• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi Morfologi Puparium dan DNA Penyandi Gen Mitokondria Sitokrom Oksidase I Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera Aleyrodidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Variasi Morfologi Puparium dan DNA Penyandi Gen Mitokondria Sitokrom Oksidase I Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera Aleyrodidae)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI MORFOLOGI PUPARIUM DAN DNA PENYANDI

GEN MITOKONDRIA SITOKROM OKSIDASE I

Bemisia tabaci

(GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE)

SAT RAHAYUWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “VARIASI MORFOLOGI PUPARIUM DAN DNA PENYANDI GEN MITOKONDRIA SITOKROM

OKSIDASE I Bemisia tabaci (GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE)“ adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, 11 Juni 2009

(3)

ABSTRACT

SAT RAHAYUWATI. Variation of Puparial Morphology and DNA Sequence of the Mitochondrial Cytochrome Oxidase I gen of Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae). Supervised by PURNAMA HIDAYAT and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Bemisia tabaci is an important pest and vector of geminivirus. It is a cosmopolitan and polyphagous insect having distribution in Asia, Africa, Europe, America, and Australia with more than 500 host plants. B. tabaci is a complex species, and currently about 20 biotypes have been identified. Biotype B and Q have wide range of hosts, high level of fecundity, and could transmit geminivirus effectively. The incidence of yellow disease in chili pepper caused by geminivirus infection is very high, particularly in Java and Sumatera. Therefore, it is important to study the role of B. tabaci as a geminivirus vector. Variation of B. tabaci was identified based on morphological characters as well as on molecular level. The result of analysis showed that the shape and morphological characters of B. tabaci puparia are more influenced by host plants types compared to the altitudes factor. The type of host plants gave the effect on the number of dorsal spine variation. In turn, variation on the number of dorsal spine will result the variation of the shape of puparia. No variations found in mtCOI fragment although puparia have shape and measurement variations. Based on analysis of mtCOI fragment, the B. tabaci found in this research was identified as biotype non B which belongs to the phylogeography Asia I. The high level of yellow disease incidence is not caused by invasive biotype B and Q, but is more caused by those biotypes non B phylogeography Asia I.

(4)

RINGKASAN

SAT RAHAYUWATI. Variasi Morfologi Puparium dan DNA Penyandi Gen Mitokondria Sitokrom Oksidase I Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Bemisia tabaci merupakan hama penting dan vektor geminivirus di benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Australia dengan inang lebih dari 500 spesies tanaman. B. tabaci merupakan kompleks spesies dengan 20 biotipe sudah teridentifikasi. Biotipe B dan Q merupakan biotipe invasif yang perlu diwaspadai keberadaannya karena mempunyai kisaran inang yang lebih luas, keperidian tinggi, dan penular efektif geminivirus. Kejadian penyakit kuning pada cabai yang disebabkan oleh infeksi geminivirus di daerah endemik di Indonesia Bagian Barat tergolong tinggi dan dilaporkan biotipe B sudah dijumpai di Jawa Barat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari B. tabaci sebagai vektor geminivirus, salah satunya dengan mempelajari variasi B. tabaci. Variasi B. tabaci tidak hanya dijumpai pada tingkat morfologi tetapi juga pada tingkat molekuler. Untuk itu dilakukan penelitian yang mempelajari variasi morfologi puparium B. tabaci dari berbagai inang dan ketinggian tempat serta variasi genetik B. tabaci dari daerah endemik penyakit kuning cabai di Indonesia bagian barat.

(5)

Kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari variasi genetik B. tabaci menggunakan analisis fragmen mitokondria Sitokrom Oksidase I (mtCOI) terdiri dari: 1) ekstraksi DNA total B. tabaci dari hasil pengambilan sampel di daerah endemik PYLCIV; 2) amplifikasi fragmen mtCOI dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR); 3) analisis filogenetik berdasarkan fragmen mtCOI. Berdasarkan fragmen mtCOI, sampel B. tabaci yang berasal dari daerah endemik PYLCIV di Indonesia bagian barat berada dalam satu kelompok, yang tidak termasuk dalam kelompok biotipe B atau Q. B. tabaci yang terkoleksi dalam studi ini merupakan spesies lokal termasuk dalam biotipe non B, kelompok wilayah Asia I. Tingginya kejadian penyakit PYLCIV tidak disebabkan oleh biotipe invasif B atau Q tetapi oleh biotipe non B Asia I tersebut. Berdasarkan analisis fragmen mtCOI, tidak dijumpai adanya variasi walaupun secara morfologi ditemukan berbagai bentuk dan ukuran puparium. Gen mtCOI merupakan gen untuk mengatur fungsi respirasi sel dan bukan merupakan gen untuk mengatur bentuk morfologi. Bentuk morfologi suatu organisme beradaptasi sesuai dengan kondisi lingkungan.

(6)

©Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

VARIASI MORFOLOGI PUPARIUM DAN DNA PENYANDI

GEN MITOKONDRIA SITOKROM OKSIDASE I

Bemisia tabaci

(GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE)

SAT RAHAYUWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Departemen Proteksi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Variasi Morfologi Puparium dan DNA Penyandi Gen Mitokondria Sitokrom Oksidase I Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae)

Nama : Sat Rahayuwati

NIM : A451060071

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purnama Hidayat M.Sc. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Entomologi-Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro M.S.

(10)

PRAKATA

Ucapan rasa syukur yang tiada terkira atas karunia Allah SWT sehingga penelitian dan penulisan tesis berjudul “Variasi Morfologi Puparium dan DNA Penyandi Gen Mitokondria Sitokrom Oksidase I Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae)” ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dibantu dana oleh proyek ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) untuk mengendalikan penyakit kuning cabai di Indonesia melalui Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc.

Ucapan terima kasih dengan setulus hati atas bimbingan, saran, petunjuk dan koreksi selama saya melakukan penelitian dan proses penulisan tesis ditujukan kepada bapak Dr. Ir. Purnama Hidayat M.Sc. (Ketua Komisi Pembimbing) dan ibu Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc. (Anggota Komisi Pembimbing).

Kegiatan penelitian yang meliputi pengambilan sampel, pengerjaan laboratorium, dan penulisan tesis tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan berberbagai fihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Laboran Lab. Taksonomi ibu Aisyah, laboran dan teknisi Lab. Virologi pak

Edi dan mba Tuty yang telah membantu proses pengerjaan penelitian.

2. Rekan-rekan Ent-Fit angkatan 2006, teman-teman di lab.: Pak Rai, Endang, Mimi, Devi, Cici, bu Rita, bu Ifa, pak Irwan, Lia, Eni, Elsa atas semangat yang telah diberikan,

3. Rekan-rekan yang telah membantu dalam informasi lokasi dan akomodasi selama pengambilan sampel: Rika Meilasari S.P. (Cianjur-Cipanas Jabar), ibu Rohana (Brebes Jateng), bpk. Entit Hermawan S.P. dan bpk. Dr. Ahmad Erani Yustika (Malang-Kediri Jatim), bpk Kembar (Tabanan-Badung Bali).

4. Ibu Dr. Marlina Adhiani atas bantuan pengiriman sampel untuk perunutan nukleotida ke Macrogen Korea Selatan.

5. Ibu Dr. Noor Aidawati atas bantuan pengambilan sampel di Magelang, Bantul dan Kalimantan Selatan dan bpk. Junsu Trisno M.S. atas pengambilan sampel di Sumatera Barat.

6. Abah dan mang Eli atas bantuan menjaga dan antar jemput sekolah Shafa. Rasa terima kasih atas doa yang tiada berakhir ditujukan kepada orang tua kami: ibu Hj. Siti Zubaedah, ibu mertua Rohana, bpk H. Norrachmat Soedijono (Almarhum) dan bapak mertua Patoni (Almarhum). Terima kasih atas doa dan dukungan kakak-kakak: mas Dr. Purwo Santoso, mas Dwi Raharjo S.H., mba Tri Sekarwati, mas Ponco Setyo Edi.

Ucapan terima kasih atas dukungan dan dorongan semangat saya tujukan kepada suami tercinta mas Edy Suprianto. Terima kasih atas segala sesuatu yang terbaik yang mas Edy beri untuk kami. Terima kasih untuk sahabat kecil saya Shafa Humaira Ramadhiani, Shafa selalu menjadi sahabat baik ibu, selalu dan sampai kapanpun. Terima kasih saya ucapkan untuk motivator saya mas Purwo Santoso, semangat dan kerja keras mas Pur akan selalu saya contoh.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Sat Rahayuwati, puteri keenam dari enam bersaudara keluarga H. Norrachmat Soedijono dan Hj. Siti Zubaedah, dilahirkan di Jepara pada 6 April 1977. Penulis menikah dengan Edy Suprianto SP. MSc. pada tahun 2001 dan dikaruniai putri Shafa Humaira Ramadhiani.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ………..… xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………..…. xvi

I PENDAHULUAN ………..….. 1

Latar Belakang ……….….. 1

Tujuan Penelitian ……… 3

ManfaatPeneliti ……… 3

Ruang Lingkup Penelitian ……… 3

II TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER MORFOLOGI .. 5

Taksonomi B. tabaci ……… 5

Identifikasi Spesies B. tabaci ……… 5

Ciri-Ciri Puparium dan Imago di Lapang ……… 7

Karakter Penting Puparium Untuk Identifikasi ………... 7

Analisis Data Morfologi ……….. 8

BIOLOGI B. tabaci ……… 8

Siklus Hidup B. tabaci ……… 8

Aktivitas Makan dan Peran B. tabaci Sebagai Vektor Geminivirus ……… 10

IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER MOLEKULER .. 11

Awal Penelitian B. tabaci ………. 11

Kompleks Spesies B. tabaci ………. 11

Alasan Digunakan Mitokondria Sitokrom Oksidase I ………. 13

Hubungan Antara Biotipe dengan Filogeografi ………... 14

III VARIASI KARAKTER MORFOLOGI Bemisia tabaci (GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) YANG DIAMBIL DARI BERBAGAI INANG DAN KETINGGIAN TEMPAT DI DAERAH ENDEMIK PENYAKIT KUNING CABAI DI INDONESIA BAGIAN BARAT ………. 17

