DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Chamim, Asyakuri, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta : Diktilitbang
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1999.
Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2006.
Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti,
2001.
G. Longenecker, Justin, Kewirausahaan Manajemen Usaha Kecil, Jakarta :
Salemba Empat, 2000.
Hadinoto, Soetanto, Micro Credit Challence, Cara Efektif Mengatasi Kemiskinan
dan Pengangguran di Indonesia, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo,
2006.
Hadiwidjadja dan Rivai Wirasasmita, Analisa Kredit, Bandung : CV Pionir Jaya,
1990.
Hasnanuddin, Rahman, Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi Bank,
Surabaya : Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, 1997.
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
M.Fadhil, Hasan, Pemihakan Pemerintah Dalam Mendukung Pembiayaan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Jakarta :
Bappenas, 2008.
Nurdin, Ali, Membangun Bank UMKM, Jakarta : IRPA, 2007.
Pramono, M, Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah dan Koperasi, Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
R, Hadiz, Vedi, Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2007.
R, Tjiptoadinugroho, Perbankan Masalah Perkreditan, Jakarta : Pradnya
Paramita, 1994.
Subanar, Harimurti, Manajemen Usaha Kecil, Yogyakarta : BPFE, 2001.
Sutarno, Aspek – Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung : Alfabeta,
2003.
Suyatno, Thomas, Dasar – Dasar Perkreditan Edisi Keempat, Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1991.
Tambunan, Tulus, UMKM di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009.
Tohar, M, Membuka Usaha Kecil, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999.
Usman, Rachmadi, Aspek – Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Warman, Djohan, Kredit Bank, Alternatif Pembiayaan dan Pengajuannya, Jakarta
: Mutiara Sumer Wijaya, 2000.
Widiyono, Try, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di
Widjanarto, Hukum & Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta : Grafiti, 2006.
Widyaningrum, Nurul, Pola-Pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil, Bandung :
Yayasan Akatiga, 2003.
Yasabari, Nasroen dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit, Bandung : PT
Alumni, 2007.
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
Undang–Undang Nomor 25 tahun 1992.
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah.
Surat Keputusan No.5 Kep S.94-DIR/ADK/12/2005 Tentang Restrukturisasi
Kredit.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
3. Makalah, Jurnal dan karya Ilmiah
Wibowo, Sigit, Penyelesaian Kredit Bermasalah Sesuai PP No. 33 Tahun 2006,
Makalah DepKeu Jakarta, Juni 2008.
Perry Warjiyo, Untoro, Default Risk dan Penjaminan KUKM, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Maret 2008.
4.Internet
Abdullah Abidin, Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sebagai
Kekuatan Strategis Dalam Mempercepat Pembangunan Daerah,
kecil-dan.html, diakses tanggal 11 November 2010.
Adhitya Wijaya, Kontribusi Koperasi Terhadap Usaha Mikro, Kecil,
Menengah,
Aswandi.S, Kiprah UMKM di Tengah Krisis Ekonomi,
http://usaha-umkm.blog.com/2009/06/t
Juli 2010
Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Lembaga
Penjaminan Kredit UMKM,
Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), mengatasi kredit
bermasalah,
tanggal 5 Oktober 2010
Kendala– Kendala UMKM,
Oktober 2010
Resta Febri,
BAB III
KENDALA-KENDALA DALAM PEMBERDAYAAN KREDIT USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
A. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Pada Sektor UMKM
Bank Indonesia sebagai alat perekonomian dari pemerintah bertugas
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan
kerja dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam hal ini,
pembinaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah senantiasa
menjadi salah satu tugas Bank Indonesia yang pelaksanaannya diwujudkan dalam
kebijakan moneter.
Bukti peran pemerintah saat itu adalah dengan meluncurkan program
pemberdayaan ekonomi masyarakat dari tahun 1975-1990 melalui kredit Usaha
Kecil dengan jenis KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja
Permanen), KIK (Kredit Investasi Kecil). Proyek ini dinilai gagal karena program
tersebut dinilai salah sasaran yang justru berdampak pada munculnya inflasi,
sehingga pada akhirnya dihapuskan karena berpengaruh pada memburuknya
kondisi ekonomi makro.65
65
Harimurti Subanar, Manajemen Usaha Kecil, (Yogyakarta : BPFE, 2001), hal. 119.
Oleh karena itu, untuk lebih mengoptimalkan peran
sektor UMKM dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maka perlu adanya
upaya khusus melalui peran pada mekanisme pengembangan sektor UMKM agar
lebih berkembang melalui peran pemerintah dan perbankan dalam pendanaan
kredit investasi, konsumsi maupun peluang ekspor terhadap produk UMKM
kerjanya dalam pengembangan UMKM. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan dan
pengembangan industri/usaha kecil oleh pemerintah melalui konsep:66 1. Sistem keterkaitan bapak angkat mitra usaha.
2. Penjualan saham perusahaan besar yang sehat kepada koperasi.
3. Mewajibkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana
pembinaan sebesar 1-5% dari keuntungan bersih.
4. Menugaskan lembaga perbankan mengalokasikan dana kredit untuk Usaha
Kecil dan koperasi sebanyak 20% dari fortopolio kredit yang disalurkan.
5. Persediaan Kredit Likuiditas dari Bank Indonesia ke bank-bank untuk
membiayai sebagian besar dari kebutuhan dana kredit untuk anggota koperasi
primer.
Secara konkret, kebijakan bagi perbankan mengalami sedikit perubahan.
Beberapa paket kebijakan kredit dengan adanya peraturan Bank Indonesia No.
9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum merupakan upaya
Bank Indonesia dalam percepatan fungsi intermediasi perbankan untuk
penyaluran kredit dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko bank.67
66 Ibid.
Kecenderungan kreditor bersikap hati-hati karena didasari pada itikad baik
dalam pengucuran kredit untuk masyarakat dan berujung pada kondisi yang
menyulitkan pihak perbankan sebagai pemberi kredit. Masih lemahnya aturan
hukum dalam lingkup hukum perbankan karena masih memegang prinsip lama
yang tidak mengikuti perkembangan sosial yuridis dan perkembangan sosial
Bank Indonesia berperan penting dalam memberikan arah kebijakan bagi
perbankan untuk mau membuka akses kredit sektor UMKM. Untuk itulah, Bank
Indonesia telah mengeluarkan ketentuan baru agar mendorong intermediasi
perbankan pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta untuk
mendorong penguatan manajemen risiko perbankan sebagai implementasi dari
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, dilakukan beberapa perubahan terhadap
pengaturan penilaian kualitas aktiva bank umum dalam rangka memfasilitasi
percepatan pembiayaan, yang tetap memperhatikan faktor penerapan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko pada bank. Hal ini terkait dengan upaya
rangsangan terhadap perbankan agar menyalurkan dana bank dalam bentuk kredit,
khususnya kepada sektor UMKM. Kebijakan ini dimaksudkan agar mengurangi
penyaluran dana bank ke aktiva yang terjadi selama ini, dimana bank lebih banyak
menyimpan dana seperti dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Untuk itu,
Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan dengan menurunkan bobot Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk beberapa jenis aktiva produktif.
Risiko kredit dalam aktiva produktif bank adalah alokasi dana bank yang
ditempatkan pada pihak lawan transaksi atau peminjam atau debitur dimana
peminjam berkewajiban untuk mengembalikannya kembali pada waktu yang telah
disepakati.68 Pengembalian dana dari peminjam adalah berupa pokok pinjaman dan bunga atau bentuk hasil investasi lain. Aktiva produktif bank terdiri dari tiga
kelompok yaitu:69
68
Ibid, hal. 80. 69
1. Cadangan sekunder (secondary reserves) berupa penempatan dana bank
pada lembaga keuangan lainnya. Penempatan berupa pembelian surat
berharga. Jangka waktu di bawah satu tahun.
2. Kredit berupa penempatan bank pada nasabah peminjam atau debitur.
3. Investasi berupa penempatan bank pada perusahaan lain berupa penyertaan
modal. Hasil yang diperoleh berupa deviden dan selisih nilai saham. Jangka
waktu biasanya di atas satu tahun.
