i
PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN
MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK
MONOPOLI
I GUSTI PUTU NGURAH SATRIAWIBAWA
1203005063
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN
MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK
MONOPOLI
I GUSTI PUTU NGURAH SATRIAWIBAWA
1203005063
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
MONOPOLI
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I GUSTI PUTU NGURAH SATRIAWIBAWA
NIM. 1203005063
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iv
PADA TANGGAL 28 APRIL 2016
Pembimbing I
Dr. I Made Sarjana, SH.,MH. NIP. 1961123111986011001
Pembimbing II
v
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor: 1556/UN14.1.11/PP.05.02/2016, Tanggal 06 Juni 2016
Ketua : Dr. I Made Sarjana, SH., MH. ...
Sekretaris: Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH. ...
Anggota :1. A. A. Sri Utari, SH., MH. ...
2. Made Suksma P. Devi Salain, SH., MH., LLM ...
vi
berjudul “KAJIAN PENGATURAN TERHADAP STANDAR PRODUK
PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK MONOPOLI” sesuai dengan harapan dalam rangka memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis tak
lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.:
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH. Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,M.H. Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana
3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., M.H. Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana
4. Bapak Dr. Gede Yusa, SH., MH. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana
5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH. Ketua Bagian Hukum
vii dengan baik.
7. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH., Dosen pembimbing II
dalam penyusunan skripsi ini atas bimbingan, saran dan petunjuk
sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.
8. Bapak I Ketut Keneng, SH,.MH., Pembimbing Akademik yang telah
memberikan waktu dan petunjuk selama masa perkuliahan penulis.
9. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Udayana, atas limpahan pengetahuannya selama penulis duduk di
bangku perkuliahan.
10. Bapak atau Ibu Pegawai Administrasi, Tata Usaha dan Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis
selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
11. Untuk orang tua penulis, I Gusti Putu Ngurah Suyadnya, S.Pd., M.Pd.
dan Anak Agung Istri Ariani yang senantiasa memberikan dukungan dan
semangat serta selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
12. Gusti Made Raka Arimbawa dan Gusti Ngurah Adi Agung selaku
saudara penulis yang selalu menemani penulis selama menyelsaikan
viii
Arista Wirdiantara, Ida Bagus Komang paramarta, teman-teman penulis
yang tergabung dalam UMCC, GenBI Bali, SCIL, dan segenap pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu,
memberi semangat, dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini
dan mengharapkan kritik juga saran yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada
khususnya.
Gianyar, 25 April 2016
ix
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun,
dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban
ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Gianyar, 25 April 2016
Yang menyatakan,
I Gusti Putu Ngurah Satriawibawa
x HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUL DALAM
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
SURAT PERSYARATAN KEASLIAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7
xi
b. Jenis Pendekatan ... 15
c. Bahan Hukum ... 16
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 17
e. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEA, STANDAR PRODUK PRIORITAS UMKM DAN MONOPOLI 2.1Pengertian Tentang MEA dan Standar Produk dalam MEA ... 19
2.1.1 Sejarah singkat MEA ... 19
2.1.2 Pengaturan Standar produk prioritas dalam MEA ... 21
2.2Pengertian Tentang UMKM dan pengaturanya di Indonesia ... 24
2.2.1 Pengertian UMKM ... 24
2.2.2 Dasar hukum UMKM ... 27
2.3Pengertian Tentang Monopoli ... 35
2.3.1 Pengertian monopoli ... 35
2.3.2 Hukum Anti Monopoli di Indonesia dan ASEAN ... 38
BAB III HARMONISASI PENGATURAN STANDAR PRODUK DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL 3.1Pengaturan Standar Produk dalam Hukum Nasional ... 54
xii
STANDAR PRODUK UNTUK MENCEGAH PRAKTIK MONOPOLI
4.1Konsep Dasar Hukum Anti Monopoli ... 75
4.2Perlindungan UMKM dalam Hukum Anti Monopoli ... 78
4.3Pengaturan Standar Produk yang dapat Mencegah Praktik Monopoli
terhadap UMKM... 84
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 87
5.2 Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 90
xiii
transparan dengan kesepakatan standar produk negara-negara ASEAN yaitu ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement. Namun pada kenyataanya belum siapnya negara negara ASEAN dalam penyeragaman standar karena perbedaan standar di setiap negara menyebabkan kesulitan dalam penyeragaman standar. Dampak buruk yang dapat terjadi dari penerapan standar yang kurang adalah pasar yang tertutup bagi perusahaan-perusaahaan yang belum mampu mencapai standar yang sudah ditetapkan sehingga pasar tertutup bagi produsen-produsen yang belum mampu memenuhi standar pasar tersebut terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari negara-negara berkembang di kawasan ASEAN belum mampu memenuhi standar dimaksud. Oleh karena itu, maka dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai permasalahan tersebut.
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum. Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan yang secara lebih luas lagi, mencakup segala ketentuan hukum yang tertulis, sehingga Konvensi, dan segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat dipandang atau diinterpretasikan sebagai sebuah Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional telah mengatur mekanisme penentuan standar produk yang baik secara nasional (SNI), begitu pula harmonisasi standar dalam ruang lingkup ASEAN
yang sedang dirintis melaui ASEAN Mutual Recognition Arrangement. Untuk
mencegah praktik monopoli khusunya yang mungkin terjadi pada UMKM, bukan standar yang harus di sesuaikan dengan UMKM, atas nama perlindungan konsumen, UMKM yang harus menyesuaikan produknya dengan standar yang ada dengan berbagai keistimewaan yang diberikan baik oleh hukum nasional begitu
pula dalam hukum internasioanal. Banyak fasilitas yang diberikan untuk
pengembangan UMKM, pemerintah seharusnya lebih giat lagi melakukan sosialisasi mengenai MEA, hak istimewa yang didapat oleh UMKM dan peluang UMKM bersaing dalam MEA, diimbangi dengan pengawasan yang setara oleh pemerintah, karena semakin besar kemudahan yang diberikan semakin besar juga kecenderungan untuk melakukan penyimpangan.
xiv
policy with product standard agreements of ASEAN countries, the ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement. The fact that ASEAN countries is not ready for standards uniformity, because of the differences standard in each country that cause difficulties in standard uniformity. The adverse effects that can occur from the implementation of standards is lacking is a market that is closed to enterprise that has not been able to reach the standards that have been defined so the market is closed to producers who have not been able to meet the standards of those markets, especially Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs) from developing countries in the ASEAN region has not been able to meet such standards. Therefore, it is necessary to do research on the issue. Type of study used in this thesis is a normative legal research consisting of research on legal principles, systematic law, and the level of synchronization of law. In this paper, the authors use the approach legislation more broadly, covering any written legal provisions, so that the Convention, and all forms of International Agreements may also be viewed or interpreted as an Act.
