IDENTIFIKASI
DRUG RELATED PROBLEMS
(DRPs)
PADA PASIEN ANAK DIARE DI INSTALASI
RAWAT INAP RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2011
SKRIPSI
OLEH:
UMMI ERLINA
NIM 091501056
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
IDENTIFIKASI
DRUG RELATED PROBLEMS
(DRPs) PADA
PASIEN ANAK DIARE DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH: UMMI ERLINA
NIM 091501056
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Pengesahan Skripsi
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN
ANAK DIARE DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2011
OLEH: UMMI ERLINA
NIM 091501056
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Medan, 29 Mei 2013
Pembimbing I, Panitia Penguji:
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195301011983031004 NIP 195311281983031002
Pembimbing II, Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004
Dra. Nurminda Silalahi, M.Si., Apt. Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt. NIP 196206101992032001 NIP 194909101980031002
Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt. NIP 197506102005012003
Medan, Juni 2013 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Dekan,
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Anak Diare di
Instalasi Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011. Skripsi ini
diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, Ayahanda Jumaan dan Ibunda Nurbayti, serta kakakku Lily Aulia, Adikku JB. Mulyadi dan Muhaimin Anhar, yang telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa/i Farmasi Klinis dan Komunitas 2009 yang selalu mendoakan dan memberi semangat.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skrisi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.
Medan, Mei 2013 Penulis,
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN
ANAK DIARE DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011
ABSTRAK
Drug related problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan
pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada
outcome yang diinginkan pasien. Dalam lingkup pengobatan spesialis, bagian
ilmu kesehatan anak menempati rangking kedua setelah bagian ilmu penyakit dalam terkait kejadian DRPs. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian DRPs meliputi indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat lebih, reaksi obat merugikan, dan interaksi obat pada pasien anak diare di instalasi rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan pengambilan data secara retrosfektif terhadap data rekam medik. Kriteria subjek penelitian meliputi pasien anak dengan diagnosis diare yang dirawat di instalasi rawat inap RB4 RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Januari-Desember tahun 2011, anak dengan diagnosis diare dengan/tanpa penyakit penyerta, anak dengan cara pulang sembuh atau berobat jalan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 pasien terdapat 30 pasien (63,82%) mengalami DRPs. Jenis DRPs yang paling banyak terjadi adalah obat tanpa indikasi sebanyak 19 kasus (29,69%). DRPs lain berturut-turut adalah dosis obat kurang sebanyak 14 kasus (21,88%), indikasi tanpa obat sebanyak 11 kasus (17,19%), dosis obat lebih sebanyak 10 kasus (15,63%), interaksi obat sebanyak 10 kasus (15,63%), obat salah (0%), dan reaksi obat merugikan sebesar (0%). Kata kunci: Drug Related Problems (DRPs), diare, anak
IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OF HOSPITALIZED DIARRHEA CHILDREN AT RSUP H. ADAM
MALIK MEDAN YEAR 2011
ABSTRACT
A Drug Related Problems (DRPs) is undesirable patient experience that involves drug therapy and that actually or potentially interferes with a desired patient outcome. Within the scope of specialist treatment, related to DRPs events, the pediatric ranks the second place after the internal medicine. Diarrhea remains a public health problem in developing countries such as Indonesia, because of its morbidity and mortality are still high. This study aims to identify Drug Related Problems (DRPs), included indication without medication, medication without indication, wrong drug, dosage too low, dosage too high, adverse drug reactions, and drug interactions, in hospitalized children diarrhea in RSUP H. Adam Malik Medan year 2011.
This research was conducted with descriptive design and the data acquired retrospectively for medical record. The patient’s criterias as a subject in this study were hospitalized in RB4 ward RSUP H. Adam Malik Medan during January-December year 2011, children with a diagnosis of diarrhea with/without comorbidities, children cured by home or ambulatory.
The results show that out of 47 patients, 30 patients (63.82%) experienced DRPs. The most commonly type of DRPs was medication without indication, 19 cases (29.69%). The following DRPs were dosage too low 14 cases (21.88%); indication without medication 11 cases (17.19%); dosage too high 10 cases (15.63%); drug interactions 10 cases (15.63%); wrong drug (0%); and adverse drug reactions (0%).
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGHANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 3
1.3 Perumusan Masalah ... 4
1.4 Hipotesis ... 4
1.5 Tujuan Penelitian ... 5
1.6 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 DRPs ... 6
2.1.1 Definisi DRPs ... 6
2.2 Diare ... 8
2.2.1 Definisi Diare ... 8
2.2.2 Klasifikasi Diare ... 9
2.2.3 Etiologi Diare ... 10
2.2.4 Patogenesis Diare ... 11
2.3 Dehidrasi ... 11
2.4 Pengelolaan Diare ... 12
2.4.1 Rencana Terapi A: terapi di rumah untuk mencegah dehidrasi dan malnutrisi ... 12
2.4.2 Rencana Terapi B: terapi rehidrasi oral untuk anak dengan dehidrasi ringan-sedang ... 14
2.4.3 Rencana Terapi C: untuk pasien dengan dehidrasi berat ... .. 16
2.5 Rekam Medis ... ... 17
BAB III METODE PENELITIAN ... 18
3.1 Jenis Penelitian ... 18
3.2 Populasi dan Sampel ... 18
3.2.1 Populasi ... 18
3.2.2 Sampel ... 19
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19
3.4 Definisi Operasional ... 20
3.5 Instrumen Penelitian ... 21
2.5.1 Sumber Data ... 21
2.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 21
3.6 Analisis Data ... 21
3.8 Langkah Penelitian ... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 24
4.2 Gambaran Kejadian DRPs Subjek ... 25
4.3 Pembahasan ... 26
4.3.1 Jumlah Pasien Anak Diagnosis Diare Berdasarkan Jenis Kelamin ... 26
4.3.2 Jumlah Pasien Anak Diagnosis Diare Berdasarkan Rentang Umur ... 26
4.3.3 Indikasi Tanpa Obat ... 27
4.3.4 Obat Tanpa Indikasi ... 28
4.3.5 Obat Salah ... 29
4.3.6 Dosis Obat Kurang ... 29
4.3.7 Dosis Obat Lebih ... 31
4.3.8 Reaksi Obat yang Merugikan ... 32
4.3.9 Interaksi Obat ... 33
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 35
5.1 Kesimpulan ... 35
5.2 Saran ... 35
DAFTAR PUSTAKA ... 37
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Jenis-jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi ... 7
2.2 Cara menilai derajat dehidrasi ... 12
2.3 Jumlah cairan yang diberikan pada Rencana Terapi A ... .... 13
2.4 Jumlah cairan yang diberikan pada Rencana Terapi B ... 15
