LAMPIRAN I
Daftar Wawancara
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Responden(Konsumen) antara lain:
1. Dari manakah anda mengetahui tentang BPSK?
2. Apakah pada proses pengaduan sengketa ke BPSK mengalami kesulitan?
3. Apakah proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK berjalan cepat?
4. Apakah proses tersebut berjalan dengan mudah(sederhana) dengan biaya
yang murah?
5. Bagaimana dengan pelaksanaan putusan BPSK? Apakah dilaksanakan
tepat waktu dan dengan suka rela oleh pelaku usaha?
6. Apakah konsumen mendapat keadilan dari putusan yang dikeluarkan oleh
BPSK?
Daftar Nama Responden(didapat dari BPSK) yang dihubungi:
1. Jhon Parlyn Sinaga(0819616010), mengadukan PT. Exelcomindo Pratama
(XL-Operator telepon selular) pada tanggal 3 April 2006 mengenai
program yang ditawarkan XL berupa paket Ngirit Malam yang
menawarkan tarif murah, akan tetapi ternyata tidak sesuai dengan yang
tertera dalam brosur. Putusan BPSK memenangkan beliau, namun pihak
XL keberatan dengan putusan itu lalu mengajukan keberatan ke
Jhon mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan memenangkan perkara
ini. Namun pihak XL mengajukan peninjauan kembali yang hingga saat
ini belum mendapat penyelesaiannya.
Menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau, beliau mengetahui
tentang BPSK dari Koran Medan Bisnis( beliau merupakan wartawan di
Medan Bisnis, terakhir menjadi Pimpinan Redaksi di Koran Andalas).
Beliau memantau perkembangan BPSK dan menurut beliau BPSK mulai
dikenal sejak tahun 2006, yaitu melalui sengketa konsumen yang diadukan
oleh beliau. Menurutnya kelebihan dalam mengadukan sengketa
konsumen melalui BPSK adalah biaya yang relative murah atau bahkan
dapat disebut tanpa biaya, karena hanya dibutuhkan fotokopi KTP dan
formulir pengaduan. Proses penyelesaian sengketa di BPSK cepat atau
tepat waktu seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dan mengenai putusan yang
dikeluarkan oleh BPSK, beliau menyatakan sudah cukup puas.
2. Tohap P. Simamora(08126485316), mengadukan PT. Surya Utama
Nusaparka pada tanggal 9 Mei 2006 mengenai masalah pembayaran karcis
parkir.
Menjawab pertanyaan yang diajukan, didapat bahwa beliau merupakan
konsultan dari Lembaga Advokasi Wanita dan Konsumen Indonesia
( LAWKI). Beliau ternyata juga ikut dalam perumusan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Menurut beliau,
peraturan, yaitu tepatnya waktu penyelesaian sengketa. Mengenai
pelaksanaan putusan BPSK, juga sudah tepat waktu. Dan putusan yang
dikeluarkan BPSK sudah memuaskan rasa keadilan konsumen walaupun
tuntutan yang dikabulkan hanya sebagian. Beliau menyampaikan bahwa
yang menjadi kekurangan adalah masalah ruang sidang yang belum
memadai dan masalah kehadiran majelis BPSK.
3. Robby Efendi(081265646564), mengadukan PT. Telkomsel pada tanggal
30 April 2007 mengenai kerugian yang dikarenakan tarif telepon selular
yang tidak sesuai dengan promo. Dan Beliau merasa tertipu sehingga
mengadukan ke BPSK. Menjawab pertanyaan yang diajukan, beliau
menyatakan bahwa mengetahui tentang BPSK dari Koran/media massa.
Dan saat mengadukan sengketa ke BPSK, tidak mengalami kesulitan,
bahkan relatif mudah. Dan proses penyelesaian sengketa di BPSK
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Makalah, dan Jurnal Ilmiah
Adi Nugroho, Susanti, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Cetakan Pertama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Halim Barkatullah, Abdul, Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010.
Harahap, M. Yahya “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Harianto, Dedi, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Iklan yang Menyesatkan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.
Joses Sembiring, Jimmy, Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Jakarta: Visimedia, 2011.
Miru, Ahmadi, dan Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,
Shofie, Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori & Praktek Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Tri Siwi Kristiyanti, Celina, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Wijaya, Gunawan, dan Yani, Ahmad, Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. Nur Hidayati, Maslihati, Analisis tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen: Studi tentang Efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen, Lex Jurnalica Vol. 5 No. 3, Jakarta, Agustus 2008, Fakultas Hukum Universitas Al- Azhar
Indonesia.
Hakim, Nurul, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Hubungannya dengan Lembaga Peradilan, Januari 2008.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa .
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006
Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian
BAB III
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
A. Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK
bersifat final dan mengikat. Kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya
banding dan kasasi. Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak tenyata
dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja
setelah pemberitahuan putusan BPSK. Dengan dibukanya kesempatan
mengajukan keberatan, dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK tersebut masih
belum final. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai
sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.
Menurut penjelasan Pasal 54 Ayat (3), putusan bersifat final BPSK adalah “tidak ada upaya hukum banding dan kasasi”. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (2) UUP K, maka dapat diketahui bahwa ternyata istilah “final” putusan BPSK hanya dimaknai pada upaya banding, tetapi tidak termasuk “upaya mengajukan keberatan” kepada pengadilan negeri, yang ternyata atas putusan pengadilan negeri ini UUPK masih membuka lagi kesempatan untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.76
Menurut Pasal 42 Ayat (1) putusan BPSK merupakan putusan yang final
dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
B. Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah pada suatu perkara yang diajukan di muka
Pengadilan. Dapat dikatakan eksekusi tiada lain yakni suatu tindakan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.78
Eksekusi ini terdapat di dalam Bab kesepuluh Bagian Kelima HIR atau
Titel ke Empat RBG, pada bagian tersebut telah diatur pasal-pasal tata cara
“menjalankan putusan pengadilan, mulai dari: tata cara peringatan (aanmaning), sita eksekusi (executorial beslag), penyanderaan (gijzeling).
Istilah lain
yang sering dipergunakan selain kata eksekusi yakni “pelaksanaan putusan”.
79
78 M. Yahya Harahap, “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, Jakarta: PT Gramedia, 1989, Hal. 1.
79Ibid,
Tata cara
menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi diatur mulai pasal 195
sampai pasal 224 HIR atau pasal 206 sampai pasal 258 RBG. Namun pada saat
sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku efektif. Yang masih
betul-betul efektif berlaku terutama pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224
HIR atau Pasal 206 sampai pasal 240 dan pasal 258 RBG. Sedang pasal 209
sampai pasal 223 HIR atau pasal 242 sampai pasal 257 RBG yang mengatur
tentang Sandra gijzeling, tidak lagi diperlukan secara efektif. Alasan larangan
bertentangan dengan prikemanusiaan, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) No.2/1964 tanggal 22 januari 1964.
Pada dasarnya suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang pasti dapat dijalankan. Oleh karena itulah putusan suatu badan peradilan
harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa
yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara.
Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada suatu putusan untuk dapat
dilaksanakan secara paksa adalah adanya irah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Adapun Purwoto S. Gandasubrata mengemukakan asas-asas hukum
eksekusi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi adalah:80
1. Eksekusi dijalankan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, apabila tereksekusi tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, kecuali undang-undang menentukan lain.
2. Yang dapat dieksekusi adalah amar putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir), sedangkan putusan yang bersifat konstitutif atau
declaratoir tidak memerlukan eksekusi.
3. Eksekusi dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan, dilaksanakan oleh panitera dan juru sita dengan bantuan alat kekuasaan Negara di mana diperlukan.
4. Eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara terbuka dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.
Ketidakjelasan peraturan dalam UUPK ini dilihat dari 3 hal, yakni:81
1. Berkaitan dengan prosedur permohonan eksekusi;
2. Berkaitan dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan eksekusi;
80 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 344.
3. Berkaitan dengan pengadilan yang berwenang mengeluarkan penetapan
eksekusi.
Permohonan eksekusi dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK
maupun putusan keberatan, namun UUPK tidak menyediakan peraturan yang
lebih rinci berkaitan dengan hal tersebut. Pelaksanaan putusan diserahkan dan
menjadi wewenang penuh dari pengadilan negeri yang menjalankan fungsi
kekuasaan kehakiman dan mempunyai legitimasi sebagai lembaga pemaksa.82
82Ibid., hal. 339.
Ketentuan mengenai prosedur permohonan eksekusi tidak diatur secara
rinci dan jelas dalam UUPK, selain satu pasal saja yakni dalam Pasal 57 UUPK.
Menyimak rincian tugas dan wewenang BPSK yang ditentukan pada Pasal
52 UUPK, ternyata BPSK tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan
putusannya, sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh suatu badan peradilan.
BPSK hanya memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak
konsumen, dan wewenang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus
dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku usaha untuk membayar ganti
kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak diberikan kewenangan untuk
melaksanakan sendiri putusan yang dihasilkan. Untuk melaksanakan putusannya,
BPSK harus lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri
berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum pasti, dan putusan yang mengandung perintah kepada suatu
Sebelum dilaksanakan eksekusi ketua pengadilan negeri terlebih dahulu
melakukan peneguran kepada pihak yang kalah, untuk dalam waktu 8 (delapan)
hari melaksanakan putusan tersebut dengan sukarela. Jika pihak yang ditegur tidak
mau melaksanakan putusan dengan sukarela maka dimulai pelaksanaan eksekusi
yang sesungguhnya.83
C. Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Di BPSK Medan Sejak Berdirinya
Berdasarkan bahan yang diperoleh dari BPSK Kota Medan, jumlah kasus
yang ditangani oleh BPSK Kota Medan dari tahun 2003 sampai dengan tahun
2010 antara lain:
Grafik 3.1: Jumlah Kasus yang diadukan kepada BPSK Kota Medan sejak 2003 hingga 2010.
Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan.
83Ibid., hal. 343.
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 0
10 20 30 40 50 60
Jumlah Kasus
Keterangan:
Tahun 2003: 1 kasus melalui arbitrase sampai pada tingkat kasasi.
3 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN,
1 kasus sampai pada tingkat kasasi.
2 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN.
1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN dan
1 kasus sampai pada tingkat kasasi.
1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN.
1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN. Tahun 2004: 2 kasus dicabut karena data tidak lengkap,
1 kasus diselesaikan sendiri.
Tahun 2005: 2 kasus tidak diteruskan, yaitu 1 kasus karena berkas belum
lengkap dan
1 kasus gugur karena tidak hadirnya konsumen 2 kali.
Tahun 2006: 3 kasus dalam proses.
9 kasus tidak diteruskan, yaitu 7 kasus karena data tidak lengkap
dan 2 kasus buktinya tidak lengkap.
1 kasus diselesaikan sendiri.
Tahun 2007: 13 kasus tidak diteruskan, yaitu 9 kasus datanya tidak lengkap
3 kasus diselesaikan di kepolisian karena menyangkut masalah
pidana dan 1 kasus diselesaikan sendiri.
Tahun 2008: 2 kasus ditolak.
2 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN.
1 kasus melalui a dilanjutkan di tingkat PN..
Grafik 3.2: Jumlah Kasus yang ditangani BPSK melalui Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase.
Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan. 0
5 10 15 20 25
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Konsiliasi Mediasi Arbitrase Tahun 2009: 4 kasus gugur/batal.
8 kasus belum selesai/ dalam proses.
Tahun 2010: 2 kasus gugur/batal.
Grafik 3.3: Jumlah Kasus yang Masuk ke BPSK Dilihat dari Objek yang Diadukan.
Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan.
Meskipun dibentuk pada tahun 2001 melalui Keputusan Presiden No. 90
Tahun 2001, BPSK Kota Medan baru memulai kegiatannya pada bulan Maret
2003 karena belum adanya Panitera. Karena pada akhir tahun 2002 baru terbit
Surat Penetapan Panitera oleh ketua BPSK.
D. Proses Peralihan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ke Pengadilan Negeri
Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Ayat (3) UUPK bahwa pada prinsipnya
putusan BPSK merupakan putusan yang final dan mengikat, berarti putusan
tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dengan dikeluarkannya
putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah
berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan 0
10 20 30 40 50 60
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
yang sudah final tersebut. Namun UUPK tidak konsisten dalam mengonstruksikan
putusan BPSK, karena dalam pasal selanjutnya justru dikatakan bahwa pihak yang
merasa keberatan terhadap putusan BPSK dapat mengajukan upaya “keberatan”
ke pengadilan negeri.84
1. Jurisdiction Voluntaria: dalam Jurisdiction Voluntaria tidak ada perselisihan dalam arti tidak ada yang disengketakan. Diajukannya perkar ke pengadilan,
bukan untuk diberikan suatu keputusan, melainkan meminta suatu ketetapan
dari hakim untuk memperoleh kepastian hukum. Seperti permohonan untuk
ditetapkan sebagai ahli waris, permohonan ganti nama, permohonan
pengangkatan anak dan lain-lain.
Penyelesaian suatu perkara yang diajukan ke pengadilan dapat dibedakan:
2. Jurisdiction Contentiosa: dalam Jurisdiction Contentiosa, di sini ada sesuatu yang disengketakan. Sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan oleh
pihak-pihak sendiri, sehingga dinohonkan kepada hakim untuk diselesaikan
sengketanya secara adil dan kemudian diberikan suatu putusan.
Memperhatikan adanya perbedaan kewenangan di atas, terdapat 3 bentuk
putusan hakim, yaitu:
1. Putusan declartoir adalah putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata, misalnya penetapan mengenai ahli waris,
anak angkat, dan hal lainnya.
2. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman.
3. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru, misalnya putusan perceraian, dan
putusan mengenai kepailitan.
