium dan zink berhubungan signifikan (p<0.01) dan (p<0.05) dengan pertumbuhan linier anak, selain itu tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu serta pendapatan keluarga juga turut berhubungan signifikan dengan pertumbuhan linier anak. Tingkat kecukupan kalsium dan zink yang kurang (<77% AKG) serta tinggi badan ayah <165 cm berisiko terhadap pertumbuhan linier yang rendah (z-score TB/U <-1 SD) pada anak dengan OR berturut-turut 0.696, 12.343 dan 6.125.

Saran

Protein, kalsium dan zink merupakan zat gizi yang penting untuk mendukung pertumbuhan linier. Sumber terbaik dari ketiga zat gizi ini adalah pangan hewani karena mempunyai kandungan asam amino yang lengkap dan mudah diserap oleh tubuh. Pertumbuhan dan penambahan massa otot hanya mungkin terjadi bila tersedia cukup campuran asam amino yang sesuai bagi tubuh. Jenis pangan hewani yang baik meliputi telur, ikan, ayam, daging sapi, aneka seafood serta susu dan hasil olahannya.

(41)

27 riwayat pemberian ASI dan MP-ASI, diharapkan juga dilakukan penelitian mengenai pengaruh stunting terhadap perkembangan kognitif, motorik dan inteligensi anak.

DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 2000. 4th Report-The world nutrition situation; Nutrition throughout the life cycle, Geneva.

Aerts D, de Lourdes M, Giugliani ERJ. 2004. Determinants of growth retardation in southern Brazil. Cad.Saúde Pública, Rio de Janeiro. 20(5):1182-1190. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka

Utama.

Amigo H, Bustos P, Leone C, Radrigan ME. 2001. Growth deficits in chilean school children. J Nutr. 131: 251-254

Andiani. 2013. Faktor determinan stunting pada anak umur 0-59 bulan di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Arnelia. 2011. Karakteristik remaja dengan riwayat gizi buruk dan pendek pada umur dini. JGP. 6(1): 42-50.

Anugraheni HS, Kartasurya MI. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada 12-36 bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. JNC. 1(1): 30-37.

Astari LD. 2006. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting balita umur 6-12 bulan di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Astawan M. 2005. Proses UHT: Upaya penyelamatan gizi pada susu [Intenet]. [diunduh 2014 Sept 01]. Tersedia pada : http://-www.waspada.co.id/ pustaka_serbi/kesehatan/artikel.php?article_id=61177.

Bredbenner CB, Moe G, Beshgettor D, Berning J. 2009. Wardlaw’s Perspective in Nutrition Eight Edition. New York (US) : McGraw-Hill.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Nasional. 2011. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2011–2015 [Internet]. [diunduh 2014 Mar 25]. Tersedia pada : http://www.bappenas.go.id/files/4613/5228/2360/ran-pg-2011-2015.pdf. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2007. Acuan

Label Gizi Produk Pangan [Internet]. [diunduh 2014 Mei 15]. Tersedia pada : https:// extranet. who.int/nutrition/gina/ sites/default/files.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Pengawasan klaim dalam label dan iklan pangan olahan [Internet]. [diunduh 2014 Mei 15]. Tersedia pada : https:// extranet. who.int/nutrition /gina/ sites/default/files.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Statistics). Jakarta (ID) : BPS.

Dahlan MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta (ID): Penerbit Salemba Medika.

(42)

28

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Depkes RI.

[Depkes RI]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmeceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta (ID): Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Republik Indonesia.

Ernawati. 2013. Hubungan konsumsi susu dengan tinggi badan anak sekolah TK [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Gibson, RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York (US) : Oxford University.

Girma W et al. 2002. Determinants of the nutritional status of mothers and children in Ethiopia. Maryland (US) : ORC Macro.

Gropper S, Smith. 2009. Advance nutirtion and human metabolism six edition. (US) : Yolanda Coslo.

Hanum F, Khomsan A, Heryatno Y. 2014. Hubungan asupan gizi dan tinggi badan ibu dengan status gizi anak balita. JGP. 9(1) : 1-6.

Hautvast J, Tolboom J, Kafwembe EM, Musonda RM, Mwanakasale V, van Staveren WA, van t’Hof M, Sauerwein RW, Williems JL, Monnens L. 2000. Severe linear growth retardation in rural Zambian children: the influence of biological variables1-3. Am J Clin Nutr. 71:550-9.

Hayati, AW. 2013. Faktor–faktor resiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0 – 23 bulan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hoppe C, Molgaard C, Michaelsen KF. 2006. Cow's milk and linear growth in industrialized and developing countries. Am J Clin Nutr. 26:131-173.

Hurlock EB. 1998. Perkembangan Anak Edisi ke-6. Jakarta (ID): Erlangga

[Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Kemenkes RI.

Koch A, MØlbak K, HomØe P, Sørensen P, Hjuler T, Olesen ME, Pejl J, Pedersen FK, Olsen OR, Melbye M. 2003. Risk factors for acute respiratory tract infections in young greenlandic children. AMJ Epidemiol. 158: 374-384. doi:10.1093/aje/kwg143.

Kusharisupeni. 2006. Peran status kelahiran terhadap stuntingpada bayi: sebuah studi prospektif. J kedokteran Trisakti. 23 (3):73-80.

Lestari S. 1998. Hubungan antara konsumsi energi dan protein dengan tinggi badan pada anak kelas 2 SLTP (studi kasus di SMP N 3 dan SMP Muhammdiyah kodya Semarang) [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Mahmood MA. 2001. Determinants of growth retardation in pakistani children under five years of age. The Pakistan Development Review 40(4):1009– 1031.

Mahyar A, Ayazi P, Fallahi M, Javadi THS, Fakhondehmehr B, Javadi A, Kalantari Z. 2010. Prevalence of underweight, stunting and wasting among children in Qazvin, Iran. Iranian Journal Of Pediatrick Society. 2:37-43. Madanijah S. 2003. Model pendidikan ―GI -PSI -SEHAT‖ bagi ibu serta

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein,
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Klaim kandungan protein, kalsium dan zink dalam bahan pangan
Tabel 5 Jenis peubah dan pengkategorian data penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skor APRI dengan derajat keparahan sirosis hati yang diukur berdasarkan skor Child Turcotte di RSUD

Pengamatan dalam penelitian tindakan kelas V ini dilakukan oleh teman sejawat yang telah bersedia untuk menjadi observer dalam penelitian tindakan ini,

c. Dalam persoalan pengelolaan keuangan desa, azas medebewind tentunya mempunyai faktor pendukung dan penghambat. Karena Tugas pembantuan mengacu pada pemberian

Elevator : Merupakan klem (penjepit) yang ditempatkan (digantungkan) pada salah satu sisi travelling block atau hook dengan elevator links, berfungsi untuk menurunkan atau

1) Terdapat 9 unit TPS di Kecamatan Andir yang tersebar di 3 dari 6 keluarahan, yaitu Kelurahan Campaka (TPS Babakan Cianjur), Kelurahan Ciroyom (TPS 3R Pasar Ciroyom, TPS

Hingga saat ini, Kelas Inspirasi telah diselenggarakan oleh ribuan relawan di 119 kota di Indonesia dan menjadi salah satu pilar gerakan Indonesia Mengajar yaitu keterlibatan

Tujuan dari Kelas Inspirasi ini ada dua, yaitu menjadi wahana bagi sekolah dan siswa untuk belajar dari para profesional, serta agar para profesional, khususnya kelas

Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara goal-setting dan motivasi berprestasi dengan prestasi atlet renang, maka atlet renang dapat