2.5 Jumlah cairan secara intravena pada Rencana Terapi C ... .... 16
4.1 Jumlah pasien berdasarkan cara pulang ... 24
4.2 Karakteristik subjek penelitian ... 25
4.3 DRPs yang terjadi pasien anak diare di instalasi rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 ... 26
4.4 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori indikasi tanpa obat pada pasien anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 ... 27
4.5 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori obat tanpa indikasi pada pasien anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 ... 28
4.6 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis obat kurang pada pasien anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 ... 29
4.7 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis obat lebih pada pasien anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 ... 31
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat ... 3 3.1 Gambaran pelaksanaan Penelitian ... 21 4.1 Grafik kejadian DRPs pada pasien anak diare di instalasi rawat inap
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Data pasien ... 39
2. Data pengobatan pasien ... 43
3. Rekapitulasi DRPs pasien ... 51
4. Surat permohonan izin penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan ... 53
5. Surat izin melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan ... 54
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN
ANAK DIARE DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011
ABSTRAK
Drug related problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan
pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada
outcome yang diinginkan pasien. Dalam lingkup pengobatan spesialis, bagian
ilmu kesehatan anak menempati rangking kedua setelah bagian ilmu penyakit dalam terkait kejadian DRPs. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian DRPs meliputi indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat lebih, reaksi obat merugikan, dan interaksi obat pada pasien anak diare di instalasi rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan pengambilan data secara retrosfektif terhadap data rekam medik. Kriteria subjek penelitian meliputi pasien anak dengan diagnosis diare yang dirawat di instalasi rawat inap RB4 RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Januari-Desember tahun 2011, anak dengan diagnosis diare dengan/tanpa penyakit penyerta, anak dengan cara pulang sembuh atau berobat jalan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 pasien terdapat 30 pasien (63,82%) mengalami DRPs. Jenis DRPs yang paling banyak terjadi adalah obat tanpa indikasi sebanyak 19 kasus (29,69%). DRPs lain berturut-turut adalah dosis obat kurang sebanyak 14 kasus (21,88%), indikasi tanpa obat sebanyak 11 kasus (17,19%), dosis obat lebih sebanyak 10 kasus (15,63%), interaksi obat sebanyak 10 kasus (15,63%), obat salah (0%), dan reaksi obat merugikan sebesar (0%). Kata kunci: Drug Related Problems (DRPs), diare, anak
IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OF HOSPITALIZED DIARRHEA CHILDREN AT RSUP H. ADAM
MALIK MEDAN YEAR 2011
ABSTRACT
A Drug Related Problems (DRPs) is undesirable patient experience that involves drug therapy and that actually or potentially interferes with a desired patient outcome. Within the scope of specialist treatment, related to DRPs events, the pediatric ranks the second place after the internal medicine. Diarrhea remains a public health problem in developing countries such as Indonesia, because of its morbidity and mortality are still high. This study aims to identify Drug Related Problems (DRPs), included indication without medication, medication without indication, wrong drug, dosage too low, dosage too high, adverse drug reactions, and drug interactions, in hospitalized children diarrhea in RSUP H. Adam Malik Medan year 2011.
This research was conducted with descriptive design and the data acquired retrospectively for medical record. The patient’s criterias as a subject in this study were hospitalized in RB4 ward RSUP H. Adam Malik Medan during January-December year 2011, children with a diagnosis of diarrhea with/without comorbidities, children cured by home or ambulatory.
The results show that out of 47 patients, 30 patients (63.82%) experienced DRPs. The most commonly type of DRPs was medication without indication, 19 cases (29.69%). The following DRPs were dosage too low 14 cases (21.88%); indication without medication 11 cases (17.19%); dosage too high 10 cases (15.63%); drug interactions 10 cases (15.63%); wrong drug (0%); and adverse drug reactions (0%).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Permasalahan dalam farmasi klinik terutama muncul karena penggunaan obat. Penelitian terhadap masalah dalam terapi obat merupakan kajian yang cukup menarik dan penting. Farmasis diajak lebih mendalami penggunaan obat di sarana kesehatan formal yaitu di puskesmas, rumah sakit, dan di apotek. Permasalahan penggunaan obat di tempat pelayanan disebut sebagai Drug Related Problems
(DRPs) (Sari, 2004).
DRPs merupakan bagian dari medication error yang dihadapi hampir semua negara di dunia. Pada tahun 1997 di Amerika Serikat (AS) tercatat160.000 kematian dan 1 juta pasien dirawat di rumah sakit akibat kejadian obat yang diresepkan. Morse mengestimasikan bahwa di AS, biaya penyakit terkait obat yang diresepkan adalah 7 milyar dolar setiap tahun (Strand, et al., 1990).
Akibat semakin banyaknya kasus DRPs, maka berkembanglah
Pharmaceutical Care. Minesota Pharmaceutical Care Project melakukan
penelitian terhadap 9399 pasien selama 3 tahun dan didokumentasikan oleh komunitas farmasis. Dari sejumlah pasien tersebut, 5544 pasien mengalami DRPs, 23% membutuhkan terapi obat tambahan, 15% menerima obat yang salah, 8% mendapat obat tanpa indikasi yang tepat, 6% dosis terlalu tinggi, dan 16% dosis terlalu rendah. Sedangkan penyebab umum lainnya adalah reaksi obat merugikan sebanyak 21% (Strand, et al., 1990).
Boston Colloborate Surveilance Program (BCDSP) ditemukan bahwa di antara 26.462 pasien perawatan medis 0,9% per 1000 pasien dianggap meningggal akibat obat. Penyebab paling utama dari keadaan tersebut adalah 21,6% penyakit jantung iskemi; 9,9% kasus keracunan akut; dan yang paling menarik adalah masalah DRPs sebanyak 8,8% (Cipolle, et al., 1998).
Anak-anak di bawah usia 16 tahun mencakup 20% populasi total di Inggris dan sebagian besar negara industri, tetapi di banyak negara berkembang anak-anak mencakup lebih dari 50% populasi (Meadow dan Newell, 2005). Dalam lingkup pengobatan spesialis, bagian ilmu kesehatan anak menempati rangking kedua setelah bagian ilmu penyakit dalam terkait kejadian DRPs. Farmakologi dan dosis obat berperan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan DRPs. Kesalahan yang sering terjadi pada pengobatan anak adalah salah perhitungan dosis dan interval dosis, salah dalam drug orders (meliputi penulisan dan interpretasi), serta dalam pembuatan dan penyimpanan obat (Cohen, 1999).
DRPs pada anak yang pernah dipublikasikan adalah DRPs dalam pengobatan Dengue Hemoraggic Fever (DHF) pada pasien pediatri. Dari 65 pasien pediatri dengan diagnosis DHF, terdapat DRPs kategori obat tanpa indikasi sebanyak 22 pasien, dosis obat kurang sebanyak 14 pasien, dosis obat lebih sebanyak 10 pasien, obat salah sebanyak 4 pasien, dan indikasi tanpa obat sebanyak 2 pasien (Yasin, ddk., 2009).
kecenderungan peningkatan kejadian diare. Pada tahun 2000, incidence rate (IR) diare terjadi 301 per 1000 penduduk, pada tahun 2003 naik menjadi 374 per 1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 per 1000 penduduk dan pada tahun 2010 menjadi 411 per 1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan case fatallity rate (CFR) yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Pada tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74%) (Kemenkes RI, 2011).
Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit kelas A, yang terletak di Jalan Bunga Lao No. 17 Padang Bulan Medan. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit pusat rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Riau.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian secara retrospektif tentang identifikasi DRPs pada anak diare di ruang rawat inap anak di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi pihak rumah sakit, khususnya profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
1.2Kerangka Pikir Penelitian
merupakan variabel bebas (independent variable) dan DRPs kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat berlebih, reaksi obat merugikan, dan interaksi obat sebagai variabel terikat (dependent
variable. Hubungan kedua variabel tersebut digambarkan dalam kerangka pikir
penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Varibel Bebas Variabel Terikat
1.3Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah: apakah terjadi DRPs kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat berlebih, reaksi obat merugikan, dan interaksi obat pada pasien anak diare rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011?
1.4Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesis penelitian ini adalah terjadi DRPs kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah,
Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat
Telaah dan analisis
Kategori:
1. Indikasi tanpa obat
2. Obat tanpa indikasi
3. Obat salah
4. Dosis obat kurang
5. Dosis obat lebih
6. Reaksi obat merugikan
dosis obat kurang, dosis obat berlebih, reaksi obat merugikan, dan interaksi obat pada pasien anak diare rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.
1.5Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis penelitian di atas maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui besarnya angka dan persentase kejadian DRPs kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat lebih, reaksi obat merugikan, dan interaksi obat pada pasien anak diare rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.
1.6Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. untuk peneliti, dapat menambah pengetahuan peneliti tentang DRPs.
b. untuk masyarakat, memperoleh gambaran angka kejadian DRPs pada penyakit diare pada anak.
c. untuk rumah sakit, diharapkan dari hasil penelitian dapat digunakan untuk bahan evaluasi bagi pihak rumah sakit mengenai pelaksanaan pengobatan diare anak dalam praktik di rumah sakit tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1DRPs
2.1.1 Definisi DRPs
DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPsapabila terdapat dua
kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan
(disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur
atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebutdengan terapi obat (Strand, et al., 1990).
2.1.2 Klasifikasi DRPs
Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar: a. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien
tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.
b. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang valid.
c. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obat yang tidak aman, tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.
d. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut kurang.
e. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut lebih.
f. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan. g. Pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi obat-obat, obat-makanan,
obat-hasil laboratorium.
h. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang diresepkan.
Tabel 2.1 Jenis-jenis DRPsdan penyebab yang mungkin terjadi
DRPs Kemungkinan kasus pada DRPs
Butuh terapi obat tambahan a. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
b. Pasien dengan kronik membutuhkan lanjutan terapi obat c. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan
kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis ataupotensiasi
d. Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan obat profilaksis Terapi obat yang tidak perlu a. Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi
b. Pasien yang mengalami toksisitas karena obat atau hasil pengobatan
c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan rokok
d. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati tanpa terapi obat
e. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi di mana hanya single drug therapy dapat digunakan
f. Pasien dengan terapi obat untuk penyembuhan dapat menghindari reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya
Obat tidak tepat a. Pasien di mana obatnya tidak efektif
b. Pasien alergi
c. Pasien penerima obat yang tidak paling efektif untuk indikasi pengobatan
d. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan obat
e. Pasien menerima obat yang efektif tetapi ada obat lain yang lebih murah
f. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman
g. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang diberikan
Dosis terlalu rendah a. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan
b.Pasien menerima kombinasi produk yag tidak perlu dimana single drug dapat memberikan pengobatan yang tepat
c. Pasien alergi
d.Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon
e. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah range terapeutik yang diharapkan
f. Waktu prophylaksis (preoperasi) antibiotik diberikan terlalucepat
g.Dosis dan fleksibilitas tidak cukup untuk pasien
h.Terapi obat berubah sebelum terapetik percobaan cukupuntuk pasien
i. Pemberian obat terlalu cepat
Reaksi obat merugikan a. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat digunakan
b.Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien
c. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien d.Efek dari obat diubah enzym inhibitor atau induktor dari
obatlain
e. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari bindingsite oleh obat lain
f. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain
Dosis telalu tinggi a. Dosis terlalu tiggi
b.Konsentrasi obat dalam serum pasien di atas range terapi obat yang diharapkan
c. Dosis obat meningkat terlalu cepat
d.Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat. e. Dosis dan interval flexibility tidak tepat
Ketidakpatuhan pasien a. Pasien tidak menerima aturan pemkaian obat yang tepat (penulisan, obat, pemberian, pemakaian)
b.Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan
c. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal
d.Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti
e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat
(Cipolle, et al., 2004)
2.2 Diare
2.2.1 Definisi Diare
Menurut Suraatmaja (2010) diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah/atau lendir.
Hippocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Anak dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali (Hassan dan Alatas, 2005).
Sedangkan Garna H., dkk (2005) diare merupakan buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari biasanya, ≥3 kali per hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul secara mendadak atau berlangsung kurang dari 2 minggu.
2.2.2 Klasifikasi Diare
Menurut WHO (2005) diare terdiri dari beberapa jenis yang dibagi secara klinis yaitu:
a. Diare cair akut (termasuk kolera), berlangsung selama beberapa jam atau hari, mempunyai bahaya utama yaitu dehidrasi dan penurunan berat badan juga dapat terjadi jika makanan tidak dilanjutkan.
b. Diare akut berdarah, yang disebut disentri, mempunyai bahaya utama yaitu kerusakan mukosa usus, sepsis dan gizi buruk, mempunyai komplikasi seperti dehidrasi.
c. Diare persisten, yaitu berlangsung selama 14 hari atau lebih, bahaya utama adalah malnutrisi dan infeksi non-usus serius dan dehidrasi.
d. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor) mempunyai bahaya utama adalah infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal jantung dan kekurangan vitamin dan mineral.