Dengan adanya perbedaan kewenangan dan bentuk putusan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keberatan atas putusan BPSK yang diajukan ke pengadilan negeri adalah termasuk Jurisdiction Contentiosa, karena ada hal-hal yang disengketakan antara konsumen dan pelaku usaha/produsen, yang dimohonkan suatu putusan yang bersifat putusan condemnatoir yang berisi penghukuman (pemberian ganti kerugian).85
Berkenaan dengan adanya peluang untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada pengadilan, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo melihatnya sebagai suatu upaya yang memiliki hakikat yang sama dengan upaya banding terhadap putusan BPSK. Oleh karena itu, BPSK dengan sendirinya ditempatkan seolah-olah sebagai instansi tingkat pertama sedangkan pengadilan negeri merupakan instansi tingkat banding. Hal lain yang memudahkan penganalogian ini lebih disebabkan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen menggunakan hukum acara yang kurang lebih sama dengan hukum acara perdata yang berlaku di peradilan umum. Di samping itu, keberatan yang diajukan ke pengadilan masuk ke dalam ranah hukum acara perdata dengan sendirinya berlakulah ketentuan hukum acara perdata.86
Penggunaan istilah keberatan tidak lazim dalam hukum acara yang berlaku, jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa pengadilan negeri yang menerima pengajuan keberatan wajib memberikan putusannya dalam waktu paling lama 21 hari, sehingga tidaklah mungkin keberatan ini dianalogikan sebagai upaya gugatan baru ataupun perlawanan, karena proses perkara gugatan baru atau perlawanan sangatlah formal dan memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang menolak putusan BPSK tiada lain haruslah ditafsirkan sebagai upaya hukum banding.
87
BAB IV
HAMBATAN DAN EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
A. Hambatan dalam Pelaksanaan Permohonan Eksekusi Putusan BPSK
Penyelesaian sengketa di BPSK pada hakikatnya bertujuan untuk
mendapatkan ganti kerugian bagi konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk
dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin
tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen.
Dan dalam proses pelaksanaan putusannya, BPSK menemui hambatan
yang berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan putusannya. Seperti terhadap
putusan arbitrase BPSK, ada 2 kemungkinan yang terjadi, yakni putusan
dilaksanakan secara sukarela atau putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi ke
pengadilan. Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan
bahwa putusan BPSK yang telah final dan mengikat dimintakan penetapan
eksekusinya oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang
dirugikan.
Ketentuan pasal ini bertentangan dengan ketentuan hukum acara pada
yang memohon kepada pengadilan negeri untuk dilakukan eksekusi baik secara
tertulis atau secara lisan88
Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang ditentukan dalam Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral dan imparsial menjadi diragukan. Selain itu apabila BPSK melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah demi mendorong kinerja BPSK yang baik hendaknya BPSK tidak dikenakan kewajiban mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.
Di samping itu, ketentuan Pasal 42 Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 tidak sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan BPSK yang menyebutkan bahwa konsumen mengajukan permohonan
eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada pengadilan
negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam
wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan.
Meskipun tujuan utama pendirian BPSK adalah untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap konsumen, tetapi ini tidak berarti bahwa dalam
upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan permohonan
eksekusinya ke pengadilan. Oleh karena ganti kerugian diberikan untuk
kepentingan konsumen, maka yang dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan
BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK.
89
Dan dikaitkan dengan Pasal 52 UUPK, maka sudah seharusnya kewajiban
untuk mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tidak menjadi tugas dan
wewenang dari BPSK karena UUPK sendiri tidak mengatur demikian.
Bapak Drs.H.M.Dharma Bakti Nasution, S.E.,S.H.,M.H. selaku wakil
ketua BPSK Kota Medan menjelaskan bahwa proses eksekusi yang dilaksanakan
oleh pengadilan negeri berdasarkan permohonan BPSK Kota Medan dilakukan
melalui beberapa tahap, antara lain:90
1. Permohonan pelaksanaan eksekusi atas putusan BPSK Kota Medan.91
2. Pengadilan Negeri Medan melaksanakan pemanggilan para pihak (aan maning),
3. Kemudian setelah 8 hari maka diadakan pertemuan antara para pihak
untuk perdamaian.
4. Apabila perdamaian dinyatakan gagal oleh pengadilan negeri, maka
dilaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut sebagai konsekuensi
hukum.
Peringatan atau Aanmaning merupakan salah satu syarat pokok eksekusi, tanpa peringatan lebih dulu eksekusi tidak boleh dijalankan. Dan berfungsinya eksekusi secara efektif terhitung sejak tenggang waktu peringatan dilampaui. Peringatan dihubungkan dengan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen) merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri berupa “teguran” kepada tergugat agar tergugat menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo yang ditentukan pengadilan negeri setelah ternyata tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Peringatan atau
annmaning ini mempunyai tenggang waktu peringatan, pasal 196 HIR atau pasal 207 RBG menentukan batas maksimum yakni 8 hari, yang diberikan kepada ketua pengadilan negeri. Pemberian batas masa peringatan dimaksudkan agar si tergugat (pihak yang kalah) menjalankan putusan secara sukarela, dan apabila batas waktu peringatan yang ditentukan dilampaui dan tergugat tetap tidak mau manjalankan putusan, maka sejak saat itu putusan sudah dapat dieksekusi dengan paksa.92
90 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 13.30 WIB.
91 Wawancara dengan Ibu Dana yang merupakan anggota Sekretariat BPSK Kota Medan tanggal 8 Agustus Pukul 11.00 WIB, menyatakan bahwa konsumen meminta pada BPSK untuk mengeluarkan surat pengantar untuk permohonan eksekusi ke pengadilan negeri.
Dalam hal mengenai putusan BPSK yang dimintakan penetapan
eksekusinya ke pengadilan negeri, peringatan dilakukan untuk menghadirkan para
pihak dan kemudian dipertanyakan apakah para pihak ingin melakukan
perdamaian, dan jika tidak, maka dilaksanakanlah eksekusi.
Sebagai lanjutan proses peringatan adalah pengeluaran surat penetapan
yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang dimana isi dari surat
penetapan ini ialah perintah menjalankan eksekusi dan perintah ditujukan kepada
panitera atau jurusita ketentuan ini diatur didalam pasal 197 ayat 1 HIR atau pasal
208 ayat 1 RBG. Disamping surat penetapan ini berisi perintah menjalankan
eksekusi, surat penetapan itu berisi “penunjukan” nama pejabat yang
diperintahkan, dimana penujukan tersbut harus memperhatikan pasal 197 ayat 3
HIR dan pasal 208 ayat 3 RBG yang merupakan syarat bagi pejabat yang ditunjuk
menjalankan perintah ekseskusi.93 Kesemua tata cara ekseskusi ini harus dimuat
dalam berita acara seperti yang tercantum dalam pasal 197 ayat 5 HIR dan pasal
209 ayat 4 RBG, Dalam pasal tersebut secara tegas memerintahkan pejabat yang
menjalankan eksekusi membuat berita acara eksekusi, oleh karena itu tanpa berita
acara, eksekusi dianggap tidak sah. Keabsahan formal eksekusi hanya dapat
dibuktikan dengan berita acara.94
Menurut Bapak Dharma Bakti, BPSK tidak mempunyai lembaga juru sita
sebagaimana yang dimiliki oleh pengadilan negeri sehingga putusan BPSK harus
ditindaklanjuti oleh BPSK untuk dilaksanakan eksekusinya oleh pengadilan
negeri.95
Menurut Ahsanul Fuad Saragih, S.H. selaku anggota Majelis BPSK dari
unsur pelaku usaha, bahwa BPSK memang tidak memiliki kewenangan untuk
melaksanakan putusannya, oleh karena itu seharusnya BPSK diberikan amunisi
tambahan untuk dapat menjadikan putusannya menjadi putusan yang executable
dengan merevisi pasal-pasal yang mengatur mengenai BPSK dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga
putusan BPSK tidak lagi harus dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan
negeri.