ABSTRAK ………. 17

PENDAHULUAN ……….. 17

Tujuan Penelitian ………. 18

BAHAN DAN METODE ……… 19

Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 19

Metode Penelitian ……… 19

1 Pengambilan Sampel Kutukebul dari Daerah Endemik Penyakit Kuning Cabai ……… 19

2 Pembuatan Slide dan Identifikasi Kutukebul ………… 19

3 Pengamatan Variasi Bentuk Puparium Pada Berbagai Tanaman Inang ……… 20

(13)

Data ……….. 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 21

1 Pengambilan Sampel Kutukebul di Daerah Endemik Penyakit Kuning Cabai ……… 21

2 Variasi Bentuk Puparium Pada Berbagai Tanaman Inang … 22 3 Hubungan Diantara Jumlah Rambut dorsal, Panjang dan Lebar Puparium, Panjang Seta Kauda ………. 25

4 Hubungan Jenis Tanaman Inang terhadap Jumlah Dorsal Spine, Panjang dan Lebar Puparium, Panjang Seta Kauda ... 29

4.1 Analisis “Boxplot”: Hubungan Antara Rambut dorsal Puparium Dengan Tanaman Inang ………. 30

5 Hubungan Ketinggian Tempat terhadap Jumlah Dorsal Spine, Panjang dan Lebar Puparium, Panjang Seta Kauda ... 32

SIMPULAN ……….. 34

DAFTAR PUSTAKA ………. 35

IV VARIASI GENETIK DAN FILOGENI Bemisia tabaci (GENNADIUS) DARI DAERAH ENDEMIK PENYAKIT KUNING CABAI DI INDONESIA BAGIAN BARAT MENGGUNAKAN ANALISIS FRAGMEN MITOKONDRIA SITOKROM OKSIDASE I.. 37

ABSTRAK ……….. 37

PENDAHULUAN ……… 37

Tujuan Penelitian ………. 39

BAHAN DAN METODE ……… 39

Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 39

Metode Penelitian ………. 39

1 Ekstraksi DNA Total B. tabaci ……… 39

2 Amplifikasi Fragmen mtCOI Menggunakan Metode PCR ………... 40

3 Perunutan Nukleotida ……….. 41

4 Analisis Data Urutan DNA mtCOI ……….. 41

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 44

1 Ekstraksi DNA Total dan Amplifikasi Fragmen mtCOI …. 44 1.a Metode Goddwin et al. (1994) ………. 44

1.b Metode Frohlich et al. (1999) ………. 46

2 Perunutan dan Analisis Nukleotida mtCOI ………. 48

SIMPULAN ……… 52

DAFTAR PUSTAKA ……….. 53

V PEMBAHASAN UMUM ………. 55

VI SIMPULA UMUM DAN SARAN ……… 59

SIMPULAN UMUM ……….. 59

SARAN ………... 59

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Sinonim Bemisia tabaci dengan lokasi tempat diidentifikasi

dan tumbuhan inangnya (Perring 2001) ………. 6 3.1 Perbandingan karakter morfologi puparium spesies Bemisia tabaci

dan Trialeurodes vaporariorum ……….. 21 3.2 Daftar lokasi pengambilan sampel dan hasil identifikasi spesies …. 24 3.3 Berbagai bentuk puparium B. tabaci yang diamati dari 13 jenis

tanaman inangnya ………..………. 25

3.4 Gambar berbagai bentuk puparium B. tabaci yang diamati dari 13

jenis tanaman inangnya ……… 27 3.5 Nilai rata-rata dan standar deviasi (sd) panjang dan lebar puparium

(mm), panjang seta kauda (mm) B. tabaci pada 13 jenis tanaman

inang ………...…….………... 29

3.6 Nilai rata-rata dan standar deviasi (sd) panjang dan lebar puparium (mm), panjang seta kauda (mm) B. tabaci pada berbagai ketinggian

tempat ………..… 33

4.1 Komponen dan komposisi bahan PCR menurut metode ekstraksi

Goodwin et al. (1994) yang dimodifikasi dan Frohlich et al.(1999).. 41 4.2 Daftar perunutan nukleotida yang digunakan untuk pembuatan

kladogram fragmen mtCOI B. tabaci asal Indonesia dibandingkan dengan fragmen mtCOI dari beberapa wilayah di dunia

(Gambar 4.6) ………. 42

4.3 Daftar perunutan nukleotida yang digunakan untuk pembuatan kladogram fragmen mtCOI B. tabaci asal Indonesia dibandingkan

dengan fragmen mtCOI Asia (Gambar 4.7) ………. 43 4.4 Kemurnian dan konsentrasi DNA total hasil ekstraksi satu

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Fase perkembangan Bemisia tabaci (a) telur; (b) instar 1; (c) instar 2; (d) instar 3; (e) instar 4; (f) puparium; (g) imago keluar dari

puparium; (h) imago (Purbosari 2008) ………. 9 3.1 A. Puparium Bemisia tabaci, B. Puparium Trialeurodes

vaporariorum, (a) seta kauda, (b) caudal furrow, (c) vasiform orifice, (d) submargin, (e) rambut dorsal, (f) pinggiran trakea,

(g) basal tungkai tengah dan belakang, (h) ruas abdomen

VII, (i) operculum, (j) lingula ... 23 3.2 Rambut dorsal berjumlah 0 (A), 4 pasang (B) dan 7 pasang (C)

yang dijumpai pada median atau submedian dorsal puparium

B. tabaci ………... 31

3.3 Gambar boxplot jumlah rambut dorsal berdasarkan nilai median (garis hitam) pada 13 tanaman inang B. tabaci: Buncis

(Pisum sativum), Labu (Cucurbita moschata), Melon

(Cucumis melo var. reticulates), Terung (Solanum melongena), Tomat (Solanum lycopersicum), Gambas (Luffa acutangula), KacangM (Kacang Merah = Vigna angularis), Kedelai (Glycine max), Mentimun (Cucumis sativus), Cabai

(Capsicum annum), KacangP (Kacang Panjang = Vigna sinensis), KacangT (Kacang Tanah = Arachis hypogaea), Singkong

(Manihot esculenta) ……….. 32 4.1 Hasil amplifikasi PCR mtCOI menggunakan DNA total dari

satu imago B. tabaci yang diekstrak berdasarkan metode Goodwin et al. (1994) yang dimodifikasi; A)1-10 individu imago segar baru

diambil dari lapang; B) 1-11 individu imago yang sudah disimpan

selama > 4 bulan. Marker yang digunakan 1 kb DNA Ladder (M) .. 45 4.2 Hasil amplifikasi PCR mtCOI menggunakan DNA total dari satu

puparium B. tabaci yang diekstrak berdasarkan metode Goodwin et al. (1994) yang dimodifikasi. Marker yang digunakan marker

PCR (M); 1 - 5) DNA total individu puparium yang tidak berhasil diamplifikasi mtCOInya; 6) kontrol positif (Sampel B. tabaci

Aidawati 2006) ………..……….. 46

4.3 Hasil amplifikasi PCR mtCOI menggunakan DNA total puparium yang diekstrak berdasarkan metode Goodwin et al. (1994)

(16)

4.4 Hasil diamplifikasi PCR mtCOI dari DNA total yang diekstrak menggunakan metode Frohlich et al. (1999). Marker yang

digunakan 1 kb DNA ladder (M); sampel terdiri atas: satu nimfa (1); satu imago (2); kontrol positif (65 puparium) (3); kontrol

Positif (Sampel B. tabaci Aidawati 2006) (4) ……….. 47 4.5 Hasil amplifikasi PCR mtCOI dari satu imago menggunakan

ekstraksi DNA total metode Frohlich et al. (1999). Marker yang

digunakan 1 kb DNA ladder (M) ……….……… 47 4.6 Kladogram fragmen mtCOI B. tabaci asal Indonesia dibandingkan

dengan fragmen mtCOI dari beberapa wilayah di dunia.

Trialeurodes vaporariorum dengan accesion number AF418672 digunakan sebagai outgroup. Angka pada percabangan kladogram

menunjukkan nilai bootstrap 100 kali ulangan. Nama sampel B. tabaci yang dicetak dengan huruf tebal merupakan sampel

dalam penelitian ini ……….……… 50 4.7 Kladogram fragmen mtCOI B. tabaci asal Indonesia dibandingkan

dengan fragmen mtCOI Asia. Aleyrodicus dispersus dengan accesion number AJ748380digunakan sebagai outgroup.