2.2.3.Etiologi Diare
Etiologi Diare dapat dibagi mejadi beberapa faktor, yaitu: a. Faktor infeksi:
ii. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pad bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
b. Faktor malabsorpsi
i. Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering adalah intoleransi laktosa. ii. Malabsorbsi lemak
iii. Malabsorbsi protein
c. Faktor makanan: makanan basi, beracun, dan alergi terhadap makanan.
d. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar (Hasan dan Alatas, 2005).
2.2.4 Patogenesis Diare
Mekanisme yang menyebabkan timbulnya diare ialah gangguan osmotik, gangguan sekretorik, dan gangguan motilitas usus (Suraaatmaja, 2007). Pada diare akut, jasad renik masuk ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung. Jasad renik tersebut berkembang biak di dalam usus halus dan
mengeluarkan toksin (toksin diaregenik) sehingga mengakibatkan hipersekresi dan selanjutnya akan menimbulkan diare (Hasan dan Alatas, 2005).
2.3 Dehidrasi
Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya. Kehilangan cairan akibat diare akut menyebabkan dehidrasi yang bersifat ringan, sedang, atau berat (Suharyono, 2007).
Volume cairan yang hilang melalui tinja dalam 24 jam bervariasi dari 5 ml/kg BB (mendekati normal) sampai 200 ml/kg BB, atau lebih. Konsentrasi dan jumlah elektrolit yang hilang juga bervariasi. Total kehilangan natrium tubuh pada anak-anak dengan dehidrasi berat akibat diare biasanya sekitar 70-110 milimol per liter air yang hilang. Hilangnya kalium dan klorida berada dalam kisaran yang sama (WHO, 2005).
cekung, dan mukosa kering (Suharyono, 2007). Adapun cara menilai derajat dehidrasi dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Cara menilai derajat dehidrasi
Penilian A B C
b. Periksa turgor kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat lambat
c. derajat dehidrasi Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan-sedang
Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain
Dehidrasi berat
Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain
Terapi Rencana terapi A Rencana terapi B Rencana terapi C
(WHO, 2005)
2.4 Pengelolaan Diare
Menurut WHO (2005) tujuan pengobatan diare akut secara objektif adalah:
a. mencegah dehidrasi, jika tidak ada tanda-tanda dehidrasi; b. mengobati dehidrasi, jika ada;
c. mencegah kerusakan nutrisi, dengan memberi makanan selama dan setelah dehidrasi; dan
d. mengurangi durasi dan keparahan diare, dan timbulnya pada episode mendatang, dengan memberikan suplemen zinc.
Anak tanpa tanda-tanda dehidrasi memerlukan tambahan cairan dan garam untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit akibat diare. Jika ini tidak diberikan tanda-tanda dehidrasi akan terjadi. Ibu harus diajarkan cara mencegah dehidrasi di rumah dengan memberikan anak lebih banyak cairan dari biasanya, bagaimana mencegah kekurangan gizi dengan terus memberi makan anak dan mengapa tindakan-tindakan ini penting. Ibu juga harus mengetahui tanda-tanda yang mengindikasikan anak harus dibawa ke petugas kesehatan. Langkah-langkah tersebut dirangkum dalam 4 aturan Rencana Terapi A (WHO, 2005).
Aturan 1: beri anak lebih banyak cairan dari biasanya untuk mencegah dehidrasi
Cairan yang diberikan adalah cairan yang mengandung garam seperti oralit, minuman bergaram (air beras bergaram, minuman yoghurt bergaram, dan buah atau sup yang bergaram) dan diberikan pula air bersih yang matang. Adapun jumlah cairan yang harus diberikan sesuai umur menurut WHO (2005) dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jumlah cairan yang diberikan pada Rencana Terapi A
Umur (tahun) Jumlah cairan yang harus diberiakan
<2 50-100 ml
2-10 100-200 ml
>10 > 200 ml atau sebanyak yang mereka mau
Aturan 2: berikan zinc (10-20 mg), setiap hari selama 10-14 hari
Zinc dapat diberikan dalam bentuk sediaan sirup atau tablet. Dengan memberikan zinc segera setelah diare mulai, durasi dan tingkat keparahan diare serta risiko dehidrasi akan berkurang. Dengan pemberian zinc selama 10 sampai 14 hari, zinc yang hilang selama diare dapat diganti sepenuhnya, dan risiko anak mengalami diare dalam 2 sampai 3 bulan ke depan dapat berkurang (WHO, 2005).
Aturan 3: beri anak makanan untuk mencegah kurang gizi
Makanan tidak boleh dibatasi dan makanan biasa tidak boleh diencerkan. Pemberian ASI harus dilanjutkan. Pada anak yang dibatasi makannya dan
Makanan hendaknya diberikan setiap tiga atau empat jam (enam kali sehari). Makan dalam porsi kecil tetapi sering diberikan, lebih baik dari makan banyak tetapi jarang. Setelah diare berhenti, makanan dapat terus diberikan dengan energi yang sama dan berikan tambahan makanan lainnya setiap hari selama dua minggu (WHO, 2005).
Aturan 4: bawa anak ke petugas kesehatan kesehatan jika ada tanda-tanda dehidrasi atau masalah lainnya
Ibu harus membawa anaknya ke petugas kesehatan jika anak buang air besar yang cair sering terjadi, muntah berulang-ulang, sangat haus, makan atau minum sedikit, demam, tinja berdarah, dan anak tidak membaik dalam tiga hari (WHO, 2005).
2.4.2 Rencana Terapi B: terapi rehidrasi oral untuk anak-anak dengan dehidrasi ringan-sedang
Jika berat badan anak diketahui, maka jumlah larutan ditentukan berdasarkan berat badan (kg) dikalikan 75 ml. Jika berat badan anak tidak diketahui maka penentuan jumlah larutan berdasarkan usia anak (Tabel 2.4).
Tabel 2.4 Jumlah cairan yang diberikan pada Rencana Terapi B
Jumlah cairan yang harus diberikan dalam 4 jam pertama
Usiaa Kurang dari 4 bulan
4-11 bulan 12-13 bulan 2-4 tahun 5-14 tahun >15 tahun
Berat badan Kurang dari 5 kg
5-7,9 kg 8-10,9 kg 11-15,9 kg 16-29,9 kg 30 tahun
Jumlah (ml) 200-400 400-600 600-800 800-1200 1200-2200 2200-4000
a
Digunakan apabila berat badan pasien tidak diketahui
Edema (bengkak) kelopak mata adalah tanda over-hidrasi. Jika hal ini terjadi, hentikan penggunaan oralit, tapi dapat diberi ASI atau air putih, dan makanan. Bila edema telah hilang, pemberian oralit dilanjutkan sesuai dengan Rencana Terapi A (WHO, 2005).
tanda-tanda dehidrasi telah hilang (turgor kulit normal, tidak haus, anak berkemih, dan anak menjadi tenang dan tidur) maka disimpulkan rehidrasi telah tercapai. Jika tanda-tanda dehidrasi berat muncul, terapi intravena harus dimulai sesuai Rencana Terapi C. Anak-anak tersebut harus diberikan larutan oralit melalui selang nasogastrik atau larutan ringer laktat intravena (75 ml/kg/4jam), biasanya dilakukan di rumah sakit (WHO, 2005).
