• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum dan kepentingan: telaah kritis atas undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dalam perspektif UUD 1945 dan hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum dan kepentingan: telaah kritis atas undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dalam perspektif UUD 1945 dan hukum Islam"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh

Ahmad Rizal Ali Fahmi NIM : 103043127947

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) Program Sarjana (S-1) Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

Ahmad Rizal Ali Fahmi NIM: 103043127947

Di Bawah Bimbingan

DR. JM. Muslimin, M.A NIP. 150 295 489

DR. H. Fuad Thohari, M.Ag NIP. 150 299 934

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

TENTANG PENANAMAN MODAL DALAM PERSPEKTIF UUD 1945 DAN HUKUM ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Fikih.

Jakarta, 2 Juni 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., MA, M.M NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA (... ) NIP. 150 220 544

2. Sekretaris : DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (... ) NIP. 150 290 159

3. Pembimbing I : DR. JM. Muslimin, M.A (... ) NIP. 150 295 489

4. Pembimbing II : DR. H. Fuad Thohari, M.Ag (... ) NIP. 150 299 934

5. Penguji I : DR. H. Abdurrahman Dahlan, MA (... ) NIP. 150 234 469

(4)

TENTANG PENANAMAN MODAL DALAM PERSPEKTIF UUD 1945 DAN HUKUM ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Fikih.

Jakarta, 2 Juni 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., MA, M.M NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

7. Ketua : DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA (... ) NIP. 150 220 544

8. Sekretaris : DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (... ) NIP. 150 290 159

9. Pembimbing I : DR. JM. Muslimin, M.A (... ) NIP. 150 299 934

10.Pembimbing II : DR. H. Fuad Thohari, M.Ag (... ) NIP. 150 312 427

11.Penguji I : Jaenal Arifin, M.Ag (... ) NIP. 150 289 202

(5)
(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2 Juni 2009

(7)
(8)

Kata Pengantar

Bismillâhirrahmânirrahîm. Al-hamdulillâhi Rabb al-’âlamîn. Shalâtan wa

salâman dâimain ’alâ Rasûlillah SAW wa man tabi’ahu ilâ yaum al-dîn. Segala puji

Penulis haturkan hanya kepada Gusti Pengeran Yang Moho Welas Asih dan

Murbowaseso. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah-limpahkan kepada Kanjeng

Nabi Muhammad SAW beserta para Sahabat dan Para Pengikutnya.

Penulis kira, sebuah karya ilmiah tidak lain hanyalah bahan kritikan, koreksi

dan mungkin penyempurna sementara atas karya pendahulunya, serta tidak lebih dari

sekedar “muqoddimah” atas karya lain yang akan menyusul kemudian, yang

sekaligus menjadi pengoreksi, pengkritik, dan penyempurnya. Demikian seterusnya.

Juga, sebuah karya ilmiah tidak lain merupakan hasil refleksi atas pergulatan hidup

penulisnya. Bukankah historisitas, logos dan praksis senantiasa mempunyai hubungan

relasional? Dan, pergulatan itu tidak jarang berbuah menjadi sebuah keresahan dan

kegelisahan, sebelum akhirnya direfleksikan menjadi sebuah tindakan prak tis.

Beruntung, keresahan dan kegelisahan itu bersamaan dengan datangnya

tuntutan (dan paksaan) formal untuk meraih pengakuan sebagai ”kelas terdidik” dari

”rezim pengetahuan resmi”. Meski pengerjaannya sempat terhenti beberapa bulan,

akhirnya rampung juga. Oleh karenanya, sudah seyogyanya penulis berikan

penghargaan kepada mereka yang turut berjasa atas terciptanya karya ini, yaitu:

1. DR. JM Muslimin, M.A. dan DR. H. Fuad Thohari, M.A selaku Pembimbing,

(9)

membimbing penulis. Berkat beliau berdua, karya yang sedianya hanya pantas

disebut pamflet atau selebaran gelap ini layak dianggap sebagai sebuah karya

ilmiah.

2. Kedua Orang tua penulis; H. Shiddiq Wiyoto dan Hj. Munziyah, serta saudara/i;

Nayli Ismatin (Almh.), Tsalis Ali Fahmi dan Laela Robi‟atul Adawiyah.

3. Segenap Masyâyikh PP. Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Juga,

guru-guru penulis, murobbi alrûh, al-ahyâ’ minhum wa al-amwât. Nafa’anâ

bihim wa bi’ulûmihim.

4. Jufri Sahroni, Ichsanuddin Noorsy, Ray Rangkuti, Henry Saragih, Buya Nur A.

Satria, Ahmad Baso, Dani Setiawan, Piet Khaidir Hizbullah, Siti Muniroh,

Wahyu, Aderobi dan lain-lain yang telah mengajari penulis cara ”membaca”

sekaligus ”mengamalkannya”.

5. Kawan-kawan “ashhâb al-syimâl” Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi

Indonesia (LS-ADI) dan Komite Mahasiswa Anti Imperialisme (KM-AI) atas

segalanya.

6. Sahabat-sahabat “ashhâb al-yamîn” Himpunan Alumni Bahrul Ulum Ibu Kota

(Himabi) PP. Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, di Jakarta, dan

Forum Silaturahim Mahasiswa Bahrul Ulum (Fismaba) di jagad maya. Juga

rekan-rekan (sok) aktivis Forum Mahasiswa Santri Alumni Lirboyo (Formal)

Jakarta. Karena kalian semua, keyakinan penulis akan dunia mistis (hizb, klenik,

wangsit, kuburan, jimat, dll) semakin mantap. Rasionalisme dan modernisme

(10)

7. Kawan-kawan Gerakan Rakyat Lawan Nekolim (Gerak Lawan); Federasi Serikat

Petani Indonesia (FSPI) –kini Serikat Petani Indonesia (SPI) beserta La via

Campesina/International Peasant Movement, Serikat Buruh Jabodetabek (SBJ) –

kini Serikat Buruh Indonesia (SBI), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI),

Koalisi Anti Utang (KAU), dan lain-lain.

8. Matanillam beserta Kru, yang telah mempercayakan ”laboratorium”-nya kepada

Penulis, sehingga Penulis bisa belajar lebih jauh tentang relasi dan peran modal

terhadap kehidupan sosial sebuah masyarakat kota. Juga kru KDC; Pak Edy

Rusmadi dan Silahamudin, atas hidangannya.

9. Untuk teman-teman semua; Ainul Yaqin Al-Inyo‟i, Amir Sadewo (atas iringan

rock blues gending progressive metal-nya), Gus Aam (atas printer-nya), Hj. Faida

(atas perpustakaannya), Gus Aripin Katiran, Gus Syafik, Gus Ucil, Gus Saiful

Hadi al-Brengengi, Gus Mundir, Gus Ghofur, Gus Baroto dan para Gawagis yang

lain. Juga untuk LS Didi, LS Bagus, LS Mamet, LS Ikhwan, LS Sule, LS Ipung

serta LS-LS yang lain. Terima kasih semua.