Melihat perkembangan saat ini, pemerintah bersama Bank BUMN
sedang menggalakkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada masyarakat
menengah ke bawah dengan pola penjaminan dari perusahaan milik pemerintah
maupun swasta. Dalam aturan KUR yang baru ini, Bank Indonesia mengaitkan
bobot risiko dengan perusahaan yang memberikan jaminan antara 20% s.d. 75%,
tergantung kepada peringkat dari perusahaan penjamin tersebut. Bank Indonesia
sendiri mempunyai penilaian tersendiri bagi lembaga jaminan kredit yang
didasarkan pada penilaian (eligibility criteria) yakni, indepedensi, objektivitas,
keterbukaan, pengungkapan publik dan kredibilitas.70
70
Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Lembaga Penjaminan Kredit UMKM,
Di saat kondisi perekonomian makro Indonesia yang saat ini masih belum
stabil, perbankan harus lebih bersikap hati-hati dalam membidik sasaran
segmentasi kreditnya. Dari trend selama empat tahun terakhir berdasarkan pada
tahun 2004 s.d 2007, terdapat kecenderungan penurunan terhadap realisasi kredit
UMKM.
Perkembangan kredit sektor UMKM setiap tahunnya cenderung stagnasi.
Jumlah nominalnya terlihat masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan total
pangsa kredit yang diberikan bank. Terlihat bahwa pemberian kredit UMKM
masih belum serius untuk ditangani oleh bank yang berarti bahwa masih banyak
UMKM yang belum dapat mengakses kredit perbankan. Kecenderungan kredit
secara agregrat terhadap total realisasi kredit yang sedikit meningkat, diikuti pula
oleh peningkatan terhadap risiko kredit bermasalah perbankan yang meningkat
juga. Hal ini yang justru membuat perbankan kurang serius dalam memberikan
kredit pada sektor UMKM.71
B. Kendala-kendala Dalam Pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Dari informasi sektor perbankan, ditemukan beberapa permasalahan utama
dalam penyaluran kredit UMKM selama ini. Walaupun sejak 10 tahun yang lalu
Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit untuk UMKM, yakni
kredit dengan batas maksimum di bawah Rp 5 milyar, minimum 20% dari total
kredit, dalam kenyataannya porsi 20% itu tidak selalu tercapai setiap tahun,
walaupun jumlah kredit yang tersalurkan ke UMKM cenderung meningkat terus.
Keterbatasan menyediakan jaminan merupakan salah satu kendala UMKM di
Indonesia. Masih terdapat beberapa kendala mendasar yang dihadapi seperti
tingginya tingkat suku bunga kredit dari bank. Sebagai contoh, program KUR
tingkat suku bunga dari 14% hingga 24%. Bandingkan dengan tingkat suku bunga
di beberapa negara Asean, paling tinggi 6%. Apalagi bila dibandingkan dengan
CHINA suku bunga hanya 5%. Kemenkop dan UKM menghimbau agar bank
menurunkan tingkat suku KUR sebesar 2%, berarti ditargetkan 12% dan hal
tersebut diperkirakan masih tinggi. Dengan tingginya tingkat suku bunga maka
beban biaya yang dipikul oleh UMKM semakin tinggi, dan harga jual pun
semakin tinggi.72
Menurut beberapa pendapat, agar program KUR dapat diakses luas oleh
pelaku UMKM, suku bunga kepada UMKM cukup 6% saja, seperti program
kredit lainnya. Pelaku UMKM hanya membayar bunga 6% dan sisanya disubsidi
oleh pemerintah untuk dibayarkan kepada bank pelaksana.73
Secara umum persoalan atau kendala-kendala UMKM disebabkan oleh:74
1. kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia yang dapat diakses oleh
UMKM.
2. tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UMKM.
3. biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup
rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang diberikan
kecil.
4. kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan
bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai.
5. bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi.
72
Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU). Kendala – Kendala UMKM
6. banyak UMKM yang belum bankable, baik disebabkan karena belum adanya
manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan
manajerial dan finansial.75
Sementara itu dari segi non finansial dapat disebabkan oleh:76
1. kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang
disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan
teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan.
2. kurangnya pengetahuan pemasaran yang disebabkan oleh terbatasnya
informasi yang dapat dijangkau oleh UMKM mengenai pasar dan karena
keterbatasan kemampuan UMKM untuk penyediaan akan produk/jasa yang
sesuai dengan keinginan pasar.
3. keterbatasan sumber daya manusia (SDM).
Presiden Direktur Pusat Pengembangan UMKM Kamar Dagang Indonesia,
Ida Bagus Putu Sarga mengelompokkan persoalan UMKM tidak dapat
berkembang karena:
1. Menyangkut kekurangan modal sebagai kendala sektor UMKM untuk maju.
Terdapat beberapa faktor yang mendasar yang menyebabkan kurangnya daya
serap UMKM terhadap ketersediaan kredit lunak yang disiapkan oleh
perbankan, antara lain tidak tersedianya dana untuk pemenuhan persyaratan
pengajuan kredit ke perbankan. Selain itu minimnya pengetahuan dalam
penulisan proposal bisnis yang juga menghambat penyerapan kredit lunak
yang disediakan oleh perbankan. Pengusaha masih sulit untuk mendapatkan
modal kerja karena tidak memiliki agunan yang cukup.
75
Aswandi S, Kiprah UMKM di Tengah Krisis Ekonomi Diakses tanggal 12 September 2010.
2. Metode produksi yang masih tradisional dianggap melemahkan sektor UMKM
untuk bersaing memasuki AFTA dan APEC. Sektor UMKM akan menghadapi
tantangan yang semakin besar apabila tidak mencari jalan keluar terhadap
persoalan produksi. Terlebih lagi hampir sebagian besar UMKM tidak
memiliki sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk bisa mengakses pasar
internasional. Umumnya UMKM bergantung pada perusahaan trading yang
sekaligus berfungsi sebagai pedagang pengumpul dan meraup laba
sebanyak-banyaknya dari selisih harga. Belum lagi lemahnya dasar hukum UMKM di
Indonesia.
Dari fenomena ini ditunjukkan bahwa perlunya kajian secara
komprehensif terhadap penyebab stagnasinya daya serap sektor riil dalam
pelayanan kredit. Di samping itu, salah satu aspek lain dari segi perbankan yang
menjadi perhatian adalah pengaruh kepastian hukum yang lebih dari sekedar
penegakan hukum yang membuat pelaku sektor riil dan perbankan harus lebih
berhati-hati sebagai dampak dari pemberantasan illegal transaction. Hal ini
berdampak pada kekhawatiran perbankan untuk mengantisipasi jika terjadi kredit
macet, khususnya kredit Usaha Mikro dan Kecil yang notabene dilaksanakan
tanpa didukung oleh adanya agunan yang cukup sebagai jaminan kredit. Kurang
jelasnya fungsi hukum sebagai landasan kerja bagi banker dalam mengatasi kredit
macet di kemudian hari.77
Di samping itu, timbulnya permasalahan kredit UMKM selama ini perlu di
inventarisasi sebagai masalah kredit macet UMKM, untuk dapat diberikan solusi
ditunjukkan bahwa terdapat hal pokok yang belum tercipta secara ideal. Paket
kebijakan pemerintah yang dituang di dalam Peraturan Bank Indonesia sebagai
fasilitator ternyata belum mampu meyakinkan perbankan untuk lebih pro dalam
realiasi kredit sektor UMKM. Turunnya BI rate untuk merangsang banker yang
lebih memihak pada pelaku UMKM, ternyata belum mampu direalisasikan secara
optimal. Di samping itu, sulitnya pelaku UMKM untuk menembus akses
permohonan kredit pada bank juga sangat sulit karena terbentur dengan
banyaknya ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi pelaku UMKM. Dalam masa
perkembangannya, memang sektor UMKM ini keberadaannya perlu mendapat
perhatian khusus. Pola kemitraan dalam pembinaan usaha UMKM yang telah ada,
perlu untuk dikembangkan sebagai bentuk konkret dan jaminan bagi perbankan
dalam membantu pengembangan sektor UMKM.78
Kelemahan dalam pengelolaan Usaha Kecil berkaitan dengan faktor
ekstern dan intern yakni meliputi:79
a. Tidak mengetahui secara tepat kebutuhan modal kerja karena tidak memiliki
perencanaan kas yang baik.
b. Sering terjadi kesalahan manajemen dan ketidakpedulian pengelolaan terhadap
prinsip-prinsip manajerial.
c. Sumber modal yang terbatas pada kemampuan pemilik.
d. Tidak memiliki program pengendalian dalam memulai usaha.
e. Tidak pernah memiliki studi kelayakan, penelitian pasar dan analisis
perputaran uang.