Pemberian zinc pada Rencana Terapi B dapat diberikan sesuai dengan Rencana terapi A. Kecuali ASI, makanan tidak boleh diberikan selama empat jam pertama periode rehidrasi. Namun, anak-anak yang terus dalam Rencana Terapi B lebih dari empat jam harus diberikan makanan setiap 3-4 jam seperti yang
dijelaskan dalam Rencana terapi A (WHO, 2005).
2.4.3 Renacana Terapi C: untuk pasien dengan dehidrasi berat
Pengobatan bagi anak-anak dengan dehidrasi berat adalah rehidrasi intravena. Jumlah cairan rehidrasi intravena dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Jumlah cairan secara intravena pada Rencana Terapi C
Anak-anak yang masih dapat minum, walaupun sedikit, harus diberikan oralit per oral sampai infus berjalan. Setelah anak dapat minum tanpa kesulitan, semua anak harus menerima oralit (5 ml/kg/jam) dalam waktu 3-4 jam (untuk bayi) atau 1-2 jam (untuk pasien yang lebih tua) (WHO, 2005).
Pasien harus dinilai ulang setiap 15-30 menit sampai denyut arteri radialis teraba kuat. Setelah itu, pasien harus dievaluasi ulang setiap 1 jam untuk
memastikan bahwa hidrasi meningkat. Jika tidak, maka infus harus diberikan lebih cepat. Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak), evaluasi penderita
mengunakan tabel pernilaian (Tabel 2.2), kemudian pilihlah rencana terapi yang sesuai (A, B atau C ) untuk melanjutkan terapi (WHO, 2005).
Depkes RI (2011) menyusus sebuah panduan yang dikenal dengan istilah LINTAS DIARE, yaitu lima langkah tuntaskan diare terdiri dari:
a. berikan oralit
b. berikan tablet zinc selama 10 hari berturut-turut c. teruskan ASI dan makan.
d. berikan antibiotik secara selektif e. berikan nasihat kepada ibu/keluarga.
2.5 Rekam Medis
Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan, untuk itu rekam medis harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Rekam medis untuk pasien rawat inap
sekurang-kurangnya harus membuat data mengenai: a. identitas pasien
b. anamnesis c. riwayat penyakit
d. hasil pemeriksaan laboratorium e. diagnosis
f. persetujuan tindakan medis (informed consent) g. tindakan/pengobatan
h. catatan perawat
i. catatan observasi klinis dan hasil pengobatan, dan j. resume akhir dan evaluasi pengobatan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data yang telah lalu (Strom dan Kimmel, 2006).
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi dalam peneliatian ini adalah rekam medis pasien anak diare rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011. Subjek yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kreteria eksklusi.
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Adapun yang menjadi kreteria inklusi adalah:
a. pasien anak dengan diagnosis diare dengan/tanpa penyakit penyerta, yang dirawat inap di Rindu B 4 RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Januari-Desember 2011.
b. kategori semua gender (laki-laki dan perempuan).
c. anak yang pulang dengan cara berobat jalan atau sembuh.
yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).
3.2.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random
sampling). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Krejcie
dan Morgan (Krejcie, et al., 1970).
di mana:
n = ukuran sampel N = ukuran populasi
x
2= nilai Chi kuadrat P = proporsi populasi d = galat pendugaan
dengan beberapa asumsi, maka rumus di atas diturunkan lagi menjadi
Populasi target berupa pasien anak diare rawat inap tahun 2011 adalah sebanyak 113 pasien, maka jumlah sampel yang diambil menurut tabel Krejcie-Morgan atau dengan menggunakan rumus di atas adalah 86 sampel.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.4Definisi Operasional
a. Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (≥3 kali/hari) disertai perubahan tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah dan dengan/tanpa lendir.
b. Anak adalah anak yang berusia >1 bulan sampai dengan 18 tahun.
c. DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien.
d. Indikasi tanpa obat adalah pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.
e. Obat tanpa indikasi adalah pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang valid.
f. Obat salah adalah pasien mendapatkan obat yang tidak aman, tidak paling efektif dan kontraindikasi dengan kondisi pasien tersebut.
g. Dosis obat kurang adalah pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut kurang.
h. Dosis obat berlebih adalah pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut lebih.
i. Reaksi obat merugikan adalah pasien mempunyai kondisi medis akibat reaksi obat yang merugikan.
3.5 Instrumen Penelitian
3.5.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa rekam medis pasien diare anak rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan rekam medis pasien diare anak rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
a. mengelompokkan data rekam medis berdasarkan kriteria inklusi.
b. mengelompokkan identitas, pengobatan yang diberikan, data klinis, dan data laboratorium pasien.
c. mengidentifikasi DRPs berdasarkan studi literatur.
3.6Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel dan grafik sedangkan data kualitatif disajikan dalam bentuk uraian.
3.7 Bagan Alur Penelitian
Adapun gambaran pelaksanaan penelitian adalah seperti pada Gambar 2.1. Rekam medis pasien
Pengelompokan data berdasarkan kreteria inklusi
Gambar 2.1 Gambaran pelaksanaan penelitian
3.8 Langkah Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.
Gambar 2.1 (Lanjutan)
Penentuan obat tanpa indikasi Penentuan indikasi
tanpa obat
Penentuan dosis obat lebih Penentuan obat
salah
Penentuan dosis obat kurang
Penarikan kesimpulan Analisis data Penentuan interaksi
obat Penentuan reaksi
b. menghubungi Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.
c. mengumpulkan data berupa rekam medis yang tersedia di RSUP H. Adam Malik Medan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan dari catatan rekam medis di RSUP H. Adam Malik periode Januari – Desember 2011 diperoleh seluruh data pasien anak diare di instalasi rawat inap di RSUP H. Adam Malik sebanyak 86 pasien. Data yang diperoleh dari rekam medis yang memenuhi kreteria inklusi adalah sebanyak 47 pasien yaitu pasien yang pulang dengan cara berobat jalan sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek (eksklusi) sebanyak 39 pasien, yaitu 19 pasien pulang atas permintaan pasien dan 20 pasien meninggal seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Jumlahpasien berdasarkan cara pulang
No Cara Pulang Jumlah Pasien
(n=86)
%
1 Pulang Berobat Jalan (PBJ) 47 54,65
2 Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) 19 22,09
3 Meninggal (EXITUS) 20 23,26
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas maka jumlah rekam medis yang diamati sebanyak 47 rekam medis, yaitu pasien yang pulang dengan cara pulang berobat jalan. Sedangkan pasien yang pulang dengan cara PAPS dan exitus tidak dapat diamati karena pengobatan belum selesai.