Hal ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan
BPSK menjadikan BPSK tidak dapat secara mandiri melaksanakan eksekusi
putusannya, sehingga putusan BPSK yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh
pelaku usaha harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri.
Namun dalam UUPK dan Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001
menyatakan bahwa BPSK yang wajib mengajukan ke pengadilan negeri. Dan
menurut Beliau bahwa hal tersebut keliru, karena seharusnya konsumenlah yang
mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri.
96
B. Hambatan dari Peran serta Lembaga Peradilan Umum dalam Memeriksa Upaya Hukum Keberatan
Hambatan yang dialami oleh BPSK adalah mengenai hal yang diatur
dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberi peluang kepada para pihak yang
95 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 13.30 WIB.
tidak setuju dengan putusan BPSK, untuk mengajukan keberatan ke pengadilan.
Namun UUPK tidak mengatur mekanisme seperti yang ditentukan dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, melainkan membuat suatu aturan yang berbeda.
Perlu pula dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia hanya mengenal Perlawanan, Banding dan Kasasi sebagai upaya hukum biasa dan Peninjauan Kembali serta Perlawanan Pihak Ketiga sebagai upaya hukum luar biasa, sedangkan keberatan seperti dimaksud dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK tidak dikenal sebagai suatu upaya hukum dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, harus disepakati bahwa keberatan dalam UUPK tidak dilihat sebagai suatu upaya hukum namun harus dilihat sebagai suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK.97
Dalam hal para pihak sudah memilih penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan cara arbitrase, maka secara yuridis putusan BPSK haruslah dipandang sebagai suatu putusan badan arbitrase. Oleh karena itu, keberatan terhadap putusan BPSK harus ditinjau dan dipertimbangkan dalam konteks keberatan terhadap putusan lembaga arbitrase, sehingga penerapan hukumnya harus memerhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.98
1. Dalam hal diajukan permohonan penetapan eksekusi, atau
Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pengadilan negeri
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Namun dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK membuka peluang
pengajuan keberatan kepada pengadilan negeri terhadap putusan arbitrase yang
dikeluarkan oleh BPSK.
UU No . 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, hanya memberi peluang masuknya lembaga peradilan pada 2 kondisi,
yaitu:
2. Manakala diajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Mengenai permohonan penetapan eksekusi, Pasal 62 UU No. 30 Tahun
1999 mengatur bahwa ketua pengadilan negeri dalam mengeluarkan penetapan
eksekusi, harus memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999,99
Oleh karena itu, dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan yang
menyangkut proses beracara yang disebabkan karena kurang jelasnya pengaturan
hukum acara pada UUPK, maka Mahkamah Agung dengan tujuan untuk
menyamakan persepsi pada seluruh lembaga peradilan di Indonesia, pada tanggal serta memastikan bahwa
putusan tersebut tidak bertentangan dengan kesusialaan dan ketertiban umum.
Apabila putusan arbitrase tenyata tidak memenuhi persyaratan tersebut,
maka ketua pengadilan negeri dapat menolak mengeluarkan penetapan eksekusi
yang berakibat putusan tidak dapat dieksekusi. Putusan pengadilan negeri tersebut
tidak terbuka upaya hukum apapun.
99 Pasal 4 UU No. 30 Tahun 1999:
Ayat (1): dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
Ayat (2): persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. Ayat (3): dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk
pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk saran komunikasi lainnya, wajin disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999
Ayat (1): sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
15 Maret 2006 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No.
1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
Mahkamah Agung hanya berwenang memberi penjelasan terhadap acara
yang tidak jelas, atau undang-undang tidak memberi aturan pelaksanaannya,
namun ketentuan PERMA ini tidak mengikat. Dan seperti pendapat dari Bapak
Dharma Bakti Nasution, yang menyatakan bahwa mengenai Kepmenperindag RI
No.350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
dengan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Kepmenprindag RI tersebut tetap
diberlakukan sebagai hukum acara dari UUPK mengenai BPSK, walaupun telah
terbitnya PERMA tersebut. 100
PERMA No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa keberatan hanya dapat
diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK
101
dan dalam hal
diajukan keberatan, BPSK bukan merupakan pihak.102 Keberatan diajukan melalui
Kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara
perdata.103 Dan dalam hal keberatan diajukan oleh konsumen dan pelaku usaha
terhadap putusan BPSK yang sama, maka perkara tersebut harus didaftar dengan
nomor yang sama.104
100 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 13.30 WIB.
101 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
102 Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
103 Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK..
104 Pasal 5 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
Adapun alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar
persyaratan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yaitu: 105
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan;
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Dalam hal keberatan diajukan atas dasar hal-hal disebut di atas, maka
Majelis Hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK.106 Dan dalam hal
keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang
Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Majelis Hakim dapat
mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan.107
Pengadilan negeri dalam memeriksa keberatan atas putusan BPSK tidak
melakukan pemeriksaan ulang terhadap keseluruhan perkara, pemeriksaan
keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas-berkas perkara
105 Pasal 6 Ayat (3). Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
106 Pasal 6 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
saja.108 Dan Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua
puluh satu) hari sejak sidang pertama dilakukan.109
C. Efektivitas Pelaksanaan Putusan Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Medan
BPSK merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam rangka
menyejahterakan masyarakat dari segi perwujudan pemerataan keadilan, terutama
bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen, karena
sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha/produsen biasanya nominalnya
kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak
sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.
Pembentukan BPSK didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat
yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara
sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.
Dengan dibentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa
konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena
penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu
21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses
penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses
pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh
para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang
108 Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan
BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final
dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Dengan demikian,
maka terciptanya penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, mudah dan
murah menjadi tolok ukur tercapainya tujuan dari dibentuknya BPSK.
Menurut Pasal 54 ayat (3) UUPK, putusan BPSK sebagai hasil dari
penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase, bersifat
final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah
selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan
sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK, yang dimaksud dengan
putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam BPSK tidak ada upaya banding
dan kasasi.
