PENGARUH PENERAPAN ATURAN ETIKA, PENGALAMAN DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP
PENDETEKSIAN KECURANGAN
(Studi Empiris Beberapa Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh: Sri Hasanah NIM: 206082004009
JURUSAN AKUNTANSI / AUDITING FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH PENERAPAN ATURAN ETIKA, PENGALAMAN, DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP PENDETEKSIAN
KECURANGAN
(Studi Empiris Beberapa Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh: Sri Hasanah NIM: 206082004009
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM. Yessi Fitri, SE., MSi., Ak.
NIP:196902032001121003 NIP: 197609242006042002
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Pada hari Selasa Tanggal 18 Bulan Mei Tahun Dua Ribu Sepuluh telah dilakukan Ujian Komperhensif atas nama Sri Hasanah, NIM: 206082004009, dengan judul skripsi “Pengaruh Penerapan Aturan Etika, Pengalaman, dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Mei 2010
Tim Penguji Komprehensif
Hepi Prayudiawan, SE., Ak., MM. Rahmawati, SE., MM.
Ketua Sekretaris
Pada hari Selasa Tanggal 15 Bulan Juni Tahun Dua Ribu Sepuluh telah dilakukan Ujian Skripsi atas nama Sri Hasanah, NIM: 206082004009, dengan judul skripsi
“Pengaruh Penerapan Aturan Etika, Pengalaman, dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Juni 2010
Tim Penguji Skripsi
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM. Yessi Fitri, SE., MSi., Ak.
Penguji I Penguji II
Dr. Amilin, SE., Ak., MSi. Yusro Rahma, SE., MSi.
v
ABSTRAK
Pengaruh Penerapan Aturan Etika, Pengalaman, dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penerapan aturan etika, pengalaman, dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan. objek yang diteliti adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berada di wilayah Jakarta. Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling. Kuesioner yang telah dikirim sebanyak 100 kuesioner dengan tingkat pengembalian 89 kuesioner atau 89% dari total kuesioner yang dikirim. Data tersebut dianalisis dengan metode regresi berganda dan diolah dengan program SPSS versi 16.
Hasil penelitian menunjukan bahwa baik secara parsial maupun simultan penerapan aturan etika, pengalaman, dan skeptisme profesional auditor berpengaruh secara signifikan terhadap pendeteksian kecurangan. Penelitian ini juga menunjukan bahwa variabel skeptisme profesional auditor merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan
iv
ABSTRACT
The Impact Application of The Ethics Rules, Experience and Auditor Professional Skepticism Detection For Fraud
The research aims to examine the impact application of the ethics rules, experience, and professional auditor skepticism detection for fraud. Object of this research is accountant public office in Jakarta. The sample of this research was collected by using convenience sampling. There are one hundred questionnairs which are sent but only eighty nine or eighty nine present questionnairs return. That data are analyzed by multiple regression method and SPSS program version 16.
The results of this research show that application of the ethics rules, experience, auditors’ professional skepticism significantly affect the detection of fraud. The results of this research also show that application of the ethics rules,
experience, and auditors’ pprofessional skepticism simultaneously affect the detection for fraud. The research also shows that the auditor’s professional skepticism variable is the most dominant variable affect detection for fraud.
Keywords: Application of The Ethics Rules, Experience, Auditor’s Professional Skepticism and Fraud Detect.
ix
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi ... i
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... ii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iii
Daftar Riwayat Hidup ... iv
Abstract ... v
Abstrak ... vi
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xi
Daftar Gambar ... xii
Daftar Lampiran ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6
1. Tujuan Penelitian ... 6
2. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis ... 9
1. Dasar-Dasar Audit ... 9
2. Etika ... 18
3. Pengalaman Auditor ... 29
4. Skeptisme Profesional Auditor ... 33
5. Pendeteksian Kecurangan ... 38
B Keterkaitan Antar Variabel Penelitian ... 42
x
D. Kerangka Pemikiran ... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian... 47
B. Metode Penentuan Sampel ... 47
C. Metode Pengumpulan Data ... 48
1. Penelitian Lapangan ... 48
2. Penelitian Kepustakaan ... 48
D. Metode Analisis Data ... 49
1. Uji Kualitas data ... 49
2. Uji Asumsi Klasik ... 51
3. Uji Hipotesis ... 53
E. Operasional Variabel Penelitian ... 55
1. Variabel Independen ... 56
2. Variabel Dependen... 57
BAB IV PENEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian... 60
B. Analisis dan Pembahasan ... 65
1. Uji Kualitas Data ... 65
2. Uji Asumsi Klasik ... 69
3. Uji Hipotesis ... 72
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan ... 79
B. Implikasi... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu ... 44
Tabel 3.1. Operasional Variabel Penelitian ... 57
Tabel 4.1. Tingkat Pengembalian Kuesioner ... 61
Tabel 4.2. Jabatan Responden ... 61
Tabel 4.3. Pendidikan Responden... 62
Tabel 4.4. Jenis Kelamin Responden ... 62
Tabel 4.5. Usia Responden ... 63
Tabel 4.6. Lama Bekerja Responden ... 63
Tabel 4.7. Statistik Deskriptif ... 64
Tabel 4.8. Hasil Uji Reliabilitas ... 65
Tabel 4.9. Hasil Uji Validitas Variabel Penerapan Aturan Etika ... 66
Tabel 4.10. Hasil Uji Validitas Variabel Pengalaman ... 67
Tabel 4.11. Hasil Uji Validitas Variabel Skeptisme Profesional Auditor... 67
Tabel 4.12. Hasil Uji Validitas Variabel Pendeteksian Kecurangan ... 68
Tabel 4.13. Hasil Uji Multikolonieritas ... 69
Tabel 4.14. Koefisien Determinasi ... 72
Tabel 4.15. Uji F ... 74
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Model Penelitian ... 41
Gambar 4.1. Hasil Uji Heteroskendastisitas ... 70
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ... 84
Lampiran 2. Matriks Tabulasi Data ... 93
Lampiran 3. Hasil Uji Kualitas Data ... 101
Lampiran 4. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 108
Lampiran 5. Hasil Uji Hipotesis ... 111
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian.
Para pelaku bisnis mempunyai peluang yang besar untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya, meskipun dengan cara yang tidak
dibenarkan oleh hukum apalagi oleh nilai etika. Etika merupakan
nilai-nilai hidup dan norma-norma serta hukum yang mengatur tingkah laku
manusia. Etika pada dasarnya berkaitan erat dengan moral yang merupakan
kristalisasi dari ajaran-ajaran, patokan-patokan, kumpulan aturan, dan
ketetapan baik lisan maupun tertulis (Enjel, 2006:2). Etika dinyatakan
secara tertulis atau formal disebut sebagai kode etik, maka dari itu sebagai
seorang auditor harus mentaati aturan etika dan menghayati serta
mengamalkan kode etik dalam melaksanakan tugasnya.
