• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Kebutuhan Air Tanaman Dan Tingkat Produktivitas Tanaman Apel Di Kota Batu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Kebutuhan Air Tanaman Dan Tingkat Produktivitas Tanaman Apel Di Kota Batu"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

ESTIMASI KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN TINGKAT

PRODUKTIVITAS TANAMAN APEL DI KOTA BATU

AYUVIRA RESANI PARASTY ONDANG

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Estimasi Kebutuhan Air Tanaman dan Tingkat Produktivitas Tanaman Apel di Kota Batu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

ABSTRAK

AYUVIRA RESANI PARASTY ONDANG. Estimasi Kebutuhan Air Tanaman dan Tingkat Produktivitas Tanaman Apel di Kota Batu. Dibimbing oleh YON SUGIARTO.

Perubahan kondisi iklim wilayah berperan terhadap tingkat produksi dan produktivitas tanaman apel di Kota Batu. Penelitian dilakukan untuk mengetahui keterkaitan unsur iklim seperti curah hujan dan suhu udara yang dapat mempengaruhi kebutuhan air tanaman dan produktivitas tanaman apel. Kebutuhan air tanaman diasumsikan sama dengan nilai evapotranspirasi tanaman dan diduga dengan menggunakan software CROPWAT 8.0 yang berbasis metode penentuan evapotranspirasi penman-monteith. Hasil penelitian menunjukan kebutuhan air tanaman apel di Kota Batu setiap bulan berkisar antara 69-116 mm/bulan. Kebutuhan air tanaman apel terendah pada fase inisialisasi tanaman dan meningkat pada fase perkembangan dan pengisian buah dengan periode pemanenan pada bulan Maret dan September. Kebutuhan air tanaman apel pada periode Maret dapat tercukupi oleh curah hujan efektif sedangkan pada periode September tidak dapat tercukupi oleh curah hujan efektif sehingga dibutuhkan irigasi tambahan. Produktivitas tanaman apel memiliki keterkaitan dengan pemenuhan kebutuhan air tanaman berdasar unsur iklim yang berupa suhu udara dan curah hujan. Suhu udara yang relatif stabil setiap tahun memiliki dampak yang relatif kecil terhadap produktivitas tanaman apel, sedangkan curah hujan memberikan pengaruh yang cukup besar pada pemenuhan kebutuhan air tanaman dan tingkat produktivitas tanaman apel.

(5)

ABSTRACT

AYUVIRA RESANI PARASTY ONDANG. Estimation of Crop Water Requirement and Productivity of Apple Crop in Kota Batu. Supervised by YON SUGIARTO.

Changes in climatic conditions affect apple’s production and productivity in Kota Batu.The research was conducted to determine the relationship between climatic elements such as precipitation and air temperature which can affect

apple’s crop water requirement and productivity. Apple crop water requirement is assumed to be equal to the value of apple’s crop evapotranspiration and is estimated using CropWat 8.0 software which is based on the Penman-Monteith evapotranspiration determining method. The research shows that apple crop water requirement in Kota Batu is ranged between 69-116 mm/month. Apple crop water requirement is the lowest in the initialization stage of the plant and increases in the development and fruit-filling stage, with harvesting period in March and September. Apple crop water requirement during March can be fulfilled by effective rainfall only, while in September it can not be fulfilled by just effective rainfall, so it needs irrigation. Apple’s productivity has been linked to the fulfillment of crop water requirement based on climatic factors such as temperature and rainfall. Temperature is relatively stable each year, so it does not have a real impact on apple’s productivity, while rainfall has a quite noticeable effect on meeting the crop water requirement and the level of apple crop productivity.

Keywords: Apple, Crop’s growing terms, Crop productivity, Crop water

(6)
(7)

ESTIMASI KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN TINGKAT

PRODUKTIVITAS TANAMAN APEL DI KOTA BATU

AYUVIRA RESANI PARASTY ONDANG

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Estimasi Kebutuhan Air Tanaman dan Tingkat Produktivitas Tanaman Apel di Kota Batu

Nama : Ayuvira Resani Parasty Ondang

NRP : G24110021

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, SSi MSc Pembimbing

Diketahui oleh,

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga Karya Ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Juli 2015 ini ialah kebutuhan air tanaman, dengan judul “Estimasi Kebutuhan Air Tanaman dan Tingkat Produktivitas Tanaman Apel di Kota Batu”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada setiap pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah terlibat dalam penulisan karya ilmiah ini, diantaranya :

1. Bapak Yon Sugiarto, SSi MSc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan karya tulis ini.

2. Bapak Dr Rahmat Hidayat dan I Putu Santikayasa, SSi MSc selaku penguji yang telah memberikan banyak saran dan kritik terkait karya tulis ini.

3. Bapak Suhartono dari Stasiun Klimatologi Karangploso Malang dan Ibu Sutarti dari Dinas Pertanian Kota Batu yang telah membantu selama memberikan dukungan dan masukan terkait karya tulis ini.

6. Bapak Suhariyono dari Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah SubTropika yang telah memberikan saran dan masukan terkait penelitian yang dilakukan.

7. Beasiswa Nusantara Cerdas BRI angkatan 2 dan pihak DIKTI atas dukungan dana selama masa perkuliahan hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

8. Teman-teman sebimbingan penulis (Reffi, Erwin, Destri), dan kepada teman-teman yang telah memotivasi selama penyelesaian karya tulis ini (Dyah, Lucy, Afni, Fakhrul, Lutha, Neni, Italiul, Ridwan, Dion, Aditya, Agung, Derri, Irma, Bang Khabib, Zella).

9. Teman-teman GFM angkatan 48 secara keseluruhan, adik-adik GFM 49 dan GFM 50 (Maul dan Aryo).

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN v

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Tanaman Apel 2

Topografi dan Unsur Iklim 3

Kebutuhan Air Tanaman 3

CROPWAT 8.0 for Windows 4

CHIRPS 1.8 4

METODE 4

Tempat dan Waktu Penelitian 4

Bahan 5

Alat 5

Prosedur Analisis Data 5

Klasifikasi Iklim Wilayah 5

Penentuan Kebutuhan Air Tanaman 6

Penentuan Wilayah Potensial untuk Pengembangan Tanaman Apel 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Karateristik Umum Kota Batu 10

