• Tidak ada hasil yang ditemukan

Emisi Gas Co2, Ch4 Dan N2o Pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut: Studi Kasus Di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Emisi Gas Co2, Ch4 Dan N2o Pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut: Studi Kasus Di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

EMISI GAS CO

2

, CH

4

DAN N

2

O PADA EKOSISTEM HUTAN

RAWA GAMBUT: STUDI KASUS DI KABUPATEN

KATINGAN, KALIMANTAN TENGAH

FIKRIYATUL FALASHIFAH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Emisi Gas CO2, CH4 dan N2O pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut: Studi Kasus di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

(3)

ABSTRAK

FIKRIYATUL FALASHIFAH. Emisi Gas CO2, CH4 dan N2O Pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut: Studi Kasus di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, MS.

Perbedaan tutupan lahan dapat menjelaskan variasi fluks CO2, CH4 dan N2O yang dihasilkan dari lahan gambut. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengukur dan mengkaji emisi pada hutan sekunder dan semak di hutan gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan, Kalimantan Tengah pada bulan Mei dan Agustus 2014. Fluks CO2 diukur dengan EGM-4 serta inkubasi dengan perlakuanWFPS, sedangkan CH4 dan N2O dianalisis melalui khromatografi gas dengan metode sungkup tertutup. Pada bulan Agustus, fluks CO2 pada tutupan lahan semak (53,52 Mg/ha/tahun) lebih tinggi dibanding emisi pada hutan rawa sekunder (51,53 Mg/ha/tahun) seiring peningkatan suhu dan penurunan tinggi muka air. Fluks CH4 tertinggi dicapai pada kondisi tergenang di tutupan lahan semak (2,10 Mg/Ha/tahun) dan menurun pada kondisi kering di hutan rawa sekunder (0,08 Mg/Ha/tahun). Fluks N2O pada tutupan lahan semak mencapai 0,65 Mg/ha/tahun pada musim hujan, dan menurun pada musim kemarau hingga -0,16 kg/Ha/tahun yang menunjukkan mekanisme serapan N2O. Hasil inkubasi menunjukkan fluks CO2 maksimum pada WFPS 40% pada contoh tanah dari hutan rawa sekunder dan WFPS 100% dari tutupan lahan semak.

Kata kunci : fluks, hutan rawa sekunder, inkubasi, khromatografi gas, semak.

ABSTRACT

FIKRIYATUL FALASHIFAH. CO2, CH4 and N2O Gasses Emissions In The Peat Swamp Forest Ecosystems: A Case Study of Katingan District, Central Kalimantan. Supervised by Prof. Dr Ir. Daniel Murdiyarso, MS.

Land cover differences may explain the variation of CO2, CH4 and N2O flux produced from peatland. This study was conducted to compare the emissions in secondary forest and shrub in peatswamp forest of PT Rimba Makmur Utama Katingan, Central Kalimantan on May and August 2014. CO2 flux measured by EGM-4 and incubation with water table manipulation, while CH4 and N2O were analyzed by gas chromatography through closed chamber methods. In the dry season, CO2 flux on shrub (53,52 Mg/ha/year) is higher than the emission on secondary forest (51,53 Mg/ha/year) due to an increase in temperature and water level decrease. Achieved the highest CH4 flux in waterlogged conditions on shrub (2.10 Mg / ha / year) and decreased the dry conditions on the secondary swamp forest (0.08 Mg / ha / year). N2O fluxes on shrub reaches 0.65 Mg / ha / year in the rainy season, and decreases in the dry season up to -0.16 kg / ha / year which shows N2O uptake mechanism. Incubation results show the maximum CO2 flux at 40% WFPS on soil samples from the secondary swamp forest and WFPS 100% of the shrub.

(4)

EMISI GAS CO

2

, CH

4

DAN N

2

O PADA EKOSISTEM HUTAN

RAWA GAMBUT: STUDI KASUS DI KABUPATEN

KATINGAN, KALIMANTAN TENGAH

FIKRIYATUL FALASHIFAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Emisi Gas CO2, CH4 dan N2O Pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut: Studi Kasus di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah” ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang turut membantu selama penyusunan tugas akhir ini, diantaranya : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, MS selaku dosen pembimbing atas

segala bimbingan, pendidikan dan kesempatannya untuk bisa belajar banyak hal selama penyelesaian tugas akhir serta kesempatan magang di Center for International Forestry Research (CIFOR),

2. Indonesia Peatland Network (IPN), atas bantuan dana magang yang sangat membantu dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.

3. Kedua orangtua penulis, Bapak Yohanes Lumantauw dan Ibu Anizul Fuadah serta keluarga (Muhammad Fajrul Falah dan Hasna Nisrina Salsabila) atas segala kasih sayang, perhatian, bantuan yang diberikan serta doa yang selalu dipanjatkan,

4. Ibu Satria Oktarita, S.Hut, dan Bapak Sigit Deni Sasmito Adi, S.Si selaku pembimbing lapang yang banyak membantu dalam proses pengambilan data lapang dan penyusunan laporan,

5. Ibu Rosita Go (secretary to CIFOR's Environmental Services and Sustainable Use of Forests Program and TroFCCA project) dan Ibu Siti Saihatun yang telah banyak membantu dalam proses administrasi magang di CIFOR,

6. Ibu Novi Sari Wahyuni beserta asisten laboratorium CIFOR di Jambi (Kak Meli, Kak Ivo, Kak Ucok, Kak Endui dan Ayuk) yang telah membantu dalam proses analisis sampel tanah dan inkubasi selama di Jambi.

7. Ibu Meli Fitriani, S.Si, Kak Desti Hertanti dan Kak Dede Hendry Tryanto yang telah banyak membantu dan memberi saran terkait teknis lapang,

8. Segenap direksi, manager dan operasional PT Rimba Makmur Utama, Bapak Dharsono Hartono, Bapak Rheza, Bapak Taryono, Bapak Rudi Mulyadi, Kak Sanjaya dan Bapak Maryanto atas kerjasama dan bantuan teknis pada saat pengambilan data lapang di Katingan, Kalimantan Tengah.

9. Seluruh Masyarakat Mendawai dan Kampung Melayu (Bapak lurah Mendawai, Pak Hermanto, Pak Alpiansyah, Pak Piter, Pak Yamin, Pak Supri, Uji dan Ibu Diah) di Katingan, Kalimantan Tengah atas bantuan yang telah diberikan dan perizinan untuk tinggal selama proses pengambilan data lapang di Katingan, Kalimantan Tengah.