Angka pada percabangan kladogram menunjukkan nilai

bootstrap 100 kali ulangan. Nama sampel B. tabaci yang dicetak

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel hubungan linier antar variabel jumlah rambut dorsal, panjang dan lebar puparium, panjang seta kauda ……… 65 2 Tabel hubungan variabel jumlah rambut dorsal, panjang dan lebar

puparium, panjang seta kauda dengan fungsi kanoniknya …….…... 65 3 Tabel hubungan silang antara variabel jumlah rambut dorsal,

panjang dan lebar puparium, panjang seta kauda dengan

variabel ketinggian tempat dan tanaman inang ………. 65 4 Tabel hubungan variabel faktor lingkungan dengan fungsi

kanoniknya ……… 66

5 Tabel hubungan silang variabel jumlah rambut dorsal, panjang dan lebar puparium, panjang seta kauda terhadap fungsi kanonik

variabel lingkungan (ketinggian tempat dan tanaman inang) …….. 66 6 Tabel hubungan silang variabel ketinggian tempat dan tanaman

inang terhadap fungsi kanonik variabel faktor pengamatan puparium (jumlah rambut dorsal, panjang dan lebar puparium,

panjang seta kauda) ………. 66 7 Contig sampel penelitian (14 buah) hasil perunutan nukleotida

mtCOI ………. 66

8 Data identifikasi spesies kutukebul dan pengamatan (bentuk puparium, jumlah dorsal spine, panjang dan lebar puparium,

(18)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan kutukebul yang paling banyak diteliti karena menimbulkan masalah serius diberbagai belahan dunia. B. tabaci bersifat polifag dengan inang lebih dari 500 spesies tanaman termasuk tanaman hortikultura dan tanaman hias dengan nilai ekonomi tinggi. Famili tanaman yang umum menjadi inang B. tabaci adalah Fabaceae, Asteraceae, Malvaceae, Solanaceae dan Euphorbiaceae (Perring et al.

1993). B. tabaci merugikan karena aktivitas makan mengambil cairan dari floem tanaman dan akibat tidak langsung sebagai vektor virus. Peran B. tabaci sebagai vektor virus inilah yang membuat kutukebul tersebut banyak diteliti. Geminivirus (Genus Begomovirus famili Geminiviridae) merupakan virus yang ditularkan B. tabaci dan menimbulkan kehilangan hasil 20% hingga 100% (Brown & Bird 1992).

(19)

Variasi genetik B. tabaci telah banyak dipelajari, diantaranya berdasarkan pola pita esterase dilaporkan terdapat 20 biotipe. Secara sederhana, biotipe ini dibedakan menjadi biotipe B dan biotipe non-B. Biotipe non-B ini antara lain terdiri atas: Q, A, K, D, E, G, H, L, M, dan N (Banks & Markham 2000). Studi komparatif lain dilakukan untuk mendapatkan resolusi variasi genetik B. tabaci, salah satunya menggunakan fragmen mitokondria sitokrom oksidase I (mtCOI). Beberapa peneliti berusaha menghubungkan antara biotipe hasil analisis esterase dengan pengelompokan filogeografi. Perring (2001) melaporkan 5 kelompok filogeografi berdasarkan analisis menggunakan mtCOI dan esterase yaitu Benin (esterase biotipe E), Sudan (esterase biotipe L), India (esterase biotipe G), Israel-Yaman-US (esterase biotipe B), Costa Rica-Mexico-Puerto Rico-US (esterase biotipe A).

Di antara biotipe yang ada, B. tabaci biotipe B dan Q paling mendapatkan perhatian. Biotipe B mempunyai sifat khusus seperti kisaran inang lebih luas, keperidian tinggi, lebih resisten terhadap insektisida (Brown et al. 1995a), dapat menginduksi gejala keperakan pada squash (Cucurbita pepo) dan ciri ini tidak dipunyai pada biotipe jenis lain (Secker et al. 1998). B. tabaci biotipe B telah tersebar ke berbagai wilayah tropika dan subtropika serta menimbulkan banyak kerugian antara lain di Brazil, Uganda, India, Pakistan, dan Cina (Lima et al.

2002; Simon et al. 2003; Sseruwagi et al. 2005; Zhang et al. 2005). Biotipe Q dilaporkan lebih merugikan dibandingkan biotipe B. Saat ini biotipe Q dilaporkan sudah menyebar ke wilayah Israel, Cina dan Jepang (CDFA 2005). De Barro et al. (2008) menyimpulkan B. tabaci biotipe B dan Q merupakan biotipe invasif dan merupakan vektor efektif geminivirus yang saat ini tersebar luas melalui perdagangan tanaman hias.

(20)

2006). Rahayu (2004) melaporkan kejadian penyakit kuning cabai di Yogyakarta dan Magelang mencapai 100% dan Sudiono et al. (2005) melaporkan kejadian penyakit kuning cabai di Sumatera mencapai 100%. Diduga tingginya kejadian penyakit kuning cabai ini akibat beragamnya populasi B. tabaci baik beragam secara morfologi dan genetik. Penelitian untuk mengetahui variasi genetik B. tabaci menjadi perlu dilakukan mengingat biotipe B yang merupakan biotipe invasif sudah dijumpai di Indonesia (Hidayat et al. 2008).

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan mengetahui variasi morfologi puparium dari berbagai inang dan ketinggian tempat serta mengetahui variasi genetik B. tabaci yang ditemukan di daerah endemik penyakit PYLCIV di Sumatera Barat, Pulau Jawa, Pulau Bali dan Kalimantan Selatan menggunakan analisis mtCOI.

Manfaat Penelitian

Didapatkan informasi mengenai variasi morfologi puparium B. tabaci dan informasi variasi genetik B. tabaci. Informasi variasi genetik B. tabaci tersebut dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk mengetahui apakah biotipe berbeda mempunyai peranan berbeda terhadap infeksi geminivirus.

Ruang Lingkup Penelitian

Dua kegiatan penelitian dilakukan untuk mengetahui variasi B. tabaci

(21)
(22)

II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER MORFOLOGI

Taksonomi B. tabaci

B. tabaci adalah serangga dengan tipe alat mulut menusuk menghisap, termasuk dalam ordo Hemiptera, superfamili Aleyrodoidea, famili Aleyrodidae, subfamili Aleyrodinae. Famili Aleyrodidae mempunyai dua subfamili, yaitu Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Aleurodicinae terdiri atas dua genus sedangkan Aleyrodinae memiliki 41 genus. Genus Bemisia terdiri atas tujuh spesies yaitu B. afer Priesner & Hosny, B. capitata Regu & David, B. decipiens Maskell, B. giffardi Kotinsky, B. gigantea Martin sp.n., B. subdecipiens Martin sp.n., dan B. tabaci (Gennadius) (Martin 1999).

B. tabaci pertama kali dideskripsikan sebagai hama tembakau di Yunani oleh Gennadius tahun 1889 dan diberi nama Aleyrodes tabaci (Oliveira et al.

2001). Sampai dengan 1964, B. tabaci mempunyai 19 sinonim tambahan hasil identifikasi dari 14 negara pada berbagai tumbuhan inang (Tabel 2.1). Penempatan tabaci dalam genus Bemisia oleh Takahashi 1936 merupakan nama spesies Bemisia tabaci yang saat ini dipakai. Karakter morfologi puparium B. tabaci ini dilaporkan sangat bervariasi tergantung pada tumbuhan inang sehingga hal inilah yang menyebabkan B. tabaci mempunyai banyak sinomim (Perring 2001).

Identifikasi Spesies B. tabaci

(23)

pembuatan slide permanen dan sering saat koleksi kutukebul dari lapangan hanya fase nimfa yang dijumpai (Martin, 1987).

Tabel 2.1 Sinonim Bemisia tabaci dengan lokasi tempat diidentifikasi dan tumbuhan inangnya (Perring 2001)

Spesies Lokasi Tumbuhan Inang

Aleyrodes tabaci (Gennadius 1889) Yunani Nicotiana sp. Aleyrodes inconspicua (Quaintance 1900) Florida USA Physalis sp. B. insconspicua (Quaintance) (Quaintance &

Baker 1914)

Florida USA Physalis sp.

B. emiliae (Corbett 1926) Sri Lanka Emilia sonchifolia B. signata (Bondar 1928) Brazil Nicotiana glauca B. bahiana (Bondar 1928) Brazil Nicotiana tabacum B. costa-limai (Bondar 1928) Brazil Euphorbia hirtella B. gossypiperda (Misra & Lamba 1929) Inda, Pakistan Gossypium sp. B. achyranthes (Singh 1931) India Achyranthes aspera B. hibisci (Takahashi 1933) Taiwan Hibiscus

rosa-sinensis

B. longispina (Priesner &Hosny 1934) Mesir Psidium guajava B. gossypiperda var. mosaicivecture

(Ghesquiere 1934)

Zaire Jatropha multifida

B. goldingi (Corbett 1935) Nigeria Gossypim sp. B. nigeriensis (Corbet 1935) Nigeria Manihot sp. B. rhodesiaensis (Corbet 1936) Zimbabwe Nicotiana sp. B. tabaci (Gennadius) (Takahashi 1936) Mariana Islands Brassica oleracea B. manihotis (Frappa 1938) Madagascar Manihot sp. B. vayssieri (Frappa 1939) Madagascar Nicotiana sp. B. (Neobemisia) hibisci (Visnya 1941) Taiwan Hibiscus

(24)

Ciri-Ciri Puparium dan Imago

Malumphy (2004) menyebutkan ciri-ciri puparium B. tabaci pada permukaan daun tumbuhan inang yaitu bening; warna dari krem sampai kuning; sekresi lilin tidak ada; panjang 0,55 - 0,87 mm dan lebar 0,35 - 0,64 mm; bagian dorsal dengan lapisan tipis lilin. Saat puparium dibuat slide permanen, kutikula kadang terlihat pucat, bukaan trakea bagian toraks agak bergerigi, marginal setae

kecil pada ujung anterior dan posterior, seta kaudapanjang dan kokoh.

Ciri-ciri imago B. tabaci ketika dijumpai selaput sayap berwarna kuning gelap, sayap depan dengan garis anterior lurus, sayap seperti tenda dengan posisi saat istirahat terlihat menyempit ke depan, imago langsung terbang ketika terganggu. Karakter morfologi imago ketika diamati di bawah mikroskop yaitu terdapat dua mata majemuk di bagian atas dan bawah yang dihubungkan oleh ommatidium tunggal, mesotibia dengan setakokoh berjumlah 2-3, sensorial cone

pada antena ruas keempat ada, satu sensorial cone pada antena ruas ketujuh,

aedeagus ramping dengan ventral base halus(Malumphy 2004).

