• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Exon 4 pada Kambing PE, Saanen dan PESA dengan Metode PCR-SSCP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Exon 4 pada Kambing PE, Saanen dan PESA dengan Metode PCR-SSCP"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Identification of Genetic Polymorphism at Exon 4 Growth Hormone Gene within Peranakan Etawah, Saanen and PESA Goat

Using PCR-SSCP Method

Marpaung, L. R., Jakaria and Muladno

This research was conducted to identify genetic polymorphism at the exon 4 growth hormone gene in three goat breeds, namely PE, Saanen and PESA. Total DNA samples used are 240 samples which consist of three breeds, namely PE (98 samples, from Ciapus 20 samples, Carius 28 samples and Sukajaya 50 samples), Saanen (91 samples, from Cijeruk 20 samples, Cariu 31 samples and Sukabumi 40 samples) and PESA (51 samples, from Cijeruk 7 samples, Cariu 25 samples and Balitnak 19 samples). The GH gene exon 4 amplified by thermocylcer machine at 64 oC with 200 base pair length. The PCR product was analyzed by SSCP method using 10% of acrylamide concentration for 8 hours at 250 voltage. The result showed there are four conformational patterns with each genotype frequency, they are DD (0,211), DE (1,000), EE (0,600) and GH (1,000). The SSCP analysis result found four alleles with their highest frequencies, namely D (0,605) in PESA breed, E (0,800) in PE breed, G and H (0,500) in Saanen and PESA breed. The result of χ² test showed that the growth hormone gene exon 4 are in Hardy-Weinberg disequilibrium generally in three goat breeds (P<0,01). Heterozigosity values of PE, Saanen and PESA breeds were 0,691, 0,950 and 0,922, respectively. According to the genotyping, the exon 4 of the GH gene were found to be highly polymorphic.

(2)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup tinggi. Kambing di Indonesia telah dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging, susu, maupun keduanya (dwiguna) dan kulit. Kambing secara umum memiliki beberapa keunggulannya antara lain mampu beradaptasi dalam kondisi yang ekstrim, tahan terhadap beberapa penyakit, cepat berkembang biak dan prolifik (beranak banyak).

Populasi kambing di Indonesia sendiri masih tergolong rendah, saat ini berjumlah sekitar 15,20 juta ekor dengan pertumbuhan populasi 5,52% per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Data mengenai bangsa kambing perah di Indonesia sendiri belum ada, padahal kebutuhan dan konsumsi akan protein hewani dari daging dan susu meningkat dari tahun ke tahun. Umumnya, pemenuhan kebutuhan protein hewani, khususnya susu diperoleh dari ternak sapi perah. Produksi susu di Indonesia pada tahun 2010 baru mencapai sekitar 26% dari kebutuhan nasional (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Defisit penyediaan susu yang tidak terpenuhi dari sapi perah ini merupakan peluang bagi pengembangan ternak kambing perah. Namun demikian, peternak masih banyak menghadapi kendala dalam mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan ternak kambing, khususnya kambing perah.

(3)

2 Salah satu gen penting yang memengaruhi sifat-sifat tertentu pada ternak adalah gen hormon pertumbuhan atau gen growth hormone (GH). Gen GH merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar

pituitary. Gen ini memiliki peranan penting dalam pertumbuhan jaringan, laktasi, reproduksi dan metabolisme protein, lipid dan karbohidrat. Mengingat kurangnya informasi tentang karakteristik gen GH exon 4 pada kambing PE, Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen), makan penelitian ini perlu dilakukan.

Tujuan

(4)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Kambing

Kambing merupakan ternak jenis ruminansia kecil. Kambing pertama kali dijinakkan pada zaman Neolitikum, di daerah Asia bagian Barat. Kambing memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan domba namun berbeda sifat biologisnya. Beberapa perbedaan besar antara spesies kambing dan domba, yaitu domba memiliki

stockier bodies yang lebih besar daripada kambing. Kambing memiliki ekor yang lebih pendek daripada domba, namun memiliki tanduk yang lebih panjang dan ada yang tumbuh ke atas, ke belakang dan keluar, sedangkan domba melingkar dan berbentuk spiral. Kambing jantan dewasa memiliki janggut mengelurkan bau yang khas yang berasal dari kelenjar “bandot”, namun domba jantan tidak. Tengkorak domba mempunyai tulang air mata dan dekat kotak matanya terdapat kelenjar praeorbital. Kambing tidak memiliki kelenjar scent pada bagian muka dan kakinya, domba memiliki kelenjar tersebut (organ khusus yang menyekresikan substansi aroma (pheromone) untuk menarik betina). Biasanya kambing lebih aktif daripada domba dan memiliki sifat dan kebiasaan suka berkelahi dan menangkis, sehingga dalam hal ini kambing dapat dengan mudah kembali ke alam liar (Gillespie dan James, 1992).

Kambing diklasifikasikan ke dalam: Kingdom Animalia; Phylum Chordata; Subphylum Vertebrata; Class Mammalia; Ordo Artiodactyla; Sub-ordo Ruminantia;

Family Bovidae; Sub-family Caprinae; Genus Capra dan Species hircus (Mileski dan Myers, 2004). Kambing (Capra hircus) memiliki 60 kromosom yang terdiri atas 29 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin (Gall, 1981). Penyebaran kambing sangat luas dan hampir tersebar di seluruh dunia, karena beberapa sifat unggul yang dimiliki oleh kambing, yaitu daya adaptasi yang baik dan tahan hidup pada daerah dengan hijauan terbatas (Gall, 1981) serta mampu memanfaatkan hijauan pakan secara efisien (Devendra dan Burns, 1994).

Kambing Peranakan Etawah (PE)

(5)

4 dari India pada tahun 1920-an (French, 1970). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dari India dengan kambing Kacang dari Indonesia.

Budidaya kambing PE berkembang sejak jaman pemerintah kolonial Belanda, hasilnya berupa susu, kambing pedaging (jantan muda) dan kambing kurban (jantan tua) yang lazim pula disebut bandot. Kambing PE banyak diternakkan di Kabupaten Purworejo (Jateng) dan Kabupaten Sleman serta Kulonprogo (DIY). Kambing PE di daerah Jateng dan DIY biasa disebut dengan kambing Gibas, kambing Benggolo atau kambing Koploh. Disebut dengan kambing Gibas karena bulu di bagian bawah ekor tumbuh memanjang. Disebut kambing Benggolo karena oleh masyarakat dianggap berasal dari "tanah Benggolo" (Bengali=India). Koploh berarti ukuran telinganya yang sangat panjang dan menggelantung ke bawah. Kambing PE telah berkembang dengan baik dan diterima oleh masyarakat (Heriyadi, 2004). Pemeliharaan kambing PE di Indonesia ditujukan untuk penghasil daging dan susu (dual purpose). Pemeliharaan kambing PE sebagai ternak penghasil daging dan susu memiliki potensi yang cukup tinggi karena memiliki kemampuan adaptasi yang luas, yaitu dari daerah tropis hingga subtropis, sehingga mampu beradaptasi dengan baik terhadap iklim yang ada di Indonesia.

Kambing PE mudah sekali dibedakan dari kambing Kacang (kambing lokal) dengan melihat ukuran, bobot tubuh serta penampilannya. Kambing Kacang berukuran kecil (bobot jantan 35 kg) sedangkan kambing PE jantan kualitas baik bisa mencapai bobot 100 kg. Telinga kambing Kacang pendek dan tegak, sementara telinga kambing PE panjang dan menggantung. Tulang muka (dahi) kambing Kacang rata, kambing PE melengkung. Tanda yang paling mencolok pada kambing PE adalah adanya bulu yang panjang di bagian bawah ekornya dan tidak pernah terdapat pada kambing Kacang. Tingkat kemurnian (keaslian) kambing PE sangat dijaga oleh masyarakat Purworejo dan Kolonprogo dengan membentuk organisasi peternak dan menciptakan kriteria keaslian (standar mutu) kambing PE jantan maupun betina.

(6)

5 bentuk hidung benguk, panjang telinga 25-30 cm menggantung ke bawah dan sedikit kaku, warna rambut bervariasi, kuping, kaki dan rambut yang panjang, memiliki ambing yang besar, dan produksi susu tinggi (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003).

Kambing PE dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dengan rataan jumlah sekelahiran 1-3 ekor (Balai Penelitian Ternak, 2001). Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal betina dan jantan sebesar 3,2 dan 3,7 kg (Setiadi dan Sutama, 1997). Masa laktasi kambing perah sekitar 6-7 bulan. Meskipun hasil susu kambing sering direkomendasikan bisa mencapai 2-2,5 liter per ekor per hari, namun dalam praktiknya, para peternak kambing hanya mampu menghasilkan susu kambing sebnyak 1,2 liter per ekor per hari (Balai Penelitian Ternak, 2001). Kambing PE di Indonesia mampu menghasilkan susu 2-3 liter per ekor per hari dengan masa laktasi lebih dari 150 hari (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003).