10. Segenap jajaran dosen dan karyawan Departemen Geofisika dan Meteorologi maupun dosen pengampu Supporting Cource atas ilmu dan bantuannya selama menempuh jenjang pendidikan S1,

11. Seluruh rekan-rekan Departemen Geofisika dan Meteorologi terutama rekan seperjuangan, Anggi Rustini, Aulia Citra Utami dan Nurmujahidah Syam atas segala atensi dan persahabatan yang terjalin, juga rekan-rekan satu organisasi dan Markom komunitas Inovasia atas segala bantuan dan perjuangan bersama dalam menyelesaikan studi S1.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015

(7)

DAFTAR ISI

Karakteristik Tutupan Lahan, Suhu dan Muka Air Tanah di Hutan Rawa Gambut Katingan

Emisi Gas Rumah Kaca di Hutan Rawa Gambut Katingan Emisi Karbondioksida (CO2)

Emisi Metana (CH4)

Emisi Nitrous Oksida (N2O)

(8)

DAFTAR TABEL

1. Koordinat dan Posisi Sungkup 4

2. Parameter Lingkungan 6

3. Desain Pengukuran Kadar Air Aktual 6

4. Desain Percobaan Berat Jenis Tanah Gambut 6

5. Desain Percobaan Inkubasi 7

6. Garis Besar Kegiatan Inkubasi 7

7. Emisi Gas CO2 di Hutan Rawa Gambut Katingan 10

8. Emisi Gas CH4 di Hutan Rawa Gambut Katingan 13

9. Emisi Gas N2O di Hutan Rawa Gambut Katingan 15

DAFTAR GAMBAR

1. Posisi Plot Penelitian 3

2. Skema Penempatan Sungkup 4

3. Pengukuran Emisi CO2 dengan EGM-4 4

4. Pengambilan Contoh Gas dengan Metode Sungkup Tertutup 5

5. Pengambilan Contoh Tanah dengan Ring Sampler 5

6. Area Lahan Gambut Berupa Semak dan Hutan Sekunder 9

7. Keadaan Tinggi Muka Air di Lokasi Penelitian 10

8. Rata-rata emisi gas CO2 di hutan rawa gambut Katingan pada bulan Mei dan Agustus

11

9. Rata-rata emisi gas CH4 di hutan rawa gambut Katingan pada bulan Mei dan Agustus

13

10. Rata-rata emisi gas N2O di hutan rawa gambut Katingan pada bulan Mei dan Agustus

15

11. Emisi CO2 hasil inkubasi contoh tanah dari hutan rawa sekunder 17

12. Emisi CO2 hasil inkubasi contoh tanah dari semak 17

DAFTAR LAMPIRAN

1. Contoh Data Pengukuran Konsentrasi CO2 22

2. Contoh Lembar Pencatatan Data

(Pengambilan Contoh Gas CH4 dan N2O)

23

3. Contoh Perhitungan Fluks CO2, CH4 dan N2O 24

4. Grafik Fluks CO2, CH4 dan N2O pada Dua Tutupan Lahan 25

5. Data Pengamatan Parameter Lingkungan 26

6. Grafik Kenaikan Konsentrasi CO2 Hasil Inkubasi 27

7. Pengolahan Data Emisi CO2 Hasil Inkubasi dengan EGM-4 29

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencakup area dengan luas sekitar 21 juta hektar yang tersebar di Sumatera (7,2 juta hektar), Kalimantan (5,8 juta hektar) dan Papua (8,0 juta hektar) (Murdiyarso et al. 2008). Noor (2005) menyebutkan bahwa hutan rawa gambut memainkan fungsi penting dalam perannya dalam pengaturan hidrologi seperti, pengendali banjir, pengatur aliran, pasokan air, dan mencegah intrusi air laut. Namun, saat ini lahan gambut di Indonesia telah banyak mengalami degradasi dan deforestasi karena dikeringkan dan dibakar untuk pengembangan kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian dan penebangan kayu. Dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2005), tingkat deforestasi di lahan gambut di Kalimantan mencapai 9.861 ha/tahun (Murdiyarso et al. 2008). Selain berupa emisi gas rumah kaca, kegiatan pengembangan ini juga menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati yang masih tersisa, di mana lahan gambut merupakan habitat penting bagi berbagai jenis hewan yang terancam, seperti Orang utan di Kalimantan dan Harimau Sumatra (Hooijer et al. 2006). Hal ini pula yang menjadi latar belakang kegiatan restorasi ekosistem lahan gambut oleh PT Rimba Makmur Utama di Katingan, Kalimantan Tengah.

Kabupaten Katingan memiliki luas 1.750.000 ha atau 11,4% dari total luas Provinsi Kalimantan Tengah. Sekitar 643.800 ha atau 38% dari kabupaten merupakan lahan gambut. Kabupaten ini beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata 329 mm dan suhu udara rata-rata 26,9° C pada tahun 2012 (ICCC 2013). Kabupaten Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu kabupaten yang menghadapi tekanan terhadap kawasan hutan yang cukup tinggi khususnya areal hutan gambutnya. Wayan (2010) menyebutkan bahwa penutupan hutan di Kabupaten Katingan dari tahun 1990-2010 cenderung menurun dan meningkat lagi pada periode tahun 2010-2013. Peningkatan luas penutupan hutan pada periode tahun 2010-2013 terlihat dari banyaknya lahan padang rumput yang berubah menjadi hutan rawa gambut sekunder.

(10)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Melakukan pengukuran dan mengkaji emisi gas rumah kaca (CO2, N2O dan CH4) antara dua tutupan lahan gambut yang berbeda (semak dan hutan rawa sekunder).

2. Membandingkan emisi CO2 hasil inkubasi sampel tanah gambut tidak terganggu dengan hasil pengukuran di lokasi penelitian.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dengan jangka waktu 5 bulan (April – Agustus 2014) dan tahap pengolahan data dilakukan selama 1 bulan yakni pada bulan September 2014. Penelitian ini dilakukan di empat lokasi yaitu :

1. Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor 2. Center for International Forestry Research (CIFOR)

3. Wilayah proyek restorasi dan konservasi lahan gambut PT Rimba Makmur Utama di Katingan, Kalimantan Tengah.

4. Laboratorium CIFOR untuk analisis sampel tanah dan Khromatografi Gas di Jambi

Alat dan Bahan 1.1Peralatan yang Digunakan

Alat-alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:

1. Penetapan plot penelitian: menggunakan sebanyak 32 penanda plot (flagging tap) dan 1 buah GPS untuk mengetahui koordinat setiap plot.

2. Pengukuran emisi CO2: menggunakan 1 buah EGM-4, 32 buah Pipa PVC, lembar pencatatan dan 1 buah laptop untuk mengunduh data.

3. Pengambilan contoh gas CH4 dan N2O: menggunakan 1088 buah vial, 2 set barometer, 8 buah jarum suntik (syringe), 32 buah PVC, 4 buah tutup sungkup, 1 buah stopwatch dan 2 buah kipas.