Rand (2003) dalam Ludigdo (2006:14) menyatakan bahwa etika
merupakan kode nilai-nilai untuk memandu pilihan dan tindakan manusia,
yaitu pilihan dan tindakan yang menentukan tujuan dan jalannya kehidupan
manusia. Dengan tidak mengabaikan nilai positif dari etika profesi yang
telah ada, langkah dekonstruktif yang dilakukan untuk membangun etika
profesi dengan memperhatikan secara cermat konteks sosial dan budaya
masyarakat Indonesia sangat diperlukan, karena dimensi pemikiran etika
dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik pribadi, sosial,
2 Preston at.al (2002) dalam Winartono (2004) menyatakan etika harus
dilihat dari sudut pandang organisasi dan kelembagaan dibandingkan pada
pemahaman bahwa dalam lingkungan perusahaan, kumpulan individu
menjadi faktor penentu dalam pencapaian tujuan bersama, tanpa
mengabaikan tanggung jawab individu. Etika harus dibangun dalam suatu
prosedur kegiatan dan pengambilan keputusan suatu organisasi. The
American Heritage Dictionary menyatakan etika sebagai suatu aturan atau
standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi,
pengembangan etis/moral memainkan peran kunci dalam semua area profesi
akuntan (Louwers 1997, dalam Gusti dan Ali, 2006:5).
Boner dan Walker (1994) dalam Herman (2009) menyatakan bahwa
peningkatan pengetahuan yang muncul dari pelatihan formal sama bagusnya
dengan yang didapat dari pengalaman khusus. Oleh karena itu, pengalaman
kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi
kinerja akuntan publik, sehingga pengalaman dimasukan sebagai salah satu
persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik. (SK Menkeu
No. 359/KMK.06/2003) tentang perubahan atas Kep Menkeu No.
423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik (Depkeu, 2003).
Pengalaman dan pemahaman seorang auditor akan jenis dan karakteristik
kecurangan akan sangat membantu dalam hal penyusunan dan pelaksanaan
prosedur pemeriksaan. Ada kecenderungan pihak penyaji laporan keuangan
3 auditor yang betul-betul berpengalaman sesuai dengan bidang pemeriksaan
yang menjadi tugasnya.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Diah (2008), Taufik (2008),
dan Herman (2009) menyatakan bahwa pengalaman kerja berpengaruh
secara signifikan terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Seseorang
yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan
dalam mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan, dan mencari penyebab
munculnya kesalahan (Indri 2005, dalam Ananing 2006).
Seorang auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan
seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam
program audit, tetapi juga harus disertai dengan sikap skeptisme profesional.
Standar profesional akuntan publik mendefinisikan skeptisme profesional
sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan
dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI, 2001, SA
seksi 316.06).
Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja
penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh
alasan, bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang dipermasalahkan. Tanpa
menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah
saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan salah
saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan
4 Secara psikologis, seorang auditor sering kali diwarnai oleh rasa terlalu
curiga atau sebaliknya terkadang terlalu percaya terhadap asersi manajemen.
Padahal seharusnya seorang auditor secara profesional menggunakan kecakapannya untuk “balance” antara sikap curiga dan sikap percaya
tersebut, ini yang kadang sulit diharapkan, apalagi pengaruh-pengaruh di
luar diri auditor yang bisa mengurangi sikap skeptisme profesional tersebut. Pengaruh itu bisa berupa “self-serving bias” karena auditor dalam
melaksanakan tugasnya mendapat imbalan dari audite. Auditor harus
menggunakan kemahiran profesional secara cermat dan seksama dalam
menentukan jenis pemeriksaan yang akan dilaksanakan dan standar yang
akan diterapkan terhadap pemeriksaan, menentukan lingkup pemeriksaan,
memilih metodologi, menentukan jenis dan jumlah bukti yang akan
dikumpulkan, atau dalam memilih pengujian dan prosedur untuk melakukan
pemeriksaan. Kemahiran profesional harus diterapkan juga dalam
melakukan pengujian dan prosedur, serta dalam melakukan penilaian dan
pelaporan hasil pemeriksaan.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa subjek yang suspicious (curiga)
terhadap validitas informasi akan meningkatkan proses penelitiannya (Petty
dan Caccioppo, 1977; Schul, 1993; Kruglanski & Freund, 1983; Mayseless
dan Kruglanski 1987; Schul et al., 1996). Dalam seting auditing, auditor
yang melakukan penugasan audit akan menerima berbagai informasi yang
berkaitan dengan bukti audit, tetapi sulit untuk menentukan informasi yang
5 kecurangan akan meningkatkan kecurigaan auditor terhadap bukti audit
yang diterimanya sehingga skeptisme profesional auditor akan meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh SEC (Securities and Exchange
Commission) menemukan bahwa urutan ketiga dari penyebab kegagalan
audit adalah tingkat skeptisme profesional yang kurang memadai. Dari 45
kasus audit yang diteliti SEC, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena
auditor tidak menerapkan tingkat skeptisme profesional yang memadai
(Beasley, 2001 dalam Noviyanti, 2008:103). Jadi rendahnya tingkat
skeptisme profesional dapat menyebabkan kegagalan dalam mendeteksi
kecurangan. kegagalan ini selain merugikan kantor akuntan publik secara
ekonomis, juga menyebabkan hilangnya reputasi akuntan publik dimata
masyarakat dan hilangnya kepercayaan kreditor dan investor di pasar modal.
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Herman
(2009) dan penelitian yang dilakukan oleh Enjel (2006) dimana Herman
meneliti tentang pengaruh hubungan pengalaman dan skeptisme profesional
terhadap pendeteksian kecurangan sedangkan Enjel meneliti hubungan
antara penerapan aturan etika dengan peningkatan profesionalisme auditor
internal.
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya, yaitu
penambahan variabel penerapan aturan etika (menggunakan variabel
penelitian Enjel, 2006) yang akan dihubungkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Herman (2009) yang meneliti hubungan pengalaman dan
6 penelitian Enjel lebih menitik beratkan pada tingkat profesional auditor
internalnya bukan pada pendeteksian kecurangannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraiankan, maka penelitian ini
mengangkat judul:
“Pengaruh Penerapan Aturan Etika, Pengalaman, Dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah penerapan aturan etika, pengalaman, dan skeptisme profesional
auditor mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendeteksian
kecurangan?
2. Variabel manakah yang paling dominan antara penerapan aturan etika
pengalaman, skeptisme profesional auditor yang berpengaruh terhadap
pendeteksian kecurangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian.
Berdasarkan dari perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis pengaruh penerapan aturan etika, pengalaman, dan
7 b. Menganalisis variabel yang paling dominan antara penerapan
aturan etika, pengalaman, dan skeptisme profesional auditor yang
berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan.
2. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Bagi Akademisi.
Penelitian ini dapat memberikan ide untuk pengembangan
penelitian selanjutnya, disamping sebagai sarana untuk menambah
wawasan dan juga memberikan sumbangan pengetahuan yang
lebih tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang
auditor dalam melakukan penugasan audit, terutama yang
berhubungan dengan pendeteksian kecurangan.
b. Bagi Akuntan Publik (Auditor Independen).
Penelitian ini dijadikan bahan dalam melaksanakan praktik audit,
dan dapat membantu para akuntan publik dalam mengidentifikasi
hal-hal yang berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan,
sehingga diharapkan akuntan publik dapat meningkat kualitas
audit, dengan adanya penerapan aturan etika, pengalaman dan sikap
skeptisme profesioanal yang dimiliki dapat mempermudah auditor
8 c. Bagi Pembaca.
Memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat pada umumnya
dan bagi mahasiswa FEB pada khususnya. Skripsi ini dapat
dijadikan sumbangan karya ilmiah yang bermafaat dan menambah
pengetahuan bagi para pembaca, dan dapat dijadikan sumber
informasi untuk menambah wawasan dan masukan bagi penelitian
lain yang berminat untuk meneliti kembali tentang hal-hal yang
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis 1. Dasar-Dasar Audit
a. Pengertian Audit
Halim (2001,1), ASOBAC (A Statement of Basic Auditing
Concepts) mendefinisikan auditing sebagai berikut:
Suatu proses sistematik untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan.
Audit adalah suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan
bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas
ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen
untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan
kriteria-kriteria yang ditetapkan (Arens et all 2006: 4).
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan tentang karakteristik
audit:
1) Audit merupakan suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian
bukti atau informasi.
2) Adanya bukti audit (evidence) yang merupakan informasi atas
keterangan yang digunakan oleh seorang auditor untuk menilai
10 3) Adanya tingkat kesesuaian dan kriteria tertentu.
4) Audit harus dilakukan oleh seorang auditor yang memiliki
kualifikasi yang diperlukan untuk melakukan audit. Seorang
auditor harus kompeten dan independen terhadap fungsi atau
satuan usaha yang diperiksanya.
5) Adanya pelaporan dan pengkomunikasian hasil audit kepada pihak
yang berkepentingan.
b. Tujuan Audit
Tujuan umum audit adalah untuk menyatakan pendapat atas
kewajaran, dalam semua hal yang material posisi keuangan dan hasil
usaha serta arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Untuk mencapai tujuan ini auditor perlu menghimpun bukti
kompeten yang cukup, auditor perlu mengidentifikasikan dan
menyusun sejumlah tujuan audit spesifik untuk setiap akun laporan
keuangan.
Tujuan audit spesifik ditentukan berdasarkan asersi yang dibuat
oleh manajemen yang tercantum dalam laporan keuangan. Laporan
keuangan meliputi asersi manajemen yang bersifat eksplisit maupun
implisit. Asersi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Halim, 2003):
1) Keberadaan dan keterjadian (existence and occurance)
2) Kelengkapan (completeness)
11 4) Penilaian dan pengalokasian (valuation and allocation)
5) Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure)
c. Jenis-Jenis Audit
Ada beberapa jenis audit yang dikemukakan oleh Arens, et all
(2006: 14-15) yaitu:
1) Audit Operasional (Operational Audits)
Audit operasional adalah suatu tinjauan terhadap setiap
bagian prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk
menilai efisiensi dan efektivitas kegiatan entitas tersebut. Pada
akhir pemeriksaan operasional biasanya diajukan saran-saran
rekomendasi pada manajemen untuk memperbaiki atau
meningkatkan kualitas operasi perusahaan.
2) Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audits)
Audit laporan keuangan berkaitan dengan kegiatan
memperoleh dan mengevaluasi bukti tentang laporan-laporan
entitas dengan maksud agar dapat memberikan pendapat apakah
laporan-laporan tersebut telah disajikan secara wajar sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum (Generally Accepted Accounting
12 3) Audit Kepatuhan (Compliance Audits)
Audit berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan
memeriksa bukti-bukti untuk menetapkan apakah kegiatan
keuangan atau operasi suatu entitas telah sesuai dengan
persyaratan, ketentuan atau peraturan tertentu. Kriteria yang
ditetapkan dalam audit jenis berasal dari berbagai sumber.
Sebagai contoh, berkenaan dengan kondisi kerja, partisipasi
dalam program pensiun, serta pertentangan kepentingan.
d. Jenis-Jenis Auditor
Arens, et all (2006:15-16) menyatakan bahwa terdapat empat jenis
auditor yang umum dikenal dalam masyarakat, yaitu:
1) Auditor independen (Akuntan Publik)
Akuntan publik disebut juga auditor eksternal atau auditor
independen. Akuntan ini bertanggung jawab atas pemeriksaan
atau mengaudit laporan keuangan organisasi yang dipublikasikan,
dengan memberikan opini atas informasi yang diauditnya. Rahayu
dan Suhayati (2010:13) menjelaskan persyaratan profesional yang
dianut dari auditor independen adalah seorang auditor yang
memiliki pendidikan dan pengalaman praktik sebagai auditor
independen, dan bukan termasuk orang yang terlatih dalam
13 kapasitas sebagai penasehat hukum meskipun auditor mengetahui
hukum).
2) Auditor Pemerintah
Aditor pemerintah dilaksanakan oleh auditor pemerintah
sebagai karyawan pemerintah. Audit ini mencakup audit laporan
keuangan, audit kepatuhan, dan audit operasional. Dan laporan
audit ini diserahkan kepada kongres, dalam hal ini untuk
Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Rahayu dan
Suhayati (2010: 14) menyatakan aktivitas yang dilakukan oleh
auditor pemerintah adalah:
a) Audit keuangan (Financial Audits) yang terdiri atas audit
laporan keuangan dan audit atas hal-hal yang berkaitan dengan
keuangan.
b) Audit kinerja (performance audits) yang terdiri atas audit
ekonomi dan efisiensi operasi organisasi dan audit atas
program pemerintah dan BUMN (efektifitas).
3) Auditor Pajak
Auditor pajak mempunyai tanggung jawab terhadap
pelaksanaan pada pembayaran pajak oleh wajib pajak. Lingkup
pengerjaannya adalah memeriksa apakah wajib pajak telah benar
menghitung pajaknya sesuai dengan prosedur dan hukum yang
14 4) Auditor Internal
Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam
perusahaan (perusahaan Negara maupun perusahaan swasta) yang
tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan
prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi,
menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan
organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan
organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan
oleh berbagai bagian organisasi.
Tujuan auditor internal adalah untuk membantu manajemen
dalam melaksanakan tangung jawabny a secara efektif. Auditor
internal terutama berhubungan dengan audit operasional dan audit
kepatuhan. Meskipun demikian pekerjaan auditor internal dapat
mmendukung audit atas laporan keuangan yang dilakukan auditor
independen. Agar dapat mmenjalankan tugasnya dengan baik,
maka auditor internal harus berada diluar fungsi lini suatu
organisasi, kedudukannya independen dari auditee. Auditor
internal wajib memberikan informasi bagi manajemen pengambil
keputusan yang berkaitan dengan operasional perusahaan.
Sehingga memerlukan dukungan dari manajemen informasi dari
auditor internal tidak banyak dimanfaatkan bagi pihak ekstern
15 ekstern) hal ini yang membedakan auditor internal dan akuntan
publik (Rahayu dan Suhayati, 2010:16).
e. Standar Audit
Menurut PSA No. 1 (SA seksi 150), standar auditing adalah sebagai
berikut:
1) Standar Umum
a) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang
memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai
seorang auditor.
b) Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan,
independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh
auditor.
c) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor
wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat
dan seksama.
2) Standar Pekerjaan Lapangan
a) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika
digunakan asisten harus disuvervisi dengan sebaik-baiknya.
b) Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern
harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan
16 c) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui
inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi
sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas
laporan keuangan akuntan.