Govern Regulation No. 102 Year 2000 On National Standards have been set up mechanisms for determining which product standards both nationally (SNI), as well as the harmonization of standards within the scope of ASEAN, which is being piloted through the ASEAN Mutual Recognition Arrangement. To prevent monopolistic practices that may occur especially on SMEs, instead of the standard that should be adjusted by SMEs, in the name of consumer protection, SMEs must adapt its products with existing standards with the privileges granted by both national laws as well as in International law. Many of the facilities provided for the development of SMEs, the government should be more active dissemination of the MEA, the privileges gained by SMEs and the opportunities of SMEs to compete in the MEA, balanced with supervision equivalent by the government, because of the greater convenience provided the greater the tendency for irregularities.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak terbentuknya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada
tahun 1967 sebagai organisasi regional di wilayah Asia Tenggara, kerjasama ekonomi
telah menjadi salah satu agenda utama negara-negara anggota ASEAN. Pada awalnya
kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi
perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling
melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota
maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan
(1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial
Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Sekitar tahun 80-an dan
90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya
untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN
menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka
perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.
Akhirnya pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-5 ASEAN di Singapura
Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA)
pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT)
sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk
pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan
perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam
perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan
barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi.1
Sejalan dengan makin pesatnya dinamika hubungan antar-bangsa di berbagai
kawasan, pada pertemuan informal para Kepala Negara ASEAN di Kuala Lumpur
tanggal 15 Desember 1997 disepakati ASEAN Vision 2020 yang kemudian
ditindaklanjuti dengan pertemuan di Hanoi yang menghasilkan Hanoi Plan of Action
(HPA). Visi 2020 termasuk HPA berisi antara lain: kondisi yang ingin diwujudkan di
beberapa bidang, seperti orientasi ke luar, hidup berdampingan secara damai dan
menciptakan perdamian internasional.
Beberapa agenda kegiatan yang akan dilaksanakan untuk merealisasikan Visi
2020 adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ekonomi,
lingkungan hidup, sosial, teknologi, hak cipta intelektual, keamanan dan perdamaian,
serta turisme melalui serangkaian aksi bersama dalam bentuk hubungan kerjasama
yang baik dan saling menguntungkan di antara negara-negara anggota ASEAN.
Selanjutnya pada KTT ASEAN ke 9 di Bali pada tahun 2003 dihasilkan Bali Concord
II, yang menyepakati pembentukan ASEAN Community untuk mempererat integrasi
ASEAN. Terdapat tiga komunitas dalam ASEAN Community yang disesuaikan dengan
tiga pilar di dalam ASEAN Vision 2020, yaitu pada bidang keamanan politik (ASEAN
Political-Security Community), ekonomi (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dan sosial
budaya (ASEAN Socio-Culture Community). Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan dalam ASEAN Vision
2020, adalah "To create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic
region which there is free flow of goods, services, investment, skill labor and freer flow
of capital, equitable economic development and reduced poverty and socio-economic
disparities in year 2020”
KTT ke-10 ASEAN di Vientiene tahun 2004 antara lain menyepakati Vientiane
Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung implementasi
pencapaian AEC di tahun 2020. ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala
Lumpur bulan Agustus 2006 menyetujui untuk membuat suatu cetak biru (blueprint)
untuk menindaklanjuti pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dengan
mengindentifikasi sifat-sifat dan elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten
dengan Bali Concord II dan dengan target-target dan timelines yang jelas serta
pre-agreed flexibility untuk mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.
KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati
2015”. Dalam konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah
menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun” Cetak Biru AEC”. Cetak Biru
AEC tersebut berisi rencana kerja strategis dalam jangka pendek, menengah dan
panjang hingga tahun 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu2 :
1. Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk
sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal);
2. Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi
(regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);
3. Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region
of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI); dan
4. Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren
dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam
global supply network).
Berlakunya MEA 2015, berarti negara-negara ASEAN menyepakati
perwujudan integrasi ekonomi kawasan yang penerapannya mengacu pada AEC
Blueprint. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota ASEAN
dalam mewujudkan AEC 2015.3 Dengan 12 sektor prioritas, yakni: produk-produk
berbasis pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, poduk berbasis karet, tekstil dan
pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata, dan
logistik dengan kebijakan yang jelas dan transparan dengan kesepakatan standar
internasional negara ASEAN yaitu ASEAN Agreed Version Standards (AAS), sebagai
dasar penyamaan standar produk untuk ke-12 sektor prioritas tersebut.
Mengenai penyamaan standar sebenarnya sudah dibahas sebelumnya dalam
Mutual Recognition Arrangement (MRA) pada tahun 1998 dalam Asean Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement, yaitu suatu kesepakatan pengakuan
terhadap produk-produk tertentu untuk memudahkan proses ekspor impor sehingga
tidak memerlukan proses pengujian kembali karena memang sudah memakai standar
yang sama. Terbentuknya MRA dilatarbelakangi oleh terhambatnya ekspor suatu
komoditi ke suatu negara akibat peraturan teknis/standar yang diberlakukan oleh
negara importir, sehingga untuk menjembatani kegiatan ekspor/impor agar tidak
menghadapi hambatan baik berupa tingginya biaya yang ditimbulkan dan
keterlambatan sampainya barang di tangan konsumen sebagai akibat adanya
pemeriksaan di pelabuhan tujuan, maka ditempuhlah penyamaan standar dengan MRA.