4. Pengukuran parameter lingkungan: menggunakan soil temperature kit, pengukur suhu udara (humidity pen) serta soil moisture kit (theta probe).

5. Peralatan cadangan: 3 buah syringe, 3 buah katup pembuang gas, 3 buah baterai kotak dan 1 buah meteran.

6. Pengambilan contoh tanah: menggunakan 2 buah parang, 60 buah ring dan 120 tutup ring, 64 buah plastik Ziplock dan 2 spidol permanen.

(11)

3 1.2Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Laptop beserta perangkat lunak Ms.Office,

2. Data hasil pengukuran emisi CO2 dengan EGM-4 bulan Mei dan Agustus 2014, 3. Data besaran emisi gas rumah kaca (CH4 dan N2O) hasil pengambilan contoh

gas pada bulan Mei dan Agustus 2014,

4. Data hasil inkubasi contoh tanah gambut tak terganggu, dan

5. Data hasil pengukuran variabel suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, kadar air tanah dan tinggi muka air (water table) periode Mei-Agustus 2014.

Prosedur Penelitian

2.1Prosedur Pengambilan Data Lapang 1. Penetapan Plot Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah restorasi ekosistem lahan gambut PT Rimba Makmur Utama di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (Gambar 1). Terdapat 4 plot dengan jarak antar plot ±200 meter. Keempat plot tersebut mewakili dua klasifikasi tutupan lahan gambut, yakni plot 1 dan plot 2 yang mewakili lahan gambut yang berupa semak dan plot 3 serta plot 4 yang mewakili lahan gambut yang berupa hutan rawa gambut sekunder.

Gambar 1 Posisi plot penelitian di hutan rawa gambut Katingan (sumber : maps.google.com)

(12)

4

Tabel 1 Koordinat dan posisi sungkup

Plot Lintang

Keterangan : (*) jarak (dalam meter) setiap sungkup pada setiap arah mata angin yang terukur dari pusat berupa sumur (stilling well).

Gambar 2 Skema penempatan sungkup

2. Prosedur Pengukuran CO2 dengan EGM-4

Gas CO2 diukur dengan menggunakan EGM-4 dengan selang waktu pengambilan data setiap 2 hari sekali. Konsentrasi CO2 dan parameter lain seperti laju fluks (A), kelembaban tanah (H) dan suhu tanah (T) yang muncul dalam layar EGM-4 dicatat dalam lembar data pengukuran lapang dan juga dilakukan pengunduhan data. Ilustrasi pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan EGM-4 disajikan dalam Gambar 3.

(13)

5 3. Prosedur Pengambilan Contoh Gas CH4 dan N2O

Salah satu tools untuk menghitung emisi gas rumah kaca di kawasan hutan adalah dengan sungkup tertutup (close chamber) dengan metode Infrared Gas Analyzer (IRGA). Hubungan linear antara waktu pengamatan dengan konsentrasi gas rumah kaca digunakan untuk menghitung flux gas yang keluar ke permukaan tanah. Contoh gas diambil dari sungkup tertutup dengan menggunakan jarum suntik (syringe) dan kemudian konsentrasi gas diukur dengan khromatografi gas (Hue et al. 2000). Pengambilan contoh gas CH4 dan N2O dengan metode sungkup tertutup dilakukan dengan selang waktu 6 hari sekali. Untuk menentukan emisi di setiap ulangan dilakukan pengambilan contoh gas di dalam sungkup dengan selang waktu 10 menit (T0, T10, T20, dan T30). Selanjutnya, contoh gas di dalam vial dikumpulkan dan diberi label sesuai plot untuk dianalisis. Tinggi sungkup juga diukur untuk mendapatkan satuan volume akumulasi gas. Aktivitas pengambilan contoh gas disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Pengambilan contoh gas dengan metode sungkup tertutup

4. Prosedur Pengambilan Contoh Tanah

Contoh tanah gambut diambil dengan menggunakan 60 buah ring sampler untuk tanah tak terganggu dan 64 buah ziplock untuk tanah terganggu. Untuk tanah tak terganggu, dilakukan pengambilan contoh tanah di dekat sungkup dengan jumlah 15 contoh untuk setiap plot, sedangkan untuk tanah terganggu, contoh diambil secara komposit dengan jumlah 16 buah contoh setiap plot dengan kisaran berat antara 300-600 gram. Prosedur pengambilan contoh tanah di lapangan disajikan dalam Gambar 5.

(14)

6

5. Prosedur Pengukuran Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan juga diukur pada setiap plot penelitian dengan selang waktu pengukuran disesuaikan dengan waktu pengukuran CO2 dengan EGM-4 dan pengambilan contoh gas CO2, CH4 dan N2O. Rincian pengukuran parameter lingkungan tersebut dijabarkan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Parameter lingkungan

Parameter Satuan Alat Ukur

Suhu Tanah oC Soil Digital Temperature

Suhu Udara oC Humidity Pen

Kelembaban Udara % Humidity Pen

Kelembaban Tanah % dan Mh Theta Probe

2.2 Prosedur Inkubasi Tanah Gambut 1. Desain Percobaan Inkubasi

Percobaan inkubasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kadar air terhadap emisi yang dihasilkan oleh tanah gambut yang diambil dari lokasi penelitian. Sebelum melakukan proses inkubasi, contoh tanah harus terlebih dahulu diketahui kadar air aktualnya. Perlakuan untuk mengetahui kadar air aktual dipaparkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Desain pengukuran kadar air aktual

Setelah dilakukan pengovenan selama 24 jam, contoh tanah tersebut ditimbang kembali untuk dihitung bobot keringnya (dry weight). Perbandingan dari bobot kering dan bobot basah merupakan kadar air aktual dari tanah tersebut. Dari hasil kadar air aktual, kemudian ditentukan penambahan air untuk mencapai kadar air target. Untuk percobaan inkubasi tanah tak terganggu, harus terlebih dahulu diketahui berat jenis contoh tanah tersebut. Desain percobaan untuk menentukan nilai berat jenis tanah dipaparkan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Desain percobaan berat jenis tanah gambut

Jenis Contoh Tanah Tanah Tak Terganggu

Jumlah Plot 2 (Plot 3 dan 4)

Jumlah Contoh Tanah 6

Berat Rata-Rata Contoh Netto 244,475

Waktu Pengovenan 24 Jam

Setelah dioven, kemudian dilakukan perhitungan atas kadar air aktual dan berat jenis tanah. Rumus untuk memperoleh nilai berat jenis tanah yaitu:

Berat Jenis Tanah = Berat Kering Tanah / Volume Tanah...(1) (USDA 2012)

Jenis Contoh Tanah Tanah Terganggu

Jumlah Plot 4

Jumlah Contoh Tanah Setiap Plot 6

(15)

7 Dengan demikian, setelah nilai berat jenis tanah diketahui, kemudian dilakukan inkubasi dengan 4 macam perlakuan kadar air, dengan desain percobaan inkubasi contoh tanah pada Tabel 5.