3) Standar Pelaporan
a) Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan
telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum.
b) Laporan audit harus menunjukan keadaan yang didalamnya
prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam
penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam
hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam
periode sebelumnya.
c) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus
dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan
audit.
d) Laporan audit harus memuat suatu pertanyaan pendapat
mengenai laporan keuangan secara menyeluruh, atau secara
asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika
17
f. Risiko Audit
Resiko audit adalah resiko bahwa audior tanpa sadar tidak
melakukan modifikasi pendapat sebagaimana mestinya atas laporan
keuangan yang mengandung salah saji. Laporan audit standar
menjelaskan bahwa audit dirancang untuk memperoleh keyakinan
yang memadai bukan absolut bahwa laporan keuangan telah bebas
dari salah saji material. Karena audit tidak menjamin bahwa laporan
keuangan telah bebas dari salah saji material, maka terdapat beberapa
derajat risiko bahwa laporan keuangan mengandung salah saji yang
tidak terdeteksi oleh auditor.
Para auditor menguraikan risiko audit sebagai suatu fungsi dari tiga
komponen yaitu (1) risiko bawaan, (2) risiko pengendalian, (3) risiko
deteksi (Halim, 2003: 118-121):
1) Risiko Bawaan
Risiko bawaan (inherent risk) adalah kerentanan suatu asersi
terhadap kemungkinan salah saji material, dengan asumsi tidak
terdapat pengendalian internal yang terkait.
2) Risiko Pengendalian
Risiko pengendalian (control risk) adalah risiko terjadinya
salah saji material dalam suatu asersi yang tidak akan dapat dicegah
atau dideteksi secara tepat waktu oleh struktur pengendalian intern
18 3) Risiko Deteksi
Risiko deteksi (detection risk) adalah risiko yang timbul
karena auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang
terdapat dalam suatu asersi.
2. Etika
a. Pengertian Etika
Pengertian moral sering disama artikan dengan etika. Moral
berasal dari bahasa latin moralia , kata sifat dari mos (adat istiadat)
dan mores (perilaku) sedangkan Etika dalam bahasa latin “Ethica”
berarti falsafah moral, yang merupakan pedoman cara bertingkah laku
yang baik dari sudut pandang budaya, sosial, serta agama. Makna kata
etika dan moral memang sinonim, namun menurut Siagian (1996)
dalam Wiwik dan Fitri (2006: 5) antara keduanya mempunyai nuansa
konsep yang berbeda. Moral atau moralitas biasanya dikaitkan dengan
tindakan seseorang yang benar atau salah. Sedangkan etika ialah studi
tentang tindakan moral atau sistem atau kode berperilaku yang
mengikutinya. Etika sebagai bidang studi menentukan standar untuk
membedakan antara karakter yang baik dan tidak baik atau dengan
kata lain etika merupakan studi normatif tentang berbagai prinsip yang
mendasari tipe-tipe tindakan manusia.
19 etha) yang artinya sama persis dengan moralitas, yaitu adat kebiasaan
yang baik, adat kebiasaan yang baik ini menjadi sistem nilai yang
berfungsi sebagai pedoman dan tolak ukur tingkah laku yang baik dan
buruk.
Pengertian etika jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1998), memiliki tiga arti, yang salah satunya adalah nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Menurut Barney (1992) dalam Enjel (2006:7),
menyatakan:
“Ethics may be defined as the set ofimoral principles that distinguish
what is right from what is wrong. It is a normative field because it
prescribes what one should do or obstainfrom doing”
Jadi etika merupakan seperangkat aturan/norma/pedoman yang
mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang
harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok/segolongan manusia/
masyarakat/profesi.
Menurut Siagian (1996) dalam Wiwik & Fitri (2006:5),
menyebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan mengapa
mempelajari etika itu sangat penting, yaitu:
1) Etika memandu manusia dalam memilih berbagai keputusan
yang dihadapi dalam kehidupan.
2) Etika merupakan pola perilaku yang didasarkan pada kesepakatan
20 3) Dinamika dalam kehidupan manusia menyebabkan perubahan
nilai-nilai moral sehingga perlu dilakukan analisa dan ditinjau
ulang.
4) Etika mendorong tumbuhnya naluri moralitas dan mengilhami
manusia untuk sama-sama mencari, menemukan dan menerapkan
nilai-nilai hidup yang hakiki.
Menurut Keraf dan Imam (2001: 33-35) dalam Farid dan Suranta
(2006: 5), etika dapat dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1) Etika Umum
Etika umum berkaitan dengan bagaimana manusia
mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip
moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam
bertindak, serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya
suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu
pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan
teori-teori.
2) Etika Khusus
Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dapat dibagi
menjadi dua yaitu:
a) Etika Individual, menyangkut kewajiban dan sikap manusia
21 b) Etika Sosial, berkaitan dengan kewajiban, sikap dan pola
perilaku manusia dengan manusia lainnya yang salah satu
bagian dari etika sosial adalah etika profesi akuntan.
b. EtikaBisnis
Etika (ethics) berkaitan dengan prinsip-prinsip perilaku yang
digunakan orang dalam membuat pilihan dan yang mengarahkan
perilakunya dalam situasi yang melibatkan konsep salah dan benar.
Secara lebih spesifik etika bisnis (business ethics) mencakup
pencarian jawaban atas dua pertanyaan berikut:
1) Bagaimana manajer memutuskan apa yang benar dalam
menjalankan bisnisnya?
2) Ketika para manajer telah mengetahui apa yang benar, dan
bagaimana cara mereka mencapainya?
Permasalahan etika dalam bisnis dapat dibagi menjadi empat
yaitu kesetaraan, hak, kejujuran dan penerapan kekuasaan perusahaan.
Banyak orang yang meyakini bahwa istilah etika bisnis adalah
oksimoron (dua hal yang berbeda/bertolak belakang namun
berdampingan). Akan tetapi, perilaku etis yang baik seharusnya juga
bagus untuk bisnis. Perilaku etis adalah hal yang penting, tetapi bukan
merupakan satu-satunya kondisi yang dapat membuat bisnis menjadi
sukses. Menurut Hall & Singleton (2007: 253) permasalahan etika
22 1) Kesetaran, biasanya berkaitan dengan gaji eksekutif, nilai yang
seimbang, penghitungan harga produk, proses hak perusahaan,
perlindungan kesehatan karyawan, privasi karyawan.
2) Hak, biasanya berkaitan dengan pelecehan seksual, tindakan
afirmatif, peluang bekerja yang setara, konflik kepentingan
karyawan dan pihak manajemen, keamanan data dan catatan
perusahaan.
3) Kejujuran, biasanya berkaitan dengan iklan yang menyesatkan,
praktik bisnis yang meragukan di Negara asing, pelaporan laba
pemegang saham secara akurat serta keamanan di tempat kerja.
4) Penerapan kekuasaan perusahaan, biasanya berkaitan dengan
keamanan produk, masalah lingkungan, pembebasan kepentingan,
kontribusi politik perusahaan, perampingan perusahaan dan
penutupan pabrik.
Menurut Keraf dan Imam (1995: 70-77) dalam Farid dan Suranta
(2006: 6) terdapat beberapa prinsip dalam etika bisnis yang meliputi:
1) Prinsip otonomi. Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia
untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa
yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Dalam prinsip otonom
ini terkait dua aspek yaitu: aspek kebebasan dan aspek tanggung
23 2) Prinsip Kejujuran, aspek ini meliputi:
a) Kejujuran terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat
perjanjian dan kontrak.
b) Kejujuran juga menemukan wujudnya dalam penawaran
barang dan jasa dengan mutu yang baik.
c) Kejujuran menyangkut hubungan kerja dalam perusahaan
Prinsip kejujuran ini sangat berkaitan dengan aspek
kepercayaan. Kepercayaan ini merupakan modal dasar yang akan
mengalirkan keuntungan yang besar dimasa depan.
3) Prinsip tidak berbuat jahat dan prinsip berbuat baik. Prinsip ini
memiliki dua bentuk yaitu prinsip berbuat baik menuntut agama
secara aktif dan maksimal kita semua berbuat hal yang baik bagi
orang lain dan dalam bentuk yang minimal dan pasif, menuntut
agar kita tidak berbuat jahat kepada orang lain.
4) Prinsip keadilan, prinsip ini menuntut agar kita memperlakukan
orang lain sesuai dengan haknya.
5) Prinsip hormat pada diri sendiri, prinsip ini sengaja dirumuskan
secara khusus untuk menunjukkan bahwa setiap individu itu
mempunyai kewajiban moral yang sama bobotnya untuk
menghargai diri sendiri.
Sebagian besar orang mengembangkan kode etik akibat
lingkungan keluarga mereka, pendidikan formal, dan pengalaman
24 melalui beberapa tahapan evolusi moral sebelum sampai pada sebuah
tingkat pemikiran etika (Boston & Irwin, 1993) dalam Hall &
Singleton (2007).
c. Kode Etik
1) Pengertian Kode Etik
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa kepada
masyarakat harus memiliki kode etik, yang merupakan
seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang prilaku
profesional. Alasan yang mendasari diperlukannya
2) Tujuan Kode Etik
Menurut Muljono (1991;13) dalam Enjel (2006: 32) tujuan
kode etik adalah:
“(1) Dengan adanya kode etik akan mengikat para anggota profesi pada nilai-nilai sosial tertentu yang memungkinkan manusia hidup produktif baik dibidang ekonomi, sosial maupun cultural, sesuai martabat manusiawi sebagaimana dituntut perkembangan zamannya; (2) Dengan adanya kode etik akan mengikat pula para anggota profesi pada suatu bentuk disiplin untuk mengejar, dan berbakti pada nilai-nilai yang diakuinya lebih tinggi, dengan demikian etika profesional harus diarahkan pada nilai-nilai sosial yang lebih tinggi dan bukan ditunjukan kepada pembuktian untuk kepentingan kelompok profesional yang bersangkutan”.
3) Pentingnya Kode Etik Profesional
Nadirsyah (1993) dalam Enjel (2006: 32) mengemukakan
tiga alasan pentingnya kode etik profesional yaitu:“ (1)
25 aturan untuk suatu profesi, (2) Memberi pengetahuan kepada
seseorang apa yang diharapkan profesinya, (3) Dari pandangan
organisasi profesi, kode etik adalah pernyataan umum aturan-aturan”.
Jadi kode etik profesional sangat penting karena memberikan
informasi yang secara eksplisit mengatur suatu kriteria umum
untuk suatu profesi, memberi pengetahuan kepada seseorang apa
yang diharapkan profesinya, dan merupakan pernyataan umum
prinsip-prinsip sehingga kode etik profesional sangat
mempengaruhi reputasi suatu profesi dan kepercayaan masyarakat
terhadap profesi tersebut.
d. Kode EtikAkuntan
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik
Akuntan Indonesia. Kode etik ini mengikat para anggota IAI disatu
sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau
belum menjadi anggota IAI. Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru
tersebut terdiri dari tiga bagian (Prosiding kongres VIII, 1998), yaitu:
1) Kode Etik Umum
Terdiri dari delapan prinsip etika profesi, yang merupakan
landasan perilaku etika profesional, memberikan kerangka dasar
bagi Aturan Etika, dan mengatur pelaksanaan pemberian jasa
26 a) Kompetensi
Kompetensi di bidang audit merupakan suatu keharusan
bagi seorang yang akan melaksanakan tugasnya di bidang
audit. Disamping pengetahuan di bidang audit, auditor
tentunya diharapkan mempunyai pengetahuan yang
memadai dalam substansi yang diaudit.
b) Integritas
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang auditor wajib
mengedepankan integritasnya. Dimana pada masa sekarang
ujian bagi integritas seorang auditor semakin berat. Apalagi,
jasa audit yang diberikan merupakan jenis pekerjaan yang
ditopang oleh kepercayaan dari penerima jasa. Apabila
kepercayaan hilang maka seumur hidup orang tidak akan
percaya.
c) Objektifitas
Dalam melaksanakan tugasnya seorang auditor harus
selalu dapat bertindak objektif sesuai dengan bukti-bukti
otentik yang diperolehnya selama mengadakan pemeriksaan,
begitu juga sebelum melaporkan hasil audit hendaknya
mengadakan review dan pengujian kembali atas
27 d) Independensi
Independensi merupakan sikap tidak memihak yang perlu
dimiliki oleh seorang auditor dalam menjalankan tugasnya.
Sikap tidak memihak ini merupakan suatu faktor yang akan
mengangkat kualitas audit ketingkat yang lebih tinggi. Tentu
saja independensi ini bukan berarti auditor akan memasang
sikap bermusuhan dengan pihak yang diaudit.
e) Kehati-Hatian
Sikap hati-hati juga harus dimiliki oleh auditor dalam
melaksanakan tugasnya. Disamping itu, bukti yang cukup
juga harus diperoleh dengan cara-cara yang lazim dilakukan
untuk memperoleh kesimpulan audit yang handal.
f) Kerahasiaan
Kerahasiaan terhadap informasi yang diperoleh dalam
pelaksanaan audit juga perlu dijaga dengan baik oleh auditor.
Hal ini untuk mencegah terjadinya ketegangan yang tidak
perlu antara auditor dengan pihak auditan, atau antara pihak
auditan dengan pihak ketiga. Dengan demikian auditor perlu
bersikap hati-hati untuk mengungkapkan hasil auditnya
28 2) Kode Etik Akuntan Kompartemen.
Kode Etik Akuntan Kompartemen disahkan oleh Rapat
Anggota Kompartemen dan mengikat seluruh anggota
Kompartemen yang bersangkutan.
3) Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen
Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen merupakan
panduan penerapan Kode Etik Kompartemen.
4) Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai
sebagai interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya
Aturan dan Interpretasi baru yang menggantikanya.