Karateristik Iklim Kota Batu 11

Kebutuhan Air Tanaman Apel 12

Keterkaitan Produktivitas Tanaman Apel dengan Kebutuhan Air Tanaman 15

Pewilayahan Tanaman Apel di Malang Raya 18

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 23

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jenis, resolusi beserta sumber data yang digunakan dalam analisis

data 5

2 Klasifikasi tipe iklim Schmidt-Ferguson 6

3 Klasifikasi iklim Koppen 6

4 Kelas klasifikasi syarat tumbuh tanaman apel 9

5 Persentase kesesuaian lahan tanaman apel di Malang Raya 19

DAFTAR GAMBAR

1 Bagian Climate/ETo di Cropwat 8.0 7

2 Bagian Rain/Eff Rain di Cropwat 8.0 7

3 Bagian karateristik tanaman di Cropwat 8.0 8

4 Bagian Evapotranspirasi tanaman dan kebutuhan irigasi di Cropwat

8.0 8

5 Peta topografi Kota Batu 10

6 Rata-rata curah hujan (mm) dan suhu udara (oC) bulanan di Kota Batu

tahun 2003-2014 11

7 Perbandingan ETc (mm/bulan), ETo (mm/bulan) dan curah hujan

efektif (mm) di Kota Batu 13

8 Distribusi variasi suhu udara (oC) dan ETc (mm) di Kota Batu periode

tahun 2003-2014 14

9 Distribusi variasi kebutuhan air tanaman (mm/bulan) periode tahun

2003-2014 14

10 Curah hujan (mm) dan produktivitas (ton/ha) tanaman apel di Kota

Batu tahun 2003-2014 16

11 Curah hujan (mm) dan kebutuhan air tanaman apel (mm) pada tahun

2003 16

12 Curah hujan (mm) dan kebutuhan air tanaman apel (mm) pada tahun

2010 17

13 Curah hujan (mm) dan kebutuhan air tanaman apel (mm) pada tahun

2007 17

14 Produktivitas tanaman (ton/ha) dan rata-rata suhu udara tahunan (oC)

periode tahun 2003-2014 di Kota Batu 18

15 Peta kesesuaian curah hujan, suhu udara dan topografi tanaman apel

di Malang Raya 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram alur estimasi kebutuhan air tanaman apel 23 2 Peta kelas kesesuaian curah hujan untuk tanaman apel di Malang

Raya 24

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komoditas hortikultura seperti buah-buahan tropis dan temperate memiliki potensi pasar yang tinggi di Indonesia. Permintaan buah-buahan yang tinggi dapat menjadi peluang besar dalam meningkatkan pendapatan pelaku usaha tani. Namun tingkat impor buah-buahan di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat dibanding tingkat ekspor. Nilai impor buah apel rata-rata sejak awal tahun 2000 mencapai 30% dari total impor buah-buahan secara keseluruhan (Samudin 2009). Selama ini, di Indonesia terdapat beberapa wilayah yang ditetapkan sebagai sentra penghasil buah apel seperti Kota Batu. Kota Batu merupakan kota penghasil tanaman apel kedua tertinggi setelah Kabupaten Pasuruan dalam hal tingkat produksi nasional buah apel di Indonesia (DEPTAN 2014).

Dalam periode tahun 2005-2013 terjadi penurunan produksi apel sebesar 25% yaitu 3430 ton pada tahun 2005 menjadi 2557 ton pada tahun 2010 di salah satu kecamatan di Kota Batu (Fahriyah et al. 2011). Sementara itu, berdasarkan data total produksi apel di Kota Batu selama tahun 2007 hingga 2014 mengalami penurunan sebesar 49.7% yaitu dari total produksi 142,511 ton pada tahun 2007 menjadi 70,843 ton pada tahun 2014 (Distan Kota Batu 2015).

Penurunan produksi apel diduga sebagai akibat adanya perubahan iklim yang berdampak pada pergeseran dan perubahan panjang musim hujan dan musim kemarau. Perubahan panjang musim mengakibatkan peningkatan serangan hama, kekeringan bahkan gugurnya bunga tanaman sehingga tidak terbentuk bakal buah (Fahriyah et al. 2011). Curah hujan sebagai contoh jika meningkat sebelum fase pembungaan akan memacu pertumbuhan vegetatif sehingga fase pembungaan akan terhambat. Selain itu intensitas curah hujan yang tinggi mengakibatkan gugurnya bunga dan bakal buah yang masih kecil sehingga produktivitas tanaman menurun (Baiturrohmah 2010).

Unsur curah hujan memiliki peranan terkait produktivitas dan kebutuhan air tanaman apel. Tanaman apel merupakan tanaman yang cukup rentan terhadap ketersediaan air pada beberapa fase hidupnya. Tanaman apel membutuhkan air yang cukup untuk pertumbuhannya namun tidak sampai tergenang. Curah hujan yang tinggi justru akan mengakibatkan akar tanaman tergenang air dan pertumbuhan tanaman terhambat. Sebaliknya, tanaman apel membutuhkan air yang lebih banyak pada saat pembentukan dan pengisian buah. Akan tetapi, jika air yang diberikan tidak mencukupi maka tanaman akan mengalami kekeringan dan proses pengisian buah terhambat sehingga buah apel yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang baik. Kualitas buah yang kurang baik tentu akan menurunkan minat pembeli sehingga petani mengalami kerugian yang lebih besar (Baskara 2010).

(16)

2

ialah wilayah yang memiliki kondisi iklim dan topografi yang telah dikategorikan sesuai dengan syarat tumbuh tanaman apel.

Perumusan Masalah

Produksi tanaman apel di Kota Batu yang menurun hampir setiap tahun memberikan dampak yang kurang menguntungkan terutama bagi petani. Upaya peningkatan produksi apel di Kota Batu telah dilakukan dengan bantuan dari Dinas Pertanian maupun Badan-badan penelitian terkait. Kebutuhan air tanaman dan faktor iklim diduga berperan dalam penurunan produksi tanaman apel. Faktor iklim berupa curah hujan dan suhu udara memiliki dampak yang signifikan terhadap kebutuhan air tanaman dan produktivitas tanaman apel. Penentuan kebutuhan air tanaman dilakukan dengan menggunakan CROPWAT 8 berbasis metode penman-monteith yang merupakan fungsi dari faktor iklim terkait dan karateristik tanaman. Upaya lain untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman apel ialah dengan menanam tanaman apel di beberapa wilayah Kota Batu dan Kabupaten Malang yang memiliki karateristik iklim dan topografi yang memenuhi syarat tumbuh tanaman.

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis kebutuhan air tanaman apel.

2. Menduga keterkaitan antara curah hujan dan suhu udara yang mempengaruhi kebutuhan air dengan produktivitas tanaman apel.