Namun pada kenyataanya belum siapnya negara negara ASEAN dalam
penyeragaman standar karena perbedaan standar di setiap negara menyebabkan
3 Humphrey Wangke, 2014, Info Singkat Hubungan Internasional “Kajian Singkat terhadap
kesulitan dalam penyeragaman standar. Misalnya saja Indonesia dengan kesiapan
harmonisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap ASEAN Agreed Version
Standards (AAS); dengan kategori SNI telah tersedia, memiliki acuan yang sama dengan AAS dan dengan metode adopsi identik atau modifikasi hanya diperoleh 39%
dari total 228 AAS. Dengan perincian kesipan SNI per sektor, adalah: peralatan elektrik
dan elektronik (EEE) diperoleh 42,8%, produk berbahan dasar kayu (Wood Based
Product) diperoleh 62% produk berbahan dasar karet (Rubber Based Product)
diperoleh 38%, dan peralatan kesehatan (Medical Device) diperoleh 3%. Ketiga negara
pembanding di ASEAN (Singapore, Loao PDR dan Myanmar) juga menunjukan
kesiapan standar nasional yang rendah namun memiliki kebijakan untuk mengadopsi
AAS4. Dampak buruk yang dapat terjadi dari penerapan standar yang kurang adalah
pasar yang tertutup bagi perusahaan-perusaahaan yang belum mampu mencapai
standar yang sudah ditetapkan sehingga pasar tertutup bagi produsen-produsen yang
belum mampu memenuhi standar pasar tersebut. Dalam hal ini terdapat kemungkinan
terjadinya praktik monopoli yang disebabkan oleh penerapan standar, sementara di sisi
lain para produsen terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari
negara-negara berkembang di kawasan ASEAN belum mampu memenuhi standar dimaksud.
Oleh karena itu, maka dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai
permasalahan tersebut di atas. Adapun bentuk penelitian tersebut dituangkan dalam
bentuk skripsi berjudul: “KAJIAN PENGATURAN TERHADAP STANDAR PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK MONOPOLI “
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditemukan beberapa
masalah yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah harmonisasi pengaturan standar produk menurut Hukum
Nasional maupun Internasional?
2. Bagaimanakah pengaturan standar produk prioritas usaha kecil mikro dan
menengah dalam masyarakat ekonomi asean yang dapat mencegah praktik
monopoli?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam usulan penelitian ini penulis menentukan ruang lingkup masalah yang
ingin dipecahkan adalah bagaimana Bagaimana penerapan standar produk dalam
masyarakat ekonomi asean dapat menyebabkan praktik monopoli.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan penulis, belum ditemukan
persaingan usaha dalam ruang lingkup ASEAN namun penulis belum menemukan
tulisan yang membahas tentang praktik monopoli dalam ruang lingkup MEA. Namun
dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiarisme dalam dunia pendidikan
Indonesia maka penulis akan menampilkan tulisan tersebut yaitu “Kajian Yuridis
Terhadap Kedudukan Advokat Asing di Indonesia dengan Keberadaan Masyarakat
Ekonomi ASEAN.” Oleh mahasiswa Fakultas hukum Universitas Sumatra Utara. Bila
kedepanya ditemukan penelitian yang mirip dengan penelitian penulis maka akan
ditampilkan sebagai pembanding.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan
penulis terjamin orisinalitasnya, dikarenakan memang belum ditemukan tulisan lain
yang mirip dengan tulisan penulis.
1.5 Tujuan Penelitian
Dalam menentukan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, maka
berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan ruang lingkup masalah,
serta untuk mendapatkan data-data dan informasi atau keterangan-keterangan, maka
peneliti mempunyai tujuan sebagai berikut yaitu :
a. Tujuan Umum
1. Untuk menganalisis pembentukan suatu standar produk dalam perdagangan
2. Untuk menganalisis bagaimana standar produk dalam hukum internasional
yang dapat menyebabkan praktik monopoli.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk lebih mengetahui dan memahami harmonisasi pengaturan dalam
standar produk dalam Hukum Nasional maupun Hukum Internasional serta
prinsip-prinsip atau asas-asas Hukum Nasional maupun Internasional yang
berkaitan dengan penerapan standar produk.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan standar produk dalam masyarakat
ekonomi ASEAN yang dapat mencegah praktik monopoli?
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan hasil penelitian ini dapat
menambah dan memperkaya Ilmu Pengetahuan Hukum. Ilmu Pengetahuan Hukum
yang dimaksud adalah Hukum Internasional maupun Hukum Bisnis Internasional
mengenai konsekuensi penerpaan standar produk terkait praktik monopoli .
b. Manfaat Praktis
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberi manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pihak yang mendalami bidang
Hukum Internasional maupun Hukum Bisnis Internasional dan pihak yang terlibat
yang baik demi kepentingan tercapainya tujuan dari Masyarakat Ekonomi Asean itu
sendiri.
1.7Landasan Teoritis
a. Dasar Perlindungan Usaha dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
Undang-undang anti monopoli harus dapat mendukung terwujudnya
struktur ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan,5 dan dalam ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ciri
khas dari demokrasi ekonomi itu sendiri adalah perekonomian yang
diwujudkan oleh semua anggota masyarakat dan harus mengabdi pada
kesejahtraan seluruh rakyat. Negara dalam hal ini harus menciptakan suatu
peraturan persaingan usaha untuk mencapai suatu demokrasi ekonomi sesuai
pasal 33 ayat (1) dan (4) UUD 1945, yang dalam hal ini telah terwujud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan
hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di
dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang
ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan
pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta
sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.
b. Teori Kebebasan Berdagang
Berdasarkan teori ini setiap negara memiliki kebebasan untuk berdagang
dengan setiap orang atau setiap negara di mana pun di dunia ini. Kebebasan ini tidak
boleh terhalang dengan alsan sistem ekonomi negara, ideologi ataupun politik yang
berbeda dengan negara lainnya.