Gambar 1. Kambing PE (Kusuma dan Irmansyah, 2009)

Kambing Saanen

(7)

6 Karakteristik kambing Saanen ditinjau dari ukuran tubuhnya adalah medium sampai besar dengan pertulangan yang tidak datar dan tingkah lakunya aktif. Kambing Saanen umumnya berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga dan ambing serta betina Saanen biasanya tidak memiliki tanduk (Greenwood, 1997). Rambut pada kambing Saanen pendek dan halus, telinganya tegak dan mengarah ke depan dan mukanya lurus (Ensminger, 1987). Kambing Saanen agak sulit berkembang di daerah tropis karena sensitif terhadap sinar matahari, oleh karena itu dalam pemeliharaannya perlu menggunakan naungan (Devendra dan McLeroy, 1982).

Rataan berat badan kambing betina dan jantan adalah 65 dan 75 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Kambing Saanen mempunyai bobot dewasa kelamin sekitar 50-70 kg dan tinggi betina dan jantan sekitar 81 dan 94 cm. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 1,80 ekor (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu 216 kg dengan panjang laktasi 275 hari (Gall, 1981). Rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate prduksi susu dapat mencapai 5 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994)

(8)

7

Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA)

Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA) merupakan bangsa kambing hasil persilangan antara PE betina dan Saanen jantan. Rachman (2010) menyebut kambing ini dengan nama SAPE. Bangsa kambing ini memiliki karakteristik atau sifat di antara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing ini memiliki produksi susu harian yang lebih baik dari pada kambing PE, namun lebih rendah daripada Saanen impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Utomo et al., 2005) karena mempunyai masa laktasi yang lebih pendek (Ruhimat, 2003). Noorcandratini (2004) melaporkan bahwa produksi harian kambing PESA di PT Fajar Taurus rata-rata sebesar 1,8 liter.

Gambar 3. Kambing PESA (Rachman, 2010)

Gen Growth Hormone (GH)

Growth hormone (GH) merupakan hormon peptida dengan rantai polipeptida tunggal 190 atau 191 asam amino yang terdiri dari dua jembatan disulfida (Paladini

et al., 1983) yang mengatur pertumbuhan, perkembangan dan beragam aktivitas metabolis (Sterle et al., 1995; Ran et al., 2004). Gen GH merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotropin pada lobus anterior kelenjar pituitary (Ayuk dan Sheppard, 2006). Gen GH pada semua mamalia memanjang sampai 2-3 kb dan terdiri dari lima exon yang dipisahkan oleh empat

(9)

8 (Yuwono, 2008). Sekuens gen GH kambing memiliki panjang 2544 pb (Kioka et al., 1989) dan masing-masing exon dan intron memiliki panjang sekuens nukleotida yang berbeda (Jakaria, 2008).

Pengaruh gen GH pada pertumbuhan telah diteliti pada beberapa jaringan, termasuk tulang, otot dan jaringan adiposa. Banyak penelitian pada ruminansia menguatkan peranan gen GH dalam mengatur pertumbuhan kelenjar ambing. Gen GH dengan fungsi dan posisinya yang potensial telah banyak dipakai sebagai marker. Gen GH memiliki panjang exon dan intron yang berbeda-beda. Rekonstruksi struktur gen GH Capra hircus berdasarkan data yang terdapat di GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/D00476.1) dapat dilihat pada Gambar 4 dan sekuens gen GH kambing secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan: Lokus : D00476 Panjang : 2544 bp

Gen : 432-444, 692-852, 1080-1196, 1426-1587, 1864-2064

Exon 1 : 432-444 = 13 bp Intron 1 : 445-691 = 247 bp

Exon 2 : 692-852 = 161 bp Intron 2 : 853-1079 = 227 bp

Exon 3 : 1080-1196 = 117 bp Intron 3 : 1197-1425 = 229 bp

Exon 4 : 1426-1587 = 162 bp Intron 4 : 1588-1863 = 276 bp

Exon 5 : 1864-2064 = 201 bp

Gambar 4. Rekonstruksi Struktur Gen GH pada Kambing Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR merupakan suatu reaksi untuk menggandakan jumlah molekul DNA target secara in vitro dengan berulang melalui perpanjangan dua primer pada suatu areal DNA tertentu. Reaksi ini menghasilkan produk amplikasi (amplikon) dengan jumlah yang meningkat secara eksponensial dari jumlah DNA awal. Reaksi ini bekerja dengan cara menyintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase dan dua oligonukleotida sebagai primer (primer forward dan primer reverse).

Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4

Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 Flanking

(10)

9

Keterangan: Warna biru = daerah open reading frame (ORF) Huruf kapital = daerah exon

Huruf kecil = daerah intron

Cetak tebal = posisi primer gen GH exon 4

Gambar 5. Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011)

Sintesis rangkaian DNA yang baru memerlukan dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP). Reaksi PCR berlangsung dalam lima tahap, yaitu denaturasi awal, denaturasi akhir, penempelan primer (annealing), pemanjangan (extension) dan inkubasi. Proses denaturasi-penempelan-ekstensi disebut satu siklus dan proses ini biasanya berlangsung sebanyak 35-40 siklus (Muladno, 2002). Reaksi PCR dipengaruhi oleh reaksi campuran DNA template (yang mengandung sekuen yang

1 gggattttct gacccaggga ttaaacctga gtctcctgca tttgcagctc gattctttat 61 ggctgagcca cctgggaagc ccattcgttt ctgctacctc ccccttaaaa agaaaaccta 121 tggggtgggc tctcaagctg agaccctgtg tgtacagccc tcaggctggt ggcagtggag 181 aggggatgat gatgagcctg ggggacatga ccccagagaa ggaacgggaa caggatgagt 241 gagaggaggt tctaaattat ccattagcac aggctgccag tggtccttgc ataaatgtat 301 agagcacaca ggtgggggga aagggagaga gaagaagcca gggtataaaa agggcccagc 361 agagaccaat tccaggatcc caggacccag ttcaccagac gactcagggt cctgctgaca 421 gctcaccaac tATGATGGCT GCAGgtaagc tcacaaaaat cccctccatt agcgtgtcct

481 aagggggtga tgcgggagaa ctgccgatgg atgtgtccac agctttgggt tttagggctt

541 ctgaatgcga acataggtat ctgcacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt

601 ccctggaggg aagggcaggc gggggctggc aggagatcag gcatccagct ctctgggccc

661 ctccgtcgcg gccctcctgg tctctcccta gGGCCCCGGA CGTCCCTGCT CCTGGCTTTC

721 ACCCTGCTCT GCCTGCCCTG GACTCAGGTG GTGGGCGCCT TCCCAGCCAT GTCCTTGTCC

781 GGCCTGTTTG CCAACGCTGT GCTCCGGGCT CAGCACCTGC ATCAACTGGC TGCTGACACC

841 TTCAAAGAGT TTgtaagctc cccagagatg tgtcctagag gtggggaggc aggaaggggt

901 gaatccgcac cccctccaca caatgggagg gaactgagga cctcagtggt attttatcca

961 agtaaggatg tggtcagggg agtagaaatg ggggtgtgtg gggtggggag ggttccgaat

1021 aaggcagtga ggggaaccac acaccagctt agacccgggt gggtgtgttc tccccccagG

1081 AGCGCACCTA CATCCCGGAG GGACAGAGAT ACTCCATCCA GAACACCCAG GTTGCCTTCT

1141 GCTTCTCCGA AACCATCCCG GCCCCCACGG GCAAGAATGA GGCCCAGCAG AAATCAgtga

1201 gtggccacct aggaccgagg agcaggggac ctccttcatc ttaagtaggc tgccccagct

1261 ctctgcaccg ggcctggggt ggcgttctcc ctgaggtggc agagggtgtt ggatggcagt

1321 ggaggatgat ggttggtggt ggtggcagga ggtcctcggg cagaggccga ccttgcaggg

1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcagGACTT GGAGCTGCTT

1441 CGCATCTCAC TGCTCCTTAT CCAGTCGTGG CTTGGGCCCC TGCAGTTCCT CAGCAGAGTC

1501 TTCACCAACA GCCTGGTGTT TGGCACCTCG GACCGTGTCT ATGAGAAGCT GAAGGACCTG

1561 GAGGAAGGCA TCCTGGCGCT GATGCGGgtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct

1621 gggggccatg cccaccctct cctggcttag ccaggagaac acacgtgggc tgggggagag

1681 agatccctgc tctctctctc tctttctagc agcccagtct tgacccagga gaaacctctt

1741 cccgttttga aacctccttc ctcgcccttc tccaagccta taggggaggg tggaaaatgg

1801 agcgggcagg agggagccgc tcctgagggc cttcggcctc tctgtctctc cctcccttgg

1861 cagGAGCTGG AAGATGTTAC CCCCCGGGCT GGGCAGATCC TCAAGCAGAC CTATGACAAA

1921 TTTGACACAA ACATGCGGAG TGACGACGCG CTGCTGAAGA ACTACGGTCT GCTCTCCTGC

1981 TTCCGGAAGG ACCTGCACAA GACGGAGACG TACCTGAGGG TCATGAAGTG TCGCCGCTTC

(11)

10 akan diamplifikasi), primer, campuran nukleotida dan berbagai senyawa biokimia lainnya dan enzim yang tahan terhadap panas yang disebut sebagai DNA

polymerase. Semua campuran reaksi tersebut berada dalam satu plastic tube

(Claverie dan Notredame, 2003).

Efisiensi amplifikasi PCR dapat ditingkatkan dengan memperkecil ukuran DNA target menjadi lebih kecil. DNA dapat dipotong secara fisik dengan meresuspensi atau mengocok DNA menggunakan ujung tips yang sempit atau secara kimia dengan menggunakan enzim restriksi. Pengecilan ukuran DNA target dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi denaturasi DNA target utas ganda menjadi DNA target utas tunggal (Gerhardt et al., 1994).

Komponen PCR antara lain DNA target, sepasang primer (forward dan reverse), dNTP, DNA polymerase untuk PCR dan buffer. Produk amplifikasi harus spesifik dan menghasilkan produk amplifikasi yang besar (efisien), sehingga perlu optimasi kondisi PCR termasuk pemilihan kondisi DNA target, konsentrasi dan jenis DNA polymerase, dNTP, perancangan primer yang baik, penetapan siklus yang sesuai dan pemilihan mesin PCR yang baik (Gerhardt et al., 1994).

Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism

(PCR-SSCP)

PCR adalah suatu metode in vitro untuk mensintesis sekuens DNA spesifik secara enzimatis dengan menggunakan kedua oligonukleatida sebagai primer yang berhibridisasi secara berlawanan pada sisi target utas DNA yang diinginkan (Muladno, 2002). DNA dapat diperbanyak melalui reaksi berantai polymerase dari sehelai rambut, setetes darah, semen, kuku dan lain-lain.

(12)

11 komplementer yang akan diperbanyak dan extension atau pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002).

SSCP adalah metode elektroforesis yang populer untuk mengidentifikasi mutasi sekuens. Metode ini dianggap populer dengan asumsi dasarnya adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) dan laju migrasi pada saat elektroforesis (Orita et al., 1989; Barroso et al,. 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al., 1999). Fragmen DNA untai tunggal yang mengalami perubahan pada susunan nukleotidanya akan membentuk suatu konformasi tiga dimensi yang kompleks dan berbeda dengan fragmen DNA yang tidak mengalami perubahan (normal). Konformasi yang berbeda akan mempengaruhi laju migrasi dalam gel poliakrilamida sehingga dapat diidentifikasi keragamannya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi sensitifitas SSCP, yaitu: (1) konsentrasi

crosslinker; (2) konsentrasi DNA dan panjang fragmen DNA; (3) konsentrasi buffer, temperatur dan komposisi matriks gel (Beier, 1993); (4) komposisi produk PCR; (5) lama dan voltase elektroforesis dan (6) lokasi mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999).

(13)

12

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan mulai Februari hingga Juli 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Sampel Darah

Sampel darah kambing yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 240 sampel hasil koleksi di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 dan 2010. Sampel darah terdiri atas sampel darah kambing PE, Saanen dan PESA (Tabel 1).

Tabel 1. Bangsa, Populasi, dan Jumlah Sampel Darah Kambing

Bangsa Kambing Populasi Jumlah (ekor)

PE Ciapus 20

Cariu 28

Sukajaya 50

Saanen Cijeruk 20

Cariu 31

Sukabumi 40

PESA Cijeruk 7

Cariu 25

Balitnak 19

Total 240

Amplifikasi

(14)

13 1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcaggactt ggagctgctt

1441 cgcatctcac tgctccttat ccagtcgtgg cttgggcccc tgcagttcct cagcagagtc

1501 ttcaccaaca gcctggtgtt tggcacctcg gaccgtgtct atgagaagct gaaggacctg

1561 gaggaaggca tcctggcgct gatgcgggtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct Malveiro et al. (2001) yaitu forward 5’-GGA AGG GAC CCA ACA ATG CCA-3’ dan reverse 5’-CTG CCA GCA GGA CTT GGA GC-3’. Produk PCR yang diharapkan memiliki panjang 200 base pair (bp). Amplifikasi DNA menggunakan

thermocycler, tabung PCR, mikropipet, vortex, alat sentrifugasi, pipet tip, mikropipet 10, 20, 200 dan 1000 P. Posisi primer yang digunakan untuk amplifikasi gen GH

exon 4 dapat dilihat pada Gambar 6.

Keterangan: = primer forward

= primer reverse

Gambar 6. Posisi Primer Berdasarkan Sekuens Gen GH Exon 4 pada Kambing

Elektroforesis

Komposisi gel poliakrilamida 10% terdiri dari 15,4 ml aquades, 9,2 ml larutan 30% akrilamida (acrylamide:bisacrylamide = 29:1); 2,8 ml larutan 5 x TBE (tris boric acid-EDTA); 15 µl TEMED (N,N,N’,N’-tetramethylethylenediamine) dan 150 µl APS 10% (ammonium peroxodisulfat). Alat-alat yang digunakan adalah plat kaca untuk cetakan gel berukuran 20 x 20 cm2, pipet makro dan mikro. Pewarnaan perak digunakan larutan amonia, AgNO3, NaOH, 10 N NaOH, formaldehid dan asam asetat, sedangkan alat yang digunakan adalah nampan dan water bath shaker.

Prosedur

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan sampel darah mengikuti metode

phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989) (Lampiran 1).

Prosedur Polymerase Chain Reaction (PCR)

Gen GH exon 4 diamplifikasi menggunakan primer forward dan reserve

(15)

14 destilasi; 0,2 µl primer; 0,2 µl dNTP; 1,0 µl MgCl2, 1,2 µl 10 x Buffer taq dan 0,05 µl taq DNA dengan volume akhir 12 µl. Proses amplifikasi diawali dengan denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 5 menit, selanjutnya tahap denaturasi berlangsung pada suhu 95 oC selama 30 detik. Tahap berikutnya penempelan primer (annealing) pada suhu 64 oC selama 30 detik dan pemanjangan (extension) DNA pada suhu 72 oC selama 45 detik. Proses denaturasi-penempelan-ekstensi disebut satu siklus dan proses ini berlangsung sebanyak 35 siklus. Hasil amplifikasi kemudian dielektroforesis menggunakan agarose 1,5% dan difoto di bawah sinar UV. Amplikon yang memiliki panjang 200 bp siap dielektroforesis dengan SSCP.

Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP)

Metode SSCP yang dilakukan pada GH exon 4 berdasarkan Malveiro et al. (2001) sebanyak 10 µl produk PCR yang ditambahkan larutan formamida dye (95% formamida; 10 mM NaOH; 0,05% xylene cyanol dan 0,05% bromofenol blue) hingga mencapai 20 µl. Larutan formamida dye berfungsi untuk mencegah terjadinya penempelan kembali antar DNA untai tunggal sehingga diperoleh sampel DNA untai tunggal. Campuran didenaturasi pada suhu 95 oC selama lima menit agar fragmen DNA untai ganda menjadi untai tunggal. Setelah itu campuran didinginkan pada suhu 0 oC selama sekitar tiga menit. Sampel sebanyak 5 µl dimasukkan ke dalam gel poliakrilamida 10% untuk mendeteksi konformasi pita DNA. Sampel DNA dielektroforesis pada gel poliakrilamida pada tegangan 250 V selama delapan jam pada suhu 4 oC. Gel kemudian dipindahkan dari peralatan dan dilakukan pewarnaan perak (silver stainning).

(16)

15 direndam dalam larutan C (100 ml asam asetat) selama 3 menit untuk menghentikan reduksi perak.

Keragaman genotipe setiap individu ditentukan berdasarkan pita-pita yang muncul pada gel poliakrilamida. Penentuan genotipe dilakukan berdasarkan Malveiro

et al. (2001) (Gambar 7).

Gambar 7. Penentuan Genotipe Gen GH Exon 4 pada Kambing Algarvia Berdasarkan Metode PCR-SSCP (Malveiro et al., 2001)

Analisis Data

Frekuensi Alel dan Genotipe

Frekuensi alel pada setiap bangsa kambing (PE, Saanen dan PESA) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Nei dan Kumar, 2000):

Frekuensi genotipe dihitung dengan rumus sebagai berikut (Nei dan Kumar, 2000):

Keterangan:

Xi = frekuensi alel ke-i

Xii = frekuensi genotipe ke-i

nii = jumlah individu bergenotipe ii

nij = jumlah individu bergenotipe ij

(17)

16

Keseimbangan Hardy-Weinberg

Keseimbangan Hardy-Weinberg dihitung dengan rumus Chi-Kuadrat (χ²) sebagai berikut (Nei dan Kumar, 2000):

Keterangan:

χ2

= Chi-Kuadrat O = nilai pengamatan E = nilai harapan

∑ = sigma (jumlah dari nilai-nilai)

Derajat Heterozigositas

Keragaman genetik atau nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Weir, 1996):

Keterangan:

Ho = frekuensi heterozigositas pengamatan

N1ij = jumlah individu heterozigot pada lokus ke-1

(18)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen GH Exon 4

Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8).

Gambar 8. Elektroforesis Produk PCR Gen GH Exon 4 pada Kambing Jumlah sampel yang berhasil diamplifikasi sebanyak 208 sampel dari total 240 sampel atau sebesar 86,67%. Amplifikasi diawali dengan denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 5 menit yang berfungsi untuk pemisahan untai DNA sehingga strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal. Denaturasi berikutnya berlangsung pada suhu yang sama selama 30 detik. Tahap selanjutnya annealing

pada suhu 64 oC sebagai suhu optimal yang berlangsung selama 30 detik. Setelah primer forward yang berada sebelum daerah target dan primer reverse yang berada setelah daerah target menempel pada posisi komplemennya, enzim polymerase mulai mensintesis molekul DNA yang baru. Sintesis molekul DNA yang baru terjadi pada suhu 72 oC selama 45 detik dan proses ini disebut dengan ekstensi. Proses denaturasi-penempelan-ekstensi berlangsung sebanyak 35 siklus.

Suhu annealing yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan Malveiro

et al. (2001) yang menggunakan bangsa kambing Algarvia diperoleh suhu 70 oC. Gupta et al. (2007) juga melakukan penelitian terhadap gen GH exon 4 pada bangsa kambing Black Bengal menggunakan primer yang sama diperoleh suhu 62 oC, dengan demikian perbedaan ini dapat dikarenakan faktor genetik. Muladno (2002)

M=Marker; 1-10=Kambing Saanen

200 bp (−)

(+) M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(19)

18 menyatakan bahwa perbedaan suhu annealing terjadi karena perbedaan panjang primer, semakin panjang primer maka semakin tinggi temperatur yang diperlukan.

Keberhasilan amplifikasi sangat ditentukan selain suhu penempelan primer, juga konsentrasi sampel DNA, taqpolymerase, dinukleotida, ion Mg, buffer, primer (Muladno, 2002), komposisi mix PCR dan kondisi thermocycler. Kekurang-berhasilan amplifikasi DNA secara spesifik dapat dikarenakan penempelan primer tidak tepat sehingga perbanyakan secara in vitro tidak terjadi dan metode ekstraksi yang digunakan kurang optimal sehingga kandungan materi pengotor masih tinggi (Agung, 2009).

Penentuan Genotipe Gen GH Exon 4

Penelitian gen GH exon 4 pada kambing PE, Saanen dan PESA ditemukan empat macam genotipe, yaitu DD, DE, EE dan GH (Gambar 9) dan empat macam alel, yaitu alel D, E, G dan H. Genotipe dibedakan berdasarkan jumlah dan posisi pita yang muncul pada gel poliakrilamida yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Malveiro et al. (2001).

Keterangan: 1-11 = Bangsa PE 12 = Bangsa PESA 13-19 = Bangsa Saanen

Gambar 9. Penentuan Genotipe Kambing PE, Saanen dan PESA di Gen GH Exon 4

Genotipe DD merupakan genotipe homozigot yang ditandai dengan munculnya lima pita, dua pita pada bagian bawah saling berdekatan dan tiga pita lainnya pada bagian atas. Genotipe DE ditandai dengan munculnya tiga pita. Sama seperti genotipe DD, genotipe DE ditandai dengan munculnya dua pita yang saling berdekatan pada bagian bawah dan satu pita pada bagian atas. Genotipe EE

Genotipe: EE DE EE DE EE EE DE EE DE DE EE DD EE EE DD GH GH GH GH

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

(−)

(20)

19 merupakan genotipe homozigot yang ditandai dengan munculnya dua pita dengan jarak yang cukup jauh dan genotipe GH ditandai dengan munculnya empat pita dan merupakan genotipe heterozigot dengan pita terpanjang. Bastos et al. (2001) menyatakan bahwa jumlah maksimum pita yang muncul dari satu individu diploid adalah empat pita, namun demikian ada beberapa penelitian menemukan pita yang lebih dari empat. Munculnya pita-pita yang dihasilkan lebih dari empat pita karena hasil duplikasi gen dengan dua alel per lokus pada ternak yang bersangkutan (Malveiro et al., 2001), namun hipotesis ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut pada banyak ternak. Hasil ini diperoleh dua genotipe yang sama dengan penelitian yang dilakukan pada bangsa kambing Algarvia, yaitu genotipe DD dan EE. Dua genotipe heterozigot lainnya, yaitu DE dan GH tidak ditemukan pada penelitian sebelumnya.

Malveiro et al. (2001) menyatakan bahwa genotipe GH exon 4 sangat beragam dan kehadiran pita yang kurang intensif merupakan akibat dari kompleksitas dan perlu diteliti lanjut dengan sekuensing. Genotipe yang berbeda satu dengan yang lainnya perlu direkonstruksi supaya jelas perbedaan pita satu dengan pita yang lainnya, dengan catatan genotipe diurut berdasarkan bobot molekul yang paling berat (Gambar 10).

Gambar 10. Rekonstruksi Genotipe Berdasarkan Pola Pita Gen GH Exon 4 pada Kambing

(21)

20

Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GH

Frekuensi genotipe dan alel pada fragmen gen GH exon 4 pada kambing PE, Saanen dan PESA disajikan pada Tabel 2. Frekuensi genotipe dan alel pada ketiga bangsa kambing berbeda. Frekuensi genotipe tertinggi 0,784 (genotipe DE) terdapat pada bangsa kambing PESA, sedangkan frekuensi genotipe terendah 0,017 (genotipe DD) terdapat pada bangsa kambing Saanen. Frekuensi alel tertinggi 0,619 (alel E) terdapat pada bangsa kambing PE, sedangkan frekuensi alel terendah 0,036 (alel G dan H) terdapat pada bangsa kambing PE.

Tabel 2. Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GH Exon 4 pada Beberapa Bangsa

Keterangan: n = jumlah individu setiap populasi * = kosong/blank

(22)

21 bangsa kambing PESA juga hanya memiliki tiga genotipe dengan frekuensi masing-masing, yaitu DD (0,078), DE (0,784) dan GH (0,137), sedangkan frekuensi alel masing-masing, yaitu D (0,471), E (0,392), G dan H (0,069).

Jika dilihat berdasarkan populasi pada kambing PE, frekuensi genotipe tertinggi terdapat pada genotipe DE (1,000) di populasi Ciapus, sedangkan frekuensi alel tertinggi terdapat pada alel E (0,800) di populasi Sukajaya. Kambing Saanen di populasi Cijeruk memiliki frekuensi genotipe tertinggi, yaitu genotipe GH (1,000) dengan frekuensi alel tertinggi yaitu alel E (0,513) pada populasi Taurus. Kambing PESA memiliki frekuensi genotipe tertinggi, yaitu sebesar 1,000 untuk genotipe DE pada populasi Cariu dan genotipe GH pada populasi Cijeruk, sedangkan frekuensi alel tertinggi terdapat pada alel D (0,605) di populasi Balitnak.

Frekuensi genotipe bangsa kambing Saanen pada populasi Cariu tidak dapat dihitung karena berdasarkan hasil SSCP tidak ditemukan pita (kosong). Frekuensi genotipe bangsa kambing Saanen yang dihitung hanya berasal dari dua populasi, yaitu Cijeruk dan Taurus Dairy Farm. Bangsa PE tidak ditemukan memiliki genotipe DD, demikian halnya dengan bangsa PESA sama sekali tidak memiliki genotipe EE. Ada beberapa populasi yang tidak memiliki salah satu dari keempat genotipe yang diperoleh, yaitu genotipe DD tidak ditemukan pada bangsa PE di populasi Cijeruk, Cariu dan Sukajaya, bangsa Saanen di populasi Cijeruk dan bangsa PESA di populasi Cijeruk dan Cariu. Genotipe DE tidak ditemukan pada bangsa Saanen dan PESA di populasi Cijeruk. Genotipe EE tidak ditemukan pada bangsa PE di populasi Ciapus dan Cariu, bangsa Saanen di populasi Cijeruk dan bangsa PESA di populasi Cijeruk, Cariu dan Balitnak. Genotipe GH tidak ditemukan pada bangsa PE di populasi Ciapus, bangsa Saanen di populasi Taurus dan bangsa PESA di populasi Cariu dan Balitnak.

(23)

22 suatu populasi ditemukan dua atau lebih alel (atau lebih dari 0,01) (Nei dan Kumar, 2000). Hal ini didukung oleh Falconer dan Mackay (1996) yang menyatakan bahwa sebuah lokus polimorfik ditandai dengan salah satu frekuensi alelnya kurang dari 0,99 atau 99%.

Keseimbangan Gen dalam Populasi

Hasil analisis Keseimbangan Hardy-Weinberg gen GH exon 4 pada kambing PE di populasi Ciapus dan Cariu, Saanen di populasi Cijeruk dan Taurus serta PESA di populasi Cariu dan Balitnak sangat berbeda nyata (P<0,01), sedangkan pada kambing PE di populasi Sukajaya dan PESA di populasi Cijeruk tidak berbeda nyata (P>0,01) (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg

Bangsa Kambing Populasi χ²

PE Ciapus (n= 20) 20,000**

Cariu (n=28) 66,722**

Sukajaya (n=50) 3,125tn

Saanen Cijeruk (n=20) 10,000**

Taurus (n=40) 28,979**

PESA Cijeruk (n=7) 3,500tn

Cariu (n=25) 25,000**

Balitnak (n=19) 8,081**

Keterangan: (tn) = tidak nyata

(**) = nyata pada taraf α = 0,01; χtabel = 6, n = jumlah individu setiap populasi

(24)

23 Noor (2008) menyatakan bahwa suatu populasi dinyatakan berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg jika frekuensi genotipe (p2, 2pq, q2) dan frekuensi alel (p dan q) adalah satu, akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak dalam populasi yang besar. Keseimbangan gen pada populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Sebaliknya, jika terjadi akumulasi genotipe, populasi yang terbagi, mutasi, seleksi, migrasi, dan perkawinan dalam populasi yang sama dapat menimbulkan ketidakseimbangan frekuensi genotipe atau alel di populasi tersebut.

Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho)

Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) pada fragmen gen GH exon 4 pada kambing PE, Saanen dan PESA disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Ho tertinggi, yaitu 1,000, pada kambing PE terdapat di populasi Ciapus dan Cariu, kambing Saanen terdapat di populasi Cijeruk dan kambing PESA terdapat di populasi Cijeruk dan Cariu. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) 1,000 mengindikasikan bahwa individu-individu dalam populasi tersebut bergenotipe heterozigot.

Tabel 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) pada Fragmen Gen GH

Bangsa Kambing Populasi Heterozigositas

PE Ciapus (n=20) 1,000

Cariu (n=28) 1,000

Sukajaya (n=50) 0,400

0,691

Saanen Cijeruk (n=20) 1,000

Cariu (n=31) -

Taurus (n=40) 0,925

0,950

PESA Cijeruk (n=7) 1,000

Cariu (n=25) 1,000

Balitnak (n= 19) 0,789

0,922

(25)
(26)

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil identifikasi gen GH exon 4 pada kambing PE, Saanen dan PESA bersifat polimorfik (beragam). Ditemukan empat macam genotipe, yaitu genotipe DD, DE, EE dan GH dan empat macam alel, yaitu alel D, E, G dan H. Gen GH exon

4 secara umum tidak berada dalam Keseimbangan Hardy-Weinberg. Nilai heterozigositas pegamatan (Ho) tinggi pada bangsa kambing PE, Saanen dan PESA.

Saran

(27)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN

GEN HORMON PERTUMBUHAN

EXON

4

PADA KAMBING PE, SAANEN DAN PESA

DENGAN METODE PCR-SSCP

SKRIPSI

LENNY ROMAULI MARPAUNG

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(28)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN

GEN HORMON PERTUMBUHAN

EXON

4

PADA KAMBING PE, SAANEN DAN PESA

DENGAN METODE PCR-SSCP

SKRIPSI

LENNY ROMAULI MARPAUNG

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(29)

RINGKASAN

LENNY ROMAULI MARPAUNG. D14070097. 2011. Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Exon 4 pada Kambing PE, Saanen dan PESA dengan Metode PCR-SSCP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

Ternak kambing di Indonesia memiliki potensi produktivitas yang cukup tinggi sebagai penghasil daging dan susu yang berperan sebagai sumber daya genetik ternak yang perlu dikembangkan. Gen growth hormone (GH) merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar pituitary. Gen GH dengan fungsi dan posisinya yang potensial telah digunakan secara luas sebagai

marker pada beberapa ternak, termasuk kambing. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman gen GH di exon 4 pada kambing PE (Peranakan Etawah), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) dengan metode polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP).

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada Februari hingga Juli 2011. Sampel darah kambing yang digunakan berjumlah 240 sampel koleksi laboratorium. Sampel darah kambing PE berasal dari populasi Ciapus (20 sampel), Cariu (28 sampel) dan Sukajaya (50 sampel). Sampel kambing Saanen berasal dari populasi Cijeruk (20 sampel), Cariu (31 sampel) dan Sukabumi (40 sampel). Sampel kambing PESA berasal dari populasi Cijeruk (7 sampel), Cariu (25 sampel) dan Balitnak (19 sampel). Sampel DNA diamplifikasi menggunakan primer yang mengacu pada Malveiro et al. (2001) yaitu forward 5’-GGA AGG GAC CCA ACA ATG CCA-3’ dan reverse 5’-CTG CCA GCA GGA CTT GGA GC-3’. Produk amplifikasi polymerase chain reaction (PCR) digenotiping dengan metode single strand conformation polymorphism (SSCP) pada gel poliakrilamid 10% dan pewarnaan perak (silver stainning). Data dianalisis berdasarkan frekuensi genotipe dan alel, Keseimbangan Hardy-Weinberg dan nilai heterozigositas pengamatan.

Keragaman gen GH exon 4 pada kambing PE, Saanen dan PESA ditemukan empat alel, yaitu alel D, E, G dan H. Frekuensi alel tertinggi yaitu alel D (0,605) pada kambing PESA, alel E (0,800) pada kambing PE, alel G dan H (0,500) pada kambing Saanen dan PESA. Jumlah genotipe yang diperoleh empat macam, yaitu genotipe DD, DE, EE dan GH. Frekuensi genotipe tertinggi yaitu, DD (0,211) pada kambing PESA, DE (1,000) pada kambing PE dan PESA, EE (0,600) pada kambing PE dan GH (1,000) pada kambing Saanen dan PESA. Uji Chi-Kuadrat menunjukkan bahwa gen-gen ini secara umum tidak berada dalam Keseimbangan Hardy-Weinberg (P<0,01). Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) gen GH exon 4 pada bangsa kambing PE, Saanen dan PESA masing-masing 0,691, 0,950 dan 0,922, dengan demikian gen GH exon 4 pada ketiga bangsa kambing memiliki polimorfisme yang tinggi.

(30)

ABSTRACT

Identification of Genetic Polymorphism at Exon 4 Growth Hormone Gene within Peranakan Etawah, Saanen and PESA Goat

Using PCR-SSCP Method

Marpaung, L. R., Jakaria and Muladno

This research was conducted to identify genetic polymorphism at the exon 4 growth hormone gene in three goat breeds, namely PE, Saanen and PESA. Total DNA samples used are 240 samples which consist of three breeds, namely PE (98 samples, from Ciapus 20 samples, Carius 28 samples and Sukajaya 50 samples), Saanen (91 samples, from Cijeruk 20 samples, Cariu 31 samples and Sukabumi 40 samples) and PESA (51 samples, from Cijeruk 7 samples, Cariu 25 samples and Balitnak 19 samples). The GH gene exon 4 amplified by thermocylcer machine at 64 oC with 200 base pair length. The PCR product was analyzed by SSCP method using 10% of acrylamide concentration for 8 hours at 250 voltage. The result showed there are four conformational patterns with each genotype frequency, they are DD (0,211), DE (1,000), EE (0,600) and GH (1,000). The SSCP analysis result found four alleles with their highest frequencies, namely D (0,605) in PESA breed, E (0,800) in PE breed, G and H (0,500) in Saanen and PESA breed. The result of χ² test showed that the growth hormone gene exon 4 are in Hardy-Weinberg disequilibrium generally in three goat breeds (P<0,01). Heterozigosity values of PE, Saanen and PESA breeds were 0,691, 0,950 and 0,922, respectively. According to the genotyping, the exon 4 of the GH gene were found to be highly polymorphic.

(31)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN

GEN HORMON PERTUMBUHAN

EXON

4

PADA KAMBING PE, SAANEN DAN PESA

DENGAN METODE PCR-SSCP

LENNY ROMAULI MARPAUNG

D14070097

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)

Judul : Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Exon 4 pada Kambing PE, Saanen dan PESA dengan Metode PCR-SSCP

Nama : Lenny Romauli Marpaung NIM : D14070097

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si.) (Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA) NIP: 19660105 199303 1 001 NIP: 19610824 198603 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(33)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 September 1989 di Medan, Sumatera Utara. Penulis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Bakhtiar Marpaung dan Ibu Mariati Butar-Butar.

Penulis mengecap pendidikan dasar di SD Inpres 097805 Pematang Siantar pada tahun 1995 hingga 2001. Pendidikan menengah pertama ditempuh di SMP Negeri 1 Pematang Siantar dari tahun 2001 hingga 2004. Pendidikan menengah atas untuk tahun pertama (2004-2005) dijalani penulis di SMA Negeri 1 Lubuk Pakam dan tahun berikutnya hingga lulus (2005-2007) dilanjutkan di SMA Negeri 5 Medan.

(34)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasihNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Exon 4 pada Kambing PE, Saanen dan PESA dengan Metode PCR-SSCP.

Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi produktivitas yang cukup tinggi sebagai penghasil daging dan susu. Kambing dapat dijadikan sebagai sumber daya genetik ternak ruminansia kecil dengan mengeksplorasi keragaman genetiknya. Eksplorasi peningkatan mutu genetik kambing dapat dilakukan dengan seleksi pada tingkat DNA.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman gen growth hormone

(GH) exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) dengan metode polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP). Populasi kambing yang diteliti berasal dari enam daerah di Bogor. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini berupa keragaman genetik gen GH

exon 4 pada ketiga bangsa tersebut. Hasil ini diharapkan dapat digunakan sebagai penciri DNA, khususnya ternak kambing perah lokal, dalam mengembangkan bibit unggul. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi inspirasi mahasiswa peternakan lainnya untuk lebih mengembangkan sumber daya genetik ternak kambing. Semoga skripsi ini berguna dan memberikan sumbangan di bidang peternakan Indonesia.

Bogor, September 2011

(35)

DAFTAR ISI

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17 Amplifikasi Gen GH Exon 4 ... 17 Penentuan Genotipe Gen GH Exon 4 ... 18 Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GH ... 20 Keseimbangan Gen dalam Populasi ... 22 Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) ... 23 KESIMPULAN DAN SARAN ... 25 Kesimpulan ... 25 Saran ... 25 UCAPAN TERIMA KASIH ... 26 DAFTAR PUSTAKA ... 28 LAMPIRAN ... 32 Informasi Sekuens Gen GH pada Ternak Kambing ... 33 Protokol Ekstraksi DNA Metode Fenol ... 35 Tabel Pengamatan dan Harapan Genotipe ... 36

(37)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Bangsa, Populasi, dan Jumlah Sampel Darah Kambing ... 12 2. Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GH Exon 4 pada Kambing

(38)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kambing PE ... 5 2. Kambing Saanen ... 6 3. Kambing PESA ... 7 4. Rekonstruksi Struktur Gen GH Kambing ... 8 5. Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011) ... 9 6. Posisi Primer Berdasarkan Sekuens Gen GH Exon 4 pada Kambing 13 7. Penentuan Genotipe Gen GH Exon 4 pada Kambing Algarvia

Berdasarkan Metode PCR-SSCP (Malveiro et al., 2001) ... 15 8. Elektroforesis Produk PCR Gen GH Exon 4 pada Kambing ... 17 9. Penentuan Genotipe Kambing PE, Saanen dan PESA di Gen GH Exon 4 18 10. Rekonstruksi Genotipe Berdasarkan Pola Pita Gen GH Exon 4

(39)

DAFTARLAMPIRAN

Nomor Halaman

(40)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup tinggi. Kambing di Indonesia telah dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging, susu, maupun keduanya (dwiguna) dan kulit. Kambing secara umum memiliki beberapa keunggulannya antara lain mampu beradaptasi dalam kondisi yang ekstrim, tahan terhadap beberapa penyakit, cepat berkembang biak dan prolifik (beranak banyak).

Populasi kambing di Indonesia sendiri masih tergolong rendah, saat ini berjumlah sekitar 15,20 juta ekor dengan pertumbuhan populasi 5,52% per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Data mengenai bangsa kambing perah di Indonesia sendiri belum ada, padahal kebutuhan dan konsumsi akan protein hewani dari daging dan susu meningkat dari tahun ke tahun. Umumnya, pemenuhan kebutuhan protein hewani, khususnya susu diperoleh dari ternak sapi perah. Produksi susu di Indonesia pada tahun 2010 baru mencapai sekitar 26% dari kebutuhan nasional (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Defisit penyediaan susu yang tidak terpenuhi dari sapi perah ini merupakan peluang bagi pengembangan ternak kambing perah. Namun demikian, peternak masih banyak menghadapi kendala dalam mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan ternak kambing, khususnya kambing perah.

(41)

2 Salah satu gen penting yang memengaruhi sifat-sifat tertentu pada ternak adalah gen hormon pertumbuhan atau gen growth hormone (GH). Gen GH merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar

pituitary. Gen ini memiliki peranan penting dalam pertumbuhan jaringan, laktasi, reproduksi dan metabolisme protein, lipid dan karbohidrat. Mengingat kurangnya informasi tentang karakteristik gen GH exon 4 pada kambing PE, Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen), makan penelitian ini perlu dilakukan.

Tujuan

(42)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Kambing

Kambing merupakan ternak jenis ruminansia kecil. Kambing pertama kali dijinakkan pada zaman Neolitikum, di daerah Asia bagian Barat. Kambing memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan domba namun berbeda sifat biologisnya. Beberapa perbedaan besar antara spesies kambing dan domba, yaitu domba memiliki

stockier bodies yang lebih besar daripada kambing. Kambing memiliki ekor yang lebih pendek daripada domba, namun memiliki tanduk yang lebih panjang dan ada yang tumbuh ke atas, ke belakang dan keluar, sedangkan domba melingkar dan berbentuk spiral. Kambing jantan dewasa memiliki janggut mengelurkan bau yang khas yang berasal dari kelenjar “bandot”, namun domba jantan tidak. Tengkorak domba mempunyai tulang air mata dan dekat kotak matanya terdapat kelenjar praeorbital. Kambing tidak memiliki kelenjar scent pada bagian muka dan kakinya, domba memiliki kelenjar tersebut (organ khusus yang menyekresikan substansi aroma (pheromone) untuk menarik betina). Biasanya kambing lebih aktif daripada domba dan memiliki sifat dan kebiasaan suka berkelahi dan menangkis, sehingga dalam hal ini kambing dapat dengan mudah kembali ke alam liar (Gillespie dan James, 1992).

Kambing diklasifikasikan ke dalam: Kingdom Animalia; Phylum Chordata; Subphylum Vertebrata; Class Mammalia; Ordo Artiodactyla; Sub-ordo Ruminantia;

Family Bovidae; Sub-family Caprinae; Genus Capra dan Species hircus (Mileski dan Myers, 2004). Kambing (Capra hircus) memiliki 60 kromosom yang terdiri atas 29 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin (Gall, 1981). Penyebaran kambing sangat luas dan hampir tersebar di seluruh dunia, karena beberapa sifat unggul yang dimiliki oleh kambing, yaitu daya adaptasi yang baik dan tahan hidup pada daerah dengan hijauan terbatas (Gall, 1981) serta mampu memanfaatkan hijauan pakan secara efisien (Devendra dan Burns, 1994).

Kambing Peranakan Etawah (PE)

(43)

4 dari India pada tahun 1920-an (French, 1970). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dari India dengan kambing Kacang dari Indonesia.

Budidaya kambing PE berkembang sejak jaman pemerintah kolonial Belanda, hasilnya berupa susu, kambing pedaging (jantan muda) dan kambing kurban (jantan tua) yang lazim pula disebut bandot. Kambing PE banyak diternakkan di Kabupaten Purworejo (Jateng) dan Kabupaten Sleman serta Kulonprogo (DIY). Kambing PE di daerah Jateng dan DIY biasa disebut dengan kambing Gibas, kambing Benggolo atau kambing Koploh. Disebut dengan kambing Gibas karena bulu di bagian bawah ekor tumbuh memanjang. Disebut kambing Benggolo karena oleh masyarakat dianggap berasal dari "tanah Benggolo" (Bengali=India). Koploh berarti ukuran telinganya yang sangat panjang dan menggelantung ke bawah. Kambing PE telah berkembang dengan baik dan diterima oleh masyarakat (Heriyadi, 2004). Pemeliharaan kambing PE di Indonesia ditujukan untuk penghasil daging dan susu (dual purpose). Pemeliharaan kambing PE sebagai ternak penghasil daging dan susu memiliki potensi yang cukup tinggi karena memiliki kemampuan adaptasi yang luas, yaitu dari daerah tropis hingga subtropis, sehingga mampu beradaptasi dengan baik terhadap iklim yang ada di Indonesia.

Kambing PE mudah sekali dibedakan dari kambing Kacang (kambing lokal) dengan melihat ukuran, bobot tubuh serta penampilannya. Kambing Kacang berukuran kecil (bobot jantan 35 kg) sedangkan kambing PE jantan kualitas baik bisa mencapai bobot 100 kg. Telinga kambing Kacang pendek dan tegak, sementara telinga kambing PE panjang dan menggantung. Tulang muka (dahi) kambing Kacang rata, kambing PE melengkung. Tanda yang paling mencolok pada kambing PE adalah adanya bulu yang panjang di bagian bawah ekornya dan tidak pernah terdapat pada kambing Kacang. Tingkat kemurnian (keaslian) kambing PE sangat dijaga oleh masyarakat Purworejo dan Kolonprogo dengan membentuk organisasi peternak dan menciptakan kriteria keaslian (standar mutu) kambing PE jantan maupun betina.

(44)

5 bentuk hidung benguk, panjang telinga 25-30 cm menggantung ke bawah dan sedikit kaku, warna rambut bervariasi, kuping, kaki dan rambut yang panjang, memiliki ambing yang besar, dan produksi susu tinggi (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003).

Kambing PE dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dengan rataan jumlah sekelahiran 1-3 ekor (Balai Penelitian Ternak, 2001). Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal betina dan jantan sebesar 3,2 dan 3,7 kg (Setiadi dan Sutama, 1997). Masa laktasi kambing perah sekitar 6-7 bulan. Meskipun hasil susu kambing sering direkomendasikan bisa mencapai 2-2,5 liter per ekor per hari, namun dalam praktiknya, para peternak kambing hanya mampu menghasilkan susu kambing sebnyak 1,2 liter per ekor per hari (Balai Penelitian Ternak, 2001). Kambing PE di Indonesia mampu menghasilkan susu 2-3 liter per ekor per hari dengan masa laktasi lebih dari 150 hari (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003).

Gambar 1. Kambing PE (Kusuma dan Irmansyah, 2009)

Kambing Saanen

(45)

6 Karakteristik kambing Saanen ditinjau dari ukuran tubuhnya adalah medium sampai besar dengan pertulangan yang tidak datar dan tingkah lakunya aktif. Kambing Saanen umumnya berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga dan ambing serta betina Saanen biasanya tidak memiliki tanduk (Greenwood, 1997). Rambut pada kambing Saanen pendek dan halus, telinganya tegak dan mengarah ke depan dan mukanya lurus (Ensminger, 1987). Kambing Saanen agak sulit berkembang di daerah tropis karena sensitif terhadap sinar matahari, oleh karena itu dalam pemeliharaannya perlu menggunakan naungan (Devendra dan McLeroy, 1982).

Rataan berat badan kambing betina dan jantan adalah 65 dan 75 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Kambing Saanen mempunyai bobot dewasa kelamin sekitar 50-70 kg dan tinggi betina dan jantan sekitar 81 dan 94 cm. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 1,80 ekor (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu 216 kg dengan panjang laktasi 275 hari (Gall, 1981). Rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate prduksi susu dapat mencapai 5 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994)

(46)

7

Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA)

Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA) merupakan bangsa kambing hasil persilangan antara PE betina dan Saanen jantan. Rachman (2010) menyebut kambing ini dengan nama SAPE. Bangsa kambing ini memiliki karakteristik atau sifat di antara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing ini memiliki produksi susu harian yang lebih baik dari pada kambing PE, namun lebih rendah daripada Saanen impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Utomo et al., 2005) karena mempunyai masa laktasi yang lebih pendek (Ruhimat, 2003). Noorcandratini (2004) melaporkan bahwa produksi harian kambing PESA di PT Fajar Taurus rata-rata sebesar 1,8 liter.

Gambar 3. Kambing PESA (Rachman, 2010)

Gen Growth Hormone (GH)

Growth hormone (GH) merupakan hormon peptida dengan rantai polipeptida tunggal 190 atau 191 asam amino yang terdiri dari dua jembatan disulfida (Paladini

et al., 1983) yang mengatur pertumbuhan, perkembangan dan beragam aktivitas metabolis (Sterle et al., 1995; Ran et al., 2004). Gen GH merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotropin pada lobus anterior kelenjar pituitary (Ayuk dan Sheppard, 2006). Gen GH pada semua mamalia memanjang sampai 2-3 kb dan terdiri dari lima exon yang dipisahkan oleh empat

(47)

8 (Yuwono, 2008). Sekuens gen GH kambing memiliki panjang 2544 pb (Kioka et al., 1989) dan masing-masing exon dan intron memiliki panjang sekuens nukleotida yang berbeda (Jakaria, 2008).

Pengaruh gen GH pada pertumbuhan telah diteliti pada beberapa jaringan, termasuk tulang, otot dan jaringan adiposa. Banyak penelitian pada ruminansia menguatkan peranan gen GH dalam mengatur pertumbuhan kelenjar ambing. Gen GH dengan fungsi dan posisinya yang potensial telah banyak dipakai sebagai marker. Gen GH memiliki panjang exon dan intron yang berbeda-beda. Rekonstruksi struktur gen GH Capra hircus berdasarkan data yang terdapat di GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/D00476.1) dapat dilihat pada Gambar 4 dan sekuens gen GH kambing secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan: Lokus : D00476 Panjang : 2544 bp

Gen : 432-444, 692-852, 1080-1196, 1426-1587, 1864-2064

Exon 1 : 432-444 = 13 bp Intron 1 : 445-691 = 247 bp

Exon 2 : 692-852 = 161 bp Intron 2 : 853-1079 = 227 bp

Exon 3 : 1080-1196 = 117 bp Intron 3 : 1197-1425 = 229 bp

Exon 4 : 1426-1587 = 162 bp Intron 4 : 1588-1863 = 276 bp

Exon 5 : 1864-2064 = 201 bp

Gambar 4. Rekonstruksi Struktur Gen GH pada Kambing Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR merupakan suatu reaksi untuk menggandakan jumlah molekul DNA target secara in vitro dengan berulang melalui perpanjangan dua primer pada suatu areal DNA tertentu. Reaksi ini menghasilkan produk amplikasi (amplikon) dengan jumlah yang meningkat secara eksponensial dari jumlah DNA awal. Reaksi ini bekerja dengan cara menyintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase dan dua oligonukleotida sebagai primer (primer forward dan primer reverse).

Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4

Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 Flanking

(48)

9

Keterangan: Warna biru = daerah open reading frame (ORF) Huruf kapital = daerah exon

Huruf kecil = daerah intron

Cetak tebal = posisi primer gen GH exon 4

Gambar 5. Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011)

Sintesis rangkaian DNA yang baru memerlukan dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP). Reaksi PCR berlangsung dalam lima tahap, yaitu denaturasi awal, denaturasi akhir, penempelan primer (annealing), pemanjangan (extension) dan inkubasi. Proses denaturasi-penempelan-ekstensi disebut satu siklus dan proses ini biasanya berlangsung sebanyak 35-40 siklus (Muladno, 2002). Reaksi PCR dipengaruhi oleh reaksi campuran DNA template (yang mengandung sekuen yang

1 gggattttct gacccaggga ttaaacctga gtctcctgca tttgcagctc gattctttat 61 ggctgagcca cctgggaagc ccattcgttt ctgctacctc ccccttaaaa agaaaaccta 121 tggggtgggc tctcaagctg agaccctgtg tgtacagccc tcaggctggt ggcagtggag 181 aggggatgat gatgagcctg ggggacatga ccccagagaa ggaacgggaa caggatgagt 241 gagaggaggt tctaaattat ccattagcac aggctgccag tggtccttgc ataaatgtat 301 agagcacaca ggtgggggga aagggagaga gaagaagcca gggtataaaa agggcccagc 361 agagaccaat tccaggatcc caggacccag ttcaccagac gactcagggt cctgctgaca 421 gctcaccaac tATGATGGCT GCAGgtaagc tcacaaaaat cccctccatt agcgtgtcct

481 aagggggtga tgcgggagaa ctgccgatgg atgtgtccac agctttgggt tttagggctt

541 ctgaatgcga acataggtat ctgcacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt

601 ccctggaggg aagggcaggc gggggctggc aggagatcag gcatccagct ctctgggccc

661 ctccgtcgcg gccctcctgg tctctcccta gGGCCCCGGA CGTCCCTGCT CCTGGCTTTC

721 ACCCTGCTCT GCCTGCCCTG GACTCAGGTG GTGGGCGCCT TCCCAGCCAT GTCCTTGTCC

781 GGCCTGTTTG CCAACGCTGT GCTCCGGGCT CAGCACCTGC ATCAACTGGC TGCTGACACC

841 TTCAAAGAGT TTgtaagctc cccagagatg tgtcctagag gtggggaggc aggaaggggt

901 gaatccgcac cccctccaca caatgggagg gaactgagga cctcagtggt attttatcca

961 agtaaggatg tggtcagggg agtagaaatg ggggtgtgtg gggtggggag ggttccgaat

1021 aaggcagtga ggggaaccac acaccagctt agacccgggt gggtgtgttc tccccccagG

1081 AGCGCACCTA CATCCCGGAG GGACAGAGAT ACTCCATCCA GAACACCCAG GTTGCCTTCT

1141 GCTTCTCCGA AACCATCCCG GCCCCCACGG GCAAGAATGA GGCCCAGCAG AAATCAgtga

1201 gtggccacct aggaccgagg agcaggggac ctccttcatc ttaagtaggc tgccccagct

1261 ctctgcaccg ggcctggggt ggcgttctcc ctgaggtggc agagggtgtt ggatggcagt

1321 ggaggatgat ggttggtggt ggtggcagga ggtcctcggg cagaggccga ccttgcaggg

1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcagGACTT GGAGCTGCTT

1441 CGCATCTCAC TGCTCCTTAT CCAGTCGTGG CTTGGGCCCC TGCAGTTCCT CAGCAGAGTC

1501 TTCACCAACA GCCTGGTGTT TGGCACCTCG GACCGTGTCT ATGAGAAGCT GAAGGACCTG

1561 GAGGAAGGCA TCCTGGCGCT GATGCGGgtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct

1621 gggggccatg cccaccctct cctggcttag ccaggagaac acacgtgggc tgggggagag

1681 agatccctgc tctctctctc tctttctagc agcccagtct tgacccagga gaaacctctt

1741 cccgttttga aacctccttc ctcgcccttc tccaagccta taggggaggg tggaaaatgg

1801 agcgggcagg agggagccgc tcctgagggc cttcggcctc tctgtctctc cctcccttgg

1861 cagGAGCTGG AAGATGTTAC CCCCCGGGCT GGGCAGATCC TCAAGCAGAC CTATGACAAA

1921 TTTGACACAA ACATGCGGAG TGACGACGCG CTGCTGAAGA ACTACGGTCT GCTCTCCTGC

1981 TTCCGGAAGG ACCTGCACAA GACGGAGACG TACCTGAGGG TCATGAAGTG TCGCCGCTTC

(49)

10 akan diamplifikasi), primer, campuran nukleotida dan berbagai senyawa biokimia lainnya dan enzim yang tahan terhadap panas yang disebut sebagai DNA

polymerase. Semua campuran reaksi tersebut berada dalam satu plastic tube

(Claverie dan Notredame, 2003).

Efisiensi amplifikasi PCR dapat ditingkatkan dengan memperkecil ukuran DNA target menjadi lebih kecil. DNA dapat dipotong secara fisik dengan meresuspensi atau mengocok DNA menggunakan ujung tips yang sempit atau secara kimia dengan menggunakan enzim restriksi. Pengecilan ukuran DNA target dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi denaturasi DNA target utas ganda menjadi DNA target utas tunggal (Gerhardt et al., 1994).

Komponen PCR antara lain DNA target, sepasang primer (forward dan reverse), dNTP, DNA polymerase untuk PCR dan buffer. Produk amplifikasi harus spesifik dan menghasilkan produk amplifikasi yang besar (efisien), sehingga perlu optimasi kondisi PCR termasuk pemilihan kondisi DNA target, konsentrasi dan jenis DNA polymerase, dNTP, perancangan primer yang baik, penetapan siklus yang sesuai dan pemilihan mesin PCR yang baik (Gerhardt et al., 1994).

Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism

(PCR-SSCP)

PCR adalah suatu metode in vitro untuk mensintesis sekuens DNA spesifik secara enzimatis dengan menggunakan kedua oligonukleatida sebagai primer yang berhibridisasi secara berlawanan pada sisi target utas DNA yang diinginkan (Muladno, 2002). DNA dapat diperbanyak melalui reaksi berantai polymerase dari sehelai rambut, setetes darah, semen, kuku dan lain-lain.

(50)

11 komplementer yang akan diperbanyak dan extension atau pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002).

SSCP adalah metode elektroforesis yang populer untuk mengidentifikasi mutasi sekuens. Metode ini dianggap populer dengan asumsi dasarnya adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) dan laju migrasi pada saat elektroforesis (Orita et al., 1989; Barroso et al,. 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al., 1999). Fragmen DNA untai tunggal yang mengalami perubahan pada susunan nukleotidanya akan membentuk suatu konformasi tiga dimensi yang kompleks dan berbeda dengan fragmen DNA yang tidak mengalami perubahan (normal). Konformasi yang berbeda akan mempengaruhi laju migrasi dalam gel poliakrilamida sehingga dapat diidentifikasi keragamannya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi sensitifitas SSCP, yaitu: (1) konsentrasi

crosslinker; (2) konsentrasi DNA dan panjang fragmen DNA; (3) konsentrasi buffer, temperatur dan komposisi matriks gel (Beier, 1993); (4) komposisi produk PCR; (5) lama dan voltase elektroforesis dan (6) lokasi mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999).

(51)

12

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan mulai Februari hingga Juli 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Sampel Darah

Sampel darah kambing yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 240 sampel hasil koleksi di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 dan 2010. Sampel darah terdiri atas sampel darah kambing PE, Saanen dan PESA (Tabel 1).

Tabel 1. Bangsa, Populasi, dan Jumlah Sampel Darah Kambing

Bangsa Kambing Populasi Jumlah (ekor)

PE Ciapus 20

Cariu 28

Sukajaya 50

Saanen Cijeruk 20

Cariu 31

Sukabumi 40

PESA Cijeruk 7

Cariu 25

Balitnak 19

Total 240

Amplifikasi

(52)

13 1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcaggactt ggagctgctt

1441 cgcatctcac tgctccttat ccagtcgtgg cttgggcccc tgcagttcct cagcagagtc

1501 ttcaccaaca gcctggtgtt tggcacctcg gaccgtgtct atgagaagct gaaggacctg

1561 gaggaaggca tcctggcgct gatgcgggtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct Malveiro et al. (2001) yaitu forward 5’-GGA AGG GAC CCA ACA ATG CCA-3’ dan reverse 5’-CTG CCA GCA GGA CTT GGA GC-3’. Produk PCR yang diharapkan memiliki panjang 200 base pair (bp). Amplifikasi DNA menggunakan

thermocycler, tabung PCR, mikropipet, vortex, alat sentrifugasi, pipet tip, mikropipet 10, 20, 200 dan 1000 P. Posisi primer yang digunakan untuk amplifikasi gen GH

exon 4 dapat dilihat pada Gambar 6.

Keterangan: = primer forward

= primer reverse

Gambar 6. Posisi Primer Berdasarkan Sekuens Gen GH Exon 4 pada Kambing

Elektroforesis

Komposisi gel poliakrilamida 10% terdiri dari 15,4 ml aquades, 9,2 ml larutan 30% akrilamida (acrylamide:bisacrylamide = 29:1); 2,8 ml larutan 5 x TBE (tris boric acid-EDTA); 15 µl TEMED (N,N,N’,N’-tetramethylethylenediamine) dan 150 µl APS 10% (ammonium peroxodisulfat). Alat-alat yang digunakan adalah plat kaca untuk cetakan gel berukuran 20 x 20 cm2, pipet makro dan mikro. Pewarnaan perak digunakan larutan amonia, AgNO3, NaOH, 10 N NaOH, formaldehid dan asam asetat, sedangkan alat yang digunakan adalah nampan dan water bath shaker.

Prosedur

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan sampel darah mengikuti metode

phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989) (Lampiran 1).

Prosedur Polymerase Chain Reaction (PCR)

Gen GH exon 4 diamplifikasi menggunakan primer forward dan reserve

Gambar

Gambar 3.  Kambing PESA (Rachman, 2010)
Gambar 5.  Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011)
Tabel 1.  Bangsa, Populasi, dan Jumlah Sampel Darah Kambing
Gambar 6.  Posisi Primer Berdasarkan Sekuens Gen GH Exon 4 pada Kambing
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen β -kasein ( CSN2 ) pada kambing Peranakan Etawah, Saanen dan PESA (Persilangan Peranakan Etawah dan Saanen)