Di Indonesia, penegakan Kode Etik dilaksanakan oleh
sekurang-kurangnya enam unit organisasi, yaitu: Kantor Akuntan Publik. Unit
Peer Review Kompartemen Akuntan Publik- IAI, Badan Pengawas
Profesi Kompartemen Akuntan Publik- IAI, Dewan Pertimbangan
Profesi IAI, Departemen Keuangan RI, dan BPKP. Selain keenam unit
organisasi tadi, pengawasan terhadap Kode Etik diharapkan dapat
dilakukan sendiri oleh para anggota dan pimpinan KAP. Hal ini
tercermin di dalam rumusan Kode Etik Akuntan Indonesia Pasal 1
ayat 2, yang berbunyi:
29 Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik
Akuntan Indonesia. Kode etik ini mengikat para anggota Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya
yang bukan atau belum menjadi anggota IAI. Ada dua sasaran pokok
dari kode etik ini, yaitu: Pertama, kode etik ini bermaksud untuk
melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian,
baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari kaum profesional.
Kedua, kode etik ini bertujuan untuk melindungi keluhuran profesi
tersebut dari pelaku-pelaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku
dirinya profesional (Keraf, 1998) dalam (Farid dan Suranta, 2006: 7).
3. Pengalaman Auditor
Pengetahuan auditor tentang audit akan semakin berkembang
dengan bertambahnya pengalaman bekerja. Pengalaman bekerja akan
meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kompleksitas kerja
(Ratnadi, 2005 dalam Dian 2008: 160).
Pengalaman sebagai salah satu variabel yang banyak digunakan
dalam berbagai penelitian. Marinus (1997) dalam Herliansyah dan Illyas
(2006) menyatakan bahwa secara spesifik pengalaman dapat diukur
dengan rentang waktu yang telah digunakan terhadap suatu pekerjaan
atau tugas. Penggunaan pengalaman didasarkan pada asumsi bahwa tugas
yang dilakukan secara berulang-ulang memberikan peluang untuk belajar
30 Widiyanto dan Yuhertina (2005) dalam Kusumawati (2008)
menyatakan bahwa pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang
dipetik oleh seorang dari peristiwa-peristiwa yang dialami dalam
perjalanan hidupnya. Pengalaman berdasarkan lama bekerja merupakan
pengalaman auditor yang dihitung berdasarkan suatu waktu/tahun.
Sehingga auditor yang telah lama bekerja sebagai auditor dapat dikatakan
auditor berpengalaman. Karena semakin lama bekerja menjadi auditor,
maka akan dapat menambah dan memperluas pengetahuan auditor
dibidang akuntansi dan auditing.
Indri (2005) dalam Herman (2009: 16) memberikan kesimpulan
bahwa seseorang yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan
memiliki keunggulan dalam beberapa hal diantaranya: (1). Mendeteksi
kesalahan, (2). Memahami kesalahan, (3). Mencari penyebab munculnya
kesalahan. Keunggulan tersebut bermanfaat bagi pengembangan
keahlian. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki individu akan
mempengaruhi pelaksanaan suatu tugas. Seseorang yang berpengalaman
memiliki cara berpikir yang lebih terperinci, lengkap, dan sophisticated
dibandingkan seseorang yang belum berpengalaman ( Taylor dan Tood,
1995 dalam Ananing, 2006).
Menurut pendapat Tubbs (1992) dalam Taufik (2009) jika seorang
auditor berpengalaman maka: (1). Auditor menjadi sadar terhadap lebih
banyak kekeliruan, (2). Auditor memiliki salah pengertian yang lebih
31 kekeliruan yang tidak lazim atas hal-hal yang terkait dengan penyebab
kekeliruan departemen tempat terjadinya kekeliruan dan pelanggaran
serta tujuan pengendalian internal menjadi relatif lebih menonjol.
Menurut Herliansyah (2006) memperlihatkan bahwa seseorang
dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih
banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan
suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Maka dengan
adanya pengalaman kerja yang semakin lama diharapkan auditor dapat
semakin baik dalam pendeteksian kecurangan yang terjadi dalam
perusahaan klien. Menurut Sularso dan Na’im (1999:156) dalam Herman
(2009:18), mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang
berpengalaman membuat judgment lebih baik dalam tugas-tugas
profesional ketimbang akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman.
Hal ini dipertegas oleh Haynes dkk., (1998) dalam Herman (2009: 18)
yang menemukan bahwa pengalaman audit yang dipunyai auditor ikut
berperan dalam menentukan pertimbangan yang diambil.
Pengalaman kerja seseorang menunjukan jenis-jenis pekerjaan
yang pernah dilakukan seseorang dan memberikan peluang yang besar
bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. Semakin luas
pengalaman kerja seseorang, semakin terampil melakukan pekerjaan dan
semakin sempurna pola pikir dan sikap dalam bertindak untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Puspaningsih, 2004 dalam Herman,
32 Menurut Boner & Walker (1994) dalam Ananing (2009)
menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan yang muncul dari
penambahan pelatihan formal sama bagusnya dengan yang didapat dari
pengalaman khusus dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai
profesional. Auditor harus menjalani pelatihan yang cukup. Pelatihan
disini dapat berupa kegiatan-kegiatan seperti seminar, symposium,
lokakarya, dan kegiatan penunjang keterampilan lainnya. Selain
kegiatan-kegiatan tersebut, pengarahan yang diberikan oleh auditor
senior kepada auditor pemula (junior) juga bisa dianggap sebagai salah
satu bentuk pelatihan karena kegiatan ini dapat meningkatkan kerja
auditor, melalui program pelatihan dan praktek-praktek audit yang
dilakukan para auditor juga mengalami proses sosialisasi agar dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan situasi yang akan ditemui, struktur
pengetahuan auditor yang berkenaan dengan kekeliruan mungkin akan
berkembang dengan adanya program pelatihan auditor ataupun dengan
bertambahnya pengalaman auditor.
Trotman dan Wright (1996) dalam Herman (2009: 20) memberikan
bukti empiris bahwa dampak auditor akan signifikan ketika kompleksitas
tugas dipertimbangkan. Pengalaman akan berpengaruh signifikan ketika
tugas yang dilakukan semakin kompleks. Seseorang yang memiliki
pengetahuan tentang kompleksitas tugas yang lebih ahli dalam
33 kesalahan, kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran dalam
melaksanakan tugas.
Tentang dampak pengalaman dalam kompleksitas tugas, tugas
spesifik dan gaya pengambilan keputusan, memberi kesimpulan bahwa
kompleksitas tugas merupakan faktor terpenting yang harus
dipertimbangkan dalam pertambahan pengalaman. Auditor junior
biasanya memperoleh pengetahuan dan pengalamannya terbatas dari
buku teks sedangkan auditor senior mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman lewat pelatihan dan pengembangan lebih lanjut dari
kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
4. SkeptismeProfesional Auditor
Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP), 2001:230.2, menyatakan
skeptisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran
yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis
terhadap bukti audit. Sedangkan menurut Shaub dan Lawrence (1996)
dalam Noviyanti (2008: 108) mengartikan skeptisme profesional auditor sebagai berikut: “profesional scepticism is a choice to fulfill the
profesional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences
of another person’s behavior…”. Selain itu juga skeptisme profesional
dapat diartikan juga sebagai pilihan untuk memenuhi tugas auditor
profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan
34 Skeptisme profesional perlu dimiliki oleh auditor terutama pada
saat memperoleh dan mengevaluasi bukti audit. Auditor tidak boleh
mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen adalah tidak jujur, tetapi
auditor juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya
jujur (IAI, 2000, SA seksi 230; AICPA, 2002, AU 230). Pernyataan
yang hampir sama juga terdapat pada ISA No. 200 (IFAC, 2004) yang
menyatakan bahwa auditor harus merencanakan dan melaksanakan
audit dengan sikap skeptisme profesional, dengan mengakui bahwa ada
kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan keuangan.