Menurut Schwarzenberger, kebebasan berdagang ini sudah tampak sejak daulu,
misalnya di Inggris, ketika negara tersebut mengeluarkan Magna Charta (1215). Pada
saat itu Raja Inggris (King John) mengeluarkan Magna Charta untuk memberi
kebebasan berdagang kepada pedagang asing (termasuk bangsawan dan para pemimpin
dihadapkan ke pengadilan.6 Sejak Abad ke -12 dan sterusnya, penerapan prinsip ini
masih berkembang.
Perkembangan penting tampak ketika pemerintah Inggris mengirimkan surat
resmi (British State Paper) kepada pemerintah Spanyol pada tanggal 8 Maret 1872.
Surat tersebut berisi penegasan pemerintah Inggris untuk memberikan kebebasan
kepada semua orang asing untuk tinggal di Inggris. Surat tersebut juga memuat jaminan
perlakuan hukum yang sama kepada orang asing seperti halnya warga negara Inggris.
Pernyataan tersebut antara lain berbunyi :
“ By the exsisting law of Great Britain all forigners have the unstestritired right of entrance the residence in this country and, ehile they remain in it, are, equally with British subjects, under the protection of law, and under the sentence of the ordinary Tribunal of Justice, after a public trial, and on a conviction founded on evidence given in open court. No foreigners, as such, can be sent out of this country by the executive government, except persons removed by virtue of treaties with other states, confirmed by Act of Parialment, for the mutual surrender of criminal offender”.7
Pernyataann Pemerintah Inggris tersebut mengandung 4 prinsip penting yaitu :
1. Semua warga negara asing memiliki hak tak terbatas untuk masuk dan tinggal
di wilayah Inggris.
2. Pemerintah Inggris akan memperlakukan dan melindungi warga negara asing
sebagaimana warga negaranya.
6 Geroge W. Keeton dan Georg Scwarzenberger, 1967, A Manual of International Law, London, Steven and Sons, h.109.
3. Warga negara asing tidak akan dihukum kecuali mereka melangga rhukum
yang diputus oleh Pengadilan melalui proses peradilan yang adil dan terbuka.
4. Pemerintah Inggris tidak akan mengusir orang asing kecuali berdasarkan
perjanjian (ekstradisi) dengan negara lain sehubungan dengan tindakan
kejahatan yang dilakukanya.
c. Teori Perlakuan Sama (Identical Treatment)
Teori ini pun sudah ada sejak dahulu kala. Berdasarkan teori ini dua raja sepakat
untuk secara timbal balik memberikan perlakuan yang sama terhadap para pedangang.
Menurut Schawarzenberger, prinsip ini tampak dalam hukum kekebalan diplomatik
yang juga menganut prinsip timbal balik. Dalam hal ini pemberian perlakuan yang
sama yang sifatnya timbal balik berada sepenuhnya kepada wewenang atau
kebijaksanaan para penguasa kedua negara.8
Dewasa ini prinsip dasar ini lebih dikenal dengan resiproritas (reciprocity).
Perlakuan yang sama demikian biasanya tertuang dalam suatu perjanjian, baik yang
sifatnya multilateral maupun bilateral. Oliver Long menganggap resiprositas sebagai
suatu prinsip fundamental dalam perjanjian General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT).9 Prinsip resiprositas ada dalam paragraf ke-3, Preambule GATT, yag
berbunyi : “being desirous of contributing to those objectives by entering into
reciprocal and mutually advantageous arrangement directed to the substantial
8Ibid, h.219.
reduction of tariffs and other barriers to trade and to the elimination of discriminatory treatment in international commerce”.10
1.8 Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah pemecahan masalah yang
didasarkan pada literature-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas beranjak dari adanya kesenjangan dalam notma
atau asas hukum, dengan menggunakan landasan teoritis dan bahan hukum yang terdiri
atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. Landasan teoritis yang
digunakan merupakan undang-undang, norma-norma maupun teori-teori teori yang
sesuai dengan pernasalahan yang diangkat.
Penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas
hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.11 Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode normatif karena pene litian ini mempelajari bahan-bahan
hukum sebagai acuan dalam penelitian. Peraturan perundang-undangan, dikaji
berdasarkan teori-teori dan ketentuan hukum yang mengaturnya.
10 Huala Adolf, 2005, Hukum Ekonomi Internasioan Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, h. 19.
Penelitian hukum normatif yang mengacu pada bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum
yang mempunyai ketentuan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau
mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi,
dokumen hukum, dan putusan hakim). Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum
yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal
hukum, laporan hukum dalam media cetak maupun elektronik). Sedangkan bahan
hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia).
b. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang
sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang
digunakan di dalam penelitian hukum adalah:12
1. Pendekatan undang-undang (statute approach)
2. Pendekatan kasus (case approach)
3. Pendekatan historis (historical approach)
4. Pendekatan komparatif (comparative approach)
5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan.
Mengenai perundang-undangan, dalam Hukum Internasional tidaklah terdapat
Undang-Undang, sehingga makna Undang-Undang tersebut perlu diinterpretasikan
secara lebih luas lagi, mencakup segala ketentuan hukum yang tertulis, sehingga
Konvensi, dan segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat dipandang atau
diinterpretasikan sebagai sebuah Undang-Undang.
c. Bahan Hukum
Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber
yang digunakan berupa bahan hukum, yang terdiri atas :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersufat autoratif yang
artinya mempunayi otoritas.13 Bahan hukum primer dalam karya tulisan ini
terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam :
1. ASEAN Framework Agrement on Mutual Recognition Arrangements, 1998);
2. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat;
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi
bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri
dari buku-buku, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan
internet yang berkaitan dengan rumusan masalah.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum
primer maupun sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini terdiri
atas Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus
Hukum, dan Ensiklopedia.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian
ini adalah teknik studi dokumen dengan card system yaitu dengan cara mencari
bahan-bahan di dalam buku-buku terkait untuk dibaca serta dicatat kembali dalam kartu
kutipan untuk mencatat dan mengutip sumber bahan hukum yang digunakan dengan
mencari ikhtisar dari sumber bahan hukum yang dianggap penting dan digunakan
sebagai ulasan guna menjawab permasalahan.14 untuk disusun secara sistematis sesuai
dengan bahasan dalam penelitian ini.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan hukum yang dibantu
dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.15 Adapun teknik pengolahan
bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan
teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder apa adanya.16 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya
diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya
diajukan argumentasi. Argumentasi di sini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan
preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut
hukum atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hasil tersebut nantinya akan
ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan
hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.
Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan
secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya
membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. 17
15 Mukti Fajar MD dan Yulianto Acmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 183.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN, STANDAR PRODUK USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN
MONOPOLI
2.1Pengertian Tentang MEA dan Standar Produk dalam MEA
2.1.1 Sejarah Singkat MEA
Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur
menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia
Tenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk
mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil,
sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang,
pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara
negara-negara anggotanya.1 Komitmen untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN
(ASEAN Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian
semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali
Oktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, dimana para pemimpin
ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sebagai tujuandari integrasi ekonomi kawasan pada 2020.2
Dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Economic Ministers
Meeting–AEM) yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, komitmen yang kuat menuju terbentuknya integrasi ekonomi kawasan ini
diejawantahkan ke dalam gagasan pengembangan sebuah cetak biru menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang kemudian secara terperinci disahkan dan diadopsi
oleh seluruh negara anggota ASEAN pada November 2007. Bahkan, sebelumnya
dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007, komitmen yang kuat para
pemimpin negaranegara ASEAN terhadap pembentukan MEA ini, semakin tercermin
dari disepakatinya upaya percepatan terwujudnya komunitas tersebut pada tahun 2015.
Pada pertemuan tersebut, para pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat
pembentukan MEA pada tahun 2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah
kawasan dimana barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan arus modal dapat
bergerak dengan bebas.3
MEA tahun 2015 merupakan suatu program bagi negara-negara ASEAN untuk
lebih meningkatkan kualitas ekonomi khususnya perdagangan sebagaimana terdapat
dalam ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint yang menjadi arahan atau acuan
2 ASEAN Concord II /Bali Concord II, ttp://www.aseansec.org/15159.htm, (diakses 3 Januari 2016).
3 Masnur Tiurmaida Malau, 2014, Aspek Hukum Peraturan dan Kebijakan Pemerinta Indonesia
perwujudan MEA 2015.4 MEA yang akhirnya disepakati pada Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) ASEAN ke-19 yang diselenggarakan di Bali, 17 November 2011 ini
telah merumuskan kesepakatan bersama para pemimpin negara-negara ASEAN berupa
pencapaian Masyarakat ASEAN yang dimulai dengan penerapan MEA pada 2015.
Area kerjasama MEA meliputi pengembangan sumber daya manusia dan
peningkatan kapasitas, pengakuan kualifikasi profesional, konsultasi lebih dekat pada
kebijakan makro ekonomi dan keuangan, langkah-langkah pembiayaan perdagangan,
peningkatan infrastruktur dan konektivitas komunikasi, pengembangan transaksi
elektronik melalui e-ASEAN, mengintegrasikan industri di seluruh wilayah untuk
mempromosikan sumber daya daerah, dan meningkatkan keterlibatan sektor swasta
untuk membangun AEC.5
2.1.2 Pengaturan Standar Produk Prioritas dalam MEA
MEA bertujuan membentuk ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi
yang menggerakkan para pelaku usaha, suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi
yang merata, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi serta kawasan yang
terintegrasi penuh dengan ekonomi global.6 Dari pendasaran tujuan ini tampak bahwa
4 ASEAN Economic Community Blueprint,ttp://www.aseansec.org/21083.pdf, (diakses 8 September 2014).
5 Moamed Jawar assan, 2014, Te Resurgence of Cina and India, major Power Rivalry and Te
Response of ASEAN, dalam adi Soesastro dan Clara Joewono (eds.), Te Inklusif Regionalist, Centre for Strategic and International Studies Indonesia, Jakarta, 2007, h. 139.
6 Budianto Tedjasuksmana, Potret Umkm Indonesia Mengadapi Masyarakat Ekonomi Asean
2015, Te 7t NCFB and Doctoral Colloquium 2014 Towards a New Indonesia Business Arcitecture Sub Tema: “Business and Economic Transformation Towards AEC 2015” Fakultas Bisnis dan
akan timbul berbagai aliran investasi, penghapusan tarif dan faktor-faktor lain secara
progresif, yang dapat dituangkan dalam prosedur, kebijakan, regulasi dan peraturan
lainnya di dalam upaya mengurangi hambatan-hambatan demi kemajuan bersama,
salah satunya adalah dengan sertifikasi dan harmonisasi standar atas produk dan jasa,
sebagai wujud perlindungan terhadap konsumen juga perlakuan yang adil kepada tiap
produsen yang ingin masuk ke pasar.
Harmonisasi standar adalah harmonisasi standar-standar dan regulasi teknis
yang ada di masing-masing negara anggota ASEAN dengan mengacu kepada standar
Internasional.7 Pada 1997, AFTA Council telah mengidentifikasi dan menentukan 20
produk, sebagian besar merupakan produk atau komponen elektronik dan mesin yang
mengacu pada 59 standar internasional yang mecakup ISO (Intenational Standard
Organization, IEC (International Electrotechnical Commision) dan ITU (International
Telecomunication Union). Pada tahun 1998, para pemimpin ASEAN menandatangani ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arragement (ASEAN MRA),
yang akan menjadi dasar bagi pengembangan dan implementasi Mutual Recognition
Arragement (MRA) sektoral.8 MRAmerupakan suatu perjanjian yang akan membantu dunia industri di ASEAN mengurangi duplikasi dalam pengetesan dan sertifikasi
produk sehingga regulator di negara importir akan dapat mempercayai hasil tes dan
sertifikasi yang dekeluarkan oleh negara eksportir terkait dengan produk yang di
7 Winantyo, 2008, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 Memperkuat Sinergi ASEAN di
ekspor, tidak perlu lagi melakukan pengecekan dan sertifikasi ulang di negara
importir.9 Selain merupakan bentuk penyederhanaan birokrasi yang dapat mengurangi
biaya, harmonisasi standar juga merupakan suatu bentuk perlindungan konsumen
dimana konsumen bisa percaya pada kualitas suatu produk karena memang sudah
memiliki standar yang sama. Sejak tahun 2002 telah ditetapkan beberapa MRAuntuk
perdagangan barang, jasa, dan tenaga kerja.
Pada perdagangan barang misalnya, dalam rangka memperlancar arus bebas
barang salah satunya perlu dilakukan harmonisasi standar dan kesesuaian (standard &
conformance). Oleh karena itu ASEAN melalui ASEAN Consultative Committee on Standards & Quality (ACCSQ) berusaha untuk menyelaraskan standar-standar nasional
dengan standar internasional dan mengimplementasikan MRA untuk meraih tujuan
akhirnya yaitu “One Standard, One Test, Accepted Everywhere”10.
Seperti yang terjadi pada perdagangan barang, liberalisasi juga terjadi pada
perdagangan jasa. Dalam liberalisasi perdagangan jasa di ASEAN dilakukan melalui
mekanisme ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). AFAS ditandatangani
oleh para Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN pada tanggal 15 Desember 1995
pada 5th ASEAN Summit di Bangkok. Implementasi AFAS dilakukan dalam bentuk
paket skedul komitmen yang dicapai pada setiap putaran perundingan.11
9Ibid, h.109
10 ASEAN MRA, ttp://www.aseansec.org/23075.htm (diakses 16 Januari 2016)
2.2Pengertian Tentang UMKM dan Pengaturanya di Indonesia 2.2.1 Pengertian UMKM
Pada pokoknya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan
bentuk usaha yang dalam skala kecil dan tidak dalam sifat industri besar dan berat. Ada
dua tujuan mengenai pendefinisian yang jelas mengenai UMKM, yaitu tujuan
administratif dan pengaturan; serta tujuan yang berkaitan dengan pembinaan.12 Tujuan
pertama berkaitan dengan ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan memenuhi
kewajibannya, seperti membayar pajak, melaksanakan tanggungjawab sosial dan
lingkungan, serta mematuhi ketentuan ketenagakerjaan seperti keamanan dan hak
pekerja lainnya. Sedangkan tujuan yang berkaitan dengan pembinaan, lebih pada
pembuatan kebijakan yang terarah seperti upaya pembinaan, peningkatan kemampuan
teknis, serta kebijakan pembiayaan untuk UMKM.13
Pada tanggal 26 Desember telah disahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1995 Tentang Usaha Kecil yang membedakan usaha kecil dengan usaha menengah.
Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan yang antara lain:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
12Bank Indonesia, “Kajian UMKM-BI”, ttp://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/4662D18E-B190- 431F-B4B6C93D5BF8F31/23554/BukuKajianAkademikKelayakanPendirianLembagaPemerin.pdf (diakses tanggal 14 Januari 2016)
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu
milyar rupiah);
c. milik Warga Negara Indonesia;
d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;
e. berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau
badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi.
Sedangkan, definisi usaha menengah dan usaha besar adalah kegiatan ekonomi
yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan lebih besar daripada
kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil. Undang Undang Tentang
Usaha Kecil tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria apa saja yang termasuk
dalam usaha menengah dan usaha besar, hanya menyebutkan bahwa usaha menengah
dan besar memiliki kekayaan dan hasil penjualan bersih lebih besar dari usaha kecil
yang sudah ditentukan kriterianya.
Namun pada tanggal 4 Juli 2008 telah disahkan undang-undang baru yang
mengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, yakni Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Adanya undang-undang baru
ini karena adanya pertimbangan adanya pemberdayaan ekonomi rakyat yang
perekonomian nasional. UndangUndang Tentang Usaha Mikro, Menengah, dan Besar
telah membedakan besaran usaha menjadi, usaha mikro, kecil, dan menengah.
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha
Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah)
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha
Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagai
berikut:
a. memiliki kekayaan bersih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
2.2.2 Dasar Hukum UMKM
1. Pengaturan UMKM sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
Istilah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pertama kali diperkenalkan pada
tanggal 4 Juli 2008 pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Sebelum UU Tentang UMKM tersebut berlaku,
Indonesia menggunakan istilah Usaha Kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
Dalam Undang-Undang Tentang Usaha Kecil, Pemerintah diatur untuk
menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil melalui penetapan peraturan
a. Pendanaan;
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek pendanaan dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk:
a) memperluas sumber pendanaan;
b) meningkatkan akses terhadap sumber pendanaan;
c) memberikan kemudahan dalam pendanaan.
b. Persaingan;
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
a) meningkatkan kerja sama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi,
asosiasi, dan himpunan sekelompok usaha untuk memperkuat posisi
tawar usaha kecil;
b) mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan
yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang
merugikan usaha kecil;
c) mencegah terjadinya pernguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh
orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan usaha kecil.
c. Prasarana;
Pemerintah menumbuhkan iklan usaha dalam aspek prasarana dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk:
a) mengadakan prasarana umum yang mendapat dorongan dan
b) memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi usaha kecil.
d. Informasi;
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek informasi dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
a) membentuk dan memanfaatkan bank data dan jaringan informasi bisnis;
b) mengadakan dan menyebarkan informasi mengenai pasar, teknologi,
desain, dan mutu.
e. Kemitraan;
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek kemitraan dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
a. mewujudkan kemitraan;
b. mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan usaha kecil dalam pelaksanaan
transaksi usaha dengan usaha menengah dan usaha besar.
f. Perizinan usaha;
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha
dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
a) menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan mengupayakan
terwujudnya sistem pelayanaan satu atap;
b) pelaksanaan transaksi usaha dengan usaha menengah dan usaha besar.
g. Perlindungan.
