• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Jajagoan (Echinochloa crus-galli ) Beda Ekotip Terhadap Metil metsulfuron

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respon Jajagoan (Echinochloa crus-galli ) Beda Ekotip Terhadap Metil metsulfuron"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON JAJAGOAN (Echinochloa crus-galli) BEDA EKOTIP

TERHADAP METIL METSULFURON

ROTAMBATUA NABABAN

050301035

BDP- AGRONOMI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

RESPON JAJAGOAN (Echinochloa crus-galli) BEDA EKOTIP

TERHADAP METIL METSULFURON

SKRIPSI

OLEH :

ROTAMBATUA NABABAN

050301035

BDP- AGRONOMI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

RESPON JAJAGOAN (Echinochloa crus-galli) BEDA EKOTIP

TERHADAP METIL METSULFURON

SKRIPSI

OLEH :

ROTAMBATUA NABABAN

050301035

BDP- AGRONOMI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

Judul Skripsi : Respon Jajagoan (Echinochloa crus-galli ) Beda Ekotip Terhadap Metil metsulfuron

Nama : Rotambatua Nababan

NIM : 050301035

Departemen : Budidaya Pertanian Pogam Studi : Agronomi

Disetujui Oleh : Dosen Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Prof. Ir. Edison Purba, Ph. D) (Ir. Toga Simanungkalit, MP)

Mengetahui : Ketua Departemen

(Prof. Edison Purba, Ph. D)

(5)

ABSTRAK

ROTAMBA NABABAN: Respon Jajagoan (Echinochloa crus-galli) Beda Ekotip Terhadap Metil metsulfuron, dibimbing oleh Edison Purba dan Toga Simanungkalit.

Gulma jajagoan merupakan gulma penting tanaman padi, yang dapat mengakibatkan menurunnya hasil dan kualitas padi. Banyak cara, teknik dan herbisida yang diapaki untuk mengendalikan gulma ini. Sehingga kemungkinan terjadi jajagoan yang resisten terhadap satu jenis herbisida seperti metil metsulfuron. Sehingga dilakukan penelitian terhadap beberapa ekotip pertumbuhan jajagoan dan disemprot dengan herbisida metil metsulfuron dengan dosis: 0 g ba/ha, 1 ½ g ba/ha, 3 g ba/ha, 6 g ba/ha, 12 g ba/ha, 24 g ba/ha.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tempat telah diduga resisten terhadap herbisida metil metsulfuron, seperti jajagoan dari SEC 3 (43.33,survival 6 MSA 24 g ba/ha), SEC 1(30.00, survival 6 MSA 24 g ba/ha), SEC 6(16.67, survival 6 MSA 24 g ba/ha).

Kata kunci : metil metsulfuron, herbisida, Echinocloa crus-galli

ABSTRACT

ROTAMBA NABABAN: Respons of Jajagoan (Echinochloa crus-galli) difference of Ecotip to metsulfuron methyl, supervised by Edison Purba and Toga Simanungkalit.

Weed of Jajagoan represent important weeds of rice crop, downhill resulting which can produce and quality of rice. Many way of, herbicide and technique used to control this weed. So that possibility happened jajagoan which resisten to One of herbicide type like methyl of metsulfuron. So that do the research to some ekotip growth of jajagoan and sprayed with herbicide of methyl metsulfuron with dose: 0 ba g / ha, 1 ½ ba g / ha, 3 ba g / ha, 6 ba g / ha, 12 ba g / ha, 24 ba g / ha.

Result of research indicate that some place have been anticipated resisten to herbicide of metsulfuron methyl, like jajagoan of SEC 3 ( 43.33,survive 6 MSA 24 ba g / ha), SEC 1(30.00, survive 6 MSA 24 ba g / ha), Tanjung Morawa(16.67, survive 6 MSA 24 ba g / ha).

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Nagasaribu pada tanggal 05 Mei 1987 putra dari Bapak

P. Nababan dan Ibu N. Lumbantoruan. Penulis merupakan anak ke 7 dari 8

bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMA N I Lintong Nihuta dan pada tahun

yang sama terdaftar masuk ke Program Studi Agronomi, Departemen Budidaya

Pertanian, Fakultas Pertanian USU melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai asisten Laboratorium

Dasar Ilmu gulma (2008-2009) dan penulis melaksanakan praktek kerja lapangan

(PKL) di PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Tanjung Garbus Pagar Merbau,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang

berjudul Respon Jajagoan (Echinochloa crus-galli) Beda Ekotip terhadap Metil

metsulfuron, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan

sebesar-besarnya kepada ayahanda P. Nababan dan Ibunda N. Lumbantoruan,

yang tiada henti memberikan kasih sayangnya hingga saat ini, kepada

Bapak Prof. Edison Purba, Ph.D. dan Bapak Ir. Toga Simanungkalit, MP selaku

ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan masukan berharga

kepada penulis, dan kepada seluruh staf dan karyawan Kebun PT. Perkebunan

Nusantara II Kebun Tanjung Garbus Pagar Merbau.

Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar

saya Nababan, Roniawan , Harta, Esra, Junita, Deta, Adi juga keluarga besar

BDP stambuk 2005 FP-USU, dan adik stambuk sekalian yang membantu penulis

dalam menyelesaikan penelitian ini, PANRET UKM KMK USU UP FP buat

setiap dukungan doanya, terkhusus kepada Tri yang senantiasa mendukung

penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2010

(8)

DAFTAR ISI

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Gulma jajagoan (Echinochloa crus-galli) ... 5

Lingkungan pertumbuhan gulma ... 6

Herbisida metil metsulfuron ... 7

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Jajagoan yang brtahan hidup (Survival) ... 13

Jumlah Anakan ... 13

Bobot kering ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil... 15

Jajagoan yang bertahan hidup ...15

(9)

Rataan bobot kering tiap ekotip ...19 Pembahasan ... 21

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 24 Saran ... 24

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

Tabel 1. Sejarah Penggunaan herbisida pada areal pengambilan

sampel jajagoan………..11

Tabel 2. Rataan jajagoan (E. crusgalli) yang bertahan hidup terhadap

pemberian herbisida metil metsulfuron ... 16

Tabel 3. Rataan jumlah anakan jajagoan untuk setiap ekotip terhadap

pemberian herbisida Metil metsulfuron ... 18

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Gambar 1. Struktur metil metsulfuron ...7

2. Gambar 2. Grafik jajagoan yang bertahan hidup 3MSA. ...17

3. Gambar 3. Grafik jajagoan yang bertahan hidup 6MSA. ...17

4. Gambar 4. Grafik jumlah anakan 3 MSA ...19

5. Gambar 5. Grafik jumlah anakan 6 MSA ...19

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Lampiran 1. Bagan penelitian ... 28

2. Lampiran 2. Sejarah Penggunaan herbisida pada areal pengambilan

sampel jajagoan. ... 29

3. Lampiran 3. Kalibrasi ... 30

4. Lampiran 4. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada

ekotip SEC 1 ... 31

5. Lampiran 5. Jajagoan yang survive 3 MSA pada ekotip SEC 2 ... 32

6. Lampiran 6. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada

ekotip SEC 3... 33

7. Lampiran 7. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada

ekotip SEC 4... 34

8. Lampiran 8. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada

ekotip SEC 5... 35

9. Lampiran 9. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada

ekotip SEC 6... 36

10.Lampiran 10. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada

ekotip SEC 7... 37

11.Lampiran 11. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada

ekotip SEC 1... 38

12.Lampiran 12. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada

ekotip SEC 2... 39

13.Lampiran 13. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada

ekotip SEC 3... 40

14.Lampiran 13. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada

ekotip SEC 4... 41

15.Lampiran14. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada

(13)

16.Lampiran 15. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada

ekotip SEC 6... 43

17.Lampiran 16. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada ekotip SEC 7... 44

18.Lampiran 17. Data anakan 3 MSA pada ekotip SEC 1 ... 45

19.Lampiran 19. Data Jumlah anakan 3 MSA pada ekotip SEC 2 ... 46

20.Lampiran 20. Data Jumlah anakan 3 MSA pada ekotip SEC 3 ... 47

21.Lampiran 21. Data Jumlah anakan 3 MSA pada ekotip SEC 4 ... 48

22.Lampiran 22. Data Jumlah anakan 3 MSA pada ekotip SEC 5 ... 49

23.Lampiran 23. Data Jumlah anakan 3 MSA pada ekotip SEC 6 ... 50

24.Lampiran 24. Data Jumlah anakan 3 MSA pada ekotip SEC 7 ... 51

25.Lampiran 25. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 1 ... 52

26.Lampiran 26. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 2 ... 53

27.Lampiran 27. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 3 ... 54

28.Lampiran 28. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 4 ... 55

29.Lampiran 29. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 5 ... 56

30.Lampiran 30. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 6 ... 57

31.Lampiran 31. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SE8 ... 58

32.Lampiran 32. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 1 ... 59

33.Lampiran 34. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 2... 60

34.Lampiran 35. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 3... 61

35.Lampiran 36. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 4... 62

36.Lampiran 37. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 5... 63

37.Lampiran 38. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 6... 64

(14)

ABSTRAK

ROTAMBA NABABAN: Respon Jajagoan (Echinochloa crus-galli) Beda Ekotip Terhadap Metil metsulfuron, dibimbing oleh Edison Purba dan Toga Simanungkalit.

Gulma jajagoan merupakan gulma penting tanaman padi, yang dapat mengakibatkan menurunnya hasil dan kualitas padi. Banyak cara, teknik dan herbisida yang diapaki untuk mengendalikan gulma ini. Sehingga kemungkinan terjadi jajagoan yang resisten terhadap satu jenis herbisida seperti metil metsulfuron. Sehingga dilakukan penelitian terhadap beberapa ekotip pertumbuhan jajagoan dan disemprot dengan herbisida metil metsulfuron dengan dosis: 0 g ba/ha, 1 ½ g ba/ha, 3 g ba/ha, 6 g ba/ha, 12 g ba/ha, 24 g ba/ha.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tempat telah diduga resisten terhadap herbisida metil metsulfuron, seperti jajagoan dari SEC 3 (43.33,survival 6 MSA 24 g ba/ha), SEC 1(30.00, survival 6 MSA 24 g ba/ha), SEC 6(16.67, survival 6 MSA 24 g ba/ha).

Kata kunci : metil metsulfuron, herbisida, Echinocloa crus-galli

ABSTRACT

ROTAMBA NABABAN: Respons of Jajagoan (Echinochloa crus-galli) difference of Ecotip to metsulfuron methyl, supervised by Edison Purba and Toga Simanungkalit.

Weed of Jajagoan represent important weeds of rice crop, downhill resulting which can produce and quality of rice. Many way of, herbicide and technique used to control this weed. So that possibility happened jajagoan which resisten to One of herbicide type like methyl of metsulfuron. So that do the research to some ekotip growth of jajagoan and sprayed with herbicide of methyl metsulfuron with dose: 0 ba g / ha, 1 ½ ba g / ha, 3 ba g / ha, 6 ba g / ha, 12 ba g / ha, 24 ba g / ha.

Result of research indicate that some place have been anticipated resisten to herbicide of metsulfuron methyl, like jajagoan of SEC 3 ( 43.33,survive 6 MSA 24 ba g / ha), SEC 1(30.00, survive 6 MSA 24 ba g / ha), Tanjung Morawa(16.67, survive 6 MSA 24 ba g / ha).

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Melihat pertambahan penduduk dunia yang meningkat, manusia mulai

menghadapi berbagai masalah yang serius, terutama dalam penyediaan pangan,

terkhusus bagi Negara yang bahan pangan pokoknya adalah beras. Bila

dibandingkan dengan produksi padi yang tidak mencukupi untuk kebutuhan

pangan daerah, maka diperlukan pengelolaan sawah terlebih dalam pengendalian

gulma sebagai saingan tanaman padi. Indonesia sebagai negara yang berkembang

dan berpenduduk padat, sangat merasakan pentingnya program penyediaan

pangan (Sudarmo,1991).

Terlepas dari jumlah luasan penanaman padi, gulma merupakan salah satu

faktor pembatas produksi tanaman padi. Gulma menyerap hara dan air lebih cepat

dibanding tanaman pokok (Gupta 1984). Pada tanaman padi, biaya pengendalian

gulma mencapai 50% dari biaya total produksi (IRRI 1992). Hal inilah yang

membuat produksi padi semakin menurun disamping dari faktor pembatas lainnya

seperti kondisi alam dan serangan hama.

Gulma berinteraksi dengan tanaman melalui persaingan untuk

mendapatkan satu atau lebih faktor tumbuh yang terbatas, seperti cahaya, hara,

dan air. Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, varietas, kondisi tanah,

kerapatan gulma, lamanya tanaman, pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat

gulma mulai bersaing (Jatmiko et al. 2002). Dan seringkali tanaman padi kalah

(16)

Dalam pengendalian species gulma yang berada di lahan sangat

menentukan pada tindakan yang akan diambil. Bagi gulma annual akan berbeda

dengan gulma perennial, demikaian pula dengan gulma yang berdaun sempit,

berdaun lebar atau jenis teki-tekian (Moenandir, 1993). Dan juga gulma yang

hidup di dataran rendah dan yang hidup di dataran tinggi.

Praktek penggunaan herbisida di lokasi pertanian terjadi karena

kemampuan herbisida pada umumnya untuk mematikan beberapa jenis tumbuhan

(gulma) tanpa menggangu jenis lain atau tanaman lain (tanaman pokok). Jika

dibandingkan dengan pengendalian secara manual, biaya pengendalian akan

semakin tinggi. Apalagi ketika kemampuan selektivitas herbisida dapat

ditingkatkan, maka akan mempermudah pengendalian gulma dilapangan.

Herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan

gulma sementara atau mematikannya bila diaplikasikan pada ukuran yang tepat.

Dengan kata lain, jenis dan kadar racun bahan kimia suatu herbisida menentukan

arti dari herbisida itu sendiri (Moenandir, 1988).

Lingkungan merupakan kesatuan dari segala faktor-faktor yang hidup

(biotis) maupun abiotis yang dapat mempengaruhi pertumbuhan,

perkembangbiakan, ataupun penyebaran dari segala jenis tumbuhan. Lingkungan

dapat dikelompokkan menjadi dua komponen utama, yaitu lingkungan makro dan

mikro. Lingkungan yang makro adalah keadaan yang meliputi skala daerah yang

luas, termasuk iklim dan tanah. Lingkungan mikro yaitu skala daerah yang kecil

dan sempit dimana lingkungan ini dapat dipengaruhi oleh adanya objek, zat kimia

(17)

Banyaknya permasalahan yang ditimbulkan oleh gulma dan beragamnya

cara pegendalian oleh para petani sehingga memungkinkan adanya gulma resisten

maupun toleran. Dan bahkan para petani menggunakan beberapa jenis dan dosis

herbisida untuk mengendalikan gulma ini

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur respons beberapa populasi

jajagoan (Echinochloa crus-galli ) berasal dari beberapa daerah di Sumatera

Utara terhadap dosis herbisida metil metsulfuron.

Hipotesis Penelitian

Hipotesa yang digunakan adalah :

Faktor perbedaan agroekologi jajagoan Echinochloa crus-galli

mempengaruhi respon terhadap herbisida metil metsulfuron.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

Untuk menentukan acuan dosis herbisida pada setiap ekotipe jajagoan

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Luas areal pertanian di Sumatera Utara meliputi lahan sawah irigasi teknis

seluas 135.872 ha, sawah non irigasi teknis seluas 141.383 ha, dengan saluran

irigasi primer, sekunder dan tersier sepanjang 820.462 meter. Pada 2005, sawah di

Sumatera Utara menghasilkan 3.447.784 ton padi, sedangkan tahun 2006 turun

menjadi 3.030.784 ton

Lahan sawah di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun

2002 luasnya sekitar 7,75 juta ha ( tidak termasuk Papua san Maluku), sebagian

besar terdapat di Jawa 3,32 juta ha ( 42,8 % dari luas sawah Indonesia), kemudian

sumatera 2,10 uta ha (27,2 % dari luas sawah Indonesia) Kalimantan 1,01 juta ha

( 13% dari luasa sawah Indonesia). Sedangkan di Nusa tenggara dan Bali hanya

0,42 juta ha atau 5,4 % dari luas sawah Indonesia. Berdasarkan pengairannya

lahan sawah terluas di Sumatera adalah sawah irigasi teknis dan semi teknis

sekitar 0,58 juta ha, berikutnya adalah sawah tadah hujan 0,55 juta ha, sawah

irigasi sederhana (lebak) sekitar 0,23 juta ha.

Lahan sawah adalah merupakan penghasil utama beras. Sebagai gambaran

pada tahun 2003 dari total luas panen padi sekitar 11,5 juta ha dengan produksi

padi sebesar 52,1 juta ton, ternyata 49,3 juta ton padi diantaranya dihasilkan dari

lahan sawah (94,7%) dengan luas panen 10,4 juta ha dan sisanya 2,8 juta ton ( 5,3

%) dari lahan kering dengan luas panen 1,1 juta ha. Rata-rata produksi padi

(19)

Jajagoan ((Echinochloa crus-galli )

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya hasil beras baik kualitas

dan kuantitas adalah gangguan gulma. Gulma sebagai organisme pengganggu

tanaman (OPT) termasuk kendala penting yang harus diatasi dalam peningkatan

produksi padi di Indonesia. Penurunan hasil padi akibat gulma berkisar antara

6-87 %. Data yang lebih rinci penurunan hasil padi secara nasional akibat

gangguan gulma 15-42 % untuk padi sawah dan 47-87 % untuk padi gogo

(Pitoyo, 2006). Gulma Echinocloa crus-galli var crus-galli adalah urutan ketiga

di dunia dan terdaftar sebagai gulma serius di 36 pertanaman yang berbeda di 61

negara (Holm et all. 1977).

Gulma dapat menyebabkan kerugian pada berbagai bidang kehidupan.

Pertumbuhan tanaman yang terhambat akan menyebabkan hasil menurun. Di

Indonesia penurunan hasil akibat gulma diperkirakan mencapai 10-20%. Gulma

juga dapat menurunkan kualitas hasil pertanian akibat tercampurnya biji-biji

gulma dengan hasil panen pada saat panen maupun akibat tercampurnya biji-biji

gulma sewaktu pengolahan hasil (Dwiguntoro, 2008).

Beberapa jenis gulma yang spesifik pada tanaman padi bahkan mampu

mengakibatkan kehilangan hasil yang sangat besar hingga 100 % di antaranya

Kolomento (Leersia hexandra) 60 %, Jajagoan Lentik (Echinochloa colonum) dan

Lamhani (Paspalum distichum) 85 %, dan Jajagoan (Echinochloa crus-galli) bisa

mencapai 100 % (Rukmana dan Sugandi, 1999).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kadir (2007) yang menyatakan

bahwa waktu yang terbaik untuk melakukan pengendalian gulma jajagoan adalah

(20)

Tanggap atau respon beberapa jenis gulma terhadap herbisida amat tergantung

pada jenis herbisida yang digunakan itulah yang digolongkan ke dalam herbisida

selektif atau non selektif. Untuk pengendalian secara kimiawi sebaiknya

menggunakan senyawa kimia yang selektif untuk menghambat atau mematikan

gulma tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman padi.

Jajagoan berkembang biak secara generatif maupun secara vegetatif.

Perkembang biakan secara generatif jajagoan ini mampu menghasilkan biji

mencapai 40.000 biji dalam semusim. (Sukma dan Yakup, 2002). Dalam hal ini

mengakibatkan penyebaran gulma jajagoan sangat cepat.

Lingkungan pertumbuhan gulma

Ekologi pertanian, secara intensif telah dimanipulasi oleh manusia dengan

mengadakan perubahan-perubahan seperti membajak, mencangkul, mengairi,

(Kuntohartono dkk, 1984).

Lingkungan merupakan kesatuan dari segala factor-faktor baik yang hidup

(biotis) maupun yang mati (abiotis) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan,

perkembangbiakan, atau penyebaran dari segala jenis tumbuhan. Secara umum,

lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua komponen utama yaitu lingkungan

makro dan mikro. Lingkungan makro adalah keadaan lingkungan yang meliputi

skala daerah yang luas, termasuk di dalamnya adalah segala aspek iklim dan tanah

seperti intensitas cahaya, kelembaban, kecepatan angin dan suhu. Lingkungan

yang mikro meliputi skala daerah yang kecil dan sempit dimana lingkungan ini

dapat dipengaruhi oleh adanya objek (batuan,pohon dan lain sebagainya), zat

(21)

Ekologi gulma Echinochloa crus-galli var. crus-galli akan tumbuh baik

dalam kondisi yang menguntungkan pertumbuhan tanaman padi. Lebih suka pada

tanah basah dan akan tumbuh bila sebagian batangnya terendam air. Gulma muda

yang mirip dengan bibit padi dan sering ikut ditanam tanpa disengaja.

Pengurangan hasil padi paling gawat jika gulma tumbuh dalam 60 hari setelah

padi berkecambah (IRRI,1985).

Tak satupun metode dapat mengedalikan gulma secara tuntas di

pertanaman. Suatu metode mungkin menekan species tertentu tetapi bebrapa

species lain mendapat pengaruh meguntungkan secara langsung atau tidak

langsung. Bila suatu metode dipraktekkan secara terus menerus pada beberapa

musim maka pengaruh yang menguntungkan itu cenderung mendominasi di

musim selanjutnya. Hal inilah yang memungkinkan timbulnya gulma-gulma

utama (major seeds species) yang mendominasi suatu pertanaman

(Sukma dan Yakub, 2002)

Herbisida metil metsulfuron

Metil-metsulfuron adalah herbisida sulfonylurea dengan aktivitas tinggi

pada tingkat aplikasi rendah dan secara luas digunakan di seluruh dunia.

Sulfonylurea menghalangi sintesis acetolaktat, suatu enzim kunci di dalam

biosynthesis cabang asam amino tumbuhan. Mereka biasanya diasumsikan ramah

lingkungan karena pengaruh yang singkat dalam lingkungan, taraf aplikasi yang

rendah dan toxisitas (Tahir & Sing, 2007).

Cara kerja metil metsulfuron adalah menghambat kerja dari enzim

(22)

menghambat perubahan dari α ketoglutarate menjadi 2-acetohydroxybutyrate dan

piruvat menjadi 2-acetolactate sehingga mengakibatkan rantai cabang-cabang

asam amino valine, leucine, dan isoleucine tidak dihasilkan. Tanpa adanya asam

amino yang penting ini, maka protein tidak dapat terbentuk dan tanaman

mengalami kematian (Ross and Childs, 2010).

Gambar 1 : struktur metil metsulfuron

Sulfonilurea (SU) adalah salah satu herbisida dari empat kelas penghambat

sintesis asam laktat (Shimizu et all. 2002) yang biasanya digunakan untuk

mengendalikan gulma di pertanaman padi sawah di Jepang. Sebagai hasilnya

terdapat biotip yang tahan terhadap sulfoylurea dan sudah berkembang menjadi

selusin gulma tahan termasuk diantaranya Monochoria vaginalis. Pada tahun

1998 biotip tahan sulfonylurea dari Monochoria vaginalis ditemukan di dua

pertanaman padi sawah yang berbeda di Akita dan Ibaraki ( Koarai dan Morita,

2002). Herbisida sulfonylurea biasanya diaplikasi sesuai dengan dosis

rekomendasi di pertanaman padi di Jepang. Evolusi dari gulma tahan sulfonilurea

adalah akibat dari pengulangan aplikasi dari herbisida Sulfonilurea untuk

mengendalikan gulma daun lebar termasuk Monochoria vaginalis dalam beberapa

(23)

Dosis herbisida adalah salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam

pengendalian gulma. Dosis herbisida yang optimal digunakan untuk pengendalian

herbisida selektif, dan dosis herbisida ditunjukkan dengan bahan aktif herbisida.

Herbisida glifosat yang diaplikasikan sendiri, pengendalian yang tidak efektif

terhadap pengendalian gulma lebar. Ketika dengan penambahan dari herbisida

2,4-D memungkinkan bertambahnya efikasi, daya racun, kecocokan, efek yang

sinergis dari glifosat (Moenandir, et all, 2003).

Herbisida dapat pula diberikan setelah tanaman tumbuh, dengan tujuan

bahwa gulma yang tumbuh setelah tumbuh dapat ditekan, sehingga pertumbuhan

tanaman selanjutnya menjadi tidak terganggu. Pemberian herbisida semacam ini

dapat juga sebagai tindakan kelanjutan dari pengendalian tahap pertama untuk

mendukung tercapainya tujuan pengendalian gulma secara tuntas

(Moenandir, 1988).

Populasi gulma resisten-herbisida adalah populasi yang bertahan hidup

normal pada dosis herbisida yang biasanya mematikan populasi tersebut. Populasi

resisten terbentuk akibat adanya tekanan seleksi oleh penggunaan herbisida

sejenis secara berulang-ulang dalam periode yang lama. Sedangkan gulma toleran

herbisida adalah spesies gulma yang mampu bertahan hidup secara normal

walaupun diberi perlakuan herbisida. Kemampuan bertahan tersebut dimiliki oleh

seluruh individu anggota spesies, jadi tidak perlu melalui proses tekanan seleksi

(Purba, 2009).

Respon beberapa jenis tumbuhan yang berbeda pada satu jenis herbisida

dengan dosis yang sama akan berbeda pula. Karena letak kegiatan herbisida itu

(24)

dalam tumbuhan yang berbeda (persistensi). Kemantapan beradanya herbisida dan

letak kegiatannya dalam tubuh tumbuhan mempunyai hubungan yang erat dengan

keselektifannya, penetrasi dan translokasinya untuk mencapai sasaran

(25)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan kompleks Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan pada

bulan Januari 2010 hingga Maret 2010

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas biji jajagoan yang

diambil dari beberapa lokasi berbeda tipe ekologi atau berbeda sejarah

pengendalian gulma. Lokasi pengambilan biji jajagoan yaitu: yaitu Kecamatan.

Cengkeh Tani, Binjai (SEC1); Kecamatan Balige, Tobasa (SEC2); Kecamatan

Beras Sekata Sunggal, Deli Serdang (SEC3); Kecamatan Tampahan, Tobasa

(SEC4); Kecamatan Gurgur, Pematang Siantar (SEC5); Kecamatan Tanjung

Morawa, Deli Serdang (SEC6); Kecamatan Laguboti, Tobasa (SEC7). herbisida

metil metsulfuron (Ally 20 WDG) , top soil, air, insektisida lakban, polybag.

Tabel 1. Sejarah Penggunaan herbisida pada areal pengambilan sampel jajagoan.

Ekotip Herbisida yang pernah digunakan

SEC1 (Binjai) Roundup (glifosat)

SEC2 (Balige) Tanpa herbisida (manual)

SEC3 (Sunggal) DMA-6 (dimetil amina) campur Ally (metil metsulfuron), Graomoxone

(parakuat)

SEC4 (Tampahan) Ally (metil metsulfuron)

SEC5 (Pematang Siantar) Tidak terdata

SEC6 (Tanjung Morawa) Herbatop (parakuat diklorida)

SEC7 (Laguboti) Ally (metil metsulfuron)

SEC : Sumatera Echinocloa crusgalli.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, knapsack sprayer, label

(26)

Metode Penelitian

Setiap populasi jajagoan yang diambil dari lokasi berbeda, pengambilan

pada saat padi sudah menguning, dan akan panen, karena biji jajagoan lebih

dahulu kering dari pada padi. Biji jajagoan diambil dari 5-10 rumpun, diberi

perlakuan metil metsulfuron sebanyak enam dosis yaitu : 0, 11/2, 3, 6, 12, 24, g

b.a/ha. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan tersebut disusun

dalam sebuah rancangan acak kelompok (RAK).

Jajagoan yang terdiri dari tujuh lokasi pengambilan biji (tujuh ekotip),

ditanam di dalam polibag berukuran 16x20cm, berisi media tanam topsoil yang

diambil dari daerah Tuntungan. Di dalam setiap polibag ditabur biji kurang lebih

50 biji jajagoan dan pada satu minggu setelah tanam (HST) dijarangkan dengan

meninggalkan 10 tanaman per polibag. Pada saat berumur tiga minggu atau telah

berdaun 4 – 5 helai disemprot dengan menggunakan metil metsulfuron.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan media

Media tumbuh yang digunakan adalah top soil diambil dari daerah

Tuntungan. Topsoil dimasukkan ke dalam polibag ukuran 16 x 20 cm sampai

terisi 1/2 bagian. Kemudian ujung polibag dilipat.

Penanaman jajagoan

Biji jajagoan disebar di atas top soil dalam polibag, dan ditutup dengan

lapisan tanah tipis. Dan ketika jajagoan sudah berumur 1 MST dan sudah

tumbuh, dilakukan penjarangan dengan meninggalkan sepuluh jajagoan setiap

(27)

Pemeliharaan Gulma

Penyiraman

Selama penelitian berlangsung, gulma disiram sesuai dengan kondisi cuaca

dan curah hujan di lapangan.

Penyiangan

Gulma selain jajagoan dicabut dari polibag.

Pengaplikasian herbisida

Sebelum herbisida diaplikasikan terlebih dahulu dilakukan kalibrasi

terhadap alat semprot yang digunakan untuk mengetahui volume semprot yang

akan digunakan yaitu : 300 l/ha. Nosel yang digunakan adalah nozel wana biru

Pengamatan Parameter

Jajagoan yang bertahan hidup ( survival )

Jajagoan yang bertahan hidup, dihitung pada tiga dan enam minggu setelah

aplikasi (MSA), gulma dikatakan bertahan hidup apabila daun masih berwarna

hijau.

Jumlah Anakan

Jumlah anakan dihitung pada 3 MSA dan 6 MSA.

Bobot Kering

Gulma yang hidup sampai minggu keenam setelah aplikasi, dipotong tepat

pada permukaan tanah dari masing-masing polibag, kemudian dimasukkan ke

(28)

diovenkan pada temperatur 800C selama 48 jam. Setelah bobot keringnya konstan,

lalu ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Lalu diambil datanya.

Pengambilan data untuk tiap parameter diambil dari setiap polibag

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Jajagoan yang bertahan hidup

Tabel rataan menunjukkan bahwa perlakuan herbisida metil metsulfuron

berpengaruh nyata terhadap gulma jajagoan. Rataan jajagoan yang bertahan hidup

diambil dari setiap polibag.

Pengaruh masing-masing dosis herbisida metil metsulfuron terhadap

(30)

Tabel 2. Rataan jajagoan (E. crusgalli) yang bertahan hidup terhadap pemberian herbisida metil metsulfuron.

Dosis Metil metsulfuron

(g ba/ha)

Persentase jajagoan yang bertahan hidup pada tiap ekotip

SEC1 SEC2 SEC3 SEC4 SEC5 SEC6 SEC7

3 MSA 6 MSA 3 MSA 6 MSA 3 MSA 6 MSA 3 MSA 6 MSA 3 MSA 6 MSA 3 MSA 6 MSA 3MSA 6 MSA 0 100,00 a 100.00 a 100,00 a 100.00 a 100,00 100.00a 100,00a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00a 100.00a 1.5 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 93.33a 93.33 a 3 100.00 a 90.00 a 53.33 b 46.67 b 100.00 93.33 a 96.67 a 86.67 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 93.33 a 83.33a 70.00 a 6 93.33 a 90.00 a 40.00 b 23.33 b 96.67 93.33 a 93.33 a 76.67 a 96.67 a 93.33 a 96.67 a 76.67 a 50.00b 33.33 b 12 86.67 a 70.00 a 3.33 c 3.33 cd 90.00 80.00 a 46.67 b 46.67 b 56.67 b 56.67 b 80.00 a 76.67 a 6.67c 3.33 b 24 46.67 b 30.00 b 0.00 c 0.00 d 83.33 43.33 b 10.00 c 0.00 c 10.00 c 6.67 c 13.33 b 0.00 b 0.00c 0.00 c

Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak Beda Nyata Terkecil. SEC : Sumatera Echinocloa crus-galli

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada dosis 3 g ba/ha belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kematian jajagoan.

Rataan terendah bertahan hidup terdapat pada ekotip SEC2 sebesar 53.33%, dan ketika dilihat pada 6 MSA terdapat penurunan yang

bertahan hidup menjadi 46.67%. Jika dilihat pada dosis 6 g ba/ha, rataan tertinggi bertahan hidup terdapat pada SEC3,SEC5,SEC6 sebesar

96,67%, dan terendah terdapat pada ekotip SEC2 sebesar 40% . Dan pada 6 MSA rataan tertinggi terdapat pada SEC3 dan SEC5 sebesar

93.33%. dan terendah terdapat pada SEC2 sebesar 23.33 %. Pada dosis 24 g ba/ha dalam 3 MSA dapat dilihat bahwa rataan tertinggi

jajagoan yang bertahan hidup adalah pada SEC3 sebesar 83.33%. Pada dosis ini terdapat terdapat ekotip yang rataan survivalnya 0% yaitu

(31)

Gambar 2. Grafik jajagoan yang bertahan hidup 3 MSA pada tiap ekotip

(32)

Jumlah anakan jajagoan pada tiap ekotip

Tabel rataan menunjukkan bahwa perlakuan herbisida metil metsulfuron berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan gulma

jajagoan. Rataan jumlah anakan jajagoan diambil dari setiap polibag.

Pengaruh masing-masing dosis herbisida metil metsulfuron terhadap gulma jajagoan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan jumlah anakan jajagoan untuk setiap ekotip terhadap pemberian herbisida Metil metsulfuron Dosis

Metil

metsulfuron

(g ba/ha)

Persentase jumlah anakan pada tiap ekotip

SEC1 SEC2 SEC3 SEC4 SEC5 SEC6 SEC7

Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak Beda Nyata Terkecil. SEC : Sumatera Echinocloa crusgalli

Pada tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah anakan jajagoan terbanyak 3MSA pada dosis 6 g ba/ha adalah 10.33 meningkat menjadi

14.67 pada SEC4. Dan dosis 24 g ba/ha 3 MSA sebanyak 3.33 meningkat menjadi 9.00 pada ekotip SEC3. Dari keseluruhan populasi,

jumlah anakan terbanyak terdapat pada ekotip SEC5 pada dosis 0 g ba/ha dalam 3MSA sebesar 16.33 dan bertambah menjadi 18.00 pada

(33)

Gambar 4. Grafik jumlah anakan jajagoan tiap ekotip pada 3 MSA

Gambar 5. Grafik jumlah anakan 6 MSA pada tiap ekotip

Rataan bobot kering tiap ekotip

Tabel rataan menunjukkan bahwa perlakuan herbisida metil metsulfuron

berpengaruh nyata terhadap bobot kering gulma jajagoan. Rataan jumlah bobot

(34)

Pengaruh masing-masing dosis herbisida metil metsulfuron terhadap

gulma jajagoan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan bobot kering jajagoan tiap ekotip terhadap pemberian herbisida metil metsulfuron.

Dosis Metil metsulfuron (g ba/ha)

Jumlah bobot kering jajagoan untuk setiap ekotipe

SEC1 SEC2 SEC3 SEC4 SEC5 SEC6 SEC7

Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak Beda Nyata Terkecil.

SEC : Sumatera Echinocloa crus-galli

Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan bobot kering tertinggi pada dosis 6 g

ba/ha adalah pada SEC3 sebesar 11.70 g, dan terendahnya terdapat pada SEC2

sebesar 0.70 g. Pada dosis 24g ba/ha rataan bobot kering tertinggi yaitu pada

ekotip SEC3 sebesar 2,27 g. Dan terendah sebesar 0 g terdapat pada ekotip SEC2

dan SEC7.

(35)

Pembahasan

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa setiap populasi jajagoan

berbeda agroekologi atau ekotip mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap

berbagai dosis herbisida metil metsulfuron (Ally 20 WDG). Hal ini dapat dilihat

dari berbagai ekotip yang kurang respon terhadap herbisida ini, atau hampir

dikatakan lebih tahan terhadap herbisida metil metsulfuron. Hal ini dapat

disebabkan oleh pengunaan dosis herbisida yang tidak tepat, atau menggunakan

herbisida yang sama dalam jangka waktu beberapa lama. Sesuai dengan

pernyataan Purba (2009) yang menyatakan bahwa setiap penggunaan herbisida

yang sama secara berulang-ulang, dapat mengakibatkan gulma akan Menjadi

resisten, atau tahan terhadap suatu jenis herbisida tertentu.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa jajagoan yang disemprot 3MSA

mengalami penurunan jumlah yang bertahan hidup (survival) hingga 6 MSA. Dari

masing-masing dosis untuk tiap ekotip mengalami penurunan jumlah hingga 24 g

ba/ha. Moenandir (1988) menyatakan, respon beberapa jenis tumbuhan yang

berbeda pada satu jenis herbisida dengan dosis yang sama akan berbeda pula.

Dengan demikian bahwa jajagoan yang disemprot akan mengalami

kematian untuk dosis 24 g ba/ha. Terkecuali pada ekotip SEC3 yang mempunyai

jumlah bertahan hidup 43,33 % untuk dosis 24 g ba/ha. Sehingga dikhawatirkan

akan menurunkan produksi padi.

Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida secara tidak

terkendali akan membuat gulma menjadi resisten. Seperti halnya yang terdapat

pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa gulma yang tetap bertahan hidup

(36)

(6,67) dan SEC6 (16,67). Respon yang berbeda antar populasi jajagoan ini dapat

dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk diantaranya adalah teknik pengendalian,

dosis herbisida, jenis herbisida, dan waktu pemberian herbisida. Purba (2009)

mengatakan bahwa populasi gulma resisten herbisida adalah populasi yang

bertahan hidup normal pada dosis yang biasanya mematikan populasi tersebut.

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jajagoan yang berbeda ekotip

disemprot dengan menggunakan herbisida metil metsulfuron menunjukkan respon

yang berbeda. Pada parameter jumlah anakan terdapat pada ekotip sunggal

sebesar 3.33 pada dosis 24 g ba/ha. Hal ini dikarenakan bahwa jumlah yang

bertahan hidup lebih tinggi dibanding yang lainnya.

Penyemprotan gulma yang dilakukan berpotensi untuk mencegah

kehilangan produksi padi. Hal ini dikarenakan hingga 6 MSA, jajagoan yang

masih bertahan hidup pada dosis 24 g ba/ha sudah ada yang 0 %, dan untuk yang

3 MSA terdapat kematian jajagoan yang sangat significan. Sehingga pengurangan

produksi yang diakibatkan oleh jajagoan bisa dicegah. Sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Kadir (2007) bahwa aplikasi herbisida baik pada waktu 21

hari setelah tanam dan dapat menekan kehilangan produksi padi sebesar 15-32%.

Pertumbuhan jajagoan sangat dipengaruhi oleh ekotip atau lingkungan

pertumbuhan gulma. Rata-rata pertumbuahan jajagoan yang berasal dari dataran

rendah menunjukkan kurang respon dalam pertumbuhannya. Dalam ekotip

Binjai, dan tanjung morawa perlakuan kontrol mempunyai bobot kering yang

lebih tinggi dibanding perlakuan dari 1,5 g ba/ha. Kemungkinan hal ini

disebabkan penyemprotan herbisida metil metsulfuron dosis rendah dapat

(37)

bahwa lingkungan merupakan kesatuan dari segala faktor-faktor baik yang hidup

(biotis) maupun yang mati (abiotis) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan,

perkembangbiakan, atau penyebaran dari segala jenis tumbuhan. Dimana

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Urutan jajagoan yang toleran hingga paling sensitif yaitu masih pada ekotip

SEC3, SEC6, SEC1, SEC5, SEC4, SEC7, SEC2.

2. Respon jajagoan dari ekotip SEC3 lebih tinggi untuk parameter survival,

jumlah anakan dan bobot kering.

3. Jumlah anakan berbanding lurus dengan jumlah yang bertahan hidup hingga

6MSA untuk tiap kelompok dosis herbisida.

4. Herbisida metil metsulfuron dengan dosis 6 g ba/ha belum mampu untuk

mencegah kehilangan produksi padi.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian ulang terhadap jajagoan yang berasal dari

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Ampong-Nyarko, K and S.K. De Datta. 1991. A Handbook for Weed control in Rice. IRRI. Los Banos. Philippines. 113p.

Anderson, W P, 1982. Weed Science Principle. West Publishing Company. New York.

BPS. 2002. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

--- 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Ginting, M. 2010. Percakapan langsung dengan petani. Sunggal, Medan.

Gupta 1984. Dalam Noeriwan B. Soerjandono. Teknik Pengendalian Gulma Dengan Herbisida Persistensi Rendah Pada Tanaman Padi. Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1, 2005

Holm L.G., Plucknett D.L., Pancho J.V. and Herberger J.P. 1977. The World’s Worst Weeds. Distribution and Biology. John Wiley & Sons, Honolulu, HI. Journal compilation © 2006. Weed Science Society of Japan

IRRI,1985. Pengendalian Terpadu Terhadap Hama Penyakit dan Gulma pada Padi. Penerbit Bhrata Karya Aksara. Jakarta

IRRI 1992. Dalam Noeriwan B. Soerjandono. Teknik Pengendalian Gulma Dengan Herbisida Persistensi Rendah Pada Tanaman Padi. Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1, 2005

Jatmiko, S.Y., Harsanti S., Sarwoto, dan A.N. Ardiwinata. 2002. Dalam Noeriwan B. Soerjandono. Teknik Pengendalian Gulma Dengan Herbisida Persistensi Rendah Pada Tanaman Padi. Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1, 2005

Kadir, M. 2007. Efektivitas Berbagai Dosis Dan Waktu Aplikasi herbisida 2,4 Dimetilamina terhadap Gulma Echinocloa colonum, chinocloa cruss-galli, dan Cyperus iria pada Padi Sawah . Jurnal Agrisistem, Juni 2007, Vol. 3 No. 1

(40)

Kuntohartono,T ; Martosentono,K ; Mangoensoekardjo,S ; Megia, R ;

Madkar,O.R ; Sanusi,M ; Terry,PJ ; Tjitrosoedirjo,S ; Utomo I,H. 1984. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Diterbitkan Oleh Biotrop kerjasama dengan PT. gramedia. Jakarta

Marveldani Maimun B; Kukuh S; Setyo Dwi U., 2007. Pengembangan Kedelai Transgenik yang Toleran Herbisida Amonium-Glufosinat dengan Agrobacterium. Jurnal Akta Agrosia. Universitas Lampung

Moenandir, J; E. Murniningtias; T. Soemarni. 2003. Prosiding HIGI 2003 Jilid I

Moenandir, J. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Penerbit Rajawali. Jakarta

--- 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem Pertanian. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Nantasomsaran, P and K, Moody, 1995. Weed management for rainfed lowland rice. Agricultural research for High risk Environment. IRRI. Philippines. Padi. Kanisius. Jogjakarta

Pitoyo, J. 2006. Mesin Penyiang Gulma Padi Sawah Bermotor. Sinar Tani. Edisi 5-11 Juli 2006. http://www.pustaka-deptan.go.id.

Purba, E. 2009. Keanekaragaman Herbisida Dalam Pengendalian Gulma Mengatasi Populasi Gulma Resisten Dan Toleran Herbisida. Pidato Pegukuhan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ross, M. A. Dan D. J. Childs, 2010. Herbicide Mode of Action. Department of Botany and Plant Pathology, Purdue University. http://

Rukmana, R. dan S. Saputra, 1999. Dalam Tahir. Efektivitas Berbagai Dosis Dan Waktu Aplikasi Herbisida 2,4 Dimetilamina terhadap gulma Echinocloa colonum, Echinocloa cruss-galli, dan Cyperus iria pada Padi Sawah. Jurnal Agrisistem, Juni 2007, Vol. 3 No. 1

Sastroutomo, S.S, 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Shimizu, T; Nakayama,I; Miyazawa,T and Nezu,Y (2002) at T, Imaizumi; G, X, Wang; T, Ohsako And T, Tominaga. Genetic diversity of sulfonylurea-resistant and -susceptible Monochoria vaginalis populations in Japan. Journal Compilation, 200. European Weed Research Society Weed Research 48, 187–196

(41)

Sundaru, M. Syam, M. Bakar, J. 1976. Beberapa Jenis Gulma Padi Sawah. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor, Buletin Tehnik No. 1

Sukma dan Yakup, 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Raja Grafindo

(42)

SEC 1

SEC 2

SEC 3

SEC 5

SEC 5

ULANGAN I

ULANGAN II

ULANGAN III KELOMPOK

DOSIS

SEC 6

SEC 7

(43)

Lampiran2. Daerah pengambilan biji jajagoan

Ekotip Herbisida yang pernah digunakan

SEC1 (Binjai) Roundup (glifosat)

SEC2 (Balige) Tanpa herbisida (manual)

SEC3 (Sunggal) DMA-6 (dimetil amina) campur Ally (metil metsulfuron), Graomoxone

(parakuat)

SEC4 (Tampahan) Ally (metil metsulfuron)

SEC5 (Pematang Siantar) Tidak terdata

SEC6 (Tanjung Morawa) Herbatop (parakuat diklorida)

(44)

ha

mencapai 100% ba, maka Dosis dikalikan 5 kali.

Dosis 0 = control

Kebutuhan air : ` Kebutuhan herbisida:

(45)

Lampiran 4. Jajagoan yang survive 3 MSA pada ekotip SEC 1

Dosis Ulangan

Total Rataan

I II III

0.00 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 1.50 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 3.00 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 6.00 90.00 90.00 100.00 280.00 93.33 12.00 90.00 80.00 90.00 260.00 86.67 24.00 50.00 70.00 20.00 140.00 46.67 Total 530.00 540.00 510.00 1580.00

Rataan 88.33 90.00 85.00 87.78

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 77.78 38.89 0.29 tn 4.10

Dosis 5 6511.11 1302.22 9.85 * 3.33 Error 10 1322.22 132.22

Total 17 7911.11

(46)
(47)

Lampiran 6. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada ekotip SEC 3

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 1.50 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 3.00 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 6.00 100.00 100.00 90.00 290.00 96.67 12.00 80.00 90.00 100.00 270.00 90.00 24.00 70.00 90.00 90.00 250.00 83.33 Total 550.00 580.00 580.00 1710.00

Rataan 91.67 96.67 96.67 95.00

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 100.00 50.00 1.15 tn 4.10 Dosis 5 716.67 143.33 3.31 tn 3.33 Error 10 433.33 43.33

Total 17 1250.00

(48)

Lampiran 7. Data jajagoan yang survive 3 MSA pada ekotip SEC 4

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 1.50 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 3.00 100.00 90.00 100.00 290.00 96.67 6.00 90.00 100.00 90.00 280.00 93.33 12.00 40.00 60.00 40.00 140.00 46.67 24.00 10.00 10.00 10.00 30.00 10.00 Total 440.00 460.00 440.00 1340.00

Rataan 73.33 76.67 73.33 74.44

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 44.44 22.22 0.62 tn 4.10

Dosis 5 21244.44 4248.89 119.50 * 3.33 Error 10 355.56 35.56

Total 17 21644.44

(49)
(50)
(51)
(52)

Lampiran 11. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada ekotip SEC 1

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 1.50 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 3.00 80.00 90.00 100.00 270.00 90.00 6.00 90.00 80.00 100.00 270.00 90.00 12.00 40.00 80.00 90.00 210.00 70.00 24.00 30.00 40.00 20.00 90.00 30.00 Total 440.00 490.00 510.00 1440.00

Rataan 73.33 81.67 85.00 80.00

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 433.33 216.67 1.38 tn 4.10 Dosis 5 10800.00 2160.00 13.79 * 3.33 Error 10 1566.67 156.67

Total 17 12800.00

(53)
(54)

Lampiran 13. Data jajagoan yang survive 6 MSA pada ekotip SEC 3

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 1.50 100.00 100.00 100.00 300.00 100.00 3.00 90.00 90.00 100.00 280.00 93.33 6.00 90.00 100.00 90.00 280.00 93.33 12.00 70.00 80.00 90.00 240.00 80.00 24.00 70.00 20.00 40.00 130.00 43.33 Total 520.00 490.00 520.00 1530.00

Rataan 86.67 81.67 86.67 85.00

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 100.00 50.00 0.33 tn 4.10

Dosis 5 7050.00 1410.00 9.40 * 3.33 Error 10 1500.00 150.00

Total 17 8650.00

(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)

Lampiran 20. Data Jumlah anakan 3 MSA pada ekotip SEC 3

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 17.00 9.00 6.00 32.00 10.67 1.50 5.00 13.00 2.00 20.00 6.67 3.00 14.00 5.00 10.00 29.00 9.67 6.00 5.00 11.00 2.00 18.00 6.00 12.00 7.00 7.00 11.00 25.00 8.33 24.00 3.00 3.00 4.00 10.00 3.33 Total 51.00 48.00 35.00 134.00

Rataan 8.50 8.00 5.83 7.44

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 24.11 12.06 0.61 tn 4.10

Dosis 5 107.11 21.42 1.08 tn 3.33 Error 10 199.22 19.92

Total 17 330.44

(62)
(63)
(64)
(65)
(66)

Lampiran 25. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 1

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 9.00 7.00 9.00 25.00 8.33 1.50 9.00 15.00 14.00 38.00 12.67 3.00 18.00 7.00 15.00 40.00 13.33 6.00 19.00 12.00 8.00 39.00 13.00 12.00 5.00 9.00 19.00 33.00 11.00 24.00 6.00 4.00 5.00 15.00 5.00 Total 66.00 54.00 70.00 190.00

Rataan 11.00 9.00 11.67 10.56

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 23.11 11.56 0.50 tn 4.10

Dosis 5 162.44 32.49 1.40 tn 3.33 Error 10 232.89 23.29

Total 17 418.44

(67)
(68)

Lampiran 27. Data Jumlah anakan 6 MSA pada ekotip SEC 3

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 19.00 9.00 10.00 38.00 12.67 1.50 5.00 16.00 7.00 28.00 9.33 3.00 14.00 5.00 13.00 32.00 10.67 6.00 9.00 17.00 3.00 29.00 9.67 12.00 7.00 9.00 15.00 31.00 10.33 24.00 11.00 2.00 14.00 27.00 9.00 Total 65.00 58.00 62.00 185.00

Rataan 10.83 9.67 10.33 10.28

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 4.11 2.06 0.05 tn 4.10

Dosis 5 26.28 5.26 0.14 tn 3.33

Error 10 385.22 38.52 Total 17 415.61

(69)
(70)
(71)
(72)
(73)

Lampiran 32. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 1

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 8.00 7.80 7.50 23.30 7.77 1.50 8.00 15.20 7.90 31.10 10.37 3.00 7.80 4.60 10.40 22.80 7.60 6.00 4.70 6.60 4.40 15.70 5.23 12.00 0.90 5.10 3.80 9.80 3.27 24.00 1.90 0.10 0.20 2.20 0.73 Total 31.30 39.40 34.20 104.90

Rataan 5.22 6.57 5.70 5.83

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 5.61 2.81 0.46 tn 4.10

Dosis 5 181.10 36.22 5.98 * 3.33

Error 10 60.58 6.06 Total 17 247.30

(74)
(75)

Lampiran 34. Data jumlah Bobot kering pada ekotip SEC 3

Dosis Ulangan Total Rataan

I II III

0.00 20.30 16.40 19.30 56.00 18.67 1.50 8.80 24.60 9.50 42.90 14.30 3.00 12.00 11.10 9.80 32.90 10.97 6.00 11.30 13.80 10.00 35.10 11.70 12.00 9.00 8.60 9.90 27.50 9.17 24.00 3.80 1.60 1.40 6.80 2.27 Total 65.20 76.10 59.90 201.20

Rataan 10.87 12.68 9.98 11.18

Tabel sidik Ragam

Sumber db JK KT Fhit F05

Blok 2 22.74 11.37 0.71 tn 4.10

Dosis 5 448.80 89.76 5.64 * 3.33 Error 10 159.19 15.92

Total 17 630.73

(76)
(77)
(78)
(79)
(80)

Lampiran Foto

(81)
(82)

Foto SEC 1. BINJAI

(83)

FOTO SEC3 : SUNGGAL

(84)

FOTO SEC5 : PEMATANG SIANTAR

(85)

Gambar

Tabel 2. Rataan jajagoan (E. crusgalli) yang bertahan hidup terhadap pemberian herbisida metil metsulfuron
Gambar 3. Grafik jajagoan yang bertahan hidup 6 MSA pada tiap ekotip.
Tabel rataan menunjukkan bahwa perlakuan herbisida metil metsulfuron berpengaruh nyata terhadap jumlah  anakan gulma
Gambar 4. Grafik jumlah anakan jajagoan tiap ekotip pada 3 MSA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan sempurna tentang harga dan kualitas antara penjual dan pembeli Dalam pasar persaingan sempurna, pembeli sepenuhnya akan melihat harga dan kualitas yang

Antusias mitra mengikuti kegiatan sehingga adanya pemahaman dan keterampilan masyarakat mitra dalam mengolah limbah potongan kayu menjadi produk berkualitas

karena itu, dari hasil perbandingan tersebut dapat kita peroleh bahwa metode perankingan yang diusulkan yaitu new ranking function lebih baik dalam melakukan

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan jarak tanam dengan perlakuan ratoon terhadap semua parameter pertumbuhan dan hasil dari sorgum

First research paper entitled “INEQUALITY OF EDUCATION FOR GIRLS REFLECTED IN MALALA YOUSAFZAI & CHRISTINA LAMB’S I AM MALALA (2013) MEMOIR: A FEMINIST APPROACH” by Putri

Semen Padang.Tujuan dari penelitian ini adalah merancangusulan indikator yang akan digunakan dalam evaluasi dan pemilihan pemasok untuk ditetapkan sebagai bidder

p. Guru menutup pelajaran dengan berdoa. Menerapkan metode Cooperative Script pada pembelajaran IPA materi perubahan pada makhluk hidup, diharapkan siswa dapat

Tim Penyusun mendata dan memilah rencana program dan kegiatan pembangunan kabupaten/kota yang akan masuk ke desa dengan cara mengelompokkan menjadi bidang penyelenggaraan