Karakter Penting Puparium untuk Identifikasi

Ciri karakter morfologi penting puparium B. tabaci yang perlu diperhatikan saat melakukan identifikasi adalah sebagai berikut (a) seta kauda selalu kokoh dan biasanya sama atau lebih panjang dari vasiform orifice, (b)

vasiform orifice lurus lebih panjang dari caudal furrow, (c) lingula agak melebar, (d) tidak ada papila, (e) rambut dorsal berjumlah tujuh pasang, terdapat rambut yang berkembang, ukuran rambut biasanya lebih panjang pada daun yang mempunyai permukaan berbulu, (f) penampakan puparium sangat bervariasi terutama pada daun-daun yang berbulu (Martin 1999, Malumphy 2004, Hodges et al. 2005).

(25)

AnalisisData Morfologi

Hasil pengukuran faktor pengamatan morfologi puparium (panjang puparium, lebar puparium, jumlah rambut dorsal, panjang seta kauda) dan faktor lingkungan (ketinggian tempat, tanaman inang) dapat di analisis menggunakan korelasi kanonikal. Analisis kanonikal merupakan model statistik multivariate yang digunakan untuk menguji hubungan (korelasi) antara lebih dari satu set variabel dependen (y) dan lebih dari satu set variabel independen (x). Pada analisis regresi berganda hanya memprediksi satu variabel dependen dengan lebih dari satu set variabel independen. Sementara itu korelasi kanonikal secara simultan memprediksi lebih dari satu variabel dependen dengan lebih dari satu variabel independen (Ghozali 2005).

Analisis kanonikal terdapat pada Penelitian bab III. Yang dimaksud variabel dependen (y) adalah faktor pengamatan dan variabel independen (x) adalah faktor lingkungan. Tujuan dilakukan analisis kanonikal tersebut adalah untuk menentukan tingkat hubungan antara faktor pengamatan panjang puparium, lebar puparium, jumlah rambut dorsal, panjang seta kauda) dengan faktor lingkungan (ketinggian tempat, tanaman inang).

BIOLOGI B. tabaci

Siklus Hidup B. tabaci

Imago betina terkadang makan beberapa tumbuhan budi daya berbeda termasuk gulma. Kualitas nutrisi tiap tumbuhan berbeda sehingga tumbuhan tertentu baik untuk bertahan hidup sedangkan tumbuhan lain baik untuk menghasilkan banyak telur. Imago hidup selama 1 minggu atau lebih dan produksi telur tergantung jenis makanan yang dipilih imago tersebut. Imago betina memasukkan telur ke dalam daun tumbuhan inang dan nimfa yang menetas akan tetap berada di tumbuhan yang dipilih imago tersebut (Costa et al. 1991).

Telur B. tabaci berbentuk bulat telur, terpotong pada ujungnya. Pada suhu 25 oC telur akan menetas dalam 6-7 hari. Nimfa instar pertama disebut crawler.

(26)
(27)

40 hari pada suhu23oC, 35 hari pada suhu ruang, dan 27 hari pada suhu 29 oC (Purbosari 2008). B. tabaci dapat menghasilkan 15 generasi per tahun, betina dapat meletakkan telur rata-rata 200 buah dalam jangka waktu 3-6 minggu (Morales 2001).

Aktivitas Makan dan Peran B. tabaci Sebagai Vektor Geminivirus

Nimfa dan imago B. tabaci makan cairan floem tumbuhan yang mengandung gula (Hilje et al. 2001). Nimfa dan imago tersebut dapat menimbulkan kerusakan tumbuhan secara langsung berupa: kehilangan nutrisi, gangguan fisiologi, ekskresi embun madu. Nimfa dan imago juga dapat menimbulkan kerusakan tidak langsung pada tumbuhan yaitu sebagai vektor virus (Morales 2001).

Geminivirus di dalam B. tabaci bersifat sirkulatif dan persisten. Terdapat interaksi antara protein selubung virus dengan B. tabaci saat terjadi penempelan kapsul virus dengan reseptor sehingga virus dapat tertular. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara virus dengan serangga vektor (Brown & Idris 2005). Virus persisten, saat diakuisisi akan berada dalam tubuh serangga vektor. Virus dijumpai pada sel epitel saluran pencernaan dan berasosiasi dengan kelenjar saliva B. tabaci. Virus bersirkulasi dalam tubuh serangga sampai akhirnya virus sampai ke stilet dan masuk ke dalam tumbuhan sehat saat vektor makan cairan floem. Virus tersebut memerlukan waktu akuisisi dan inokulasi 1 jam - 1 hari dan periode laten 1 hari - beberapa minggu (Gray & Banerjee 1999).

(28)

IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER MOLEKULER

Awal Penelitian Karakter Molekuler B. tabaci

Penelitian menyeluruh B. tabaci dimulai 1980-an ketika terjadi ledakan populasi B. tabaci. Virus yang ditularkan oleh serangga ini menjadi pembatas produksi tumbuhan hortikultura di hampir seluruh belahan dunia. B. tabaci sudah teridentifikasi sebelumnya sebagai hama yang tidak merugikan sampai tahun 1981 diantaranya terdapat laporan kerugian yang cukup besar di Arizona dan Florida Amerika Serikat.

Pada dekade tersebut di Amerika Serikat mulai dilakukan penelitian B. tabaci berdasarkan karakter molekuler. Tahun 1986 dilaporkan adanya ledakan populasi kutukebul pada tumbuhan poinsettia dan adanya gejala daun tumbuhan

squash (Cucurbita peppo) keperakan (Price et al. 1986 dalam Oliveira et al.

2001). Berdasarkan pola pita esterase populasi B. tabaci di Ameria Serikat diidentifikasi sebagai biotipe B dan A. Biotipe Byang dapat menginduksi squash

menjadi keperakan, menimbulkan banyak kerugian, lebih resisten terhadap insektisida; sedangkan biotipe Ayang sebelumnya ada di Amerika Serikat, kurang menimbulkan kerugian. Robertson (1987 dalam Perring 2001) menyebutkan B. tabaci mempunyai kekhususan inang meskipun tidak ada perbedaan morfologi yang jelas. Beberapa populasi B. tabaci mempunyai kemampuan bertahan hidup dan tipe perkembangan tertentu pada inang tertentu.

Kompleks Spesies B. tabaci

(29)

argentifolii Bellows and Perring atau nama umumnya dalam bahasa Inggris

silverleaf whitefly (USDA 1999).

Pohon filogenetik merupakan penggambaran perjalanan evolusi suatu organisme. Pohon filogentik ini semakin lama semakin bercabang-cabang yang mencerminkan variasi kehidupan. Keragaman B. tabaci dapat digambarkan dalam bentuk pohon filogenetik yang terdiri dari banyak cabang. Tiap-tiap cabang dalam pohon filogenetik ini menggambarkan adanya berbagai macam biotipe. Mayr & Ashlock (1991) menyebutkan biotipe adalah kelompok individu yang secara genetik sama.

Maruthi et al. (2004) mendukung adanya kompleks spesies di dalam B. tabaci. Mereka menjumpai adanya isolasi perkawinan antarpopulasi B. tabaci

yang berasal dari geografi yang berbeda pada tumbuhan yang berbeda. Populasi

B. tabaci asal tumbuhan ubi kayu dari India dan Afrika tidak dapat kawin dengan populasi B. tabaci asal tumbuhan ubi jalar asal India dan Afrika; tetapi populasi B. tabaci asal tumbuhan ubi kayu India dapat kawin dengan B. tabaci tumbuhan ubi kayu Afrika. Data isolasi perkawinan ini didukung oleh perbedaan tingkat kemiripan antarfragmen mtCOI.

Frohlich et al. (1999) menyebutkan B. tabaci dan B. argentifolii

merupakan cryptic species atau sibling species. Cryptic species atau sibling

(30)

Status B. argentifolii sebagai spesies yang berbeda dengan B. tabaci

dibantah oleh peneliti lain seperti Barinaga (1993). Barinaga tidak menemukan perbedaan ribosomal RNA antara biotipe A dan biotipe B. Berdasarkan karakter mitokondria sitokrom oksidase I (mtCOI) dan ribosomal ITS1 De Barro et al.

(2005) tidak setuju biotipe B (B. argentifolii) sebagai spesies terpisah dari B. tabaci. Mereka menyarankan kompleks spesies B. tabaci yang ada hanyalah ras bukan spesies. Ras-ras B. tabaci yang ada antara lain ras Asia, Bali, Australia, Sub-Sahara, Mediterania-Asia minor-Afrika, dan Amerika.

Alasan Digunakan Mitokondria Sitokrom Oksidase I (mtCOI)

Mitokondria bersama dengan kloroplas merupakan organel sel yang berfungsi untuk menghasilkan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP), dipercaya berasal dari bakteri yang telah beradaptasi di dalam sitosol sel jutaan tahun yang lalu, diturunkan secara maternal. Rata-rata substitusi nukleotida mitokondria 10 kali lebih besar dibandingkan dengan nukleus. Kecepatan relatif evolusi gen-gen yang ada di mitokondria ini dimanfaatkan untuk memperkirakan evolusi mahluk hidup yang bersifat ralatif baru (Alberts et al. 2002). Gillham (1994) menyatakan molekul mitokondria hewan mempunyai kecepatan mutasi relatif tinggi sehigga berguna untuk analisis filogenetik pada tingkat genus sampai tingkat di bawah populasi. Studi molekuler menggunakan genom mitokondria menjadi fokus dalam studi filogeni hewan karena ukuran mitokondria kecil dan stabilitas tinggi (Soltis & Soltis 2002). Li & Graur (1991) dan Hoy (1994) mengatakan mitokondria hewan mengalami substitusi nukleotida yang cepat tetapi urutan penataan gen dan komposisinya dipertahankan di antara spesies. Di dalam fragmen DNA mitokondria terdapat wilayah fragmen yang berubah cepat sedangkan wilayah fragmen lain dipertahankan sehingga mitokondria dapat digunakan untuk menganalisis berbagai tingkat taksonomi (Hoy 1994).