78
Ibid, hal 239. 79
BAB IV
PELAKSANAAN PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
A. Ruang Lingkup Penyelesaian Kredit Bermasalah
Pada dasarnya setiap bank tidak terlepas dari munculnya peluang kredit
bermasalah. Membahas mengenai kredit bermasalah, maka secara langsung bank
dapat dikaitkan dengan adanya risiko yang terkandung di dalam setiap pemberian
kredit tersebut. Kredit bermasalah merupakan salah satu penyebab kesulitan bank
menyangkut tingkat kesehatan bank, sehingga sedini mungkin bank harus dapat
mengantisipasi akan timbulnya risiko kredit bermasalah. Secara umum, kredit
bermasalah disebabkan oleh dua hal, yaitu:80
1. Dari pihak perbankan, yakni masalah yang disebabkan oleh ketidaktelitian
analisis terhadap kemampuan calon debitur, sehingga munculnya faktor kredit
bermasalah tidak dapat diprediksi sebelumnya. Di samping itu, hal ini dapat
pula terjadi karena adanya kolusi pihak analisis dengan debitur sehingga
proses analisis yang dilakukan tidak objektif.
2. Dari pihak nasabah yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
a. Adanya unsur kesengajaan debitur yang tidak mau memenuhi kewajibannya
kepada bank untuk membayar utang sehingga muncul kredit macet.
b. Adanya unsur tidak sengaja yang disebabkan debitur yang tidak mampu
memenuhi kewajibannya akibat faktor eksternal seperti musibah (force
Pada dasarnya, munculnya kegagalan di dalam pengembalian kredit
disebabkan oleh faktor ekstern dan intern bank itu sendiri. faktor-faktor tersebut
antara lain:81 1. Self Dealing
Yakni dikarenakan pejabat bank dalam melakukan penilaian kredit yang
tidak objektif, sehingga data yang diajukan tidak valid dengan tingkat objektifitas
yang rendah.
2. Anxiety for income
Kredit dianggap sebagai pendapatan oleh debitur dan bahkan dianggap
sebagai pendapatan yang harus dicari sebanyak-banyaknya. Jika anggapan debitur
yang semacam ini ada dan mengabaikan kemampuan membayar (repayment
capacity), maka kegagalan kredit akan semakin besar.
3. Compromise of Credit Principles
Yakni hal yang disebabkan oleh petugas bank yang menerima/melewati
batas toleransi penyimpangan prinsip perkreditan. Hal ini tentu akan memperbesar
ruang kompromi dalam bentuk risiko sehingga sangat berbahaya di kemudian
hari.
4. Non Existance of Sounds Lending Policies
Penilaian kredit yang tidak didasarkan pada kebijakan kredit yang sehat,
seperti adanya tingkat kejenuhan profil produk nasabah sehingga pengembalian
kredit tersendat.
5. Incomplete Credit Information
81
Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan debitur seharusnya
didasarkan pada prinsip 5 C’s analisis. Apabila keputusan yang diambil
berdasarkan data yang tidak lengkap, maka hal ini akan semakin membuka
peluang munculnya kredit bermasalah di kemudian hari.
6. Failfure Obtain Enforce Liquidation Agreement
Kegagalan dalam mendapatkan pelunasan kredit pada saat likuidasi juga
merupakan kegagalan dalam persetujuan pemberian kredit. Hal tersebut terjadi
karena kurang muatnya pengikatan barang jaminan yang diserahkan karena
kurang memenuhi bukti kepemilikan dan kualitas jaminan itu sendiri.
7. Complacency
Membuat sesuatu menjadi mudah dalam analisis permohonan juga
merupakan kegagalan dalam pemberian dan pengembalian fasilitas kredit.
8. Lack of Supervising
Kurangnya pengawasan juga merupakan penyebab kegagalan. Pengawasan
pada waktu menganalisis, pencairan kredit dan pada waktu berjalannya kredit
sehingga sedapat mungkin dapat diketahui gejala awal apabila suatu permasalahan
itu muncul untuk kemudian secara dini dapat dicarikan terapi pemecahannya.
9. Technical Incompetence
Dilihat dari kemampuan teknis analisis dan pengurus bank dan apabila
mereka tidak mempunyai kemampuan sebagaimana yang diisyaratkan, maka akan
menyebabkan kegagalan dalam pemberian kredit.
10. Poor Selection of risk
Seluruh kemungkinan risiko kredit yang muncul harus dianalisis agar
11.Over Lending
Yakni sejumlah kredit yang diberikan melebihi jumlah yang dibutuhkan
debitur, sehingga membuka peluang penggunaan kredit untuk tujuan lainnya.
Apabila kredit digunakan untuk tujuan yang tidak direncanakan sebelumnya,
maka akan muncul risiko kredit baru yang dapat menyebabkan kegagalan
pemberian dan pengembalian kredit.
12. Competition
Berkaitan dengan persaingan antara bank dimana masing-masing bank
berlomba untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan mudah kepada calon
debitur. Apabila dalam persaingan itu hal-hal prinsip persetujuan pemberian kredit
dan pengelolaannya terabaikan, maka bank akan berhadapan dengan risiko
kegagalan dalam pemberian kredit.
Penyelesaian kredit bermasalah merupakan upaya bank dalam pengawasan
kinerja perusahaan debitur. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah debitur tidak
sanggup lagi dalam memenuhi kewajibannya. Indikasi tersebut dapat dilihat dari
usaha debitur yang mulai memburuk sehingga berpotensi menjadikan debitur
tidak mampu lagi untuk membayar kewajiban yang telah disepakati.
Adapun identifikasi awal terhadap munculnya kredit bermasalah yang
harus diperhatikan oleh perbankan adalah:82
1. Bahwa perbankan tidak boleh membiarkan atau menutup-nutupi adanya kredit
bermasalah.
2. Bank harus mendeteksi sedini mungkin atas indikasi kredit bermasalah.
82
3. Bank tidak boleh melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara
menambah plafond kredit.
4. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit
bermasalah untuk semua debitur baik pelaku usaha besar ataupun kecil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas kredit
ditetapkan menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja
(performance) debitur, dan kemampuan membayar. Dengan adanya ketiga faktor
penilaian faktor tersebut, maka kualitas kredit dibagi menjadi:
1. Lancar (L), adalah pinjaman kredit dengan tingkat pembayaran tepat pada
waktunya dan tidak ada tunggakan pokok dan bunga.
2. Dalam Perhatian Khusus (DPK) adalah pinjaman kredit yang terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari.
3. Kurang lancar (KL), adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan
pembayaran pokok dan/atau bunga yang melampaui hari ke 91 sampai dengan
hari ke 150.
4. Diragukan (D), adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran
pokok dan/atau bunga yang melampaui hari ke 151 sampai dengan 180.