Tabel 5 Desain percobaan inkubasi contoh tanah

2. Prosedur Inkubasi

Percobaan inkubasi terhadap seluruh contoh tanah gambut dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:

Persiapan Inkubasi

Tahapan ini meliputi penentuan kadar air aktual, penetapan nilai berat jenis tanah, persiapan gelas inkubator dan contoh tanah yang akan diinkubasi, penambahan air sesuai target perlakuan (water treatment). Pada tahapan ini, sejumlah vial juga divakum untuk pengambilan contoh gas CH4 dan N2O, serta peralatan-peralatan yang akan digunakan dalam proses inkubasi juga disiapkan.

Pelaksanaan Inkubasi

Inkubasi terhadap contoh tanah gambut ini dilakukan pada 4 waktu pengamatan yakni T0 (hari 0), T2 (hari 2), T4 (hari 4) dan T6 (hari ke-6). Garis besar kegiatan inkubasi digambarkan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Garis besar kegiatan inkubasi

Kegiatan Alat

Tahap ini merupakan tahapan akhir inkubasi, yakni tahap ekstraksi data. Untuk pengukuran CO2 dengan IRGA LICHOR, parameter seperti CO2, H20, T dan A diinput secara manual, sedangkan untuk pengukuran CO2 dengan EGM-4 selain diinput manual juga dilakukan pengunduhan data. Nilai CH4 dan N2O yang diemisikan kemudian diekstrak datanya dari hasil analisis melalui khromatografi gas.

Jenis Contoh Tanah : Contoh Tanah Tak terganggu

(16)

8

3. Prosedur Pengolahan dan Analisis Data

1. Perhitungan Emisi Gas CH4 dan N2O Hasil Pengukuran di Lokasi Penelitian Perhitungan emisi gas rumah kaca didasarkan pada metode Khalil et al. dalam Husin et al. (1995) dengan rumus dan lambang notasi sebagai berikut:

Keterangan:

ɸ = Fluks gas CH4 atau N2O dalam mg/m2/jam r = Densitas Udara (molekul/cm3)

M = Berat molekul (g/mol) H = Tinggi rata-rata sungkup

No = Bilangan Avogadro (molekul/mol)

δC/δt = Laju peningkatan konsentrasi gas dalam sungkup (ppbv/jam)

2. Perhitungan Kadar Air Aktual Contoh Tanah Gambut

Kadar air aktual (mg (g g-1 berat kering) = (Berat basah-berat kering)/berat kering

3. Perhitungan Fluks CO2 Hasil Inkubasi

Perhitungan Fluks CO2 dari data inkubasi contoh tanah tidak terganggu merupakan slope dari konsentrasi gas pada T0, T2, T4 dan T6. Satuan nilai fluks yang diperoleh yaitu CO2 (ng C g-1 berat kering tanah/hari). Nilai konsentrasi diperoleh dari persamaan:

(17)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tutupan Lahan, Suhu, dan Muka Air Tanah di Hutan Rawa Gambut Katingan

Proyek restorasi ekosistem lahan gambut PT Rimba Makmur Utama berlokasi di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Katingan dengan luas area sebesar 217.755 hektar. Proyek ini dikembangkan berdasarkan konsesi IUPHHK terkait dengan restorasi ekosistem. Status hutan di area ini terbagi menjadi dua, yaitu Hutan Produksi (HP) seluas 186.955 hektar atau sekitar 88% dan Hutan Produksi Konversi seluas 30.800 hektar atau sekitar 12% dari luas hutan (Hartono 2012). Sementara lokasi penelitian terletak di area restorasi lahan gambut PT Rimba Makmur Utama, tepatnya di jalur HM 038. Jalur penelitian berada pada jarak ±800 meter dari pinggir kanal. Lokasi penelitian ini mewakili dua profil tutupan lahan yang berbeda, yakni semak dan hutan rawa sekunder (Gambar 6).

Gambar 6 Area lahan gambut berupa semak (kiri) dan hutan sekunder (kanan)

Semak di area ini merupakan kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan tingkat kerapatannya jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami), khususnya tanaman kelakai atau paku-pakuan. Semak belukar di Indonesia biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakkan lagi bekas atau bercak tebangan (Winarto 2012).

Sementara itu, hutan lahan basah sekunder di wilayah ini merupakan hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa gambut. Sebagian besar wilayah hutan rawa gambut telah mengalami intervensi manusia. Menurut ICCC (2013), hutan rawa gambut sekunder juga merupakan hutan rawa gambut dengan sejarah penebangan, jalur penebangan, jaringan drainase air dan parit, serta dengan vegetasi hutan telah terganggu dengan hanya beberapa pohon mencapai DBH 50 cm serta spesies pohon campuran.

(18)

10

Gambar 7 Keadaan tinggi muka air di lokasi penelitian

Emisi Gas Rumah Kaca di Hutan Rawa Gambut Katingan

Metode pengukuran contoh gas sangat menentukan jumlah konsentrasi yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besarnya hasil pengukuran emisi. Pengukuran menggunakan metode tertentu disertai dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan metode lainnya. Berikut adalah hasil pengukuran emisi karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) di wilayah hutan rawa gambut Katingan, Kalimantan Tengah.

Emisi Gas Karbondioksida (CO2)

Nilai emisi CO2 dalam Tabel 7 merupakan perhitungan berdasarkan rata-rata fluks CO2 di beberapa titik pengamatan di tutupan lahan berupa semak dan hutan rawa sekunder di lokasi penelitian. Fluks gas CO2 tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah hari dalam satu tahun dan diekstrapolasi ke dalam luas satu hektar.