3. Menganalisis pola spasial curah hujan dan suhu udara yang cocok bagi pengembangan tanaman apel di Malang Raya.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kebutuhan air tanaman apel setiap bulannya di Kota Batu sehingga kekurangan air selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat dicegah. Selain itu, penentuan wilayah pengembangan apel di Malang Raya dapat digunakan untuk meningkatkan produksi buah apel dengan cara menanam apel di daerah yang potensial secara iklim dan topografi.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Apel

Tanaman apel termasuk ke dalam kelas Dicotyledonae, ordo Rosales, family Rosaceae, dan genus Malus. Tanaman apel yang dibudidayakan saat ini merupakan hasil persilangan dari beberapa varietas apel asli Asia sehingga beberapa jenis apel sudah tidak dapat diidentifikasi lagi asal-usulnya (Yulianti et al. 2006). Umumnya, tanaman apel yang ditanam di Indonesia merupakan apel jenis Rome Beauty, Manalagi dan Princess Noble.

(17)

3

mencapai 2 hingga 3 meter. Pohon apel memiliki percabangan yang sedikit dengan arah cabang cenderung vertikal. Buah yang dihasilkan oleh tanaman apel berbentuk bulat hingga bulat telur dengan kandungan air yang tidak banyak (Sunarjono 2008).

Fase perkembangan tanaman apel dimulai dengan perontokan daun tanaman, baik secara manual maupun dengan menggunakan bahan kimia tertentu. Perontokan daun tanaman apel dikenal dengan istilah perompesan. Perompesan tanaman apel dilakukan 2 minggu setelah panen. Tanaman apel rata-rata membutuhkan waktu 21-30 hari dari waktu setelah rompes hingga mengeluarkan kuncup bunga (stage 1). Perkembangan selanjutnya dari kuncup bunga menjadi pentil buah membutuhkan waktu 24-30 hari (stage 2). Sedangkan, untuk mencapai tahap pengisian buah (stage 3) dan pematangan buah hingga panen (stage 4) membutuhkan waktu sekitar 115-140 hari.

Topografi dan Unsur Iklim

Tanaman apel dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian 700 hingga 1200 mdpl dengan keadaan iklim yang kering, curah hujan mencapai 1000-2600 mm per tahun dan jumlah bulan basah sebanyak 6-7 bulan basah (Yulianti et al 2006). Curah hujan yang tinggi saat fase pembungaan dapat menyebabkan gugurnya bunga tanaman apel sehingga produksi tanaman apel dapat menurun.

Tanaman apel membutuhkan radiasi matahari yang cukup untuk dapat melewati fase pembungaan dan pengisian buah. Intensitas radiasi matahari sangat tergantung dari letak geografis perkebunan dan keadaan cuacanya. Suhu maksimum bagi pertumbuhan tanaman apel ialah 27oC atau sama dengan suhu ruangan dan suhu minimumnya sebesar 16oC dengan kelembaban udara berkisar antara 75-85% (Soelarso 1997).

Pertumbuhan tanaman apel akan lebih subur pada tanah dengan kandungan bahan organik tinggi dan porositas baik. Selain itu, tanah tersebut harus memiliki aerasi dan penyerapan air yang baik sehingga penyimpanan airnya optimal. Jenis tanah yang dinilai dapat menjadi media pertumbuhan yang subur bagi tanaman apel ialah jenis tanah latosol dan andosol dengan pH mendekati netral (Soelarso 1997).

Kebutuhan Air Tanaman

(18)

4

CROPWAT 8.0 for Windows

CROPWAT 8.0 for windows merupakan program keluaran FAO (Food Agriculture Organization) yang digunakan untuk menghitung kebutuhan air tanaman berdasarkan data iklim dan data karateristik tanaman. CROPWAT terutama menggunakan pendekatan metode penman-monteith sebagai salah satu metode standar penghitungan evapotranspirasi tanaman. Data iklim yang dibutuhkan sebagai masukan program ialah suhu maksimum dan minimum, kelembaban udara, kecepatan angin, dan lama penyinaran matahari untuk menduga nilai radiasi dan evapotranspirasi acuan (ETo). Unsur iklim lain berupa curah hujan digunakan untuk menentukan hujan efektif yang selanjutnya akan diolah oleh program untuk pendugaan evapotranspirasi tanaman (Admasu et al. 2014).

CHIRPS 1.8

CHIRPS atau Climate Hazard InfraRed Precipitation with Station merupakan salah satu data presipitasi yang menggabungkan data iklim global yang berasal dari satelit dengan data observasi di permukaaan. CHIRPS memiliki resolusi data yang cukup besar yaitu 0.05o atau sekitar 5.3 km2 dengan rata-rata presipitasi bulanan yang tersedia dari tahun 1981 hingga saat ini. Keunggulan CHIRPS ialah bias yang cukup kecil karena memiliki data masukan yang berupa data satelit, data observasi dan data topografi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa data CHIRPS labih bagus digunakan terutama untuk daerah spesifik dengan topografi yang beragam (Pricope et al. 2013).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

(19)

5

Bahan

Data dan sumber data yang digunakan selama proses penelitian ialah Tabel 1 Jenis, resolusi beserta sumber data yang digunakan dalam analisis data

Kebutuhan Jenis Data Resolusi Periode Sumber Data

Spasial Temporal

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah software CROPWAT 8 for windows, ArcGIS 10.0, Microsoft office dan Laptop/PC.

Prosedur Analisis Data

Klasifikasi Iklim Wilayah

(20)

6

Persentase yang dihasilkan oleh perbandingan rata-rata bulan basah dan bulan kering tersebut kemudian ditentukan tipe iklimnya sesuai pembangian tipe iklim seperti yang tercantum pada tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi tipe iklim Schmidt-Ferguson

Tipe Iklim Kriteria Keterangan

A 0 < Q < 14.3% Sangat Basah

B 14.3% < Q < 33.3% Basah

C 33.3% < Q < 60% Agak Basah

D 60% < Q < 100 % Sedang

E 100% < Q < 167% Agak Kering

F 167% < Q < 300% Kering

G 300% < Q < 700% Sangat Kering

H Q > 700% Ekstrim Kering

Sumber : Handoko 1996

Klasifikasi iklim menurut Koppen ditentukan berdasarkan faktor suhu udara dan curah hujan rata-rata. Terdapat lima tipe iklim utama menurut Koppen yaitu :

Tabel 3. Klasifikasi iklim Koppen

Tipe Iklim Kriteria Keterangan

A (Af, Aw, Am) Suhu udara >18oC Iklim Hujan Tropis

B (BS, BW) Curah Hujan terendah 25.5 mm/tahun Iklim kering

C (CF, Cs, Cw) Suhu udara terendah -3oC-18oC Iklim Sedang

D (Df, Dw) Suhu udara bulan terdingin mencapai

<-3oC dan suhu udara bulan terpanas >10oC Iklim Salju

E (Ew, Ef) Suhu udara < 10oC Iklim Kutub

Sumber : Nurhayati et al 2010

Wilayah Indonesia secara keseluruhan tergolong kedalam tipe iklim A yaitu tipe iklim hujan tropis dengan sub-klasifikasi Af, Aw dan Am. Tipe iklim Af dan Am terdapat di sepanjang Indonesia bagian barat, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Utara. Sedangkan tipe iklim Aw terdapat di sepanjang Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara, Kepulauan Aru dan Irian Jaya.