Namun dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK disebutkan bahwa apabila
konsumen atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, dapat mengajukan
keberatan ke pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Yang mana dengan demikian akan
memperpanjang waktu penyelesaian sengketa konsumen sekaligus menambah
beban biaya perkara yang harus ditanggung oleh para pihak. Hal ini bertentangan
dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut,
sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif dan
menjadi tidak efisien. Dan dalam hal ini pelaku usaha yang memiliki posisi tawar
mempunyai kekuatan finansial, akan tetapi lain halnya dengan konsumen. Dengan
demikian, maka penyelesaian sengketa konsumen menjadi tidak efektif karena
harapan dari dibentuknya BPSK untuk dapat mempersembahkan proses
penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat cepat, mudah(sederhana) dan
murah sulit untuk tercapai. Sehingga efektivitas dari pelaksanaan putusan BPSK
dalam penyelesaian sengketa konsumen menjadi diragukan.
Yang mana secara etimologi kata efektivitas dari kata “effective” yang
telah mengintervensi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil”,
dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Dan
efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan
pelaksanaan hukum itu sendiri. Jadi indikator efektivitas pelaksanaan putusan
BPSK adalah dengan terwujudnya penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat
cepat, mudah(sederhana) dan murah.
Berdasarkan hasil wawancara110
110 Wawancara dilakukan pada tanggal 8 September 2011 pukul 13.40 WIB di KFC Walikota, dan dengan beberapa responden lain wawancara dilakukan melalui pembicaraan telepon selular pada tanggal 8 September 2011 pukul 16.00 WIB.
dengan beberapa konsumen yang pernah
mengadukan sengketanya terhadap pelaku usaha kepada BPSK Kota Medan,
dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK sudah efektif, dilihat dari segi
penyelenggaraan proses penyelesaian sengketa konsumen yang dilaksanakan oleh
BPSK, yaitu dari sifat cepat penyelesaian sengketa konsumen, beberapa
responden menyatakan bahwa dikeluarkannya putusan oleh BPSK tepat waktu
seperti yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, demikian juga dengan pelaksanaan putusannya.
BPSK, menurut responden biaya yang dikeluarkan relatif murah. Dan proses
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK berjalan dengan sederhana(mudah)
karena tata cara yang dilaksanakan tidak terlalu formil seperti yang biasa
dilaksanakan di pengadilan, tetapi lebih bernuansa kekeluargaan.
Dan yang menjadi keluhan antara lain:
1. Mengenai infrastuktur dari Sekretariat BPSK Kota Medan, yaitu terkait
masalah ruang sidang yang kurang memadai.111
2. Sarana dan fasilitas untuk aparatur BPSK, yaitu hambatan yang dialami oleh
anggota Sekretariat saat pengantaran relas putusan misalnya, karena tidak
memiliki kendaraan dinas aparatur BPSK harus menggunakan angkutan
umum, sehingga kinerja BPSK menjadi kurang efektif dan efisien.112
3. Minimnya sosialisasi yang dilakukan untuk memperkenalkan BPSK kepada
masyarakat.
113
4. Budaya masyarakat yang cenderung pasrah.
114
111 Disampaikan oleh responden dari pihak konsumen.
112 Disampaikan oleh Wakil Ketua BPSK, Bapak Drs.H.M.Dharma Bakti, S.E., S.H., M.H. 113 Menurut Bapak Dharma Bakti, beliau selama ini telah mensosialisasikan BPSK dengan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan juga dengan lembaga-lembaga Konsumen lainnya.
Analisis terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor 7/PEN/BPSK/2006/MDN (antara Jhon Parlyn Sinaga
Melawan PT. Excelcomindo Pratama)
1. Posisi Kasus
Kasus ini merupakan sengketa konsumen yang terjadi antara Jhon Parlyn
Sinaga(selanjutnya disebut Konsumen) dengan PT. Excelcomindo Pratama(XL).
Sengketa tersebut terjadi akibat kerugian yang dialami konsumen setelah
menggunakan produk layanan telekomunikasi Kartu Prabayar Bebas yang
dipromosikan melalui brosur oleh XL yaitu berupa program Tarif Ngirit Malam
dengan tarif Rp. 149 per detik saat off peak(23.00 WIB hingga 05.59 WIB) bagi
sesame XL. Konsumen sendiri adalah pengguna Xplor ( layanan Pascabayar XL
dengan nomor 0819616010). Konsumen menyimpulkan dari brosur yang
dikeluarkan XL bahwa tarif yang ditawarkan dalam program tersebut lebih
murah dibanding, yang kemudian membeli kartu prabayar Bebas milik XL
dengan nomor 08197205894. Namun apa yang dijanjikan dalam program
tersebut ternyata tidak terbukti, justru tarif Ngirit Malam lebih mahal disbanding
tarif Xplor yang telah dimiliki konsumen sebelumnya. Konsumen berminat untuk
membeli kartu Prabayar Bebas atas pertimbangan sebagai berikut:
a. Berdasarkan lembar tagihan Xplor konsumen(0819616010), saat
berkomunikasi ke nomor 0819613581 (sesame XL nomor Medan) pada
hari kamis(9 Februari 2006) pukul 23.07.25 WIB dengan waktu
tarif Ngirit Malam yang memberi harga Rp. 149 per detik pada sesame
XL, konsumen bisa menghemat sebesar Rp. 23,7. Dan untuk pemakaian
30 detik seperti tertera dalam tagihan Xplor konsumen bisa menghemat
sebesar RP. 29,2.
b. Asumsi lain yang membuktikan bahwa program tarif Ngirit Malam masih
tetap lebih hemat disbanding Xplor saat off peak apabila programnya
dijalankan, terlihat pada lembar tagihan Xplor milik konsumen pada
jum’at (24 Februari 2006) pukul 23.07.30 WIB yang berkomunikasi
dengan nomor 0817616010 (sesame XL nomor Bandung) selama 10 detik.
Dalam lembar tagihan tercatat biaya sebesar Rp. 145. Bila angka tersebut
ditambahkan dengan PPn sebesar 10% maka jumlah tagihan konsumen
yang riil sebesar Rp. 159,5. Artinya dengan tarif Ngirit Malam yang
ditawarkan kartu Bebas milik XL sebesar Rp. 149 perlindungan 30 detik,
telah memberi penghematan sebesar Rp. 10,5 dan bila dihitung dalam
durasi 60 detik pemakaian Xplor, mengacu pada angka Rp. 145 per 10
detik, maka tarif yang dibayarkan konsumen plus PPn menjadi sebesar Rp.
957. Dan lewat program tarif Ngirit Malam yang diberikan XL, yang
dibayarkan konsumen hanya sebesar Rp. 298 atau dapat berhemat Rp. 659.
Pertimbangan tersebut yang menjadi alasan konsumen untuk memutuskan
beralih ke kartu Bebas ketika berkomunikasi saat off peak dengan sesama XL
yang mulai berlaku sejak 1 April hingga 30 Juni 2006.
Namun kenyataannya setelah dipakai, program tarif Ngirit Malam yang
sekitar pukul 02.02 WIB kartu Prabayar Bebas yang dibeli konsumen dipakai
berkomunikasi ke nomor 08197205893 dengan waktu percakapan sekitar 23 detik
(di bawah 30 detik yang ditetapkan), ketika dicek nilai pulsanya menunjukkan
angka Rp. 9.376,- atau berkurang sebesar Rp. 624,- dari pulsa awal Rp. 10.000,-.
Seharusnya menurut program tersebut angka yang akan tercatat sebesar Rp.
9.851,- atau hanya berkurang sebesar Rp. 149 seperti yang disebutkan dalam
brosur.
Dan untuk membuktikan bahwa XL benar-benar tidak menerapkan
program tarif Ngirit Malam tersebut, terlihat ketika konsumen kembali
berkomunikasi dengan nomor yang sama (08197205893) dalam waktu sekitar 52
detik ( dua kali durasi yang telah ditetapkan yaitu per 30 detik). Setelah dicek
pulsa yang tersisa, tercatat Rp. 8.128,-. Artinya biaya berkomunikasi konsumen
selama 52 detik itu sebesar Rp. 1.248. padahal seharusnya bila mengikuti angka
yang tertera dalam brosur milik XL hanya sebesar Rp. 298 atau dua kali tarif Rp.
149 per detik.
Dengan demikian konsumen telah dirugikan sebesar Rp. 475 pada
komunikasi pertama dan sebesar Rp. 950 pada komunikasi kedua, dan total
kerugian konsumen sebesar Rp. 1.425,-. Itu terjadi ketika konsumen
berkomunikasi dengan sesama XL nomor Medan.
Sesuai dengan programnya, tarif Ngirit Malam berlaku untuk sesama XL,
dalam artian tidak membedakan jarak penelpon dan penerima, sekitar pukul 04.00
WIB pada hari yang sama, nomor prabayar Bebas tersebut digunakan konsumen
termasuk dalam Zona seberang dalam penarifan kartu Xplor). Waktu percakapan
yang digunakan konsumen sekitar 15 detik, kemudian dicek pulsa dan tercatat
pulsanya menjadi Rp. 7.448,- dari sebelumnya Rp. 8.128,- atau dikenakan biaya
sebesar Rp. 680,-. Padahal sesuai dengan isi brosur bahwa tarif Ngirit Malam
berlaku bagi sesama XL, seharusnya hanya dikenakan tarif sebesar Rp. 149 per 30
detik karena hanya 15 detik yang digunakan. Dan konsumen mengalami kerugian
sebesar Rp. 531,-.
Dan dari beberapa kali kemudian konsumen menggunakan kartu prabayar
Bebas milik XL tersebut, setelah diakumulasikan konsumen mengalami kerugian
sebesar Rp. 9.054. Namun, meski telah diberitahu mengenai kerugian yang
dialami konsumen akibat tidak terbuktinya program tarif Ngirit Malam seperti
alam brosur yang disebar XL melalui surat elektronik (e-mail) ke customer service
dan korporate communication PT. Excelcomindo Pratama, hingga laporan
pengaduan konsumen ini (tanggal pengaduan konsumen adalah 16 April 2006)
diajukan kepada BPSK Medan, pihak XL belum juga menyampaikan permohonan
maaf baik kepada konsumen maupun kepada public yang merasa dirugikan oleh
program tersebut.
Setelah dalam persidangan BPSK para pihak sepakat memilih
penyelesaian sengketa dengan cara Arbitrase , maka Pihak XL yang kemudian
menjawab pengaduan konsumen tersebut menyatakan bahwa menanggapi keluhan
dari konsumen pada tanggal 2 Apil 2006 malam di kantor XL Jalan Diponegoro
Medan, pihak XL menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan tanggal cetak
tapi ternyata tercetak tanggal 1 April 2006. Dalam pembicaraan tersebut XL telah
menyetujui untuk memberikan penawaran kerja sama iklan sebagai bentuk
perdamaian atau ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen. Menanggapi
tawaran tersebut, konsumen meminta agar pemasalahan ini diselesaiakan melalui
mekanisme penyelesaian yang berlaku di BPSK Kota Medan.
Pihak XL pada tanggal 2 April 2006 telah menarik semua brosur yang
salah tanggal cetak mulai berlakunya program tarif Ngirit Malam yang sempat
beredar di Kota Medan, serta telah menggantinya dengan brosur yang benar pada
tanggal 4 April 2006. Pihak XL menyampaikan bahwa telah berkali-kali
menawarkan penyelesaian sengketa berdasarkan itikad baik, namun pihak
konsumen belum juga menerima tawaran dari pihak XL tersebut.
Dan terhadap jawaban dari pihak XL, konsumen menyatakan tetap pada
pengaduannya/gugatannya semula.
Kemudian guna memenuhi bunyi Pasal 54 Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 22
Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang menyatakan bahwa:
“Pembuktian dalam proses Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan beban
dan tanggung jawab pelaku usaha”, maka pihak XL mengajukan alat bukti surat
yaitu Brosur/iklan Tarif Ngirit Malam (TNM) Rp.149/30 detik dimulai tanggal 1
April 2006 hingga 30 Juni 2006, Brosur/iklan Tarif Ngirit Malam (TNM)
Rp.149/30 detik telah diubah tanggalnya dari tanggal 1 April menjadi tanggal 6
April hingga 30 Juni 2006. Dan saksi-saksi antara lain Michael AP dan Zainul
ada kesalahan cetak terhadap brosur yang pada mulanya dicetak berlaku pada
tanggal 1 April hingga 30 Juni 2006 kemudian diubah menjadi berlaku tanggal 6
April 2006 hingga 30 Juni 2006. Bahwa memang benar para saksi menarik brosur
yang salah tersebut dari semua agen atas perintah pimpinan perusahaan. Bahwa
memang benar brosur yang salah telah beredar 10ribu lembar dan telah ditarik
sejumlah 7 ribu lembar, sedangkan sisanya 3 ribu lembar lagi tidak diketahui
kemana beredarnya.
Dan tuntutan konsumen yang dimohonkan kepada Ketua BPSK, Cq. Ketua
Majelis Hakim BPSK yang memeriksa dan mengadili sengketa ini sebagai
berikut:
a. Mengabulkan seluruhnya permohonan pengaduan konsumen.
b. Menyatakan perbuatan PT. Excelcomindo Pratama (XL) adalah
perbuatan melawan hukum.
c. Agar pelaku usaha memberi ganti rugi materiil dan immateriil sebesar
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) kepada konsumen.
d. Menghukum PT. Excelcomindo Pratama untuk memohon maaf atas
kesalahannya secara khusus kepada konsumen dan secara umum
kepada semua pelanggan yang dirugikan akibat tidak terbuktinya
program tarif Ngirit Malam dalam brosur tersebut, yang dimuat dalam
8 (delapan) media massa terbitan Medan (Medan Bisnis, Analisa,
Waspada, SIB, Global, Pos Metro Medan, Sumut Pos, Suara Rakyat
Medan) dan 5 (lima) media massa nasional (Kompas, Koran Tempo,
selama 3 (tiga) hari, karena meski telah diberitahu bahwa program
yang terdapat dalam brosur tersebut tidak terbukti, justru pelaku usaha
tidak memuat pengumuman di media massa atas kesalahan yang
dilakukan.
e. Melakukan pencabutan ijin usaha pelaku usaha, karena memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam promosi penjualan barang
dan/atau jasa tersebut.
2. Pertimbangan Hukum
Berdasarkan jawaban pihak XL secara tertulis maupun lisan di persidangan
yang pada pokoknya XL mengakui adanya kesalahan dalam mencetak brosur
Tarif Ngirit Malam (TNM) yang dicetak dan diedarkan untuk berlaku tanggal 1
April 2006 yang seharusnya berlaku tanggal 6 April 2006, sedangkan konsumen
telah mengkonsumsi/memakai dan menggunakan Tarif Ngirit Malam tersebut,
apabila dihubungkan dengan Pasal 8 Ayat (1) huruf f dari Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: “pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut”. Majelis BPSK
berpendapat bahwa XL membuat brosur/iklan dengan apa yang dijanjikan tidak
sesuai dan tidak terlaksana, sehingga XL telah melanggar Pasal 8 Ayat (1) huruf f
Dan apabila dihubungkan dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf k Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu
yang mengandung janji yang belum pasti”. Majelis berpendapat bahwa pelaku
usaha juga telah melanggar pasal tersebut.
Apabila dihubungkan dengan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: “Pelaku
usaha dalam menawakan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengedarkan atau
membuat penjelasan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif
suatu barang dan/atau jasa”.
Mengenai kerugian yang diderita konsumen, majelis mempertimbangkan
bahwa menurut Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan: “Semua/segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada
saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
undang-undang ini. Bahwa yang dimaksud oleh undang-undang-undang-undang “yang telah ada yang
tetap berlaku” di antaranya adalah Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
bahwa memang benar terjadi kesalahan tersebut adalah karena salah cetak, serta
dihubungkan dengan bukti-bukti surat dari konsumen berupa kuitansi pembelian
kartu perdana Bebas sebesar Rp. 20.000,- serta tabulasi perhitungan angka
kerugian yang dibuat konsumen dalam surat pengaduannya sebesar Rp. 9.054,-
tidah dibantah oleh pelaku usaha dan diakui adanya kesalahan tersebut, maka
majelis berpendapat bahwa ada kerugian yang diderita oleh konsumen akibat
perbuatan pelaku usaha yang jumlahnya menurut keyakinan majelis dan setelah
mempertimbangkan rasa keadilan, maka patut an sewajarnya ganti rugi sebesar
Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).
3. Amar Putusan
-MENGADILI -
1. Menerima pengaduan/gugatan konsumen sebagian.
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha bersalah karena mengedarkan brosur dan
iklannya yaitu Tarif Ngirit Malam (TNM) yang tidak sesuai dengan yang
diperjanjikannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf f,
Pasal 9 Ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
3. Menghukum pelaku usaha untuk tidak memberlakukannya lagi kepada
konsumen.
4. Menyatakan adanya kerugian yang diderita oleh konsumen akibat
perbuatan pelaku usaha yang menurut keyakinan majelis dan rasa keadilan
5. Menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada
konsumen.
6. Menghukum pelaku usaha untuk membayar denda sebesar Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah) setiap harinya apabila lalai/tidak mau melaksanakan
keputusan pada poin 4 dan 5 tersebut. Sejak keputusan ini berkekuatan
hukum tetap.
7. Menolak gugatan lain dan selebihnya.
Demikian diputuskan pada hari Kamis tanggal 1 Juni 2006.
4. Analisa Kasus
Pasal 19 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”,
dan “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dapat dilihat Putusan BPSK
Medan yang menyatakan adanya kerugian yang diderita konsumen akibat
perbuatan pelaku usaha sebesar Rp 4.000.000,-(empat juta rupiah) untuk
kemudian menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada
konsumen (sedangkan diketahui bahwa kerugian sebenarnya adalah Rp 9.054,-)
serta menghukum pelaku usaha untuk membayar denda Rp 1.000.000,- (satu juta
sejak keputusan itu berkekuatan hukum tetap adalah tidak sesuai dengan
ketentuan di dalam pasal 19 ayat (2) UUPK dan tidak sesuai pula dengan Pasal 12
ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350 Tahun
2001.
Pada kasus ini BPSK telah mengeluarkan suatu keputusan agar XL
membayar ganti rugi sebesar Rp 4 juta kepada konsumen tanpa pertimbangan
yang logis yang dapat menyatakan mengenai adanya kesetaraan nilai atas
kerugian yang diderita konsumen. BPSK Medan seharusnya hanya memutuskan
bahwa XL memberikan ganti rugi seharga setara dengan nilai kartu perdana yang
dibeli oleh konsumen atau pulsa yang sudah dipergunakan oleh konsumen, tidak
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Bahwasannya sejak berdirinya BPSK di Kota Medan memang telah
menghadapi berbagai tantangan, seperti masalah eksistensi BPSK
sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang merupakan
produk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, yang membutuhkan sosialisasi kepada masyarakat. Dan
selama ini BPSK sudah berusaha untuk memperkenalkan BPSK
kepada masyarakat melalui media-media, baik itu media elektronik
seperti televisi, radio, maupun media cetak. BPSK juga sudah bekerja
sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan lembaga-lembaga
perlindungan konsumen lainnya.
2. Hambatan yang dialami oleh BPSK pada pelaksanaan permohonan
penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri, yaitu mengenai pihak
yang harus mengajukan permohonan tersebut. Menurut hukum acara
perdata yang seharusnya mengajukan permohonan penetapan eksekusi
adalah pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim, dalam hal ini
adalah konsumen. Namun Pasal 42 Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK yang telah
final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK
akan menambah beban kerja dari BPSK, selain memang di dalam
Pasal 52 UUPK tidak disebutkan bahwa pengajuan permohonan
eksekusi ke pengadilan negeri terhadap putusan BPSK adalah
merupakan tugas BPSK.
3. Yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan BPSK
adalah tidak dimilikinya lembaga juru sita oleh BPSK seperti yang
dimiliki oleh pengadilan umum menjadikan BPSK tidak dapat secara
mandiri melaksanakan eksekusi putusannya, sehingga putusan BPSK
yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pelaku usaha harus
dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri.
4. Peran serta lembaga peradilan umum dalam memeriksa upaya hukum
keberatan menjadikan putusan arbitrase BPSK dipertanyakan kekuatan
hukumnya. Padahal seharusnya para pihak yang sudah memilih
penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan cara arbitrase, maka secara
yuridis putusan BPSK haruslah dipandang sebagai suatu putusan badan
arbitrase. Yang mana putusan arbitrase tersebut harus dilaksanakan
para pihak karena para pihaklah yang telah memilih untuk
menyelesaikan sengketa melalui cara arbitrase. Hal ini menjadikan
putusan arbitrase BPSK menjadi tidak final dan mengikat.
5. Dan pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan putusan
BPSK sudah efektif dengan segala keterbatasannya, namun masih
banyak hal-hal yang harus diperbaiki untuk meningkatkan efektivitas
B. Saran
1. Melihat adanya kebingungan mengenai prosedur arbitrase di BPSK
maka penulis menyarankan seharusnya tata cara arbitrase dilaksanakan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menyeragamkan
pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase agar tidak terjadi
kebingungan yang dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan
putusan BPSK.
