EVALUASI TINGKAH LAKU DAN RESPON FISIOLOGIS
KAMBING PE BETINA YANG DIPELIHARA PADA
JENIS KANDANG BERBEDA DI DAERAH
PASCA TAMBANG PASIR
SKRIPSI
WAWAN DWI APRIANTO
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
i RINGKASAN
WAWAN DWI A. D14080340. 2012. Evaluasi Tingkah Laku dan Respon Fisiologis Kambing PE Betina yang Dipelihara pada Jenis Kandang Berbeda di Daerah Pasca Tambang Pasir. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Muhamad Baihaqi, S. Pt., M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc.
Kambing PE merupakan ternak ruminansia yang berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan daging dan susu. Produktivitas bisa dikatakan dengan baik jika salah satu indikator kesejahteraan ternak baik. Salah satu indikator kesejahteraan ternak dapat dilihat dari tingkah laku ternak. Pemeliharaan yang dilakukan oleh kelompok peternak Simpay Tampomas menggunakan dua tipe kandang yaitu kandang panggung dan kandang alas tanah. Perbedaan sistem perkandangan tersebut perlu dikaji pengaruhnya terhadap tingkah laku hewan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan tingkah laku kambing Peranakan Etawah di kandang panggung dan alas tanah di daerah pasca penambangan pasir.
Sampel yang digunakan adalah Kambing Betina PE berumur 2,5 tahun sebanyak 16 ekor, terdiri dari 8 ekor dipelihara di kandang panggung dan sisanya di pelihara di kandang alas tanah. Data Frekuensi diolah menggunakan 2 uji yaitu : uji Friedman untuk data pengamatan berulang dengan perlakuan lebih dari 2, dan Mann Whiteney untuk data frekuensi yang independent, jika berbeda nyata digunakan uji banding rataan, sedangkan data lama waktu kejadian diolah dengan menggunakan uji t. Perbandingan dilakukan terdiri dari dua aspek yaitu durasi waktu dan perbedaan kandang. Data fisiologis diolah dengan uji t untuk mengetahui nilai rataan yang berbeda.
ii (P<0,01) dibandingkan di kandang alas tanah, denyut jantung pada sore hari di kandang tanah menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan kandang panggung.
Kesimpulan Lahan pasca tambang pada daerah penelitian ini memiliki suhu dan kelembaban rata-rata relatif nyaman untuk ternak. Secara umum tingkah laku keseluruhan antara kandang panggung dan kandang alas tanah pada daerah pasca tambang pasir tidak berbeda nyata kecuali frekuensi tingkah laku agonistic tertinggi berada dii kandang alas tanah. Berdasarkan frekuensi tingkah lagu agonistic dan tingkah laku vokalisasi tertinggi pada kandang alas tanah. Secara umum suhu rektum dan denyut jantung kambing betina PE antara kandang panggung dan kandang alas tanah masih dikisaran suhu yang ideal walaupun dalam statistika didapatkan hasil yang berbeda nyata, akan tetapi denyut jantung pada sore hari di kandang alas tanah di atas normal. Hasil kajian dengan data tingkah laku dan fisiologis ternak direkomendasikan peternak simpay tampomas untuk menggunakan kandang panggung.
ABSTRACT
Evaluation Behaviors and Physiological Responds of Etawah Grade Doe Maintained at Difference Types of Barn on Sand Reclamation Land
Aprianto, W. D., Baihaqi M. and Yamin, M.
This study was aimed to examine the effect of different barn type on doe Etawah grade behavior at Simpay Tampomas farm, Sumedang. The study used 16 goats (52.81 ± 5.49 kg) at the age of 2.5 – 3.0 years old. The doe Etawah grade behaviors observed were at the different time: morning (6:00 am to 8:00 am), early afternoon (12:00 am - 02:00 pm), and late afternoon (04:00 pm to 06:00 pm). The treatments were types of stages: ground stage and stable stage. Parameters observed were eating behavior, vocalizations, allelomimetic, eliminative, and agonistic. The Mann Whiteney and Friedman test were used to analyzed difference of frequency, while duration and physiology data were analyzed by using T test to analyzed animal behavior difference. The result showed that agonistic behavior mostly occurred in the morning, but eating behavior and vocalizations occurred in the afternoon, while allelomimetic behavior mostly occurred during early afternoon, either on stable or ground stage. The eliminative behavior had different characteristics. Goats in the stable stage presented more eliminative behavior in the early noon, while the ground stage the goat presented the behavior in the late noon. The heart rate and rectal temperature of goat in both cages in the morning were significantly different (P<0.01) from ones in the late noon. Heart rate of goats in the late noon was different (P<0.05) between stables stage, but was not different (P>0.05) for rectal temperature. In Conclusion overall behavior of goat on ground stage and stable stage were not significant different except frequency of agonistic behavior. Behavior Etawah of grade seen that the afternoon were prone to the existence of time that treatment more. The physiological response of Etawah grade the best, on the stable stage.
RIWAYAT HIDUP
EVALUASI TINGKAH LAKU DAN RESPON FISIOLOGIS
KAMBING PE BETINA YANG DIPELIHARA PADA
JENIS KANDANG BERBEDA DI DAERAH
PASCA TAMBANG PASIR
Wawan Dwi Aprianto D14080340
Skripsi ini merupakan salah satu syaratuntuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillahirabbil’alamin saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini berjudul Evaluasi Tingkah Laku dan Respon Fisiologis Kambing PE Betina yang Dipelihara pada Jenis Kandang Berbeda di Daerah Pasca Tambang Pasir. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan pada bulan Juli 2011 bertempat di Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas, berlokasi di lereng Gunung Tampomas, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini mengamati tentang pengaruh kandang terhadap kesejahteraan ternak.
Kesejahteraan ternak selalu dikaitkan dengan tingkah laku stres pada ternak. Salah satu cara menangani stres pada ternak, dengan cara membuat sistem perkandangan yang baik. Perkandangan merupakan salah satu sarana yang dibuat untuk memodifikasi pengaruh buruk lingkungan. Tujuan peletakan ternak di kandang adalah untuk memudahkan penanganan pemeliharaan ternak, melindungi ternak dari serangan hewan buas dan melindungi ternak dari cekaman panas. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh tipe alas kandang yang berbeda (panggung dan tanah) terhadap parameter yang diamati, berupa tingkah laku ternak dan fisiologis ternak.
Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, harapan besar penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk perbaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat telah diberikan selama proses penulisan skripsi ini sehingga sekripsi ini selesai dengan waktunya, penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, baik berupa peminjaman buku, doa, semangat dan dorongan moril lainya. Ucapan terimakasih setulus hati saya ucapkan kepada Muhamad Baihaqi S.Pt.MSc dan Dr.Ir. Mohamad Yamin M.Agr.Sc, yang bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, membaca, mengarahkan penulis untuk membuat skripsi ini dengan baik. Terimakasih saya ucapkan kepada Dr.Ir Afton Atabany M.Si dan Dr.Ir Asep Sudarman sebagai dosen penguji sidang yang telah memberi masukan dan mengevaluasi tulisan penulis agar lebih baik dan benar.