4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Tabel 4.2 Karakteristik subjek penelitian
No. Karakteristik Subjek Jumlah Pasien (n=47) %
1 Jenis Kelamin
4.2 Gambaran Kejadian DRPs Subjek
Bedasarkan analisis terhadap rekam medis pasien anak diagnosis diare rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011, dari 47 rekam medis pasien anak diare terdapat 30 pasein (63,83%) yang mengalami DRPs (DRPs (+)) dan 15 pasien (36,17%) yang tidak mengalami DRPs (DRPs (-)) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Grafik kejadian DRPs pada pasien anka diare di instalasi rawat inap
RSUP H. Adam Malik medan tahun 2011
Adapun angka kejadian masing-masing kategori yaitu indikasi tanpa obat sebanyak 11 kasus (17,19%); obat tanpa indikasi sebanyak 19 kasus (26,69%); obat salah tidak ada kasus (0%); dosis obat kurang sebanyak 14 kasus (21,88%); dosis obat lebih sebanyak 10 kasus (15,63%); reaksi obat merugikan tidak ada kasus (0%); dan interaksi obat sebanyak 10 kasus (15,63%). Gambaran umum kejadian DRPs secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 DRPs yang terjadi pasien anak diare di instalasi rawat inap RSUP
H. Adam Malik Medan tahun 2011
No Jenis-jenis DRPs Jumlah Kasus %
4.3.1 Jumlah Pasien Anak Diagnosis Diare Berdasarkan Jenis Kelamin
Pasien anak diare yang paling banyak mendapatkan terapi adalah laki-laki yaitu 59,57%, sedangkan perempuan 40,43%. Hal ini sejalan dengan laporan Buletin Data dan Informasi Kesehatan 2011, prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,80%) dibandingkan dengan anak perempuan (12,50%) (Kemenkes RI, 2011).
4.3.2 Jumlah Pasien Anak Diagnosis Diare Berdasarkan Rentang Umur
Hal ini sejalan dengan hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2007, prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan (20,70%), diikuti 6-11 bulan (17,60%). Dengan demikian seperti yang diprediksi, diare banyak diderita oleh kelompok umur 6-35 bulan karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi (Kemenkes RI, 2011).
4.3.3 Indikasi Tanpa Obat
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pasien yang tidak mendapatkan terapi sesuai kondisi medisnya (Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori indikasi tanpa obat pada pasien
anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011
Penyebab Obat Jumlah
Kasus
%
Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan
terapi obat yang terbaru
Oralit 3 4,69
Parasetamol 8 12,50
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, terdapat 3 kasus (4,69%) pasien tidak diresepkan oralit. Pengobatan yang paling penting pada diare adalah mengganti cairan tubuh yang hilang. Oralit diberikan untuk mengganti cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat diare. Untuk mencegah dehidrasi dibutuhkan garam elektrolit untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Campuran glukosa dan garam yang terkandung dalam oralit akan diserap dengan baik oleh usus penderita diare (Depkes RI, 2011). Juga oralit bila diberikan bersama-sama dengan pemberian cairan intravena ternyata dapat menurunkan mortalitas diare dengan dehidrasi berat, baik kolera maupun non kolera (Suraatmaja, 2010).
mencapai 38,2°C; 37,9°C; 38,6°C; 38,5°C; 38,4°C; 38,0°C; 37,9°C; dan 38,3°C. Peningkatan suhu tubuh pada saat diare terjadi akibat dehidrasi atau karena infeksi. Pemberian antipiretika juga dapat mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja (Suraatmaja, 2010). Menurunkan demam juga meningkatkan nafsu makan dan mengurangi iritasi (WHO, 2005).
4.3.4 Obat Tanpa Indikasi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pasien yang mendapat terapi yang tidak sesuai dengan kondisi medis (Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori obat tanpa indikasi pada pasien
anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011
No. Penyebab Obat Jumlah Kasus %
1 Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
Oralit 11 17,19
2 Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat itu
Ceftriaxone 6 9.38
Ranitidin 2 3,13
Pada Tabel 4.5 di atas tampak bahwa adanya pemberian oralit tanpa indikasi sebanyak 11 kasus (17,19%). Pada dehidrasi ringan – sedang, pemberian bersamaan cairan intravena (baik untuk rehidrasi maupun maintenance) dan oralit tidak disarankan. Oralit hanya diberikan jikan cairan intravena dihentikan (Anonim, 2007).
penyebab diare pada anak dan balita. Infeksi virus biasanya terdapat pada anak-anak umur 6 bulan – 2 tahun sehingga pemberian antibiotika tidak dianjurkan. Saat ini diare telah dapat diatasi dengan oralit, pemberian minum dan makanan dini, sedangkan pemberian antibiotika tanpa indikasi justru akan merusak ekologi mikrobiota usus. Perubahan keseimbangan mikroflora akan memicu munculnya strain bakteri yang resisten (Clostridium defecile) (Suraatmaja, 2010).
Pemberian ranitidin juga tidak sesuai dengan kondisi klinis pasien sebanyak 2 kasus (3,13%). Ranitidin digunakan untuk mengobati tukak lambung sebagai penghambat produksi asam dengan cara menduduki reseptor histamin H2
di mukosa lambung yang memicu produksi asam klorida. Berdasarkan rekam medis pasien tidak mengalami ganngguan lambung sehingga pemberian ranitidin tidak diindikasikan (Tan dan Rahardja, 2010).
4.3.5 Obat Salah
Berdasarkan hasil penelitian, tidak ditemukan pemberian obat salah pada pasien anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.
4.3.6 Dosis Obat Kurang
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pasien mendapatkan obat dengan dosis kurang (Tabel 4.6).
Tabel 4.6 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis obat kurang pada pasien
anak diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011
No Penyebab Obat Jumlah Kasus %
1 Kekuatan obat kurang Zinc 4 6,25
2 Frekuensi pemberian obat tidak tepat Lacto B® 4 6,25
3 Durasi pemberian obat tidak tepat Infus RL 2 3,13
Merujuk pada Tabel 4.6 di atas tampak 4 kasus (6,25%) pemberian zinc dengan kekuatan obat kurang. Pada kasus ini pasien berusia ≥6 bulan mendapat zinc dengan dosis 1 x 10 mg. Menurut Depkes RI (2011) tablet zinc diberikan 10 hari berturut-turut, untuk balita umur <6 bulan diberikan ½ tablet (10 mg)/hari, sedangkan untuk balita umur ≥6 bulan diberikan 1 tablet (20 mg)/hari. Jadi, pasien seharusnya mendapat zinc 1 x 20 mg/hari.
Frekuensi pemberian obat yang tidak tepat terjadi pada pemberian Lacto B® sebanyak 4 kasus (6,25%). Pada kasus ini frekuensi yang diresepkan adalah dua kali sehari atau satu kali sehari untuk anak yang berumur di atas satu tahun, dosis yang benar yaitu untuk anak <1 tahun adalah dua kali sehari sedangkan <1-6 tahun adalah tiga kali sehari. Jadi, frekuensi pemberian yang tepat adalah 3 kali sehari.
Durasi pemberian obat tidak tepat juga terjadi pada pemberian infus ringer laktat sebanyak 2 kasus (3,13%). Pada kasus ini pasien mendapat infus ringer laktat dengan dosis 75 cc/kgBB selama 5 jam dan 6 jam. Infus ringer laktat diberikan secara intravena pada pasien diare dengan dehidrasi berat atau diare dengan dehidrasi ringan sedang karena pasien tidak memungkinkan menerima cairan secara oral. Untuk diare ringan – sedang infus ringer laktat diberikan sebanyak 75 cc/kgBB selama 4 jam (WHO, 2005). Jadi, durasi ringer laktat yang tepat adalah 75 cc/kgBB selam 4 jam.
4.3.7 Dosis Obat Lebih
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan pasien yang mendapatkan obat dengan dosis yang lebih (Tabel 4.7).
Tabel 4.7 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis lebih pada pasien anak
diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011
No Penyebab Obat Jumlah Kasus %
1 Frekuensi pemberian obat tidak tepat
Lacto B® 1 1,56
Ceftriaxone 1 1,56
2 Kekuatan obat lebih Ferriz® 2 3,13 Ceftriaxone 3 6,25
Ampicillin 3 4,69
Pada penelitian ini ditemukan frekuensi pemberian obat tidak tepat pada Lacto B® sebanyak 1 kasus (1,56%). Pasien mendapat Lacto B® dengan frekuensi tiga kali sehari. Frekuensi pemakaian Lacto B® untuk anak <1 tahun adalah dua kali sehari sedangkan >1 tahun adalah tiga kali sehari. Jadi, seharusnya pasien mendapatkan Lacto B® dengan frekuensi dua kali sehari.
Frekuensi pemberian yang tidak tepat lainnya adalah ceftriaxone sebanyak
250 mg/8 jam (BB = 9 kg). Dosis penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis. Jadi, seharusnya pasien diresepkan ceftriaxone 250 mg/12 jam.
Dosis obat berlebih terjadi pada pasien dengan pemberian Ferriz® sebanyak 2 kasus (3,13%). Pasien mendapat Ferriz® dengan dosis satu kali sehari satu sendok teh. Tiap satu sedok teh (5 ml) Sirup Ferriz® mengandung 115,4 mg sodium feredetate yang setara dengan 15 mg besi elemen. Dosis untuk anak adalah setengah sendok teh (2,5 mL) satu kali sehari.
Dosis lebih juga terjadi pada pemberian ceftriaxone sebanyak 4 kasus (6,25%). Dosis ceftriaxone yang diberikan adalah 250 mg/12 jam (BB = 4,7 kg); 300 mg/12 jam (BB = 6,5 kg); dan 1 g/12 jam (BB = 21,5 kg). Dosis ceftriaxone adalah 50 mg/kgBB per hari dibagi dalam dua dosis (Shann, 2010). Jadi, dosis penggunaan yang benar berturut-turut adalah 117,5 mg/12 jam; 162,5 mg/12 jam; dan 537,5 mg/12 jam.
Dosis obat lebih juga terjadi pada pemberian ampicillin sebanyak 3 kasus (4,69%). Dosis ampicillin yang diberikan adalah 350 mg/6 jam (BB = 7 kg); 350 mg/6 jam (BB = 7,6 kg); dan 1 g/6 jam (BB = 20 kg). Dosis yang seharusnya adalah 15-25 mg/kg BB/6 jam (Shann, 2010). Jadi, dosis penggunaan yang benar berturut-turut adalah 175 mg/6 jam; 290 mg/6 jam; dan 500 mg/jam.
4.3.8 Reaksi Obat yang Merugikan
4.3.9 Interaksi Obat
Pada penelitian ini ditemukan pasien yang mengalami interaksi obat potensial (Tabel 4.8).
Tabel 4.8 Jenis obat dan penyebab DRPs kategori interaksi obat pada pasien anak
diare rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011
Penyebab Obat Jenis Interaksi Tingkat
Keparahan
IVFD Ringer Laktat –
Ceftriaxone
Unknown Major 4 6,25
Zinc – Sulfas ferosus Unknown Moderate 4 6.25
Zinc – Prednisone Farmakodinamik Minor 1 1,56
Fenitoin – Asam valproat Farmakokinetik Moderate 1 1,56
Interaksi obat yang terjadi adalah antara infus ringer laktat dan ceftriaxone sebanyak 4 kasus (6,25%). Ceftriaxone dan kalsium yang terkandung di dalm ringer laktat akan membentuk kristal ketika dicampurkan dalam larutan secara bersamaan atau di dalam aliaran darah. Kejadian ini dapat berakibat fatal dan mengancam jiwa jika kristal menumpuk di paru-paru dan ginjal pada bayi yang baru lahir (Drugs.com, 2013).
Interaksi obat juga terjadi antara zinc dan prednisone sebanyak 1 kasus (1,56%). Secara teoritis, agen yang dianggap memiliki sifat imunostimulan seperti zinc dapat berlawanan (antagonis) dengan efek farmakologis imunosupresan. Namun, kasus-kasus klinis interaksi obat ini belum dilaporkan (Drugs.com, 2013).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 47 rekam medis pasien anak dengan diagnosis diare terdapat 30 pasien (63,82%) mengalami DRPs. Jenis DRPs yang paling banyak terjadi adalah obat tanpa indikasi sebanyak 19 kasus (29,69%). DRPs lain berturut-turut adalah dosis obat kurang sebanyak 14 kasus (21,88%), indikasi tanpa obat sebanyak 11 kasus (17,19%), dosis obat lebih sebanyak 10 kasus (15,63%), interaksi obat sebanyak 10 kasus (15,63%), obat salah (0%), dan reaksi obat merugikan (0%).