Penentuan Kebutuhan Air Tanaman

(21)

7

a. Climate/ETo

Bagian 1 merupakan bagian Climate/ETo yaitu bagian yang membutuhkan masukan data berupa rata-rata bulanan suhu udara maksimum dan suhu udara minimum, rata-rata bulanan lama penyinaran matahari, dan rata-rata bulanan kelembaban udara yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Karangploso Malang periode tahun 2003-2014. Sebaliknya, rata-rata bulanan kecepatan angin diperoleh dari ECWMF untuk periode tahun 2003-2014. Masukan data iklim tersebut digunakan untuk menduga ETo dan besarnya nilai radiasi matahari.

Gambar 1 Bagian Climate/ETo di Cropwat 8.0

b. Rain/Eff Rain

Bagian 2 CROPWAT merupakan bagian Rain/Eff Rain yang digunakan untuk menentukan curah hujan efektif dengan masukan tunggal berupa curah hujan rata-rata bulanan selama periode tahun 2003-2014. Curah hujan efektif merupakan curah hujan yang jatuh selama masa tumbuh tanaman dan dapat digunakan untuk memenuhi konsumsi air tanaman.

(22)

8

c. Crop

Bagian 3 CROPWAT merupakan bagian Crop yaitu bagian yang membutuhkan masukan karateristik tanaman dan waktu awal musim tanaman. Data karateristik tanaman yang dimaksud antara lain Kc (koefisien tumbuh tanaman), lama hari untuk setiap fase, kedalaman akar, critical depletion, yield response dan tinggi tanaman. Data tanaman diperoleh dai paper FAO 56.

Kc tanaman berbeda pada setiap fasenya sehingga dibutuhkan 3 nilai Kc yaitu 0.60, 0.95, 0.75. Awal musim tanam apel diasumsikan pada tanggal 1 bulan April dan Oktober yang merupakan masa awal perompesan tanaman. Tanaman apel dapat mencapai tinggi 4 meter dengan kedalaman akar 1 meter dibawah permukaan tanah.

Gambar 3 Bagian karateristik tanaman di Cropwat 8.0

d. ETc/Crop Water Requirements

Bagian 4 CROPWAT merupakan bagian terakhir untuk menduga nilai evapotranspirasi tanaman. Semua masukan dari bagian 1 hingga bagian 3 akan diolah oleh model sehingga memperoleh hasil pendugaan untuk nilai evapotranspirasi tanaman. Bagian 4 menyajikan nilai akhir dari evapotranspirasi tanaman (mm/hari atau mm/dekade) beserta curah hujan efektif dan irigasi yang dapat diberikan kepada tanaman untuk analisis pemenuhan kebutuhan air tanaman.

Gambar 4 Bagian Evapotranspirasi tanaman dan kebutuhan irigasi di Cropwat 8.0

Penentuan Wilayah Potensial untuk Pengembangan Tanaman Apel

(23)

9

suhu selama tahun 2003-2014 yang terukur di stasiun pengamatan Punten, Kota Batu dengan ketinggian stasiun 954 mdpl. Data suhu tersebut kemudian diturunkan menurut elevasi dengan menggunakan persamaan Braak yang telah dimodifikasi suhu acuannya, yaitu:

T = Tst + 0.0061 (hst– h) pada ketinggian kurang dari 2000 mdpl

T = Tst + 0.0052 (hst– h) pada ketinggian lebih dari 2000 mdpl

Keterangan :

Tst : Suhu stasiun acuan (oC)

Hst : Ketinggian stasiun acuan (mdpl)

Pemetaan suhu udara mengikuti pemetaan ketinggian wilayah. Data suhu pada titik acuan merupakan suhu acuan dan memiliki ketinggian acuan. Perubahan ketinggian wilayah akan mempengaruhi perubahan suhu udara wilayah. Perubahan ketinggian sebesar 1000 meter akan menaikkan atau menurunkan suhu udara sebesar 6.1oC pada ketinggian kurang dari 2000 mdpl dan 5.2oC pada ketinggian wilayah yang lebih tinggi dari 2000 mdpl.

Analisis spasial curah hujan menggunakan data curah hujan rata-rata yang berasal dari CHRIPS (Climate Hazard InfraRed Precipitation with Station). Periode waktu yang ditetapkan ialah selama tahun 2003-2013. Data CHRIPS berupa data titik dengan resolusi 0.05o atau sekitar 5.3 km2. Wilayah Malang Raya sendiri memiliki 238 titik untuk data curah hujan yang selanjutnya dipetakan pada ArcGis 10.0.

Pemetaan curah hujan wilayah dengan ArcGis 10.0 menggunakan metode interpolasi IDW atau Inverse Distance Weight. Metode interpolasi IDW umumnya digunakan untuk memetakan curah hujan wilayah yang memiliki data berupa data titik. Metode ini menggambarkan suatu wilayah yang memiliki informasi data berupa satu titik yang dapat mempengaruhi wilayah disekitarnya. Semakin jauh jangkauan wilayah maka semakin kecil pengaruh dari titik tersebut (Childs 2004).

Data suhu udara dan curah hujan tersebut kemudian diolah dan dikombinasikan bersama data ketinggian wilayah dengan menggunakan software ArcGis 10.0 untuk menentukan wilayah yang cocok untuk pengembangan tanaman apel di Malang Raya.

Tabel 4. Kelas klasifikasi syarat tumbuh tanaman apel

Karateristik lahan Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N

Suhu rata-rata (oC) 16-22 22-24 24-27 >27

13-16 <13

Curah Hujan (mm) 1800-2200 2200-2500 2500-3000 >3000

1600-1800 <1600

Elevasi (mdpl) 1000-1200 700-1000 1500-2000 >2000

500-700 <500

Sumber : Djaenudin et al. 2000

(24)

10

sesuai bagi pertumbuhan tanaman apel. Kelas kesesuaian lahan S3 merupakan kelas kesesuaian lahan yang tergolong sesuai marjinal. Sedangkan, kelas kesesuaian lahan N merupakan kelas kesesuaian yang kurang sesuai bagi pertumbuhan tanaman apel. Pada penelitian ini setiap parameter yaitu suhu rata-rata, curah hujan dan ketinggian wilayah diasumsikan memiliki nilai pembobot yang sama. Dengan demikian setiap parameter memiliki pengaruh yang sama besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman apel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karateristik Umum Kota Batu

Kota Batu merupakan bagian dari Malang Raya yang mencakup wilayah Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu secara keseluruhan. Kota Batu merupakan kota yang baru terbentuk pada tahun 2001 dan sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Malang. Kota Batu terletak pada ketinggian 680 meter hingga 1200 meter diatas permukaan laut sehingga sebagian besar topografi Kota Batu didominasi oleh wilayah perbukitan. Kawasan pegunungan di Kota Batu terdiri atas Gunung Panderman (2010 mdpl), Gunung Welirang (3156 mdpl) dan Gunung Arjuno (3339 mdpl).

Gambar 5 Peta topografi Kota Batu

(25)

11

luas wilayah sebesar 202 km2 dan hanya memiliki 3 kecamatan. Tiga wilayah kecamatan di Kota Batu ialah Kecamatan Bumiaji dengan luas 130.1 km2, Kecamatan Batu dengan luas 46.7 km2 dan Kecamatan Junrejo dengan luas 26.2 km2 (Pemkot Batu 2015).

Kota Batu dijuluki sebagai Kota Agropolitan sebab komoditi utama yang dihasilkan di Kota Batu ialah hasil pertanian. Kota Batu dikenal sebagai penghasil buah apel tertinggi di Malang Raya. Selain buah apel, Kota Batu juga memiliki hasil pertanian lain berupa buah jeruk, sayur-mayur dan tanaman bunga. Kondisi iklim dan jenis tanah di Kota Batu yang memiliki tingkat kesuburan tinggi berpotensi untuk pengembangan komoditas pertanian (Pemkot Batu 2015).

Karateristik Iklim Kota Batu

Kota Batu memiliki kondisi topografi yang berupa perbukitan sehingga Kota Batu memiliki suhu udara yang dikategorikan cukup rendah yaitu berkisar antara 17-27oC dengan kelembaban udara 70-85%. Rata-rata suhu udara di Kota Batu selama tahun 2003-2014 berkisar antara 22.8-23.9oC dengan suhu udara terendah pada bulan Januari yaitu sebesar 22.8oC yang juga merupakan puncak curah hujan tertinggi. Sedangkan puncak suhu tertinggi pada bulan April dan Oktober mencapai 23.9oC. Rentang suhu udara di Kota Batu cukup rendah dapat diakibatkan keadaan wilayah Kota Batu yang berada di kawasan pegunungan dan keberadaan hutan yang mencapai 32.9% dari total luas wilayah Kota Batu.

Keadaan iklim Kota Batu lainnya seperti curah hujan tahunan rata-rata mencapai 1800 mm/tahun dalam 20 tahun terakhir. Puncak curah hujan di Kota Batu terjadi pada bulan Desember hingga Januari dengan jumlah curah hujan bulanan masing-masing sebesar 332 mm dan 308 mm. Setelahnya curah hujan akan terus menurun hingga bulan Agustus dengan curah hujan hanya mencapai 15 mm dan kembali meningkat pada bulan Oktober hingga mengalami puncak curah hujan kembali pada bulan Desember (BMKG 2015).

Gambar 6 Rata-rata curah hujan (mm) dan suhu udara (oC) bulanan di Kota Batu tahun

2003-2014

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

(

oC)

(m

m

)

(26)

12

Pola curah hujan di Kota Batu menunjukkan tipe curah hujan monsun dengan satu puncak curah hujan dalam setahun yaitu pada bulan Januari dan terdapat perbedaan yang cukup jelas antara musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan di Kota Batu rata-rata dimulai pada bulan November saat curah hujan bulanan melebihi 100 mm sehingga digolongkan sebagai bulan basah. Awal musim kemarau di Kota Batu terjadi pada bulan Juni saat curah hujan bulanan kurang dari 60 mm dan digolongkan sebagai bulan kering.

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schimidt-Ferguson, Kota Batu memiliki tipe iklim D yaitu kategori sedang dengan perbandingan jumlah bulan basah dan bulan kering yang hampir sama setiap tahunnya. Kota Batu selama tahun 2003-2014 memiliki 57 bulan kering dan 78 bulan basah. Bulan kering merupakan bulan dengan jumlah curah hujan kurang dari 60 mm dan bulan basah merupakan bulan dengan curah hujan berjumlah lebih dari 100 mm. perbandingan bulan kering dan bulan basah menghasilkan nilai Q sebesar 73% yang tergolong kedalam tipe iklim sedang.

Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Koppen, Kota Batu memiliki tipe iklim Aw. Tipe iklim Aw didasarkan pada jumlah curah hujan bulan terkering di Kota Batu yang kurang dari 60 mm selama bulan Juli hingga September dan jumlah curah hujan tahunan Kota Batu tidak mencapai 2500 mm. Selain itu suhu udara di Kota Batu rata-rata lebih besar dari 18oC sehingga tergolong kedalam tipe iklim Aw. Tipe iklim Aw terdapat di sepanjang Indonesia bagian timur termasuk Jawa Timur dan Madura.

Kebutuhan Air Tanaman Apel

Tanaman apel merupakan tanaman subtropis yang dibawa ke Indonesia pada zaman Belanda. Perbedaan keadaan iklim di daerah subtropis dan daerah tropis dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama masa panen. Di Indonesia, tanaman apel dapat dipanen hingga dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Maret dan bulan September, sedangkan di daerah subtropis tanaman apel hanya dapat dipanen sekali dalam setahun (Suhariyono 2014).

Tanaman apel yang dapat berproduksi dengan baik di Kota Batu memerlukan kondisi iklim yang sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air tanaman dalam penelitian diasumsikan sama dengan besarnya nilai ETc atau evapotranspirasi tanaman. ETc menunjukan besarnya air yang dikonsumsi oleh tanaman dalam proses evapotranspirasi, sedangkan kebutuhan air tanaman merupakan besarnya air yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan air tanaman melalui proses evapotranspirasi.

(27)

13

Gambar 7 Perbandingan ETc (mm/bulan), ETo (mm/bulan) dan curah hujan efektif (mm) di Kota Batu

Kebutuhan air tanaman apel rata-rata berkisar antara 69 – 116 mm/bulan atau 2.5 – 3.9 mm/hari. Kebutuhan air tertinggi terjadi pada masa pengisian dan perkembangan buah (stage 3) yaitu pada bulan Agustus yang mencapai 116 mm/bulan. Hal tersebut dapat disebabkan masa pengisian buah merupakan saat terpenting tanaman agar dapat dikategorikan berproduki dengan baik sehingga semua mineral dan air yang diserap oleh akar dialihkan ke bagian buah. Sebaliknya, kebutuhan air terendah tanaman apel terjadi pada masa awal perkembangan tanaman (stage 1) yaitu pada bulan April yang mencapai 69 mm/bulan. Awal perkembangan tanaman apel dimulai sejak dilakukan perompesan.

Kebutuhan air tanaman apel pada bulan Oktober hingga Mei dapat tercukupi dengan air yang berasal dari curah hujan saja. Sebaliknya, pada bulan Juni hingga September, kebutuhan air tanaman apel lebih besar dibandingkan curah hujan efektif, sehingga dibutuhkan irigasi agar tanaman apel tetap dapat berkembang dan berproduksi dengan baik. Kebutuhan air tanaman apel pada bulan Oktober hingga Mei dapat terpenuhi karena Indonesia mengalami musim penghujan. Sebaliknya, pada bulan Juni dan September merupakan musim kemarau dengan jumlah curah hujan bulanan yang kecil sehingga kebutuhan air tanaman apel tidak dapat tercukupi.

Kebutuhan air tanaman apel dipengaruhi terutama oleh unsur iklim berupa suhu udara. Saat suhu udara meningkat, proses respirasi tanaman juga meningkat sehingga air yang diserap oleh tanaman semakin banyak untuk mengimbangi jumlah air yang ditranspirasikan. Sebaliknya, saat suhu udara rendah, proses respirasi tanaman juga rendah dan air yang diserap tidak banyak sehingga kebutuhan air tanaman rendah. Selain suhu udara, kebutuhan air tanaman juga dipengaruhi oleh unsur iklim lainnya seperti radiasi matahari, kecepatan angin dan kelembaban udara.

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sept Oct Nov Dec

(28)

14

Gambar 8 Distribusi variasi suhu udara (oC) dan ETc (mm) di Kota Batu periode tahun

2003-2014

Perbandingan grafik antara suhu udara dan kebutuhan air tanaman memiliki pola yang hampir sama setiap tahunnya. Hal tersebut diakibatkan peran suhu udara yang cukup besar dalam kehilangan air tanaman. Suhu udara terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 22.5oC dengan total kebutuhan air tanaman sebesar 1044 mm dalam setahun. Sebaliknya, suhu udara tertinggi pada tahun 2007 dan 2013 dengan suhu udara sebesar 23.8oC. pada tahun 2007 dan 2012, total kebutuhan air tanaman apel mencapai 1266 dan 1272 mm dalam setahun.

Gambar 9 Distribusi variasi kebutuhan air tanaman (mm/bulan) periode tahun 2003-2014

Kebutuhan air tanaman apel selama tahun 2003-2014 cukup berfluktuasi. Rata-rata kebutuhan air tanaman apel tertinggi terjadi pada tahun 2005 yang mencapai 106.5 mm dan terendah terjadi pada tahun 2011 hanya mencapai 87 mm. Rata-rata kebutuhan air yang cukup tinggi pada tahun 2005 diakibatkan oleh tingginya rata-rata suhu udara yaitu sebesar 23.6oC. Suhu udara yang tinggi mengakibatkan peningkatan evapotranspirasi tanaman. Sebaliknya pada tahun

0

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(m

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Stage

2003 2004 2005 2006 2007 2008

(29)

15

2011, rata-rata kebutuhan air tanaman apel cukup rendah terutama pada bulan April hingga Oktober. Kebutuhan air tanaman apel yang rendah diakibatkan oleh rata-rata suhu udara yang cukup rendah yaitu sebesar 22.5oC. Suhu udara yang rendah mengakibatkan evapotranspirasi tanaman lebih rendah sehingga air yang dibutuhkan untuk mengganti evapotranspirasi menjadi lebih sedikit.

Rata-rata kebutuhan air tanaman apel tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Agustus dengan rentang kebutuhan air masing-masing sebesar 90.8-136.4 mm dan 88.4-143.2 mm. Kebutuhan air tanaman apel meningkat pada bulan Agustus disebabkan oleh suhu udara yang meningkat akibat Kota Batu mengalami musim kemarau. Selain diakibatkan oleh meningkatnya suhu udara, peningkatan kebutuhan air tanaman apel juga diakibatkan oleh fase-fase yang dilewati tanaman. Bulan Januari dan Agustus merupakan masa perkembangan dan pengisian buah (stage 3) yang membutuhkan air lebih banyak sehingga kebutuhan air tanaman apel juga meningkat.

Rata-rata kebutuhan air tanaman apel terendah terjadi pada bulan April dan bulan Oktober dengan rentang kebutuhan air tanaman masing-masing sebesar 57.5-85.2 mm dan 67.3-100 mm. Namun, bulan April dan Oktober memiliki rata-rata suhu udara yang sama dan cukup tinggi yaitu mencapai 28.2oC. Saat suhu udara meningkat, evapotranspirasi juga akan meningkat tetapi pada bulan April dan Oktober justru kebutuhan air tanaman rendah. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh fase yang dilewati tanaman. Bulan April maupun Oktober merupakan masa setelah panen dan perompesan tanaman, (stage 1) sehingga kebutuhan air tanaman rendah. Pada masa perompesan tanaman apel digugurkan daunnya, sehingga aktivitas fotosintesis menjadi lebih rendah dan evapotranspirasi menurun. Hal tersebut mengakibatkan air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk mengganti evapotranspirasi juga menurun.

Keterkaitan Produktivitas Tanaman Apel dengan Kebutuhan Air Tanaman

(30)

16

Gambar 10 Curah hujan (mm) dan produktivitas (ton/ha) tanaman apel di Kota Batu tahun 2003-2014

Produktivitas tanaman apel selama tahun 2003 hingga 2014 mengalami fluktuasi yang cukup beragam. Produktivitas tanaman apel tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 68 ton/ha. Sebaliknya produktivitas tanaman apel terendah terjadi pada tahun 2003 dengan nilai produktivitas sebesar 35 ton/ha. Tahun 2010 menunjukan penurunan produktivitas apel yang cukup ekstrim sebab mencapai 20 ton/ha.

Gambar 11 Curah hujan (mm) dan kebutuhan air tanaman apel (mm) pada tahun 2003

Tahun 2003 memiliki curah hujan yang cukup rendah yaitu sebesar 1396 mm dan tingkat produktivitas yang terendah yaitu sebesar 39 ton/ha. Produktivitas tanaman apel yang rendah dapat diakibatkan oleh curah hujan tahunan pada tahun 2003 yang tidak sesuai dengan syarat tumbuh tanaman apel yaitu sebesar 1600-2500 mm/tahun. Selain tahun 2003, tahun 2010 merupakan tahun dengan produktivitas tanaman apel yang rendah dan menurun tajam dibanding pada tahun 2009. Penurunan produktivitas di tahun 2010 mencapai 20 ton/ha. Hal tersebut

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(to

ETc (mm) Curah Hujan (mm) Produktivitas (ton/ha)

0

Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sept

(31)

17

dapat diakibatkan oleh curah hujan di Kota Batu mencapai 2700 mm dan tidak sesuai dengan syarat tumbuh tanaman apel sehingga produktivitas tanaman apel mengalami penurunan.

Gambar 12 Curah hujan (mm) dan kebutuhan air tanaman apel (mm) pada tahun 2010

Selain faktor curah hujan tahunan, intensitas curah hujan pada bulan November yang merupakan masa pembentukan bunga dan bakal buah baik pada tahun 2003 dan 2010 sama-sama meningkat. Hal tersebut dapat menyebabkan gugurnya bunga sehingga tidak terbentuk bakal buah. Jika bunga tidak gugur maka tepung sari yang lengket oleh air hujan mengakibatkan tidak terjadinya penyerbukan sehingga bakal buah juga tidak terbentuk. Selain musim pembungaan, musim awal terbentuknya bakal buah juga merupakan musim yang rentan terhadap curah hujan yang tinggi. Bakal buah yang masih kecil dapat gugur jika intensitas curah hujan tinggi sehingga produktivitas tanaman apel akan menurun (Soelarso 1997).

Gambar 13 Curah hujan (mm) dan kebutuhan air tanaman apel (mm) pada tahun 2007

Pada tahun 2007 saat produktivitas tanaman apel mencapai nilai tertinggi, curah hujan tahunan Kota Batu mencapai 2000 mm yang dikategorikan sesuai dengan syarat tumbuh tanaman apel. Selain itu pada masa pembungaan yaitu pada bulan November, intensitas curah hujan tidak terlalu tinggi dan cukup untuk

Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sept

Stage

Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sept

(32)

18

memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga peluang gugurnya bunga dan bakal buah lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun 2003 dan 2010.

Suhu udara merupakan salah satu faktor iklim yang diduga ikut mempengaruhi nilai produktivitas tanaman apel. Tanaman membutuhkan suhu udara yang tinggi pada saat pembungaan dan masa pengisian buah. Suhu udara yang tinggi saat masa pembungaan dibutuhkan tanaman agar fotosintesis tanaman berjalan secara optimal dan pembentukan bunga akan sempurna. Sebaliknya, saat suhu rendah pada masa pembungaan maka fotosintesis akan lambat dan pembungaan juga akan terhambat. Pada masa pengisian buah, suhu tinggi dibutuhkan untuk menghasilkan buah dengan kualitas yang baik (Setyati 1996).

Gambar 14 Produktivitas tanaman (ton/ha) dan rata-rata suhu udara tahunan (oC) periode

tahun 2003-2014 di Kota Batu

Berdasarkan data yang bersumber dari Stasiun Klimatologi Karangploso, suhu udara di Kota Batu mengalami fluktuasi yang cukup besar namun masih dalam rentang syarat tumbuh untuk tanaman apel. Suhu udara terendah pada tahun 2011 yaitu sebesar 22.5oC dan suhu tertinggi pada tahun 2007 dan 2012 yaitu sebesar 23.8oC. Rentang suhu udara 22.5oC hingga 23.8oC tersebut masih tergolong dalam rentang suhu udara yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman apel agar dapat berproduksi dengan baik yaitu sebesar 13oC-27oC.

Pewilayahan Tanaman Apel di Malang Raya

Tingkat produktivitas tanaman apel yang menurun dapat disebabkan oleh perubahan agroklimat lingkungan tumbuh tanaman apel yang tidak lagi optimal (Suhariyono et al. 2008). Peningkatan produksi apel dapat dilakukan jika tanaman apel ditanam didaerah yang memiliki karateristik yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman. Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman apel yaitu 1600-2500 mm/tahun. Curah hujan tersebut dikategorikan dapat memenuhi kebutuhan air tanaman apel sehingga tanaman apel tidak mengalami kekeringan. Suhu udara yang sesuai untuk penanaman tanaman apel memiliki rentang 13-27oC. Selain itu, faktor elevasi atau ketinggian wilayah juga mendominasi dalam penentuan syarat tumbuh tanaman apel. Tanaman apel dapat

20

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(33)

19

tumbuh dan berkembang dengan baik jika ditanam pada ketinggian 700-1500 mdpl (Djaenudin et al. 2000).

Gambar 15 Peta kesesuaian curah hujan, suhu udara dan topografi tanaman apel di Malang Raya

Syarat tumbuh tanaman apel ditentukan tingkat kesesuaiannya berdasarkan kombinasi curah hujan, suhu udara dan elevasi atau ketinggian wilayah. Kelas kesesuaian lahan dibagi atas 4 kombinasi yaitu kelas kesesuaian S1, S2, S3 dan N. Kelas kesesuaian lahan S1 digolongkan sebagai lahan sangat sesuai sebab tidak memiliki faktor pembatas yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas lahan. Kelas kesesuaian S2 merupakan kelas lahan yang cukup sesuai sebab terdapat faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas lahan namun dapat diatasi oleh petani. Sedangkan, kelas kesesuaian lahan S3 tergolong sebagai lahan yang dikategorikan sesuai marginal sebab memiliki faktor pembatas yang berat dan berpengaruh terhadap produktivitas. Faktor pembatas pada kelas S3 harus diatasi oleh pihak pemerintah/swasta sebab dibutuhkan modal yang besar untuk mengatasinya. Kelas N merupakan kelas lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat sulit untuk diatasi (Ritung et al. 2007). Tabel 5. Persentase kesesuaian lahan tanaman apel di Malang Raya

Kelas Klasifikasi Luas Lahan Persentase Luas Lahan

S1 24,910 6.4%

S2 68,900 17.5%

S3 120,840 30.8%

(34)

20

Berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk Malang Raya secara keseluruhan, terdapat banyak daerah yang kurang sesuai untuk ditanami tanaman apel yaitu sebanyak 45.3% dari total luas wilayah Malang Raya berdasarkan kelas kesesuaian N. Wilayah yang sangat sesuai untuk tanaman apel hanya sebesar 6.4% yaitu sebagian Kecamatan Pujon, Bumiaji, Batu, Junrejo, Dau, Wagir, Poncokusumo dan Jabung. Wilayah yang tergolong cukup sesuai untuk penanaman apel sebanyak 17.5% yang terdiri dari Kecamatan Ngantang, Kasembon, Pujon, Bumiaji, Batu, Junrejo, Karangploso, Lawang, Dau, Wagir, Wonosari, Poncokusumo, Tumpang, Wajak, Jabung dan Lawang. Sedangkan, wilayah yang memiliki kelas kesesuaian S3 atau sesuai marginal seluas 30.8% dari total luas Malang Raya dan meliputi beberapa kecamatan yang juga tergolong kedalam kelas kesesuaian S1 dan S2, Kecamatan Tirtoyudo, Dampit, Sumbermanjing, Gedangan, Pagak dan Tumpang

Luas lahan perkebunan apel yang terdapat di Kota Batu berdasarkan data yang diterbitkan oleh Dinas Pertanian Kota Batu pada tahun 2014 hanya seluas 1789 ha. Berdasarkan hasil pewilayahan tanaman apel untuk wilayah Malang raya, perkebunan apel tidak hanya di Kota Batu namun juga dapat dikembangkan hingga Kabupaten Malang sehingga produksi buah apel dapat meningkat. Total luas lahan untuk perkebunan apel yang sesuai dengan kriteria iklim dan topografi untuk Malang Raya secara keseluruhan ialah 24,910 ha untuk kelas S1, 68,900 ha untuk kelas S2 dan 120,840 ha untuk kelas S3. Pengembangan perkebunan apel dengan luas lahan yang tergolong berpotensi akan meningkatkan produksi tanaman apel tahunan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kebutuhan air tanaman apel berbeda-beda pada setiap masa pertumbuhan dan perkembangan. Masa perompesan atau masa awal perkembangan tanaman (stage 1) memiliki kebutuhan air terendah yaitu hanya sebesar 69 mm/bulan dan pada saat perkembangan dan pengisian buah (stage 3), kebutuhan air mencapai nilai tertinggi yaitu 116 mm/bulan. Kebutuhan air tanaman apel pada musim panen pertama (Oktober-Maret) dapat dipenuhi oleh curah hujan efektif. Sebaliknya, pada musim panen kedua (April-September), kebutuhan air tanaman apel tidak dapat dipenuhi setiap bulannya sebagai akibat terjadinya musm kemarau sehingga dibutuhkan irigasi tambahan.

(35)

21

Saran

Tingkat akurasi yang tinggi dibutuhkan untuk menentukan wilayah yang paling cocok dan sesuai dengan syarat tumbuh tanaman apel. Penentuan jenis tanah dan kesuburan tanah di setiap wilayah yang telah cocok secara iklim dibutuhkan untuk meningkatkan peluang pengembangan tanaman apel yang lebih produktif.

DAFTAR PUSTAKA

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1998. Crop evapotranspiration – Guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper 56.

Admasu et al. 2014. Evaluation of reference evapotranspiration estimated from limited climatic parameters using CROPWAT 8.0 model under humid condition of arsi zone. J. Environmental Science and Toxicology 2(7):148-155.

Baiturrohmah. 2010. Pengelolaan Pembungaan dan Pembuahan Apel di PT Kusuma Agrowisata, Batu-Malang Jawa Timur. [skripsi] Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Baskara, Medah. 2010. Pohon Apel Itu Masih Berbuah Lebat. Majalah Ilmiah Populer Bakosurtanal. Ekspedisi Geografi Indonesia ():78-82.

Childs, Colin. 2004. Interpolating Surfaces in ArcGis Spatial Analyst. ESRI Education Services.

Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A, Suharta N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Pengembangan Agroklimat.

Fahriyah, Santoso, H., Sabita, S. 2011. Dampak perubahan iklim terhadap produksi dan pendapatan usahatani apel. Agrise 11(3).

Fischer et al. 2007. Climate change impacts on irrigation water requirements effects of mitigation, 1990-2080. J. Science Direct 74:1083-1107.

Handoko. 1996. Klimatologi Dasar : Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. Jakarta : Pustaka Jaya.

Marek et al. 2006. Weighing lysimeters for the determination of crop water requirements and crop coefficients. J. Applied Engineering in Agriculture 22(6):851-856.

Nurhayati et al. 2010. Analisis Karateristik Iklim untuk Optimalisasi Produksi Kedelai di Provinsi Lampung. Laporan Akhir : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG.

Pricope et al. 2013. The climate-population nexus in the East African horn: emerging degradation trends in rageland and pastoral livelihood zones. Global Environmental Change 23:1525:1541.

(36)

22

Riza, Sativandi. 2013. Studi Kesesuaian Lahan Dalam rangka Revitalisasi tanaman Apel Di Batu, Malang. [tesis] Yogyakarta (ID) : Universitas Gadjah Mada.

Samudin, Sakka. 2009. Pengaruh komposisi media terhadap inisiasi tanaman apel. J. Agroland 16(3):193-198.

Setyati. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Soelarso, B. 1997. Budidaya Apel. Yogyakarta : Kanisius.

Suhariyono et al. 2008. Pewilayahan tanaman apel di Jawa Timur. Malang : Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika.

Suhariyono. 2014. Sejarah Perkembangan Apel di Indonesia. Malang : Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika.

Sunarjono, H. 2008. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Jakarta : Penebar Swaharia.

(37)

23

LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alur estimasi kebutuhan air tanaman apel

Data Tanaman Data Iklim

Evapotranspirasi tanaman acuan (ETo)

Evapotranspirasi Tanaman (ETc)

Kebutuhan Air Tanaman Suhu Minimum

dan Maksimum

Kelembaban udara

Kecepatan angin

Lama Penyinaran

(38)

24

Lampiran 2 Peta kelas kesesuaian curah hujan untuk tanaman apel di Malang Raya

(39)

25

(40)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 22 Agustus 1994, putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Paul Ondang dan Ibu Desak Nyoman Ray. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kota Kupang dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN undangan.

Gambar

Tabel 1  Jenis, resolusi beserta sumber data yang digunakan dalam analisis data
Tabel 2  Klasifikasi tipe iklim Schmidt-Ferguson
Gambar 2  Bagian Rain/Eff Rain di Cropwat 8.0
Gambar 4  Bagian Evapotranspirasi tanaman dan kebutuhan irigasi di Cropwat 8.0
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi musik dan gerak dapat mereduksi kesulitan berperilaku pada

Selain itu juga terlihat dari hasil uji statistik yang memperlihatkan bahwa walaupun ada perbedaan nilai penyerapan air dan kelarutan bahan untuk perendaman selama 1,

Menggunakan bahan fabric/pvc yang modern dan menarik2. Desain yang elegan

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa dalam beberapa kamus bahasa Sunda telah dimuat lema kosakata dialek dengan secara eksplisit dinyatakan sebagai dialek, ada pula yang

Karakter pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman, panjang akar, jumlah daun, bobot basah tajuk, bobot basah akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan luas

Sementara itu, berbagai kegiatan Ditjen PP &amp; PL terkait advokasi dan edukasi Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) dapat dilihat di kaleidoskop PPSP 2012,

Banyaknya klaster yang terbentuk untuk mata kuliah pilihan semester genap berdasarkan tiga metode pengklasteran, yaitu pautan tunggal, pautan iengkap dan pautan

Lembaga Pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) selaku lembaga yang bertanggung jawab untuk menyukseskan tes Baca Tulis Al-Qur’an (BTA), berupaya untuk