Akhirnya secara khusus penulis perlu sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Almarhum Ayah dan Bunda, saya mendoakan anda semoga diterima di sisiNya. Terimakasih kepada kakak tertua saya Didik Eko Pujianto yang telah membiayai saya selama ini. Ucapan terimakasih yang mendalam kepada Yayasan Karya Salemba Empat yang telah memberikan beasiswa kepada saya, tim Penelitian Sumedang (Hendro, Euis, Nia, Atik, dan Dewi), Bramada Winiar Putra S.Pt, Delvita Yuniza, dan Dinar Puspa Indah. Kepada keluarga besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, FAPET IPB terimakasih atas segala pelajaran dan pengalaman berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2012
viii
Kambing Etawah dan Peranakan Etawah ... 3
Kandang ... 3
Sistem Pemeliharaan Terhadap Tingkah Laku Kambing ... 7
Suhu dan Kelembaban ... 8
Denyut Jantung ... 9
Respon Fisiologis Terhadap Kandang ... 10
Respon Fisiologis Terhadap Pakan dan Waktu Pemberian Pakan .... 10
MATERI DAN METODE ... 12
Pengambilan Data Tingkah Laku ... 16
ix
Rancangan dan Analsis Data ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
Keadaan Umum ... 21
Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Alas Tanah ... 23
Tingkah Laku Kambing PE Betina di Tipe Kandang Panggung pada Waktu yang Berbeda ... 26
Tingkah Laku Kambing PE Betina di Tipe Kandang Alas Tanah pada Waktu yang Berbeda ... 31
Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Kandang Alas Tanah pada Waktu yang Berbeda ... 35
Kondisi Fisiologis Kambing PE Betina ... 41
Suhu Tubuh ... 42
Denyut Jantung ... 43
KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
Kesimpulan ... 45
Saran ... 45
UCAPAN TERIMAKASIH ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
x DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Etogram atau Gambaran Tingkah Laku Kambing ... 7 2. Contoh Pengamatan Seluruh Tingkah Laku Kambing PE Betina ... 16 3. Contoh Tabel Rataan dari Tabel 2 ... 17 4. Rataan Suhu dan Kelembaban di Kandang Panggung dan Tanah
pada Pagi, Siang, dan Sore ... 22 5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung dan Tanah ... 24 6. Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung dan Tanah ... 25 7. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung ... 27 8. Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung ... 28 9. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Alas Tanah ... 32 10. Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di
Kandang Alas Tanah ... 33 11. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung dan Tanah pada Pagi Hari ... 36 12. Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung dan Tanah pada Pagi Hari ... 37 13. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung dan Tanah pada Siang Hari ... 39 14. Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina
di Kandang Panggung dan Tanah pada Siang Hari ... 40 15. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung dan Tanah pada Sore Hari ... 41 16. Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang
Panggung dan Tanah pada Sore Hari ... 42 17. Rataan Suhu Rektal Kambing PE Betina di Kandang Panggung
dan Tanah pada Waktu yang Berbeda ... 43 18. Rataan Denyut Jantung Kambing PE Betina di Kandang Panggung
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tipe Kandang Panggung di Lokasi Penelitian ... 13
2. Tipe Kandang Alas Tanah di Lokasi Penelitian ... 13
3. Layout Kandang Panggung dari Samping ... 14
4. Layout Kandang Panggung dari Atas... 14
5. Layout Kandang Alas Tanah dari Samping ... 14
6. Layout Kandang Alas Tanah dari Atas ... 15
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perbandingan Rataan Lama Waktu Kejadian Tingkah Laku
di Kandang Panggung dan Alas Tanah ... 51
2. Perbadingan Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung ... 51
3. Perbandingan Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Alas Tanah ... 51
4. Perbandingan Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah pada Pagi Hari ... 51
5. Perbandingan Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah pada Siang Hari ... 51
6. Perbandingan Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah pada Siang Hari ... 52
7. Perbandingan Rataan Suhu Rektal Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah ... 52
8. Perbandingan Rataan Denyut Jantung Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah ... 52
9. Hasil Uji T Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah ... 52
10.Hasil Uji T Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung ... 53
11.Hasil Uji T Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Alas Tanah ... 53
12.Hasil Uji T Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Alas Tanah pada Pagi, Siang dan Sore ... 54
13.Hasil Uji T Rataan Denyut Jantung dan Suhu Rektal Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah ... 54
14.Hasil Uji Friedmen Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung pada Waktu yang Berbeda ... 55
15.Hasil Uji Friedmen Tingkah Laku Kandang Alas Tanah pada Waktu yang Berbeda ... 55
16.Hasil Uji Analis Ragam Rataan Suhu di Kandang Panggung ... 55
17.Hasil Uji Analisis Ragam Rataan Suhu di Kandang Tanah ... 56
18.Hasil Uji Analisis Ragam Rataan Kelembaban di Kandang Tanah ... 56
xiii 20.Hasil Uji Mann Whiteney Frekuensi Kejadian Seluruh Tingkah
Laku di Kandang Panggung dan Tanah ... 56
21.Hasil Uji Mann Whiteney Frekuensi Kejadian Seluruh Tingkah
Laku di Kandang Panggung dan Tanah pada Pagi Hari ... 57
22.Hasil Uji Mann Whiteney Frekuensi Kejadian Seluruh Tingkah
Laku di Kandang Panggung dan Tanah pada Siang Hari ... 57
23.Hasil Uji Mann Whiteney Frekuensi Kejadian Seluruh Tingkah
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan ternak ruminansia yang
berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan daging dan susu di Indonesia. Menurut
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011), populasi kambing di
Indonesia pada tahun 2007-2011 adalah 17.482.722 ekor. Jumlah tersebut memberi
kontribusi besar terhadap pemenuhan daging nasional setelah daging sapi dengan
rata–rata pemotongan kambing dalam satu tahun sebesar 2.425.764 ekor/tahun.
Menurut Devendra dan McLeroy (1982), produktivitas rata-rata biologis kambing
yaitu 8%-28% lebih tinggi dibandingkan sapi. Jumlah anak per kelahiran (litter size)
bervariasi dengan rata-rata satu sampai dengan tiga ekor dengan tingkat produksi
susu yang melebihi dari kebutuhan untuk anaknya, sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai produk komersial dan tidak mengganggu proses reproduksinya. Pemanfaatan
pola adaptasi yang baik terhadap lingkungan membuat kambing PE tetap lestari
hingga sekarang. Pola adaptasi suatu hewan dapat diamati dengan melihat tingkah
laku hewan tersebut, sebagai respon awal terhadap lingkungan yang dihadapi lebih
lanjut dengan respon yang telah diketahui.
Tingkah laku hewan merupakan cara hewan merespon pengaruh lingkungan
yang ada di sekitarnya. Identifikasi tingkah laku hewan merupakan awal untuk
melihat kesejahteraan ternak. Ternak bisa dikatakan sejahtera apabila produksi dan
tingkah lakunya normal, salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan ternak
adalah pemberian naungan. Pemberian naungan tidak terlepas dari sistem
perkandangan. Manfaat kandang membuat ternak nyaman sehingga menjamin
kesejahteraan ternak yang dipelihara. Kandang juga diperlukan untuk melindungi
ternak dari pencurian, gangguan alam, hujan, sinar matahari, gangguan binatang buas
dan kedinginan. Penggunaan tipe kandang yang lazim digunakan oleh masyarakat
adalah dua tipe yaitu, kandang panggung dan kandang alas tanah. Tata cara
perkandangan yang intensif akan sejalan dengan usaha perbaikan hidup..
Peternakan di Desa Cibeureum Wetan Kecamatan Cimalaka, Kabupaten
Sumedang, menggunakan model yang saling berintegrasi satu dengan lain yang
disebut dengan peternakan terpadu. Pola integrasi dari peternakan di Desa
2 pertanian di daerah tersebut adalah sektor penanaman serta pengembangbiakan bibit
Buah Naga, sedangkan sektor peternakan dengan membudidayakan ternak kambing
PE. Pemeliharaan kambing di area tersebut menggunakan sistem perkandangan
tradisional yang beralas tanah dan perkandangan semi-modern yang beralas
panggung. Perbedaan sistem perkandangan tersebut perlu dikaji pengaruhnya
terhadap tingkah laku hewan tersebut untuk mengetahui metode kandang tersebut
tetap memenuhi kesejahteraan ternak yang keberlanjutanya dapat menunjang
produksi ternak.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkah laku dan respon
fisologis kambing PE betina yang dipelihara di kandang alas panggung dan alas
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing Etawah dan Peranakan Etawah
Kambing Etawah yaitu kambing yang berasal dari distrik Etawah daerah
antara sungai Yamuna dan Chambal Provinsi Uttar Pradesh, India (Mason, 1981).
Kambing Etawah didatangkan ke Indonesia bertujuan untuk memperbaiki kambing–
kambing lokal yang memilki tubuh kecil, dengan cara persilangan antara kambing
lokal dengan kambing Etawah, yang menghasilkan kambing Peranakan Etawah (PE).
Berdasarkan tipe kambing PE tipe kambing dwiguna yaitu kambing yang dapat
menghasilkan daging dan susu. Keunggulan Kambing PE dibandingkan ternak lokal
sejenis adalah kambing PE betina mampu menghasilkan susu 1,2 liter/ekor/hari
selama masa laktasi (Balai Penelitian Ternak, 2001). Kambing PE memiliki
karakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan kambing jantan mencapai 90 kg,
sedangkan betina mencapai 60 kg. Sarwono (2008) menyatakan bahwa kambing PE
mempunyai ciri-ciri antara kambing kacang dengan kambing Etawah, yaitu bagian
hidung atas melengkung, panjang telinga antara 15-30 cm menggantung ke bawah,
sedikit kaku, warna bulu bervariasi antara hitam, putih, dan coklat. Kambing jantan
mempunyai bulu yang tebal dan agak panjang di bawah leher dan pundak, sedangkan
bulu kambing betina agak panjang terdapat di bagian bawah ekor ke arah garis kaki.
Kandang
Kandang memiliki arti yang sangat penting untuk menghindari pengaruh
lingkungan yang kurang menguntungkan bagi usaha peternakan sehingga dengan
adanya kandang maka penggunaan makanan untuk produksi dapat teratasi dengan
baik. Perkandangan juga berfungsi sebagai pencegahan dan pemberantasan penyakit
dan pengawasan terhadap pertumbuhan ternak (Sosromidjojo dan Soeraji, 1978). Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Budoyo (1978) menyatakan bahwa kandang
diperlukan untuk melindungi ternak dari pencurian, gangguan alam, hujan, sinar
matahari, gangguan binatang buas, dan kedinginan. Sosroamidjojo dan Soepardi
(1976) menyatakan bahwa dalam pembuatan kandang hal yang perlu diperhatikan
beberapa masalah antara lain: (1) biologi ternak masing–masing memiliki sistem
perkandangan tersendiri, (2) teknik konstruksi bangunan kandang harus bersih,
4 kuat, dan sesuai dengan ternak yang akan dikandangkan, dan (3) ekonomis, biaya
pembuatan kandang harus murah tetapi masih memenuhi persyaratan yang tercantum
pada poin 1 dan 2.
Menurut Devendra dan Buns (1994), ada dua tipe kandang kambing yang
umum dipakai di daerah tropis, yaitu kandang pada tanah dan kandang panggung.
Peternakan kambing di Indonesia umumnya menggunakan tipe kandang panggung.
Hal tersebut karena kandang panggung mempunyai kelebihan dalam mengurangi
pengaruh lingkungan yaitu suhu, kelembaban dan curah hujan, serta tergantung
tujuan berternak kambing untuk produksi susu atau produksi daging (Devendra dan
McLeroy, 1982). Pembuatan bangunan kandang harus bersih dan berventilasi agar
ternak dapat terjaga kesehatannya karena ternak dikandangkan setiap hari.
Kandang panggung yang baik memiliki tinggi kandang di atas tanah minimal
100 cm, pondasi kandang terbuat dari beton atau batu sungai dengan bentuk
trapesium agar mudah dalam pembersihan kotoran, tinggi alas dengan tempat pakan
antara 50 – 60 cm, tujuannya adalah agar kambing mudah mengambil pakan dari
tempat pakan, celah kandang untuk keluar masuk kepala kambing mengambil pakan
adalah 20 x 25 cm. Pembuatan celah kandang kambing jantan harus lebih tinggi
daripada celah kandang pada kambing betina, tujuannya adalah untuk menjaga
kualitas rambut bagian leher kambing jantan akibat bergesekan dengan dinding
kandang. Tinggi celah kambing betina cenderung lebih pendek agar anak kambing
tidak keluar kandang melalui celah tersebut (Atabany, 2001).
Kandang Induk
Kandang induk merupakan tempat yang khusus untuk mengandangkan
kambing betina induk PE agar mempermudah dalam penanganan. Kandang induk
dibagi menjadi dua, yaitu kandang induk bunting dan kandang induk kering.
Kandang induk kering digunakan untuk mengelompokkan kambing betina yang
sudah tidak menyusui lagi anaknya (Sarwono, 2008), bentuk kandang induk masa
kering dibuat dengan menggunakan bentuk sistem kandang koloni atau berkelompok.
Kandang koloni berfungsi sebagai kandang perkawinan. Kambing biasanya
diletakkan di dalam kandang koloni dengan kepadatan ternak pada tiap kandang
sebanyak 5-10 ekor ternak dengan ukuran 3 x 5 m2. Kandang diberi sekat ruang
5 ternak. Bentuk kandang induk yang sedang bunting lebih dari tiga bulan dan induk
yang sedang mengasuh anak atau menyusui dibuat dengan sistem tipe kandang
tunggal atau individu. Ukuran kandang bersalin 1 x 1 m2 sampai 1,5 x 1,5 m2
(Mariono, 2007).
Tingkah Laku
Ethology merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan. Tingkah
laku berasal dari kata ethos yang berarti karakter atau alam dan logos yang berarti
ilmu. Ilmu tingkah laku berkaitan dengan penentuan karakteristik hewan terhadap
lingkunganya serta respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang
dihadapinya (Gonyou, 1991). Proses terjadinya tingkah laku hewan adalah ekspresi
dari upaya hewan untuk beradaptasi atau menyesuaikan dengan kondisi internal dan
eksternal yang berbeda, yaitu perilaku dapat digambarkan sebagai respon hewan
untuk stimulus. Studi tingkah laku perilaku (etologi) melibatkan tidak hanya hewan
apa saja yang diamati akan tetapi juga kapan, bagaimana, mengapa dan dimana
perilaku terjadi (Lehner, 1979).
Tingkah Laku Makan
Tingkah laku makan masing-masing ternak berbeda-beda dari tiap bangsa
yang berbeda. Peningkatan produksi dapat dicapai jika ternak makan dengan agresif
sehingga memakan pakan lebih banyak (Ensminger, 2002). Tingkah laku makan lain
adalah merumput, memakan hijauan hasil pemotongan atau penyimpanan, dan
konsentrat. Cara makan pada kambing adalah meramban browse leguminosa dan
tanaman yang agak lebih tinggi darinya) berbeda dengan domba yang cenderung
grazing (merenggut) rumput dengan bibir bagian atas hingga memotong bagian
bawah rumput (Ensminger, 2002).
Tingkah laku makan lain adalah ruminasi. Ruminasi adalah proses
mengunyah kembali pakan yang dikeluarkan dari retikulorumen, kemudian dikunyah
dengan bantuan saliva. Kambing melakukan ruminasi sebanyak 15 kali per hari
dengan lama waktu per ruminasi sekitar 1-120 menit, sehingga dalam satu hari total
waktu yang digunakan untuk ruminasi adalah antara 8-10 jam (Ensminger, 2002).
Menurut Tomaszewska et al. (1993), pengunyahan selama makan dan ruminasi dapat
6 ukuran partikel pakan dicerna atau bahan yang diruminasi akan ditentukan oleh
waktu yang diperlukan untuk makan, ruminasi, dan jumlah kunyahan per satuan
waktu dalam setiap kegiatan dan oleh tingkat keefektifan pengunyahan.
Umumnya kambing menyukai berbagai jenis hijauan, karenanya dapat
membedakan antara rasa pahit, manis, asam, dan asin (Kilgour dan Dalton, 1984).
Tomaszewska et al. (1991) mengatakan bahwa pada siang hari dengan suhu yang
tinggi, kambing akan merumput lebih sedikit, waktu yang digunakan untuk ruminasi
lebih singkat dengan istirahat yang relatif lama.
Tingkah Laku Agonistic
Tingkah laku agonistic merupakan suatu kegiatan mengais, menanduk, dan
mendorong dengan bahu, lari bersama, dan menerjang (menendang, berkelahi,
melarikan diri, menanduk) pada kambing, terlentang sambil tidak bergerak,
menggigil (pada anak yang masih muda) mendengus, dan menghentakkan kaki pada
kambing (Hafez, 1968), menurut Frazer (1975), tingkah laku agonistic merupakan
tingkah laku yang memperlihatkan tingkah laku aktif dan pasif, tingkah laku aktif
seperti berkelahi, berlari, serta tingkah laku agresif. Tingkah laku agonistic juga
diperkuat oleh Ensminger (2002), mengatakan bahwa tingkah laku agonistic pada
kambing jantan diperlihatkan pada saat berkelahi dengan mundur terlebih dahulu
kemudian menyerang dengan cara menumbukkan kepalanya atau tanduknya pada
kepala lawan, kambing akan terus berkelahi sampai salah satu dari mereka berhenti
dan menyerah, biasanya kambing sebelum berkelahi akan mendengus.
Pola perilaku agonistic merupakan interaksi sosial antara satwa yang
dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan
seksual, dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat
ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Perilaku agonistik ini
merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan
dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Kandungan hormon
testoteron yang tinggi pada mamalia jantan mengakibatkan tingkah laku berkelahi
7
Tingkah Laku Kambing
Keseluruhan tingkah laku kambing dapat dilihat pada Tabel 1 yang berbentuk
etogram.
Tabel 1. Etogram atau Gambaran Tingkah Laku Kambing.
Tingkah Laku Gambaran Karakteristik
Ingestive Browsing, makan legum-legum, ranting muda, menguyah,
menjilati garam, minum, dan menyusu.
Investigatory Mengangkat kepala, mengarahkan mata, telinga, dan hidung
kearah gangguan. Mencium kambing lain atau benda lainnya.
Allelomimetik Berlari bersama, tidur bersama, dan menumbuk rintangan dengan
kaki tegap bersamaan.
Agonistik Mengais, mendorong dengan bahu, menanduk, lari bersama dan
menerjang, bunching, lari, kedinginan, mendengus dan
menghentakan kaki.
Eliminatif Kambing mengangkat ekor pada saat buang air besar dan
menghasilkan kotoran berbentuk pelet. Kambing betina jongkok
pada saat buang urin. Selama musim tak kawin, kambing jantan
membuang urinnya dengan sedikit dan tidak terjadi ekstensi dari
penis yang keluar dari prepotium.
Allow grooming Kambing menjilat-jilat dan membersihkan bulu, bergantian
ataupun secara resiprok.
Sumber : Hafez (1968)
Sistem Pemeliharaan Terhadap Tingkah Laku Kambing
Pemeliharaan kambing dengan sistem penggembalaan bebas, di daerah sub
tropis periode merumput terjadi paling banyak ketika pagi sampai sore hari,
sedangkan pada daerah tropis siklus merumput, pada siang hari, ternak beristirahat di
bawah naungan atau dekat tempat air dan terdapat periode yang panjang pada malam
hari. Pola tingkah laku makan kambing pada saat makan, kambing akan menolak
setiap tanaman yang terkontaminasi dengan aroma air seni dan fesesnya, tingkah
laku makan pada kambing di alam liar dengan cara browsing. Tingkah laku browsing
ini bertujuan untuk memakan berupa kulit kayu, daun, tunas, semak, dan cabang
8 menoleransi terhadap pakan yang rasanya pahit dari pada pakan yang memiliki rasa
asin dan manis. Kebutuhan konsumsi air yang diperlukan kambing hanya 188
cc/kg/24 jam, hampir sama dengan unta yaitu 185 cc/kg/24 jam, sedangkan untuk
domba dan sapi adalah 197 cc/kg/24 jam dan 347 cc/kg/24 jam, mengakibatkan
kambing tahan terhadap daerah yang beriklim kemarau dengan curah hujan sedikit.
Efek dari pemberian air yang sedikit mengakibatkan terjadinya pengurangan ekskresi
urin dengan konsentrasi urea yang meningkat dan pekat (Cakra et al., 2008).
Kambing dipelihara di kandang intensif akan kehilangan ikatan berpasangan,
berkurangnya sifat agresif, dan perpanjangan musim kawin (Tomaszewska et al.,
1993). Menurut Roussel (1992) tingkah laku kambing yang sudah didomestikasi
sebagian besar kegiatannya dilakukan untuk makan dan menghabiskan sebagian
besar merumput di kandang. Kambing yang didomestikasi akan cenderung lebih baik
dalam reproduksi dan performa pertambahan bobot badan, hal ini karena manusia
akan memilih bangsa-bangsa kambing yang baik untuk disilangkan, sedangkan di
alam liar kesempatan untuk terjadi inbreeding sangat tinggi yang mengakibatkan
penurunan kualitas dari keturunan yang dihasilkan. Kambing yang sudah
terdomestikasi akan cenderung tidak takut jika didekati manusia, sedangkan kambing
yang masih liar akan cenderung menghindar dan lari jika bertemu dengan manusia.
Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi
produksi dan reproduksi ternak, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan
panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan
keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay, 1982). Hasil penelitian Smith dan
Mangkuwidjojo (1988) menjelaskan bahwa kambing memerlukan suhu optimum
antara 18-30 oC untuk menunjang produksinya, sedangkan untuk suhu rektal
kambing pada kondisi normal adalah 38,5-40 oC dengan rataan 39,4 oC atau antara
38,5-39,7 oC. Kambing akan berusaha menurunkan suhu tubuhnya melalui proses
respirasi akibat suhu lingkungan yang tinggi (Yeates et al.,1975).
Keadaan lingkungan yang kurang nyaman juga membuat kambing
mengurangi konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi minum. Mekanisme
pelepasan panas tubuh dilakukan melalui empat cara yaitu : radiasi, konduksi,
9 memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi
merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan
langsung tanpa ada transfer panas molekul. Panas menjalar dari suhu tinggi ke suhu
yang rendah. Konveksi adalah suatu perambatan melalui aliran cair dan gas.
Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi
merupakan perubahan dari zat cair menjadi uap air. Pengaruh suhu dan kelembaban
yang tinggi menyebabkan evaporasi lambat sehingga pelepasan panas tubuh
terhambat (McDowell, 1972). Cekaman panas pada ternak akan mengakibatkan
energinya berkurang sehingga aktivitasnya terganggu, seperti laju pertumbuhan
menurun, laju penafasan, dan denyut jantung meningkat (Curtis, 1983).
Denyut Jantung
Jantung adalah struktur maskular berongga yang bentuknya menyerupai
kerucut. Jantung terdiri dari dua bagian kiri dan kanan. Masing-masing bagian terdiri
dari atrium yang berfungsi menerima curahan darah dari pembuluh vena, dan
ventrikel yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh tubuh melalui
arteri (Frandson, 1992). Satu denyut jantung terdiri dari satu sistole dan diastole.
Siklus jantung terdiri atas satu periode relaksasi yang disebut diastole, yaitu periode
pengisian jantung dengan darah, kemudian diikuti oleh satu periode kontraksi yang
disebut sistol (Guyton, 1997).
Peningkatan laju denyut jantung akan meningkat seiring dengan peningkatan
suhu lingkungan, gerakan, dan aktivitas otot (Edey, 1983). Adisuwardjo (2001)
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung yaitu (1)
aktivitas, (aktivitas yang tinggi meningkatkan frekuensi kerja jantung) (2) ion
kalsium, ion kalsium memicu sistol yaitu kontraksi salah satu ruangan jantung pada
proses pengosongan ruang tersebut, (3) kadar CO2, dapat menaikkan frekuensi
maupun kekuatan kontraksi jantung, (4) acetylcolin, mengurangi frekuensi jantung,
(5) adrenalin, dapat menaikkan frekuensi jantung, (6) morphin, dapat menurunkan
denyut jantung, (7) suhu tubuh, semakin tinggi suhu tubuh maka frekuensi denyut
jantung semakin meningkat, (8) berat badan, semakin berat badan seseorang
frekuensi denyut jantung semakin besar, dan (9) usia, usia muda memiliki frekuensi
10
Respon Fisiologis Terhadap Kandang
Suhu pada kandang alas tanah lebih tinggi dari pada suhu pada kandang
panggung hal ini dikarena gesekan aliran udara pada permukaan tanah lebih besar
sehingga aliran udara pada kandang alas tanah terhambat menyebabkan terhalangnya
pertukaran udara dari kandang ke lingkungan. Faktor lain yang menyebabkan suhu
kandang alas tanah lebih tinggi adalah feses yang tertampung pada tanah mengalami
proses fermentasi yang dapat menghasilkan gas metan dan amonia. Proses fermentasi
ini dapat meningkatkan suhu kandang yang akan mengakibatkan bertambahnya
beban panas. Kandang alas panggung keadaannya akan lebih nyaman dibandingkan
kandang alas tanah karena gaya gesek udara pada lantai panggung lebih rendah.
Pembuatan celah kandang dengan lantai slat bambu akan mengakibatkan aliran
udaranya lebih lancar karena dari sela-sela bilah bambu angin dapat masuk (Puspani
et al., 2008). Penurunan suhu kandang tidak hanya dengan modifikasi lantai kandang
saja, tetapi juga dengan penggunaan naungan atau atap.
Menurut Qiston dan Suharti (2011) penggunaan naungan atau atap dapat
menciptakan kondisi yang lebih nyaman yang ditunjukkan dengan lebih rendah suhu
rektal dan frekuensi denyut jantung. Rataan suhu rektal kambing yang diberi
naungan yaitu 38,7 oC dan rataan denyut jantung kambing yang diberi naungan
adalah dan 86,6 kali/menit, sedangkan rataan denyut jantung kambing yang tidak
diberi naungan yaitu 39,10oC dan dan suhu rektal kambing yang tidak diberi naungan
yaitu 107,7 kali/menit.
Respon Fisiologis Terhadap Pakan dan Waktu Pemberian Pakan
Tingkah laku kambing akan berubah dari kegiatan merumput atau
mengkonsumsi pakan untuk menghindari kondisi yang tidak menyenangkan. Respon
untuk menghindari kondisi tersebut kambing mengurangi konsumsi pakan dan energi
metabolis yang tersedia. Gangguan lain terhadap keseimbangan energi berasal dari
perubahan fisiologi, endokrin, dan pencernaan yang selanjutnya menurunkan energi
yang tersedia (Setianah, 2004). Meningkatnya suhu cenderung mengurangi konsumsi
pakan. Hal ini adalah upaya ternak untuk mengurangi produksi tubuh panas dengan
cara mengurangi pakan yang berserat, melakukan aktivitas fisik rendah, mencari
naungan, dan mengubah aktivitas merumput dari siang menjadi malam. Dampak
11 pakan. Jika suhu naik, maka kebutuhan air juga akan naik sehingga harus
menyediakan banyak air. Namun, jika air langka, maka kambing akan menyesuaikan
diri dengan cara memanfaatkan kadar air pada hijauan (Cakra et al., 2008).
Pemberian pakannya pada pagi hari yaitu mulai pukul 08.00-14.00 WIB
berefek baik pada ternak karena pada pagi hari ternak memiliki waktu yang lama
untuk mengunyah makanan tersebut. Semakin banyak waktu yang diberikan kepada
ternak kambing untuk mengkonsumsi pakan, maka akan menghasilkan bobot badan
yang lebih optimal. Sebaliknya, pemberian pakan pada ternak kambing pada pukul
14.00- 17.30 WIB, ternak tidak memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk
mengkonsumsi pakan dan mengunyah pakan dengan baik, sehingga akan
menghasilkan bobot badan yang kurang optimal (Setianah, 2004).
Akibat Heat stress jangka panjang adalah terjadi penurunan produktivitas
anak pada ternak. Jika kambing bunting, terutama mendekati akhir kehamilan,
kurangnya makan akibat dari stres panas dapat mengurangi asupan nutrisi yang
diperlukan oleh janin dan mengakibatkan kelaparan pada janin. Di sisi lain, jika
kambing betina kekurangan pasokan energi karena stres panas akan menyebabkan
tidak adanya perkembangan folikel. Hal juga juga berlaku untuk reproduksi sperma.
Kondisi panas yang ekstrim dapat mempengaruhi reproduksi langsung yaitu : (1)
Terjadi degenerasi antara sperma dan ovum dalam saluran reproduksi, (2) penciptaan
ketidak seimbangan hormon melalui tindakan dari hipotalamus dan (3) menekan
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2011. Lokasi
penelitian di Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas, berlokasi di lereng
Gunung Tampomas, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten
Sumedang, Propinsi Jawa Barat.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan adalah 16 ekor kambing PE betina dewasa (I3)
dengan berat badan yang relatif sama yaitu 52,81 ± 5,49 kg dengan koevisien
keseragaman 11,24%. Ternak kemudian diletakkan di kandang panggung dan
kandang tanah masing-masing 8 ekor. Kepadatan di tiap-tiap kandang 4 ekor/koloni.
Kambing PE tersebut diambil dari peternakan yang sama dengan sistem
pemeliharaan yang sama.
Alat
Peralatan yang digunakan meliputi pencatat waktu, thermohigrometer,
kamera, cat semprot, meteran, timbangan berat badan, thermometer klinis, stetoskop,
alat tulis dan komputer. Kandang yang digunakan adalah kandang kelompok alas
panggung dan kandang alas tanah. Kandang panggung di area peternakan Simpay
Tampomas, bahan terbuat dari bahan kayu dan bambu yang berasal dari sisa–sisa
bangunan yang kurang dimanfaatkan. Letak kandang berada di tengah kebun buah
naga, atap kandang terbuat dari genting, luas kandang 9,6 m2 dengan panjang 6 m
dan lebar 1,6 m, tidak terdapat kanopi pepohonan yang menaungi kandang tersebut,
ventilasi angin bebas keluar masuk, pondasi terbuat dari semen, lantai kandang
terbuat dari bambu dengan celah antara 1-2 cm, jarak antara lantai kandang dengan
tanah adalah 1 m dan arah kandang membujur dari utara ke selatan. Gambar
Kandang panggung dapat dilihat pada Gambar 1, 3, dan 4.
Kandang alas tanah di area penelitian, beratap genting, tinggi atap kandang
dari tanah adalah 2,5 m, luas kandang 12,5 m2 dengan panjang 5 m dan lebar 2,5 m,
13 dinding dari anyaman bambu yang rapat, pada ventilasi atas ada beberapa bagian
anyaman yang renggang sehingga ventilasi angin tidak bebas keluar masuk (Gambar
2), di dekat kandang terdapat kanopi pohon lamtoro (Leuaena leucocephala), ternak
langsung bersentuhan dengan tanah dan arah kandang dari arah melebar dari barat ke
timur. Gambar kandang alas tanah dapat dilihat pada Gambar 2, 5, dan 6
Bentuk tempat pakan kambing di lokasi penelitian umumnya trapesium dan
segi empat memanjang terbuat dari kayu dan bambu. Tempat makan mempunyai
ukuran rata–rata 200 cm2 dengan rataan panjang 40 cm dan lebar 50 cm / kandang
koloni. Celah kandang untuk keluarnya kepala kambing bila mengambil pakan
mempunyai ukuran yaitu 20,60 cm untuk kandang alas panggung, sedangkan untuk
kandang alas tanah 17,10 cm
Gambar 1. Tipe Kandang Panggung di Lokasi Penelitian
14 1,6 m
0,46 m
Gambar 3. Layout Kandang Panggung dari Samping
Gambar 4. Layout Kandang Panggung dari Atas
Gambar 5. Layout Kandang Alas Tanah dari Samping Kandang Anak
6 m
Kandang Dara Kandang
Penelitian 2
Kandang Pejantan Kandang Bunting
Jalan Tempat Pakan
Tempat Pakan Kandang Anak
Tempat Pakan
Kandang Penelitian 1
U
2,5 m
S
T
B B
15 0,5 m
1, 25m
Gambar 6. Layout Kandang Alas Tanah dari Atas
Pakan
Pemberian pakan kambing PE di lokasi penelitian menggunakan sistem
potong angkut cut and carry yaitu pakan diambil di lokasi pegunungan Simpay
Tampomas kemudian dibawa ke kandang untuk diberikan ke ternak. Peternak
memberikan pakan kambing induk kering hanya berupa hijauan saja. Tenaga kerja di
lokasi penelitian terdiri dari 5 orang, terdiri dari 3 orang pencari rumput, 1 orang
manajer dan 1 orang pemberi pakan dan pembersih kandang. Populasi kambing PE di
areal penelitian adalah 225 ekor yang terdiri dari betina laktasi 23 ekor, betina
bunting 20 ekor, betina kering 85 ekor, pejantan dewasa 5 ekor, dan anak kambing
sebanyak 92 ekor. Pakan yang diberikan rata–rata perhari sebanyak 140 kg /16 ekor
berat segar. Frekuensi pemberian pakan di lokasi penelitian hanya sekali sehari yaitu
pada pukul 14.00 WIB. Pakan yang digunakan adalah pakan yang biasa digunakan di
peternakan ini yaitu pakan hijauan rumput gajah, pakan dari legum yaitu Calliandra
haematocephala dan Gliricidia sepium. Pemberian air minum pada kambing PE
dilokasi penelitian jarang dilakukan karena keterbatasan air. Ternak mendapat suplai
air berasal dari hijaun pakan segar yang diberikan pada ternak.
Prosedur
Ternak yang digunakan adalah 16 ekor kambing PE betina. Penimbangan
bobot badan dilakukan untuk mengetahui keseragaman bobot badan. Indentifikasi
ternak dilakukan dengan memberikan cat warna di bagian paha ternak. Penyesuaian
16 perlakuan digunakan ada dua yaitu alas panggung dan alas tanah dengan ulangan 8
ekor ternak di setiap kandang.
Pengambilan Data Tingkah Laku
Pengamatan tingkah laku dengan mengamati tingkah laku kambing betina PE
yang dipelihara secara tradisional dan Semi-intensif. Pemeliharaan secara tradisional
dilakukan di kandang alas tanah, sedangkan pemeliharan secara Semi-intensif
dilakukan di kandang panggung. Pengambilan data pengamatan dilakukan selama
seminggu sekali, setiap pengamatan diambil data tiga kali dengan waktu sebagai
berikut, pagi (06.00 – 08.00 WIB), siang (12.00 – 14.00 WIB) dan sore hari pukul
(16.00 – 18.00 WIB). Peubah yang diamati adalah frekuensi dan lama waktu
kejadian tingkah laku. Pengamatan tingkah laku ini dilakukan sampai mendapatkan 5
kali ulangan.
Pengamatan tingkah laku ternak dengan menggunakan metode focal sampling
yaitu metode pengamatan tingkah laku ternak dengan cara menyeleksi tingkah laku
ternak yang dianggap penting dan menyeleksi ternak yang diamati tanpa
memperhatikan tingkah laku ternak yang lain (Altman, 1973). Pengambilan data ini
dilakukan dengan 16 ulangan ternak yang berbeda. Pengamatan tingkah laku
dilakukan setiap ekor selama 5 menit dan jeda antara pengamatan individu yang
berbeda adalah 1 menit. Tabel 2 menunjukkan contoh formulir pengamatan yang
digunakan untuk mengamati seluruh tingkah laku yang terjadi. Tabel 3 menunjukkan
contoh formulir pengamatan rataan interpretasi dari data Tabel 2.
Tabel 2. Contoh Pengamatan Seluruh Tingkah Laku Kambing PE Betina
No Kambing………
Tingkah laku Frekuensi Waktu Lama Waktu
Makan 3 0:00 – 2:18 2:18
Merawat diri 4 2:18 - 3:46 1:28
Membuang kotoran 1 3:46 – 3:52 0:06
Makan 2 3:52-4:46 0:54
Merawat diri 1 4:46-5:00 0:14
17 Tabel 3. Contoh Tabel Rataan dari Tabel 2
No Kambing…………..
Tingkah laku Total frekuensi Menit Konversi/menit
Makan 5 3:12 3,2
Merawat diri 5 2:42 2,7
Vokalisasi 0 0 0
Buang kotoran 1 0:06 0,1
Melawan 0 0 0
Peubah–peubah yang diamati pada pengamatan tingkah laku kambing Betina
PE saat di kandang sebagai berikut :
1. Tingkah laku makan (ingestive), yaitu tingkah laku mengkonsumsi pakan
baik dalam bentuk padatan maupun cairan, serta tingkah laku ruminasi yaitu
suatu proses memamah kembali makanan yang berasal dari lambung dan
masih kasar kemudian dikeluarkan kembali dan dikunyah di mulut, kemudian
dicerna kembali. Apabila kambing melakukan tingkah laku makan dicatat
frekuensi dan waktunya.
2. Tingkah laku melawan (agonistic) yaitu tingkah laku perilaku agresivitas
yang mengarah pada temperamental, pertentangan. diperlihatkan dengan cara
menumbukkan tanduk, menghentakkan kaki, dan mendengus. Apabila
kambing melakukan tingkah laku melawan dicatat frekuensi dan waktunya.
3. Tingkah laku membuang kotoran yaitu perilaku membuang kotoran baik
feses maupun urin. Apabila kambing melakukan tingkah laku membuang
kotoran dicatat frekuensi dan waktunya.
4. Tingkah laku merawat diri (Care giving), kambing merawat tubuhnya dengan
cara menjilati tubuhnya dan kambing lain, menggaruk tubuhnya serta
menggosok tubuhnya sendiri kedinding kandang auto self grooming ataupun
saling menjilati allow grooming. Apabila kambing melakukan tingkah laku
merawat diri dicatat frekuensi dan waktunya.
5. Tingkah laku vokalisasi, yaitu tingkah laku mengeluarkan suara. Apabila
18 Data Pendukung
Peubah–peubah lain yang diamati sebagai data pendukung adalah mengukur
data mencatat suhu dan kelembaban di lingkungan kandang menggunakan alat
thermohigrometer diletakkan dibagian langit-langit kandang. Peletakan pengukuran
Thermohigrometer yang benar seharusnya diletakkan di dekat ternak sejajar dengan
ketinggian ternak. Pencatatan dilakukan pada pagi (06.00–08.00 WIB), siang (12.00–
14.00 WIB) dan sore hari pukul (16.00–18.00 WIB). Pengukuran fisiologi Kambing
PE. Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan cara menggunakan stetoskop
diletakan pada bagian urat nadi dibagian sela antara kaki depan dengan dada.
Pengukuran dilakukan selama 15 detik kemudian untuk menghitung jumlah denyut
nadi per menit jumlah denyut nadi hasil pengukuran dikalikan empat. Pengukuran
suhu rektum dilakukan menggunakan thermometer kliniks. Thermometer kliniks
dimasukkan ke dalam anus dengan kedalaman 5 cm kemudian dilihat suhu yang
ditunjukkan setelah bunyi tanda tertentu. Pengukuran suhu rektal dan denyut jantung
dilakukan selesai pengambilan data tingkah laku.
Rancangan dan Analisis Data
Analisis data suhu dan kelembaban menggunakan uji analisis ragam.
Sebelum dilakukan analisis ragam dilakukan terlebih dahulu uji asumsi yang terdiri
dari uji kenormalan, kehomogenan ragam, kebebasan galat, dan keaditivan, jika nilai
analisis ragam berbeda nyata di lakukan uji lanjut Tukey. Analisis data penilaian
frekuensi kejadian tingkah laku dianalisis dengan uji non parametrik Mann
Whiteney, digunakan untuk data yang mengandung unsur dengan pengukuran tidak
berulang dengan n = 2, sedangkan analisis Friedman digunakan untuk data yang
mengalami pengukuran berulang dengan perlakuan lebih dari dua, jika setelah di uji
dengan Uji Friedman berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji banding rataan atau
Multiple Comparison of Means Ranks, dengan rumus sebagai berikut :
[Ri –Rj]≤ Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5
Jika [Ri –Rj]lebih besar dari Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5, maka perbedaan Ri dan Rj adalah
19 Rumus uji Friedman :
6 ) 1 ( ) 1 )( 1 ( ; 2
/    
t db k n nk k
tH 
Rumus Uji Man Whiteney :
Data lama waktu kejadian tingkah laku dan fisiologis ternak dianalisis dengan
menggunakan uji t untuk mengetahui nilai rataan yang berbeda. Rumus uji t :
Keterangan :
t = Nilai t.
N = Banyaknya Sempel.
X = Nilai Rata–Rata
SD = Standar Deviasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Kecamatan Cimalaka memiliki populasi kambing PE sebanyak 1.858 ekor.
Keberadaan kambing PE di kecamatan Cimalaka diawali dengan adanya usaha
pemanfaatan lahan kritis, akibat penggalian tambang pasir yang merusak lingkungan.
Pemanfaatan lahan kritis yang dipelopori oleh seorang petani pelestari lingkungan,
yaitu Uha Juhari dari desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka (Hariyadi et al.,
2002). Lahan yang digunakan kelompok peternak Simpay Tampomas adalah lahan
bekas galian penambangan pasir. Luas keseluruhan dari peternakan Simpay
Tampomas adalah 20-25 hektar, dengan jumlah populasi kambing yang dipelihara
500–630 ekor ternak. Lahan di daerah penelitian berbatu, sehingga tidak bisa
ditanami oleh tanaman pangan. Tanaman yang tumbuh di daerah penelitian adalah
Calliandra haematocephala dan Gliricidia sepium. Kambing dipelihara dengan
sistem semi intensif baik di kandang alas tanah ataupun di kandang alas panggung.
Kandang di area penelitian terdiri dari kandang koloni dan kandang individu.
Kandang koloni digunakan untuk kambing betina kering, kandang betina menyusui,
kandang anakan, lepas sapih, sedangkan kandang individu digunakan untuk kambing
pejantan. Lokasi di desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten
Sumedang, bisa dilihat di peta pada gambar di bawah ini.
Sumber : www.map.google.com
21 Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi
produksi dan reproduksi ternak, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan
panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan
keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay, 1982). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa suhu dan kelembaban di lokasi penelitian tidak konstan antara siang dan
malam hari. Rataan suhu dan kelembaban yaitu 24,67±3,83oC dan 59,38%±12,90%,
akan tetapi setelah dilakukan uji T mendapatkan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05). Menurut Smith dan Mangkuwidjojo, (1988) keadaan suhu optimal dimiliki
oleh Indonesia dengan rataan harian wilayah Indonesia adalah 29 oC pada musim
hujan dan 30-32 oC pada musim kemarau sedangkan kisaran suhu dan kelembaban
optimal kambing adalah 18-300C dengan kelembaban dibawah 75%. Suhu dan
kelembaban di kedua kandang relatif sama hal ini terjadi karena pengambilan data
suhu dan kelembaban dilakukan di setiap kandang hampir bersamaan sehingga
selisih perbedaan suhu antara kandang panggung dan kandang tanah kecil.
Suhu lingkungan di kandang panggung dan kandang alas tanah masih dalam
cakupan suhu nyaman bagi ternak dengan rataan suhu yaitu 24,67±3,83 oC, dan
mempunyai kelembaban relatif rendah (59,38%±12,90%), hal ini berpengaruh
nyaman pada ternak yaitu pada saat ternak terkena heat stress, ternak cenderung
lebih mudah melepaskan uap air ke udara. Kelembaban di kandang alas tanah lebih
tinggi daripada kandang panggung karena ventilasi di dalam kandang alas tanah lebih
sedikit sehingga kandungan uap air yang ada di dalam kandang alas tanah
terperangkap sehingga mengakibatkan sirkulasi udara tidak lancar, sedangkan di
kandang panggung memiliki ventilasi yang banyak mengakibatkan kandungan uap
air di dalam kandang mudah terbawa oleh angin mempermudah dalam terjadinya
sirkulasi udara. Pada suhu lingkungan yang tinggi maka kambing berusaha
menurunkan suhu tubuhnya melalui pernafasan dan kulit (Yeates et al.,1975).
Hasil analisis ragam pada Tabel 4 di kandang panggung menunjukkan bahwa
suhu pada pagi hari nyata lebih rendah (P<0,05) daripada siang atau sore hari,
sedangkan pada siang dan sore hari setelah dilakukan uji statistik hasilnya tidak
berbeda nyata (P>0,05). Pagi hari menunjukkan suhu yang rendah karena lokasi
tempat berada di lereng gunung dan lokasi berada 800 m di atas permukaan laut
22 statistik adalah tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan suhu di kandang panggung
tertinggi pada sore hari dikarenakan lokasi kandang panggung terkena letak kandang
panggung membujur dari utara ke seletan sehingga mengakibatkan terkena radiasi
sinar matahari yang maksimal pada sore hari. Menurut Yani (2006) cekaman panas
maksimal dari radiasi matahari pada pukul 13.00–14.00 WIB dimana pada waktu
tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam. Hasil
penelitian setelah dilakukan uji statistik suhu di kandang panggung berbeda nyata
(P<0,05) dengan pagi ataupun siang hari, rataan suhu tertinggi terjadi pada siang hari
yaitu 26,86 ± 3,74 0C
Tabel 4. Rataan Suhu dan Kelembaban di Kandang Panggung dan Tanah pada Pagi, Siang, dan Sore
Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom dan jenis kandang yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Pagi (06.00-08.00 WIB), Siang (12.00-14.00 WIB), dan Sore (16.00-18.00 WIB)
Lokasi kandang panggung berada di tengah areal lahan buah naga
mengakibatkan pancaran sinar matahari lebih banyak diterima oleh kandang
panggung. Tingginya suhu lingkungan area sekitar kandang panggung dan tanah
karena lahan merupakan bekas penambangan pasir. Areal lokasi kandang terkena
sinar matahari langsung mengakibatkan terjadinya aliran panas secara radiasi
gelombang pendek. Ketika suhu lingkungan optimum, maka tubuh ternak
memproduksi panas tubuh minimum diluar suhu optimum ternak. Perolehan panas
dari luar tubuh (heat gain) akan menambah beban panas bagi ternak, apabila suhu
udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh
(heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman (Yani, 2006).
Hasil analisis ragam menunjukkan kelembaban pada kandang panggung pada
23 nyata (P<0,05) pada siang dan sore hari. Kelembaban berkaitan erat dengan suhu.
Kelembaban pada pagi hari tinggi karena suhu lingkungan pada pagi hari rendah.
Kelembaban akan turun seiring dengan kenaikan suhu. Kelembaban di kandang alas
tanah dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada sore
hari suhu dan kelembaban berbeda nyata (P<0,05) antara pagi dan siang hari dan
juga berbeda nyata (P<0,05) antara siang dan sore hari, hal ini karenapada kandang
alas tanah terdapat kanopi pepohonan sehingga mengurangi radiasi sinar matahari,
akibatnya adalah suhu pada kandang alas tanah pada sore hari lebih rendah daripada
suhu di kandang panggung. Hal ini juga mengakibatkan kelembaban tertinggi terjadi
pada kandang alas tanah. Suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan evaporasi
lambat sehingga pelepasan panas tubuh terhambat (McDowell, 1972).
Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Alas Tanah
Kandang merupakan sarana yang dibuat oleh peternak untuk mempermudah
dalam menghandling ternak. Menurut Williamson dan Payne (1993) kandang yang
baik adalah kandang yang ringan, berventilasi baik, drainase baik, dan mudah
dibersihkan. Dua tipe kandang kambing yang digunakan di daerah tropis yaitu
kandang alas tanah dan kandang panggung. Hasil data uji Mann Whiteney dan uji T
dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Hasil statistik setelah dilakukan uji Mann Whiteney
menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku agonistic pada kandang alas tanah
berbeda nyata (P<0,05) yaitu (0,61±1,21 kali/5 menit) lebih tinggi daripada kandang
panggung, akan tetapi lama waktu terjadi tingkah laku agonistic pada Tabel 6 tidak
berbeda nyata. Tingginya frekuensi tingkah laku agonistic di kandang tanah karena
di dalam kandang tanah terdapat kambing yang dominan dan subordinat. Kambing
dominan ketika melakukan tingkah laku makan cenderung mengusir kambing
subordinat dengan cara menanduk. Kambing subordinat cenderung tidak melawan
dan pergi ketika kambing dominan melakukan tingkah laku agonistic.
Kejadian ini mengakibatkan frekuensi tingkah laku agonistic banyak akan
tetapi lama waktu kejadian sedikit. Tabel 6 memperlihatkan rataan lama waktu
tingkah laku agonistic tertinggi di kandang panggung, akan tetapi setelah dilakukan
Uji T mendapatkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05), hal ini dikarenakan kambing
24 kambing melakukan tingkah laku agonistic cenderung terjadi perkelahian yang lama,
mengakibatkan lama waktu yang diperlukan untuk melakukan tingkah laku agonistic
banyak akan tetapi frekuensi kejadian tingkah laku agonistic sedikit. Menurut Craig
(1981) kambing betina memiliki sifat agonistic akan tetapi frekuensinya sangat kecil,
hal ini karena kambing betina memproduksi hormon androgen tetapi jumlahnya tidak
sebanyak yang dihasilkan oleh kambing jantan. Tingkah laku berikutnya yang
diamati adalah tingkah laku makan.
Tabel 5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah
Jenis Kandang Frekuensi Tingkah Laku Kambing
Agonistik Makan Merawat Diri Vokalisasi Eliminasi
---kali/ 5 menit---
Panggung 0,38±1,02a 2,65±2,87 2,13±2,31 0,06±0,33 0,18±0,64
Tanah 0,61±1,21b 3,24±,3,08 2,45±2,25 0,13±0,54 0,13±0,42
Keterangan : Superskrip huruf dan baris yang berbeda pada kolom yang sams menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Tingkah laku makan merupakan karakteristik hewan dari segala karakteristik.
Hewan tidak akan bisa hidup tanpa makan. Tingkah laku makan kambing cenderung
browsing, yaitu ternak tersebut suka mengambil makanannya dari semak–semak dan
daun tanaman (Ensminger, 2002). Frekuensi tingkah laku makan tertinggi terdapat di
kandang alas tanah. Akan tetapi setelah dilakukan uji Mann Whiteney menunjukkan
bahwa frekuensi tingkah laku makan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kandang
panggung dan kandang alas tanah. Kambing di kandang alas tanah cenderung banyak
melakukan frekuensi makan karena pada saat kambing subordinat makan kambing
dominan mengusir kambing subordinat dengan melakukan tingkah laku agonistic.
Tabel 6 menunjukkan lama waktu tingkah laku makan di kandang panggung
dan kandang alas tanah, hasil uji T menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05),
antara kandang panggung dan kandang alas tanah. Kambing di dalam kandang
panggung lebih tenang ketika melakukan tingkah laku makan daripada kambing di
kandang alas tanah. Temperatur lingkungan yang tinggi pada kandang alas tanah
menekan nafsu makan pada kambing. Konsumsi pakan dan produksi panas berkaitan,
25 mengurangi aktivitas kegiatannya bertujuan agar mengurangi produksi panas dalam
tubuhnya. Penurunan produksi panas dilakukan melalui penurunan konsumsi pakan,
ruminasi, dan penurunan aktivitas (Devendra dan Burn, 1994).
Tabel 6. Rataan Lama Waktu Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung dan Tanah
Jenis Kandang Lama Waktu Tingkah Laku Kambing
Agonistik Makan Merawat Diri Vokalisasi Eliminasi
---Menit/ 5 Menit---
Panggung 0,24±0,33 1,48±1,36 0,27±0,27 0,03±0,12 0,02±0,08
Tanah 0,14±0,52 1,39±0,69 0,28±0,21 0,01±0,02 0,01±0,31
Hasil uji Mann Whiteney dan uji T menunjukkan bahwa frekuensi tingkah
laku dan lama waktu kejadian merawat diri antara kandang panggung dan kandang
alas tanah tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa
kambing PE sama-sama melakukan tingkah laku merawat diri di kandang panggung
dan kandang alas tanah. Tingkah laku lain yang muncul adalah tingkah laku
vokalisasi dan eliminasi. Hasil uji statsitik tidak terjadi perbedaan antara tingkah laku
vokalisasi di kandang panggung dan kandang alas tanah. Tingkah laku vokalisasi
sering muncul bersamaan dengan tingkah laku agonistic dan tingkah laku makan.
Tingkah laku vokalisasi yang terjadi di kandang alas tanah hanya terjadi pada 2
kambing dari 8 kambing yang diamati sehingga tingginya tingkah laku vokalisasi
terjadi karena faktor individu kambing dalam merespon rangsangan dari lingkungan.
Tingkah laku yang diamati berikutnya adalah tingkah laku membuang kotoran.
Rataan tertinggi frekuensi dan lama waktu tingkah laku membuang kotoran
tertinggi berada di kandang panggung, akan tetap setelah dilakukan uji statistik Mann
Whiteney dan Uji T pada tingkah laku membuang kotoran menunjukkan tidak
berbeda nyata antara kandang panggung dan kandang alas tanah (P>0,05), hal ini
karena kambing melakukan tingkah laku membuang kotoran jarang terjadi baik di
kandang panggung dan kandang alas tanah. Hasil pengamatan diperoleh data yang
sedikit karena pada saat pengambilan data, hanya dilakukan pengambilan data
sebentar atau pada saat pengamatan bukan merupakan waktu yang tepat untuk
26 kambing melakukan tingkah laku eliminasi disamping untuk mengurangi heat stress
tetapi juga untuk membuang racun sisa dari metabolisme tubuh dan mengurangi
panas tubuh pada ternak guna dilepaskan ke lingkungan agar terjadi homeostatis
antara suhu ternak dan suhu lingkungan.
Tingkah Laku Kambing PE Betina di Tipe Kandang Panggung pada Waktu yang Berbeda
Kandang merupakan sarana dan prasarana yang digunakan untuk
memudahkan dalam menghandling ternak. Ada dua tipe kandang kambing yang
umum dipakai di daerah tropis yaitu kandang alas tanah dan kandang panggung.
Peternakan kambing di Indonesia umumnya menggunakan tipe kandang panggung.
Hal tersebut karena kandang panggung mempunyai kelebihan yaitu untuk
mengurangi pengaruh lingkungan yaitu suhu, kelembaban dan curah hujan, serta
tergantung tujuan berternak kambing untuk produksi susu atau produksi daging
(Devendra dan McLeroy, 1982). Keunggulan kandang panggung adalah mudah
dibersihkan dan mudah dalam penanganan. Perkandangan merupakan salah satu
aspek yang penting dalam pemeliharaan kambing. Perkandangan yang baik dapat
membantu penanganan ternak sehingga memperlancar usaha ternak. Kegunaan
kandang adalah membantu dan mempermudah tenaga kerja dalam melaksanakan
pekerjaannya dengan lebih efektif dan efisien, serta membantu dalam meningkatkan
konversi pakan dan laju pertumbuhan serta kesehatan ternak (Devendra dan Burn
1994). Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan frekuensi dan lama waktu tingkah laku
kambing betina PE di kandang panggung.
Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku agonistic pada
pagi hari tidak berbeda nyata (P>0,05) antara siang hari dan sore hari, akan tetapi
pada siang hari dengan sore hari berbeda nyata (P<0,05). Frekuensi tingkah laku
agonistic tertinggi di kandang panggung pada sore hari yaitu (0,68±0,24 kali/5
menit). Kambing melakukan tingkah laku agonistic dengan cara menandukkan
kepalanya ke kepala kambing lain, menandukkan kepalanya ke pagar pembatas, dan
menandukkan kepalanya ke tubuh kambing lain. Tujuan melakukan tingkah laku
agonistic untuk menentukan dominasi di kelompok. Tingkah laku agonistic berkaitan
erat dengan tingkah laku makan. Tingkah laku agonistic terjadi pada pagi hari karena
27 tingkah laku agonistic terjadi ketika ternak melakukan perebutan makanan,
perebutan wilayah, dan perebutan pasangan kawin. Hasil penelitian tingkah laku
agonistic berdasarkan lama waktu kejadian pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada
pagi hari tidak berbeda nyata dengan siang hari (P>0,05), akan tetapi pada pagi hari
berbeda nyata dengan sore hari (P<0,05), sedangkan tingkah laku agonistic pada
siang hari berbeda nyata dengan sore hari (P<0,05). Rataan tertinggi lama waktu
kejadian tingkah laku agonistic terjadi pada sore hari (0,69±0,12 menit), hal ini
menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan juga berpengaruh terhadap lama
waktu terjadinya tingkah laku agonistic.
Tabel 7. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kambing PE Betina di Kandang Panggung
Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku Kambing pada Waktu yang Berbeda
Pagi Siang Sore Rataan
---kali/ 5
menit---Agonistik 0,38±0,43ab 0,08±0,15b 0,68±0,24a 0,38±1,02
Makan 2,98±1,75a 0,43±0,35b 4,55±1,00c 2,65±2,87
Merawat diri 2,05±1,22 2,45±1,84 1,90±1,06 2,13±2,31
Vokalisasi 0,00±0,00a 0,00±0,00a 0,18±0,36b 0,06±0,33
Eliminasi 0,13±0,10 0,35±0,65 0,08±0,15 0,18±0,64
Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Pagi (06.00-08.00 WIB), Siang (12.00-14.00 WIB), dan Sore (16.00-18.00 WIB)
Hasil uji Friedman menunjukkan frekuensi tingkah laku makan pada pagi,
siang, dan sore hari berbeda nyata antara satu dengan yang lain (P<0,05), hal ini
karena manajemen pemberian pakan yang dilakukan pada pukul 14.00 WIB sehingga
membuat frekuensi tingkah laku makan cenderung tinggi pada sore hari (4,55±1,00
kali/5 menit). Tingkah laku makan juga terjadi pada pagi hari yaitu (2,98±1,75 kali/5
menit). Tujuan kambing makan pada pagi hari untuk meningkatkan suhu tubuhnya
agar terjadi keseimbangan homeostasis antara suhu tubuh ternak dengan suhu
lingkungan. Menurut Devendra dan Burns (1994), kambing mempunyai kebiasaan
makan yang berbeda dengan ruminansia lainnya. Bibirnya yang tipis mudah
digerakkan dengan lincah untuk mengambil pakan. Kambing mampu makan rumput