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan:
a. untuk meminimalisir medication error, diharapkan dokter menulis resep secara rasional.
b. diharapkan peran aktif apoteker dalam menginterpretasikan resep agar lebih ditingkatkan.
c. diharapkan kerja sama dokter dan apoteker dalam hal peresepan obat agar peresepan obat yang rasional dapat dicapai sehingga dapat meminimalisir
medication error.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2007). Handbook for Pediatrician. Medan: Fakultas Kedokteran USU. Halaman 14.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C. (2004). Pharmaceutical Care Practice:
The Clinician’s Guid. Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill. Diunduh dari
http://www.ebooks.downappz.com/?page=book&id=E2CGKZR7P6#down load. Diakses tanggal 3 Juli 2012.
Cohen, M.R. (2007). Medication Errors. Edisi ke-2.Washington: American Pharmaceutical Association. Halaman 469.
Depkes RI. (2011). Buku Saku Petugas Kesehatan LINTAS DIARE. Jakarta: Depkes RI. Halaman 14, 18-20.
Drugs.com. (2013). Drug Interaction Checker.
Diakes tanggal 21 Februari 2013.
Garna, H., Emilia, S., Hamzah, Heda M.D., dan Dewi, P. (2005). Diare Akut.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-3.
Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjajaran/RSUP Hasan Sadikin Bandung. Halaman 271-278.
Hassan, R., dan Alatas H. (2005). Gastroenterologi. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika. Halaman 283-284.
Iskandar, H.D. (1998). Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien. Jakarta: Sinar Grafika. Halaman 20-21.
Kemenkes RI. (2011). Situasi DIARE di Indonesia. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan. 2(2): 1-6.
Krejcie, R.V., dan Morgan, D.W. (1970). Determining Sample Size for Research Activities. Educational and Psychological Measurement. 30(1): 607-610. Meadow, R., dan Newell, J.S. (2005). Lecture Notes: Pediatrika. Edisi Ketujuh.
Sari, I.P. (2004). Penelitian Farmasi Komunitas dan Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman 44.
Shann, F. (2010). Drug Doses. Edisi ke-15. Australia: Royal Children’s Hospital. Halaman 6, 17.
Strand, L.M., Morley P.C., Cipolle, R.J., dan Ramsey, R. (1990). DICP.
Drug-Related Problems: Their Structure and Function. 24(11): 1093-1097.
Strom, B.L., dan Kimmel, S.I. (2006). Textbook of Pharmacoepidemiology. London: John Wiley dan Sons Ltd. Halaman 19-20.
Suharyono. (2008). Diare Akut: Klinik dan Laboratorik. Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman 63-68.
Suraatmaja, S. (2010). Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto. Halaman 1-15.
Tan, T.H., dan Rahardja, K. (2010). Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Elex Media
Komputindo. Halaman 272-273.
WHO. (2005). The Treatment of Diarrhoea: A Manual for Phycisians and other
seniors health workers. Switherland: WHO. Halaman 4-15. Diunduh dari:
Lampiran 1. (Lanjutan)
46 45.46.14 ST Jamkesmas Lupus Nefritis P 37 12 thn 10-Oct 14-Oct
GE tanpa dehidrasi + leukositosis
47 46.71.75 AF JPKMS Perdarahan subaracnoid L 6.5 4bln 1-Apr 18-Apr
Pneumonia
GE dehidrasi berat
Keterangan:
JK: Jenis kelamin BB: Berat badan
Lampiran 3. Rekapitulasi DRPs pasien
No No. RM Nama Obat DRP Penyebab
1 46.80.49 GYM Oralit B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
Infus RL D Durasi pemberian obat tidak tepat
Zinc D Dosis obat kurang
Lacto B E Dosis obat lebih
2 49.80.49 SA Ceftriaxone B Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat itu
Ceftriaxone E Dosis obat lebih
Infus RL-Ceftriaxone G Interaksi obat-obat
3 49.12.56 VE Ceftriaxone B Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat itu
Ceftriaxone E Dosis obat lebih
Infus RL-Ceftriaxone G Interaksi obat-obat
4 46.73.15 TP Ceftriaxone B Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat itu
Oralit B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
Ceftriaxone E Dosis obat lebih
Infus RL-Ceftriaxone G Interaksi obat-obat
5 49.80.05 DA Ranitidin B Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug therapy
6 48.29.88 TF Lacto B D Dosis obat kurang
7 44.04.23 SA Ceftriaxone B Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat itu
Lacto B D Dosis obat kurang
Infus RL-Ceftriaxone G Interaksi obat-obat
8 49.37.07 TN Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
9 49.87.37 KL Renalyte B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
10 49.93.83 AA Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
Oralit B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
11 46.82.52 DA Pedialyte B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
Infus RL D Durasi pemberian obat tidak tepat
Lacto B D Dosis obat kurang
Zinc-Ferriz G Interaksi obat-obat
12 46.80.25 FA Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
Oralit B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
Zinc D Dosis obat kurang
13 49.03.14 FBN Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
14 46.52.42 YP Oralit B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
15 48.4 .38 NG Oralit B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
Lampiran 3. (Lanjutan)
16 47.49.93 CL Oralit B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
17 45.86.17 JN Ceftriaxone B Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat itu
Zinc D Durasi pemberian obat tidak tepat
Ceftriaxone E Dosis obat lebih
18 44.18.91 ZFH Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
Pedialyte B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
19 47.26.21 JLN Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
Oralit A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
Zinc D Dosis obat kurang
20 48.35.81 ND Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
21 47.92.87 AR Zinc D Durasi pemberian obat tidak tepat
Ampicillin E Dosis obat lebih
22 45.92.78 MG Oralit A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
Ampicillin E Dosis obat lebih
25 46.16.28 MN Pedialyte B Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan
26 46.09.60 DS Zinc-Sulfas ferosus G Interaksi obat-obat
27 49.13.55 BT Zinc D Lama terapi obat kurang
Ferriz E Dosis obat lebih
Zinc-Ferriz G Interaksi obat-obat
28 45.83.23 DPS Phenytoin-Depakene G Interaksi obat-obat
29 45.46.14 ST Ceftriaxone B Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat itu
Prednisone-Zinc G Interaksi obat-obat
Ranitidin B Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug therapy
Oralit A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
30 46.71.75 AF Paracetamol A Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru
Keterangan: A: indikasi tanpa obat D: dosis obat kurang G: interaksi obat