(31)

Sejumlah mutasi yang terjadi pada dua individu mencerminkan kedekatan hubungan kekerabatan. Jika sejumlah mutasi dapat membedakan dua individu menandakan adanya beberapa generasi pendahulu atau nenek moyang. Dengan kata lain sedikitnya mutasi antar dua organisme menunjukan kedekatan kekerabatan (Sabeti 2005).

Gen mtCOI merupakan salah satu gen dalam kompleks fragmen sitokrom oksidase yang berperan dalam proses respirasi sel. Fragmen asam amino COI termasuk wilayah fragmen yang dipertahankan sehingga memungkinkan dibuat primer universal dari wilayah tersebut. Fragmen COI jarang mengalami substitusi asam amino akan tetapi perubahan silent (perubahan yang tidak merubah fungsi asam amino) sering terjadi. Hal tersebut yang menyebabkan fragmen asam amino COI berguna untuk merekronstruksi filogenetik pada cabang evolusi di bawah tingkat spesies (Palumbi 1996). Walaupun mitokondria mengalami evolusi cepat tetapi ada bagiannya yaitu mtCOI yang mengalami evolusi rendah sehingga dipilih sebagai karakter genetika dengan alasan, sedikit perbedaan basa nukleotida yang dijumpai diharapkan mampu membuktikan adanya kompleks spesies (De Barro 2005).

Penelitian ini menggunakan fragmen mitokondria COI untuk mengevaluasi kompleks spesies populasi B. tabaci dari daerah endemik penyakit kuning cabai di Indonesia. Pengetahuan tentang penyebaran dan komposisi biotipe penting untuk mengendalikan penyakit kuning pada tanaman cabai yang disebabkan oleh geminivirus dan ditularkan oleh B. tabaci.

Hubungan Antara Biotipe dengan Filogeografi

(32)

Hubungan antara biotipe dengan filogeografi merupakan hasil analisis Perring (2001) menggunakan pola esterase dan fragmen (mtCOI, 16S, ITS1, mikrosatelit). Hasil analisis Perring (2001) tersebut antara lain: Amerika Serikat (esterase biotipe A), Benin (esterase biotipe E), Sudan (esterase biotipe L), Israel-Yaman-Amerika Serikat (esterase biotipe B), Costa Rica-Mexico-Puerto Rico-Amerika Serikat (esterase biotipe A), Spanyol (esterase biotipe Q), Australia (esterase biotipe AN).

Peneliti lain juga menggunakan analisis yang menghubungkan antara biotipe hasil identifikasi menggunakan pita esterase dengan pengelompokan filogeografi hasil perunutan nukleotida (mtCOI, 16S, ITS1). Antar wilayah filogeografi mempunyai runutan nukleotida khas akibat isolasi geografi yang dikenal sebagai populasi lokal (populasi asli). Runutan nukleotida tersebut dapat dilihat di gen bank salah satunya situs NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov). Diantara biotipe tersebut terdapat biotipe B dan Q yang mempunyai sifat invasif dan merupakan vektor efektif geminivirus. Wilayah geografi asal biotipe B dan Q dapat diketahui menggunakan fragmen mtCOI. Frohlich et al. (1999) melaporkan bahwa biotipe B berasal dari populasi B. tabaci di wilayah kering yaitu Timur Tengah dan Semenanjung Arab (old world) sedangkan biotipe Q berasal dari Mediterania (Spanyol, Portugal, Itali) (CDFA 2005).

(33)
(34)

III VARIASI MORFOLOGI PUPARIUM

Bemisa tabaci

(GENNDAIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA

BERBAGAI INANG DAN KETINGGIAN TEMPAT DARI

DAERAH ENDEMIK PENYAKIT KUNING CABAI DI

INDONESIA BAGIAN BARAT

ABSTRAK

Bemisia tabaci dikenal sebagai serangga polifag, vektor geminivirus dan mempunyai variasi karakter morfologi puparium. Variasi karakter morfologi puparium belum banyak yang melaporkan sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui adanya variasi tersebut dan faktor yang mempengaruhinya. Penelitian yang dilakukan meliputi: 1) pengambilan kutukebul dari daerah endemik penyakit kuning (Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan); 2) identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi; 3) pengamatan bentuk dan pengukuran (panjang dan lebar puparium, panjang seta kauda dan jumlah rambut dorsal); 4) analisis faktor yang mempengaruhi variasi puparium menggunakan kanonikal dan boxplot. Dua spesies kutukebul ditemukan dari daerah pengambilan sampel yaitu: B. tabaci dan

Trialeurodes vaporariorum (Westwood). Dijumpai empat kelompok variasi bentuk puparium B. tabaci yaitu: oval, oval dengan 1-2 lekukan, oval dengan >3 lekukan, bentuk seperti kerang laut. Terdapat hubungan antara jenis tanaman inang dengan bentuk, ukuran puparium, dan jumlah rambut dorsal. Permukaan daun tanaman inang akan menyebabkan variasi karakter jumlah rambut dorsal, selanjutnya variasi karakter jumlah rambut dorsal akan menyebabkan variasi bentuk dan ukuran puparium. Variasi puparium B. tabaci lebih dipengaruhi oleh jenis tanaman inang dibandingkan ketinggian tempat. Variasi puparium dapat dilihat pada rambut dorsal, panjang dan lebar puparium sedangkan karakter panjang seta kauda tidak bervariasi.

Kata kunci: B. tabaci, variasi bentuk, variasi karakter morfologi

PENDAHULUAN

(35)

dari floem tanaman atau akibat tidak langsung sebagai vektor virus. B. tabaci

penting diteliti karena perananan serangga tersebut sebagai vektor geminivirus dan kehilangan hasil akibat penyakit yang ditimbulkan oleh geminivirus (genus: Begomovirus, famili: Geminiviridae) cukup besar. Brown & Bird (1992) melaporkan kehilangan hasil 20 - 100% akibat aktivitas B. tabaci sebagai vektor geminivirus.

Geminivirus merupakan penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai. Kejadian penyakit kuning pada tanaman cabai sangat tinggi yaitu mencapai 100% di Yogyakarta, Magelang (Rahayu 2004), dan di Sumatera (Sudiono et al. 2005). Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari peran B. tabaci sebagai serangga vektor.

Identifikasi spesies B. tabaci dapat dilakukan menggunakan karakter morfologi puparium. Perring (2001) menyebutkan bahwa karakter morfologi puparium B. tabaci sangat bervariasi tergantung pada tanaman inangnya. Variasi karakter morfologi inilah yang menyebabkan B. tabaci mempunyai 19 sinonim penamaan. Informasi mengenai variasi karakter morfologi B. tabaci yang ditemukan dari berbagai inang atau diambil dari ketinggian tempat yang berbeda masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari variasi karakter morfologi dan melihat faktor mana yang paling mempengaruhi adanya variasi karakter morfologi tersebut, apakah tanaman inang atau ketinggian tempat.

Tujuan Penelitian

(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan puparium atau kantung puparium dari daun tanaman sampel, pembuatan slide permanen dan identifikasi spesies kutukebul dilakukan di Laboratorium Taksonomi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman (DPT), Fakultas Pertanian (Faperta), Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian berlangsung mulai Agustus 2007 sampai Februari 2009.

Metode Penelitian

1 Pengambilan Sampel Kutukebul dari Daerah Endemik Penyakit Kuning Cabai

Jenis sampel kutukebul yang diambil dari tanaman cabai dan pertanaman di sekitarnya adalah puparium, kantung puparium dan imago. Puparium dan kantung puparium kutukebul digunakan untuk identifikasi spesies, sedangkan imago digunakan untuk ekstraksi DNA total (BAB IV). Setelah sampai di laboratorium, puparium dan kantung puparium diambil dari daun lalu disimpan dalam alkohol 80%, sedangkan imago disimpan kering dalam -20oC. Daerah pengambilan sampel meliputi: Sumatera Barat (Pesisir Selatan, Agam, Tanah Datar); Jawa Barat (Cianjur, Bogor); Jawa Tengah (Rembang, Brebes, Magelang); Daerah Istimewa Yogyakarta (Bantul); Jawa Timur (Malang, Kediri); Bali (Tabanan, Badung); dan Kalimantan Selatan (Hulu Sungai Selatan, Banjar Baru, Tanah Laut). Daerah pengambilan sampel dikelompokkan dalam 5 ketinggian yaitu: A) 0-100 mdpl meliputi: Pesisir Selatan, Brebes, Rembang, Kediri, Banjar Baru; B) 100-500 mdpl meliputi Malang, Bantul, Badung; C) 500-700 mdpl meliputi Malang; D) 700-1000 mdpl meliputi Tabanan; E) 1000-1200 mdpl meliputi: Agam, Tanah Datar, Cianjur, Malang, Tabanan.

2 Pembuatan Slide dan Identifikasi Kutukebul

(37)

Berikut ini adalah proses pembuatan slide permanen dari kantung puparium. Kantung puparium direndam dalam alkohol 95% selama 10 menit kemudian dicuci dengan akuades 1 kali. Kantung puparium selanjutnya direndam dalam asam asetik glasial selama 10 menit kemudian dicuci dengan akuades 1 kali. Tahap berikutnya adalah merendam kantung puparium dalam campuran asam asetik glasial dan asam fuhsin dengan perbandingan 1:1 selama 30 menit. Kantung puparium kemudian berturut-turut direndam dalam alkohol 80% 10 menit, alkohol absolut 10 menit dan minyak cengkeh 10 menit. Kantung puparium diatur posisinya dalam gelas objek, sisa minyak cengkeh diserap dengan tisu, ditetesi kanada balsam kemudian ditutup dengan gelas penutup. Slide diatur dalam loyang kemudian dimasukkan dalam kotak pengering selama minimal 2 minggu. Kutukebul kemudian diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi kutukebul (Martin 1987) dibawah mikroskop fase kontras.

3 Pengamatan Variasi Bentuk Puparium Pada Berbagai Tanaman Inang

Pengamatan variasi bentuk puparium yang ditemukan dari berbagai tanaman inang dilakukan terhadap puparium B. tabaci yang sudah dikeringkan kurang-lebih 2 minggu.

4. Pengukuran Kantung Puparium B. tabaci dan Analisis Data

(38)

Hal-hal yang diperhatikan dalam analisis kanonikal adalah: 1) hubungan diantara panjang dan lebar puparium, panjang seta kauda, dan jumlah rambut dorsal; 2) hubungan jenis tanaman inang terhadap panjang dan lebar puparium, panjang seta kauda dan jumlah rambut dorsal; 3) hubungan ketinggian tempat terhadap panjang dan lebar puparium, panjang seta kauda, dan jumlah rambut dorsal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Pengambilan Sampel Kutukebul di Daerah Endemik Penyakit Kuning Cabai

Kutukebul diambil dari 7 propinsi, 16 kabupaten dan 14 jenis tanaman (Tabel 3.2). Spesies kutukebul yang ditemukan ada 2 macam yaitu B. tabaci dan

Trialeurodes vaporariorum, keduanya merupakan ordo Hemiptera, famili Aleyrodidae. Karakter morfologi yang membedakan spesies B. tabaci dan T. vaporariorum adalah submargin, rambut dorsal, pinggiran trakea, basal tungkai tengah dan belakang, abdomen ruas VII, lingula (Tabel 3.1 dan Gambar 3.1) Tabel 3.1 Perbandingan karakter morfologi puparium spesies Bemisia tabaci dan

Trialeurodes vaporariorum

Karakter B. tabaci T. vaporariorum

Submargin (d) tanpa barisan papila dengan barisan papila Rambut dorsal (e) 7 pasang memanjang tidak ada

Pinggiran trakea (f) seperti sisir tidak seperti sisir Basal tungkai tengah dan belakang (g) tanpa seta terdapat seta

Lingula (j) Memanjang Membulat (cuping)

B. tabaci ditemukan pada ketinggian 1-1200 mdpl sedangkan T. vaporariorum mulai dijumpai pada ketinggian 550-1200 mdpl (Tabel 3.2). Pada pengambilan sampel kutukebul di daerah > 550 mdpl, populasi yang lebih mudah ditemukan adalah T. vaporarium, tetapi kadangkala dalam satu tanaman ditemukan T. vaporariorum dan B. tabaci. Xie et al. (2006) menjelaskan bahwa

(39)

diduga mempengaruhi pola distribusi kedua spesies tersebut. Baik B. tabaci

maupun T. vaporariorum merupakan kutukebul polifagus dan kosmopolitan (Martin 1999) sehingga kedua serangga tersebut dapat diperoleh dari daerah pengambilan sampel dengan keragaman jenis tanaman inang yang luas.

2. Variasi Bentuk Puparium Pada Berbagai Tanaman Inang

Bentuk puparium B. tabaci yang berasal dari 13 jenis tanaman inang dapat dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu: oval, oval dengan 1-2 lekukan, oval dengan >3 lekukan, dan berbentuk seperti kerang laut (Tabel 3.3 dan Tabel 3.4). Puparium yang berbentuk oval yaitu puparium berbentuk oval membulat. Puparium oval dengan 1-2 lekukan yaitu puparium oval membulat dan ada satu sampai dua bagian yang berlekuk. Puparium oval dengan >3 lekuk yaitu puparium oval membulat dan ada >3 bagian yang berlekuk. Puparium berbentuk kerang laut yaitu puparium tidak berbentuk oval membulat tetapi lebih mirip dengan bentuk kerang laut.

Puparium yang berbentuk oval, secara umum banyak dijumpai pada inang yang mempunyai permukaan daun halus dan tidak berambut. Puparium yang berbentuk oval dengan 1-2 lekukan atau oval dengan >3 lekukan, secara umum banyak dijumpai pada inang yang mempunyai permukaan daun kasar dan banyak rambutnya. Bentuk kerang hanya dijumpai pada tanaman terung saja. Pada tanaman cabai dan kacang panjang yang permukaan daunnya halus dan tidak berambut ditemukan puparium oval dengan 1-2 lekukan atau oval dengan >3 lekukan tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan puparium yang berbentuk oval. Pada tanaman terung yang permukaan daunnya banyak rambut dijumpai puparium yang berbentuk oval tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan puparium yang berbentuk oval dengan 1-2 lekukan dan oval dengan >3 lekukan (Tabel 3.3).

(40)

Gambar 3.1 A. Puparium Bemisia tabaci, B. Puparium Trialeurodes vaporariorum, (a) seta kauda, (b) caudal furrow, (c) vasiform orifice, (d) submargin, (e) rambut dorsal, (f) pinggiran trakea, (g) basal tungkai tengah dan belakang, (h) ruas abdomen VII, (i) operculum, (j) lingula.

0,11 mm

0,05 mm 0,77 mm A

B

a

a b

c d e f

g

b c d

f

g

0,61 mm

e

h

i

h

i j

(41)

Tabel 3.2 Daftar lokasi pengambilan sampel dan hasil identifikasi spesies

Daerah Tanaman Inang

(Jumlah lokasi) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Bantul Cabai (3) 150 B Imago NA 15-17 Agustus 2008

Malang Kacang merah

(1)

Bt = Bemisia tabaci

2)Tv = Trialeurodes vaporariorum; 3)

Imago tidak diidentifikasi, identifikasi spesies dilakukan menggunakan karakter morfologi puparium atau kantung puparium;

4)

JT = Junsu Trisno 5)

(42)

Tabel 3.3 Berbagai bentuk puparium B. tabaci yang diamati dari 13 jenis tanaman inang

No Tanaman Inang Tekstur

Daun

Jumlah Individu

(n)

Bentuk ( rata-rata dalam persen) Oval Oval 1-2

lekukan

Oval > 3 lekukan

Kerang Laut

1 Kacang Tanah (Fabaceae) Halus 7 100 0 0 0

2 Singkong (Euphorbiaceae) Halus 20 95 5 0 0

3 Cabai (Solanaceae) Halus 224 63,4 27,2 9,4 0

4 Kacang Panjang (Fabaceae) Halus 58 62,1 27,6 10,3 0

5 Kedelai (Fabaceae) Kasar 31 100 0 0 0

6 Mentimun (Cucurbitaceae) Kasar 18 44,5 22,2 33,3 0

7 Gambas (Cucurbitaceae) Kasar 5 0 80 20 0

8 Kacang Merah (Fabaceae) Kasar 2 0 0 100 0

9 Buncis (Fabaceae) Berambut 10 0 40 60 0

10 Tomat (Solanaceae) Berambut 3 0 66,7 33,3 0

11 Labu (Cucurbitaceae) Berambut 8 0 37,5 62,5 0

12 Melon (Cucurbitaceae) Berambut 15 0 0 100 0

13 Terung (Solanaceae) Berambut 154 37,7 15,6 42,2 4,5

Martin (1999) menyebutkan bahwa bentuk puparium B. tabaci mempunyai berbagai variasi fenotipe tergantung pada karakter fisik permukaan daun seperti lapisan lilin dan bulu-bulu pada permukaan daun. Secara umum Gill (2006) menyebutkan kutukebul yang masuk dalam Subfamili Aleyrodinae dapat mengalami perubahan bentuk morfologi puparium yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

3. Hubungan Antara Jumlah Rambut dorsal, Panjang dan Lebar Puparium, dan Panjang Seta Kauda.

Rambut dorsal selalu dijumpai pada permukaan dorsal puparium B. tabaci

yang berjumlah 7 pasang. Rambut dorsal ini ada yang pendek dan ada yang memanjang. Puparium B. tabaci bisa mempunyai rambut dorsal yang memanjang berjumlah 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, atau 7 pasang.

(43)

berlawanan arah tersebut ditunjukkan oleh nilai negatif. Nilai hubungan linier berdasarkan analisis kanonikal antara rambut dorsal dan panjang puparium adalah -0,5966 sedangkan nilai hubungan linier antara rambut dorsal dan lebar puparium adalah -0,5612.

Apabila panjang puparium memanjang maka lebar puparium juga melebar. Nilai hubungan linier berdasarkan analisis kanonikal antara panjang dan lebar puparium adalah 0,7999. Nilai hubungan linier sebesar 0,7999 menunjukkan nilai yang tinggi untuk menunjukkan suatu hubungan linier dan arah hubungan ini bersifat searah (Lampiran 1).

(44)

Tabel 3.4 Gambar berbagai bentuk puparium B. tabaci yang diamati dari 13 jenis tanaman inangnya

No Tanaman Inang

(tekstur permukaan

daun/kelompok)

Bentuk Puparium

Oval Oval 1-2

lekukan

Oval > 3

lekukan

Kerang laut

1 Kacang tanah

(halus/I)

- - -

2 Kedelai

(kasar/II)

- - -

3 Singkong

(halus/I)

- -

4 Cabai

(halus/I)

-

5 Kacang panjang

(halus/I)

-

6 Mentimun

(kasar/II)

-

7 Terung

(45)

Tabel 3.4 Lanjutan

No Tanaman Inang Bentuk

Oval Oval 1-2

lekukan

Oval > 3

lekukan

Kerang laut

8 Buncis

(berambut/III)

- -

9 Tomat

(berambut/III)

- -

10 Gambas

(kasar/II)

- -

11 Kacang Merah

(kasar/II)

- - -

12 Labu

(berambut/III)

- -

13 Melon

(berambut/III)

- - -

* Puparium B. tabaci robek saat dibuat slide permanen

(46)

Ukuran rata-rata puparium (mm) B. tabaci dari berbagai tanaman inang disajikan dalam Tabel 3.5. Ukuran puparium B. tabaci yaitu: lebar antara 0,438 - 0,554 mm; panjang antara 0,611 - 0,768 mm; panjang seta kauda antara 0,085 - 0,118 mm.

Tabel 3.5 Nilai rata-rata dan standar deviasi (sd) panjang dan lebar puparium (mm), panjang seta kauda (mm) B. tabaci pada 13 jenis tanaman inang

4. Hubungan Jenis Tanaman Inang terhadap Jumlah Rambut Dorsal, Panjang dan Lebar Puparium, Panjang Seta Kauda.

Terdapat hubungan antara jenis tanaman inang dengan jumlah rambut dorsal yang memanjang, panjang dan lebar puparium. Nilai hubungan silang berdasarkan analisis kanonik antara jenis tanaman inang dengan jumlah rambut dorsal yang memanjang adalah sebesar -0,4253; nilai hubungan silang antara jenis tanaman inang dan panjang puparium adalah sebesar 0,3480; dan nilai hubungan silang antara jenis tanaman inang dan lebar puparium adalah sebesar 0,2587. Diantara ketiga hubungan tersebut, perbedaan jumlah rambut dorsal lah yang paling dipengaruhi oleh jenis tanaman inang dengan nilai hubungan silang paling besar yaitu -0,4253. Tidak terdapat hubungan yang erat antara jenis tanaman inang dengan panjang seta kauda yang ditunjukkan dengan nilai hubungan silang mendekati nol -0,0665 (Lampiran 3).

Famili (Inang) Karakter Morfologi Puparium Bemisia tabaci (Gennadius)

(47)

4.1 Analisis “Boxplot”: Hubungan Antara Rambut dorsal Puparium Dengan Tanaman Inang

Karakter morfologi banyak dijumpai pada bagian dorsal (bagian punggung puparium). Karakter morfologi rambut dorsal yang memanjangkadang dijumpai dan kadang tidak dijumpai pada bagian median atau submedian dorsal puparium

B. tabaci (Watson 2007). Jumlah rambut dorsal yang memanjang ini antara 0-7 pasang (Gambar 3.2).

Berdasarkan tekstur permukaan daun tanaman inang B. tabaci (Tabel 3.3) dapat dikelompokkan menjadi 3: Kelompok I (tekstur permukaan daun halus tanpa rambut) terdiri atas: kacang tanah, singkong, cabai, kacang panjang. Kelompok II ( tekstur permukaan daun kasar) terdiri atas: kedelai, mentimun, gambas, kacang merah. Kelompok III (terkstur permukaan daun kasar dan berambut) terdiri atas: terung, buncis, tomat, labu, melon.

Puparium yang hidup pada tanaman inang kelompok I mempunyai jumlah rambut dorsal yang memanjang dengan nilai median nol. Puparium juga ditemukan mempunyai rambut dorsal yang memanjangberjumlah lebih dari satu tetapi jumlah puparium tersebut tidak dominan (Gambar 3.3). Bentuk puparium yang hidup pada tanaman inang kelompok I umumnya berbentuk oval (100% pada kacang tanah, 95% pada singkong, 63,4% pada cabai, dan 62,3% pada kacang panjang).

(48)
(49)

halus mempunyai ukuran puparium paling besar berbentuk oval. B. tabaci yang hidup pada inang dengan permukaan daun kasar mempunyai ukuran lebih mengecil dan yang hidup pada permukaan daun berambut mempunyai ukuran puparium paling kecil.

Gambar 3.3 Gambar “boxplot” jumlah rambut dorsal berdasarkan nilai median (garis hitam) pada 13 tanaman inang B. tabaci: Buncis (Pisum sativum), Labu (Cucurbita moschata), Melon (Cucumis melo var.

reticulates), Terung (Solanum melongena), Tomat (Solanum lycopersicum), Gambas (Luffa acutangula), KacangM (Kacang Merah = Vigna angularis), Kedelai (Glycine max), Mentimun (Cucumis sativus), Cabai (Capsicum annum), KacangP (Kacang Panjang = Vigna sinensis), KacangT (Kacang Tanah = Arachis hypogaea), Singkong (Manihot esculenta).

5 Hubungan Ketinggian Tempat terhadap Jumlah Rambut Dorsal, Panjang dan Lebar Puparium, Panjang Seta Kauda.

Tidak terdapat hubungan antara ketinggian tempat dengan jumlah rambut dorsalyang memanjang atau lebar puparium. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai korelasi silang yang mendekati nol yaitu 0,0794 dan 0,0548 untuk berturut-turut

Singkong

Inang (kelompok tekstur permukaan daun: berambut (III), kasar (II), halus (I))

(50)

korelasi silang antara ketinggian tempat dengan jumlah rambut dorsal yang memanjang dan antara ketinggian tempat dengan lebar puparium. Ketinggian tempat akan mempengaruhi panjang seta kauda dan panjang puparium tetapi pengaruh tersebut tidak terlalu kuat karena nilai korelasi silang mendekati nol. Nilai korelasi silang berdasarkan analisis kanonikal antara ketinggian tempat dengan panjang seta kauda sebesar 0,2312 dan nilai korelasi silang antara ketinggian tempat dengan panjang puparium sebesar 0,1511 (Lampiran 3).

Ukuran rata-rata puparium (mm) B. tabacidari berbagai ketinggian tempat disajikan dalam Tabel 3.6. Ukuran puparium B. tabaci yaitu: lebar antara 0,4962 - 0,5501 mm; panjang antara 0,6883 - 0,7497 mm; panjang seta kauda antara 0,0936 - 0,0975 mm

Tabel 3.6 Nilai rata-rata dan standar deviasi (sd) panjang dan lebar puparium (mm), panjang seta kauda (mm) B. tabaci pada berbagai ketinggian tempat

Ketinggian tempat (mdpl)

Karakter Morfologi Puparium Bemisia tabaci (Gennadius)

Lebar Puparium (mm) Panjang Puparium (mm)

Panjang Seta Kauda (mm)

rata-rata ± sd rata-rata ± sd rata-rata ± sd A (0-100) 0.5155 ± 0.0543 0.7035 ± 0.0682 0.0956 ± 0.0100 B (100-500) 0.5286 ± 0.0726 0.7337 ± 0.0765 0.0967 ± 0.0158 C (500-700) 0.4962 ± 0.0566 0.6883 ± 0.0697 0.0975 ± 0.0110 D (700-1000) 0.5501 ± 0.0481 0.7623 ± 0.0510 0.0936 ± 0.0095 E (1000-1200) 0.5397 ± 0.0702 0.7497 ± 0.0669 0.0937 ± 0.0090

Rataan ± sd 0,501 ± 0,056 0,714 ± 0,056 0,088 ± 0,009

(51)

6 Adaptasi Morfologi Puparium B. tabaci

Fenotipe suatu organisme merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Walaupun mempunyai faktor genetik sama, fenotipe suatu organisme mampu berubah-ubah (phenotypic plasticity) tergantung dari pengaruh lingkungan (Mackenzie et al. 2001). Variasi morfologi puparium B. tabaci dalam penelitian ini merupakan salah satu contoh adanya perubahan fenotipe. Fenotipe puparium B. tabaci dapat berubah tergantung jenis tanaman inangnya. Contoh perubahan fenotipe akibat pengaruh lingkungan juga dapat diamati pada anjing tanah (Gryllotalpa sp.) (Orthoptera: Gryllidae). Anjing tanah yang hidup pada kebun singkong akan mempunyai eksoskeleton lebih keras, kepada lebih besar dan mata mengecil dibandingkan anjing tanah yang hidup pada persawahan dan pinggiran sungai (Simamora 2000).

Perubahan fenotipe merupakan salah satu bentuk adaptasi. Adaptasi adalah suatu sifat yang dapat diturunkan pada generasi berikutnya meliputi tingkah laku, morfologi atau fisiologi untuk membantu bertahan hidup pada suatu lingkungan tertentu (Mackenzie et al. 2001). Pupaium B. tabaci berlekuk merupakan adaptasi agar bagian tubuh puparium tersebut tidak terkena rambut permukaan daun. Rrambut dorsal pada puparium berlekuk biasanya memanjang diduga merupakan bentuk adaptasi agar puparium terhindar dari musuh alami. Rambut dorsal puparium sekilas menyerupai rambut pada permukaan daun. McFarland (1999) menyatakan tingkat kesamaan antara hewan dengan latarbelakang visual merupakan proses seleksi sehingga hewan dapat menghindar dari predator atau musuh alami.

SIMPULAN

(52)

tabaci yang diambil dari 13 jenis inang adalah oval, oval dengan 1-2 lekukan, oval dengan >3 lekukan dan berbentuk seperti kerang laut.

Dari analisis kanonikal dapat disimpulkan bahwa jenis tanaman inang merupakan faktor yang lebih tinggi menyebabkan variasi puparium dibandingkan ketinggian tempat. Variasi puparium dapat dilihat pada rambut dorsal yang memanjang, panjang puparium, lebar puparium sedangkan setakauda tidak dilihat adanya variasi. Karakter puparium yang paling bervariasi adalah jumlah rambut dorsalyang dipengaruhi oleh jenis tanaman inang.

Analisis “boxplot” dapat menggambarkan hubungan antara jenis tanaman inang dengan bentuk, ukuran puparium dan jumlah rambut dorsal yang memanjang. Tanaman inang dengan permukaan daun halus biasanya akan dijumpai bentuk puparium oval, ukuran puparium paling besar, dan umumnya tidak mempunyai rambut dorsal yang memanjang. Pada tanaman inang dengan permukaan daun kasar biasanya akan dijumpai campuran bentuk puparium (oval, oval dengan 1-2 lekukan, oval dengan >3 lekukan) dalam satu populasi, ukuran puparium mengecil dan rambut dorsal yang memanjang berjumlah antara 2-4. Tanaman inang dengan permukaan daun berambut akan dijumpai bentuk puparium oval dengan >3 lekukan, ukuran puparium paling kecil dan rambut dorsalyang memanjang berjumlah 7.

DAFTAR PUSTAKA

Brown JK, Frohlich DR, Rossell RC. 1995. The sweet potato or silverleaf whiteflies: biotypes of Bemisia tabaci or a species complex? Ann Rev Entomol 40:511-534.

Ghozali I. 2005. Korelasi Kanonikal (Canonical correlation) dalam Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Undip.

Gill RJ. 2006. Can molecules solve the bemisia conundrum when morphology cannot? A taxonomists perspective. J of In Sci 8:1-53.

Mackenzie A, Ball AS, Virdee SK. 2001. Instant Note Ecology, Sec Ed. Oxford: Bios Scien Publ Ltd.

(53)

Martin JH. 1987. An identification guide to common whitefly pest species of the world (Homoptera: Aleyrodidae). Trop Pest Manag 33(4):298-322.

Martin JH. 1999. The whitefly fauna of Australia (Sternorrhyncha: Aleyrodidae) a taxonomic account and identification guide. CSIRO Entomologycal Technical Paper 38. 197 hlm.

Perring TM, Cooper AD, Russell RJ, Farrar CA, Bellows TS. 1993. Identification of a whitefly species by genomic and behavioural studies.

Science 259:74-77.

Perring TM. 2001. Review article: the Bemisia tabaci species complex. Crop Prot 20:709-723.

Rahayu STS. 2004. Understanding the flight activity for decision making in management of Bemisia tabaci [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Univesitas Gadjah Mada.

Simamora D. 2000. Kajian morfologi, perilaku, habitat dan analisis proksimat anjing tanah (Gryllotalpa sp.) dari Balige Sumatera Utara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sudiono, Yasin N, Hidayat SH, Hidayat P. 2005. Penyebaran dan deteksi molekuler virus gemini penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Sumatera. J. HPT Tropika (5) 2: 113-121.

Watson GV. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC Re-enctry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur 16-26 April.

Xie M, Chen YH, Wan FH. 2006. Responses of two whitefly species,

(54)

IV VARIASI GENETIK DAN FILOGENI

Bemisia tabaci

(GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) DARI

DAERAH ENDEMIK PENYAKIT KUNING CABAI DI

INDONESIA BAGIAN BARAT MENGGUNAKAN ANALISIS

FRAGMEN MITOKONDRIA SITOKROM OKSIDASE I

ABSTRAK

Bemisia tabaci dikenal mempunyai variasi genetik tinggi. Dilaporkan bahwa B. tabaci biotipe B dan Q dapat menyebabkan masalah serius karena kemampuannya untuk berkembang biak dengan cepat dan keefektifannya dalam menularkan geminivirus. B. tabaci biotipe B dan Q sudah tersebar luas dan menjadi hama penting dibanyak negara di Amerika, Afrika, Asia dan Eropa. Penyakit kuning pada cabai yang disebabkan oleh geminivirus dan ditularkan oleh

B. tabaci menjadi masalah penting di Indonesia mengingat kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai 100%. Informasi mengenai genetik B. tabaci yang berasosiasi dengan penyakit kuning cabai di Indonesia masih sedikit. Untuk itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui variasi genetik B. tabaci. Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi: 1) ekstraksi DNA total B. tabaci dari hasil pengambilan sampel di daerah endemik penyakit PYLCIV; 2) amplifikasi fragmen mitokondria sitokrom oksidase I (mtCOI) dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR); 3) analisis filogenetik berdasarkan fragmen mtCOI. Ekstraksi DNA disarankan menggunakan metode Frohlich karena memberikan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi untuk mengamplifikasi fragmen mtCOI. Berdasarkan fragmen mtCOI, sampel B. tabaci yang berasal dari daerah endemik penyakit kuning cabai di Indonesia bagian barat berada dalam satu kelompok, yang tidak termasuk dalam kelompok biotipe B atau Q. B. tabaci yang terkoleksi dalam studi ini merupakan spesies lokal termasuk dalam biotipe non B, kelompok wilayah Asia I.

Kata kunci: B. tabaci, mtCOI, biotipe, kelompok Asia I.

PENDAHULUAN

Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) dideskripsikan oleh Gennadius tahun 1889 dan dilaporkan sebagai hama tanaman tembakau (Oliveira et al.

(55)

(genus: Begomovirus, famili: Geminiviridae). B. tabaci dapat berperan sebagai hama langsung dan vektor geminivirus, tetapi peran B. tabaci sebagai vektor lebih merugikan (Brown & Bird 1992). Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa beberapa populasi B. tabaci di Amerika Serikat mempunyai kemampuan berbeda dalam menularkan geminivirus. Costa & Brown (1991) membandingkan pola esterase terhadap dua popoulasi yang berbeda kemampuannya dalam menularkan geminivirus tersebut. Populasi asli Amerika dinamakan sebagai biotipe A sedangkan populasi B. tabaci yang baru masuk dinamakan biotipe B. Biotipe B dilaporkan mampu menggeser kelimpahan populasi asli, memiliki kisaran inang lebih luas dan keperidian tinggi, lebih resisten terhadap insektisida, lebih efektif menularkan geminivirus sehingga dilaporkan lebih merugikan.

Analisis Frochlih et al. (1999) menggunakan fragmen mtCOI menyimpulkan bahwa biotipe B masuk ke benua Amerika dari wilayah antara Israel dan Yaman. Aktivitas B. tabaci biotipe B ini juga dilaporkan menimbulkan kerugian di Turki dan menggeser keberadaan biotipe asli TC (Bayhan et al. 2006). Rekha et al. (2005) melaporkan adanya penyebaran biotipe B di India Selatan dan mulai menggeser keberadaan populasi asli. Menyebarnya biotipe B juga dilaporkan di Argentina, Uganda, Pakistan, dan Cina (Viscarret et al. 2003, Simon

et al. 2003, Zhang et al. 2005).

Selain biotipe A dan B, biotipe lain yang teridentifikasi di Amerika adalah biotipe Q yang diduga menginvasi Amerika dari wilayah Mediterania (Spanyol, Portugal, Itali) (Shatterr et al. 2006). Biotipe Q tersebut dilaporkan lebih merugikan dibandingkan biotipe B (CDFA 2005). Saat ini biotipe Q dilaporkan sudah menyebar ke wilayah Israel, Cina dan Jepang. De Barro et al. (2008) menyimpulkan B. tabaci biotipe B dan Q merupakan biotipe invasif dan menjadi vektor efektif geminivirus yang saat ini tersebar luas melalui perdagangan tanaman hias.

Gambar

Tabel 2.1  Sinonim Bemisia tabaci dengan lokasi tempat diidentifikasi dan tumbuhan inangnya (Perring 2001)
Gambar 2.1 G Fase perkem(d) instar puparium; mbangan Be3; (e) inst(h) imago (Pemisia tabactar 4; (f) pPurbosari 20ci (a) telur; (bpuparium; (g008)
Tabel 3.1  Perbandingan karakter morfologi puparium spesies Bemisia  tabaci dan Trialeurodes  vaporariorum
Gambar 3.1  A. Puparium Bemisia tabaci, B. Puparium Trialeurodes vaporariorum, (a) seta kauda, (b) caudal furrow, (c) vasiform orifice, (d) submargin, (e) rambut dorsal, (f) pinggiran trakea, (g) basal tungkai tengah dan belakang, (h) ruas abdomen VII, (i)
+7

Referensi

Dokumen terkait

VALIDITAS DAN KETERLAKSANAAN LEMBAR KEGIATAN SISWA (LKS) BERBAHASA INGGRIS BERBASIS METAKOGNITIF PADA MATERI SISTEM PERNAPASAN MANUSIA.. VALIDITY AND PRACTICALITY OF

Temuan - Layanan pelanggan, struktur harga dan sistem penagihan adalah dimensi kualitas pelayanan yang memiliki pengaruh positif yang lebih signifikan pada kepuasan pelanggan,

- Tingkat pencahayaan 250 lux - Pencahayaan alami maksimal - Untuk kenyamanan akustik stabil - Penghawaan alami maksimal - Pengaman kebakaran yaitu smoke detector, fire alarm

SHUKXWDQDQ VRVLDO GL .DQWRU 3UHVLGHQ 5DEX 6HSWHPEHU PHQJDWDNDQ EDKZD DGD GHVD GL GDODP GDQ VHNLWDU NDZDVDQ KXWDQ GL PDQD SHUVHQ PHQJJDQWXQJNDQ KLGXSQ\D GDUL VXPEHU GD\D KXWDQ

Model pembelajaran TADIR ini dibutuhkan dalam membentuk sikap sosial siswa dalam proses pembelajaran, seperti siswa akan memiliki rasa ingin tahu, kreatif,

terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas pelaksanaan izin lingkungan dari ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan di bidang perlindungan dan

Karakter umur panen dan bobot per buah di- kendalikan oleh banyak gen dan tidak ada pengaruh tetua betina terhadap pewarisannya. Model genetik yang sesuai untuk karakter

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbe- daan secara signifikan kecemasan yang terjadi pada ibu hamil primigravida dan multigravida di RSIA