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan dengan
a) menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di
pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat,
lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki
lima, serta lokasi lainnya;
b) mencadangkan bidang dan jenis kegiaan usaha yang memiliki kekhususan
proses, bersifat padat karya, serta mempunyai nilai seni budaya yang
bersifat khusus dan turun temurun;
c) mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan usaha kecil melalui
pengadaan secara langsung dari usaha kecil;
d) mengatur pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja pemerintah;
e) memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
2. Pengaturan Hukum Mengenai UMKM Setelah UU Nomor 20 Tahun 2008
UMKM telah membuktikan dirinya tangguh menghadapi krisis ekonomi
periode 1997/1998 maupun krisis ekonomi periode 2008/2009. Hal itulah yang menjadi
dasar pemikiran bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah merupakan
salah satu upaya strategis dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat
Indonesia.14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 disahkan dengan tujuan agar
setiap bentuk usaha mendapatkan keadilan usaha dengan adanya pengelompokan usaha
menjadi: usaha mikro; usaha kecil; dan usaha menengah. Berbeda dengan
14Admin www.ekon.go.id, “Peran & Tantangan Mikrofinance Dalam Membangun
Bangsa Indonesia Melalui Kebangkitan UMKM.”
Undang Nomor 9 Tahun 1995 yang hanya fokus pada usaha kecil saja yang dinilai
kurang memenuhi kebutuhan usaha-usaha yang memiliki berbagai skala yang
berbeda-beda berdasarkan kekayaan bersih atau hasil penjualan setahun. Usaha mikro, kecil,
dan menengah tidak jauh berbeda dengan bentuk usaha lainnya yang membutuhkan
iklim usaha yang menunjang perkembangan usaha dari usaha kecil, kecil, dan
menengah. Undang-Undang Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengatur
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menumbuhkan iklim usaha dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:
a. Pendanaan ;
Aspek pendanaan ditujukan untuk:
a) memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi usaha mikro, kecil, dan
menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan
bukan bank;
b) memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya
sehingga dapat diakses oleh usaha mikro, kecil, dan menengah;
c) memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara tepat, tepat,
murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
d) membantu para pelaku usaha mikro dan kecil untuk mendapatkan
pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh
sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang
disediakan oleh Pemerintah.
b. Sarana dan prasarana;
Aspek sarana dan prasarana ditujukan untuk:
a) mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan
pertumbuhan usaha mikro dan kecil; dan
b) memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi usaha mikro dan kecil.
c. Informasi Usaha
Aspek informasi usaha ditujukan untuk:
a) membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank data dan jaringan
informasi bisnis;
b) mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber
pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan
c) memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atas segala informasi usaha.
d. Kemitraan
Aspek kemitraan ditujukan untuk:
a) mewujudkan kemitraan antar usaha mikro, kecil, dan menengah;
b) mewujudkan kemitraan antar usaha mikro, kecil, dan menengah, dan
usaha besar;
c) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam
d) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam
pelaksanaan transaksi usaha antara usaha mikro, kecil, dan menengah
dan usaha besar;
e) mengembangkan kerja sama untuk meningkatkan posisi tawar usaha
mikro, kecil, dan menengah;
e. Perizinan Usaha;
Aspek perizinan usaha ditujukan untuk:
a) menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem
pelayanan terpadu pintu; dan
b) membebaskan biaya perizinan bagi usaha mikro dan memberikan
keringanan biaya perizinan bagi usaha kecil.
f. Kesempatan Berusaha;
Aspek kesempatan berusaha ditujukan untuk:
a) menentukan peruntukkan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi
di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat,
lokasi pertambangan rakyat, lokasi wajar bagi pedagang kaki lima, serta
lokasi lainnya;
b) menetapkan alokasi waktu berusaha untuk usaha mikro dan kecil di
subsektor perdagangan retail; mencadangkan bidang dan jenis kegiatan
usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat padat karya, serta
c) menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil,
dan menengah serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar
dengan syarat harus kerja sama dengan usaha mikro, kecil, dan
menengah;
d) melindungi usaha tertentu yang strategis untuk usaha mikro, kecil, dan
menengah;
e) mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan oleh usaha mikro
dan kecil melalui pengadaan secara langsung;
f) memprioritaskan pengadaan barang dan jasa dan pemborongan kerja
pemerintah dan pemerintah daerah;
g) memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
g. Promosi Dagang
Aspek promosi dagang ditujukan untuk:
a) meningkatkan promosi produk usaha mikro, kecil, dan menengah di
dalam dan di luar negeri;
b) memperluas sumber pendanaan untuk promosi produk usaha mikro,
kecil, dan menengah di dalam dan di luar negeri;
c) memberikan insentif dan tata cara pemberian insentif untuk usaha
mikro, kecil, dan menengah yang mampu menyediakan pendanaan
secara mandiri dalam kegiatan promosi produk di dalam dan di luar
d) memfasilitasi pemilikan hak atas kekayaan intelektual atas produk dan
desain usaha mikro, kecil, dan menengah dalam kegiatan usaha dalam
negeri dan ekspor.
h. Dukungan Kelembagaan
Aspek dukungan kelembagaan ditujukan untuk mengembangkan dan
meningkatkan fungsi inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha,
konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai
lembaga pendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah.
