• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kualitas Pernikahan Dan Kesejahteraan Keluarga Terhadap Lingkungan Pengasuhan Pada Keluarga Menikah Usia Muda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kualitas Pernikahan Dan Kesejahteraan Keluarga Terhadap Lingkungan Pengasuhan Pada Keluarga Menikah Usia Muda"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KUALITAS PERNIKAHAN DAN

KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP LINGKUNGAN

PENGASUHAN PADA KELUARGA MENIKAH USIA MUDA

FATMA PUTRI SEKARING TYAS

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kualitas Pernikahan dan Kesejahteraan Keluarga terhadap Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

FATMA PUTRI SEKARING TYAS. Pengaruh Kualitas Pernikahan dan Kesejahteraan Keluarga terhadap Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda. Dibimbing oleh TIN HERAWATI.

Keluarga menikah muda adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan pernikahan darah atau adopsi yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya dimana salah satu atau sepasang suami istri menikah dengan usia di bawah 20 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas pernikahan kesejahteraan keluarga, terhadap lingkungan pengasuhan pada keluarga. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang menikah muda dan mempunyai anak usia 0-6 tahun yang diambil secara purposive sampling sebanyak 70 orang di Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Bogor. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan istri menggunakan kuesioner. Hasil menunjukkan bahwa kualitas pernikahan, kesejahteran objektif, dan kesejahteraan subjektif berhubungan positif sangat signifikan dengan lingkungan pengasuhan. Faktor yang berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas lingkungan pengasuhan adalah lama menikah, usia menikah istri, kualitas pernikahan, dan kesejahteraan subjektif.

Kata kunci: kesejahteraan keluarga, kualitas pernikahan, lingkungan pengasuhan anak, dan menikah usia muda

ABSTRACT

FATMA PUTRI SEKARING TYAS. The Effect of Marriage Quality and Family Wellbeing toward the Parenting Environment in Early Marriage Family. Supervised by TIN HERAWATI.

Early marriage family are united people by blood or adoption, consisting of husband, wife, children, and other family members in which wife, husband or both of them married at the age under 20 years old. The purpose of this study was to analyze the effect of marriage quality, family wellbeing, toward the parenting environment. Sample of this study were 70 families married under 20 years old with children aged 0-6 years old selected by purposive sampling in the Tegal Waru village and Cihideung Udik village, District Ciampea, Bogor. Data were collected by interview with wife using questionnaire. The results showed that marriage quality, objective wellbeing, and subjective wellbeing had very significant positive correlation with the parenting environment. The effected positive significant factor toward quality of the parenting environment were the length of marriage, wife age of marriage, marriage quality, and subjective wellbeing.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

PENGARUH KUALITAS PERNIKAHAN DAN

KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP LINGKUNGAN

PENGASUHAN PADA KELUARGA MENIKAH USIA MUDA

FATMA PUTRI SEKARING TYAS

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul, Pengaruh Kualitas Pernikahan dan Kesejahteraan Keluarga terhadap Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda. Pernikahan adalah peristiwa sakral yang terjadi pada pasangan suami istri yang menjujung tinggi nilai adat dan agama yang beraneka ragam. Melalui pernikahan diharapkan dapat membangun keluarga yang aman, damai, sejahtera, dan bahagia sehinga pertumbuhan dan perkembangan generasi selanjutnya berkualitas. Pernikahan usia muda merupakan pernikahan yang dilihat dari segi umur masih belum cukup atau belum matang dimana salah satu atau keduanya menikah di bawah usia 20 tahun.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Tin Herawati, SP, MSi selaku dosen pembimbing, Neti Hernawati, SP, MSi selaku dosen penguji, Alfiasari, SP, MSi selaku pemandu seminar serta Dr Ir Istiqlaliyah Muflikhati, MSi selaku dosen pembimbing akademik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak dan keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, seluruh staf dan pengajar Departemen Ilmu keluarga dan Konsumen. Sahabat yang selalu memberikan dukungan dan semangat Lely Trijayanti, Ida Musyidah, Rian Prakosa, Fina Fatihur, teman-teman satu bimbingan Nafi Endah, Inne Nur, Nikita F, dan IMPATA serta teman-teman Ilmu Keluarga dan Konsumen 48 lainnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

KERANGKA PEMIKIRAN 4

METODE 5

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 6

Contoh dan Teknik Penarikan Contoh 6

Jenis, Cara Pengumpulan Data dan Cara Pengukuran Variabel 6

Pengolahan dan Analisis Data 8

Definisi Operasional 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Hasil 11

Pembahasan 23

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 33

(12)

DAFTAR TABEL

1. Variabel, skala, dan pengolahan data 7

2. Sebaran Usia Menikah 12

3. Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendidikan 12 4. Sebaran keluarga berdasarkan kategori jenis pekerjaan 13 5. Sebaran keluarga berdasarkan kategori besar keluarga 13 6. Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan per kapita 13 7. Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia anak 14 8. Sebaran keluarga berdasarkan kategori lama menikah 14 9. Sebaran keluarga berdasarkan kategori kualitas pernikahan 16 10.Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan objektif 17 11.Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan subjektif 18 12.Sebaran keluarga berdasarkan kategori komponen lingkungan

pengasuhan 21

13.Sebaran koefisien korelasi antar variabel-variabel penelitian 22 14.Pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan

keluarga terhadap kualitas lingkungan pengasuhan anak 23

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka berfikir pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga,

terhadap lingkungan pengasuhan 5

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sebaran keluarga berdasarkan dimensi kebahagiaan pernikahan 33 2. Sebaran keluarga berdasarkan dimensi kepuasaan pernikahan 34 3. Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan objektif (BLT) 35 4. Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan subjektif 35 5. Sebaran keluarga berdasarkan lingkungan pengasuhan 0-36 bulan 36 6. Sebaran keluarga berdasarkan lingkungan pengasuhan 37-72 bulan 37 7. Hasil uji korelasi karakteristik keluarga, kualitas pernikahan,

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pernikahan merupakan gerbang pertama yang dilewati oleh dewasa muda untuk memulai kehidupan. Menurut UU Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1, pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut WHO (2006) pernikahan muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang berusia di bawah 19 tahun. Pernikahan usia muda menurut BKKBN (2012) adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia 20 tahun. Menurut Susenas (2010) rata-rata usia pernikahan pertama di Indonesia 17 tahun dan rata-rata-rata-rata usia pernikahan di daerah perkotaan 20 tahun serta di daerah pedesaan 18 tahun. Tingginya rata-rata usia pernikahan di daerah perkotaan, dikarenakan tingginya partisipasi perempuan dalam karir dan pekerjaan sehingga menunda usia pernikahan. Menurut BKKBN (2012) penyebab pernikahan muda diantaranya status ekonomi dan pendidikan yang rendah, budaya nikah muda, pernikahan yang dipaksa, dan seks bebas. Penelitian Agustian (2013) menyebutkan pernikahan muda erat dengan masalah ekonomi keluarga seperti anggapan seorang anak perempuan itu memberatkan orang tua, ketika anak perempuan telah menikah maka beban ekonomi orang tua akan berkurang. Selain masalah ekonomi, faktor yang lain adalah pendidikan, orang tua, media massa, sosial budaya, dan pergaulan bebas. Pernikahan yang dilangsungkan pada usia remaja umumnya akan menimbulkan banyak masalah baik secara fisiologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Faktor budaya juga memengaruhi tingginya pernikahan muda. Alfianti (2010) menyatakan penyebab pernikahan muda adalah faktor lingkungan sosial budaya, adanya pandangan dari masyarakat jika seorang gadis sudah dewasa belum mendapatkan jodoh akan dianggap tidak laku atau perawan tua.

Dampak pernikahan usia muda lebih tampak pada remaja putri dibandingkan remaja laki-laki. Usia pernikahan yang cenderung masih muda akan rawan terjadi keguguran dikarenakan keadaan rahim yang belum sempurna (Fadlyana dan Larasaty 2009). Selain itu, kasus perceraian juga banyak terjadi dikarenakan keadaan psikologis yang belum matang dan belum dapat mengambil keputusan dengan baik. Permasalahan ekonomi pada pasangan suami istri menikah disebabkan kurangnya persiapan materi. Menurut BKKBN (2012) dampak yang terjadi seperti kasus drop out sekolah tinggi, KDRT, peluang kematian ibu tinggi, lama sekolah rendah, dan hak kesehatan reproduksi rendah. Menurut Tsania (2014) ibu yang menikah muda belum memiliki kesiapan dalam menjalankan fungsi pengasuhan sehingga menyebabkan perkembangan anak terlambat.

(14)

2

ingin melanjutkan masa depan untuk meraih cita-citanya. Hal itu menunjukkan rendahnya kualitas penduduk yang berdampak pada kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga serta lingkungan pengasuhan anak.

Permasalahan ekonomi yang terjadi pada pasangan menikah muda dapat memengaruhi kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga. Permasalahan ekonomi sering dikaitkan dengan kemiskinan berdasarkan atas perbandingan antara pendapatan dan garis kemiskinan. Apabila suatu keluarga berpendapatan di bawah garis kemiskinan dipastikan tidak dapat memenuhi kebutuhan secara materi, sehingga digolongkan keluarga miskin (BPS 2014). Hasil penelitian Sumarwan et al. (2006) menyatakan keluarga yang mempunyai pendapatan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan keluarga dengan pendapatan rendah. Semakin rendah tekanan ekonomi yang dirasakan ibu, maka semakin baik derajat kualitas pernikahannya, atau dengan kata lain keluarga yang mempunyai kondisi finansial yang aman, relatif tidak sering mengalami konflik. Menurut Tati (2004) keluarga akan memperoleh kebahagiaan apabila mempunyai uang yang cukup. Penelitian Moen dan Elder (1983) menunjukkan kesejahteraan keluarga perlu adanya pengelolaan ekonomi rumah tangga yang efektif terutama dalam penggunaan sumberdaya keluarga yang ada, guna pemenuhan kebutuhan hidup. Pertengkaran terjadi dikarenakan masalah keuangan. Hal ini terjadi terutama pada golongan ekonomi menengah ke bawah, karena kurangnya dana yang dibutuhkan. Dengan demikian kebahagiaan akan tercapai apabila pasangan suami istri dapat menyesuaikan dan mengelola uang dengan baik.

Menurut Glaser et al. (1995) pertengkaran suami istri dapat menyebabkan kualitas pernikahan menurun. Hasil penelitian Sunarti et al. (2005) menunjukkan hubungan tekanan ekonomi keluarga berkaitan erat dengan kualitas pernikahan, sementara kualitas pernikahan berkaitan erat dengan salah satunya praktek pengasuhan anak. Menurut Rizkillah (2014) kualitas lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh kualitas pernikahan, pendidikan istri, dan besar keluarga. Menurut Allendorf dan Ghimire (2012) pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dan konsisten dengan kualitas pernikahan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula kualitas pernikahan yang dicapai.

Sebagian masyarakat belum menyadari dampak yang terjadi apabila seseorang menikah usia muda. Penelitian terdahulu mengenai pernikahan usia muda lebih banyak mengkaji dampak menikah usia muda dibidang kesehatan. Oleh karena itu, masih diperlukan informasi dan pengetahuan untuk mengetahui kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan anak pada keluarga yang menikah usia muda.

Perumusan Masalah

(15)

3 positif antara pendidikan dan usia menikah. Ambrus dan Field (2008) menunjukkan bahwa gadis di pedesaan Banglades apabila dipaksa untuk menunda pernikahan maka tingkat pendidikan akan meningkat. Faktor yang menyebabkan pernikahan usia muda adalah rendahnya pendidikan dan rendahnya keadaan sosial ekonomi (Darnita 2013). Menurut BPS (2012), Kabupaten Bogor mempunyai jumlah penduduk miskin lebih tinggi (10.8%) dibandingkan Kota Bogor (8.8%). Hal ini yang menjadi penyebab dan permasalahan usia muda. Pernikahan muda biasa terjadi di masyarakat pedesaan hal ini dikarenakan golongan ekonomi menengah kebawah yang beban pembagian peran dan tanggung jawab keluarga terhadap perempuan lebih banyak dan lebih besar dibandingkan keluarga suami. Di perkotaan pernikahan muda umumnya sering terjadi karena kecelakaan (married by accident) akibat salah pergaulan yang dilakukan oleh remaja (Abdullah et al. 2009)

Tingkat pernikahan muda diduga berhubungan dengan angka perceraian. Menurut Tsania (2014) pernikahan usia muda berdampak pada kemandirian dari pasangan tersebut masih rendah, masih rawan, dan masih belum stabil sehingga dapat menyebabkan banyak terjadi perceraian. Berdasarkan data dari Kementrian Agama (2013) angka perceraian di Indonesia meningkat menjadi 14.6% atau sebanyak 372 577 pasangan. Angka perceraian di Kabupaten Bogor cukup tinggi. Menurut Pengadilan Agama (PA) Cibinong (2014) sedikitnya terdapat 500 berkas pengajuan permohonan perceraian dan 40 sidang perceraian dilangsungkan setiap harinya. Penyebab perceraian sangat beragam antara pasangan yang satu dengan yang lainnya. Menurut Pujiastuti dan Lestari (2008) di beberapa negara di dunia, faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya perceraian adalah kegagalan suami istri dalam menjalankan kewajibannya, lemahnya dasar keagamaan, masalah seksual, masalah keuangan dan karir, kurangnya komitmen pada pernikahan, komunikasi yang buruk, serta rendahnya konflik.

Kualitas pernikahan dapat ditentukan dari kebahagian dan kepuasan dalam pernikahannya. Kualitas pernikahan merupakan suatu derajat pernikahan yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami istri sehingga dapat menjaga kelestarian pernikahan (Puspitawati 2012). Kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga juga dapat memengaruhi lingkungan pengasuhan bagi anak. Kualitas pernikahan yang tidak baik dapat memberikan kecenderungan pengasuhan yang tidak baik, karena pengasuhan orang tua yang baik dapat terwujud ketika orang tua dapat berinteraksi dengan baik, memberi kasih sayang, dan kehangatan pada anak (Rizkillah 2014). Pasangan suami istri yang menikah usia muda terkadang tidak memikirkan dampak negatif yang akan terjadi (Gunawan 2013). Hal ini dikarenakan usia yang relatif masih muda pasangan suami istri belum dapat memahami dan memaknai arti dari pernikahan dan pengasuhan yang baik untuk anak. Selain itu rendahnya pendidikan pasangan suami istri juga dapat memengaruhi pemaknaan mengenai pernikahan.

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga pada keluarga menikah usia muda?

(16)

4

3. Bagaimana pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga dengan lingkungan pengasuhan pada keluarga menikah muda?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga dengan lingkungan pengasuhan pada keluarga menikah muda.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga pada keluarga menikah usia muda

2. Mengidentifikasi lingkungan pengasuhan anak pada keluarga menikah usia muda

3. Menganalisis pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga terhadap lingkungan pengasuhan pada keluarga menikah usia muda

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat sebagai bahan masukan mengenai kualitas pernikahan, kesejahteraan, dan lingkungan pengasuhan pada keluarga yang menikah usia muda. Bagi keluarga diharapkan dapat memahami bahwa kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan membentuk lingkungan pengasuhan yang baik bagi anak. Hasil penelitian juga diharapkan bermanfaat pemerintah atau instansi terkait sebagai acuan dalam membuat kebijakan dan membangun negara dan untuk pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai fenomena keluarga.

KERANGKA PEMIKIRAN

(17)

5 Salah satu faktor yang memengaruhi kualitas lingkungan pengasuhan adalah kualitas pernikahan. Kualitas pernikahan erat kaitannya dengan pengasuhan anak, dimana lingkungan pengasuhan anak akan dipengaruhi situasi dan kondisi kehidupan keluarga. Kualitas pengasuhan anak dibentuk melalui stimulasi yang diberikan orang tua dan keluarga dalam memberikan kehangatan, suasana penerimaan, pemberian teladan, pemberian pengalaman, dorongan belajar, berbahasa, dan kemampuan akademik. Kualitas lingkungan pengasuhan anak dapat diukur menggunakan Home Observation and Measurement of Enviroment (HOME) yang mengukur beberapa aspek yaitu respon emosi dari pengasuh dan karakteristik lingkungan yang mendukung terhadap ekonomi dan eksplorasi anak. Kualitas lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh pendidikan istri, dan besar keluarga.

Indikator kesejahteraan keluarga dibagi menjadi dua cluster, yaitu kesejahteraan keluarga objektif yang dapat dilihat secara kuantitatif dan kesejahteraan keluarga subjektif yang terlihat secara kualitatif. Tingkat kesejahteraan subyektif keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pendidikan istri dan pendapatan suami. Kesejahteraan keluarga memengaruhi lingkungan pengasuhan, apabila kesejahteraan keluarga rendah berdampak negatif terhadap pengasuhan yang diberikan orang tua.

METODE

Karakteristik keluarga

- Usia suami, usia istri - Lama menikah

- Usia menikah suami, usia menikah istri - Jumlah anggota keluarga

- Lama pendidikan suami dan istri - Pendapatan per kapita

- Pekerjaan suami, pekerjaan istri

Kesejahteraan keluarga: - - Kesejahteraan obyektif - - Kesejahteraan subyektif

Kualitas Pernikahan - Kebahagiaan -Kepuasaan

Kualitas lingkungan pengasuhan

-Tanggap rasa dan kata - Stimulasi belajar

-Penerimaan perilaku anak - Stimulasi bahasa

-Pengorganisasian lingkungan - Lingkungan fisik

-Penyediaan mainan - Kehangatan dan penerimaan

-Keterlibatan ibu - Stimulasi akademik

-Variasi asuhan - Modeling

-Penerimaan - Variasi pengalaman

(18)

6

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul

“Tekanan Ekonomi, Kualitas Pernikahan, Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga, serta Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda”. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu penelitian dilakukan dengan meneliti pada satu waktu tertentu. Pemilihan tempat penelitian di pilih secara purposive, yaitu di Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian di dua desa, yaitu Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea. Kecamatan Ciampea memiliki jumlah pernikahan muda yang tinggi (Kementrian Agama 2013). Informasi tersebut merupakan alat yang digunakan dalam menentukan tempat secara purposive. Waktu penelitian terdiri dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penulisan laporan yang dilakukan dalam jangka waktu Oktober 2014 hingga Mei 2015.

Contoh dan Teknik Penarikan Contoh

Populasi penelitian ini adalah keluarga yang menikah usia muda di Kecamatan Ciampea. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang menikah usia muda dan memiliki anak usia 0-6 tahun. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang menikah usia muda dan memiliki anak usia 0-6 tahun. Teknik penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling. Jumlah contoh yang diambil untuk penelitian ini sebanyak 70 orang. Sumber data dikumpulkan dari Kementrian Agama Kabupaten Bogor, Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciampea, dan tokoh masyarakat di Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik.

Jenis, Cara Pengumpulan Data dan Cara Pengukuran Variabel

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner yang telah diuji reliabilitasnya. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi berupa gambaran umum lokasi penelitian yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Ciampea, data jumlah pasangan menikah dari Kantor Kementrian Agama Kabupaten Bogor, data jumlah pasangan menikah muda dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciampea, serta gambaran umum lokasi penelitian dari setiap desa diperolah dari Kantor Desa Tegal Waru, dan Kantor Desa Cihideung Udik. Data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, meliputi :

1. Karakteristik keluarga contoh (usia suami-istri, usia menikah suami-istri, lama menikah, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan suami istri, pekerjaan suami istri, dan pendapatan per kapita).

(19)

7 3. Kesejahteraan keluarga (kesejahteraan obyektif menggunakan indikator garis kemiskinan BPS (BLT) dan modifikasi Maghfiroh (2014) serta kesejahteraan subyektif menggunakan kuesioner Herawati (2012) dan Puspitawati (2012) dengan nilai Cronbach’s alpha 0.943. Kuesioner kesejahteraan objektif berdasarkan BPS berjumlah 14 kondisi rumah tinggal dan pemenuhan kebutuhan dasar lain seperti pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Kesejahteraan subjektif diukur dari dimensi fisik-ekonomi, sosial, dan psikologis. Kuesioner kesejahteraan subjektif berjumlah 27 item pertanyaan.

4. Lingkungan pengasuhan menggunakan instrumen lingkungan pengasuhan yang diadopsi dari instrument Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) inventory milik Candwell dan Bradley (1984) dalam Hastuti (2014), yang dibagi dalam dua kategori, yaitu :

a. Umur 0-36 bulan, terdiri dari tanggap rasa dan kata, penerimaan, terhadap perilaku anak, pengorganisasian lingkungan anak, penyediaan mainan untuk anak, keterlibatan ibu/ pengasuh terhadap anak dan kesempatan variasi asuhan dengan nilai Cronbach’s alpha 0.944. Kuesioner berjumlah 45 item pertanyaan.

b. Umur 37-72 bulan meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik dengan nilai Cronbach’s alpha 0.989. Kuesioner berjumlah 55 item pertanyaan.

Tabel 1 Variabel, skala, dan pengolahan data

Variabel Skala Pengolahan data

Karakteristik keluarga

Usia suami, istri Rasio Rataan data

Usia menikah suami dan istri Rasio Rataan data

Lama menikah Rasio Rataan data

Jumlah anggota keluarga Rasio BKKBN 2005

1) Keluarga kecil (0-4 orang)

Pekerjaan suami dan pekerjaan istri Nominal 1) PNS

2) Wiraswasta

Pendapatan per kapita Rasio Rataan data

Kualitas pernikahan

Kebahagiaan pernikahan Ordinal Rentang skor = 0-40

(20)

8

Tabel 1 Variabel, skala, dan pengolahan data (Lanjutan)

Variabel Skala Pengolahan data

Kesejahteraan keluarga

Kesejahteraan obyektif Ordinal Kesejahteraan objektif

(BPS 2005) Rentang skor 0-14

1) Sejahtera (<9) 2) Tidak sejahtera (≥9)

Kesejahteraan subyektif Ordinal Kesejahteraan Subjektif

Rentang skor 27-81

Data yang dikumpulkan melalui wawancara, kemudian diolah dan dianalisis melalui Microsoft Excel dan SPSS for windows. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, scoring, dan analisis. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga (usia suami-istri dan usia menikah suami-istri, jenis kelamin anak, lama menikah, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan suami istri, pekerjaan suami istri, dan pendapatan keluarga), kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga dan lingkungan pengasuhan. Analisis inferensia (uji korelasi Spearman untuk variabel kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan, uji regresi linier untuk karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan).

Variabel penelitian selanjutnya diberikan skor penilaian pada setiap pertanyaan kuesioner. Variabel kualitas pernikahan mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi kebahagiaan dan dimensi kepuasan. Pengukuran dimensi kebahagiaan menggunakan pilihan jawaban “ya” dan “tidak” dengan skor (0=ya, 1=tidak). Pengukuran dimensi kepuasan menggunakan pilihan jawaban “ya” dan

(21)

9

menggunakan dua pilihan jawaban “ya” dan “tidak” dengan skor (ya=1, 0=tidak).

Variabel kesejahteraan subyektif menggunakan tiga pilihan jawaban yaitu “tidak puas”, “cukup puas”, dan “puas” dengan skor (1=tidak puas, 2=cukup puas, 3=puas). Variabel lingkungan pengasuhan menggunakan pilihan “ya” dan “tidak” dengan skor (1=ya, 0=tidak). Kemudian skor total dari masing-masing variabel ditransformasikan menjadi skor indeks. Hal ini dilakukan agar memperoleh nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Selain itu, bertujuan untuk menyamakan satuan agar perbandingan pengategorian data setiap variabel seragam (Puspitawati dan Herawati 2013). Indeks dihitung dengan rumus :

Rumus indeks =

Keterangan :

Indeks = skala nilai 0-100

Nilai aktual = nilai yang diperoleh responden

Nilai maksimal = nilai tertinggi yang seharusnya dapat diperoleh responden Nilai minimal = nilai terendah yang seharusnya dapat diperoleh responden

Skor indeks yang dicapai dimasukkan ke dalam kategorikan berdasarkan kelas. Skor dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Untuk menentukan cut off variabel dibutuhkan interval kelas. Rumus interval kelas adalah sebagai berikut (Puspitawati dan Herawati 2013) :

Interval kelas =

Interval kelas untuk variabel kualitas pernikahan dan kesejahteraan subjektif sesuai pengategorian adalah sebagai berikut :

Interval Kelas =

Cut off yang diperoleh untuk pengkategorian adalah sebagai berikut :

1.

Rendah : 0.00-33.33

2.

Sedang : 33.34-66.67

3.

Tinggi : 66.68-100.00

Pengategorian kesejahteraan objektif berdasarkan BPS (2005) 1. Sejahtera (<9)

2. Tidak sejahtera (≥9)

Hal ini berarti semakin tinggi skor kesejahteraan objektif maka keluarga akan semakin tidak sejahtera (BPS 2005)

Pengategorian lingkungan pengasuhan berdasarkan Candwell dan Bradley (1984) dalam Hastuti (2014)

a. Usia 0-36 bulan dengan rentang skor 0-45 1. Rendah : 0-25

2. Sedang : 26-36 3. Tinggi : 37-45

b. Usia 37-72 bulan dengan rentang skor 0-55 1. Rendah : 0-29

2. Sedang : 30-45 3. Tinggi : 46-55

(22)

10

dengan beberapa variabel independen. Analisis regresi linier digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan kualitas lingkungan pengasuhan.

Persamaan linear yang digunakan untuk uji regresi, yaitu :

Y1= α + β1 X1+ β2 X2+ β3 X3+ β4 X4+ β5 X5+ β6 X6+ β7 X7+ €

X1 = kualitas pernikahan (skor)

X2 = kesejahteraan subjektif keluarga (skor) X3 = kesejahteraan objektif keluarga (skor) X4 = usia menikah istri (tahun)

X5 = lama menikah (tahun)

X6 = lama pendidikan istri (tahun) X7 = pendapatan per kapita (rupiah)

€ = galat

Definisi Operasional

Karakteristik keluarga adalah ciri khas yang dimiliki oleh keluarga responden seperti usia suami-istri, usia menikah suami-istri, lama menikah, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan suami istri, pekerjaan suami istri, dan pendapatan per kapita.

Keluarga menikah muda adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan pernikahan darah atau adopsi yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya dimana salah satu atau sepasang suami istri menikah dengan usia di bawah 20 tahun.

Usia suami, usia istri adalah jumlah tahun lengkap sejak lahir sampai usia ulang tahun suami dan istri

Usia menikah suami, usia menikah istri adalah jumlah tahun lengkap sejak lahir sampai usia ulang tahun suami dan istri

Lama menikah adalah lama menikah dimulai dari tahun pertama sampai ulang tahun pernikahan yang terakhir.

Jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota keluarga dikelompokkan berdasarkan BKKBN (2005) menjadi tiga kategori yaitu kecil (=4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar ( 8 orang ).

Lama pendidikan suami istri adalah lama pendidikan formal yang ditempuh atau diperoleh suami dan istri dalam tahun

Pekerjaan suami istri adalah pekerjaan atau mata pencaharian baik secara formal maupun informal yang menambah pendapatan keluarga

Pendapatan per kapita adalah pendapatan keseluruhan dibagi dengan jumlah anggota keluarga

Kualitas pernikahan adalah diukur dengan dimensi kebahagiaan dan kepuasan menurut persepsi istri

(23)

11 kepribadian pasangan, komitmen pernikahan, dan hubungan intim berdasarkan skala ordinal.

Kepuasan pernikahan adalah diukur berdasarkan persepsi istri dalam menilai kehidupan pernikahannya, yang bersifat dinamis diukur aspek ekonomi, pengasuhan anak, cinta dan hubungan intim berdasarkan skala ordinal

Kesejahteraan objektif adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dasar dan perkembangan secara objektif, yaitu mengacu pada standar normatif dan ideal yang diukur dari 14 kriteria kemiskinan berdasarkan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut BPS dimana semakin memenuhi 14 kriteria, maka keluarga semakin miskin

Kesejahteraan subjektif adalah kepuasaan istri terhadap tingkat pemenuhan kesejahteraan yang ditunjukkan secara objektif yang diukur menggunakan indikator kesejahteraan berdasarkan skala ordinal

Kualitas lingkungan pengasuhan adalah tingkat kualitas atau baik buruknya kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh pengasuh (ibu) yang diukur dengan menggunakan Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) inventory

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 13 desa, yaitu : Bojong Jengkol, Bojong Rangkas, Benteng, Ciampea Udik, Ciampea, Cibadak, Cibanteng, Cibuntu, Cicadas, Cihideung Ilir, Cihideung Udik, Cinangka, dan Tegal Waru. Lokasi penelitian ini tepatnya di dua desa yaitu Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik.

Desa Tegal Waru

Desa Tegal Waru memiliki luas wilayah 338.0 Ha, ketinggian 200 m dari permukaan laut, dan suhu udara rata-rata 23 oC. Batas wilayahnya, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Desa Bojong Jengkol, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cinangka, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bojong Rangkas. Jumlah penduduk 12 510 jiwa. Sebaran kelompok umur persentase terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu sebesar 53.7 persen. Penduduk desa Tegal Waru mempunyai lahan pertanian seluas 390.0 Ha dan sebagian besar ditanami ubi kayu. Desa Tegal Waru memiliki 39 RT dan 06 RW.

Desa Cihideung Udik

(24)

12

pariwisata Kampung Wisata Cinangneng. Desa Cihideung Udik memiliki 48 RT dan 15 RW.

Karakteristik Keluarga

Usia mininal menikah istri 13 tahun dan usia menikah suami 16 tahun. Rata-rata usia suami ketika menikah adalah 22.1 tahun dan Rata-rata-Rata-rata istri menikah adalah 17.3 tahun (Tabel 2). Menurut BKKBN (2012) pernikahan usia muda dilakukan pada usia dibawah 20 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan di desa lebih banyak pasangan menikah usia muda salah satunya wilayah Kabupaten Bogor (Risya 2011; Karyadi 1998). Hal ini berarti usia istri belum termasuk kedalam kategori usia yang matang secara fisik, mental untuk menikah, dan berisiko untuk melahirkan.

Tabel 2 Sebaran Usia Menikah

Karakteristik Keluarga Minimal Maksimal Rata-rata± Standar Deviasi

Usia istri (th) 15 44 27.9±7.4

Usia suami (th) 20 50 32.6±7.7

Usia menikah istri (th) 13 19 17.3±1.6

Usia menikah suami (th) 16 25 22.1±2.1

Tingkat pendidikan yang telah dicapai lebih dari setengah istri (60.0%) adalah tamat SD. Lama pendidikan yang ditempuh istri berkisar 3 sampai 12 tahun. Persentase tingkat pendidikan yang telah dicapai adalah hampir setengah suami (44.3%) tamat SD. Lama pendidikan yang ditempuh suami berkisar 3 sampai 16 tahun. Rata-rata pendidikan istri dan suami adalah berjenjang SMP. Hasil penelitian menunjukkah bahwa tingkat pendidikan masih tergolong rendah dan belum menempuh pendidikan lebih dari sembilan tahun (Tabel 3). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Gunawan (2013) bahwa sebagian besar responden menikah usia muda berpendidikan tamat SD. Hasil penelitian Rizkillah (2014) menyebutkan status pendidikan yang tinggi memengaruhi jenis pekerjaan dan pendapatan.

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendidikan

Pendidikan Istri Suami

n % n %

Tidak tamat SD 7 10.0 3 4.3

SD 42 60.0 31 44.3

SMP 18 25.7 24 34.3

SMA 3 4.3 11 15.7

Perguruan Tinggi 0 0 1 1.4

Total 70 100.0 70 100.0

Minimal-Maksimal 3-12 3-16

Rata-rata± Standar Deviasi 6.7±1.7 7.9±2.5

(25)

13 al. (2006) jenis pekerjaan merupakan salah satu yang memengaruhi kesejahteraan keluarga.

Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan kategori jenis pekerjaan

Pekerjaan Istri Suami

Tabel 5 menunjukkan besar keluarga contoh antara 3 sampai 9 orang dengan rata-rata berjumlah anggota keluarga 4 orang. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga contoh (75.7%) termasuk dalam keluarga kecil (BKKBN 2005). Hasil penelitian Rizkillah (2014) besar keluarga dapat memengaruhi lingkungan pengasuhan.

Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan kategori besar keluarga

Besar keluarga n %

Pendapatan keluarga contoh perkapita perbulan berkisar antara Rp75 000 hingga Rp2 500 000 dengan rata-rata sebesar Rp594 696. Hasil penelitian menunjukkan setengah keluarga (51.4%) berada dalam kategori tidak miskin. Walaupun demikian ditemukan sebagian keluarga yang miskin (20.0%) dan hampir miskin (28.6%) (Tabel 6). Garis kemiskinan BPS Jawa Barat (2014) sebesar minimal Rp288 742, jika keluarga pendapatnya kurang dari angka tersebut termasuk dalam kategori miskin. Hasil penelitian Elmanora (2011) ditemukan bahwa pendapatan keluarga per bulan akan memengaruhi kesejahteraan keluarga.

Tabel 6 Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan per kapita

Pendapatan per kapita* n %

Rata-rata± Standar Deviasi 594 695.6±4.8

(26)

14

Lebih dari setengah keluarga (52.9%) mempunyai anak berusia 37 bulan sampai 72 bulan, dan sisanya (47.1%) berusia 0 sampai 36 bulan (Tabel 7). Menurut Teachman et al. (1982) pasangan suami istri yang mempunyai anak mempunyai kepuasaan pernikahan yang lebih tinggi.

Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia anak

Usia anak n %

Usia 0-36 bulan 33 47.1

Usia 37-42 bulan 37 52.9

Total 70 100.0

Lama menikah pasangan suami istri berkisar 1 sampai 30 tahun dengan rata-rata lama menikah 10.9 tahun. Sebanyak 70.0 persen responden lama pernikahannya kurang dari 15 tahun dan sisanya 30.0 persen menikah lebih dari 15 tahun (Tabel 8). Menurut Kerkmann et al. (2000) lama menikah dapat berhubungan positif signifikan dengan pendapatan dan jumlah anak.

Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan kategori lama menikah

Lama menikah (th) * n %

< 15 49 70.0

>15 21 30.0

Total 70 100.0

Minimal-Maksimal 1-30

Rata-rata± Standar Deviasi 10.9±7.4

*) Tati 2004

Kualitas Pernikahan

Dimensi Kebahagiaan

Pada aspek ekonomi, hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah istri menyatakan kurang bahagia dan selalu berdebat dengan suami dalam hal alokasi uang membeli makan (72.9%), alokasi uang untuk membeli pakaian (71.4%), alokasi uang untuk pendidikan anak (61.4%), alokasi uang untuk pengobatan (57.1%), dan alokasi uang untuk merawat rumah (55.7%) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan setengah istri belum dapat mengelola keuangan dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Menurut Tati (2004) kebahagiaan pernikahan akan tercapai apabila pasangan dapat mengelola keuangan dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, Karyadi (1998) menyatakan pasangan menikah muda beresiko kesulitan ekonomi karena belum stabil.

Pada aspek komunikasi dengan keluarga pasangan, lebih dari setengah istri merasa bahagia dalam hal dianggap keluarga pasangan (67.5%), tidak merasa direndahkan oleh mertua dan ipar (70.0%), tidak kesulitan menganggap keluarga pasangan seperti keluarga sendiri (67.5%), dan mudah berkomunikasi dengan pasangan (70.0%) (Lampiran 1). Hal ini sejalan dengan penelitian (Nuraini 2004) bahwa kebahagiaan pernikahan dapat tercapai dengan adanya komunikasi dan keterbukaan antara pasangan dan keluarga pasangan.

(27)

15 (70.0%), sering konflik dengan suami dalam mendisiplinkan anak (81.4%), sering menemui hambatan dengan suami dalam mengasuh anak (65.7%) (Lampiran 1). Menurut Tsania (2014) pasangan menikah muda belum mempunyai kedewasaan untuk membesarkan anak dan belum dapat melakukan pengasuhan yang baik.

Pada aspek kepribadian pasangan, lebih dari setengah istri kurang merasa bahagia dengan sikap pasangan yang tidak disukai (68.6%), sifat pasangan yang tidak disukai (68.6%), dan perilaku pasangan yang tidak disukai (68.6%). Kurang dari tiga perempat suami selalu memuji kemampuan istrinya (74.3%) (Lampiran 1). Dalam aspek kepribadian pasangan setengah dari istri belum merasakan kebahagiaan yang optimal. Menurut Tati (2004) kebahagiaan pernikahan dapat tercapai jika tidak ada sikap, sifat, dan perilaku yang tidak disukai oleh istri.

Pada aspek komitmen pernikahan, lebih dari tiga perempat istri selalu menjaga komitmen pernikahan dengan suami (81.4%), tetapi lebih dari setengah istri merasa suami selingkuh (52.9%). Lebih dari tiga perempat istri merasa terpaksa melakukan hubungan seks jika ada masalah dengan suami (77.1%) (Lampiran 1). Menurut Tati (2004) jika tidak ada keterpaksaan melakukan hubungan intim maka kebahagiaan akan tercapai.

Hasil penelitian menunjukkan kurang dari setengah istri (41.4%) merasa dimensi kebahagiaan pernikahan dalam kategori sedang (Tabel 9). Menurut Rizkillah (2014) kebahagiaan pernikahan diukur berdasarkan kenikmatan yang relatif mengenai kehidupan pernikahan yang dirasakan oleh istri.

Dimensi Kepuasan

Pada aspek keterbukaan dan aktivitas ekonomi, lebih dari setengah istri merasa kurang puas dalam hal sering konflik karena hanya satu sumber penghasilan keluarga (52.9%), istri juga sering tidak puas dengan yang dimiliki sekarang (61.4%), istri merasa kesal dengan kegagalan suami (52.9), istri juga sering berbeda pendapat mengenai uang dengan suami (70.0%), merasa terganggu dengan campur tangan orang lain dalam mencukupi keuangan keluarga (55.7%), dan selebihnya istri merasa puas dengan pekerjaan suami (74.3%), prestasi kerja suami (64.3%), setuju dengan cara mengatur uang (58.6%) dan terbuka dengan cara mengatur uang (61.4%), istri juga tidak merasa terganggu dengan suami yang mengatur keuangan keluarga (61.4%) dan tidak merasa terganggu jika keluarga meminta bantuan (54.3%) (Lampiran 2). Dalam aspek ini lebih dari setengah istri yang menjadikan uang sebagai sumber pertengkaran dengan pasangan Menurut Tati (2004) uang menjadi sumber utama pertengkaran dengan pasangan.

Dalam aspek cinta dan hubungan intim, lebih dari tiga perempat istri merasa puas dengan suami yang mencintainya (95.7%), suami memperlakukan seperti yang diinginkan (80.0%), mempunyai waktu bersama dengan suami (82.9%), senang mengungkapkan kepuasan seks (78.6%), selalu musyawarah dalam menentukkan keputusan (82.9%), istri merasa hubungan seksualitasnya indah dan menyenangkan (54.3%) tetapi lebih dari setengah istri kurang puas dengan tidak saling terbuka masalah seks (55.7%) (Lampiran 2). Menurut Nurani (2004) kepuasan pernikahan akan tercapai apabila suami istri saling terbuka masalah hubungan intim dengan pasangannya.

(28)

16

membesarkan anak peran ibu memerlukan dukungan dari suami yang meliputi kasih sayang, cinta, keterbukaan, dan komunikasi.

Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah istri (67.1%) merasa dimensi kepuasaan pernikahan dalam kategori sedang (Tabel 9). Menurut Rizkillah (2014) kepuasaan pernikahan diukur berdasarkan persepsi istri dalam menilai kehidupanan pernikahannya dan bersifat dinamis.

Lebih dari setengah istri (58.6%) merasa kualitas pernikahan yang tergolong sedang (Tabel 9). Menurut Tati (2004) kualitas pernikahan dipengaruhi faktor-faktor seperti jalinan cinta antar pasangan suami dan istri, saling mendukung, memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis, mengelola ekonomi yang baik, dan menghindari terjadinya beda pendapat. Penelitian Nurpratiwi (2010) menyatakan kematangan emosi dan usia ketika menikah memengaruhi kepuasan pernikahan.

Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kualitas pernikahan

*) Pembagian kategori berdasarkan rumus interval Puspitawati dan Herawati (2013)

Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan Objektif

Kesejahteraan salah satunya dipengaruhi oleh lokasi tempat tinggal (Sumarwan et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah istri (57.1%) merasa rumahnya masih sempit, seluruh keluarga (100.0%) memiliki jenis lantai ubin dan keramik serta seluruh keluarga (100.0%) memiliki dinding dari tembok. Lebih dari tiga perempat keluarga (80.0%) mempunyai MCK sendiri. Lebih dari setengah keluarga (87.1%) memiliki sumber air minum bersih dari sumur serta seluruh keluarga (100.0%) menggunakan sumber penerangan dari listik dengan rata-rata berdaya 450 watt (Lampiran 3).

Hampir seluruh keluarga (97.1%) menggunakan gas sebagai bahan bakar untuk memasak. Sementara itu lebih dari tiga perempat keluarga (78.6%) mempunyai frekuensi makan dua kali sehari. Lebih dari setengah keluarga (54.3%) tidak mampu membeli daging/ayam/susu dalam seminggu. Lebih dari setengah keluarga (54.3%) keluarga mampu membelikan pakaian baru untuk setiap anggota keluarga. Hampir tiga perempat keluarga (72.9%) tidak mampu berobat di puskesmas dikarenakan lokasi puskesmas yang jauh dari tempat tinggal. Hampir tiga perempat kepala keluarga (70.0%) bekerja sebagai buruh dengan pendapatan kurang dari Rp600 000. Lebih dari setengah pendidikan suami

(29)

17 (51.4%) tamat Sekolah Dasar. Hampir tiga perempat keluarga (72.9%) tidak memiliki aset yang mudah untuk dijual (Lampiran 3).

Seluruh keluarga (100.0%) berada dalam kategori keluarga sejahtera (Tabel 10). Menurut BPS (2000) semakin baik kondisi dan kualitas rumah yang ditempati menunjukkan semakin baik keadaan sosial ekonomi rumah tangga tersebut.

Tabel 10 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan objektif

Kesejahteraan Objektif* n %

Sejahtera (<9) 70 100.0

Kesejahteraan subjektif pada dimensi fisik-ekonomi, istri merasa kurang puas dengan keuangan keluarga (65.7%), makanan keluarga (55.7%), tempat tinggal (64.9%), kondisi materi/ aset keluarga (72.9), strategi koping keluarga (54.3%), dan manajemen keuangan keluarga (50.0%). Akan tetapi istri juga merasa puas dalam hal kesehatan fisik keluarga (51.4%) dan cara manajemen stres istri (71.4%). Istri merasa cukup puas dalam hal keadaan lingkungan fisik (55.7%) dan cara manajemen pekerjaan suami (37.1%) (Lampiran 4). Dalam aspek ini menunjukkan sebagian istri kurang merasa puas dengan keadaan fisik dan ekonomi keluarga.

Kesejahteraan subjektif pada dimensi sosial, istri merasa puas dengan hubungan komunikasi dengan orang tua/ mertua (74.3%), hubungan dengan saudara/ kerabat (61.4%), hubungan dengan tetangga (50.0%), dan istri merasa kurang puas dalam mengikuti kegiatan sosial (48.6%), pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki anggota keluarga (48.6%) (Lampiran 4). Tsania (2014) menyatakan istri yang menikah muda belum mempunyai kesiapan sosial yang baik sehingga cenderung menarik diri dari lingkungan baru.

Kesejahteraan subjektif pada dimensi psikologis, istri merasa puas komunikasi dengan suami (62.9%), dukungan dari suami dan anggota keluarga (71.4%), dan dukungan dari saudara/kerabat (41.4%). Selain itu, istri juga merasa kurang puas dalam hal tujuan yang telah dicapai keluarga (62.9%), keadaan mental/spiritual keluarga (54.3%), kebersihan rumah (35.7%), pendidikan anggota keluarga (57.1%), penghasilan suami (64.3%), perilaku suami dalam membantu dan membagi tugas rumah tangga (37.1%), kebahagiaan dan kepuasan pernikahan (37.1%), dan istri merasa cukup puas dalam hal perilaku anggota (37.7%), dan dukungan dari tetangga (40.0%) (Lampiran 4). Hal ini berarti kesejahteraan subjektif dipengaruhi pendidikan, pekerjaan, kepemilikan aset, dan pembagian tugas keluarga (Sumarwan et al. 2006).

(30)

18

dengan keuangan keluarga, kebutuhan makanan keluarga, kepemilikan aset, keterlibatan keluarga dalam kegiatan sosial, pendidikan anggota keluarga, penghasilan suami, dan belum tercapai tujuan keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian Harun (2010) menyatakan kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh pendapatan suami. Menurut Khilmiyah et al. (2014) pasangan menikah muda yang sebagian besar bekerja sebagai buruh kasar merasa kurang puas dengan pendapatan keluarga dan kepemilikan aset keluarga.

Tabel 11 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan subjektif

Kesejahteraan subjektif* n %

Rendah (0.00-33.33) 10 14.3

*) Pembagian kategori berdasarkan rumus interval Puspitawati dan Herawati (2013)

Lingkungan Pengasuhan

Kualitas lingkungan pengasuhan dapat diketahui dari tingkat baik buruknya kegiatan pengasuhan yang telah dilakukan oleh pengasuh (ibu). Pengukuran lingkungan pengasuhan dibedakan berdasarkan usia anak, yaitu 0-36 bulan dan usia 37-72 bulan.

Kualitas Lingkungan Pengasuhan Anak 0-36 bulan

Berdasarkan aspek tanggap rasa dan kata, lebih dari setengah ibu (63.6%) pengasuhannya belum optimal dan dalam kategori rendah, walaupun ditemukan 9.1 persen pengasuhan ibu berada pada kategori tinggi. (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak berbicara kepada anak (39.4%), tidak menyebutkan nama barang (63.6%), tidak aktif dan bebas berbicara (57.6%), dan tidak menanggapi pujian positif (81.8%). Selain itu ditemukan pengasuhan yang cukup baik dalam hal menanggapi ocehan anak (63.6%), berbicara jelas dan dapat dipahami (75.8%), tidak mengizinkan anak bermain ditempat kurang bersih (63.6%), memuji anak (66.7%), menunjukkan rasa sayang lewat kata-kata (69.7%), dan membelai (93.9%) (Lampiran 5).

Berdasarkan aspek penerimaan terhadap perilaku anak, lebih dari setengah ibu (78.8%) pengasuhannya dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal, hampir seluruh ibu berteriak kepada anak (87.9%), pernah memukul atau mencubit anak (69.7%), pernah memarahi anak (72.7%), melarang anak bermain (78.8%), tidak tersedia buku (87.9%), tidak ada binatang piaraan (84.8%) dan ibu pernah menghukum anak (39.4%). Pengasuhan yang cukup baik diberikan ibu dalam hal tidak menunjukkan kekecewaan (51.5%) (Lampiran 5).

(31)

19 baik dalam hal ibu mengajak anak pergi ke pasar (78.8%), pernah diajak ke dokter, mantri, atau puskesmas (90.0%), tidak terlihat mainan berbahaya (100.0%), dan ibu tidak menyediakan tempat khusus untuk alat mainan anak (100.0%) (Lampiran 5).

Berdasarkan aspek penyediaan mainan, lebih dari setengah ibu (66.7%) pengasuhannya dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu belum menyediakan mainan untuk belajar berjalan (54.5%), anak tidak diizinkan main sendiri (54.5%), alat bermain tidak sesuai usia anak (63.6%), alat belajar tidak sesuai usia anak (51.5%), tidak ada mainan koordinasi mata tangan yang sederhana (90.9%), tidak ada mainan koordinasi mata tangan yang kompleks (100.0%), dan tidak ada mainan belajar menggambar serta menulis (84.8%). Pengasuhan yang cukup baik ditunjukkan dengan setengah ibu menyatakan menyediakan mainan latihan gerakan anak (54.5%) dan mainan yang bisa didorong (51.5%) (Lampiran 5).

Berdasarkan aspek keterlibatan, lebih dari setengah ibu (66.7%) dalam kategori sedang. Walaupun terdapat 8.2 persen pengasuhan ibu berada pada kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak menyediakan mainan untuk kematangan jiwa anak (97.0%) dan tidak menyediakan mainan baru untuk mematangkan keterampilan (84.8%). Pengasuhan yang cukup baik hampir seluruh ibu mengawasi anak secara langsung atau sambil kerja (97.0%), mengajak anak berbicara selama mengerjakan pekerjaan (90.9%), memperhatikan perkembangan anak (57.6%), dan mengatur waktu bermain anak (81.8%) (Lampiran 5).

Berdasarkan aspek variasi asuhan, kurang dari setengah ibu (48.5%) pengasuhannya dalam kategori sedang, tetapi ditemukan 12.1 persen pengasuhan yang diberikan ibu dalam kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak mendongengkan cerita ke anak (75.8%) dan anak tidak punya buku sendiri (93.9%). Pengasuhan yang cukup baik lebih dari setengah ibu menyatakan bahwa ada orang lain suami yang mengasuh anak (51.5%), anak diajak makan bersama (69.7%), anak juga pernah diajak mengunjungi orang lain (51.5%) (Lampiran 5).

Kualitas Lingkungan Pengasuhan Anak 37-72 bulan

Berdasarkan aspek stimulasi belajar, lebih dari tiga perempat ibu (89.2%) pengasuhannya dalam kategori sedang (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal seluruh ibu tidak membaca koran dan berlangganan koran (100%) serta anak tidak memiliki buku sendiri (97.3%) dan tidak memiliki buku keluarga (94.6%). Ibu memberikan stimulasi cukup baik dalam hal adanya mainan untuk belajar warna, bentuk, dan ukuran (75.7%), ada mainan yang memiliki peraturan (51.4%), ada tape recorder (56.8%), ada mainan bebas berekspresi (86.5%), ada mainan belajar angka (78.9%), anak diajari tentang bentuk-bentuk (54.1%) (Lampiran 6).

(32)

20

(48.6%), dan tidak memberikan stimulasi berbicara dengan bahasa yang benar (35.1%). Ibu juga memberikan pengasuhan yang cukup baik dalam hal ibu selalu memberikan kesempatan berbicara dan bercerita (100%), mengajari mengucapkan salam (94.6%), dan anak diberi kesempatan memilih makanan sendiri (78.4%) (Lampiran 6).

Berdasarkan aspek lingkungan fisik, kurang dari setengah ibu (45.9%) pengasuhannya dalam kategori rendah, tetapi ditemukan 13.5 persen pengasuhan ibu pada kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal yaitu ibu merasa rumahnya sempit (64.9%), tidak rapi dan dipenuhi alat rumah tangga (54.1%). Ibu merasa tetangganya baik dan bersikap ramah (94.6%), keadaan rumah tidak gelap (64.9%) (Lampiran 6).

Berdasarkan aspek kehangatan dan penerimaan, kurang dari setengah ibu (40.5%) pengasuhannya dalam kategori rendah walaupun ditemukan 24.3 persen pengasuhan ibu dalam ketegori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak memuji anak secara spontan dan membantu menunjukkan kepintaran anak sebanyak (70.3%). Ibu memberikan pengasuhan yang cukup optimal dalam hal menggendong anak (70.3%) dan menanggapi ocehan anak (62.2%) (Lampiran 6)

Berdasarkan aspek stimulasi akademik, kurang dari setengah ibu (43.2%) pengasuhannya dalam kategori tinggi, tetapi masih ditemukan juga 40.5 persen pengasuhan yang diberikan ibu dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak mengajari warna (43.2%), tidak mengajari bernyanyi (45.9%), dan tidak menjelaskan pengertian ruang/ dimensi (51.4%). Ibu melakukan pengasuhan yang cukup baik dalam mengajarkan angka dan kata-kata sederhana kepada anak sebesar (83.8%) (Lampiran 6).

Berdasarkan aspek modeling, lebih dari setengah ibu (62.2%) pengasuhannya dalam kategori sedang dan ditemukan 32.4 persen pengasuhan ibu berada pada kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu selalu menyalakan tv setiap hari (81.1%) dan anak tidak dapat memukul ibu tanpa ibu membalasnya (43.2%). Ibu dapat memberikan stimulasi yang cukup baik seperti anak dapat menunjukkan kekecewaan (91.9%), anak dapat menunggu waktu makan (86.5%), dan anak juga dikenalkan kepada tamu (64.9%) (Lampiran 6).

Berdasarkan aspek variasi pengalaman, lebih dari setengah ibu (59.5%) pengasuhannya dalam kategori rendah walaupun ditemukan 5.4 persen pengasuhan ibu dalam kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal anak tidak punya alat musik atau mainan sungguhan (67.6%), anak tidak pernah mengunjungi saudara (59.5%), anak tidak pernah diajak pergi jauh (62.2%), anak tidak pernah diajak ke museum (67.6%), dan hasil karya anak tidak ditempel (54.1%). Ibu melakukan pengasuhan cukup baik dalam hal mengambil dan mengembalikan mainan sendiri (91.9%), mengizinkan anak memilih mainan sendiri (86.5%), dan mengajak makan bersama (59.5%) (Lampiran 6).

(33)

21 melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu pernah memarahi dan melarang anak anak (70.3%) serta sebagian ibu pernah mencubit anak (27.0%) dan pernah menghukum anak (37.8%) (Lampiran 6).

Kategori lingkungan pengasuhan untuk anak usia 0-36 bulan lebih dari tiga perempat ibu (81.6%) pengasuhannya berada pada kategori rendah. Kualitas lingkungan pengasuhan pada usia 37-72 bulan lebih dari setengah ibu (51.4%) pengasuhannya termasuk ke dalam kategori sedang dan ditemukan 48.6 persen dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini sejalan dengan penelitian Latifah et al. (2009) kualitas pengasuhan di Kecamatan Ciampea berada dalam kategori sedang dan perkembangan anak dipengaruhi pengetahuan pengasuhan ibu yang masih rendah. Selain itu menurut Fadlyana dan Larasaty (2009) anak yang dilahirkan dari pasangan menikah muda beresiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di usia muda.

Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan kategori komponen lingkungan pengasuhan

Pengorganisasian lingkungan 54.5 45.5 0

Penyediaan mainan anak 66.7 33.3 0

Keterlibatan ibu 15.2 66.7 8.2

Kesempatan variasi asuhan 39.4 48.5 12.1

Total 81.6 18.2 0

Kehangatan dan penerimaan 40.5 35.1 24.3

Stimulasi akademik 40.5 16.2 43.2

*) HOME Candwell dan Brandley (1984) dalam Hastuti (2014)

Hubungan karakteristik keluarga dengan kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan

(34)

22

(Rizkillah 2014; Puspitawati 2012: Hastuti 2011). Hal ini berarti semakin tinggi kualitas pernikahan, kesejahteraan objektif, dan kesejahteraan subjektif maka lingkungan pengasuhan yang diberikan keluarga semakin optimal. Lama menikah, usia istri, usia suami, dan usia menikah istri berhubungan positif sangat signifikan dengan lingkungan pengasuhan juga.

Pendapatan keluarga berhubungan positif sangat signifikan dengan kualitas pernikahan, kesejahteran objektif, kesejahteraan subjektif, dan lingkungan pengasuhan. Penelitian Ritongga (2007) menyatakan pendapatan per kapita berhubungan positif dengan kualitas pernikahan, kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan objektif. Selain itu juga sesuai dengan penelitian Maria (2013) yang menyatakan tingkat pendapatan per kapita berhubungan positif signifikan dengan lingkungan pengasuhan. Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan keluarga maka kualitas pernikahan, kesejahteraan subjektif, kesejahteraan objektif, dan lingkungan pengasuhannya juga semakin baik (Tabel 13).

Tabel 13 Sebaran koefisien korelasi antar variabel-variabel penelitian

Variabel Kualitas

Lingkungan pengasuhan 0.499** 0.315** 0.578** 1

Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01

Pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, terhadap lingkungan pengasuhan

Hasil analisis regresi linier model variabel-variabel terhadap lingkungan pengasuhan menunjukkan angka Adjusted R Square adalah 0.482 yang berarti model tersebut menjelaskan 48.2 persen model variabel-variabel memengaruhi lingkungan pengasuhan dan sisanya 51.8 persen dipengaruhi variabel lain di luar penelitian ini. Hasil penelitian juga menunjukkan lama menikah (β=0.264;

(35)

23 rendah usia menikah istri, semakin rendah kualitas pernikahan, dan semakin rendah kesejahteraan subjektif maka semakin rendah pula kualitas lingkungan pengasuhan yang diberikan pada anak (Tabel 14).

Tabel 14 Pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga terhadap kualitas lingkungan pengasuhan anak

Variabel

Pendapatan per kapita 3.437x10-6 0.000 0.116 0.299

Kualitas pernikahan 0.172 0.073 0.240 0.021*

Kesejahteraan objektif -0.030 0.113 -0.029 0.789

Kesejahteraan

Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01

Pembahasan

Pernikahan yang dilakukan usia muda belum memiliki kesiapan untuk menikah sehingga rentan dengan perceraian atau perpisahan (Tsania 2014). Sebagian besar suami dan istri memiliki pendidikan yang rendah yaitu jenjang SD. Menurut Fadlyana dan Larasaty (2009) semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai, sebagian besar hanya berpendidikan dasar (sekolah dasar). Pendidikan merupakan salah satu faktor untuk mencapai keadaan ekonomi yang lebih baik (Puspasari 2013). Menurut Herawati (2012) tingkat pendidikan akan berimplikasi pada jenis pekerjaan yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar istri memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Hasil penelitian Rizkillah (2014) menunjukkan istri yang tidak bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan tetap cenderung memiliki usia menikah lebih awal.

(36)

24

signifikan dengan komunikasi dan kebersamaan dengan pasangan. Capaian terendah pada aspek ekonomi, yaitu lebih dari setengah istri menyatakan sering berdebat mengenai alokasi uang untuk membeli pakaian dan makanan, pendidikan anak, pengobatan keluarga, serta merawat rumah. Menurut Rahman dan Nasrin (2012) keadaan ekonomi merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya pernikahan muda. Hasil penelitian Higginbotham dan Felix (2009) menyatakan permasalahan ekonomi meningkatkan risiko permusuhan dan berkurangnya kehangatan emosional dalam pernikahan serta meningkatkan risiko konflik pernikahan dan tekanan pernikahan.

Berdasarkan dimensi kepuasan capaian tertinggi pada aspek cinta dan aspek hubungan intim ditunjukkan oleh hampir seluruh istri merasa puas dengan pasangan yang mencintai sampai saat ini. Menurut Lavner et al. (2014); Allendorf dan Ghimire (2012); serta Nuraini (2004) menyatakan kepuasan pernikahan dilandasi oleh rasa cinta atau ekspresi cinta pada pasangan dengan menunjukkan kasih sayang dari waktu ke waktu. Menurut Allendorf dan Ghimire (2012) pendidikan memiliki hubungan positif signifikan dengan kepuasaan pernikahan. Capaian terendah pada aspek ekonomi, yaitu setengah dari istri tidak puas dengan masalah ekonomi. Keadaan tersebut menjadikan konflik karena hanya ada satu sumber penghasilan keluarga. Penelitian Higginbotham dan Felix (2009) serta Kerkmann et al. (2000) menyatakan suami yang menikah di pedesaan merasa khawatir dengan keadaan keuangan dan istri merasa puas jika memiliki uang yang cukup untuk membeli kebutuhan.

Aspek pengasuhan anak juga menunjukkan capaian terendah, yaitu setengah dari istri tidak puas dengan pembagian tanggung jawab membesarkan anak. Hal ini dikarenakan keterlibatan suami dalam mengasuh anak lebih sedikit dibandingkan ibu karena sebagian suami bekerja diluar kota. Penelitian sebelumnya juga menyebutkan pasangan menikah muda masih kurang dalam kematangan psikologis ataupun materi sehingga dalam mengasuh anak kurang berpengalaman dan membutuhkan bantuan dari keluarga besar (Alfianti 2010). Menurut Allendorf dan Ghimire (2012) pasangan menikah muda masih tinggal bersama keluarga besar sehingga dalam mengasuh anak masih melibatkan keluarga besar pula.

(37)

25 Lever (2004) menyatakan kesejahteraan subjektif dalam kategori sedang, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah hubungan dengan pasangan dan keikutsertaan kegiatan sosial, serta dampak dari interaksi dengan keluarga atau keluarga lain. Menurut Paul et al. (2013) pasangan menikah muda belum memiliki kesiapan psikologis sehingga tidak dapat mengembangkan interaksi dengan lingkungan sosial. Menurut Rahman dan Nasrin (2012) menikah muda berimplikasi terhadap kesejahteraan keluarga dan beresiko untuk wanita melahirkan serta kegiatan pengasuhan kurang optimal.

Kualitas lingkungan pengasuhan usia 0-36 bulan berada dalam kategori rendah. Capaian terendah pada aspek tanggap rasa dan kata, aspek penerimaan perilaku, dan aspek penyediaan mainan. Namun ditemukan juga sebagian ibu dapat melakukan pengasuhan dengan optimal pada aspek kesempatan variasi asuhan. Kualitas lingkungan pengasuhan usia 37-72 bulan berada dalam kategori sedang. Capaian terendah pada aspek stimulasi belajar, aspek lingkungan fisik, aspek variasi pengalaman, dan aspek penerimaan. Ditemukan juga sebagian ibu dapat melakukan pengasuhan dengan optimal pada aspek stimulasi bahasa, aspek stimulasi akademik, dan aspek modeling. Kondisi ini disebabkan oleh faktor pengetahuan ibu dan pendidikan ibu juga yang kurang mengenai perkembangan anak. Penelitian Latifah et al. (2009) menyatakan faktor resiko yang memengaruhi pengasuhan dan perkembangan adalah pendidikan orang tua yang rendah, pendapatan keluarga yang rendah, pengetahuan tentang pengasuhan yang rendah, serta fasilitas dan sarana prasana yang masih kurang. Menurut Hasanah (2014) usia ibu yang belum cukup umur dan belum siap secara mental dan emosional, pengetahuan pengasuhannya belum memadahi serta kurangnya kesadaran memberikan fasilitas belajar untuk menstimulasi anak.

(38)

26

hubungan dengan suami yang kurang harmonis akan menyebabkan ibu kurang optimal dalam melakukan pengasuhan.

Penelitian Hastuti (2011) dan Aber et al. (1997) kualitas lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh kesejahteraan subjektif. Menurut Arianti (2010) kesejahteraan subjektif adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya dan kondisi yang dialami. Apabila tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan maka seseorang dapat mengalami stres. Menurut Aber et al. (1997) kondisi stres dan tertekan dari orang tua terutama ibu, akan cenderung melakukan pengasuhan yang negatif kepada anak seperti: memukul anak, berteriak, dan menampar anak. Kondisi ini juga dapat meningkatkan konflik pernikahan. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian ini kesejahteraan subjektif merupakan persepsi kepuasan dengan kondisi yang ada saat ini, apabila ibu tidak dapat menerima dan beradaptasi dengan kondisi sekarang berarti ibu tidak puas. Jika ibu tidak puas dengan kondisi saat ini ibu akan merasa lebih tertekan dan stres sehingga dapat menyebabkan kurang optimalnya pengasuhan yang diberikan ibu. Selain itu, kondisi ini dapat memicu konflik dengan pasangan.

Keterbatasan dari penelitian adalah wawancara yang dilakukan hanya pada istri saja tanpa melibatkan suami dalam wawancara. Instrumen yang digunakan dengan pertanyaan tertutup agar lebih mendalam analisisnya sebaiknya ditanyakan beberapa pertanyaan terbuka. Penelitian ini juga hanya dilakukan di dua desa, sebaiknya dilakukan dibeberapa desa dan dibandingkan dengan daerah perkotaan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kualitas pernikahan pada dimensi kebahagiaan memiliki capaian yang tinggi pada aspek komitmen pernikahan dan terendah pada aspek ekonomi. Dimensi kepuasan pernikahan menunjukkan capaian tertinggi pada aspek cinta dan hubungan intim serta aspek terendah pada aspek ekonomi dan aspek pengasuhan anak. Kesejahteraan objektif keluarga pada kategori sejahtera dikarenakan memiliki rumah sendiri dan kondisi fisik rumah baik. Kesejahteraan subjektif berdasarkan persepsi istri pada kategori sedang dengan capaian paling tinggi aspek hubungan dengan pasangan dan capaian terendah, yaitu istri merasa kurang puas terhadap keuangan keluarga, kebutuhan makanan keluarga, kepemilikan aset, keterlibatan keluarga dalam kegiatan sosial, pendidikan anggota keluarga, penghasilan suami, dan belum tercapai tujuan keluarga. Kualitas lingkungan pengasuhan 0-36 bulan pada kategori rendah. Kualitas lingkungan pengasuhan 37-72 bulan pada kategori sedang.

(39)

27 berpengaruh signifikan positif terhadap kualitas lingkungan pengasuhan adalah lama menikah, usia menikah istri, kualitas pernikahan, dan kesejahteraan subjektif.

Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Pelaksanaan kebijakan pemerintah seharusnya lebih tegas dan efektif terhadap peningkatan usia menikah perempuan untuk mengoptimalkan lingkungan pengasuhan anak

2. Cara pengasuhan anak yang kurang baik dalam pernikahan muda dapat ditingkatkan dengan bantuan penyuluhan dari LSM dan Perguruan Tinggi secara rutin dan menyeluruh

3. Dukungan keluarga berupa materi juga diperlukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulah ZA, Thata R, Landing J. 2009. Studi kasus pernikahan dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja. Jurnal MKMI 5 (4).

Aber L, Bennet NG, Lii J. 1997. The effect of poverty on child health and development. Rev Public health.18:463-83

Agustian H. 2013. Gambaran kehidupan pasangan yang menikah di usia muda di Kabupaten Dharmasraya. SPEKTRUM PLS 1(1).

Alfianti RN. 2010. Pola asuh anak ibu berusia muda (Studi kasus di Desa Sawojajar Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes) [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang.

Allendorf K, Ghimire D. 2012. Determinants of marital quality in an arranged marriage society. Research Reports. University of Michigan (USA)

Ambrus A, Field E. 2008. Early marriage, age of menarche, and female schooling attainment in Bangladesh. Journal of Political Economy. 116(5): 881-930. University of Chicago

Ariati J. 2010. Subjektif well- being (kesejahteraan subjektif) dan kepuasan kerja pada staf pengajar (dosen) di lingkungan fakultas psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal psikologi Undip . Vol. 8 No. 2 Oktober.

[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2012. Pernikahan dini pada beberapa provinsi di Indonesia : dampak overpopulation, akar masalah dan peran kelembagaan di daerah. Jakarta (ID): BKKBN

Gambar

Gambar 1 Kerangka berfikir pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan METODE
Tabel 1  Variabel, skala, dan pengolahan data
Tabel 1 Variabel, skala, dan pengolahan data (Lanjutan)
Tabel 6  Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan per kapita
+4

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan perekonomian Kabupaten Jember di era otonomi daerah yaitu dari tahun awal dimulainya otonomi pada tahun 2001 hingga tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan, dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Diperoleh pola implementasi kombinasi pembelajaran menggunakan e-learning dan lesson study sehingga dapat meningkatkan

Karena itu, pangeran harus seperti rubah dengan melindungi dirinya dari jebakan, dan seperti singa untuk melindungi dirinya dari serigala.” (Machiavelli, 2005:

Maka, Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1928 yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan merupakan fondasi pertama

public class tampilmateri3 extends AppCompatActivity { String mtrJson = &#34;&#34;;.

Hal tersebut dapat memicu ketidakadilan bagi pekerja yang tidak menerima upah minimum dari pengusaha, namun ternyata jika ditinjau dari UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat

Tabel IV.10 menunjukkan hasil pengujian hipotesis perusahaan non-manufaktur bahwa variabel independen DER tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba pada signifikansi

Publikasi tentang CIDR untuk sinkronisasi estrus pada kambing PE, prediksi waktu ovulasi berdasarkan pengukuran kadar LH dan perkembangan folikel selama masa estrus