Noviyanti (2008: 107) menyatakan bahwa skeptisme profesional
auditor adalah suatu sikap (attitude) dalam melakukan penugasan audit.
Maka hal yang pertama yang akan dibahas adalah mengenai sikap
manusia. Eagly dan Chaiken (1993) dalam The Handbook of Attitudes (2005) mendefinisikan sikap sebagai “a psychological tendency that is
expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or
disfavor”. Hal tersebut tidak berbeda jauh dari pakar psikologi lain
(Siegel dan Marconi, 1989; Petty et al., 1997; Ajzen, 2001) yang juga
mendefinisikan sikap sebagai tanggapan atau respon seseorang yang
merupakan hasil evaluasi terhadap objek yang ditangkapnya seperti
orang, objek, ide, atau situasi tertentu. Tanggapan ini dapat berupa
perasaan menyukai (favorable) atau perasaan tidak menyukai
(unfavorable), dapat juga berupa derajat efek positif atau derajat efek
35 Skeptisme profesional auditor merupakan sikap (attitude) auditor
dalam melakukan penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran
yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis
terhadap bukti audit. Karena bukti audit dikumpulkan dan dinilai
selama proses audit, maka skeptisme profesional harus digunakan
selama proses tersebut (IAI, 2000, SA, seksi 230; AICPA, 2002, AU,
230). Skeptisme merupakan manifestasi dari obyektivitas. Skeptisme
tidak berarti bersikap sinis, terlalu banyak mengkritik, atau melakukan
penghinaan. Auditor yang memiliki skeptisme profesional yang
memadai akan berhubungan dengan pertanyaan berikut: (1) apa yang
perlu saya ketahui? (2) Bagaimana cara saya bisa mendapatkan
informasi tersebut dengan baik? dan (3) Apakah informasi yang saya
peroleh masuk akal?. Skeptisme profesional auditor akan
mengarahkannya untuk menanyakan setiap isyarat yang menunjukan
kemungkinan terjadinya kecurangan (Louwers, 2005 dalam Noviyanti,
2008: 108).
Auditor menerapkan skeptisme profesional pada saat mengajukan
pertanyaan dan menjalankan prosedur audit, dengan tidak cepat puas
dengan bukti audit yang kurang persuasif yang hanya didasarkan pada
kepercayaan bahwa manajemen dan pihak terkait bersikap jujur dan
mempunyai integritas (IFAC, 2004, ISA 240.23-25). Dalam ISA No.
200, dikatakan bahwa sikap skeptisme profesional berarti auditor
36 yang selalu mempertanyakan (questioning mind) terhadap validitas dari
bukti audit yang diperoleh, waspada terhadap bukti audit yang bersifat
kontradiksi atau menimbulkan pertanyaan sehubungan dengan
reliabilitas dari dokumen, dan memberikan tanggapan terhadap
pertanyaan-pertanyaan dan informasi lain yang diperoleh dari
manajemen dan pihak yang terkait (IFAC, 2004). Skeptisme profesional
dalam penelitian ini menggunakan definisi yang digunakan oleh standar
profesional akuntan publik di Indonesia yaitu sebagai sikap auditor
yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan
evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI, 2000, SA seksi 230.06;
AICPA, 2002, AU 230.07).
Siegel dan Marconi (1989) dalam Noviyanti (2008) menyatakan
bahwa skeptisme profesional auditor dipengaruhi oleh faktor sosial
(kepercayaan), faktor psikologikal (penaksiran risiko kecurangan), dan
faktor personal (kepribadian).
a. Kepercayaan (trust)
Auditor independen yang melakukan audit dilapangan akan
melakukan interaksi sosial dengan klien, manajemen dan staf klien.
Interaksi sosial ini akan menimbulkan trust (kepercayaan) dari
auditor terhadap klien. Model teoritis yang dikembangkan oleh
Kopp dkk., (2003) dalam Noviyanti (2008: 103) menyatakan
bahwa kepercayaan (trust) dalam hubungan auditor-klien akan
37 yang rendah terhadap klien akan meningkatkan sikap skeptisme
auditor, sedangkan tingkat kepercayaan auditor yang terlalu tinggi
akan menurunkan sikap skeptisme profesionalnya.
b. Penaksiran risiko kecurangan (fraud risk assesment)
Payne dan Ramsay (2005) dalam Noviyanti (2008: 104)
membuktikan bahwa skeptisme profesional auditor dipengaruhi
oleh penaksiran risiko kecurangan (fraud risk assesment) yang
diberikan oleh atasan auditor (auditor in charge) sebagai pedoman
dalam melakukan audit di lapangan. Auditor yang diberi
penaksiran risiko kecurangan yang rendah menjadi kurang skeptic
dibandingkan dengan auditor yang diberi penaksiran risiko
kecurangan yang tinggi.
c. Kepribadian (personality)
Tipe kepribadian seseorang diduga juga mempengaruhi sikap
skeptisme profesionalnya. Petty dkk., (1997) dalam Noviyanti
(2008: 104) mengakui bahwa sikap mempunyai dasar genetik.
Sikap yang mempunyai dasar genetik cenderung lebih kuat
dibandingkan dengan sikap yang tidak mempunyai dasar genetik.
Jadi dapat dikatakan bahwa perbedaan kepribadian individual
menjadi dasar dari sikap seseorang termasuk sikap skeptisme
profesionalnya. Kepribadian (personality) didefinisikan sebagai
karakteristik dan kecenderungan seseorang seperti cara berpikir,
38
5. Pendeteksian Kecurangan
Ramaraya (2008) menyatakan bahwa pendeteksian kecurangan
bukan merupakan tugas yang mudah dilaksanakan oleh auditor, dari
literatur yang ada beberapa faktor yang teridentifikasi yang menjadikan
pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan, sehingga auditor gagal
dalam usaha mendeteksi kecurangan tersebut. Faktor-faktor penyebab
tersebut diantaranya: karakteristik terjadinya kecurangan, standar
pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan, lingkungan pekerjaan
audit yang mengurangi kualitas audit, metode dan prosedur audit yang
tidak efektif dalam pendeteksian kecurangan. Identifikasi atas
faktor-faktor penyebab, menjadi dasar untuk kita memahami kesulitan dan
hambatan auditor menjalankan tugasnya dalam mendeteksi kecurangan.
SA Seksi 312.2 (PSA No. 25) paragraph 03 dan 04 menyatakan, “konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara
individual atau keseluruhan, adalah penting bagi kewajaran penyajian
laporan keuangan sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum
(PABU) di Indonesia”. Laporan keuangan mengandung salah saji
material apabila dampaknya secara individual atau keseluruhan cukup
signifikan sehingga mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan
secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan Prinsip
Akuntansi Berlaku Umum (PABU) di Indonesia. Salah saji dapat terjadi
39 Kecurangan (fraud) perlu dibedakan dengan kekeliruan (error). Kekeliruan dapat di deskripsikan sebagai “unintentional mistake”
(kesalahan yang tidak disengaja). Kekeliruan dapat terjadi pada setiap
tahap dalam pengelolaan transaksi, dari terjadinya transaksi,
pendokumentasian, pencatatan, pengikhtisaran hingga proses
menghasilkan laporan keuangan.
Kekeliruan (error) berarti salah saji (misstatement) atau hilangnya
jumlah pengungkapan dalam laporan keuangan yang tidak disengaja.
Boynton dan Kell (1996:55) dalam Ferdinand dan Na’im (2006: 6)
membagi kekeliruan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kekeliruan dalam mengambil atau memproses data akuntansi yang
akan digunakan untuk membuat laporan keuangan.
2. Kekeliruan perkiraan akuntansi yang diakibatkan oleh kekeliruan
interprestasi terhadap fakta.
3. Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi terkait dengan
jumlah, klasifikasi, tujuan dan pengungkapan.
Sementara irregularities atau kecurangan adalah salah saji atau
hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang
disengaja (Yusuf, 2001:66 dalam Ferdinand dan Na’im, 2006: 6).
Kekeliruan dan kecurangan dibedakan melalui apakah tindakan yang
mendasarinya dan berakibat pada terjadinya salah saji dalam laporan
keuangan berupa tindakan yang disengaja atau tidak disengaja. Menurut
40 penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan”. Kecurangan
(irregularities) meliputi:
1. Manipulasi, pemalsuan atau mengubah catatan akuntansi atau
dokumen pendukung dari laporan keuangan yang disajikan.
2. Salah interpretasi atau penghasilan keterangan atas suatu kejadian,
transaksi atau informasi lain yang signifikan
3. Salah penerapan yang disengaja atas prinsip-prinsip akuntansi yang
berhubungan dengan jumlah tertentu, klasifikasi dan penyajian serta
pengungkapan.
Secara umum penyebab terjadinya kecurangan diakibatkan oleh
faktor utama (faktor internal atau dari diri orang yang bersangkutan) dan
faktor sekunder atau faktor eksternal. Penyebab utama (internal)
terjadinya kecurangan, antara lain adalah (Vanables and Impey, 1988 dalam Ferdinand dan Na’im, 2006: 8):
1. Penyembunyian (concealment). Kesempatan yang ada tidak
terdeteksi oleh pengendalian internal perusahaan, sehingga
kesempatan tersembunyi ini diketahui oleh seorang yang kemudian
melakukan kecurangan.
2. Kesempatan (opportunity). Pelaku perlu berada pada tempat yang
tepat, waktu yang tepat agar dapat mendapatkan keuntungan atas
41 3. Motivasi (motivation). Pelaku membutuhkan motivasi untuk
melakukan aktivitas demikian, suatu kebutuhan pribadi seperti
ketamakan/ kerakusan dan motivasi lain.
4. Daya Tarik (attraction). Sasaran kecurangan akan direncanakan
biasanya jika merupakan sesuatu yang menarik atau yang
menguntungkan pelaku.
5. Keberhasilan (success). Pelaku perlu menilai peluang berhasil atau
tidaknya suatu tindakan kecurangan, yang dapat menghindari
penuntutan atau deteksi.
Adapun penyebab sekunder terjadinya kecurangan, antara lain:
1. Kurangnya pengendalian internal perusahaan, yaitu dengan
memanfaatkan fasilitas perusahaan yang dianggap sebagai suatu
tunjangan karyawan
2. Hubungan antara pemberi kerja dan pekerja yang jelek, yaitu kurang
adanya saling pecaya dan penghargaan yang tidak semestinya.
Pelaku dapat menemukan alasan bahwa kecurangan hanya
merupakan kewajiban.
3. Balas dendam (revenge), yaitu ketidaksukaan yang berlebihan
terhadap organisasi dapat mengakibatkan pelaku berusaha
merugikan organisasi tersebut.
4. Tantangan (challenge), yaitu karyawan yang bosan dengan
42
untuk “merusak sistem”, sehingga mendapatkan kepuasan sesaat
atau pembebasan prustasi.
B. Keterkaitan Antar Variabel Penelitian dan Perumusan Masalah 1. Variabel pendeteksian kecurangan dengan penerapan aturan etika.
Etika pada dasarnya berkaitan dengan moral yang merupakan
kristalisasi dari ajaran-ajaran, patokan-patokan, kumplan aturan dan suatu
ketetapan baik lisan maupun tertulis. Etika dinyatakan tertulis yang disebut
kode etik. Pengembangan kesadaran terhadap aturan etika memainkan
peran kunci dalam semua area profesi akuntan. Seorang auditor harus
mentaati aturan etika dalam melaksanakan tugasnya untuk memudahkan
auditor dalam mendeteksi adanya kecurangan (Louwers, 1997 dalam Gusti
dan Ali, 2006). Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam penelitian ini akan
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Ha1: Penerapan aturan etika berpengaruh signifikan terhadap
pendeteksian kecurangan.
2. Variabel pendeteksian kecurangan dengan pengalaman.
Penelitian dalam psikologi (Hayes-Roth and Hayes-Roth 1975;
Hutchinso 1983; Murphy and Wright 1984) telah menunjukan bahwa
seseorang dengan pengalaman lebih pada suatu bidang kajian tertentu,
mempunyai lebih banyak hal yang disimpan dalam ingatannya. oleh
karena itu, dengan bertambahnya pengalaman auditing, jumlah kecurangan
43 penjelasan tersebut, dalam penelitian ini akan dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
Ha2: Pengalaman berpengaruh signifikan terhadap pendeteksian
kecurangan .
3. Variabel pendeteksian kecurangan dengan skeptisme profesional auditor.
Standar Profesional Akuntan Publik menyatakan skeptisme
profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu
mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti
audit. Auditor yang skeptis tidak akan menerima begitu saja penjelasan
dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan,
bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang dipermasalahkan, tanpa
menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah
saji yang disebabkan oleh kekeliruan kekeliruan saja dan sulit untuk
menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena
kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya (Novyanti,
2008: 2). Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam penelitian ini akan
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Ha3: Skeptisme professional auditor berpengaruh signifikan terhadap
44
C. Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan
dengan penerapan aturan etika, pengalaman, skeptisme profesional auditor
dan pendeteksian kecurangan seperti yang terlihat pada tabel:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No. Judul & Peneliti Variabel
Penelitian
Alat
Pengukuran Hasil Penelitian
45
No. Judul & Peneliti Variabel
Penelitian
Alat
Pengukuran Hasil Penelitian
Skeptisme
5. Analisis Pengaruh Pengalaman,
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Pendeteksian kecurangan,
dan akan diuji dengan hal yang mepengaruhinya yaitu meliputi penerapan
aturan etika, pengalaman, dan skeptisme profesional auditor. Untuk itu, dalam
46
Gambar 2.1
Model Hubungan Penerapan Aturan Etika, Pengalaman, dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan
Pendeteksian Kecurangan Herman (2009) & Widiyastuti (2009) Pengalaman
Herman (2009) &Widiyastuti (2009) Penerapan Aturan Etika
Enjel (2006)