2.3Pengertian Tentang Monopoli 2.3.1 Pengertian Monopoli
Monopoli menurut bahasa sebagaimana terdapat dalam Ensiklopedi Indonesia,
bahwa kata monopoli berasal dari Bahasa Yunani, yaitu monopol ; dari akar kata
Pooleoo yang berarti menjual.15
Adapun pengertian monopoli secara terminologi (istilah ) ada beberapa
pendapat yaitu:
1. Menurut DR. Yusuf Qardhawi, monopoli adalah: “Menahan barang
untuk tidak beredar di pasar supaya naik harganya.”16
2. Menurut Undang-undang RI No.5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mengartikan
15 Hassan Sadily (ed), Ensiklopedi Indonesia, Ictiar–Van oeve, Jakarta, 1983, h. 2283.
bahwa monopoli adalah: “Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atas penggunaan jasa tertentu oleh satu kelompok pelaku
usaha.”
3. Menurut DR. Boediono dalam bukunya Ekonomi Mikro, monopoli
didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana di dalam pasar hanya ada
satu penjual sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya.17
4. Menurut T. Guritno, dalam Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan,
monopoli adalah: “Penguasaan tunggal oleh satu-satunya atau beberapa
pemasok (baik pembuat atau penjual) atas suatu wilayah pasar atau
industri tertentu.” Lebih lanjut menjelaskan bahwa dengan memegang
monopoli pemasok dapat mendiktekan harga dan syarat penjualan
kepada pembeli.18
5. Menurut Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum, monopoli adalah
“Seorang penjual atau suatu badan usaha yang menguasai pasar atau
perdagangan.”19
17 Boediono, 1998, Ekonomi Mikro, BPFE, Yogyakarta, 1998, h. 125.
18 T. Guritno, 1997, Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, Gadja Mada University Press, Yogyakarta, 1997, h, 272.
Sebagai perbandingan dari pengertian berdasarkan beberapa pendapat
sebelumnya, secara akademis pengertian monopoli berdasarkan Black Law
Dictionary:20
”Monopoly. A priviledge or peculiar advantage vested in one or more presons
or companies, consisting in the exclusive rights (or power) to carry on a
particular business or trade, manufacture a particular comodity. A form of market structure in which one or only a few firms dominate the total sales of a
product or sevices.
Monopoly as prohibited by section 2 of Sherman Antitrust Act has two elements: possession of monopoly power in relevant market and willful acquisition or
maintain power to exclude competitors from any part of trade or commerce, provided they also have such power that they are able, as group, to exclude
actual or potential competition and provided that they have intent and purposes to exercrise that power.
Natural Monopoly; Natural Monopoly is one result where one firm of efficient size can produced all or more than market can take as remunerative pices.”
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa monopoli dapat
terjadi bila hanya satu pelaku yang mempunyai kontrol terhadap pasokan barang atau
jasa di suatu pasar, begitu pula terhadap penentuan harganya. Dengan tidak adanya
pesaing monopoli merupakan pemusatan kekuatan pasar di satu tangan, secara lebih
longgar pengertian monopoli juga mencakup struktur pasar di mana terdapat beberapa
pelaku, namun karena perananya yang begitu dominan maka dari segi praktis
pemusatan kekuatan pasar ada di satu pelaku saja.21
2.3.2 Hukum Anti Monopoli di Indonesia dan Asean 1. Hukum Anti Monopoli di Indonesia
a. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN
Dalam membahas sistem perekonomian secara normatif, kita selalu menunjuk
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari 3 ayat, dimana ayat (1) berbunyi
sebagai berikut : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Dan dalam ayat (4) : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Berdasarkan pasal tersebut
terlihat jelas bahwa dalam Undang-Undang dasar 1945 unsur-unsur anti monopoli.
Didalam Garis-garis Besar Haluan Negara Repulik Indonesia yang disusun
sejak tahun 1973 sampai dengan 1998 (jaman Orde Baru), sebenarnya telah terdapat
benih-benih upaya pemerintah untuk memberikan rambu-rambu, yang merupakan
upaya pencegahan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
antara lain terdapat dalam Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, BAB
III bagian B, Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, pada bidang
pembangunan ekonomi, sub bidang usaha swasta dan usaha golongan ekonomi lemah,
point a, Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1983 tentang GBHN pada BAB IV bidang
Pembangunan Ekonomi, angka 9 Dunia Usaha Nasional dan Usaha Ekonomi Lemah
point a dan b, Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1988 tentang GBHN pada bidang
pembangunan ekonomi sub bidang dunia usaha nasional pada point a dan b, Ketetapan
MPR RI No. II/MPR/1993 tentang GBHN pada bidang pembangunan ekonomi, sub
bidang perdagangan point a dan sub bidang usaha nasional point b, Ketetapan MPR RI
No.II/MPR/1998 tentang GBHN, pada Bab III bidang pengembangan ekonomi, sub
bidang ke-16 usaha nasional.
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
Selama ini banyak kalangan yang berpendapat bahwa di Indonesia tidak ada
peraturan tentang praktek monopoli, sehingga terjadi kekosongan hukum khususnya
dalam Hukum Persaingan, hal inilah yang dianggap sebagai penyebab praktek
monopoli di Indonesia tumbuh subur. Anggapan tentang kekosongan hukum ini
merupakan sesuatu kekeliruan, sebab secara sporadis terdapat beberapa perangkat
hukum positif di dalam Hukum Perdata di Indonesia, yang menyinggung secara parsial
tentang praktek usaha yang tidak sehat ini. Misalnya saja pada KUH Perdata pasal
1365. “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain
kerugian tersebut.”. Pasal ini memberi hak untuk menuntut ganti rugi kepada setiap
orang yang menderita kerugian atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
orang lain, baik secara perdata maupun pidana.
c. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia :
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian
Pada prinsipnya Undang-Undang Perindustrian juga melarang industri yang
mengakibatkan terjadinya monopoli dan persaingan curang. Hanya saja, makna dan
konsep larangan dalam Undang-Undang tersebut sangat tidak terfokus dan terkesan
tidak jelas, sehingga larangan tersebut sangat jarang dipraktekkan. Beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang Perindustrian yang melarang monopoli atau persaingan curang
terdapat pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 7 ayat (2) dan (3) :
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan dan pengembangan terhadap industri, untuk :
...
... (2) mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur.