• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Krisin dari Floroglusinol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sintesis Krisin dari Floroglusinol"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

DWI UTAMI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2

ABSTRAK

DWI UTAMI. Sintesis Krisin dari Floroglusinol. Dibimbing oleh BUDI ARIFIN

dan PURWANTININGSIH SUGITA.

Flavon merupakan golongan flavonoid yang banyak ditemukan dalam

tumbuhan berpembuluh. Flavon yang mengandung gugus hidroksil pada posisi 5

dan 7 sangat penting dalam hal aktivitas biologis dan keberadaannya di alam yang

cukup banyak. Senyawa flavon yang hanya mengandung gugus hidroksil pada

posisi 5 dan 7 atau 5,7-dihidroksiflavon dikenal dengan nama krisin. Dalam

penelitian ini, krisin kasar telah berhasil disintesis dengan 3 tahap dari bahan awal

floroglusinol. Floroglusinol diasetilasi dengan asetonitril dan gas HCl

menghasilkan floroasetofenon dengan rendemen mencapai 74%. Benzoilasi

floroasetofenon dengan 4.5 ekuivalen benzoil klorida menghasilkan tribenzoil

floroasetofenon dengan rendemen 103

107% dan penataan-ulang

Baker-Venkataraman produk ester dengan KOH dalam piridina kering menghasilkan

krisin kasar, dengan persen konversi 71.62%. Semua produk sintesis dalam

penelitian ini telah dicirikan dengan titik leleh, dan secara spektroskopi.

ABSTRACT

DWI UTAMI. Synthesis of Chrysin from Phloroglucinol. Supervised by BUDI

ARIFIN and PURWANTININGSIH SUGITA

.

(3)

SINTESIS KRISIN DARI FLOROGLUSINOL

DWI UTAMI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)
(5)

Judul Skripsi : Sintesis Krisin dari Floroglusinol

Nama

: Dwi Utami

NIM

: G44080103

Disetujui

Pembimbing I

Budi Arifin, SSi, MSi

NIP 19830109 200604 1 004

Pembimbing II

Prof Dr Purwantiningsih Sugita, MS

NIP 19631217 198803 2 002

Diketahui

Ketua Departemen Kimia

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS

NIP 19501227 197603 2 002

(6)

iv

PRAKATA

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Alhamdulillah

, puji syukur ke hadirat Allah SWT dengan rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul

Sintesis Krisin dari Floroglusinol. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan

kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan semoga kita semua menjadi

pengikutnya hingga akhir zaman.

Karya ilmiah ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan berbagai

pihak, baik moral maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada Budi Arifin, SSi, MSi dan Prof Dr Purwantiningsih Sugita, MS

selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan waktu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayah, Ibu, Adik, dan Kakak atas

doa, nasihat, dan bantuan materi yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada Bapak Sabur, Bapak Muhammad Farid, Ibu Yenni, Mba Nia,

Kak Luthfan, Fadli, Dumas, Egi, Itoh, Ade, Livia, Dwi Artha, Kak Wahyu, Bani,

dan teman-teman Kimceu 45 atas diskusi dan kebersamaan selama penulis

menempuh studi dan menjalankan penelitian.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya dan pembaca umumnya.

Bogor, September 2012

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 18 Maret 1988, merupakan putri

kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Suparno dan Darwati.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Analis Kimia

Bogor (SMAKBo) pada tahun 2007 dan kemudian bekerja di PT Liwayway

Jababeka, Cikarang hingga bulan Mei 2008. Pada bulan Agustus 2008, penulis

lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional

Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

(8)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

………..

vii

DAFTAR GAMBAR

..………..

viii

DAFTAR LAMPIRAN

………...

ix

PENDAHULUAN ... 1

BAHAN DAN METODE ... 2

Alat dan Bahan ... 2

Langkah Kerja ... 2

Sintesis Floroasetofenon

... 2

Sintesis Krisin (5,7-Dihidroksiflavon)

... 3

HASIL ... 3

Floroasetofenon ... 3

Krisin (5,7-Dihidroksiflavon) ... 4

PEMBAHASAN ... 6

Floroasetofenon ... 6

Krisin (5,7-Dihidroksiflavon) ... 8

SIMPULAN DAN SARAN ... 10

Simpulan ... 10

Saran ... 11

DAFTAR PUSTAKA ... 11

LAMPIRAN ... 13

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Rendemen sintesis produk metode Gulati

et al.

(1943) ... 4

2

Rendemen sintesis produk metode Ruttimann

et al.

(2010) ... 4

3

Rendemen sintesis produk metode Panda

et al

. (2010)... 4

4

Rendemen sintesis ester benzoil floroasetofenon dengan 4.5 ekuivalen benzoil

klorida ... 6

5

Analisis sinyal NMR floroasetofenon metode Gulati

et al.

(1943) (pelarut

aseton-

d

6) ... 7

6

Sinyal

1

H-NMR produk metode Ruttimann

et al.

(2010) (pelarut aseton-

d

6) .... 7

7

Suhu dan waktu untuk pengeringan sampel ester benzoil ulangan 1 ... 8

8

Posisi sinyal-sinyal NMR ester tribenzoil floroasetofenon dalam pelarut CDCl

3

... 9

(10)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Retrosintesis krisin. ... 1

2

Kromatogram lapis tipis floroglusinol (kiri), produk metode Gulati

et al.

(1943)

(tengah) dan produk metode Ruttimann

et al.

(2010) (kanan)... 4

3

Uji kualitatif FeCl3 1% pada kontrol negatif (a), floroglusinol (b), produk

metode Gulati

et al.

(1943) (c), dan produk metode Ruttimann

et al.

(2010) (d).

... 4

4

Kromatogram lapis tipis produk metode Panda

et al.

(2010). ... 4

5

Uji kualitatif FeCl3 1% pada kontrol negatif (a), produk metode Panda

et al.

(2010) (b), dan fraksi ke-4 metode Tang

et al.

(2005) (c). ... 4

6

Kromatogram lapis tipis produk metode Tang

et al.

(2005). ... 5

7

Kromatogram lapis tipis produk metode Panda

et al.

(2010) (kiri) dan Tang

et

al.

(2005) (kanan). ... 5

8

Kromatogram lapis tipis produk ester dari floroasetofenon dengan 1.5

ekuivalen benzoil klorida (kiri) dan filtrat etanol (kanan). ... 5

9

Kromatogram lapis tipis ester benzoil floroasetofenon dengan 4.5 ekuivalen

benzoil klorida... 5

10

Uji kualitatif FeCl3 1% pada kontrol negatif (kiri) dan ester benzoil

floroasetofenon dengan 4.5 ekuivalen benzoil klorida (kanan). ... 5

11

Kromatogram lapis tipis diketon. ... 6

12

Uji kualitatif FeCl3 1% terhadap fraksi atas (kiri) dan fraksi bawah (kanan)... 6

13

Kromatogram lapis tipis diketon (kiri) dan flavon (kanan). ... 6

14

Reaksi asetilasi floroglusinol. ... 6

15

Dugaan produk Ruttimann

et al.

(2010). ... 7

16

Kromatogram lapis tipis berturut-turut dari kiri ke kanan, yaitu triester benzoil,

diketon (1.5, 3, 4.5, 6, 7.5, 9 ekuivalen piridina, 9 ekuivalen

KOH-piridina setelah ditambah CH

3

COOH), filtrat diketon kasar, dan diketon kasar

7.5 ekuivalen KOH-piridina pembanding ... 10

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Bagan alir penelitian ... 14

2

Radas sintesis floroasetofenon ... 15

3

Elusidasi struktur produk sintesis metode Gulati

et al.

(1943) ... 16

4

Elusidasi struktur produk sintesis metode Ruttimann

et al.

(2010) ... 18

5

Elusidasi struktur produk sintesis metode Panda

et al.

(2010) ... 20

6

Elusidasi struktur produk sintesis modifikasi metode Tang

et al.

(2005) ... 22

7

Elusidasi struktur ester benzoil floroasetofenon metode Wheeler (1963)... 23

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Flavonoid merupakan kelompok senyawa polifenolik terbesar di alam dan ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Kerangka

dasarnya berupa 2 cincin benzena (C6) yang

terikat pada 1 rantai propana (C3) membentuk

kerangka 1,3-diarilpropana (C6-C3-C6).

Flavonoid memiliki berbagai bioaktivitas, seperti antiradang, antivirus, antimalaria, antibakteri, antidiabetes, dan yang paling luas penggunaannya ialah sebagai antioksidan.

Aneka bioaktivitas senyawa flavonoid

menarik untuk dikaji lebih lanjut. Upaya mengisolasi dari tumbuhan dilakukan, tetapi kandungan yang terbatas dan proses isolasi yang biasanya cukup panjang menjadi salah satu kendala utama. Oleh karena itu, dikembangkan upaya menyintesis senyawa tersebut.

Salah satu kelompok flavonoid yang telah dilaporkan memiliki bioaktivitas sebagai antikanker ialah flavon atau 2-fenilkromon

(Hong et al. 2010 dan Liu et al. 2010). Flavon

banyak terdapat pada tumbuhan berpembuluh, umumnya pada serealia dan tumbuhan perdu. Flavon yang mengandung gugus hidroksil pada posisi 5 dan 7 sangat penting dalam hal aktivitas biologis dan keberadaannya di alam yang cukup banyak. Flavon yang hanya mengandung gugus hidroksil pada posisi 5 dan 7 atau 5,7-dihidroksiflavon dikenal

dengan nama krisin. Do et al. (2009)

melaporkan bahwa krisin memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan, antimikrob, antispasmodik, anksiolitik, dan antiradang. Aktivitas lainnya seperti antikanker juga telah

dilaporkan oleh Zheng et al. (2003),

Sanderson et al. (2004), serta Wang dan

Morris (2007).

Metode utama sintesis flavon meliputi siklodehidrasi senyawa 1,3-diketon, siklisasi oksidatif kalkon, dan sintesis melalui reaksi

Wittig intramolekul (Lee et al. 2005). Dalam

penelitian ini, krisin disintesis dengan metode siklodehidrasi senyawa 1,3-diketon yang

diperoleh dari penataan-ulang Baker

Venkataraman (BV) floroasetofenon

terbenzoilasi. Metode ini pertama kali dikemukakan oleh Baker (1933) serta Bhalla

et al. (1935) dan telah dilaporkan juga oleh

Wheeler (1963), Ares et al. (1993), Romanelli

et al. (2010), dan Liu et al. (2010) dalam upaya menyintesis flavon. Metode BV pada

dasarnya merupakan reaksi kondensasi

Claisen intramolekul, yaitu pembentukan anion enolat keton oleh basa kuat yang kemudian bertindak sebagai nukleofili karbon

dan mengadisi gugus karbonil ester. Berbagai macam basa dapat digunakan antara lain KOH

(Wheeler 1963 dan Marder et al. 1997),

K2CO3 (Bois et al. 1999), NaOH (Hauteville

et al. 1996), KOtBu (Ares et al. 1993), LiHMDS (Nagarathnam & Cushman 1991),

dan LiN(i-Pr)2 (Lee et al. 2004).

Sintesis 1,3-diketon dengan penataan-ulang BV telah digunakan antara lain oleh Septiani (2011) dan Aryani (2011) dengan memodifikasi prosedur Wheeler (1963) dan menghasilkan senyawa prekursor dari flavon dan 7-hidroksiflavon berturut-turut 12.1 dan 4.3% dari bahan awal fenol dan resorsinol. Pembentukan flavon melalui penataan-ulang BV senyawa 1,3-diketon lazim digunakan karena metodenya relatif sederhana dan pereaksinya relatif mudah didapat (Aryani 2011). Oleh karena itu, sintesis krisin pada penelitian ini dilakukan dengan penataan-ulang BV dari bahan awal floroglusinol.

Sintesis krisin telah dilakukan oleh Panda

et al. (2010), Chee et al. (2011), dan Tang et

al. (2005) dari floroasetofenon dan benzoil

klorida melalui reaksi 1 tahap. Dalam penelitian ini, krisin diperoleh dalam 3 tahap. Tahap pertama ialah sintesis floroasetofenon

(3) dari floroglusinol (2) dan asetonitril (1).

Selanjutnya floroasetofenon dibenzoilasi

dengan benzoil klorida (4). Ester benzoil (5)

yang terbentuk mengalami penataan-ulang BV

yang selanjutnya membentuk krisin (6)

melalui modifikasi Wheeler (1963). Gambar 1 menunjukkan jalur retrosintesis krisin dalam penelitian ini.

(14)

2

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Bahan-bahan p.a yang digunakan untuk sintesis ialah floroglusinol anhidrat, NaCl,

H2SO4 95–97%, asetonitril, dietil eter, KOH,

piridina kering (<0.0075%), CH3COOH

glasial, etil asetat, aseton, K2CO3, ZnCl2,

metanol, etanol, benzoil klorida (Merck®), dan

p-hidroksifenilasetonitril (Sigma Aldrich®).

Digunakan pula akuades, arang aktif, gas N2,

NaOH 28%, metilena klorida (MTC) teknis yang didistilasi 2 kali, etil asetat, dan aseton.

Alat-alat yang digunakan ialah radas distilasi dan radas penentuan titik leleh

Mel-Temp Model 1202D Barnstead® (tanpa

koreksi). Spektrum ultraviolet-tampak (UV-Vis) direkam dengan spektrometer Shimadzu

UV-1601 di Laboratorium Bersama,

Departemen Kimia IPB. Spektrum inframerah transformasi Fourier (FTIR) dianalisis dengan pelat KBr di Laboratorium Bidang Pangan,

Gedung Pusat Laboratorium Terpadu,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Spektrum NMR diperoleh dengan spektrometer JEOL ECA 500 yang bekerja

pada frekuensi 500 MHz (1H) dan 125 MHz

(13C) di Pusat Penelitian Kimia LIPI,

Puspiptek Serpong dan spektrometer Agilent DD2 500 yang bekerja pada frekuensi 500

MHz (1H) di Laboratorium NMR, Gedung

Basic Science A, Institut Teknologi Bandung.

Langkah Kerja

Tahapan penelitian terdiri atas sintesis

floroasetofenon dari floroglusinol dan

asetonitril, benzoilasi floroasetofenon,

penataan-ulang BV ester tribenzoil

floroasetofenon membentuk 1,3-diketon, dan siklisasi intramolekul senyawa 1,3-diketon dalam suasana asam membentuk krisin. Produk yang diperoleh dicirikan titik leleh, serta spektrum UV-Vis, FTIR, dan NMR (Lampiran 1).

Sintesis Floroasetofenon

Sintesis floroasetofenon pada penelitian ini menggunakan 2 metode. Metode pertama

mengadaptasi prosedur Gulati et al. (1943).

Sebanyak 10 mmol floroglusinol kering

(dikeringkan pada 120 C selama semalam),

20 mmol asetonitril, 5 mL dietil eter, dan 2

mmol serbuk halus ZnCl2 dimasukkan ke

dalam labu leher 3 (labu 1) yang telah

dirangkai dengan labu tempat sintesis gas HCl

(labu 2), pendingin, dan aliran gas N2

(Lampiran 2). Ke dalam labu 1 dialirkan secara cepat gas HCl dari labu 2 selama 2 jam dengan sesekali labu 1 diaduk dengan pengaduk magnetik. Gas HCl berasal dari

reaksi antara H2SO4 95–97% dan NaCl.

Setelah 2 jam, aliran gas HCl dihentikan. Labu 1 dilepaskan dari rangkaian alat, ditutp rapat dengan plastik, dan dibiarkan dalam

pendingin (freezer) selama 24 jam. Radas

dirangkaikan kembali, lalu gas HCl dialirkan selama 2 jam lagi, terbentuk warna jingga pucat. Labu 1 lalu dilepaskan dari rangkaian alat, ditutup rapat dengan plastik, dan didiamkan dalam pendingin selama 3 hari.

Endapan berwarna jingga-kuning yang terbentuk didekantasi dan dicuci dengan 2×10 mL dietil eter anhidrat. Endapan kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke labu leher tunggal yang berisi 75 mL air panas dan direfluks hingga mendidih selama 2 jam. Sebanyak ±0.15 g arang aktif ditambahkan, lalu refluks dilanjutkan kembali hingga mendidih selama 15 menit. Campuran segera disaring panas-panas untuk mengambil filtrat. Arang aktif pada kertas saring dicuci dengan 2×25 mL air panas dan air cucian digabungkan dengan filtrat. Filtrat lalu didiamkan selama semalam dan terbentuk endapan floroasetofenon kasar yang tidak berwarna atau kuning pucat. Endapan ini disaring-vakum, dikeringkan pada suhu 120

C, dan direkristalisasi menggunakan air

panas.

Metode kedua mengadaptasi prosedur

Ruttimann et al. (2010). Disiapkan labu leher

3 yang dilengkapi dengan pengaduk magnetik,

aliran gas N2, dan termometer, terangkai

dengan labu tempat sintesis gas HCl, dan diletakkan di atas penangas es. Ke dalam labu tersebut sebanyak 5 mmol floroglusinol kering

(dikeringkan pada 120 C selama semalam)

dan 5.50 mmol p-hidroksifenilasetonitril

dilarutkan dalam 2.5 mL etil asetat pada suhu

kamar. Larutan didinginkan ke 5 C,

kemudian 19 mmol gas HCl ditambahkan dalam rentang waktu 1 menit dengan suhu

dijaga tetap 5–10 C. Campuran diaduk

selama 18 jam, lalu dituangkan ke dalam 5 mL air dan pH dijadikan 4 dengan larutan

NaOH/KOH 28%. Larutan selanjutnya

dipanaskan hingga 75 C untuk

menghilangkan etil asetat. Saat suhu naik

menjadi 101 C, campuran didinginkan ke 80

C dan suspensi yang terbentuk ditambahkan

(15)

selama 5 jam, didiamkan selama 4 jam, dan dihasilkan larutan kuning tua. Larutan ini

didistilasi untuk menghilangkan etanol,

didinginkan ke 20 C, dan didiamkan

semalam untuk pembentukan endapan

floroasetofenon. Endapan disaring, dicuci dengan 10 mL air, dan dikeringkan pada suhu

120 C selama 4 jam.

Sintesis Krisin (5,7-Dihidroksiflavon)

Sintesis krisin dari floroasetofenon

dilakukan dengan 3 metode. Metode pertama

mengadaptasi reaksi 1 tahap Panda et al.

(2010). Sebanyak 2.5 mmol floroasetofenon,

2.5 g K2CO3 anhidrat (baru ditanur 600 ºC

selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator), 15 mL aseton, dan 1 mL benzoil klorida dimasukkan ke dalam labu leher 2

dengan atmosfer gas N2, lalu diaduk cepat

dengan pengaduk magnetik sambil direfluks

di atas penangas air suhu 50–60 ºC. Warna

putih terbentuk saat reaksi berlangsung dan akhirnya menjadi merah. Setelah 20 jam, aseton diuapkan seluruhnya dan 50 mL akuades ditambahkan ke dalam larutan, terbentuk endapan kuning. Endapan disaring,

dicuci dengan 10 mL akuades, lalu

dikeringkan pada suhu 60 ºC selama 15 jam. Metode kedua memodifikasi prosedur

Tang et al. (2005). Metode ini mirip dengan

metode Panda et al. (2010), namun campuran

floroasetofenon, K2CO3, dan aseton diaduk

dulu 10 menit sebelum benzoil klorida ditambahkan tetes demi tetes. Proses refluks

berlangsung hingga 24 jam, tanpa

menggunakan gas N2, dalam sintesis. Selain

itu, K2CO3 yang digunakan tidak mengalami

perlakuan pemanasan terlebih dahulu.

Pada metode ketiga, krisin disintesis dalam 3 tahap dengan memodifikasi prosedur Wheeler (1963). Tahap pertama ialah sintesis ester benzoil dari floroasetofenon. Sebanyak 10 mmol floroasetofenon ditambahkan 6 mL piridina kering dalam gelas piala 100 mL,.

Kemudian sambil diaduk, larutan

ditambahkan 45 mmol benzoil klorida. Reaksi berjalan eksoterm. Campuran didiamkan hingga tidak terbentuk kalor lagi (sekitar 25 menit), lalu ditambahkan 60 mL HCl 3% dan

20 g es batu secara bersamaan sambil diaduk

kuat. Terbentuk lapisan minyak kental berwarna putih yang dapat dipisahkan dari air. Endapan putih terbentuk setelah 3 hari didiamkan pada suhu kamar. Endapan disaring dan dicuci dengan 10 mL akuades

serta 10 mL metanol, lalu dikeringkan pada

suhu 70 C.

Tahap kedua ialah sintesis 1,3-diketon. Lima mmol ester benzoil floroasetofenon dilarutkan dengan 0.90 mL piridina kering dalam gelas piala 100 mL, kemudian larutan dipanaskan hingga 50 ºC. Sementara itu, 38 mmol KOH digerus dalam mortar yang sebelumnya telah dipanaskan dalam oven 105 ºC selama 1 jam. Serbuk KOH segera dituang ke dalam gelas piala, lalu campuran diaduk kuat menggunakan batang pengaduk selama 15 menit. Selama pengadukan, larutan mengental dan membentuk minyak berwarna cokelat. Setelah didinginkan ke suhu kamar,

larutan diasamkan dengan 1.20 mL

CH3COOH 10% tetes demi tetes. Minyak

yang terbentuk dipisahkan dari filtrat dan dikeringkan pada suhu kamar.

Tahap ketiga ialah sintesis krisin.

Sebanyak 2.5 mmol diketon kasar dilarutkan

dengan 3.3 mL CH3COOH glasial dalam labu

100 mL. Kemudian sambil diaduk, larutan

ditambahkan 0.18 mL H2SO4 95–97%. Labu

dirangkai dengan pendingin refluks dan dipanaskan dalam penangas air pada suhu 82

C selama 3 jam sambil sesekali diaduk.

Produk reaksi dituang panas-panas ke dalam 18 g es yang telah dihancurkan. Setelah es mencair, produk reaksi disaring. Terbentuk lapisan minyak berwarna cokelat, yang kemudian didiamkan pada suhu kamar selama 40 jam. Endapan cokelat yang terbentuk disaring, dan dicuci dengan air sampai bebas-asam. Endapan dikeringkan di dalam oven pada suhu 55 °C.

HASIL

Floroasetofenon

Sintesis floroasetofenon metode Gulati et

al. (1943) menghasilkan endapan berwarna

kuning pucat (Lampiran 3a) dengan Rf~ 0.71

(Gambar 2) pada eluen n-heksana-EtOAc

(2:3), dengan titik leleh 217–219 ºC sesuai

dengan yang dilaporkan Gulati et al. (1943).

Rendemen berkisar 33–75% (Tabel 1). Uji

kualitatif dengan FeCl3 1% menghasilkan

warna merah-cokelat, berbeda dengan hasil uji floroglusinol yang berwarna biru (Gambar 3). Spektrum UV-Vis menunjukkan serapan pada 226 dan 285.8 nm dengan efek batokromik

teramati pada penambahan NaOH dan AlCl3

(Lampiran 3a dan 3b). Spektrum 1H-NMR

(16)

4

13

C-NMR (Lampiran 3d) menunjukkan 1

sinyal karbon-sp3 (30.05 ppm), 4 sinyal

karbon-sp2 aromatik (95.76, 105.49, 165.46,

dan 165.52 ppm), dan 1 sinyal karbon-sp2

keton (203.70 ppm).

Gambar 2 Kromatogram lapis tipis floroglusinol (kiri), produk

metode Gulati et al. (1943)

(tengah) dan produk metode

Ruttimann et al. (2010)

(kanan) (eluen n

-heksana-EtOAc 2:3).

Tabel 1 Rendemen sintesis produk metode

Gulati et al. (1943)

Ulangan Floroglusinol (mmol)

Produk (mmol)

Rendemen (%)

1 10.06 6.51 64.71

2 10.13 6.58 64.96

3 89.39 29.66 33.18

4 50.02 37.09 74.15

Metode Ruttimann et al. (2010)

menghasilkan endapan cokelat (Lampiran 4a)

dengan Rf~ 0.57 pada eluen n-heksana-EtOAc

(2:3) (Gambar 2), dengan titik leleh 244–250

ºC. Rendemen yang diperoleh sebesar 0.2–

75% (Tabel 2). Uji kualitatif dengan FeCl3 1%

juga menghasilkan warna merah-cokelat (Gambar 3). Spektrum UV-Vis menunjukkan serapan pada 224.4 dan 287 nm dengan efek batokromik teramati pada penambahan NaOH

dan AlCl3 (Lampiran 4a dan 4b). Spektrum

1

H-NMR menunjukkan sinyal singlet di 3.02, 4.30, 5.93, 8.11, 9.21, dan 11.71 ppm, serta 2

buah sinyal triplet dari doblet di 6.74 dan 7.1

ppm (Lampiran 4c).

Tabel 2 Rendemen sintesis produk metode

Ruttimann et al. (2010)

Ulangan Floroglusinol (mmol)

Produk (mmol)

Rendemen (%)

1 5.00 3.77 75.4

2 5.02 0.43 8.57

3 5.01 0.01 0.30

(a) (b) (c) (d)

Gambar 3 Uji kualitatif FeCl3 1% pada

kontrol negatif (a), floroglusinol

(b), produk metode Gulati et al.

(1943) (c), dan produk metode

Ruttimann et al. (2010) (d).

Krisin (5,7-Dihidroksiflavon)

Sintesis krisin metode Panda et al. (2010)

menghasilkan endapan kuning (Lampiran 5a),

dengan Rf ~ 0.80 (Gambar 4) pada eluen n

-heksana-EtOAc (2:3). Titik lelehnya 145–155

ºC, jauh di bawah titik leleh krisin yang

dilaporkan Panda et al. (2010), yaitu 275–276

ºC. Rendemen yang diperoleh 45.67% dan

91% (Tabel 3). Uji kualitatif dengan FeCl3 1%

menghasilkan warna cokelat (Gambar 5). Spektrum UV-Vis menunjukkan serapan pada 263 nm dan tidak terjadi efek batokromik

pada penambahan NaOH dan AlCl3

(Lampiran 5a, 5b, 5c). Spektrum 1H-NMR

ditunjukkan pada Lampiran 5d dan hasilnya tidak dapat diinterpretasikan.

Gambar 4 Kromatogram lapis tipis produk

metode Panda et al. (2010) (eluen

n-heksana-EtOAc 2:3).

Tabel 3 Rendemen sintesis produk metode

Panda et al. (2010)

Ulangan F1 (mmol)

Produk (mmol)

Rendemen (%)

1 1 0.91 91

2 2.54 1.16 45.67

Ket: F1 = Produk metode Gulati et al. (1943)

(a) (b) (c)

Gambar 5 Uji kualitatif FeCl3 1% pada

kontrol negatif (a), produk

metode Panda et al. (2010) (b),

dan fraksi ke-4 metode Tang et

al. (2005) (c).

Metode modifikasi Tang et al. (2005)

(17)

dengan 5 noda KLT (Rf berturut-turut 0.27,

0.41, 0.48, 0.73, dan 0.84 pada eluen n

-heksana-EtOAc 65:35) (Gambar 6). Fraksi

keempat memiliki Rf yang sama dengan

produk metode Panda et al. (2010), yaitu 0.52

pada eluen n-heksana-EtOAc (3:2) (Gambar

7). Rendemen fraksi ini belum ditentukan karena pemurnian dengan kromatografi kolom masih menghasilkan fraksi campuran. Uji

kualitatif FeCl3 1% terhadap fraksi murni

menghasilkan warna cokelat (Gambar 5). Spektrum UV-Vis menunjukkan serapan pada 262 nm dan tidak terjadi efek batokromik

pada penambahan NaOH dan AlCl3

(Lampiran 6a dan 6b).

Gambar 6 Kromatogram lapis tipis produk

metode Tang et al. (2005) (eluen

n-heksana-EtOAc 65:35).

Gambar 7 Kromatogram lapis tipis produk

metode Panda et al. (2010) (kiri)

dan Tang et al. (2005) (kanan)

(eluen n-heksana-EtOAc 3:2).

Tahap pertama dalam modifikasi prosedur Wheeler (1963), yaitu pembentukan ester benzoil floroasetofenon menghasilkan minyak tidak berwarna dengan 1.5 ekuivalen benzoil

klorida, yang bila didiamkan 6 hari

membentuk endapan putih (Lampiran 7a).

Persen konversi produk 135.45% dan

menghasilkan 4 noda KLT dengan Rf 0.02,

0.11, 0.22, dan 0.37 pada eluen n

-heksana-EtOAc (9:1). Rekristalisasi dengan etanol tidak mengurangi jumlah noda (Gambar 8). Pemurnian produk tidak dilakukan.

Gambar 8 Kromatogram lapis tipis produk ester dari floroasetofenon dengan 1.5 ekuivalen benzoil klorida (kiri) dan filtrat etanol (kanan)

(eluen n-heksana-EtOAc 9:1).

Dengan 4.5 ekuivalen benzoil klorida, dihasilkan endapan putih (Lampiran 7b) dengan rendemen 103% dan 107% (Tabel 4),

Rf ~ 0.72 pada eluen n-heksana-EtOAc (8:3)

(Gambar 9), serta titik leleh 86–90 ºC.

Identifikasi dengan FeCl3 memberikan warna

kuning yang sama dengan kontrol negatif (Gambar 10). Spektrum UV-Vis menunjukkan serapan pada 235 nm yang tidak memberikan efek batokromik pada penambahan NaOH

(Lampiran 7b dan 7c). Spektrum 1H-NMR

menunjukkan 2 sinyal singlet di daerah 2.50 dan 7.24 ppm, 2 sinyal triplet di daerah 7.52 dan 7.65 ppm, dan 1 sinyal doblet di daerah

8.17 ppm (Lampiran 7d). Spektrum 13C-NMR

menunjukkan 1 sinyal karbon-sp3 (31.4 ppm),

1 sinyal karbon-keton (197.5 ppm), 2 sinyal karbon-ester (164.1 dan 164.2 ppm), 4 sinyal karbon-aromatik kuartener (125.9, 134.2, 148.6 dan 152.1 ppm), 4 sinyal karbon-aromatik (114.6, 128.5, 128.7, dan 130.4 ppm)

dan 1 sinyal pelarut CDCl3 (77 ppm)

(Lampiran 7e).

Gambar 9 Kromatogram lapis tipis ester benzoil floroasetofenon dengan 4.5 ekuivalen benzoil klorida

(eluen n-heksana-EtOAc 8:3).

Gambar 10 Uji kualitatif FeCl3 1% pada

kontrol negatif (kiri) dan ester benzoil floroasetofenon dengan 4.5 ekuivalen benzoil klorida (kanan).

(18)

6

Tabel 4 Rendemen sintesis ester benzoil

floroasetofenon dengan 4.5

ekuivalen benzoil klorida

Ulangan Floroglusinol (mmol)

Ester (mmol)

Rendemen (%)

1 10 10.31 103.1

2 10 10.65 106.5

Tahap kedua adalah pembentukan diketon dari ester benzoil floroasetofenon. Sintesis dengan 7.5 ekuivalen KOH-piridina kering menghasilkan minyak berwarna kuning-cokelat (Lampiran 8a) yang setelah 6 hari membentuk endapan cokelat dengan persen konversi produk sebesar 71.62%. Uji KLT

menghasilkan 2 noda dengan Rf~ 0.34 dan ~

0.42 pada eluen n-heksana-EtOAc (8:3)

(Gambar 11). Pemisahan dengan KLTP dan

kromatografi kolom belum berhasil

memisahkan keseluruhan produk. Spektrum UV-Vis fraksi atas menunjukkan serapan di 268 dan 312 nm dengan efek batokromik pada

penambahan NaOH dan AlCl3 (Lampiran 8b,

8c, dan 8d), sedangkan fraksi bawah menunjukkan serapan di 264 nm tanpa efek batokromik serupa (Lampiran 8e dan 8f).

Identifikasi dengan FeCl3 memberikan warna

merah-cokelat (fraksi atas) dan cokelat (fraksi

bawah) (Gambar 12). Spektrum FTIR

(Lampiran 8g) menunjukkan puncak-puncak khas krisin di 3000an, 1651.35, 1612.08,

1577.34, dan 1555.91 cm-1. Spektrum 1

H-NMR (Lampiran 8h) menunjukkan 3 sinyal singlet di 1.28, 6.78, dan 12.88 ppm, 2 sinyal doblet di 6.27 dan 6.57 ppm, sinyal multiplet di sekitar 7.6 ppm, 1 sinyal doblet dari doblet di 8.05 ppm, serta 3 sinyal pengotor (2.05, 2.95, dan 5.61 ppm).

Gambar 11 Kromatogram lapis tipis diketon

(n-heksana-EtOAc 8:3).

Gambar 12 Uji kualitatif FeCl3 1% terhadap

fraksi atas (kiri) dan fraksi bawah (kanan).

Tahap ketiga adalah sintesis krisin dari campuran produk tahap kedua. Dihasilkan

endapan berwarna cokelat (Lampiran 9), dengan persen konversi sebesar 41.31%. Uji KLT menghasilkan noda yang sama dengan produk diketon, namun intensitas pendaran fraksi atas terlihat lebih nyata dibandingkan pada diketon (Gambar 13).

Gambar 13 Kromatogram lapis tipis diketon

(kiri) dan flavon (kanan) (n

-heksana-EtOAc 8:3).

PEMBAHASAN

Floroasetofenon

Floroasetofenon disintesis dari

floroglusinol menggunakan reaksi Houben-Hoesch. Reaksi ini termasuk asilasi Friedel-Crafts, dengan asetonitril atau turunannya menjadi penyumbang kation asil pada

floroglusinol, membentuk senyawa

ketiminium klorida sebagai produk antara

(Gulati et al. 1943, Liu et al. 2007, Ruttimann

et al. 2010) (Gambar 14). Dalam penelitian

ini, asetonitril (Gulati et al. 1943) dan p

-hidroksifenilasetonitril (Ruttimann et al.

2010) dibandingkan efektivitasnya sebagai penyumbang kation asil.

Gambar 14 Reaksi asetilasi floroglusinol.

Produk metode Gulati et al. (1943) berupa

endapan kuning pucat yang menghasilkan

noda KLT tunggal dengan Rf ~ 0.71. Titik

lelehnya 217–219 ºC, sesuai dengan titik leleh

floroasetofenon yang dilaporkan Gulati et al.

(19)

efek batokromik. Penambahan AlCl3 juga

menggeser puncak serapan 285.8 ke 303.6 nm dan tidak kembali ke panjang gelombang semula setelah penambahan HCl. Hal ini

mengindikasikan gugus fenolik berposisi

o-terhadap gugus asil (Markham 1988).

Spektrum 1H-NMR hanya menunjukkan

sinyal proton asetil di 2.59 ppm dan proton aromatik di 5.92 ppm. Disekitar 12 ppm tidak

terdapat sinyal khas fenolik yang berposisi o-

terhadap gugus asil. Diduga pelarut aseton-d6

membentuk ikatan hidrogen antar molekul dengan OH tersebut sehingga tidak berikatan

hidrogen intramolekul dengan gugus o- asil.

Spektum 13C-NMR menunjukkan 6 sinyal

karbon yang melengkapi analisis spektrum

1

H-NMR. Satu sinyal di 30.05 ppm

menunjukkan karbon-sp3 metil dan sinyal di

203.70 ppm menunjukkan karbon karbonil terkonjugasi. Sinyal di 165.46 dan 165.52 yang sangat ke medan bawah berasal dari karbon-karbon yang mengikat OH dan secara langsung mengalami tarikan-elektron yang

kuat. Sebaliknya karbon aromatik orto

terhadap OH mengalami pergeseran ke medan atas (95.76 ppm) karena sumbangan-elektron dari atom oksigen meningkatkan pemerisaian pada atom-atom karbon tersebut. Sinyal di 105.49 ppm berasal dari karbon yang mengikat gugus asil,. Tarikan-elektron gugus asil tidak sekuat gugus hidroksil dan mengalami efek sumbangan-elektron yang

kuat dari 2 gugus OH di posisi orto. Oleh

karena itu, geseran kimianya lebih ke medan atas daripada sinyal karbon oksiaril.

Spektrum NMR telah membuktikan

terbentuknya floroasetofenon dengan metode

Gulati et al. (1943). Tabel 5 meringkaskan

analisis spektrum tersebut. Rendemen

tertinggi mencapai 74.15%, sesuai dengan

yang dilaporkan Gulati et al. (1943), yaitu 74–

87%. Rendemen terendah 33.18% diakibatkan penggunaan mol gas HCl yang terlalu sedikit. Sintesis dilakukan dalam sistem radas

tertutup, bebas-H2O, dengan suhu reaksi

dijaga tetap dalam kisaran 0–10 ºC.

Tabel 5 Analisis sinyal NMR floroasetofenon

metode Gulati et al. (1943) (pelarut

aseton-d6)

Atom C/H

H 500 MHz (ppm) (multiplisitas, H)

C 125 MHz (ppm)

1 - 203.70

2 2.59 (s, 3H) 30.05

1’ - 105.49

2’/6’ - 165.46

4’ - 165.52

3’/5’ 5.92 (s, 2H) 95.76

.

Metode Ruttimann et al. (2010

menghasilkan endapan cokelat pada ulangan 1, namun tidak terulang (Tabel 2). Titik

lelehnya 244–250 ºC, lebih tinggi daripada

titik leleh floroasetofenon yang dilaporkan

Gulati et al. (1943) dan menghasilkan 1 noda

KLT dengan Rf ~ 0.57 pada eluen n

-heksana-EtOAc (2:3). Spektrum UV-Vis (Lampiran 4) menunjukkan 2 puncak serapan di 224 dan 287 nm. Penambahan NaOH menggeser

puncak 287 ke 321 nm. Penambahan AlCl3

juga menggeser puncak serapan 287 ke 308 nm dan tidak kembali ke panjang gelombang semula setelah penambahan HCl. Hasil ini mengindikasikan senyawa yang diperoleh

juga memiliki gugus fenolik berposisi

o-terhadap gugus asil (Markham 1988). Dugaan

produk Ruttimann et al. (2010) berdasarkan

mekanismenya ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15 Dugaan produk Ruttimann et al.

(2010).

Spektrum 1H-NMR menunjukkan 8 sinyal

yang tidak cocok dengan dugaan produk

Ruttimann et al. (2010). Struktur molekul

belum dapat ditentukan dari sinyal-sinyal 1

H-NMR yang didapat (Tabel 6). Diduga juga terdapat pengotor, dengan angka banding proton yang tidak bulat.

Tabel 6 Sinyal 1H-NMR produk metode

Ruttimann et al. (2010) (pelarut

aseton-d6)

H 500 MHz (ppm)

multiplisitas, J

(Hz)

3.02 s

4.30 s

5.93 s

6.74 td, 8.4

7.1 td, 8.4

8.11 s

9.21 s

(20)

8

Ruttimann et al. (2010) menggunakan

p-hidroksifenilasetonitril sebagai penyumbang kation asil. Garam ketiminium klorida terbentuk dengan keberadaan gas HCl. Hidrolisis terhadap garam ini dilakukan menggunakan KOH/NaOH 28% hingga pH 4

guna meminimumkan kelarutan garam

ketinium klorida dalam keberadaan etil asetat

(Ruttimann et al. (2010). Penentuan pH 4

dalam metode ini menjadi kendala utama, karena setelah penambahan KOH/NaOH 28% terjadi perubahan pH 4 menjadi 2 selama penguapan pelarut etil asetat. Hidrolisis yang terjadi tidak sempurna, produk masih dalam bentuk garam ketiminium klorida. Hal ini yang diduga rendemen ulangan kedua dan ketiga rendah yaitu 8.57 dan 0.30%.

Berdasarkan analisis di atas, hanya metode

Gulati et al. (1943) yang berhasil

mendapatkan floroasetofenon. Oleh karena itu, penelitian ini menunjukkan bahwa metode

Gulati et al. (1943) paling baik untuk

menyintesis floroasetofenon dan digunakan dalam penelitian selanjutnya.

Krisin (5,7-Dihidroksiflavon)

Metode Panda et al. (2010) dan modifikasi

Tang et al. (2005) secara garis besar memiliki

prinsip kerja yang sama. Perbedaannya terletak pada pada tahapan prosedur dan lamanya refluks. Selain itu, pada modifikasi

Tang et al. (2005), K2CO3 yang digunakan

tidak dipanaskan terlebih dahulu dan sintesis

dilakukan tanpa penggunaan gas N2.

Produk sintesis kedua metode sama-sama

menghasilkan noda dengan Rf ~ 0.52 pada

eluen n-heksana-EtOAc 3:2 (Gambar 7), dan

kemungkinan menunjukkan senyawa yang sama. Akan tetapi, terjadi reaksi samping

dengan modifikasi Tang et al. (2005),

ditunjukkan dengan terbentuknya 4 noda lain

pada eluen n-heksana-EtOAc 65:35 (Gambar

6). Pemisahan dengan kromatografi kolom dilakukan untuk memperoleh noda tunggal

dengan Rfyang sama dengan produk metode

Panda et al. (2010).

Pemisahan dilakukan dengan teknik elusi

gradien. Eluen yang digunakan ialah n

-heksana-MTC (3:5), n-heksana-EtOAc (3:2),

dan etil asetat. Pemisahan dengan teknik elusi gradien dipilih karena 3 fraksi teratas dapat

dipisahkan dengan baik menggunakan n

-heksana-MTC (3:5), sedangkan fraksi 4 dan 5

terpisah baik dengan n-heksana-EtOAc (3:2).

Dari proses pemisahan ini, sebanyak 32 dari 175 tabung murni mengandung fraksi 4 dan

beberapa tabung masih mengandung

campuran fraksi 4 dan 5. Pemisahan fraksi campuran ini memerlukan teknik pemisahan dengan KLTP.

Spektrum UV-Vis noda dengan Rf ~ 0.52

memiliki puncak serapan yang tidak berbeda nyata, yaitu 263 dan 262 nm, berturut-turut

untuk metode Panda et al. (2010) dan

modifikasi Tang et al. (2005) (Lampiran 5a

dan 6a). Penambahan NaOH dan AlCl3 tidak

menggeser puncak serapan tersebut,

menunjukkan tidak adanya hidroksil fenolik. Dugaan sementara, seluruh gugus hidroksil floroasetofenon membentuk ester benzoil,

maka analisis 1H-NMR dilakukan untuk

menentukan struktur produk. Produk metode

Panda et al. (2010) yang memiliki noda

tunggal dipilih untuk pencirian. Hasilnya ditunjukkan pada Lampiran 5d dan tidak dapat

diinterpretasikan. Berdasarkan hasil ini,

modifikasi Tang et al. (2005) tidak dianalisis

lebih lanjut.

Sintesis krisin selanjutnya menggunakan

modifikasi prosedur Wheeler (1963).

Benzoilasi floroasetofenon menggunakan 1.5

ekuivalen benzoil klorida menghasilkan

minyak tidak berwarna yang setelah

didiamkan 6 hari membentuk endapan putih (Lampiran 7a). Persen konversi produk 83.73%, menghasilkan 4 noda KLT pada

eluen n-heksana-EtOAc (9:1). Rekristalisasi

dengan etanol tidak mengurangi jumlah noda (Gambar 8). Pemurnian lebih lanjut terhadap produk belum dilakukan karena tidak adanya

noda yang dominan sebagai produk utama.

Benzoilasi dengan 4.5 ekuivalen benzoil klorida menghasilkan endapan berwarna putih dengan rendemen 103% dan 107%, titik leleh

86–90 ºC. Besarnya rendemen yang diperoleh

awalnya diduga karena endapan masih mengandung air. Upaya mengeringkan telah dilakukan terhadap sampel ulangan 1 (Tabel 7), tetapi rendemen yang diperoleh tetap di atas 100%.

Tabel 7 Suhu dan waktu untuk pengeringan sampel ester benzoil ulangan 1

Suhu (ºC) Waktu (jam) Rendemen (%) Selisih rendemen (%)

40 48 108 -

60 6 107 1

60 6 106 1

69 5 103 3

Produk menghasilkan noda tunggal KLT

dengan Rf ~ 0.72. Spektrum UV-Vis

(21)

senyawa tersebut tidak mengandung atom hidroksil fenolik, maka diduga merupakan ester tribenzoil floroasetofenon.

Spektrum 1H-NMR (Lampiran 7d)

menghasilkan 5 sinyal yang terbedakan,

sementara spektrum 13C-NMR (Lampiran 7e)

menghasilkan 10 sinyal. Tidak terdeteksi

sinyal pengotor H2O sehingga belum dapat

dipastikan sebagai penyebab rendemen

>100%. Analisis sinyal-sinyal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Keberadaan gugus asetil ditunjukkan oleh sinyal proton metil singlet di 2.50 ppm dan sinyal karbon di 197.5 ppm dari gugus keton terkonjugasi.

Tabel 8 Posisi sinyal-sinyal NMR ester tribenzoil floroasetofenon dalam

pelarut CDCl3

Atom C/H

H 500 MHz (ppm) (multiplisitas, J (Hz),

H)

C 125 MHz (ppm)

1 - 197.5

2 2.5 (s, 3H) 31.4

3/5 - 164.2

4 - 164.1

1’ - 134.2

2’/6’ - 148.6

3’/5’ 7.24 (s,2H) 125.9

4’ - 152.1

1’’ - 114.6

2’’/6’’ 8.17 (d, J = 8, 6H) 130.4

3’’/5’’ 7.52 (t, J = 7.5, 6H) 128.7

4’’ 7.65 (t, J = 7.5, 3H) 128.5

Sinyal karbon 2’, 4’, 6’ menunjukkan C

-oksiaril yang geseran kimianya sangat ke medan bawah, dibandingkan dengan karbon

1’. Hal ini disebabkan tarikan-elektron C=O

tidak sekuat O. Sinyal karbon 3’, 5’ yang

o-terhadap 2 O bergeser ke medan atas karena efek resonans penyumbang-elektron. Sinyal

karbon 1’’ dipengaruhi tarikan-elektron ester yang lebih lemah dari keton, menyebabkan geseran kimianya lebih ke medan atas

dibandingkan karbon 1’. Posisi sinyal karbon

2’’, 4’’, 6’’ dipengaruhi oleh efek resonans

penarik elektron C=O o- / p-, yang tidak

terjadi pada 3’’, 5’’ (m-).

Ester tribenzoil floroasetofenon diubah menjadi 1,3-diketon melalui penataan-ulang BV menggunakan KOH-piridina dengan 7.5 ekuivalen benzoil klorida. Endapan cokelat diperoleh setelah 6 hari dibiarkan pada suhu kamar. Persen konversi produk sebesar

71.62% dan memperlihatkan 2 noda KLT Rf ~

0.34 dan ~ 0.42 pada eluen n-heksana-EtOAc

(8:3) (Gambar 11). Pemisahan 2 noda menggunakan KLTP dan kromatografi kolom

hanya berhasil memisahkan sebagian

campuran. Spektrum UV-Vis dari fraksi atas

(Rf~ 0.42) menghasilkan 2 puncak serapan di

268 dan 312 nm. Puncak pertama bergeser +8 nm pada penambahan NaOH (Lampiran 8b

dan 8c). Penambahan AlCl3 menggeser

puncak kedua sejauh +70 nm, dan tidak teramati pergeseran kedua puncak setelah penambahan HCl (Lampiran 8d). Disimpulkan bahwa fraksi atas memiliki gugus hidroksil

fenolik dengan posisi orto terhadap asil.

Puncak serapan dan pergeseran yang teramati ini menyerupai puncak serapan krisin

menurut Coleska et al. (1995) dan

Sundaraganesan et al. (2012). Serapan

UV-Vis dilaporkan terjadi di sekitar 270 dan 314 nm. Pergeseran sejauh +6 nm terjadi pada serapan 270 nm setelah penambahan NaOAc, mengindikasikan keberadaan hidroksil fenolik pada posisi 7. Pergeseran sejauh +66 nm

teramati pada serapan 314 nm

mengindikasikan keberadaan hidroksil fenolik pada posisi 5. Tidak ada pergeseran kembali setelah penambahan HCl. Kesesuaian ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar fraksi atas adalah krisin.

Spektrum FTIR fraksi atas (Lampiran 8g) menunjukkan puncak-puncak serapan sangat menyerupai spektrum krisin standar yang

dilaporkan di literatur (Coleska et al. 1995).

Bilangan gelombang di sekitar 3000 cm-1

menunjukkan gugus hidroksil. Pita serapan

kuat di 1651.35 cm-1 dihasilkan oleh gugus

keton yang terkonjugasi dengan gugus alkena dan benzena. Bilangan gelombang di 1612.08,

1577.34, dan 1555.91 cm-1 berasal dari vibrasi

ulur C=C aromatik. Hasil ini memperkuat bahwa fraksi atas adalah krisin.

Spektrum 1H-NMR fraksi atas terangkum

pada Tabel 9, menunjukkan 10 sinyal dengan 3 sinyal pengotor (2.05, 2.95, dan 5.61 ppm) (Lampiran 8h). Sinyal di 12.88 ppm menunjukkan keberadaan gugus hidroksil fenolik yang berikatan hidrogen intramolekul

dengan gugus o- asil. Sinyal gugus hidroksil

(22)

10

Tabel 9 Analisis sinyal 1H-NMR krisin

(pelarut aseton-d6)

Atom C/H

H 500 MHz (ppm) (multiplisitas, J(Hz), Σ H)

3 6.78 (s, 1H)

5 12.88 (s, 1H)

6 6.27 (d, J = 1.95, 1H)

7 1.28 (s, 1H)

8 6.57 (d, J = 1.95, 1H)

2’/6’ 8.05 (dd, J = 6.5, 2H)

3’/4’/5’ 7.57 (m, 3H)

Proton aromatik pada cincin A

memberikan 2 sinyal, yaitu 6.27 dan 6.57 ppm. Sinyal pertama berasal dari proton yang

orto dengan 2-OH (C6) dan sinyal kedua

berasal dari proton yang orto dengan OH dan

substituen oksigen eter penyumbang-elektron (C8). Proton aromatik pada cincin B menghasilkan 2 sinyal di 8.05 dan 7.57 ppm.

Dua proton di posisi orto merasakan tarikan

elektron dari sistem keton tak jenuh-α,β

sehingga sinyalnya lebih ke medan bawah

(8.05 ppm) (C2’, C6’). Sementara sinyal di

7.57 ppm merupakan tumpang-tindih sinyal

yang berasal dari 3 proton di posisi meta dan

para (C3’, C4’, C5’). Sinyal di 6.78 ppm berasal dari proton vinilik di cincin C.

Spektrum UV-Vis fraksi bawah (Rf ~ 0.34)

menunjukkan serapan di 264 nm yang tidak

mengalami efek batokromik pada

penambahan NaOH dan AlCl3 (Lampiran 8e

dan 8f). Hasil ini menunjukkan bahwa senyawa yang dihasilkan tidak mengandung gugus hidroksil fenolik, maka diduga bukan termasuk senyawa 1,3-diketon maupun krisin. Penggunaan 7.5 ekuivalen KOH-piridina Wheeler (1963) terhadap ester tribenzoil floroasetofenon telah membentuk krisin tanpa melalui senyawa 1,3-diketon sebagai zat antara. Krisin telah didapatkan pada tahap sintesis 1,3-diketon bercampur dengan produk lain. Gambar 16 menjelaskan bagaimana 2 noda diketon kasar diperoleh.

Gambar 16 Kromatogram lapis tipis berturut-turut dari kiri ke kanan, yaitu triester benzoil, diketon (1.5, 3, 4.5, 6, 7.5, 9 ekuivalen piridina, 9 ekuivalen

KOH-piridina setelah ditambah

CH3COOH), filtrat diketon

kasar, dan diketon kasar 7.5

ekuivalen KOH-piridina

pembanding (eluen n

-heksana-EtOAc 5:1)

Berdasarkan Gambar 16, diduga bahwa krisin sudah terbentuk pada penggunaan 3

ekuivalen KOH-piridina. Jumlah noda

terbanyak dihasilkan dari penggunaan 1.5 ekuivalen KOH-piridina, yaitu 7 noda, dan paling sedikit dengan 7.5 dan 9 ekuivalen KOH-piridina yaitu 3 noda yang berkurang

setelah diasamkan dengan CH3COOH. Hasil

ini mengindikasikan reaksi mengarah ke

pembentukan 2 noda dengan Rf ~ 0.34 dan ~

0.42 meskipun anomali terjadi pada noda diketon dengan 4.5 ekuivalen KOH-piridina.

Usaha untuk mendapatkan krisin murni dilakukan dengan melanjutkan tahap ketiga metode Wheeler (1963) pada produk krisin kasar. Produk yang didapat berupa endapan cokelat (Lampiran 8i) dengan persen konversi sebesar 41.31%. Pencirian dengan KLT tidak

menunjukkan perubahan noda, namun

intensitas pendarfluor fraksi atas terlihat lebih kuat dibandingkan dengan senyawa awal (Gambar 13). Diduga reaksi pembentukan krisin meningkat. Diperlukan pemurnian lebih lanjut terhadap produk ini baik dengan KLT maupun kromatografi kolom.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(23)

Saran

Krisin kasar perlu dimurnikan lebih lanjut

untuk memperoleh krisin murni, dan

menentukan rendemen.

DAFTAR PUSTAKA

Ares JJ et al. 1993. A convenient large-scale

synthesis of 5-methoxyflavone and its

application to analog preparation. J Org

Chem 58:7903-7905.

Aryani L. 2011. Sintesis prekursor 1,3-diketon

untuk 7-hidroksiflavon dari resorsinol

[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Baker WJ. 1933. Molecular rearrangement of

some o-acyloxyacetophenones and the

mechanism of the production of

3-acylchromones. J Chem Soc 1381-1389.

Bhalla DC, Mahal HS, Venkataraman K. 1935. Synthetical experiments in the chromone group. Part X VII. Further observations on the action of sodamide on

o-acyloxyacetophenones. J Chem Soc

868-870.

Bois F, Beney F, Mariotte AM, Bounmendjel.

1999. A one-step synthesis of

hydroxyflavones. Synlett 9:1480-1482.

Chee CF, Buckle MJC, Rahman NA. 2011. An efficient one-pot synthesis of flavones.

Tetrahedron Lett 52:3120-3123.

Coleska Z, Dorevski K, Klisarova L, Milosevic LS. 1995. Identification of

phenolic constituents isolated from

Macedonian propolis. Bull Chem Tech

Macedonia 14: 13-17.

Do TH, Vo PN, Tran TD. 2009. Synthesis and

inhibitory activity against COX‐2

catalyzed prostaglandin production of

chrysin derivatives. Bioorg Med Chem Lett

14:1165‐1167.

Gulati KC, Seth SR, Venkataraman. 1943.

Phloroacetophenone. Org Syn Coll 2:522.

Hauteville M, Gaillard P, Kaouadji M, Duclos MP. 1996. Synthesis of novel C-

methylflavones. Liebigs Ann 1217-1222.

Hong TB, Rahumatullah A, Yogarajah T, Ahmad M, Yin KB. 2010. Potential effects

of chrysin on MDA-MB-231 cells. Int J

Mol Sci 11:1057-1069.

Lee JI, Son HS, Park H. 2004. An efficient

synthesis of flavones from 2-

hydroxybenzoic acids. Bull Korean Chem

Soc 25:1945-1947.

Lee JI, Son HS, Jung MG. 2005. A novel

synthesis of flavone from

2-methoxybenzoic acids. Bull Korean Chem

Soc 9:1461-1463.

Liu et al. 2010. New synthetic flavone

derivatives induce apoptosis of

hepatocarcinoma cells. Bioorg Med Chem

18:6322-6328.

Marder M et al. 1997. Synthesis of

halogenated/nitrated flavones derivatives and evaluation of their affinity for the

central benzodiazepine receptor. Bioorg

Med Chem Lett 7:2003-2008.

Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi

Flavonoid. Padmawinata K, penerjemah.

Bandung: ITB Pr. Terjemahan dari:

Techniques of Flavonoid Identification.

Nagarathnam D, Cushman M. 1991. A practical synthesis of flavones from

methyl salicylate. Tetrahedron

28:5071-5076.

Panda AK et al. 2010. Simple synthetic

processes for chrysin, norwogonin and

their derivatives. Int J Res in Ayurveda &

Pharm 1:225-233.

Romanelli GP et al. 2010. Sustainable

synthesis of flavonoid derivatives, QSAR study and insecticidal activity against the

fall armyworm, Spodoptera frugiperda

(Lep.: Noctuidae). J Agric Food Chem

58:6290-6295.

Ruttimann A et al., penemu; DSM IP Assets

BV. 26 Okt 2010. Process for the manufacture of hydroxylated isoflavones. ID US 7820836 B2.

Septiani D. 2011. Sintesis

1-(2-hidroksifenil)-3-fenilpropana-1,3-dion dari o

-hidroksiasetofenon dan benzoil klorida [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian

Bogor.

Sanderson JT et al. 2004. Induction and

inhibition of aromatase (CYP19) activity by natural and synthetic flavonoid

(24)

12

adrenocortical carcinoma cell. Toxicol Sci

82:70-79.

Sundaraganesan N, Mariappan G, Manoharan

S. 2012. Molecular structure and

vibrational spectroscopic studies of

chrysin using HF and density functional

theory. Spectrochimica Acta Part A

87:67-76.

Tang L et al. 2005. Novel and convenient

one-pot synthesis of

3-aroyl-7-hydroxy-6-nitroflavones. Synth Commun

2(35):315-323.

Wang X, Morris ME. 2007. Effects of the

flavonoid chrysin on nitrofurantoin

pharmacokinetics in rats: Potential

involvements of ABCG2. Drug Metab

Dispos 35:268-274.

Wheeler TS. 1963. Flavone. Org Synth Coll

4:478.

Zheng X, Meng WD, Xu YY, Cao JG, Qing

FL. 2003. Synthesis and anticancer effect

of chrysin derivatives. Bioorg Med Chem

(25)
(26)

14

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Asetilasi floroglusinol

menjadi floroasetofenon

(Gulati

et al.

1943 dan

Ruttimann

et al.

2010)

Benzoilasi floroasetofenon

menjadi ester benzoil

(Wheeler 1963)

Penataan-ulang BV

menjadi 1,3-diketon

(Wheeler 1963)

Siklisasi intramolekul

senyawa 1,3-diketon

menjadi krisin

(Wheeler 1963)

Cara langsung

(Panda

et al.

2010

dan modifikasi Tang

et al.

2005)

Pencirian dengan titik

leleh, UV-Vis, FTIR, dan

(27)

Lampiran 2 Radas sintesis floroasetofenon

H

2

SO

4

95

97%

NaCl p.a

Floroglusinol, eter,

(28)

16

Lampiran 3 Elusidasi struktur produk sintesis metode Gulati

et al.

(1943)

(a)

Endapan dan spektrum UV-Vis produk dalam pelarut metanol.

(b)

Spektrum UV-Vis produk sebelum (1) dan sesudah penambahan NaOH (2)

dan AlCl3 (3) (pelarut metanol).

(29)

(c)

Spektrum

1

H-NMR (500 MHz, aseton-

d

6

).

(30)

18

Lampiran 4 Elusidasi struktur produk sintesis metode Ruttimann

et al.

(2010)

(a)

Endapan dan spektrum UV-Vis produk dalam pelarut metanol.

(b)

Spektrum UV-Vis produk sebelum (1) dan sesudah penambahan NaOH (2)

dan AlCl

3

(3) (pelarut metanol).

(31)

(32)

20

Lampiran 5 Elusidasi struktur produk sintesis metode Panda

et al.

(2010)

(a)

Endapan dan spektrum UV-Vis dalam pelarut metanol.

(b)

Spektrum UV-Vis produk sebelum (1) dan sesudah penambahan NaOH (2)

(pelarut metanol).

(c)

Spektrum UV-Vis produk sebelum (1) dan sesudah penambahan AlCl

3

(2)

(pelarut metanol).

1&2

(33)
(34)

22

Lampiran 6 Elusidasi struktur produk sintesis modifikasi metode Tang

et al.

(2005)

(a)

Produk dan spektrum UV-Vis dalam pelarut metanol.

(b)

Spektrum UV-Vis produk sebelum (1) dan sesudah penambahan NaOH (2)

(pelarut metanol).

(35)

Lampiran 7 Elusidasi struktur ester benzoil floroasetofenon metode Wheeler

(1963)

(a)

Endapan produk ester benzoil floroasetofenon dengan 1,5 ekuivalen benzoil

klorida.

(b)

Endapan dan Spektrum UV-Vis ester benzoil floroasetofenon dengan 4.5

ekuivalen benzoil klorida dalam pelarut metanol.

(c)

Spektrum UV-Vis ester benzoil floroasetofenon dengan 4.5 ekuivalen benzoil

klorida sebelum (1) dan sesudah penambahan NaOH (2) (pelarut metanol).

Setelah

6 hari

1

(36)

24

(37)
(38)

26

Lampiran 8 Elusidasi struktur krisin metode Wheeler (1963)

(a)

Produk hasil sintesis diketon.

(b)

Spektrum UV-Vis fraksi atas diketon (pelarut metanol).

(c)

Spektrum UV-Vis sebelum (1) dan sesudah penambahan NaOH (2) pada

fraksi atas diketon (pelarut metanol).

(39)

(d)

Spektrum UV-Vis sebelum dan sesudah penambahan AlCl3 (2) dan HCl (3)

pada fraksi atas diketon (pelarut metanol).

(e)

Spektrum UV-Vis fraksi bawah diketon (pelarut metanol).

(f)

Spektrum UV-Vis sebelum (1) dan sesudah penambahan NaOH (2) dan AlCl3

(3) pada fraksi bawah diketon (pelarut metanol).

1 2

3

1

(40)

28

(41)

(42)

30

Gambar

Gambar 1  Retrosintesis krisin.
Gambar 3  Uji kualitatif FeCl3 1% pada
Gambar 6   Kromatogram lapis tipis produk
Gambar 14  Reaksi asetilasi floroglusinol.
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

ntqh!do!o]trNflDidgko.

Pada penelitian ini terdapat 14 indikator, sehingga jumlah sampel yang ditetapkan adalah 112 responden melalui penyebaran kuesioner kepada konsumen yang pernah membeli produk

Manfaat bagi guru hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai materi bahan ajar yaitu meteri sastra khususnya mengenai ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel

Undang­Undang Nomor  17  Tahun 2003  tentang  Keuangan Negara  (Lembaran Negara  Republik Indonesia  Tahun 2003

Peraturan Daerah Kabupaten Banjar Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Dan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten

Dalam penelitian ini terdapat gambaran bahwa: (1) Pelatihan di Saung Rnggon Kota Tasikmalaya berada pada kategori tinggi; (2) Kompensasi kerja karyawan di Saung

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan infeksi saluran kemih pada. siswa - siswi kelas XII SMA Harapan