5. Macet (M), adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui hari ke 180 sampai dengan 360.
Angka non performing loan (NPL) yang cenderung meningkat merupakan
tantangan utama yang menjadi perhatian perbankan. Secara umum, faktor NPL ini
akan melakukan pengurangan terhadap ekspansi kredit dan juga meningkatkan
biaya operasi moneter. Di samping itu, pengaruh peningkatan NPL ini juga akan
mempengaruhi kinerja perbankan dalam pengambilan keputusan kreditnya karena
akan berdampak pada status well performing bank itu sendiri. Hal ini yang
menjadi kendala bagi ekspansi kredit, khususnya bank-bank BUMN yang
notabene memiliki kegamangan dalam penyelesaian persepsi kredit bermasalah.83 Berbeda dengan bank swasta yang memiliki hak langsung dalam
mengatasi kredit bermasalahnya, bank umum sedikit terkendala akibat mekanisme
penyelesaian kredit macet yang belum jelas. Bank-bank swasta dapat segera
bersih dari NPL hanya melalui korporasi, sedangkan bank BUMN perlu melalui
mata rantai yang panjang, karena harus melalui Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN). Dengan dasar itu, melihat perkembangan isu kredit pada bank BUMN
saat ini yang dinilai sangat mengkhawatirkan, maka pemerintah pada 16 Oktober
2006 melalui Departemen Keuangan telah mengumumkan peraturan pelaksanaan
penyelesaian non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah bank BUMN
yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (selanjutnya disebut dengan
PMK) No. 87/PMK.07/2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah. PMK ini merupakan kelanjutan dari penertiban Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 2006 sebagai pengganti PP Nomor 14 tahun 2005
tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Secara umum, inti dari
kedua aturan baru ini adalah penegasan kepada bank BUMN yang saat ini telah
diberikan kewenangan utuh dalam mencarikan solusi pemecahan masalah kredit
83
macet secara independen tanpa terikat oleh pengaruh faktor lain. Melalui
ketentuan ini akan diberikan kemudahan bagi bank BUMN dalam menangani
kredit bermasalah yang akan dihapusbukukan dan tidak perlu diserahkan kepada
Ditjen Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan.84
Dengan kebaikan ini, tentu saja memberikan gambaran bahwa bank
BUMN telah memiliki kesamaan dengan bank swasta dan kewenangan untuk
memberikan keringanan kepada debitur bermasalah. Keringanan kredit yang
dimaksud bagi debitur yang kerap disebut juga dengan hair cut merupakan
langkah yang biasa dilakukan oleh bank di seluruh dunia, terutama dalam
penyelesaian kredit bermasalahnya. Pola restrukturisasi dengan metode
keringanan ini merupakan satu bagian dari berbagai cara restrukturisasi dalam
rangka penyelesaian NPL. Beberapa metode yang juga kerap digunakan dalam
restrukturisasi NPL adalah rescheduling dan reconditioning utang85
84 Ibid.
. Namun
dalam implementasi di lapangan terhadap kebijakan PMK No. 87/PMK.07/2006
dan PP No. 33 Tahun 2006 ini, bagi banker memunculkan pertanyaan baru.
Keberadaan PP No. 33/2006 dan PMK No. 87/2006 pada kenyataannya masih
menimbulkan praduga dan multi interpretasi yang berbeda antara bank dengan
lembaga hukum yang ada. Keberatan terjadi apabila aturan baru ini akan dijadikan
topeng bagi para debitur bermasalah untuk sekedar mendapatkan keringanan dari
bank. Hal ini menjadi isu sentral mengingat bahwa posisi BUMN secara luas juga
tidak dapat dilepaskan dari konteks politik, dimana hal yang dikhawatirkan bahwa
menunggak untuk mengurangi kewajiban bunga utang sehingga nilai dari prinsip
kehati-hatian dan tata kelola yang baik tidak diindahkan.86
Keluar pernyataan bahwa adanya aturan ini tidak menghilangkan delik
korupsi bagi para debitur bermasalah maupun banker yang memberikan
keringanan. Pernyataan ini tentu telah membawa kegamangan di kalangan banker
bank BUMN. Satu hal yang perlu dimengerti, dengan keluarnya PP No. 33/2006
ini merupakan penegasan bahwa piutang BUMN saat ini bukan bagian dari
piutang negara. Ketakutan tersebut bagi perbankan adalah munculnya persepsi
bahwa kredit macet yang timbul di bank BUMN selama ini dianggap sebagai
suatu tindakan pidana, padahal semua kredit selalu mengandung potensi kredit
macet, sehingga kewenangan dalam haircut tersebut dibayangi oleh munculnya
perkara di kemudian hari.87
Satu hal yang harus dipegang, bank BUMN juga tidak akan begitu saja
memberikan keringanan kredit bermasalah kepada para debitur macetnya. Dengan
demikian diharapkan adanya keharusan yang tegas untuk dapat membedakan
antara debitur yang dapat diberikan keringanan dengan yang tidak. Untuk
mengantisipasi penyelewengan ketentuan dalam hair cut, pemerintah dalam hal
ini telah menyampaikan bahwa untuk menjamin asas good coorporate
governance. Dalam pelaksanaan PP No. 33/2006 dan PMK No. 87/2006, BUMN
akan membentuk Oversight Committee (OC) yang tugas utamanya adalah untuk
mengawasi agar penyelesaian NPL benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tata
kelola yang baik. Tentunya keberadaan OC ini akan semakin memperkuat upaya
penyelesaian NPL di Bank BUMN. Hanya saja keberadaan OC harus benar-benar
86
Rachmadi Usman. Op.cit, hal 251. 87
diatur mekanismenya agar tidak menjadi perpanjangan birokrasi penyelesaian
NPL yang pada gilirannya akan menyebabkan hilangnya hakikat kesetaraan
penyelesaian NPL dengan bank swasta.
Dalam ketentuan mengenai penyelesaian kredit bermasalah tersebut
hendaknya diatur di dalam suatu Standard Operating Procedures (SOP) yang
meliputi:88
1. Accountability
Yakni tolak ukur yang jelas, yang akan dijadikan acuan dalam mengukur
kinerja penyelesaian piutang.
2. Transparancy
Yakni prinsip keterbukaan yang dilakukan dalam penyelesaian piutang.
3. Responsibility
Yakni memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penyelesaian
piutang.
4. Fairness
Yakni perlakuan yang adil.
Pemerintah memang mau tidak mau harus benar-benar percaya kepada tim
manajemen yang telah ditunjuk apabila penunjukkannya telah mengacu pada asas
profesionalisme dan integritas. Sejumlah langkah pemerintah di atas pada
gilirannya akan mempercepat penyelesaian NPL bank BUMN sehingga akan
mengoptimalkan fungsi intermediasi bank BUMN yang akan memberikan efek
pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian Indonesia. Jika kondisi ideal ini
88
dapat terwujud, maka akan berdampak pada kemudahan sektor UMKM untuk
mengakses permodalan dalam upaya menggerakkan sektor riil.
Secara umum, penyebab terjadinya kredit bermasalah yang menjadi NPL
bank, disebabkan oleh kondisi faktor ekonomi makro yang memburuk. Tingkat
inflasi yang tinggi berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun, sehingga
arus perputaran uang di masyarakat sedikit terganggu. Hal ini tentu saja
berimplikasi terhadap pendapatan dan kemampuan debitur dalam hal
menyelesaikan kewajiban kreditnya ke bank.
Melihat perkembangan kondisi ini, Bank Indonesia kemudian
mengeluarkan Peraturan terkait Kualitas Aktiva bank umum yang tertuang dalam
PBI Nomor 7/2/2005 yang secara khusus mengatur tentang NPL perbankan.
Dalam upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalahnya, maka salah
satu langkah yang ditempuh dan telah disepakati untuk diterapkan adalah melalui
proses restrukturisasi kredit. Dalam Keppres RI Nomor 56 Tahun 2002 tentang
Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah disebutkan bahwa:
Pasal 2 ayat (1): Restrukturisasi kredit usaha kecil dan menengah diberikan
kepada perorangan atau badan usaha yang dikategorikan sebagai usaha kecil dan
menengah yang mempunyai total kredit per tanggal 31 Desember 1997 dan/atau
sisa utang pokok sampai dengan Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) per
debitur pada bank dan/atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Restrukturisasi kredit pada dasarnya dilakukan sebagai upaya perbaikan
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Adapun jenis-jenis dari
restrukturisasi kredit adalah:89 1.Perubahan tingkat suku bunga
Perubahan tingkat suku bunga adalah perubahan/penurunan suku bunga
menjadi lebih kecil dari sebelumnya untuk penggunaan suku bunga setelah
restrukturisasi.
2.Pengurangan tunggakan bunga dan/atau denda
Pemberian keringanan tunggakan bunga dan/atau dengan maksimum hanya
sebatas tunggakan bunga dan/atau denda yang belum dibayar. Pengurangan bunga
tidak dapat dilakukan pada kredit yang direstrukturisasi dengan kategori Lancar
(L), Dalam Perhatian Khusus (DPK), dan Kurang Lancar (KL), namun untuk
kredit yang telah masuk Diragukan (D) dan Macet (M) memungkinkan untuk
dilakukan pengurangan atas tunggakan bunga yang sesuai dengan kemampuan
debitur.
3.Pengurangan tunggakan pokok kredit.
Berpedoman pada anggaran dasar bank. Ketentuan ini mensyaratkan dalam
rangka restrukturisasi kredit yang mengatur tentang penghapusan secara mutlak
(hapus tagih).
4.Perpanjangan jangka waktu kredit/penjadwalan kembali.
Perpanjangan jangka waktu kredit, disesuaikan dengan kemampuan debitur atau
untuk kredit konsumtif disesuaikan dengan repayment capacity debitur tersebut.
Penambahan fasilitas kredit/suplesi kredit.
Penambahan fasilitas kredit adalah pemberian tambahan fasilitas kredit baik
direct maupun contingent, agar usaha debitur dapat beroperasi kembali sehingga
dapat memenuhi kewajibannya kepada bank. Penambahan fasilitas kredit tidak
diperkenankan untuk melunasi tunggakan pokok dan/atau bunga/denda dan
ditatakerjakan dalam rekening terpisah. Penambahan fasilitas kredit/suplesi kredit
dalam rangka restrukturisasi kredit harus didukung dengan agunan yang cukup.
6.Pengambilan asset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Pengertian asset debitur disini meliputi asset debitur baik yang dijaminkan
maupun tidak dijaminkan atau yang dijaminkan kepada pihak ketiga. Pengelolaan
dan/atau pengambilalihan asset debitur tersebut merupakan tindakan dalam rangka
penyelamatan kredit secara aktif maupun pasif (pengawasan).
7.Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara bank pada perusahaan
debitur yang merupakan perubahan objek perjanjian. Konversi kredit menjadi
penyertaan modal sementara hanya dapat dilakukan untuk kredit yang memiliki
kualitas kredit Kurang Lancar (KL). Diragukan (D), dan macet (M).
8.Pembayaran sejumlah kewajiban bunga yang dilakukan kemudian (deferred
interest payment/interest ballon payment), yakni bentuk restrukturisasi kredit
yang dilakukan bank untuk menyehatkan usaha debitur dengan cara
menangguhkan sementara sebagian atau seluruh beban bunga yang seharusnya
dibayar kembali oleh debitur di kemudian hari sesuai dengan jadwal pembayaran
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk bunga yang ditangguhkan
a. Tingkat suku bunga yang dibebankan kepada debitur harus didukung atas
dasar kemampuan keuangan usaha debitur, setelah terlebih dahulu banker
melakukan analisis cash flow usaha debitur.
b. Selisih antara tingkat suku bunga yang dibebankan kepada debitur tersebut
di atas dengan tingkat suku bunga yang seharusnya dibayar, merupakan bunga
yang ditangguhkan dan dapat diangsur.
c. Tingkat suku bunga dapat direview secara periodik dan disesuaikan dengan
cash flow usaha debitur.
d. Dalam jangka kredit, apabila terjadi perubahan suku bunga kredit, maka
yang diubah adalah tingkat suku bunga yang ditangguhkan.
9. Penjualan agunan
Merupakan penjualan asset atau agunan debitur yang dilakukan di bawah
tangan, yang diserahkan kepada bank dalam rangka penyelamatan. Hal ini
bertujuan untuk mempercepat proses penjualan/pencairan asset debitur dengan
prioritas penggunaan untuk mengurangi pokok pinjaman dan piutang ekstern. Di
samping itu, upaya ini dimaksudkan untuk memperoleh harga jual yang optimal
dengan alternatif cara pembayaran terbaik yang dapat diterima oleh bank. Dalam
hal restrukturisasi kredit berupa penjualan agunan secara di bawah tangan
berdasarkan kesepakatan antara para pihak (bank, debitur, dan calon pembeli),
maka agunan yang akan dijual secara dibawah tangan tersebut telah diikat dengan
hak tanggungan. Sebelum dilakukan penjualan, maka harus mengikuti ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, seperti
terlebih dahulu diumumkan dalam media cetak atau elektronik yang jangkauannya
Kombinasi dari berbagai alternatif tersebut di atas merupakan kombinasi
dari berbagai alternatif restrukturisasi dari point 1 s.d 9 yang dimungkinkan
berlaku satu atau dua saja.
Tujuan dari restrukturisasi kredit tersebut adalah agar debitur dapat
memenuhi kewajibannya kepada bank, sehingga diharapkan posisi dan
kepentingan bank lebih baik dan aman sehingga usaha debitur dapat lancar
kembali dan mampu memperbaiki struktur permodalan debitur itu sendiri. Adapun
syarat dari restrukturisasi kredit tersebut adalah:90
1. Masih memiliki prospek usaha yang baik, dimana hasil analisa harus
menunjukkan cash flow yang positif, prospek pasar masih terbuka, dan
mampu melakukan peningkatan efisiensi dan daya saing. Prospek usaha
debitur yang dimaksud adalah didasarkan pada kemampuan membayar
kembali debitur (repayment capacity) apabila pinjaman direstrukturisasi.
2. Debitur mengalami kesulitan untuk membayar pokok dan/atau bunga kredit.
3. Debitur menunjukkan itikad baik yang positif untuk bekerja sama terhadap
upaya restrukturisasi yang akan dijalankan. Itikad baik yang dimaksud adalah
mau melakukan negoisasi dengan bank, memberikan data usaha secara
terbuka dan membuat rencana strukturisasi yang akan dibahas dengan bank.
Dalam hal ini, sebagai prinsip awal yang harus dipegang oleh bank BUMN
dalam menjalankan proses restrukturisasinya adalah:91
1. Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk
menghindari diri dari upaya penurunan penggolongan kualitas kredit,
90
M. Djumhana, Op.cit, hal. 58. 91
peningkatan pembentukan PPA (Penyisihan Penghapusan Aktiva) atau juga
penghentian pengakuan pendapatan bunga secara aktual.
2. Bahwa sesuai dengan ketentuan restrukturisasi, bank hanya dapat melakukan
restrukturisasi kredit kepada debitur yang kesulitan melakukan pembayaran
pokok dan/atau bunga kredit, namun dari segi prospek usaha, masih baik
untuk dapat memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.
Mengacu pada ketentuan Bank Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva bank Umum bahwa pada dasarnya pengelolaan NPL
melalui restrukturisasi kredit bank BUMN diatur dengan pertimbangan:
1. Bahwa untuk kelangsungan usaha bank tergantung dari kemampuan dan
efektivitas bank dalam mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi
kerugian.
2. Dalam rangka mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian,
bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib menjaga kualitas aktiva dan
wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA). Bahwa kewajiban
pembentukan penyisihan aktiva perlu diberlakukan terhadap aktiva produktif
dan aktiva non produktif. Pembentukan PPA tersebut berupa:
a. Cadangan umum dan cadangan khusus untuk aktiva produktif. Ditetapkan
lebih kurang 1% dari aktiva produktif yang memiliki kualitas lancar.
b. Cadangan khusus untuk aktiva non produktif.
Untuk cadangan khusus ditetapkan dengan ketentuan:
a. 5% dari aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus (DPK) setelah
b. 15% dari aktiva kualitas Kurang Lancar (KL) setelah dikurangi nilai
agunan.
c. 50% dari aktiva dengan kualitas Diragukan (D) setelah dikurangi nilai
agunan.
d. 100% dari aktiva dengan kualitas Macet (M) setelah dikurangi nilai
agunan.
3. Ketentuan mengenai kualitas aktiva, pembentukan Penyisihan Penghapusan
Aktiva (PPA) dan restrukturisasi kredit merupakan ketentuan yang saling
terkait sehingga dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut dalam
satu peraturan.
4. Bank dapat melakukan restrukturisasi kredit hanya kepada debitur yang
memiliki prospek usaha yang masih luas dan kemampuan debitur yang
memiliki itikad baik.
Dalam pelaksanaan pengelolaan kredit macet ini, maka perbankan secara
langsung diwajibkan untuk membuka satu “Divisi Kredit Khusus” yang bertugas
untuk memantau dan mengatasi permasalahan kredit macet. Program yang terkait
untuk dikembangkan tersebut dapat berbentuk:92 1. Loan Rescheduling (penjadwalan kembali)
Yakni perubahan syarat kredit yang menyangkut masa tenggang, baik meliputi
perubahan besarnya angsuran maupun tidak.
2. Loan Reconditioning (persyaratan kembali)
Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit yang tidak terbatas pada
perubahan jadwal pembayaran lainnya, sepanjang tidak menyangkut perubahan
maksimum saldo kredit dalam konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman
menjadi penyertaan modal.
3. Restructuring (penataan kembali)
Yakni perubahan syarat kredit berupa penambahan dana bank dan/atau
konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru
dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam
perusahaan.
Langkah ini hanya sebagian dari alternatif terhadap penyelesaian kredit
bermasalah sebelum masuk pada tahap selanjutnya, yakni melalui lembaga yang
bersifat yudisial. Dengan salah satu proses tersebut di atas, setidaknya hal yang
telah dicapai adalah:93
1. Melalui pemberian tambahan kredit baru atau kredit lama agar diaktifkan
kembali.
2. Perubahan tingkat suku bunga dan/atau penangguhan pembayaran bunga.
3. Perpanjangan jangka waktu kredit.
4. Perubahan jadwal pembayaran dan/atau jumlah pembayaran angsuran kredit
sesuai dengan perubahan jangka waktu.
5. Perubahan mengenai persyaratan jaminan kredit dan menambah barang
jaminan jika memungkinkan.
6. Perubahan dalam manajemen pengelolaan usaha debitur.
7. Perubahan di bidang permodalan perusahaan debitur.
Dengan pengaturan pengelolaan kredit bermasalah BUMN melalui
mekanisme korporasi, maka hal itu memberikan kesamaan ‘level of playing field’
antara bank BUMN dan bank swasta. Hal ini sangat positif bagi peningkatan
kinerja bank BUMN dalam menjaga tingkat kesehatan bank melalui pengelolaan
NPL yang lebih fleksibel dan transparan.94
Implikasi dari pengelolaan NPL ini terhadap bank tentu saja akan
membuat laporan kredit perbankan menjadi lebih bersih yang secara langsung
akan menunjukkan kinerja finansial bank BUMN menjadi lebih baik. Hal ini tentu
saja berkaitan dengan posisi NPL yang menurun sehingga biaya cadangan PPAP
(Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) akan sedikit. Dengan demikian,
pendapatan perusahaan akan diperoleh lebih maksimal. Dengan semakin baiknya
kinerja perusahaan (coorporate rating) terhadap sektor riil, tentu saja akan
merangsang BUMN untuk lebih giat lagi dalam ekspansi kredit bagi sektor
UMKM. Sedangkan kondisi BUMN yang baik ini bagi pemerintah secara
langsung memberikan manfaat positif dalam hal penerimaan pajak dan deviden
yang berpengaruh pada ketahanan dan fundamental ekonomi, fiskal dan moneter
(fiscal and monetary stability).95
Pemerintah pada akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 2006 sebagai acuan untuk penghapusan piutang negara/daerah. PP ini
merupakan hasil revisi dari PP No. 14/2005. Dengan keluarnya PP No. 33/2006,
perusahaan negara dapat melakukan penghapusan piutang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni UU Perseroan Terbatas Nomor
40 tahun 2007, UU BUMN Nomor 19 tahun 2003 dan UU No. 17 Tahun 2003
94
Tulus Tambunan, Op.cit, hal. 230. 95
tentang Keuangan Negara beserta peraturan pelaksananya. Kehadiran Peraturan
Pemerintah tersebut sebagai jawaban banker BUMN terkait penanganan kredit
bermasalah (non performing loan/NPL) di lingkungan bank BUMN khususnya
yang sampai dengan saat ini telah mencapai 42,48 triliun atau 70,4% dari total
NPL bank umum. Dengan keluarnya PP ini, diharapkan agar dapat memberikan
kepastian hukum bagi bank BUMN dalam rangka mengoptimalisasi upaya
penyelesaian kredit bermasalah. Dengan adanya level of playing yang sama
dengan bank swasta dalam menyelesaikan NPL khususnya untuk hapus tagih
NPL, hal tersebut menjadi kegamangan bagi bank BUMN dalam penyelesaian
kredit bermasalah.
Secara umum, Pasal dalam PP No. 33/2006 terdiri atas dua pasal. Pasal 1
menyebutkan, ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam PP No. 14/2005 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus. Inti dari Pasal 19 dan
Pasal 20 PP No. 14/2005 adalah penghapusan piutang BUMN harus dilakukan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 17/2003
tentang Keuangan Negara, UU No. 19/2003 tentang BUMN, dan UU No. 40
Tahun 2007 tentang PT). Sebagai gantinya dalam pasal 2 ayat (1) huruf a PP No.
33/2006 disebutkan bahwa pengurusan piutang negara/daerah dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di bidang PT dan BUMN
beserta pelaksananya. Sementara itu, Pasal 2 ayat (1) huruf b pada intinya
menegaskan piutang negara/daerah yang telah diserahkan ke Ditjen Piutang dan
Sedangkan Pasal 2 ayat (2) berbunyi, PP No. 33/2006 mulai berlaku pada tanggal
diundangkan yakni 6 Oktober 2006.96
Beberapa tindakan dalam hal optimalisasi penyelesaian kredit bermasalah
yang dapat dilakukan oleh bank BUMN adalah:
Dengan perkembangan kondisi ini, maka semakin menguatkan alasan
bahwa BUMN saat ini bukan badan publik. Hal ini dapat dijelaskan dimana dana
dan status persero bank yang tunduk pada ketentuan UU PT Nomor 40 Tahun
2007. Asset pada BUMN bukan milik negara (keterpisahan kekayaan), dimana
kekayaan negara/uang negara pada BUMN hanya terbatas pada modal yang telah
dipisahkan dari APBN. Dengan demikian status asset/kekayaan bank BUMN
sendiri merupakan hasil dari usaha kekayaan BUMN itu sendiri, sehingga BUMN
memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pemiliknya/pendirinya.
Hal tersebut merupakan esensi dari suatu badan hukum (legal entity).
97
1. Melalui pemberian insentif atau restrukturisasi kredit.
2. Penjualan asset kredit.
3. Eksekusi hak tanggungan.
4. Gugatan perdata di pengadilan.
5. Melalui mekanisme Undang–Undang Kepailitan.
6. Mengusahakan penyelesaian ke lawfirm.
Dikaitkan dengan kredit UMKM, maka sejauh ini hal yang paling efektif
dan cepat dilaksanakan dalam mengatasi kredit bermasalah adalah dengan
melakukan restrukturisasi atau dengan penjualan asset agunan kredit debitur.
96
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
97
B. Lembaga Penjamin Kredit Sebagai Mitra Perbankan dan UMKM
Salah satu kendala yang dihadapi UMKM Indonesia untuk mendapatkan
pinjaman modal dari perbankan adalah ketiadaan jaminan atau agunan. Lembaga
Penjaminan Kredit bertujuan untuk mengatasi kendala jaminan UMKM. Lembaga
penjaminan kredit di Indonesia pada dasarnya telah ada sejak lama. Penjamin
kredit terutama bagi koperasi, antara lain Perum Sarana Pengembangan Usaha
(Perum SPU) merupakan pengembangan dari Lembaga Jaminan Kredit Koperasi
(LJKK) yang didirikan tahun 1971 serta PT. Penjamin Kredit Pengusaha
Indonesia (PT. PKPI) mewakili perusahaan swasta yang didirikan tahun
1995-an.98
Di samping lembaga penjaminan tersebut di atas, beberapa daerah sudah
memiliki Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD). Payung hukum lembaga
penjaminan sebenarnya sangat kuat yaitu Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008
tentang Lembaga Penjaminan. Pemerintah Daerah yang berinisiatif mendirikan
LPKD di daerahnya masing-masing untuk membantu UMKM mengakses modal
dari Bank. Pada kenyataannya, LPKD yang sudah didirikan belum berfungsi, alias
mati suri. Pada saat ini paling sedikit ada delapan lembaga penjaminan kredit
daerah. Lembaga tersebut adalah : Delapan LPKD nonaktif antara lain, PT LPKD
Yogyakarta, PT Penjamin Kredit Tanpa Agunan Mandiri, Sriwijaya, PT Sarana
Usaha Mandiri KUKM, NTB, PT Sarana Pengembangan Kutai Kartanegara,
98
Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Lembaga Penjaminan Kredit UMKM,
Kaltim, PT Sarana Penjamin, Riau, Koperasi Penjamin Kredit, Jawa Barat (Jabar),
PT Penjamin Kredit Sipatuo, Makassar, dan PT Sarana Penjamin Kredit,
Denpasar. LPKD yang akan beroperasi pada Desember nanti, PT Jamkrida, Jawa
Timur (Jatim).99
Seiring dengan kebijakan pemerintah yang tercantum dalam program
pengembangan UMKM bagi ekonomi masyarakat kecil, maka dipandang perlu
untuk membuat suatu mekanisme percepatan penyaluran kredit bagi pelaku
bidang riil. Oleh karena itu, pada November 2007, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meluncurkan lagi sebuah skema kredit baru bagi UMKM, yakni
Kredit Usaha Rakyat (KUR). Skema kredit ini adalah kredit tanpa agunan dengan
batas maksimum Rp. 500 juta/nasabah untuk usaha-usaha produktif,
perindustrian, perdagangan dan juga koperasi, khusus untuk UMKM yang belum
layak didanai oleh perbankan (karena tidak memiliki jaminan yang cukup).100
99
Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 112.
100
Hasan M.Fadhil, Pemihakan Pemerintah Dalam Mendukung Pembiayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), (Jakarta : Bappenas, 2008), hal. 236.
Dengan program ini, kebuntuan permasalahan permodalan yang selama ini
dihadapi oleh pelaku UMKM setidaknya dapat terpecahkan. Pemerintah terhadap
Kredit Usaha Rakyat (KUR) dapat membantu UMKM dalam meningkatkan
usahanya dengan menambah modal sehingga dampak lanjutannya adalah semakin
banyaknya tenaga kerja yang dapat diserap oleh UMKM untuk mengurangi angka
pengangguran. Untuk menyukseskan program ini, pemerintah telah menunjuk dua
lembaga penjamin, yaitu Lembaga Asosiasi Kredit Indonesia (Askrindo) dan
Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebagai lembaga resmi yang
lembaga penjamin tersebut, sedangkan sisanya 30% oleh bank-bank pelaksana.101 Kedua lembaga tersebut didukung dengan dana Rp. 1,4 Trilyun oleh pemerintah
untuk menjamin kredit UMKM melalui Program KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Giring rasio dari sejumlah dana yang diberikan pemerintah adalah sebesar Rp. 14
Trilyun, artinya lembaga penjaminan bisa menjamin pinjaman kredit UMKM
melalui Progam KUR hingga Rp. 14 Trilyun.102
Perjanjian kerja sama ini menjadi tindak lanjut dari kesepakatan kerja
sama antara Askrindo dan SPU dengan departemen serta enam bank nasional yang
ditunjuk pemerintah yakni BRI, BNI, Bank mandiri, BTN, Bank Syariah Mandiri,
dan Bank Bukopin. Dengan perjanjian kerja sama ini, memungkinkan asuransi
Askrindo dan SPU secara otomatis menjamin pemberian kredit atau pembiayaan
yang dilakukan perseroan kepada pelaku usaha mikro dan kecil.
103
Dari segi persyaratannya, kredit bagi Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi
dengan pola penjaminan (KUMKP) ini adalah kredit modal kerja dan/atau
investasi dengan plafond kredit sampai dengan Rp. 500 juta yang diberikan
kepada pelaku usaha kecil, mikro dan koperasi dengan usaha produktifnya dan
mendapat penjaminan dari perusahaan penjamin yang proses pengajuannya lebih
mudah dan cepat. Di samping itu, kendala selama ini yang menjadi hambatan bagi
pelaku mikro dan kecil untuk memperoleh modal sudah dapat diatasi, karena
101
Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Loc.cit. 102
kewajiban menyerahkan agunan/jaminan tidak mutlak dibutuhkan, sehingga
pelaku usaha kecil dapat memperoleh kredit tersebut.104
Dengan adanya penjaminan kredit UMKM tersebut maka:
Adapun mekanisme dalam penjaminan kredit menjadi kewajiban bank
pelapor agar secara rutin setiap bulan melaporkan daftar nama debitur secara
kolektif ke perusahaan penjamin. Pelaporan yang dibuat harus mencakup daftar
nominatif data debitur secara keseluruhan termasuk fasilitas kredit yang diberikan.
Sementara itu, biaya premi asuransi sebesar 1,5% dari total plafond kredit menjadi
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), debitur hanya
dibebankan biaya administrasi sebesar 0,1%.
105
1. Pengajuan kredit usaha kecil yang sebelumnya tidak memenuhi persyaratan
perbankan menjadi bankable, sehingga usaha kecil dapat mengembangkan
usahanya.
2. Risiko bank menjadi berkurang, karena sebagian telah dialihkan menjadi
risiko perusahaan penjamin.
3. Dengan terpenuhinya kecukupan agunan dan berkurangnya risiko, maka
kemungkinan terjadinya penolakan proposal pinjaman menjadi lebih kecil.
4. Perusahaan penjamin juga melakukan kelayakan dan pengendalian atas
kredit yang dijamin. Dengan adanya pengendalian dari dua pihak yang
berlainan diharapkan risiko dapat lebih diminimalkan.
104
Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi. Op.cit, hal. 55. 105
5. Dengan berkurangnya risiko tersebut, maka seharusnya risk premium yang
ditetapkan menjadi salah satu komponen dalam perhitungan landing rate
dapat diturunkan sehingga landing rate menjadi lebih rendah.
6. Perusahaan penjamin akan mendapatkan pendapatan fee penjaminan.
Apabila terjadi kemacetan atas kredit yang dijamin, maka:106
1. Sejak klaim dibayarkan, maka atas kredit tersebut tidak dikenai bunga. Hal ini
akan meringankan beban nasabah.
2. Agunan dan/atau fix asset yang dimilikinya tidak perlu dilikuidasi, karena
kewajiban nasabah yang dijamin akan dipenuhi oleh perusahaan penjamin
sebesar porsi kredit yang dijamin. Hal ini memungkinkan usaha kecil tetap
dapat dijalankan dan selanjutnya apabila usaha tersebut telah mengalami
pemulihan, nasabah tersebut dapat melakukan pembayaran subrogasi.
3. Dengan adanya pembayaran klaim, maka bank akan lebih cepat mendapatkan
likuiditas apabila dibandingkan dengan penjualan fix asset yang memerlukan
prosedur dan waktu relatif lama.
C. Kebijakan Pemerintah dalam Mendukung Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 merupakan landasan
ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan
koperasi dan usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Menteri Negara
KUKM Republik Indonesia Nomor : 02/Per/M.KUKM/I/2008 ditegaskan bahwa
1. Menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong
pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi.
2. Memberikan bimbingan dan kemudahan kepada koperasi.
3. Memberikan perlindungan kepada koperasi. Pembinaan koperasi dilakukan
dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional, serta
pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang
mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan UMKM dan koperasi, maka
kewajiban pemerintah adalah:
a. Memberikan kesempatan usaha seluas-luasnya kepada koperasi dan UMKM.
b. Meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi agar menjadi koperasi
yang berkualitas, tangguh dan mandiri.
c. Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara
koperasi dengan badan usaha lainnya.
d. Membudayakan koperasi dalam masyarakat.
Dalam rangka pemberian perlindungan koperasi dan UMKM, pemerintah
mengatur mekanisme untuk:107
1. Menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh
koperasi dan UMKM.
2. Menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil
diusahakan oleh koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.
107
Di samping itu, bagi pelaku UMKM, pemerintah membuat pengaturan
tersendiri dalam kerangka memberikan klasifikasi sebagai koridor hukum yang
jelas dalam upaya pemberdayaan sektor UMKM tersebut yang secara konkrit
diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Adapun tujuan dari
pemberdayaan UMKM tersebut adalah:108
1. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang,
dan berkeadilan
2. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri
3. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pembangunan
daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan
ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan
Sebagai wadah kegiatan usaha bersama bagi produsen maupun konsumen,
koperasi diharapkan berperan dalam meningkatkan posisi tawar dan efisiensi
ekonomi rakyat, sekaligus turut memperbaiki kondisi persaingan usaha di pasar
melalui dampak eksternalitas positif yang ditimbulkannya. Sementara itu, UMKM
berperan dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan peningkatan
pendapatan serta meningkatkan daya saing dan daya tahan ekonomi nasional.
Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, pemberdayaan UMKM akan
dilaksanakan dengan arah kebijakan sebagai berikut: 109
1. Mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) yang diarahkan untuk
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,
108
Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. 109
penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing; sedangkan
pemberdayaan usaha skala mikro lebih diarahkan untuk memberikan
kontribusi dalam peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat yang
memiliki pendapatan rendah.
2. Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola
yang baik (good governance) dan berwawasan gender untuk:
1. Memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan;
2. Memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perizinan;
3. Memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang
menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan
usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi.
3. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha
baru berkeunggulan untuk mendorong pertumbuhan, peningkatan ekspor dan
penciptaan lapangan kerja terutama dengan:
a. Meningkatkan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan
adopsi penerapan teknologi.
b. Mengembangkan UMKM melalui pendekatan klaster di sektor agribisnis
dan agroindustri disertai pemberian kemudahan dalam pengelolaan usaha,
termasuk dengan cara meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sebagai
wadah organisasi kepentingan usaha bersama untuk memperoleh efisiensi
kolektif.
c. Meningkatkan peran UMKM dalam proses industrialisasi, percepatan
d. Mengintegrasikan pengembangan usaha dalam konteks pengembangan
regional, sesuai dengan karakteristik pengusaha dan potensi usaha unggulan
di setiap daerah.
4. Meningkatkan peran UMKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar
domestik yang semakin berdaya saing dengan produk impor, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
5. Membangun koperasi yang diarahkan dan difokuskan pada upaya-upaya
untuk:
a. Membenahi dan memperkuat tatanan kelembagaan dan organisasi koperasi
di tingkat makro maupun mikro guna menciptakan iklim dan lingkungan
usaha yang kondusif bagi kemajuan koperasi serta kepastian hukum yang
menjamin terlindunginya koperasi dan/atau anggotanya dari
praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat.
b. Meningkatkan pemahaman, kepedulian dan dukungan pemangku
kepentingan (stakeholders) kepada koperasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian serta penjelasan dari bab–bab sebelumnya, penulis
dapat menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan
serta sekaligus merupakan jawaban daripada permasalahan yang dibuat, yaitu :
9. Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah diperuntukkan bagi pemilik
usaha/pengusaha dalam menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam
rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi yang
berkeadilan, khususnya dalam peningkatan dan pemerataan pendapatan
masyarakat serta penyerapan tenaga kerja.
10.Dalam Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2008 terlihat bahwa penyaluran kredit pada
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di dalam perkembangannya saat ini,
memperlihatkan kecenderungan kurang signifikan dalam memberikan
kontribusi bagi pertumbuhan penyaluran kredit Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
11.Pengaturan Pembiayaan terhadap Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
menurut UU No. 20 Tahun 2008, dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam membantu pendanaan UMKM khususnya Usaha
Mikro dan Usaha Kecil, dengan mengembangkan sumber pembiayaan dari
kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, mengembangkan
lembaga modal ventura, melakukan pelembagaan terhadap transaksi anjak
piutang, serta meningkatkan kerjasama Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui
12.Perlindungan terhadap Usaha Kecil dan Menengah telah diatur pemerintah di
dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,
yang merupakan landasan utama dalam pembinaan dan pengembangan usaha
kecil di Indonesia, namun Undang-Undang ini belum mampu membuka lebar
terhadap kemapanan dan pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
13.Kendala utama yang menjadi permasalahan dalam penyaluran kredit UMKM
selama ini, yaitu Pertama, kesulitan memenuhi persyaratan yang cukup rumit
untuk mendapatkan kredit dari bank, misalnya tidak mempunyai agunan (yang
berkaitan dengan kondisi keuangan dari pemilik usaha/pengusaha). Tingginya
tingkat suku bunga juga menyebabkan keterbatasan penyediaan jaminan
sehingga menyebabkan kredit macet/bermasalah bagi pengusaha yang tidak
dapat memenuhi kewajibannya. Kedua, Walaupun sejak 10 tahun yang lalu
Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit untuk UMKM,
yakni kredit dengan batas maksimum di bawah Rp 5 milyar, minimum 20%
dari total kredit, dalam kenyataannya porsi 20% itu tidak selalu tercapai setiap
tahun, walaupun jumlah kredit yang tersalurkan ke UMKM cenderung
meningkat terus.
14.Dalam pelaksanaan penyelesaian kredit bermasalah (Non Performance Loan)
untuk kriteria usaha menengah di bank BUMN saat ini yang paling ideal
dilakukan adalah dengan pola restrukturisasi melalui metode keringanan
bunga. Beberapa metode yang juga kerap digunakan dalam restrukturisasi
NPL adalah rescheduling (penjadwalan kembali) dan reconditioning
(persyaratan kembali). Tujuan dari restrukturisasi kredit tersebut adalah agar
posisi dan kepentingan bank lebih baik dan aman sehingga usaha debitur dapat
lancar kembali dan mampu memperbaiki struktur permodalan debitur itu
sendiri.
15.Untuk menghindari kredit macet/bermasalah bagi pemilik usaha/pengusaha
yang kesulitan dalam menyediakan jaminan, diupayakan agar melaksanakan
program dari pemerintah, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit
tanpa agunan dengan batas maksimum Rp 500 juta/nasabah untuk usaha-usaha
produktif, perindustrian, perdagangan dan juga koperasi, khusus untuk
UMKM yang belum layak didanai oleh perbankan (karena tidak memiliki
jaminan yang cukup).
16.Dalam hal apabila telah terjadi kredit macet/bermasalah, maka dalam hal
pelaksanaan penyelesaiannya, pemerintah wajib memberikan kemudahan
kepada para pemilik usaha/pengusaha untuk mendapatkan bantuan kredit
terhadap pembiayaan yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan
bukan bank.
17.Peran usaha kecil dalam menyerap tenaga kerja relatif besar, sehingga
pengembangan usaha merupakan langkah strategis dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi rakyat. Alasan UMKM
belum memanfaatkan kredit bank sebagian besar adalah faktor kebijakan dan
persyaratan perbankan.
18.Untuk membangun UMKM di Indonesia pemerintah harus serius dan
profesional dengan tetap konsisten pada kebijakan yang dibuat sebagai
pedoman bagi perbankan dalam upaya pemberdayaan UMKM. Pengelolaan
Program ini harus terus dilakukan secara berkesinambungan (sustainable
development to UMKM) terpola dan terarah membangun UMKM yang
tujuannya agar tercipta satu model UMKM yang bankable.
B. Saran
Berdasarkan uraian serta penjelasan dari bab – bab sebelumnya, maka
penulis dapat memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan pokok
pembahasan, yaitu :
1. Perlu disederhanakan persyaratan–persyaratan permohonan kredit dan
diupayakan untuk mempercepat waktu realisasi pencairan kredit sehingga
dapat lebih bermanfaat bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah
yang merupakan bagian terbesar dari dunia usaha yang ada di Indonesia.
2. Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit untuk UMKM,
yakni kredit dengan batas maksimum di bawah Rp 5 milyar, minimum 20%
dari total kredit. Oleh karena itu, hendaknya perbankan dapat melaksanakan
ketentuan tersebut sebagai wujud pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
3. Pembinaan dari pihak bank dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang telah dikembangkan, diharapkan dapat menghasilkan sinergi positif
antara kebijakan pembinaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan
perbankan sehingga terdapat hubungan saling menguntungkan bagi
4. Dengan adanya metode keringanan bunga yang digunakan dalam
restrukturisasi NPL, diharapkan dapat menurunkan kendala-kendala dalam
pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
5. Program pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan dapat
terwujud melalui peran serta bank terhadap perkembangan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah agar dapat meningkatkan usahanya dengan menambah
modal sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja untuk mengurangi angka
BAB II
PENGATURAN PEMBIAYAAN TERHADAP KREDIT USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2008
TENTANG UMKM
A. Pengertian Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Dalam rangka era globalisasi dewasa ini yang diikuti dengan percepatan
arus teknologi dan informasi terutama di bidang ekonomi seperti dewasa ini.
Kesanggupan masyarakat akan meminjam uang atau kesanggupan akan
mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa,
dilakukan dengan perjanjian akan membayarnya kelak28
Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak dalam kesepakatan
pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan dan jangka waktu tertentu. Kredit
dalam pengertian lain dapat berarti percaya atau kepercayaan. Tetapi dalam
hukum kredit berlaku ketentuan bahwa untuk bisa percaya, kepadanya dapat
diberikan kredit. Oleh karena itu, terlebih dahulu calon debitur harus dicurigai.
Hal ini sangat beralasan, sebab kata kredit itu berasal dari bahasa Latin “Creditus”
yang merupakan bentuk past participle dari kata credere, yang berarti to trust.
Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan. Sesungguhnya kata kredit sudah
berkembang luas terutama dalam kehidupan sehari–hari, akan tetapi dalam tahap
apapun dan kemanapun arah perkembangannya, dalam setiap kata kredit tetap
mengandung unsur “kepercayaan”, walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya
sekedar kepercayaan.
.
29
28