2. Adanya peraturan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang
BPSK yang justru menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaannya,
oleh karena itu penulis menyarankan agar pemerintah segera merevisi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen berkaitan tentang BPSK agar tidak perlu diterbitkan
berbagai peraturan perundang-undangan lain yang bertujuan demi
kelancaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri sehingga pelaksanaannya
menjadi lebih efektif.
3. Melihat masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai BPSK,
sudah selayaknya pemerintah lebih gencar mengkampanyekan BPSK
melalui berbagai media.
4. Berkaitan harus dimintakannya penetapan eksekusi terhadap putusan
BPSK ke pengadilan negeri, saran penulis adalah pemerintah
konsumen yang merupakan tujuan dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusannya
BAB II
MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN
A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan dapat mengajukan
permohonan penyelesaian sengketa konsumen ke sekretariat BPSK.32
a. Konsumen yang bersangkutan telah meninggal dunia;
Pelaku
usaha juga dapat melakukan hal yang sama.
Surat permohonan tersebut dapat berupa permohonan secara tertulis atau
secara lisan. Permohonan yang diajukan oleh ahli waris dan kuasanya dilakukan
bilamana:
b. Konsumen sakit atau telah lanjut usia, sehingga tidak dapat diajukan
pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana
dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda
Penduduk (KTP);
c. Konsumen belum dewasa sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku;
d. Konsumen warga negara asing.33
32 Pasal 15 ayat (1) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
Permohonan yang dibuat secara tertulis diberikan bukti tanda terima oleh
sekretariat BPSK kepada pemohon.34 Sedangkan permohonan yang dibuat secara
tidak tertulis harus dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu formulir yang
disediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli
warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima.35
Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor
registrasi.36
Pengaduan konsumen dapat dilakukan di tempat BPSK yang terdekat
dengan domisili konsumen.
37
a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai
bukti diri;
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen
sebaiknya memang diajukan secara tertulis dengan memenuhi beberapa
persyaratan yang telah ditetapkan, karena dapat dijadikan tanda bukti bahwa
permohonan sudah diajukan.
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen harus memuat secara benar
dan lengkap mengenai:
b. nama dan alamat lengkap pelaku usaha;
c. barang atau jasa yang diadukan;
d. bukti perolehan (bon, faktur, kuitansi dan dokumen bukti lain);
34 Pasal 15 ayat (4), Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
35 Pasal 15 ayat (5) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
36 Pasal 15 ayat (6) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
e. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut;
f. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;
g. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan (jika ada).38
Terhadap formulir pengaduan penyelesaian sengketa konsumen konsumen
dilakukan penelitian yang meliputi penelitian kelengkapan formulir pengaduan
dan bukti-bukti pendukung.39
Data pengaduan yang diterima secara benar dan lengkap diajukan oleh kepala sekretaiat kepada ketua BPSK, selanjutnya ketua BPSK membuat surat panggilan kepada tergugat dan pengguagat agar hadir pada sidang pertama. Ketua BPSK juga harus membentuk majelis dan menunjuk panitera, hal ini harus dilakukan sebelum sidang pertama. Bagi pengaduan yang tidak lengkap, pengaduan tersebut dikembalikan kepada pengadu untuk dilengkapi.
40
Ketentuan Pasal 17 tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Pedoman
Operasional BPSK yang dikelurkan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen
Departemen Perdagangan, yaitu menjadi:
Pasal 17 Kepmenprindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan
bahwa ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen,
apabila permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350 Tahun 2001 atau permohonan gugatan
bukan merupakan kewenangan BPSK.
41
a. Setiap permohonan secara tertulis tidak dapat diterima, apabila tidak
disertai dengan bukti-bukti secara benar sebagaimana dimaksud dalam
b. Setiap permohonan pengaduan secara lisan tidak dapat diterima bilamana
tidak mengisi dan menyerahkan formulir pengaduan pada angka 1 di atas.
Formulir dibuat dalam rangkap 4.
c. Pengaduan yang bukan merupakan kewenangan BPSK tidak dapat
diterima meskipun penggugatnya konsumen akhir, adalah:
1) Tergugatnya adalah lembaga atau instansi pemerintah baik sipil
maupun militer (contohnya dalam masalah SIUP, KTP, sertifikat,
penyalahgunaan kekuasaan, dan lain-lain).
2) Barang atau jasa yang dikonsumsi, secara hukum dilarang untuk
dikonsumsi atau diperdagangkan (contohnya dalam masalah
narkoba, barang purbakala, jasa kenikmatan yang dilarang, dan
lain-lain).
3) Kasus pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha.
d. Pengadu yang bukan konsumen akhir atau gugatan joinder tidak dapat diterima oleh BPSK.
e. Pelaku usaha tidak boleh mengajukan gugatan kepada konsumen melalui
SKEMA 2.1
Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK
B. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa Konsumen
Diaturnya ketentuan mengenai pembatasan jangka waktu dalam UUPK
yang menyangkut tentang penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK
merupakan solusi yang cukup baik untuk menghindari proses penyelesaian
sengketa yang berlarut-larut atau mengendap di lingkungan BPSK. Pasal 55
dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Namun
berdasarkan wawancara42
Ketentuan Pasal 56 Ayat (1) yang menetapkan jangka waktu pelaksanaan
putusan 7 (tujuh) hari, lebih singkat daripada jangka waktu pengajuan keberatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) yaitu 14 (empat belas) hari,
merupakan suatu kekeliruan. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin pelaku
usaha melaksanakan putusan jika secara hukum belum dapat dianggap menerima
putusan, karena belum habis masa untuk mengajukan keberatan, yaitu 14 (empat
belas) hari.
dengan Ibu Dana yang merupakan anggota sekretariat
BPSK Kota Medan, menyatakan bahwa penerapan jangka waktu ini tidak selalu
dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam waktu 21 (dua puluh satu)
hari kerja BPSK belum dapat mengeluarkan putusan dikarenakan dalam beberapa
perkara sengketa konsumen, para pihak tidak selalu telah siap dengan alat bukti.
Pada Pasal 56 Ayat (1) ditentukan bahwa dalam waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak menerima putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 UUPK pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut, Pasal 56 Ayat
(2) menentukan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan
putusan tersebut.
43
42 Wawancara pada tanggal 8 Agustus 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 11.00 WIB.
43 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” (PT. RajaGrafindo Persada), Jakarta, 2004, hal.262.
Pasal 41 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
(1) Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis
kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa,
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan.
(2) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan
BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan
BPSK.
(3) Konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak keputusan BPSK
diberitahukan.
(4) Pelaku usaha yang menyatakan menerima keputusan BPSK wajib
melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK.
(5) Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak
mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
setelah batas waktu dalam ayat (4) dilampaui, maka dianggap
menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan
keberatan dilampaui.
(6) Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya