• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Dinamika Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon di HPHTI PT.Sumatera Sylva Lestari Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dampak Kebakaran Hutan terhadap Dinamika Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon di HPHTI PT.Sumatera Sylva Lestari Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP

DINAMIKA TUMBUHAN BAWAH DAN ANAKAN POHON

DI HPHTI PT. SUMATERA SYLVA LESTARI KECAMATAN

BARUMUN TENGAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN

HASIL PENELITIAN

OLEH:

ASRI S SITUMORANG 031202004/ BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Judul Skripsi : Dampak Kebakaran Hutan terhadap Dinamika Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon di HPHTI PT.Sumatera Sylva Lestari Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan

Nama : Asri S Situmorang

Nim : 031202004

Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si Alfan Gunawan Ahmad, S.Hut, M.Si Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Kehutanan

(3)

ABSTRACT

Forest fire is caused the destroyed stands of forest very damage. The effects may be for ecology and physiology. Forest fire also happened destroy at physical and chemical soil. This research aims to know the changes species composition of undergrowth vegetation and seed of tree, also to know the effects of fire on physical and chemical soil. This research doings by analysis of vegetation method and analysis at laboratory. Analysis of vegetation doings by take a stripe and then secure a square measure.

At open burned area founded as much 22 species of undergrowth and 5 species seed of tree, at under stands burned area as much 4 of undergrowth species and 1 seed of akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa), and at normal forest area found 1 undergrowth species that is paku kawat (Lycopodium cernuum) and 1 species seed of tree that akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa). Species diversity index and species richness index, for undergrowth species at open burned area are 2.5745 and 8.85. While at under stands burned area are 0.9559 and 1.45. And at normal forest area is 0 (zero). Even though, Species diversity index and species richness index for seed of tree at open burned area are 0.8153 and 1.58, at under stands burned area and normal forest area they are 0 (zero).

One year after burning, physical soil decreased tendency compared to normal forest. This matter visible from changes of soil texture which topsoil of normal forest is clay sand, at one year after burning area is hard clay sand. KA at normal forest 28.73 %, under stands burned area 24.96 % and at open burned area is 21.15 %. Chemical soil increase tendency. pH remain at 5 gyration, KTK (me/100 gr soil) at normal forest area 21.47, under stands burned area is 12.88 and at open burned area is 8.03 while ratio C/N at normal forest is 13.57, under stands burned area is13.48, and at open burned area is 13.45.

Key word : fire’s, undergrowth, seed of tree, open burned area, under stands burned area, normal forest

(4)

ABSTRAK

Kebakaran hutan adalah penyebab kerusakan tegakan yang paling merugikan. Dampak yang ditimbulkannya dapat berupa dampak ekologis dan fisiologis. Kebakaran hutan juga mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan komposisi jenis vegetasi tumbuhan bawah dan anakan pohon serta untuk mengetahui dampak terjadinya kebakaran terhadap sifat fisik dan kimia tanah. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis vegetasi dan analisis laboratorium. Analisis vegetasi dilakukan dengan pembuatan jalur serta penentuan petak ukur.

Pada areal terbakar terbuka ditemukan sebanyak 22 spesies tumbuhan bawah dan 5 spesies anakan pohon, areal terbakar di bawah tegakan sebanyak 4 spesies tumbuhan bawah dan 1 spesies anakan akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa), areal hutan normal sebanyak 1 spesies tumbuhan bawah paku kawat (Lycopodium cernuum) dan 1 spesies anakan pohon akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa). Untuk tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka, indeks keanekaragaman jenis dan indeks kekayaan jenis masing-masing sebesar 2.5745 dan 8.85. Areal terbakar di bawah tegakan sebesar 0.9559 dan 1.45 dan pada areal hutan normal masing-masing nilai indeksnya adalah 0 (nol). Sedangkan untuk anakan pohon pada areal terbakar terbuka sebesar 0.8153 dan 1.58, pada areal terbakar di bawah tegakan serta hutan normal masing-masing adalah 0 (nol). .

Sifat fisik tanah pasca setahun terbakar cenderung menurun dibandingkan dengan areal hutan normal. Hal ini dapat dilihat dari perubahan tekstur tanah yang pada lapisan topsoil areal hutan normal adalah lempung berpasir, pada areal pasca setahun terbakar adalah lempung liat berpasir. KA pada areal hutan normal 28.73 %, areal terbakar di bawah tegakan 24.96 % dan areal terbakar terbuka 21.15 %. Sifat kimia tanah cenderung meningkat. pH tetap pada kisaran 5, KTK (me/100 gr tanah) areal hutan normal 21.47 terbakar di bawah tegakan 12.88 dan areal terbakar terbuka 8.03 sedangkan nisbah C/N pada areal hutan normal 13.57 areal terbakar di bawah tegakan 13.48 dan terbakar terbuka 13.45.

Kata Kunci : kebakaran, tumbuhan bawah, anakan pohon, areal terbakar terbuka, terbakar di bawah tegakan, hutan normal

(5)

RIWAYAT HIDUP

Asri Situmorang, dilahirkan di Pematangsiantar Sumatera Utara, pada

tanggal 21 Januari 1985, anak keempat dari 5 bersaudara dari pasangan Bapak

T.Situmorang dan Ibu H. Silalahi.

Pada tahun 1997 penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri

121242 Pematangsiantar, lulus pada tahun 2000 dari SMP Negeri 3

Pematangsiantar, kemudian pada tahun 2003 lulus dari SMU Negeri 1

Pematangsiantar dan pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas

Sumatera Utara, Fakultas Pertanian Departemen Kehutanan, Program Studi

Budidaya Hutan.

Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengelolaan dan Pembinaan Hutan

(P3H) pada tahun 2005 di Hutan Mangrove Bandar Khalipah Kabupaten Serdang

Bedagai dan Hutan Pegunungan Tahura Kabupaten Karo Sumatera Utara. Pada

tahun 2007 melaksanakan PraktekKerja Lapang (PKL) di PerumPerhutani Unit II

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun, Jawa Timur. Penulis terdaftar

sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) dan melaksanakan

penelitian dengan judul “Dampak Kebakaran Hutan terhadap Dinamika

Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon di HPHTI PT. Sumatera Sylva Lestari Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan” dibawah bimbingan Bapak Achmad Siddik Thoha S.Hut, M.Si dan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih

Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Dampak Kebakaran Hutan terhadap Dinamika Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon di HPHTI PT. Sumatera Sylva Lestari Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan”

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Ayahanda T. Situmorang, Ibunda H. Silalahi, kakakku Hinsa dan Elfrida,

abangku Benny, adikku Indra, Kakak iparku J.Siahaan serta keponakanku

Nico Siahaan atas segala pengorbanan, semangat serta motivasi dan

doanya.

2. Bapak Achmad Siddik Thoha S.Hut, M.Si dan Bapak Alfan Gunawan

Ahmad S.Hut, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan kritik dan saran

demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Ketua Departemen Kehutanan dan seluruh staf Tata Usaha.

4. Pimpinan PT. SSL Kec. Barumun Tengah Bapak Obet Sembiring atas

segala perhatian, motivasi dan doanya.

5. Staf PT.SSL Kec.Barumun Tengah: Pak Hotman, Pak Max dan Pak Alfred

6. Para sahabatku MP3 : Karjok, Jonut, Phia, Eka, May, serta teman-teman

yang lainnya : Eva, Rabun, Arif, Richie dan Roro S.Hut, terima kasih buat

(7)

7. Abangku Deden Raldos, Andrew, Juner, Josua Sibarani dan Adikku Eva

Tambunan, anak Lope, civitas GMKI Komisariat FP USU dan

anak-anak Taman Langit Psr. 7 (Rambo, Yuni, Dongan dan Gustiana)

8. Semua Pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil,

terima kasih.

9. Teman-teman stambuk 2003, 2004-2006 serta Abang dan Kakak senior

Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik

yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, September 2008

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR GRAFIK ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesa Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Kebakaran Hutan ... 4

Pengertian Kebakaran Hutan ... 4

Proses Kebakaran Hutan ... 5

Tipe Kebakaran Hutan ... 9

Suksesi dan Hubungan Tumbuhan Bawah dengan Lingkungannya ... 10

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Vegetasi dan Tanah ... 14

METODE PENELITIAN ... 17

Waktu dan Tempat Penelitian... 17

Alat dan Bahan ... 17

Metode Penelitian ... 18

Analisis Vegetasi ... 18

Penentuan Lokasi Petak Ukur ... 18

Metode Penentuan Jalur ... 19

Pengamatan Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon ... 20

Analisis Tanah ... 21

(9)

Parameter Pengamatan ... 22

Analisa Data ... 22

Analisis Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon ... 22

Indeks Nilai Penting (INP) ... 23

Indeks Keanekaragaman Jenis ... 23

Indeks Kekayaan Jenis ... 23

Analisis Tanah ... 24

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 25

Lokasi Penelitian ... 25

Topografi ... 26

Iklim ... 26

Geologi dan Tanah ... 26

Vegetasi ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon ... 27

Jumlah dan Komposisi Jenis ... 27

Indeks Nilai Penting ... 29

Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kekayaan Jenis ... 34

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 35

Sifat Fisik Tanah ... 35

Tekstur Tanah ... 35

Kadar Air Tanah dan Serasah ... 38

Sifat Kimia Tanah ... 39

pH tanah ... 39

Kapasitas Tukar Kation ... 40

Nisbah C/N ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN... 45

Kesimpulan ... 45

Saran ... 46

(10)

DAFTAR TABEL

No. Teks Hal

1. Nilai Tolak Ukur Indeks Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis...24

2. Jenis-Jenis Tumbuhan Bawah Pada Areal Terbakar Terbuka,

Terbakar Dibawah Tegakan dan Hutan Normal ... .... 27

3. Jenis-Jenis Anakan Pohon Pada Areal Terbakar Terbuka,

Terbakar Dibawah Tegakan dan Hutan Normal ... 28

4. Perbandingan Jenis dan Komposisi Tumbuhan Bawah pada Areal

Terbakar Terbuka, Terbakar Dibawah Tegakan dan Hutan Normal ... 30

5. Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kekayaan Jenis Untuk Tumbuhan Bawah Pada Areal Terbakar Terbuka, Terbakar Dibawah

Tegakan dan Hutan Normal ... 33

6. Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kekayaan Jenis Untuk Anakan Pada Areal Terbakar Terbuka, Terbakar Dibawah

Tegakan dan Hutan Normal ... 34

7. Analisis Tekstur Tanah ... 35

8. Hasil analisis sifat kimia tanah pada areal terbakar terbuka,

terbakar dibawah tegakan dan areal hutan normal ... 43

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Hal

1. Prinsip Segitiga Api ... 6

2. Kondisi Areal Terbakar Terbuka ... 18

3. Kondisi Areal Terbakar Dibawah Tegakan ... 18

4. Kondisi Areal Hutan Normal... 18

5. Ilustrasi Teknik Penentuan Petak Contoh ... 20

6. Contoh Petak Ukur Pada Areal Terbakar Terbuka ... 20

7. Contoh Petak Ukur Pada Areal Terbakar Dibawah Tegakan ... 20

8. Contoh Petak Ukur Pada Areal Hutan Normal ... 20

9. Rumput Sanggar ... 21

10. Sidaguri ... 21

11. Melastoma ... 21

12. Ilustrasi Teknik Pengambilan Contoh Tanah ... 21

13. Ilustrasi Teknik Pengambilan Contoh Tanah Pada Lapisan Topsoil ... 22

14. Ilustrasi Teknik Pengambilan Contoh Tanah Pada Lapisan Subsoil ... 22

15. Perbandingan Jenis dan Komposisi Tumbuhan Bawah pada Areal Terbakar Terbuka, Terbakar Dibawah Tegakan dan Hutan Normal ... 31

16. Perbandingan Jenis dan Komposisi Anakan Pohon pada Areal Terbakar Terbuka, Terbakar Dibawah Tegakan dan Hutan Normal ... 32

17. Analisis Tekstur Tanah Pada Lapisan Top Soil ... 36

18. Analisis Tekstur Tanah Pada Lapisan Sub Soil ... 36

19. Analisis Kadar Air Tanah dan Serasah ... 38

20. Analisis pH Tanah ... 39

(12)

22. Analisis Nisbah C/N pada Lapisan Top Soil ... 41

22. Analisis Nisbah C/N pada Lapisan Sub Soil ... 41

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Hal

1. Tally Sheet Untuk Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon Areal ... 49 Terbakar Terbuka

2. Tally Sheet Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon Areal Terbakar

Dibawah Tegakan ... 52

3. Tally Sheet Untuk Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon Areal Hutan Normal ... 54

4. Indeks Nilai Penting Tumbuhan Bawah di Areal Terbakar Terbuka ... 55

5. Indeks Nilai Penting Anakan Pohon di Areal Terbakar Terbuka ... 61

6. Indeks Nilai Penting Untuk Tumbuhan Bawah Areal Terbakar

Dibawah Tegakan ... 64

7. Indeks Keragaman Tumbuhan Bawah Areal Terbakar Terbuka ... 68

8. Indeks Keragaman Anakan Pohon di Areal Terbakar Terbuka ... 69

9. Indeks Keragaman Tumbuhan Bawah di Areal Terbakar Dibawah Tegakan 70

(14)

ABSTRACT

Forest fire is caused the destroyed stands of forest very damage. The effects may be for ecology and physiology. Forest fire also happened destroy at physical and chemical soil. This research aims to know the changes species composition of undergrowth vegetation and seed of tree, also to know the effects of fire on physical and chemical soil. This research doings by analysis of vegetation method and analysis at laboratory. Analysis of vegetation doings by take a stripe and then secure a square measure.

At open burned area founded as much 22 species of undergrowth and 5 species seed of tree, at under stands burned area as much 4 of undergrowth species and 1 seed of akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa), and at normal forest area found 1 undergrowth species that is paku kawat (Lycopodium cernuum) and 1 species seed of tree that akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa). Species diversity index and species richness index, for undergrowth species at open burned area are 2.5745 and 8.85. While at under stands burned area are 0.9559 and 1.45. And at normal forest area is 0 (zero). Even though, Species diversity index and species richness index for seed of tree at open burned area are 0.8153 and 1.58, at under stands burned area and normal forest area they are 0 (zero).

One year after burning, physical soil decreased tendency compared to normal forest. This matter visible from changes of soil texture which topsoil of normal forest is clay sand, at one year after burning area is hard clay sand. KA at normal forest 28.73 %, under stands burned area 24.96 % and at open burned area is 21.15 %. Chemical soil increase tendency. pH remain at 5 gyration, KTK (me/100 gr soil) at normal forest area 21.47, under stands burned area is 12.88 and at open burned area is 8.03 while ratio C/N at normal forest is 13.57, under stands burned area is13.48, and at open burned area is 13.45.

Key word : fire’s, undergrowth, seed of tree, open burned area, under stands burned area, normal forest

(15)

ABSTRAK

Kebakaran hutan adalah penyebab kerusakan tegakan yang paling merugikan. Dampak yang ditimbulkannya dapat berupa dampak ekologis dan fisiologis. Kebakaran hutan juga mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan komposisi jenis vegetasi tumbuhan bawah dan anakan pohon serta untuk mengetahui dampak terjadinya kebakaran terhadap sifat fisik dan kimia tanah. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis vegetasi dan analisis laboratorium. Analisis vegetasi dilakukan dengan pembuatan jalur serta penentuan petak ukur.

Pada areal terbakar terbuka ditemukan sebanyak 22 spesies tumbuhan bawah dan 5 spesies anakan pohon, areal terbakar di bawah tegakan sebanyak 4 spesies tumbuhan bawah dan 1 spesies anakan akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa), areal hutan normal sebanyak 1 spesies tumbuhan bawah paku kawat (Lycopodium cernuum) dan 1 spesies anakan pohon akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa). Untuk tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka, indeks keanekaragaman jenis dan indeks kekayaan jenis masing-masing sebesar 2.5745 dan 8.85. Areal terbakar di bawah tegakan sebesar 0.9559 dan 1.45 dan pada areal hutan normal masing-masing nilai indeksnya adalah 0 (nol). Sedangkan untuk anakan pohon pada areal terbakar terbuka sebesar 0.8153 dan 1.58, pada areal terbakar di bawah tegakan serta hutan normal masing-masing adalah 0 (nol). .

Sifat fisik tanah pasca setahun terbakar cenderung menurun dibandingkan dengan areal hutan normal. Hal ini dapat dilihat dari perubahan tekstur tanah yang pada lapisan topsoil areal hutan normal adalah lempung berpasir, pada areal pasca setahun terbakar adalah lempung liat berpasir. KA pada areal hutan normal 28.73 %, areal terbakar di bawah tegakan 24.96 % dan areal terbakar terbuka 21.15 %. Sifat kimia tanah cenderung meningkat. pH tetap pada kisaran 5, KTK (me/100 gr tanah) areal hutan normal 21.47 terbakar di bawah tegakan 12.88 dan areal terbakar terbuka 8.03 sedangkan nisbah C/N pada areal hutan normal 13.57 areal terbakar di bawah tegakan 13.48 dan terbakar terbuka 13.45.

Kata Kunci : kebakaran, tumbuhan bawah, anakan pohon, areal terbakar terbuka, terbakar di bawah tegakan, hutan normal

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi

yang unik dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun hutan yang

merupakan sumberdaya alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat

rentan terhadap kerusakan. Data FAO dalam Sutanto (2007), menyebutkan

bahwa angka kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia pada tahun 2000-2005

mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan

dengan angka yang resmi dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan Republik

Indonesia yaitu 2,8 juta hektar per tahun. Hal ini menjadikan Indonesia berada

pada urutan kedua sebagai kawasan deforestasi terbesar di dunia, di bawah

Brazil yang menempati tempat pertama dengan kerusakan 3,1 juta hektar per

tahun. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan

Bencana, selama tahun 2006 kebakaran hutan dan lahan mencapai luas 65.167,1

Ha, yang tersebar di Provinsi Jambi (3.797 Ha), Sumatera Selatan (58.805 Ha),

Lampung (700 Ha), dan Kalimantan Tengah (1.865,10 Ha).

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan tegakan yang

paling merugikan. Kerusakan karena kebakaran hutan yang besar dapat terjadi

dalam waktu yang relatif singkat. Kebakaran hutan menyebabkan musnahnya

vegetasi yang ada di hutan, hanya beberapa jam atau hari saja. Bila kebakaran

hutan terjadi pada areal reboisasi, kerugian bukan hanya dari segi materiil saja,

tetapi kerugian yang paling besar adalah kerugian waktu, sebab hasil reboisasi itu

telah ditunggu untuk memenuhi kebutuhan kayu yang kian hari kian meningkat

(17)

masyarakat Indonesia akan kayu sebagai bahan bangunan baik untuk keperluan

konstruksi, dekorasi maupun furniture terus meningkat seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk.

Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dapat berupa dampak

ekologis dan fisiologis. Dampak ekologis yaitu musnahnya tumbuh-tumbuhan

mulai dari tumbuhan bawah hingga pohon-pohon yang tinggi. Dampaknya

terhadap tumbuhan bawah yaitu menyebabkan terjadinya proses suksesi sekunder

pada komunitas tumbuhan bawah meliputi perubahan komposisi jenis dan struktur

tumbuhan. MacKinnon et al (1996) dalam Purbowaseso (2004) menyebutkan

bahwa kebakaran hutan kemungkinan bisa mengganggu proses ekologi hutan

salah satunya suksesi alami. Kebakaran menyebabkan perubahan pola vegetasi

sesuai dengan pola kebakaran yang terjadi, sehingga akan membentuk pola

mosaik yang terdiri atas berbagai fase suksesi. Sedangkan dampak fisiologis

kebakaran yaitu terganggunya proses metabolisme dalam tumbuhan sebagai

akibat dari pemanasan yang tinggi.

Kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan

pada sifat fisik dan kimia tanah. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan

vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan langsung

mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapat energi pukulan air hujan

lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini

akan menyebabkan rusaknya struktur tanah, yang menyebabkan massa tanah dan

bahan organik yang terkandung didalamnya terbawa oleh limpasan air permukaan

(18)

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui

Dampak Kebakaran terhadap Dinamika Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon di HPHTI PT. Sumatera Sylva Lestari Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perubahan komposisi jenis vegetasi tumbuhan bawah

dan anakan pohon pada areal hutan yang terbakar

2. Untuk mengetahui dampak terjadinya kebakaran hutan terhadap sifat fisik

dan kimia tanah

Hipotesis Penelitian

1. Terjadi perubahan komposisi jenis vegetasi tumbuhan bawah dan anakan

pohon pada areal yang terbakar dengan yang tidak terbakar.

2. Terjadi perubahan sifat fisik serta kimia tanah pada areal yang hutan

terbakar.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

Sebagai informasi yang diharapkan dapat digunakan oleh pihak-pihak

yang membutuhkan dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan Pengertian

Kebakaran hutan berbeda dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu

kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan

adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan

biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Dengan kata lain terjadinya

kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh

beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Hutan

Tanaman Industri (HTI), penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya

(Purbowaseso, 2004).

Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu proses nyala api yang dapat

terjadi pada suatu kawasan hutan maupun lahan perorangan. Secara umum

kebakaran hutan itu terjadi apabila setidaknya terdapat faktor penentu yaitu bahan

yang mudah terbakar (materials), sumber api (imition) dan zat asam (oksigen)

yang berinteraksi didalam proses pembakaran. Bagaimanapun keringnya kayu dan

bahan organik lainnya bila tidak ada sumber api, tentunya kebakaran hutan masih

dapat terhindarkan (Sagala, 1994).

Api lahan terbagi dua, yaitu api liar (kebakaran) dan api disengaja atau api

jinak. Mengelola api liar berbeda dengan mengelola api disengaja. Mengelola api

liar bertujuan agar api liar tidak terjadi dan bila terjadi, kebakaran tersebut dapat

cepat dipadamkan. Tujuan mengelola api disengaja adalah agar api tersebut tidak

menjalar ke tempat yang tidak dikehendaki. Para penduduk, terutama para petani

(20)

petugas di unit pengelolaan hutan produksi dan kebun kayu sangat penting

dibekali keterampilan mengelola api liar (Sagala, 1994).

Proses Kebakaran Hutan

Menurut Soemardi dan Widyastuti (2004), proses pembakaran/kebakaran

adalah proses kimia-fisika yang merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesis yaitu

C6H12O6 + O2 + Sumber Panas CO2 + H2O + Panas

Pada proses fotosintesis, energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan

pada proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat.

Selain panas, proses pembakaran juga menghasilkan beberapa jenis gas dan

partikel-partikel. Dapat dilihat bahwa terjadinya proses pembakaran/kebakaran

apabila ada tiga unsur yang bersatu yaitu bahan bakar (fuel), oksigen (oxygen) dan

panas (heat). Bila salah satu dari ketiganya tidak akan terjadi. Prinsip ini dikenal

dengan istilah prinsip segitiga api (Gambar 1) yang merupakan kunci utama dalam

mempelajari kebakaran hutan dan lahan yang termasuk dalam upaya pengendalian

kebakaran. Bahan bakar dan oksigen tersedia di hutan dalam jumlah yang

berlimpah, sedangkan sumber panas penyalaan sangat tergantung kepada kondisi

(21)

Gambar 1. Prinsip Segitiga Api

Menurut De Bano et al (1998), berdasarkan tahapannya, proses

pembakaran dapat digolongkan kedalam lima fase yaitu :

1. Pre-ignition (Pra- Penyalaan)

Dehidrasi/distilasi dan pirolisis merupakan proses-proses yang terjadi pada

fase Pre-ignition. Karena bahan bakar berada di bagian depan nyala api, maka

pemanasan melalui radiasi dan konveksi akan lebih dari 100º C, sehingga uap air,

bahan organik yang tidak terbakar, dan zat ekstraktif berkumpul di permukaan

bahan bakar dan dikeluarkan ke udara. Radiasi dan konveksi dapat memindahkan

panas untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar, tetapi perpindahan panas ke

bagian interior bahan bakar terjadi melalui proses konduksi. Karena itu konduksi

merupakan proses yang dominan dalam proses combustion (pembakaran).

Distilasi dari bahan bakar halus (dedaunan, daun jarum, dan rerumputan) pada

temperatur di atas 100º C menghasilkan emisi uap air dan ekstraktif organik

volatil (misal: terpenes, aldehida aromatic).

2. Flaming (Penyalaan)

Fase ini berupa reaksi eksotermik yang menyebabkan kenaikan suhu dari

300-500ºC. Pirolisis mempercepat proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang OXYGEN

HEAT

(22)

mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis

bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan O2 dan terbakar selama fase

flaming. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan

melepaskan jumlah yang besar dari gas-gas yang mudah terbakar. Api akan

membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase ini dihasilkan

berbagai produk pemabakaran seperti: air, CO2, sulfur oksida, gas nitrogen dan

nitrogen oksida.

3. Smoldering (Pembaraan)

Biasanya fase smoldering mengikuti fase flaming. Pembakaran yang

lambat (< 3 cm/jam pada kebakaran bawah), tidak menyala merupakan proses

pembakaran yang dominan pada fase ini. Tidak semua bahan bakar mengalami

pembakaran flaming, seperti yang terjadi pada lapisan organik, kayu busuk dan

tanah organik (gambut), dimana bahan bakar relatif kompak dan suplai oksigen

terbatas. Smoldering merupakan fase pembakaran yang utama untuk jenis-jenis

bahan bakar ini. Disini, laju pembakaran api akan menurun, karena bahan bakar

tidak mampu mensuplai gas-gas yang mudah terbakar pada konsentrasi dan laju

yang diperlukan untuk mendukung pembakaran yang sempurna. Akibatnya, panas

yang dilepaskan dan suhu akan menurun, menyebabkan sejumlah gas akan

terkondensasi menjadi asap. Asap akan banyak terkonsentrasi dekat permukaan

dan emisi atmosfer menjadi dua kali atau tiga kali lebih besar dibandingkan

dengan fase flaming. Selanjutnya, emisi partikel hasil pembakaran pada fase

smoldering jauh lebih besar dibandingkan dengan pada fase flaming. Pada fase

(23)

partikel dapat meningkat menjadi sepuluh kali lipat. Arang akan terbentuk di

permukaan bahan bakar kayu pada saat smoldering.

4. Glowing (Pemijaran)

Fase glowing merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Tetapi

glowing tidak sama dengan smoldering. Pada waktu api mencapai fase glowing,

kebanyakan dari gas volatil sudah dilepaskan dan oksigen kontak langsung

dengan permukaan bahan bakar yang sudah menjadi arang. Bahan bakar akan

teroksidasi dan terbakar tanpa nyala sampai suhu menurun dan pembakaran tidak

terjadi atau sampai bahan bakar berubah menjadi abu yang tidak dapat terbakar

lagi. Bahan bakar yang tersisa terbakar dengan warna kuning. Suhu puncak dari

bahan bakar yang terbakar berada pada kisaran suhu 300 hingga 600º C. Selama

proses glowing, hanya sedikit atau bahkan tidak ada asap yang dihasilkan. Hasil

dari fase glowing ini terutama adalah CO, CO2 dan abu. Fase ini merupakan fase

pembakaran yang paling efisien, karena laju pembakaran yang rendah, suplai

oksigen yang baik dan volume rendah dan volatil yang mudah terbakar.

5. Extinction

Kebakaran akhirnya berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia

habis, atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming

tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas

yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti

batu-batuan dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk

(24)

Tipe Kebakaran Hutan

1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada

umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan

dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan

kontrol. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling

merusak lingkungan. Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering

(Soemardi dan Widyastuti, 2004).

2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas

limbah pembakaran dan bahan bakar lainnya yang terdapat di lantai hutan. Energi

kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh

angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke

tajuk pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling

umum terjadi di hampir semua tegakan hutan (Soemardi dan Widyastuti, 2004).

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon

berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin,

sehingga api menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya

terjadi pada tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu

ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu

kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting

atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan

(25)

Suksesi dan Hubungan Tumbuhan Bawah dengan Lingkungannya

Soerianegara dan Indrawan (1998) dalam Indriyanto (2006) menyatakan

bahwa komunitas hutan merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh karena

komunitas itu terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi

oleh tetumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap

tempat tumbuh dan stabilisasi.

Suksesi tumbuhan adalah penggantian suatu komunitas tumbuhan oleh

yang lain. Hal ini dapat terjadi pada tahap integrasi lambat ketika tempat tumbuh

mula-mula sangat keras sehingga sedikit tumbuhan dapat tumbuh di atasnya, atau

suksesi tersebut dapat terjadi sangat cepat ketika suatu komunitas dirusak oleh

suatu faktor seperti api atau banjir dan diganti oleh yang lain (Daniel et al, 1986).

Spurr (1964) dalam Onrizal dan Kusmana (2005) menyatakan bahwa

suksesi merupakan proses yang terjadi secara terus menerus yang ditandai oleh

perubahan vegetasi, tanah dan iklim dimana proses ini terjadi. Ada dua faktor

penyebab terjadinya suksesi yaitu : faktor iklim dan faktor topografi/edafis.

Kondisi iklim yang dimaksud antara lain adalah fluktuasi kondisi iklim yang tidak

konsisten, kekeringan, radiasi yang kuat, dan lain-lain yang merusak vegetasi

sehingga terjadi suksesi. Faktor topografi/edafis berkaitan dengan perubahan

dalam tanah. Ada dua faktor penting yang berkaitan dengan tanah yang membawa

perubahan habitat, yaitu erosi tanah dan deposisi tanah. Erosi tanah merupakan

suatu proses hilangnya lapisan permukaan tanah oleh angin, aliran air dan hujan.

Sedangkan deposisi tanah adalah proses pengendapan/penimbunan tanah oleh

(26)

faktor lain yaitu faktor biotik antara lain : penggembalaan, penebangan,

deforestasi, hama dan penyakit, perladangan, dan lain-lain.

Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998), menyatakan bahwa beberapa faktor lingkungan yang terpenting bagi

pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuhan :

1. Faktor iklim, meliputi : cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, angin

dan gas udara

2. Faktor geografis, meliputi : letak geografis, topografi, geologi dan vulkanisme

3. Faktor edafis, meliputi : jenis tanah, sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi

tanah serta erosi

4. Faktor biotik, meliputi : manusia, hewan dan tumbuhan bawah.

Tumbuhan mengambil hara dari dalam tanah dan akan mengembalikannya

ke dalam tanah dalam bentuk yang berbeda. Akumulasi humus, perubahan pH

tanah, dan uap air semuanya akan berubah, akibatnya habitat tempat tumbuhnya

berubah pula. Perubahan ini akan menciptakan keadaan tertentu yang mungkin

relatif baik untuk pertumbuhan jenis lain dari yang sudah ada sebelumnya.

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sifat Fisik Tanah

Sifat-sifat fisik tanah diketahui, sangat mempengaruhi pertumbuhan dan

produksi tanaman. Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar di dalam tanah,

retensi air, drainase, aerase dan nutrisi tanaman. Sifat fisika tanah juga

mempengaruhi sifat-sifat kimia dan biologi tanah (Hakim, et al. 1986).

Sifat-sifat fisik tanah tergantung pada jumlah, ukuran, bentuk, susunan dan

(27)

air dan udara menempati pori-pori waktu tertentu. Beberapa sifat fisika tanah yang

terpenting adalah tekstur, struktur, kerapatan (density) porositas, konsistensi,

warna dan suhu (Hardjowigeno, 1995).

Tekstur tanah

Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir,

debu dan liat. Tekstur tanah penting untuk kita ketahui, oleh karena komposisi

ketiga fraksi butir-butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika,

fisika-kimia dan fisika-kimia tanah. Sebagai contoh, besarnya lapangan pertukaran dari ion-ion

di dalam tanah amat ditentukan oleh tekstur tanah (Hakim et al, 1986).

Ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang

mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah. Lebih khasnya, tekstur adalah

perbandingan relatif pasir, debu dan liat. Laju dan berapa jauh berbagai reaksi

fisika dan kimia penting dalam pertumbuhan tanaman diatur oleh tekstur karena

tekstur ini menentukan jumlah permukaan tempat terjadinya reaksi (Foth, 1994).

Sifat Kimia Tanah

Seperti halnya dengan sifat fisik tanah, komponen kimia tanah juga

berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan

tanah pada khususnya. Uraian kimia tanah dalam hal ini bertujuan untuk

menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang mengangkut masalah-masalah ketersediaan

unsur hara bagi tanaman (Hakim et al, 1986). Sifat kimia tanah merupakan

sifat-sifat dari tanah yang ditinjau secara kimiawi seperti kemasaman tanah, kejenuhan

(28)

Reaksi tanah (pH tanah)

Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas

tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya

konsentrasi ion Hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi ion H+ di dalam

tanah, semakin masam tanah tersebut, dan jumlah ion OH- di dalam tanah

berbanding terbalik dengan jumlah ion H+. Pada tanah-tanah yang masam jumlah

ion H+ lebih tinggi daripada jumlah ion OH-, sedang pada tanah alkalis

sebaliknya. Bila kandungannya sama maka tanah bereaksi netral, yaitu

mempunyai pH = 7 (Hardjowigeno, 1995).

Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat penting, sebab terdapat

beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat beberapa

hubungan antara pH dan semua pembentukan serta sifat-sifat tanah. Sejumlah

organisme mempunyai toleransi lain dapat toleran terdapat kisaran pH yang lebar.

Penelitian-penelitian telah memperlihatkan bahwa konsentrasi aktual H+ dan OH

-tidak begitu penting, kecuali dalam lingkungan yang ekstrim. Hal ini merupakan

kondisi yang berkaitan dari suatu nilai tertentu yang terpenting (Foth, 1984).

Kapasitas Tukar Kation

Kemampuan tukar kation adalah ukuran total kation-kation dapat

dipertukarkan yang tersedia dalam tanah, dan dinyatakan sebagai jumlah mili

equivalen (me) dalam 100 gram tanah (equivalen sama dengan berat gram atom

kation dibagi valensinya). Jumlah kapasitas pertukaran kation tergantung pada

adanya muatan negatif pada partikel tanah dan sangat berkorelasi dengan jumlah

luas permukaan partikel, terutama pada lempung koloid dan bahan organik

(29)

Kenyataan menunjukkan bahwa KTK dari berbagai tanah sangat beragam,

bahkan tanah sejenisnyapun berbeda KTKnya. Besarnya KTK tanah dipengaruhi

oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri yang menurut Hakim et al (1986), antara lain

adalah :

1. Reaksi tanah atau pH

2. Tekstur tanah atau jumlah liat

3. Jenis mineral liat

4. Bahan organik

5. Pengapuran dan pemupukan

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Vegetasi dan Tanah

Dampak buruk kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan dapat

berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman

sampai hancurnya pepohonan secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya.

Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma

nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan hancurnya

vegetasi tersebut. Selain itu kebakaran dapat melemahkan daya tahan terhadap

serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka bakar meskipun

tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan penyakit/pembusukan atau

menjadi merana (Sagala, 1994).

Kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan

pada sifat fisik dan kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur

tanah akan mengalami kerusakan karena kebakaran hutan. Terjadinya kebakaran

(30)

maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapat

energi pukulan air hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi

penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah

(Purbowaseso, 2004).

Menurut Pyne et al. (1996), dampak kebakaran hutan terhadap tanah

sangat bervariasi tergantung pada kandungan dari bahan bakar, jenis tanah dan

tipe kebakaran terutama dari frekuensi kebakaran, intensitas kebakaran dan waktu

terjadinya kebakaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan

biologi tanah. Adapun terhadap sifat fisik yang ditimbulkan yaitu diantaranya

kenaikan suhu tanah, perubahan pada struktur tanah dan terhambatnya proses

tanah dalam menyerap dan menampung air yang masuk kedalam tanah.

Kerusakan ini terjadi tergantung pada bagaimana lapisan atas tanah rusak

terbakar. Lapisan tanah yang terbuka akan mengalami pemanasan yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan lapisan yang sama sekali tidak terbuka.

Rusaknya struktur tanah juga akan menyebabkan massa tanah dan bahan

organik yang tergandung di dalamnya terbawa oleh limpasan aliran permukaan

atau dengan kata lain akan munculnya erosi pada musim penghujan. Seperti

diketahui bahwa erosi akan menyebabkan tanah menjadi kritis, akibat terkikisnya

secara terus menerus lapisan tanah atas. Penelitian di Kalimantan Timur yaitu di

Taman Nasional Kutai tahun 1982-1983 menunjukkan kecepatan erosi meningkat

sepuluh kali lipat dibanding dengan hutan primer yang tidak terbakar. Oleh karena

itu, pada saat hujan lebat meningkatkan sedimen pada Sungai Mahakam. Hal ini

(31)

kebakaran hutan yang mempengaruhi sifat fisik tanah ini hingga sedang kurang

memberikan dampak terhadap menurunnya sifat fisik tanah (Purbowaseso, 2004).

Secara umum kebakaran hutan juga akan menurunkan kualitas

lingkungan tanah karena hilangnya mikroorganisme tanah. Hilangnya

mikroorganisme tanah menyebabkan terhambatnya proses dekomposisi serasah,

sehingga akan terjadi akumulasi serasah. Serasah yang tidak mengalami proses

dekomposisi akan menyebabkan lambatnya proses pembentukan tanah. Hal ini

juga akan berpengaruh terhadap proses suksesi vegetasi yang ada di atasnya

(32)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Hak Perusahaan Hutan Tanaman Indonesia

(HPHTI) PT. Sumatera Sylva Lestari (Unit-II) dan analisis data dilakukan di

Laboratorium Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2007 hingga September 2007.

Alat dan Bahan Bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : vegetasi

tumbuhan bawah dan anakan pohon, serta contoh tanah dari hutan satu tahun

pasca kebakaran yakni dari areal terbuka dan areal di bawah tegakan serta areal

hutan normal di Hak Perusahaan Hutan Tanaman Indonesia (HPHTI) PT.

Sumatera Sylva Lestari (Unit-II), Nutrien Agar (NA), aquadest, alkohol, larutan

natrium pirofosfat, KCl, air, kalium bikromat (K2Cr2O7), asam sulfat (H2SO4)

pekat, asam fosfat (H3PO4) 85%, difenilamin, NaF 4%, Fe(SO4)2 0,5 N.

Alat

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian adalah : kantong plastik

yang digunakan sebagai media penyimpanan tanah dan juga tumbuhan bawah,

kertas label yang digunakan untuk menandai kantong plastik, meteran yang

digunakan untuk mengukur pengambilan contoh tanah dan petak ukur analisis

vegetasi, tali sebagai penanda/pembatas petak ukur, tally sheet sebagai tempat

data, cangkul yang digunakan untuk menggali tanah, tali sebagai penanda jarak

(33)

membersihkan area disekitar tempat pengambilan contoh tanah, pisau dan gunting

sebagai alat pemotong, alat tulis yang digunakan sebagai keperluan menulis.

Metode Penelitian

Analisis Vegetasi

Penentuan Lokasi Petak Ukur

Petak ukur yang akan diamati adalah areal hutan pasca satu tahun terbakar

yaitu dibawah tegakan dan areal terbuka serta hutan normal. Adapun kondisi

lokasi petak ukur pada masing - masing areal ditunjukkan pada Gambar 2,

Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 2. Kondisi Areal Terbakar Gambar 3. Kondisi Areal Terbakar Terbuka Dibawah Tegakan

(34)

Metode Penentuan Jalur

Menurut Suin (2002), metoda jalur/transek paling efektif untuk

mengetahui perubahan komposisi jenis berdasarkan perubahan fungsi lingkungan

dan jalur harus dibuat memotong garis topografi, misal tegak lurus garis pantai,

memotong sungai, dan menaik atau menurun lereng gunung. Jalur adalah bentuk

persegi panjang dimana panjangnya beberapa kali lebar. Penentuan jalur pertama

di lapangan ditentukan berdasarkan banyak tidaknya tumbuhan bawah yang

terdapat pada suatu titik tertentu pada lokasi penelitian dan titik tersebut

memotong kontur serta mudah dijangkau.

Menurut Cochran dalam Onrizal dan Kusmana (2005), untuk tumbuhan

bawah dan anakan pohon ukuran petak contoh adalah 2 x 2 m dan peletakan petak

contoh dalam keadaan tertentu yang terkait dengan keterbatasan biaya, tenaga dan

waktu, purposive sampling dapat digunakan dalam analisis vegetasi. Banyaknya

jalur yang dibuat untuk masing-masing petak ukur berbeda-beda sesuai dengan

luasan areal masing-masing dengan jarak antar jalur adalah 100 meter. Sementara

panjang jalur ditentukan berdasarkan pengamatan pada tumbuhan bawah dan

anakan pohon yang oleh Cochran dalam Onrizal dan Kusmana (2005),

menyebutkan bahwa pengamatan dilakukan hingga diperoleh penambahan jenis

sebanyak 10 %. Ilustrasi teknik penentuan petak contoh dalam analisis vegetasi

disajikan pada Gambar 5 dan contoh petak ukur pada masing-masing areal

(35)

2 x 4 2 x 6 ... ....dst Jalur 1

Jarak antar

Arah rintis jalur 100 m

2 x 4 2 x 6 ... ....dst Jalur 2

Gambar 5. Ilustrasi Teknik Penentuan Petak contoh Dalam Analisis Vegetasi

Gambar 6 Gambar 7

Gambar 8

Ket. : Gbr. 6. Contoh petak ukur pada areal terbakar terbuka

Gbr. 7. Contoh Petak ukur pada areal terbakar dibawah tegakan Gbr. 8. Contoh petak ukur pada areal hutan normal

Pengamatan Tumbuhan Bawah dan Anakan Pohon

Dalam setiap petak ukur dilakukan pengamatan terhadap tumbuhan

bawah/semai yang tumbuh pada masing-masing areal. Parameter yang diamati

adalah tingkat jenis dan banyaknya jenis. Untuk jenis jenis vegetasi yang belum

(36)

jenis tumbuhan bawah pada areal penelitian ditunjukkan pada Gambar 9, Gambar

10 dan Gambar 11 dibawah ini.

Gbr. 9. Rumput Sanggar Gbr. 10. Sidaguri Gbr. 11. Melastoma

Analisis Tanah

Penentuan Petak Pengambilan Contoh Tanah

Contoh tanah yang diambil untuk dianalisis adalah contoh tanah dari

ketiga areal penelitian. Sampel tanah diambil secara komposit pada 5 titik untuk

tiap kedalaman (lapisan top soil kedalaman 0-30 cm dan lapisan sub soil > 30 cm)

Pengambilan Contoh Tanah

Prosedur pengambilan contoh tanah menurut Hanafiah dan Elfiati, (2005) :

• Dibersihkan tanah yang akan diambil dari kotoran atau semak/ranting • Dilakukan pengambilan contoh tanah secara komposit pada 5 titik pada

lapisan topsoil dan subsoil masing-masing sebanyak ± 2 kg

• Kemudian contoh tanah tersebut dicampur hingga merata, lalu dimasukkan

ke dalam kantung plastik

Lap.serasah

Lap.Top soil

Lap.sub soil

(37)

Adapun teknik pengambilan contoh tanah di lapangan untuk lapisan top soil

dan sub soil ditunjukkan pada Gambar 13 dan Gambar 14 berikut ini.

Gambar 13 Gambar 14

Ket. : Gbr. 13. Teknik pengambilan contoh tanah pada lapisan top soil Gbr. 14. Teknik pengambilan contoh tanah pada lapisan sub soil

Parameter Pengamatan

Contoh tanah yang telah diambil selanjutnya dianalisis untuk mengetahui

sifat fisika dan sifat kima tanah. Sifat fisika tanah meliputi tekstur tanah dan kadar

air tanah. Untuk sifat kima tanahnya yang diamati ialah pH tanah, kapasitas tukar

kation (KTK) dan nisbah C/N.

Analisis Data

Analisis tumbuhan bawah dan anakan pohon

a. Indeks Nilai Penting (INP)

Data vegetasi yang telah terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui

Kerapatan jenis, kerapatan relatif, dominansi jenis, dominansi relatif, frekuensi

jenis dan frekuensi relatif serta Indeks nilai penting menggunakan rumus

Soerianegara dan Indrawan (1998) sebagai berikut :

(38)

Kerapatan relatif = Kerapatan satu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi = Jumlah petak penemuan suatu jenis Jumlah seluruh petak

Frekuensi relatif = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis

b. Indeks Keanekaragaman Jenis

Menurut Krebs (1989) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998),

perhitungan indeks keragaman dilakukan dengan menggunakan indeks

Shannon-Wienner :

Keterangan : H = indeks Shannon-Wienner

Pi = kelimpahan relatif dari spesies ke-i

c. Indeks Kekayaan Jenis (Species Richness Index)

Merupakan jumlah jenis dalam suatu komunitas. Indriyanto (2006),

menyebutkan perhitungan dilakukan dengan indeks Margalef :

Keterangan : d = indeks kekayaan jenis

s = jumlah spesies

N = jumlah individu INP = KR + FR

H = - ∑ Pi (ln Pi)

(39)

Tabel 1. Nilai Tolak Ukur Indeks Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis

Nilai Tolak Ukur Keterangan

H < 1.0 Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat

rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan

ekosistem tidak stabil

1.0 < H < 3.322 Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi

ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang

H > 3.322 Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap,

produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis

Sumber : (Restu (2002) dalam Fitriana, 2005)

Analisis Tanah

Data hasil analisis laboratorium selanjutnya disajikan dalam bentuk

deskriptif. Dimana menurut Nawawi dan Martini (1994), metode deskriptif

dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan/melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang dan

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah dan Komposisi Jenis

Hasil identifikasi dan analisis vegetasi tumbuhan bawah pada ketiga areal

dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Jenis-jenis tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan hutan normal.

Dari hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka

(41)

pada areal hutan normal ditemukan hanya 1 spesies tumbuhan bawah yakni paku

kawat (Lycopodium cernuum).

Tabel 3. Jenis-jenis Anakan Pohon pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan hutan normal.

No Nama Lokal Nama Latin Terbakar

Dari hasil analisis vegetasi anakan pohon seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 3 menunjukkan bahwa anakan pohon pada areal terbakar terbuka ditemukan

sebanyak 4 spesies dan pada areal terbakar dibawah tegakan serta hutan normal

ditemukan hanya 1 spesies anakan pohon yaitu anakan akasia krasikarpa (Acacia

crasicarpa).

Dari data hasil penelitian diatas, menunjukkan bahwa pada areal terbakar

terbuka cenderung memiliki spesies tumbuhan bawah dan anakan pohon yang

lebih banyak dan dominan jika dibandingkan pada areal terbakar dibawah tegakan

dan areal hutan normal. Kondisi pasca satu tahun kebakaran telah mendorong

terjadinya proses suksesi dan perubahan komposisi serta jenis tumbuhan bawah

jika dibandingkan dengan areal hutan normal. Perubahan komposisi jenis

tumbuhan pasca kebakaran ini menyebabkan munculnya banyak spesies pada

areal terbakar terbuka khususnya untuk tumbuhan bawah menunjukkan adanya

(42)

Faktor keterbukaan lahan pada areal terbakar dan kondisi tanah yang

tertutup oleh lapisan serasah pada areal hutan normal juga menjadi penyebab

keragaman jenis tumbuhan bawah dan anakan pohon. Priandi (2006)

menyebutkan bahwa kondisi serasah yang tebal menyebabkan serasah sulit untuk

terdekomposisi dan terurai maupun bercampur dengan tanah. Hal ini

menyebabkan sedikitnya benih maupun biji tumbuhan bawah dan anakan pohon

yang mampu mencapai permukaan tanah dan hidup berkembang menjadi tunas

muda. Oleh karena itu, sifat adaptasi vegetasi terhadap kebakaran hutan dapat

menentukan perubahan komposisi jenis yang akan berkembang pada areal yang

terbakar tersebut. Selain itu munculnya spesies-spesies baru ini juga dapat

disebabkan oleh faktor lain dalam lingkungan. Menurut Karr et al., (1992) dalam

Ruhyat (2003), penyebaran biji merupakan suatu proses kunci dalam dinamika

populasi vegetasi alami dan pemulihan vegetasi setelah mengalami perubahan

baik karena pengaruh alam itu sendiri maupun dampak kerusakan karena kegiatan

manusia.

Indeks Nilai Penting (INP)

Hasil pengolahan data analisis vegetasi Indeks Nilai Penting (INP)

tumbuhan bawah dan anakan pohon pada ketiga areal penelitian dapat dilihat pada

(43)

Tabel 4. Perbandingan jenis dan komposisi tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan hutan normal.

No Nama Lokal Nama Latin Rataan Indeks Nilai Penting

(INP)

11 Paku Kawat Lycopodium cernuum 51.45 103.45 200

(44)

0

Terbakar terbuka Terbakar dibawah tegakan Hutan normal

Gambar 15. Perbandingan jenis dan komposisi tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan hutan normal

Berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 15, diketahui bahwa untuk tumbuhan

bawah, jenis-jenis aur-aur (Commelina diffusa), rumput ilat (Cyperus brevifolius)

dan paku kawat (Lycopodium cernuum) lebih banyak dan mendominasi pada areal

terbakar terbuka masing-masing dengan INP sebesar 67.84%, 57.69% dan

51.45%. Sedangkan pada areal terbakar dibawah tegakan jenis yang dominan

adalah paku kawat (Lycopodium cernuum), rumput panahan (cyperus esculentus)

dan melastoma (Melastoma malabathricum) dengan INP masing-masing sebesar

103.45%, 81.51% dan 63.13%. Pada areal hutan normal, paku kawat (Lycopodium

cernuum) mendominasi dengan INP sebesar 200%.

Hasil pengolahan data analisis vegetasi Indeks Nilai Penting (INP) anakan

(45)

44,13 42,07

Ceri Akasia kuliformis Akasia krasikarpa Karet Asam jawa

Jenis

IN

P

(%

)

Terbakar terbuka Terbakar dibawah tegakan Hutan normal

Gambar 16. Perbandingan jenis dan komposisi anakan pohon pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan hutan normal

Berdasarkan Gambar 16, INP tertinggi pada areal terbakar terbuka dimiliki

oleh anakan akasia krasikarpa (Acacia crasicarpa) sebesar 116.02 dan diikuti oleh

asam jawa (Tamarindus indica) sebesar 84.73%. Sedangkan untuk areal terbakar

dibawah tegakan dan areal hutan normal hanya didominasi oleh anakan akasia

krasikarpa (Acacia crasicarpa).

Tingginya INP yang dimiliki oleh spesies-spesies yang mendominasi pada

tumbuhan bawah dan anakan pohon menunjukkan bahwa spesies-spesies ini

memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan dari areal

tempat tumbuhnya. Indriyanto (2006) menyebutkan bahwa individu-individu

suatu spesies organisme akan cenderung meningkat jumlahnya karena proses

pertumbuhan dan perkembangbiakan. Persaingan akan terus terjadi dengan

spesies-spesies lainnya yang ada dalam lingkungan tempat tumbuhnya. Dengan

(46)

berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan daerah tumbuhnya agar mereka

dapat bertahan hidup. Faktor-faktor lingkungan yang mungkin diperebutkan oleh

tetumbuhan dalam persaingan antara lain cahaya, air, tanah, oksigen, unsur hara

dan karbondioksida (CO2). Faktor eksternal lainnya seperti kehadiran hewan

penyerbuk, agen dispersal biji, kondisi tanah, kelembaban tanah dan udara, dan

angin. Dan faktor angin inilah yang menyebabkan anakan akasia krasikarpa

(Acacia crasicarpa) menguasai atau mendominasi pada areal penelitian jika

dikaitkan dengan kondisi lapangan. Posisi compartment (blok/petak areal) yang

bersebelahan dan jarak antar compartment yang berdekatan memudahkan

penyebaran biji anakan akasia (Acacia crasicarpa) melalui angin dan bahkan oleh

burung.

Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kekayaan Jenis

Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis untuk tumbuhan bawah

dan anakan pohon dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 6. Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dan Indeks Kekayaan jenis (d) untuk tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan areal hutan normal

Parameter Terbakar Terbuka Terbakar

Dibawah Tegakan

Hutan Normal

Keanekaragaman jenis 2.5745 0.9559 0

Kekayaan Jenis 8.85 1.45 0

Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa keanekaragaman jenis

tertinggi terdapat pada areal terbakar terbuka yaitu sebesar 2,5745. Demikian juga

halnya dengan indeks kekayaan jenis sebesar 8.85. Berdasarkan nilai tolak ukur

(47)

keanekaragaman jenis tumbuhan bawah tersebut termasuk dalam kategori sedang

yaitu keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup

seimbang dan tekanan ekologis sedang. Sementara nilai indeks kekayaan jenis

termasuk dalam kategori keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap,

produktivitas tinggi, serta tahan terhadap tekanan ekologis.

Tabel 7. Indeks Keanekaragaman Jenis (D) dan Indeks Kekayaan jenis (d) untuk anakan pohon pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan areal hutan normal

Parameter Terbakar Terbuka Terbakar

Dibawah Tegakan

Hutan Normal

Keanekaragaman jenis 0.8153 0 0

Kekayaan Jenis 1.58 0 0

Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman jenis

dan indeks kekayaan jenis tertinggi terdapat pada areal terbakar terbuka yaitu

sebesar 0,8153 dan 1,58. Untuk nilai keanekaragaman jenis termasuk dalam

kategori rendah sedangkan nilai indeks kekayaan jenis termasuk dalam kategori

sedang berdasarkan nilai tolak ukur yang disebutkan oleh Restu (2002) dalam

Fitriana (2005).

Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis dan indeks kekayaan jenis

yang diperoleh untuk tumbuhan bawah dan anakan pohon pada areal terbakar

terbuka menunjukkan bahwa pada areal terbakar terbuka cenderung memiliki

lebih banyak jenis vegetasi tumbuhan bawah maupun anakan pohon. Hal ini

sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa jumlah jenis tumbuhan bawah yang

ditemukan pada areal terbakar terbuka lebih banyak dan beragam (22 spesies)

dibandingkan areal terbakar dibawah tegakan (4 spesies) dan hutan normal

(48)

terbuka ditemukan 4 spesies anakan pohon sedangkan untuk areal terbakar

terbuka dan hutan normal hanya 1 spesies anakan. Indriyanto (2006) menyatakan

bahwa suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi

jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas

dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu

disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit spesies yang dominan.

B. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat Fisik Dan Kimia Tanah 1. Sifat Fisik Tanah

1.1. Tekstur Tanah

Adapun hasil analisis tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel , Gambar 17

serta Gambar 18.

Tabel 7. Analisis Tekstur Tanah

(49)

64,4

Hutan normal Terbakar Dibawah Tegakan Terbakar Terbuka

Lokasi

Gambar 17. Analisis tekstur tanah pada lapisan topsoil

46,4

Hutan normal Terbakar Dibawah Tegakan Terbakar Terbuka

Lokasi

Gambar 18. Analisis tekstur tanah pada lapisan subsoil

Dampak kebakaran hutan pasca satu tahun terbakar cenderung

memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tekstur tanah. Tabel 7 menunjukkan

fraksi pasir pada lapisan topsoil memiliki nilai terbesar pada areal hutan normal

yaitu sebesar 64.4 % sedangkan nilai terkecil terdapat pada areal terbakar terbuka

(50)

terbesar pada areal terbakar terbuka (56.4%) dan nilai terkecil pada areal hutan

normal (46.4%). Faktor kedalaman berpengaruh terhadap banyaknya kandungan

pasir yaitu nilai tertinggi terdapat pada lapisan topsoil dan terendah pada lapisan

subsoil. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa fraksi pasir memiliki nilai terbesar

dibandingkan dengan fraksi liat dan debu pada ketiga areal penelitian. Hal ini

berarti kebakaran hutan mengakibatkan rendahnya kemampuan tanah untuk

mengikat air karena fraksi pasir mendominasi dibandingkan fraksi debu dan liat.

Sutedjo dan Kartasapoetra (2005), bahwa partikel pasir berbentuk bulat tidak

teratur dan jika tidak diliputi oleh liat ataupun debu maka keadaannya akan mudah

dipencarkan (tidak lengket), kapasitas megikat airnya rendah, ruang-ruang antar

letak partikel-partikel ini dapat dikatakan longgar sehingga kemampuannya dalam

meneruskan air adalah sangat cepat.

Untuk fraksi debu, dampak kebakaran hutan pasca satu tahun kebakaran

pada lapisan topsoil tidak memberikan pengaruh yang berbeda sedangkan pada

lapisan subsoil cenderung memberikan pengaruh yang berbeda. Nilai terbesar

(22.0%) terdapat pada areal terbakar terbuka dan nilai terkecil terdapat pada areal

hutan normal (12.0%).

Fraksi liat pada lapisan topsoil nilai terbesar terdapat pada areal terbakar

terbuka sebesar 23.6% sedangkan terkecil terdapat pada areal hutan normal

sebesar 17.6%. Akan tetapi berbanding terbalik pada lapisan subsoil. Meskipun

pada lapisan topsoil kemampuan mengikat airnya rendah, namun kemampuannya

untuk meneruskan air lebih tinggi karena kandungan fraksi pasir yang tinggi.

Hakim dkk (1986), semakin tinggi persentase pasir dalam tanah, semakin banyak

(51)

udara dan air. Sehingga air yang diteruskan diikat pada lapisan subsoil oleh karena

kandungan fraksi liat yang tinggi.

1.2. Kadar Air Tanah dan Serasah

Hasil analisis tekstur tanah dapat dilihat pada Gambar 19 dibawah ini.

28,73%

Hutan normal Terbakar Dibawah Tegakan Terbakar terbuka

Lokasi

Gambar 19. Analisis kadar air tanah dan serasah

Berdasarkan Gambar 19, dapat dilihat bahwa kejadian kebakaran

cenderung menurutkan kadar air tanah. Untuk lapisan topsoil kadar air terbesar

terdapat pada areal hutan normal yaitu sebesar 28.73% sedangkan terkecil terdapat

pada areal terbakar terbuka sebesar 21.15%. Rendahnya KA tanah pada areal

terbakar terbuka dipengaruhi oleh tekstur tanahnya. Sebagaimana telah dijelaskan

diatas, bahwa tekstur tanah pada areal terbakar terbuka tidak mampu untuk

mengikat air. Secara umum, lapisan atas tanah lebih kaya akan bahan organik

dibandingkan lapisan bawah tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hakim dkk

(52)

tanah menahan air dan memperbaiki struktur tanah sehingga meningkatkan jumlah

kadar air dalam tanah.

2. Sifat Kimia Tanah

2.1. pH Tanah

Hasil analisis pH tanah dapat dilihat pada Gambar 20.

5,29

Terbakar Terbuka Terbakar Dibawah Tegakan Hutan Normal

Lokasi

Gambar 20. Analisis pH tanah

Dari Gambar 20, dapat dilihat bahwa kandungan pH tanah sebelum dan

sesudah terbakar tidak menunjukkan dampak yang sangat berbeda. Nilai pH antar

kedalaman juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Akan tetapi, dapat

dikatakan bahwa pasca setahun terbakar pada areal terbakar terbuka terjadi

penurunan pH tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian Saharjo (1998) yang

menyimpulkan bahwa pada areal pasca setahun kebakaran terjadi penurunan pH

tanah yang dapat disebabkan oleh proses pencucian (leaching) dan adanya aliran

(53)

Masih dari Gambar 20, ketiga areal penelitian untuk lapisan topsoil dan subsoil

dapat dikatakan ber-pH masam.

2.2. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Hasil analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) ditunjukkan pada Gambar 21

dibawah ini.

Terbakar Terbuka Terbakar Dibawah Tegakan Hutan Normal

Lokasi

Gambar 21. Analisis Kapasitas Tukar Kation

Gambar 21 memperlihatkan bahwa kejadian kebakaran memberikan

dampak yang sangat besar terhadap kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Hal ini

ditunjukkan oleh tingkat KTK antar areal yang sangat berbeda. Areal hutan

normal memiliki KTK terbesar (21.47), terbakar dibawah tegakan sebesar 12.88

dan areal terbakar terbuka terkecil sebesar (8.03). Penurunan kandungan KTK ini

disebabkan oleh keadaan areal terbakar terbuka yang topografinya relatif sangat

miring sehingga memudahkan terjadinya leaching dan adanya aliran permukaan

(run off) terhadap unsur hara tanah. Hal ini sebanding dengan hasil penelitian

(54)

oleh adanya leaching (pencucian) dan aliran permukaan (run off) terhadap

kation-kation tanah sebagai akibat dari kerusakan vegetasi.

2.3. Nisbah C/N

Hasil analisis Nisbah C/N ditunjukkan pada Gambar 22 dan Gambar 23

dibawah ini.

Hutan Normal Terbakar Dibawah Tegakan Terbakar Terbuka

Lokasi

Gambar 22. Analisis nisbah C/N pada lapisan topsoil

0,27

Hutan Normal Terbakar Dibawah Tegakan Terbakar Terbuka

Lokasi

(55)

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 22,

perbandingan antara C/N pada lapisan topsoil menunjukkan bahwa kejadian

kebakaran tidak memberikan respon yang berbeda terhadap nisbah C/N. Nisbah

C/N pada ketiga areal penelitian menunjukkan adanya proses dekomposisi pada

lapisan tanah karena menurut Noor (2001), nisbah C/N yang tinggi (C/N >20)

mengindikasikan tingkat dekomposisi yang belum lanjut, semakin tinggi nisbah

C/N maka semakin rendah tingkat dekomposisi yang terjadi. Selain itu oleh

Hakim (1986), pada saat nisbah C/N < 20, maka ini berarti telah terjadi pelepasan

nitrogen dari bahan organik akibat dekomposisi kedalam tanah. Dalam keadaan

yang demikian sebagian bahan organik telah dilapuk dimana bahan berenergi

sudah berkurang dan asimilasi nitrogen oleh bakteri juga berkurang. Hal ini

(56)

C. Penilaian Tingkat Kesuburan Tanah

Kesuburan tanah adalah faktor tempat tumbuh yang sangat besar

pengaruhnya bagi tanaman. Kesuburan tanah diartikan sebagai seberapa besar

tanah mampu untuk menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman bagi

pertumbuhannya.

Dari hasil analisis sifat fisik dapat dilihat bahwa kebakaran hutan

cenderung menyebabkan penurunan terhadap sifat tekstur tanah dan kadar air.

Tekstur tanah pasca satu tahun terbakar berubah dari lempung berpasir pada

lapisan topsoil dan liat berpasir pada lapisan subsoil menjadi lempung liat

berpasir. Hal ini disebabkan peningkatan fraksi pasir pada lapisan topsoil

sehingga kemampuan tanah untuk mengikat air juga berkurang. Sutedjo dan

Kartasapoetra (2005), bahwa partikel pasir berbentuk bulat tidak teratur dan jika

tidak diliputi oleh liat ataupun debu maka keadaannya akan mudah dipencarkan

(tidak lengket), kapasitas megikat airnya rendah, ruang-ruang antar letak

partikel-partikel ini dapat dikatakan longgar sehingga kemampuannya dalam meneruskan

air adalah sangat cepat.

Tabel 8. Hasil analisis sifat kimia tanah pada areal terbakar terbuka, terbakar dibawah tegakan dan areal hutan normal

(57)

Tabel 9. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (pH, % C, % N, C/N, KTK) menurut

Sumber : Priandi (2006)

Dari hasil analisis sifat kimia tanah dan kriteria penilaian sifat kimia tanah

menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981), kejadian kebakaran cenderung

memberikan pengaruh yang berbeda-beda. Perbedaan kenaikan unsur kimia

tanah menurut Priandi (2006), dapat disebabkan oleh tersedianya bahan

organik yang berasal dari vegetasi tumbuhan bawah dan anakan pohon yang

mampu beradaptasi terutama pada areal yang terbakar sehingga memacu

Gambar

Gambar 1. Prinsip Segitiga Api
Gambar 4. Kondisi Areal Hutan Normal
Gambar 5. Ilustrasi Teknik Penentuan Petak contoh Dalam Analisis Vegetasi
Tabel 2. Jenis-jenis tumbuhan bawah pada areal terbakar terbuka, terbakar                 dibawah tegakan dan hutan normal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada masyarakat yang tinggal disekitar wilayah industri yang memakai cangkang sawit sebagai bahan baku pada mesin boilernya, limbah

Sampel pada penelitian ini ialah 46 perusahaan real estate dan property yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2016 yang diambil dengan mengunakan

Die 1890er Jahre waren für die australische Gesellschaft eine Periode vielfältiger sozialer und politi- scher Umbrüche, die mit dem Zusammenschluss der Kolonien

Telaan saya akan wujudnya pertembungan “panas” satu lawan satu di hampir semua kawasan parlimen mahupun dewan undangan negeri dan pertandingan “kereta kebal” yang

Penelitian yang berjudul strategi komunikasi tim kreatif dalam mempertahankan eksisteensi program The Comment NET TV ini bertujuan untuk mengetahui strategi komunikasi apa saja

Dalam kaitannya dengan Pendidikan karakter bangsa, pembelajaran karakter ini dapat dilakukan dengan pembiasaan nilai moral luhur kepada murid dan

Downloaded By: [Bielik-Robson, Agata] At: 15:02 15 November 2009.. festations of the mythological oppressiveness of the fallen creaturely world. However, he defends them not for

Hubungan antara kedua variabel ini bersifat positif, yang berarti semakin tinggi tingkat problematic internet use , maka semakin tinggi pula tingkat