Tabel 7 Emisi gas CO2 di hutan rawa gambut Katingan

Tanggal

Hutan Rawa Sekunder Semak Belukar

(19)

11 18-Agustus 41,61 4,91 66,03 11,74

22-Agustus 44,02 5,28 81,36 24,83

24-Agustus 51,30 18,66 51,47 9,70

28-Agustus 38,71 4,69 59,62 12,37

Informasi yang disajikan pada Tabel 7 merepresentasikan kondisi yang terpantau dan terukur pada pengukuran harian di bulan Mei, di mana kecenderungan emisi CO2 di hutan sekunder lebih tinggi dibanding emisi CO2 pada semak belukar. Sementara itu, pada bulan Agustus, di seluruh hari pengukuran menunjukkan emisi CO2 pada tutupan lahan semak lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2 di hutan rawa sekunder. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Agus dan Subiksa (2008) memaparkan bahwa pada hutan gambut sekunder, emisinya mencapai 127 ton CO2/ha/ tahun, sedangkan pada penelitian ini, emisi CO2 di hutan rawa sekunder lebih rendah yakni 91,65 ton/ha/tahun. Pada hutan gambut sekunder di Kalimantan Selatan, emisi CO2 pada kisaran 1200±430 g C/m2/tahun (Inubushi et al. 2003). Terjadi perbedaan yang sangat besar dibandingkan dengan hasil penelitian Melling (2005) di Sarawak (Malaysia), di mana ekosistem hutan gambut mengeluarkan emisi sebesar 2130 g C/m2/tahun. Pada tutupan lahan berupa semak belukar, dalam penelitian ini mencapai 100,25 Mg/ha/tahun, setelah sebelumnya Agus et al. (2010) meneliti di hutan gambut Kubu Raya dan diperoleh nilai emisi CO2 sebesar 22 Mg/ha/tahun.

Gambar 8 Rata-rata emisi CO2 di hutan rawa gambut Katingan pada bulan Mei dan Agustus

(20)

12

Variasi mikrotopografi di hutan rawa sekunder lebih banyak, di antaranya berupa pepohonan, akar-akar, hummocks dan hollow, sehingga potensi respirasi di hutan rawa sekunder lebih besar dibandingkan tutupan lahan semak. Respirasi tanah dan fotosintesis berpengaruh terhadap dinamika pertukaran karbon di hutan rawa gambut. Respirasi tanah dan proses di atas tanah berhubungan karena fotosintesis menyediakan substrat karbon untuk metabolisme dan nutrisi akar. Respirasi tanah terdiri atas dua prinsip proses di bawah tanah, yaitu respirasi autotrof dan heterotrof, di mana respirasi autotrof adalah hasil dari asosiasi antara akar dan mikroorganisme tanah, sedangkan respirasi heterotrof adalah hasil dari aktivitas bakteri dan fungi dengan fauna tanah. Respirasi dari perakaran akan lebih meningkatkan emisi CO2 yang dihasilkan dari hutan rawa sekunder (Comeau et al. 2013). Moyano et al. (2010) menyatakan bahwa kontribusi dari respirasi akar mencapai 52% dari total respirasi, sedangkan menurut Crow dan Wieder (2005) bahwa akar tanaman menyumbang emisi CO2 sebesar 35-57%. Secara rata-rata, respirasi akar mencapai 50% dari respirasi tanah (Luo dan Zhou 2006).

Sementara itu, dari hasil pengukuran pada bulan Agustus (Gambar 8) yang diasumsikan mewakili musim kemarau, diketahui bahwa emisi CO2 di semak (53,52±4,51 Mg/ha/tahun) lebih tinggi daripada emisi CO2 di hutan sekunder (51,53±4,42 Mg/ha/tahun). Hasil penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Nusantara et al. (2014) di Kalimantan Barat, di mana emisi CO2 mencapai 1,70-6,51 Mg/ha/tahun. Secara umum, emisi CO2 cenderung tinggi pada bulan Agustus dibanding emisi pada bulan Mei. Hal ini dipengaruhi oleh faktor tingginya suhu udara pada bulan Agustus yang tergolong musim kemarau. Besarnya emisi CO2 dipengaruhi oleh suhu udara ataupun suhu tanah (Comeau et al. 2013). Meningkatnya suhu akan merangsang aktivitas mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas. Selama musim kemarau, aktifitas fisik dari mikroorganisme merespon kenaikan suhu yang diakibatkan oleh rendahnya uap tanah (Corant et al. 2004), sehingga berkorelasi positif dengan besar CO2 yang diemisikan. Kondisi ini diperkuat dengan kondisi di lapang, yaitu tanah gambut pada dua tutupan lahan relatif kering.

Selain itu, pada bulan Mei, sebagian besar sungkup yang berada pada tutupan lahan semak berada dalam kondisi tergenang sehingga mengakibatkan nilai emisi CO2 yang terbaca dari EGM-4 cenderung rendah atau bahkan minus. Pada bulan mei, suhu udara relatif rendah dengan intensitas curah hujan yang tinggi sehingga sering terjadi genangan pada sungkup dan menyebabkan nilai fluks yang terbaca pada EGM-4 menjadi rendah, sedangkan keadaan kering yang dipicu oleh tingginya suhu pada musim kemarau menyebabkan fluks CO2 cenderung tinggi.

Emisi Gas Metana (CH4)

(21)

13 Tabel 8 Emisi gas CH4 di hutan rawa gambut Katingan

Tanggal Hutan Rawa Sekunder Semak Belukar Fluks CH4 Mg/ha/tahun, sedangkan fluks CH4 dari tutupan lahan semak pada bulan Agustus berkisar antara -1,38 Mg/ha/tahun hingga 2,74 Mg/ha/tahun. Rata-rata fluks CH4 di hutan rawa sekunder pada bulan Mei sebesar 1,42 Mg/ha/tahun dan di bulan Agustus sebesar 0,08 Mg/ha/tahun, sedangkan fluks diperoleh dari tutupan lahan semak pada bulan Mei sebesar 2,10 Mg/ha/tahun dan bulan Agustus sebesar 0,82 Mg/ha/tahun (Gambar 9). Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Melling (2009) menyebutkan bahwa emisi CH4 di hutan rawa gambut Sarawak, Malaysia sebesar 18,34 mg C/m2/tahun dan di Kalimantan Selatan oleh Inobushi et al. (2003) sebesar 1,2 g CH4-C/m2/tahun. Fluks bernilai positif mengindikasikan bahwa terjadi mekanisme emisi CH4 dari tanah gambut ke udara lapisan udara di atasnya, sedangkan bila fluks CH4 bernilai negatif mengindikasikan konsentrasi CH4 di udara lebih tinggi sehingga gas CH4 berdifusi ke tanah gambut melalui mekanisme serapan untuk mencapai keseimbangan.

(22)

14

Aliran fluks CH4 dari tanah ke udara tersebut sesuai dengan prinsip difusi gas yang dikemukakan dalam hukum Ficks, yaitu difusi muncul akibat pergerakan acak molekul bahan yang membiarkan molekul tersebut terpisah satu sama lainnya. Bila ditinjau gejala difusi molekul gas dalam suatu ukuran volume luas penampang, maka menurut hukum Ficks pertama bahwa rapat aliran molekul berbanding langsung dengan gradien konsentrasi dengan konstanta kesebandingan yang disebut koefisien difusi. Arah difusi searah dengan pengurangan konsentrasi. Di sisi lain, laju pertukaran gas (laju difusi) sebanding dengan rapat aliran dan luas penampang yang dilalui gas (Wasono 2010). Secara sederhana, laju difusi gas CH4 berbanding lurus dengan gradien konsentrasinya. Kondisi dalam hukum ini adalah tanpa adanya perubahan konsentrasi akibat pengaruh waktu difusi, sehingga pemakaiannya terbatas pada difusi dengan konsentrasi yang dianggap sama pada setiap posisi, sedangkan hukum ficks II menyatakan bahwa laju difusi tidak hanya bergantung pada gradien konsentrasi saja, tetapi juga dengan waktu.

Emisi CH4 dari tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kondisi tinggi muka air. Pada pengukuran harian di bulan Agustus (Tabel 8) yang diasumsikan merepresentasikan keadaan di musim kemarau, terdapat kondisi di mana fluks CH4 bernilai rendah atau bahkan negatif seiring dengan penurunan tinggi muka air secara drastis. Murase dan Kimura (1994) mengemukakan bahwa jumlah CH4 biasanya ditemukan paling banyak di dalam tanah tergenang atau tereduksi. Penggenangan akan menyebabkan nilai potensial redoks menurun dari kondisi aerob menjadi kondisi anaerob. Kondisi anaerob akan memicu bakteri metanogen untuk membentuk CH4 sehingga pada musim penghujan nilai CH4 cenderung positif dan mengindikasikan adanya emisi CH4 dari tanah menuju lapisan udara di atasnya.

Ketika kadar air menurun seperti pada bulan Agustus, emisi CH4 dari lahan basah dapat sangat berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali karena konsentrasi oksigen meningkat dalam tanah. Peningkatan konsentrasi oksigen pada bulan Agustus akan menurunkan tingkat aktivitas metanogen sehingga produksi CH4 juga menurun. Selain itu, rendahnya emisi CH4 pada musim kemarau juga dikarenakan terdapat kemungkinan adanya mekanisme serapan CH4 ke tanah karena aktivitas bakteri metanotrop. CH4 digunakan oleh bakteri aerobik dalam tanah (methanotrophs) sebagai sumber karbon dalam proses oksidasi biologis (Raey et al. 2007). Serapan CH4 dari udara ke tanah oleh aktivitas bakteri ini menyebabkan berkurangnya konsentrasi CH4 di lapisan udara di lokasi penelitian.

Emisi Gas Nitrous Oksida (N2O)

(23)

15 Tabel 9 Emisi gas N2O di hutan rawa gambut Katingan

Tanggal Hutan Rawa Sekunder Semak Belukar Fluks N2O rawa sekunder, emisi N2O berkisar antara -0,68±0,96 Mg/ha/tahun hingga 0,69±0,26 Mg/ha/tahun, sedangkan untuk tutupan lahan semak berkisar antara -0,52±0,28 Mg/ha/tahun hingga 1,01±0,70 Mg/ha/tahun. Hasil penelitian sebelumnya oleh Hergoulach et al. (2013) di tutupan lahan semak di Asia Tenggara lebih tinggi dari hasil penelitian ini, yakni sebesar 5,0±2,7 Mg/ha/tahun. Bouwman (1990) memperkirakan fluks N2O dari berbagai tipe penggunaan lahan yaitu pada lahan yang belum diolah dan ekosistem alami di daerah beriklim sedang berkisar 1 kg N2O-N/ha/tahun, ekosistem alami di daerah tropis berkisar 2 kg N2O-N/ha/tahun. Peningkatan N2O di atmosfer sekarang sekitar 0,3 persen setiap tahun dari 280 ppm–303 ppb (Rasmussen dan Khalil 1986). Sementara Inobushi et al. (2003) menyebutkan bahwa emisi N2O di Kalimantan Selatan sebesar -51±44 mg N/m2/tahun.

(24)

16

Diperoleh rata-rata emisi N2O pada bulan Mei untuk tutupan lahan berupa hutan rawa sekunder sebesar -0,16 Mg/ha/tahun dan semak belukar sebesar 0,65 Mg/ha/tahun. Sementara pada bulan Agustus untuk tutupan lahan berupa hutan rawa sekunder, emisi N2O mencapai 0,31 Mg/ha/tahun dan semak belukar sebesar -0,16 Mg/ha/tahun (Gambar 10). Sebelumnya, Takakai et al. (2006) menyebutkan bahwa kisaran emisi N2O untuk lahan gambut tropis di Kalimantan Tengah adalah 7,1-23 kg/m2/tahun. Fluks N2O bernilai positif menunjukkan bahwa terjadi emisi gas N2O dari tanah gambut menuju lapisan udara di atasnya. Hal ini terjadi jika konsentrasi N2O di tanah lebih tinggi daripada konsentrasi N2O di udara. Konsentrasi N2O yang tinggi di tanah gambut dipengaruhi oleh proses denitrifikasi dan nitrifikasi, di mana bahan organik N digunakan sebagai sumber energi. Bahan organik mampu meningkatkan aktivitas mikrobia dan konsumsi O2 sehingga mempercepat proses reduksi dan menyebabkan emisi N2O (Balai Penelitian Lingkungan Pertanian 2007), sedangkan fluks N2O bernilai negatif menunjukkan bahwa terjadi mekanisme serapan N2O di udara menuju tanah. Serapan N2O di permukaan akan terjadi hanya bila dalam konsentrasi N2O di tanah maupun air permukaan lebih rendah daripada konsentrasi N2O dalam kesetimbangan dengan atmosfer.

Emisi CO2 Hasil Inkubasi Contoh Tanah Gambut

Selain diukur secara langsung dengan menggunakan perangkat EGM-4, gas karbondioksida (CO2) juga dianalisis dengan metode inkubasi contoh tanah di laboratorium. Inkubasi contoh tanah pada prinsipnya dilakukan untuk membandingkan hasil perhitungan emisi karbon yang sebenarnya di lahan gambut dengan kondisi yang terkontrol. Contoh gas yang diinkubasi merupakan contoh tanah gambut yang tidak terganggu, yang diambil dengan menggunakan ring sampler dengan jumlah 15 contoh untuk setiap plot.

Variabel yang dijadikan variabel terkontrol dalam hal ini adalah pengaturan kadar air tanah, di mana proses inkubasi dilakukan pada kadar air CO2 dari hari ke-0 semenjak inkubasi hingga hari ke 6.

(25)

17 Gambar 11 Emisi CO2 hasil inkubasi contoh tanah dari hutan rawa sekunder

Sementara hasil inkubasi contoh tanah dari tutupan lahan berupa semak, diketahui bahwa emisi CO2 yang terukur dengan EGM-4 (95.566,3 ng C g-1 d.w) maupun IRGA LICOR (165.959 ng C g-1 d.w) menunjukkan nilai emisi maksimum pada kadar air 80%, dan menurun pada kadar air 100% (Gambar 12). Penurunan ini diakibatkan oleh kondisi jenuh (saturated) sehingga mengakibatkan mekanisme serapan CO2. Titik di mana terjadi penurunan dari titik maksimum disebabkan karena sebagian besar bahan organik sudah terdekomposisi.

Gambar 12 Emisi CO2 hasil inkubasi contoh tanah dari semak

(26)

18

Perbedaan emisi antara hasil inkubasi dengan pengukuran secara langsung di lokasi penelitian disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi dan difusi CO2 pada tanah gambut, serta kondisi atmosfer di lokasi penelitian yang lebih kompleks dibandingkan kondisi pengukuran pada saat inkubasi. Kadar air, ketersediaan hara, dan karakteristik tanah mempengaruhi laju respirasi mikroba. Pada kadar air tanah yang tinggi, pasokan oksigen untuk mikroorganisme dibatasi. Sebaliknya, kadar air tanah yang sangat rendah menghambat pertumbuhan serta aktivitas mikrobial, karena nutrisi dan substrat karbon difusi terbatas, mengakibatkan penurunan respirasi tanah. Di tanah gambut, di mana kondisi lingkungan terutama terendam, penurunan kadar air melalui drainase, diikuti oleh peningkatan difusi oksigen, meningkatkan aktivitas mikrobial, sehingga meningkatkan respirasi tanah dan emisi CO2 ke atmosfer (Husen et al. 2014)

KESIMPULAN

Tipe tutupan lahan sangat menentukan besarnya emisi gas CO2, CH4 dan N2O di hutan rawa gambut Katingan. Secara umum, diketahui bahwa emisi CO2 tertinggi pada bulan Agustus di tutupan lahan berupa semak, yakni sebesar 53,52±4,51 Mg/ha/tahun. Untuk gas CH4, emisi tertinggi pada tutupan lahan semak pada bulan Mei sebesar 2,10 Mg/ha/tahun. Diperoleh rata-rata emisi N2O tertinggi pada bulan Mei untuk tutupan lahan berupa semak belukar, yakni sebesar 0,65 Mg/Ha/tahun. Kadar air tanah sangat berpengaruh terhadap besarnya emisi gas CO2. Hasil inkubasi contoh tanah gambut menunjukkan bahwa emisi CO2 yang terukur dengan EGM-4 maksimum pada kadar air 100%, sedangkan yang terukur dengan menggunakan IRGA LICOR maksimum pada kadar air 40%. Sementara hasil inkubasi contoh tanah dari tutupan lahan berupa semak, diketahui bahwa emisi CO2 yang terukur dengan EGM-4 maupun IRGA LICOR menunjukkan nilai emisi maksimum pada kadar air 80%, dan menurun pada kadar air 100%.

SARAN

(27)

19

DAFTAR PUSTAKA

Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor, Indonesia. [Diakses 7 Oktober 2014]. Tersedia pada:

http://www.worldagroforestrycentre.org/downloads/publications/PDFs/B1 6019.

Agus F, Wahyunto, Dariah A, Setyanto P, Subiksa IGM, Runtunuwu E, Susanti E, Supriatna W. 2010. Carbon budget and management strategies for conserving carbon in peatland: case study in Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Proc.of Int. Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Sept. 28-29, 2010. Bogor, Indonesia

Bouwman AF. 1990. Agronomic aspect of wetland rice cultivation and associated methane emission. Biogeochem. 15(2) : 65-68.

Comeau LP, Hergoualc'h K, Smith JU, Verchot L. 2013. Conversion of intact peat swamp forest to oil palm plantation: effects on soil co2 fluxes in jambi, sumatera. Working Paper 110. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Crow, S.E., dan Wieder, R.K., 2005. Sources of CO2 Emissions from a Northern Peatland: Root Respiration, Exudation and Decomposition. Ecology, 86(7):1825-1834.

Hartono D. 2012. Proyek Restorasi dan Konservasi Hutan Gambut di Katingan dan Kotawaringin Timur. FGD Series: REDD+ 101.

Hergoulac’h K, Verchot LV. 2013. Greenhouse gas emission factors for land use and land-use change in Southeast Asian peatlands. Mitig Adapt Strateg Glob Change. DOI 10.1007/s11027-013-9511-x. microbiological processes. Soil Sci. Soc. Am.J 64: 2180-2186.

Husen E, Agus F. 2011. Microbial activities as affected by peat dryness and ameliorant. Am J Environ Sci. 7:348–353

(28)

20

Husin YA, Murdiyarso D, Khalil MAK, Rasmussen RA, Shearer MJ, Sabiham S, Sunar A, Adijuwana H. 1995. Methane flux from indonesian wetland rice: the effects of water management and rice variety. J Chemosphere. Vol 31(4): 3153-3180.

Indonesia Climate Change Center [ICCC]. 2013. Kajian definisi lahan gambut dan metodologi pemetaan lahan gambut. Jakarta, Indonesia.

Inubushi K, Furukawa Y, Hadi A, Purnomo E, Tsuruta H. 2003. Seasonal changes of CO2, CH4 and N2O fluxes in relation to land-use change in tropical peatlands located in coastal area of South Kalimantan. J Chremosphere. Vol (52): 603-608.

Luo Y, Zhuo X. 2006. Soil Respiration and The Environment. Amsterdam: Academic Press

Melling L, Hatano R, Joo GK. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystem in tropical peatland of Sarawak , Malaysia. Tellus. (57B): 1–11.

Melling L, Joo GK. 2009. Dominant regulatory factors of greenhouse gas emission from tropical peatlands in Sarawak. Paper presented at the International Conference on Oil Palm and the Environment (Malaysia International Commodity Conference & Showcase). 14 -15 Agustus 2009.

Moyano FE, Atkin OK, Bahn M, Bruhn D, Burton AJ, Heinemeyer A, Kutsch WI, Weiser G. 2010. Respiration from Roots and the Mycorrihizosfer. Di dalam: Kutsch WI, Bahn M, Heinemeyer H. (eds). University Press. 127-156.

Murase J, Kimura M. 1994. Methane production and its fate in paddy fields. iv. sources microorganism and substrates responsible for anaerobic methane in subsoil. Soil Sci. Plant. Nutr. 40(1): 57-61

Murdiyarso D, Suryadiputra N, Dewi S, Agus F. 2008. How can REDD scheme support the management of vulnerable carbon pools of Indonesian peatlands?. 13th International Peat Congress; 8-13 June 2008; Ireland: Tullamore.

Noor M. 2005. Pertanian Lahan Gambut. Jogjakarta : Kanisius.

Nusantara RW, Sudarmadji, Djohan TS, Haryono E. 2014. Emisi CO2 tanah akibat alih fungsi lahan hutan rawa gambut di Kalimantan Barat. J. Manusia dan Lingkungan. 21(3): 268-276.

Raey DS, Hewitt CN, Smith KA, Grace J. 2007. Green House Gas Sinks. Cambridge: CAB International.

(29)

21 Takakai F, Morishita T, Hashidoko Y, Darung U, Kuromachi K, Dohong S, Limin SH, Hatano R. 2006. Effects of agricultural land-use change and forest fire on N2O emission from tropical peatlands, Central Kalimantan, Indonesia. Soil Sci Plant Nutr. 52:662–674

United States Department of Agriculture [USDA]. 2012. Soil Quality Kit: Guides for Educator. Natural Resources Conservation Services.

Wayan ISD. 2010. Tingkat Serapan dan Emisi Karbon di Hutan Gambut, Kabupaten Katingan, Propinsi Kalimantan Tengah. [Diakses 14 Januari

2015]. Tersedia pada:

http://database.forda-mof.org/index.php/dashboard/detail_peneliti/568.

(30)

22

Lampiran 1. Contoh Data Pengukuran Konsentrasi CO2

(31)

23 Lampiran 2. Contoh Lembar Pencatatan Data

(Pengambilan Contoh Gas CH4 dan N2O)

Tanggal Pengambilan Contoh Gas: 4 Mei 2014

(32)

24

Lampiran 3. Contoh Perhitungan Fluks CO2, CH4, dan N2O

Sungkup Densitas Udara Fluks CH4

(33)
(34)

26

Lampiran 5. Data Pengamatan Parameter Lingkungan

Parameter Bulan Mei

Hutan Rawa Sekunder Semak

Max Min Rata-Rata Max Min Rata-Rata

Suhu Tanah (oC) 27.4 24 25.17 31 25 26.73

Suhu Udara (oC) 35.3 26.5 30.47 43.4 30 33.34

Kelembaban Udara (%)

62.3 14.5 35.94 62.8 7.5 40.34

Kadar Air Tanah (%) 93.1 9.75 48.86 84.9 5.8 41.39

Parameter Bulan Agustus

Hutan Rawa Sekunder Semak

Max Min Rata-Rata Max Min Rata-Rata

Suhu Tanah (oC) 26.3 24.2 25.3 31.2 25 26.87

Suhu Udara (oC) 36.6 27.7 29.79 49.3 26 37.08

Kelembaban Udara (%)

40.3 15 31.81 58.2 10 37.31

Kadar Air Tanah (%) 80.2 8.85 39.7 68.9 6 38.35

Tanggal Tinggi Muka Air (m)

04-Mei 0.16

25-Mei 0.12

27-Mei 0.10

29-Mei 0.10

09-Agu -0.27

14-Agu -0.34

20-Agu -0.33

26-Agu -0.44

(35)

27 Lampiran 6. Grafik Kenaikan Konsentrasi CO2 Hasil Inkubasi

Kenaikan konsentrasi CO2 di hutan rawa sekunder (secondary forest = SF) hasil pengukuran dengan EGM-4

(36)

28

Kenaikan konsentrasi CO2 di hutan rawa sekunder (secondary forest = SF) hasil pengukuran dengan IRGA LICOR

(37)

29 Lampiran 7. Pengolahan Data Emisi CO2 Hasil Inkubasi dengan EGM-4

(38)

30

Lampiran 8. Pengolahan Data Emisi CO2 Hasil Inkubasi dengan LICOR

(39)

31

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batang pada tanggal 1 Januari 1992. Penulis merupakan putri pertama dari Ayah Ikhwan dan Ibu Anizul Fuadah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SDN Watesalit 01 Batang. Tahun 2007 penulis lulus dari jenjang pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 02 Pekalongan. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Pekalongan pada tahun 2010. Semasa SMA, penulis pernah meraih Juara II Olimpiade Sains cabang Kebumian Tingkat Kota Pekalongan. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di IPB pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis juga mendapatkan Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama 4 semester. Penulis kemudian mendalami emisi gas rumah kaca pada lahan gambut sebagai bidang khusus penelitian di Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB melalui program Bantuan Dana Magang dari Indonesia Peatland Network (IPN).

Selama menjalani perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Umum Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan pada tahun ajaran 2013/2014 dan asisten praktikum Analisis Hidrologi pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis pernah aktif sebagai staf Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) BEM TPB IPB pada tahun 2010/2011, staf Departemen Sains dan Teknologi BEM FMIPA IPB pada tahun 2011/2012, dan staf Departemen Komunikasi dan Informasi BEM KM IPB tahun 2012/2013. Penulis juga aktif di Forum for Scientific Studies (FORCES). Bulan Juni-Juli 2012 penulis mengikuti IPB Goes To Field (IGTF) di Kabupaten Demak dengan tema Pemetaan Salinitas di Lahan Bekas Tambak di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Selain itu, penulis pernah melaksanakan kegiatan magang di Balai Penelitian Agroklimat dan Teknologi, Cimanggu, Bogor dan Center for International Forestry Research (CIFOR).

Gambar

Gambar 1 Posisi plot penelitian di hutan rawa gambut Katingan  (sumber : maps.google.com)
Gambar 3 Pengukuran emisi CO2 dengan EGM-4
Gambar 4 Pengambilan contoh gas dengan metode sungkup tertutup
Gambar 7 Keadaan tinggi muka air di lokasi penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Namun, pada daerah frekuensi 2,5 Hz – 5 Hz, suspensi pasif dan suspensi aktif dengan Fuzzy memberikan defleksi rata-rata roda kendaraan yang lebih kecil dari suspensi

Fungsi utama dari sistem ICT di ITB adalah menyediakan layanan informasi, komputasi, dan komunikasi secara terintegrasi pada semua anggota komunitas ITB dan masyarakat luar

Pada Bulan September Tahun 2013, PKH mulai aktif di Kabupaten Sukoharjo dan dapat diakses di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Sukoharjo sejumlah 12 kecamatan dan 128

atas dasar saling merelakan. Dalam jual beli terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli tersebut dapat dikatakan sah oleh syara‟. Salah satu

Bukti  bahwa  yang  diuntungkan  dengan  sistem  MLM  adalah  Upline,  sedangkan  Downline  akan  selalu  dirugikan  adalah  bahwa 

Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab

Peran perilaku konsumen terhadap profesi konsultan adalah seorang konsultan dapat memberi nasehat atau informasi pada sebuah perusahaan untuk menentukan produk apa

Cocokan atas bukti pemotongan dan bukti surat setoran pajak dengan saldo di buku besar serta lakukan vouching Lakukan rekonsilisasi antara total objek dengan tarif pajaknya