Ciputat, 2 Juni 2009

(11)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Pedoman Transliterasi ... vi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Batasan dan Rumusan Masalah ... 13

(12)

D.Apresiasi Karya Terdahulu ... 15

E.. Critical-Proggresive Approach dan Liberation Theology: .... Sebuah Pendekatan ... 17

F. . Metode Penelitian ... 22

G.Sistematika Penulisan ... 23

BAB II LANDDASAN TEORI A.Hukum dan Kepentingan; Beberapa Pengertian tentang Hukum ... 17

B.Pengertian Hukum Terminologis dan Relevansinya dengan Kepentingan... 33

C.Negara Hukum dan Rasio-Legis-Falsasi Kenegaraan Indonesia ... 39

BAB III MODAL ASING DAN KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA A.Pasal 33 UUD 1945 dan Rasio-Legis-Falsafi Perekonomian Indonesia... 47

B.Penanaman Modal Asing di Indonesia; Studi atas UU 1/1967 dan UU 25/2007 ... 56

C.Modal Asing dan Globalisasi; sebuah Refleksi Kritis ... 77

BAB IV GLOBALISASI MODAL, KONSTITUSI DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Kelahiran Pasal 33 UUD 1945 dalam Perspektif Islam ... 87

B. Kepemilikan... 89

C. Intervensi Negara dan Amanat ... 93

(13)

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 99

B.Saran-saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101

PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

(14)

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah ض d de dengan garis bawah ط t te dengan garis bawah ظ z zet dengan garis bawah ع ‟ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w we

ه h ha

ء ` apostrop

ي y ye

Vokal Vokal

Panjang Diftong

Kata Sandang

Ta Marbûtah Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin

ــــــ a آـــــ â ي ــــــ ai لا al- ة h & t

ــــــ i يـــــ î و ــــــ au

(15)

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah ض d de dengan garis bawah ط t te dengan garis bawah ظ z zet dengan garis bawah ع ’ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w we

ه h ha

ء ` apostrop

ي y ye

Vokal Vokal

Panjang Diftong

Kata Sandang

Ta Marbûtah Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin

ــــــ a آـــــ â ي ــــــ ai لا al- ة h & t

ــــــ i يـــــ î و ــــــ au

ــــــ u وـــــ û

(16)

B. Batasan dan Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Apresiasi Karya Terdahulu... 15

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LANDASAN TEORI A. Hukum dan Kepentingan ... 19

B. Negara Hukum dan Rasio-Legis-Falsasi Kenegaraan Indonesia ... 30

BAB III TINJAUAN KONSTITUSI ATAS HUKUM DAN KEPENTINGAN; STUDI ATAS MODAL ASING DAN KEPEMILIKAN DALAM UU PENANAMAN MODAL DI INDONESIA A. Pasal 33 UUD 1945 dan Rasio-Legis-Falsafi Perekonomian Indonesia ... .. 36

B. Modal Asing dan Kepemilikan dalam UU Penanaman Modal di Indonesia ... 44

(17)

B. Tinjauan Islam Atas Hukum dan Kepentingan; Studi Atas

Modal Asing dan Kepemilikan dalam UU Penanaman Modal

di Indonesia ... 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran-saran ... 85

(18)

1

Aan Java’s strand verdrongen zich de volken

Steeds daagden nieuwe meesters over’t meer Zij volgden op elkaar, gelijk aan’t zwerk de wolken

De telg des lands alteen was nooit zijn heer

Artinya:

Di pantainya tanah Jawa rakyat berdesak-desakan Datang selalu tuan-tuannya setiap masa

Mereka beruntun-runtun sebagai runtunan awan Tapi anak-pibumi sendiri tak pernah kuasa

Demikian Dr. Pieter J. Veth (1814-1895), seorang ahli etnologi dan bahasa

Indonesia berkebangsaan Belanda, bersyair menggambarkan ironi kekayaan alam

Indonesia dan keadaan kaum pribuminya di tengah sejumlah perusahaan asing

menanamkan investasinya di negeri tersebut. sebagaimana dikutip dan kemudian

dikritik Presiden Soekarno dalam “Mencapai Indonesia Merdeka.”1

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alam.

Keanekaragaman hayati Indonesia menduduki peringkat nomor 2 (dua) dunia.2 Atlas

Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup (2000) mencatat bahwa

masyarakat Indonesia menggunakan lebih dari 940 spesies liar sebagai bahan

tanaman obat. Tidak kurang dari 100 spesies kacang-kacangan, 450 buah-buahan,

1Sukarno, Mencapai Indonesia Merdeka, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), cet. ke -3, h.

11-16; lihat juga Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta; Panitia Penerbit Dibawah Bendera

Revolusi, 1965), cet. ke-1, jilid I, h. 257.

(19)

serta 250 spesies sayur menjadi harta kita.3 Selain itu Indonesia merupakan negara

penghasil Crude Palm Oil CPO) terbesar nomor 1 di dunia (17 juta ton (2007),

penghasil kakao terbesar ke-3 di dunia (900.000 ton, 2007), penghasil timah terbesar

ke-2 di dunia (65.357 ton, 2007), penghasil tembaga terbesar ke-4 di dunia (817.796

ton, 2006), penghasil nikel terbesar ke-5 di dunia (4,35 juta ton, 2006), penghasil

emas terbesar ke-7 di dunia (88.914 ton, 2007), penghasil batubara terbesar ke-8 di

dunia (178 juta ton, 2006).4

Di balik itu, Indonesia juga menjadi negara dengan daftar species terancam

punah terpanjang di dunia, mencapai 528 species (2002) dan 75% keragaman hayati

pangannya juga telah hilang. Cadangan minyak buminya pun sudah 75% dihabiskan.5

Kekayaan alam yang sangat melimpah tersebut di atas, ternyata justru dikuasai oleh

asing. Di sektor perkebunan, 50% lahan Sawit dan Karet Indonesia dikuasai oleh

Malaysia. Di bidang pertambangan, 85 persen pertambangan minyak, gas, emas, dan

tembaga dikuasai Amerika Serikat. Retail-retailnya yang mayoritas baru merangkak

pun harus bersaing bebas dengan Carrefour, Giant, Mega Mall dan lain-lain. Di

bidang Telekomunikasi, Indosat diambil alih oleh STT, Telkomsel oleh SingTel,

ProXL oleh Malaysia dan Singapura. Di bidang Perbankan Swasta Nasional, BII

dibeli oleh Temasek Holding Ltd, Danamon oleh Asia Financial Holding, BCA, Bank

Niaga, Bank Permata, Sampoerna oleh Temasek, Bank Halim Intl oleh Cina, Bank

3Khudori, ”Bangsa Ayam Kampung”, Gatra No. 40 Tahun XI, (20 Agustus 2007): h. 130.

4Mohammad Lutfi, “Investasi di Indonesia”, artikel diakses pada 16 Maret 2008 dari:

http://www.tmk.co.id/portal/uploads/2008/02/investasi-di-indonesia-m-lutfi-bkp m.pdf

(20)

ANK oleh Australia, Bank Indomonex dan Bank Swadesi oleh India, Bank Haga dan

Hagakita oleh Rabo Bank Belanda, BNP oleh Bank of Tokyo dan bank-bank syariah

oleh Timur Tengah. Mirisnya, hampir semua bank-bank tersebut manggantungkan

perolehan keuntungan dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tidak lain adalah

uang Rakyat Indonesia.6 Prof. Hendrawan Supratikno, Ph.D mengatakan bahwa

banyak kalangan di Singapura mengomentari fakta tersebut dengan mengatakan

Indonesia for sale (Indonesia diobral)”.7

Sementara itu, angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2008 dengan

standard US$ 1/hari (standard Bank Dunia), mencapai 15,4% (atau sekitar 35.000

penduduk), angka yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kemiskinan pada

tahun 1990, yaitu 15,1%. Jika standar tersebut dinaikkan menjadi US$ 2/hari (standar

PBB), maka hampir separuh penduduk Indonesia berada di bawah garis kemisninan.

Sedangkan jumlah pekerja rentan pada tahun yang sama mencapai 62%.8

Padahal, sebagaimana dikemukakan Drajad Wibowo, seandainya lumbung

minyak yang ada di Blok Cepu tidak diserahkan kepada perusahaan asing, dan tetap

dikelola Indonesia sendiri melalui Pertamina secara profesional, maka dengan asumsi

6Pandji R. Hadinoto, ”Peraturan Presiden Tentang Penyelamatan Aset Bangsa dan Negara

Menjadi Kebutuhan”, Figur, Edisi XIX, 2007, h. 4.

7Prof. Hendrawan Supratikno, Ph.D, ”Privatisasi atau Piratisasi?”, Koran Seputar Indonesia,

(Jakarta), 21 November 2007, h. 11.

8Lihat selengkapnya, UNDP, “MDGs Report”, laporan diakses pada tanggal 16 April 2009

(21)

harga minyak mentah US$ 55 per barel dan gas US$ 3 per mmbtu, Pertamina akan

memperoleh tambahan aset senilai minimal US$ 40 miliar.9

Berkaitan dengan investasi asing, sejarah Negara Indonesia tidak bisa

dilepaskan dari sejarah investasi Asing. Pada tahun 1870 Pemerintah kolonial

Belanda di Hindia Belanda menerapkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet).

Tujuan utamanya adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan

hukum kepada para pengusaha swasta besar agar dapat berkembang di Hindia

Belanda.10 Pada tahun inilah liberalisasi ekonomi secara resmi dimulai di Hindia

Belanda. Pintu investasi terbuka lebar untuk para pemilik modal swasta Eropa. Hanya

dalam kurun waktu tidak lebih dari satu tahun sejak liberalisasi ekonomi Hindia

Belanda dibuka, terjadi booming perusahaan swasta dari negara-negara Eropa selain

Belanda. Sebut saja pada tahun 1870, jumlah perusahaan swasta asing Belanda di

Surakarta meningkat tajam hingga mencapai 160 buah. Jumlah tersebut mengalami

penurunan pada tahun-tahun berikutnya tergeser, bukan oleh perusahaan pribumi,

tapi, oleh perusahaan swasta asing dari Inggris, Swedia, dan Belgia.11

9Dradjad Wibowo, “Ironi Blok Cepu”, Tempo, ed isi 27 Maret -2 April 2006, (April 2006) h.

44. Ironisnya, selama lebih dari 60 tahun Indonesia Merdeka, Pemerintah Indonsia hanya mengeksploitasi minyaknya sendiri sebesar 8 persen, dan sisanya dieksploitasi bangsa asing. Kwik Kian Gie, ”Sudah Lama Bangsa Ini Tidak Mandiri,” artikel diakses pada tanggal 04 November 2008

dari http://www.my rmnews.co m/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat2&id=75 .

10Boedi Harsono,

Huk um Agraria Indonesia; Sejarah Pembentuk an Undang -Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelak sanaannya, (Jakarta: Penerb it Djambatan, 1997), cet VII, Jilid I, h. 37.

11Zainul Munasichin, Berebut Kiri; Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912 -1926,

(Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 2. Perusahaan asing yang masuk ke Hindia saat itu lebih banyak mengambil sektor perkebunan seperti tebu, karet, kopi dan tembakau. Kesuburan tanah Nusantara

adalah pertimbangan utamanya. Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital (1986)

(22)

Sejarawan sekaligus Indonesianis M.C. Ricklefs mengatakan bahwa pada

zaman liberal (sekitar tahun 1800-1900) modal perusahaan-perusahaan swasta

memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Pada

masa ini, di tangan perusahaan-perusahaan swasta produksi komoditi daerah tropis

meningkat dengan cepat. Pada tahun 1900 sampai 1930 produksi gula meningkat

hampir empat kali lipat, dan produksi teh meningkat hampir sebelas kali lipat.

Produksi tembakau berkembang pesat mulai tahun 1860-an, terutama di pesisir timur

Sumatera. Produksi lada, kopra, timah, kopi, dan komoditi-komoditi lainnya semakin

meningkat, dan kini sebagian besar dikembangkan di daerah-daerah luar Jawa.12

Modal asing selain Belanda diinvestasikan terutama pada minyak dan karet.

Investasi Inggris dalam perkebunan teh kira-kira dalam tahun 1900 merupakan

pemasukan pertama modal asing secara besar-besaran. Dari tahun 1912 setengah

diperkenalkan dengan sistem sewa-menyewa tanah yang dinilai dengan uang. Sebelumnya, yang dianut oleh para petani pribu mi adalah sistem bagi hasil. Lihat, Zainul Munasichin, Berek ut Kiri, h. 2.

12M. C. Ricklefs, Se jarah Indonesia Modern, Penerj.: Drs. Dharmono Hardjo wid jono,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), cet. ke-5, h. 229. Ada dua jenis komoditi yang sangat penting untuk menempatkan Indonesia pada garis depan bagi kepentingan perekonomian dunia

pada abad ke-20, yaitu minyak bu mi dan karet. Pada tahun 1890 A. J. Zijlker mendirikan Koninklijke

Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petrolium-bronnen in Nederlandsch-Indie atau Perusahaan Kerajaan Belanda bagi Eksploitasi Su mber-su mber Minyak Bu mi di Hindia Belanda, yang kemudian terkenal dengan de Koniklijke, setelah mendapatkan konsesi pada tahun 1883. Pada tahun 1892 produksi dimu lai dan pada tahun 1900 dimu lailah kegiatan ekspor minyak bu mi. Perusahaan

-perusahaan lain pun segara turut tertarik untuk “mereguk” kandungan minyak bumi Nusantara.

Ricklefs mencatat pada tahun 1920-an ada sekitar 50 perusahaan yang beroperasi di Su matera, Jawa, dan Kalimantan. Untuk memb iayai pengeboran di Kalimantan Timur, pada tahun 1897 di London

didirikan sebuah perusahaan dengan modal Inggris, yaitu Shel Transport and Trading Company. Pada

tahun 1907 Shell dan de Konink lijk e bergabung menjadi satu dan menjad i salah satu perusahaan

mu ltinasional minyak terbesar dengan nama Royal Dutch Shell. Pada 1920an, turut pula mereguk

nikmat minyak bu mi Nusantara, sebuah perusahaan asal Amerika Serikat, di antaranya dua yang terpenting adalah Caltex dan Stanvac. Pada 1930, Jepang ikut memproduksi minyak bumi Nusantara

dengan Borneo Oil Co mpany yang beroperasi di Kutai, Kalimantan timur. lihat, Ricklefs, Sejarah

(23)

perusahaan-perusahaan karet di Jawa ada di tangan Inggris.13 Pada tahun 1930, 44

persen dari luas tanah yang disediakan bagi tanaman-tanaman perkebunan yang

utama di Indonesia ditanami karet. Pada masa ini, Indonesia memproduksi hampir

separoh pasokan karet dunia.14 Melimpah-ruahnya tembakau di daerah Deli di

Sumatera menarik modal-modal Inggris, Swiss, dan Jerman. Tahun 1913 investasi

modal Belanda di Sumatera Timur hanya 109 gulden dari jumlah 206 itu. Modal

Belanda menguasai industri gula. Persis sebelum kejatuhan hebat harga-harga di

dunia, modal asing, termasuk Belanda, yang diinvestasikan di Hindia Belanda

diperkirakan 50.000.000 gulden. Deflasi yang disebabkan oleh kejatuhan harga dunia

ternyata sangat berpengaruh terhadap modal asing yang ada di Hindia. Pada tahun

1939, modal itu diperkirakan 2,875 juta gulden. Dari jumlah ini kira-kira 75% adalah

milik Belanda, 13,5% milik Inggris dan 2,5% milik Amerika Serikat.15

Banyaknya modal asing yang masuk ke Hindia ternyata hanya membawa

keuntungan untuk negara-negara asing itu, sama sekali bukan untuk kesejahteraan

kaum pribumi. Sebut saja Belanda, sejak lima belas tahun penerapan liberalisasi

(1870), pemerintah Belanda berhasil membayar hutang-hutangnya kepada sejumlah

negara Eropa yang sebelumnya memberikan pinjaman untuk kebutuhan perang

melawan Diponegoro (1825-1830).16

13D. G. E. Hall, Sejarah Asia Tenggara. Penerjemah Drs. I.P. Soewarsha (Surabaya: Usaha

Nasional, 1988), cet. I, h. 734.

14Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 230.

15Hall, Sejarah Asia…, h. 734.

(24)

Lebih detail, statistik 1930, seperti dikemukakan Prof. Mubyarto (2005)

menunjukkan bahwa dari penerimaan Hindia Belanda yang sekitar 670 juta gulden

saat itu, 59,1 juta warga bumiputera hanya kecipratan 3,6 juta gulden atau 0,54%.

Penduduk “Asia lain”, terutama Tionghoa yang populasinya 1,3 juta, menangguk 0,4

juta gulden. Sedangkan bagian terbesar, 665 juta gulden (99,4%) dinikmati oleh

warga kulit putih yang hanya berjumlah 241.000 jiwa.17

Untuk melaksanakan program penghisapan ekonominya, VOC membentuk

aparat kekuasaan pribumi yang sebelumnya tidak begiu terpadu dan aparat kekuasaan

pribumi yang secara relatif berimbang menjadi sistem hirarki terpadu yang sifatnya

sangat otoriter.18 Proses peminggiran terhadap kaum pribumi ini dilakukan

pemerintah kolonial Belanda dengan mengerahkan para bupati dan lurah untuk

mengorganisasi para petani lokal agar bersedia menyewakan tanahnya secara kolektif

kepada pengusaha perkebunan asing. Kebijakan ini membawa dampak yang luar

biasa bagi para petani. Ini tentunya berkaitan dengan, sebagaimana disinggung di

atas, bahwa kebanyakan modal asing itu memilih sektor perkebunan. Pertama, dalam

kurun waktu tertentu para petani mengalami apa yang disebut dengan vakum

kepemilikan tanah. Pada masa vakum kepemilikan tanah ini petani diorganisasi untuk

alih profesi menjadi buruh pabrik. Ini artinya, jika pada mulanya petani pribumi

adalah petani abadi, kini menjadi buruh pabrik. Kedua, para petani bumiputera mulai

17“Koeli Kontrak di Kebun Tebu”, Gatra, Edisi Khusus Jejak Ekono mi Indonesia, No. 40

Tahun XI, 20 Agustus, 2005, h. 16.

18Go rge McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia; Reflek si Pergumulan

(25)

diperkenalkan dengan uang dalam jumlah yang cukup besar. Arti besar di sini adalah

jika dibandingkan dengan yang pernah mereka pegang, bukan dalam arti

perbandingan dengan kerugian petani saat menggarap sawahnya. Secara bertahap, apa

yang disebut dengan kapitalisasi perkebunan tersebut mendorong para petani semakin

teralienasi dari tanahnya. Tanah yang semula menjadi modal tetap petani tidak lagi

sepenuhnya berada dalam kendali petani.19 Mengenai hal tersebut, Pimpinan Sarekat

Islam (SI) Semarang, Semaoen dalam Hikajat Kadiroen yang dimuat surat kabar

Sinar Hindia pada tahun 1920 mengatakan:

Golongan kaum buruh ini asalnya adalah dari kaum petani, tukang batik, tukang tenun, pedagang kecil dari berbagai macam bangsa dan sebagainya. Sebagaimana tadi sudah saya terangkan, mereka kehilangan pekerjaannya karena terdesak oleh pabrik-pabrik, oleh mesin-mesin dan pedagang besar. Semakin canggih dan berkembangnya pabrik dan mesin, semakin kuat pula sesakan menghilangkan pekerjaan asli bumiputra.... 20

Di Sumatera, perkebunan Sanembah milik Belanda yang didirikan pada tahun

1889. Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang terkenal dengan Tan Malaka

menggambarkan nasib 240.000 kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan

tersebut sebagai berikut:

Inilah kelas yang memeras keringat dari pagi sampai malam; kelas yang diberi gaji hanya cukup untuk mengisi perutnya; kelas yang setiap saat bisa dipukul atau dimaki-maki dengan godverdome; kelas yang setiap saat harus melepaskan istri atau anak perempuan kalau ada seorang kulit putih yang menyukainya... Inilah kelas orang Indonesia yang dikenal sebagai kuli kontrak. Kuli-kuli perkebunan biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena tempat pekerjaan mereka jauh letaknya. Baru pukul 7 atau 8 malam boleh pulang. Bayarannya menurut kontrak berjumlah empat puluh sen setiap hari. Makanannya biasanya tidak cukup untuk melakukan pekerjaan yang berat

19Munasichin, Berebut Kiri…, h. 2-3.

(26)

selama 8 sampai 12 jam setiap hari di bawah terik panas matahari. Pakaian mereka cepat menjadi compang-camping karena sering bekerja di hutan.21

Begitu jauhnya rakyat pribumi dari kesejahteraan, harian Pewarta Deli edisi 7

Desember 1932, sebagaimana dikutip Bung Karno dalam “Mencapai Indonesia

Merdeka” mengabarkan bahwa “...Di kota sering ada orang yang menyamperi pintu

bui, minta dirawat di bui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui masih

kenyang makan, sedang di luar belum tentu sekali sehari...”.22

Membuka lembaran sejarah Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sejarah

penguasaan modal asing terhadap sumber-sumber kehidupan bangsa Indonesia,

diikuti dengan perumusan cita-cita kemerdekaan dari dominasi ekonomi dan politik

asing pada masa kemerdekaan, dan pada era pasca-perjuangan kemerdekaan justru

lahir Undang-Undang Penanaman Modal yang membuka kembali jalan bagi modal

asing. Mencermati hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat skripsi dengan

judul “Hukum dan Kepentingan; Telaah Kritis Atas UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam menulis skripsi ini, penulis membatasi pembahasan pada aspek konflik

kepentingan modal asing dengan kepemilikan negara dalam Undang-Undang

21Harry A. Poeze, Tan Malak a; Pergulatan Menuju Republik 1897-1925, (Jakarta: PT.

Pustaka Utama Grafiti, 1999), cet. I, h. 109

(27)

Penanaman Modal di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal (PM) dalam tinjauan negara hukum konstitusional Republik

Indonesia dan dalam pandangan Islam. Untuk lebih jelasnya, berikut rumusan

masalah yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini:

1. Bagaimana modal asing dan kepemilikan negara dalam cita-cita dan filosofi

kenegaraan Negara Hukum Indonesia?

2. Apa dan bagaimana konflik kepentingan dalam UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal?

3. Bagaimana tinjauan Islam terhadap kepentingan dalam Undang-Undang

Penanaman Modal dalam bingkai rasio-legis-falsafi perekonomian Negara

Hukum Republik Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui modal asing dan kepemilikan dalam cita-cita dan filosofi

kenegaraan Negara Hukum Indonesia.

2. Untuk mengetahui konflik kepentingan dalam UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

(28)

3. Untuk mengetahui tinjauan Islam terhadap kepentingan dalam Undang-Undang

Penanaman Modal dalam bingkai rasio-legis-falsafi perekonomian Negara

Hukum Republik Indonesia.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini meliputi manfaat teoritis-akademis

dan praktis-pragmatis. Manfaat teoritis-akademis yang penulis harapkan dari karya

ini adalah terbongkarnya paradigma mainstream netralitas hukum sebagai sebuah

produk dari proses kristalisasi kepentingan, terutama dalam konteks pertarungan

kepentingan nasional (national interest) versus kepentingan asing (baca, kolonialisme

dan imperialisme). Sedangkan manfaat praktis-pragmatis yang penulis harapkan di

antaranya adalah terungkapnya hukum sebagai alat untuk melegitimasi masuknya

modal asing dalam rangka sebuah penaklukan (neokolonialisme dan imperialisme)

terhadap sebuah negara hukum berdaulat.

D. Metode Penelitian

1. Metode dan Pendekatan

Dalam menyusun skripsi ini, penulisan menggunakan metode kualitatif

dengan pendekatan sosiologis. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan

(29)

para informan dan perilaku yang diamati yang tidak dituangkan ke dalam variabel

atau hipotesis.23

Dalam konteks Ilmu Hukum Sosiologis, penulis menggunakan pendekatan

Nasionalisme dan madzhab Hukum Kritis (Critical Legal Studies, CLS).24 Menurut

Reza Banakar dan Max Travers, yang termasuk dalam Critical Approach adalah

marxisme, feminisme, critical race theory, dan Teori Aneh (queer theory). Menurut

aliran ini kehidupan sosial adalah pertentangan antara kelompok dominan dengan

kelompok subordinat (a power struggle between dominant and subordinate groups)

dan dalam konteks ini hukum dilihat sepenuhnya sebagai implikasi dari eksploitasi

ekonomi, ketidak-fair-an dan ketidakadilan (law as fully implicated in economic

exploitation, unfairness and injustice).25 Untuk melengkapi analisa agar lebih

komprehensif, penulis juga menggunakan pendekatan Islam.

2. Jenis dan Data Penelitian

Sedangkan jenis penelitian yang penulis gunakan adalah studi kepustakaan

(research library) dengan sumber data yang terdiri dari sumber primer dan skunder.

23Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

2002), cet. ke-1, h. 2.

24CLS lahir di A merika Serikat pada tahun 1970-1980-an oleh para ahli hukum A merika yang

tidak puas dan menentang paradigma huku m liberal Barat yang sudah mapan dalam jurisprudence.

Para ahli hukum ini terinspirasi oleh gerakan pemikiran kontinental (continental social theory) pada

tahun 1960-an seperti Marxist, Structuralist dan Post-structuralist. Lihat, H.R. Otje Salman dan

Anthon F. Susanto, Teori Huk um: Mengingat, Mengumpulk an dan Membuk a Kembali, (Bandung: PT

Refika Aditama, 2007), cet. III, h. 124; lihat juga Jiri Priban, “Sharing the Paradigm? Critical Legal

Studies and the Sociology of Law”, dalam Reza Banakar dan Max Travers (Eds.), An Introduction to

Law and Social Theory, (Oregon: Hart Publishing, 2002), h. 119-120.

25Reza Banakar dan Max Travers, “Critical Approach”, dalam Reza Banakar dan Max Travers

(30)

Data primer penulis dapatkan dari aneka dokumen sebagai berikut:

Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 beserta pandangan para perumusnya, yaitu

Soekarno sebagai salah satu funding fathers Negara RI dan Muhammad Hatta sebagai

perumus Pasal 33 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal.

Sedangkan data skunder penulis dapatkan dari beberapa tulisan dan artikel

terkait baik yang berupa buku maupun esai lepas seperti: “Ekspose Ekonomika

Globalisme dan Kompetisi Sarjana Ekonomi”, “Berkeley Mafia dan Pemikiran

Hatta”, “Membangun Sisten Ekonomi Nasional; Sistem Ekonomi dan Demokrasi

Ekonomi” karya Sri Edi-Swasono, “Pemikiran Pembangunan dan Kebijaksanaan

Ekonomi” karya Sritua Arif, “Ekonomi Kolonial” dan “Mafia Berkeley dan Krisis

Ekonomi Indonesia” karya Revrisond Baswir, “Mafia Berkeley; Antara Kenyataan

dan Fiksi karya” karya Kwik Kian Gie dan “Mafia Berkeley dan Pembunuhan

Massal di Indonesia” karya David Ransom. “Presiden Soeharto: Bapak

Pembangunan” yang diterbitkan oleh Team Penerbitan Buku Presiden Soeharto

Bapak Pembangunan Indonesia yang mengulas kebijakan pembangunan ekonomi

Orde Baru. Sedangkan dalam studi ke-Islaman, penulis menggunakan sumber

(31)

3. Metode Analisis

Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis

deskriptif-analisis dengan pendekatan CLS, sebagaimana telah dijelaskan. Penulis mulai dengan

mendekripsikan cita-cita dan filosofi kenegaraan dan perekonomian Negara Hukum

Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 dan melanjutkannya

pembahasan pada lahirnya dua Undang-Undang tentang Penanaman Modal (UU

Nomor 1 Tahun 1967 dan UU Nomor 25 Tahun 2007). Dari sini penulis beranjak

untuk menganalisis pergeseran paradigma Pemerintah terhadap modal asing dan

kepemilikan negara.

Dalam pendekatan CLS, sebelum memberikan justifikasi akan adanya

kepentingan di balik dua undang-undang tentang Penanaman Modal tersebut, terlebih

dahulu penulis menganalisa posisi teks (text possition) UU tersebut melalui metode

analisis isi (content analisys). Beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam

content analisys adalah; pertama, proses pembuatan undang-undang yang meliputi

dari mana inisiatif dan oleh siapa rancangan UU tersebut dibuat. Dalam hal ini

penulis menguraikan peran Mafia Berkeley (terutama Widjojo Nitisastro dan M.

Sadli) dengan asistensi ekonom Hardvard, Amerika Serikat serta lembaga-lembaga

donor AS dalam menyusun draft undang-undang tersebut; kedua, kata-kata (words),

yaitu pasal-pasal dalam UU tersebut. Dalam hal ini penulis menguraikan beberapa

pasal yang sarat akan kepentingan asing; ketiga, arti (meaning), yaitu isi-kandungan

(32)

perusahaan-perusahaan asing yang tertarik untuk beroperasi kembali di Indonesia setelah adanya

nasionalisasi seperti Freeport Sulphur, International Nickel, Alcoa dan lain-lain.

4. Teknik Penulisan

Selanjutnya, dalam hal teknik penulisannya penulis berpedoman pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta (2007).

E. Apresiasi Karya Terdahulu

Studi terbaru mengenai Hukum Penanaman Modal di Indonesia dilakukan

oleh Salim HS., S.H., M.S., dan Budi Sutrisno, S.H., M.Hum., dalam karyanya yang

berjudul “Hukum Investasi di Indonesia”, yang cetakan pertamanya terbit pada awal

2008. Karya lain berjudul “Hukum Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap UU

Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal” karya seorang kandidat doktor

bidang Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung, Dhaniswara K.

Harjono, S.H., M.H., M.B.A., yang juga menjabat sebagai Dewan Pertimbangan

Kamar Dagang Indonesia (KADIN) DKI Jakarta, terbit beberapa bulan lebih dulu

sebelum karya yang disebut pertama terbit.26

26Baik buku yang disebut pertama maupun kedua, lebih banyak membahas tentang teknis

(33)

Dalam skripsi ini penulis membahas kedua undang-undang tersebut dalam

konteks kepentingan ekonomi-politik kolonial vis a vis konstitusi negara hukum

Republik Indonesia. Hal ini pernah dilakukan oleh Nur Ahmad Shoim (Jurusan

Aqidah Filsafat Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

dalam skripsinya yang berjudul “Telaah atas Peran Mafia Berkeley dalam Proses

Neokolonialisme Ekonomi di Indonesia” (2007). Dalam salah satu sub-bab

skripsinya, Shoim menganalisa UU Nomor 1 Tahun 1967 dan Rancangan UU

Penanaman Modal (yang kini menjadi UU 25/2007) dalam konteks ideologisasi

wacana neoliberalisme. Dalam hal ini, penulis akan membahas Undang-Undang

tersebut dalam kerangka Ilmu Hukum.

Studi hukum Islam atas kepemilikan negara serta konsep demokrasi ekonomi

yang ditawarkan Pasal 33 UUD 1945 pernah dilakukan diantaranya oleh Hadi

Sulistyo (Jurusan Jurusan Muamalah Perbankan Syariah, 2004) dan M. Faliyul Fahmi

(Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, 2007), keduanya berbentuk skripsi.

Yang pertama berjudul “Privatisasi Sarana-Sarana Publik Dalam Perspektif Ekonomi

Islam” dan yang kedua berjudul “Demokrasi Ekonomi Dalam Perspektif UUD 1945

Dan Hukum Islam”. Yang pertama membahas posisi ideologi privatisasi serta konsep

kepemilikan dalam Islam, dan yang kedua membahas perbandingan antara demokrasi

ekonomi berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dan Islam.

Dalam skripsi ini, penulis akan membahas mengenai kepentingan di balik

Undang-Undang Penanaman Modal yang harus berhadapan dengan Konstitusi RI,

(34)

sumber daya Indonesia. Selain itu, penulis juga akan membahasnya dari perspektif

(35)

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab dengan perincian sebagai berikut:

Bab I : Berisi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penulisan, pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Berisi landasan teori yang memuat; 1) Hukum dan Kepentingan dan 2)

Negara Hukum Konstitusional dan Rasio-Legis-Falsafi Kenegaraan

Indonesia.

Bab III : Membahas perspektif Konstistui RI terhadap Hukum dan Kepentingn

dengan studi kasus Modal Asing dan Kepemilikan Negara dalam

Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia, yang memuat; 1) Pasal 33 UUD

1945 dan Rasio Legis Falsafi Perekonomian Indonesia, 2) Modal dan

Kepemilikan dalam UU Penanaman Modal di Indonesia, dan 3) Modal

Asing dan Kepemilikan Negara; sebuah Konflik Kepentingan.

Bab IV : Membahas perspektif Islam terhadap Hukum dan Kepentingan dengan

Studi Kasus Modal Asing dan Kepemilikan Negara dalam

Undang-Undang Penanaman Modal di Indoensia, yang memuat; 1) Islam dan

Negara Hukum Republik Indonesia, dan 2) Tinjauan Islam Atas Hukum

dan Kepentingan; Studi Atas Modal Asing dan Kepemilikan dalam UU

Penanaman Modal di Indonesia.

Bab V : Pada bab terakhir, penulis mengakhiri tulisan ini dengan Kata Penutup

(36)

19 A. Hukum dan Kepentingan

Secara etimologis, kata hukum berasal dari bahasa Arab “al-hukm”, dengan

bentuk jamak “al-ahkâm” yang berarti “al-qadlâ’”, yakni keputusan. Bisa juga berarti

idârah, qiyâdah, sulthah, saitharah yang berarti hukum, peraturan dan kekuasaan.1

Hukum (al-hukm) bisa juga berarti “mencegah” (al-man’).2 Selain kata hukum,

dikenal pula berbagai macam kata yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia menjadi hukum, yaitu: recht,3ius,4 dan Lex.5

1R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, h. 24;

Selengkapnya, lihat Atabik Ali dan Ah mad Zuhdi Muhdlor, Al-’Ashry; Kamus Kontemporer Arab

-Indonesia, (Yogyakarta: Penerb it Multi Karya Grafika, tth), cet. ke-4, h. 785; al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A’lam, (Beirut-Lebanon: Dar el-Machreq sarl Publishers, 2000), cet. ke-86, h. 146.

2Wahbah Al-Zuhaili, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, (Beirut; Dar Al-Fikr Al-Mu‟ashir, 1994), cet.

ke-1, h. 119.

3“Recht” berasal dari bahasa Latin “Rechtum” yang berarti bimbingan/tuntunan/pemerintahan.

Berhubungan dengan kata Rechtum, ada kata “Rex” yang berarti orang yang pekerjaannya memberikan

bimbingan. Rex juga diartikan sebagai “Raja” yang berarti kerajaan (regimen). Kata Rechtum juga

dihubungkan dengan kata “Directum” yang berarti pekerjaan membimbing/mengarahkan. “Directur

maupun “rector” mempunyai arti yang sama. Dari kata “recht” timbul istilah “gerechtigdheid” dalam

bahasa Belanda yang jika dalam bahasa Jerman dikenal dengan kata “gerechtigk eit” yang berarti

keadilan. Jadi, huku m berhubungan erat dengan keadilan. Maka, recht dapat diartikan huku m yang

mempunyai dua unsur penting, yaitu “kewibawaan” dan “keadilan”. Lihat, R. Soeroso, Pengantar..., h.

24-25.

4Kata “ius” berasal dari bahasa Latin “iubere” yang berarti mengatur/memerintah. Kata ini

bertalian dengan “iustitia” (keadilan). Bagi orang Yunani dulu, Iustitia adalah dewi keadilan yang

dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua mata tertutup, tangan kirinya memegang neraca dan tangan kanannya memegang sebuah pedang. Kedua mata tertutup berarti bahwa dalam mencari keadilan tidak boleh pandang bulu, neraca melambangkan kead ilan dan pedang adalah lambang keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum dan di mana perlu dengan hukuman mati.

Dapat disimpulkan bahwa secara etimologi “ius” berarti huku m bertalian dengan keadilan (iustitia)

yang mempunyai tiga usur; wibawa, keadilan dan tata kedamaian. Lihat, R. Soeroso, Ibid, h. 25-26.

5Kata “lex” berasal dari bahasa Latin “lesere”. “Lesere” berarti mengumpulkan, yaitu

mengu mpulkan o rang-orang untuk diperintah. Dari sini terkandung pengertian adanya wibawa atau

(37)

Terkait dengan kepentingan, apakah produk hukum yang mempengaruhi

politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum? Menurut Moh. Mahfudz MD,

setidaknya ada tiga jawaban untuk menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas

politik. Kedua, sebaliknya, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan

kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan)

saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem antara yang satu

dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik

tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada

aturan-aturan hukum. adanya perbedaan jawaban atas pertanyaan di atas, terutama perbedaan

antara alternatif jawaban pertama dan kedua, disebabkan oleh perbedaan cara

pandang para ahli terhadap kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. Mereka yang

hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis

berpegang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam

segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan

politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan)

atau para penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum

sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam

kenyataan-kenyataan empirisnya. Faktanya, kegiatan legislatif memang lebih banyak

membuat keputusan-keputusan politik dari pada menjalankan pekerjaan hukum.

(38)

Tampak jelas bahwa lembaga legislatif lebih dekat dengan pekerjaan politik dari pada

dengan hukum itu sendiri.6

Jika proses-proses politik itu dihubungkan dengan tujuan hukum, yang pada

dasarnya adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, maka di zaman yang tidak

lagi primitif, tujuan bersama itu dirangkum dalam sebuah organisasi kekuasaan

bersama bernama negara. Maka, perlu dikemukakan di sini beberapa hipotesa tentang

proses terbentuknya negara dengan segenap kepentingan-kepentingan di dalamnya.

Filosof Yunani Klasik, Plato dan Arisoteles mengatakan bahwa menurut

kodratnya manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang hidup dalam “negara”

(polis), atau diterjemahkan dalam terminologi modern sebagai “makhluk sosial”.

Artinya, adalah keniscayaan alamiah manusia untuk bermasyarakat, karena manusia

tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lebih jelas, Plato mengajukan

argumen ekonomi dalam hal keniscayaan terbentunya polis itu; seperti tuntutan

spesialisasi dalam hal pekerjaan. Baik Plato maupun Aristoteles menganggap bahwa

tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh “kebahagiaan” atau eudaimonia.

Keteraturan kehidupan manusia itu dituntun oleh sebuah “ikatan sosial” (Philia).

Philia sendiri tidak lain adalah tuntutan ”moralitas sosial” (Nomos) yang hanya bisa

diwujudkan dalam polis.7

6Moh. Mahfudz MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2001),

cet. II, h. 8-9.

7Mengenai pandangan Plato mengenai etika, moral dan politik, lihat selengkapnya K. Bertens,

(39)

Dalam pandangan Thomas Hobbes (1588-1679), manusia bukanlah hewan

sosial (social animal) seperti yang dibayangkan Plato dan Aristoteles. Dalam

“keadaan alamiah, menurut Hobbes, manusia memiiki watak suka perang dan berada

dalam kekacauan. Hobbes menyebutnya dengan homo homini lupus atau manusia

menjadi serigala bagi manusia lainnya dan bellum omnium contra omnes atau

manusia berperang melawan semua. Dalam keadaan ini, akal manusia dipaksa

berperan untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik. Kehidupa n alternatif itu

ditemukan Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian antar individu atau

kontrak sosial yang dalam bahasa Hobbes disebut dengan covenant. Di sinilah negara

terbentuk. Dalam perjanjian itu, manusia sepakat untuk mematuhi undang-undang

dan tidak saling menyerang.8

Berbeda dengan Hobbes, John Locke (1632-1704) justru memandang

kehidupan alamiah (state of nature) manusia dalam keadaan damai dan teratur di

bawah kendali akal budi (reason) yang merupakan Suara Tuhan (voice of God).

Mulanya, manusia memanfaatkan alam seperlunya saja. Namun setelah manusia

menemukan sistem moneter dan kepemilikan privat, muncullah ketimpangan yang

membuat mereka yang tersingkir dan miskin iri kepada mereka yang kaya.9 Bagi

Locke, negara didirikan dalam rangka melindungi kepemilikan individu tersebut.10

8Selengkapnya lihat Ahmad Suhelmi,

Pemik iran Politik Barat; Kajian Sejarah Perk embangan Pemik iraan Negara, Masyarakat dan Kek uasaan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet. I, h. 168-176; Azhary, Negara Huk um Indonesia, h. 23-25.

9Mengenai hipotesa ”State of Nature”-nya Locke. Selengkapnya lihat Suhelmi, Pemik iran

Politik Barat..., h.189-193.

(40)

Mirip dengan konsep keadaan alamiah-nya Locke, Karl Marx (1818-1883)

mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, tanpa penghisapan satu manusia atas

manusia lainnya.11 Hanya saja, jika Locke menghargai kebebasan dan pemilikan

individu, Marx justru mengabaikannya dan mencita-citakan negara tanpa pemilikan

individu atau negara tanpa kelas. Berangkat dari filsafat Materialisme Dialektika

Historis, Karl Marx membuat pembagian dalam lingkup kehidupan manusia menjadi

dua bagian besar, yaitu “basis“ atau “infrastruktur” dan “bangunan atas” atau

“superstruktur”. Yang dimaksud basis dalam hal ini adalah struktur ekonomi dalam

masyarakat yang terdiri dari alat-alat produksi atau tenaga-tenaga produksi

(produktivkrafte) dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi

(produktionsverhaltnisse). Hubungan produksi di sini adalah hubungan antara

pemilik modal atau pemilik alat produksi dengan pekerja. Sedangkan yang dimaksud

dengan superstruktur adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan

masyarakat di luar bidang produksi; organisasi pasar, sistem pendidikan, sistem

kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara.12

11Mengenai perkembangan masyarakat pra-kelas dalam h ipotesa Marx, lihat misalnya

Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial..., h. 29-33. Ide-ide mengenai masyarakat tanpa kelas

sebenarnya sudah ada sebelum Karl Marx. Di antaranya dikemukakan oleh Francois -Noel Babeuf, Saint-Simon, Robert Owen, Charles Fourier, Etienne Cabet, Louis -Auguste Blanqui, Weitling,

Proudhon, Louis Blanc dan Moses Hess. (Lihat selengkapnya Magnis-Suseno, Pemik iran Karl

Marx...h. 13-44). Dalam hal ini, Marx “datang” untuk membuatnya menjadi ilmiah.. Bahkan, jauh

sebelumnya, Plato telah mengidealkan masyarakat ko munisme utopis. (Lihat K. Bertens, Sejarah

Filsafat..., h. 146-148). Meski, dalam karya-karya selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Hatta, Plato ”menganulir” cita-cita masyarakat ko munis me itu dengan mengakui kepemilikan perserangan dengan

tetap mengharamkan penumpukan kekayaan pada satu tangan. (Mohammad Hatta, Alam Pik iran

Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. III, h. 114.)

12Lihat selengkapnya, Franz Magnis -Suseno, Pemik iran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis

k e Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), cet. IX, h. 87-177; lihat

(41)

Dalam masyarakat yang berlandaskan nilai konflik sebagaimana di atas, maka

berkaitan dengan pembuatan hukum di dalamnya, menurut Cambliss, ada dua

kemungkinan, yaitu: pertama, merupakan proses adu kekuatan, dan negara menjadi

senjata bagi penguasa/pemenang. Kedua, sekalipun terdapat pertentangan nilai di

dalamnya, negara tetap dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak.13 Senada

dengan Cambliss, Schuyt mengatakan bahwa dua kemungkinan yang ditimbulkan

atas pembuatan hukum dalam masyarakat seperti ini adalah; pertama, sebagai sarana

untuk mencairkan pertentangan (conflictoplossing) dan kedua, sebagai tindakan yang

memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut (conflictversterking).14

Berangkat dari uraian di atas, penulis mengklasifikasikan pengertian hukum

menjadi dua kubu; pertama, hukum sebagai alat peredam konflik kepentingan dan

dalam posisi netral, dan kedua hukum sebagai alat kelompok pemenang untuk

melanggengkan kepentingannya, dan dengan demikian berada dalam posisi yang

tidak netral. Pengertian kelompok kedua ini sekaligus sebagai antitesis atas

pengertian hukum mainstream yang diajukan kelompok pertama.

Termasuk dalam kelompok pertama adalah pengertian yang dikemukakan

antara lain oleh para pemikir dan sarjana hukum sebagai berikut:

Magnis-Suseno, (Yogyakarta: Resist Book, 2006), cet. I, h. 54-196. Kedua karya in i sama-sama mengupas pemikiran Karl Marx, hanya saja, jika pada karya Magnis -Suseno cenderung anti-Marx

melalui ”beberapa catatan kritisnya”-nya, maka Kusumandaru, dengan ”marah-marah” membela Marx.

Pemikiran ”pertentangan kelas”-nya Marx ini kemud ian dijadikan dasar klasifikasi sejarah peradaban Eropa ke dalam 4 (empat) periode; ko munisme primitif, perbudakan, feodalisme dan kapitalisme. Periode terakhir (kapitalisme) merupakan masa transisi kepada ”diktatur proletariat”. Lihat, Suhelmi, Pemik iran Politik Barat..., h. 284.

13Satjipto Rahardjo, Huk um dan Masyarak at, (Bandung: Penerbit Angkasa, tt), h. 50.

(42)

1) Aristoteles

Hukum partikular adalah hukum yang tiap-tiap komunitas bersandar

kepadanya dan berlaku untuk masyarakat itu.15

2) Leon Duguit

Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya

penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan

dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama

terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.16

3) Dr. E. Utrecht, SH

Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus

tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.17

4) Teori Sistem

Untuk melengkapi pengertian hukum “netral”, penulis kemukakan Teori

Sistem. Teori Sistem dalam hukum merupakan teori yang sudah cukup tua.

Kebanyakan ahli hukum berkeyakinan bahwa teori hukum yang mereka kemukakan,

di dalamnya terdapat sebuah sistem. Asumsi umum mengenai sistem mengartikan

kepada kita secara langsung bahwa jenis sistem hukum telah ditegaskan lebih dari

ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem manapun. Suatu sistem merupakan suatu

himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit

15Kansil, Pengantar..., Jilid II, h. 9; Soeroso, Pengantar.... h. 37.

16Kansil, Ibid; Soeroso, Ibid, h. 38.

(43)

dan kompleks tetapi membentuk satu kesatuan.18 Yang mengemukakan Teori Sistem

dalam hukum antara lain adalah Talcott Parsons,19 H.L.A. Hart,20 Ronald Dworkin21

dan Anthony Allots.22

Sedangkan pengertian hukum yang termasuk dalam kelompok kedua, atau

yang menganggap hukum sebagai alat bagi “pemenang” dan tidak dalam posisi

netral, adalah sebagai berikut:

1) Thrasymachus

Dalam dialognya dengan Socrates, sebagaimana diceritakan Plato, seorang

sofis bernama Thrasymachus mengatakan bahwa kekuasaan adalah hukum, dan

18Lihat selengkapnya, Otje Salman dan Anthon F Susanto, h. 86-90.

19Menurut Parsons, setiap masyarakat memiliki empat permasalahan subsistem; adaptasi

(adaptation), pencapaian tujuan (goal attainment), Integrasi (integration), dan latensi atau pemeliharaan pola (latency), yang disingkat AGIL. Hu ku m merupakan salah satu komponen penting dalam Teori Sistem Parsons. Fungsi utama undang-undang adalah mengintegrasikannya. Huku m men jadi alat untuk mengurangi konflik dan memudahkan interaksi sosial dengam mengatur relasi antara bagian-bagian yang berbeda-beda. Lihat selengkapnya, Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Cange, h. 41-44; lihat juga George Ritzer dan Douglas J. Good man, Teori Sosiologi Modern edisi Keenam, penerj.: Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. II, h. 121-136.

20Inti pemikiran Hart terletak pada apa yang disebutnya sebagai primery rules dan secondary

rules. Penyatuan dari keduanya merupakan pusat dari sistem huku m, dan keduanya harus berada dalam

satu sistem huku m. Primary rules menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak

bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms o f law). Lihat

selengkapnya, Otje Salman, Teori Huk um; Mengingat, Mengumpulk an dan Membuk a Kembali,

(Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. III., h. 90-92.

21Inti pemikiran Dworkin adalah berkaitan dengan Content Theory-nya. Dworkin

mengembangkan pemahaman bahwa hu ku m meliputi prinsip-prinsip, politik, standar-standar dan aturan-aturan. Teori sistem yang ditawarkan Dwo rkin adalah seperangkat prinsip sebagai sesuatu yang

hipotikal, yaitu menciptakan dengan menyediakan pertimbangan yang terbaik tentang institusi hukum

dalam masyarakat dan keputusan pengadilan, aransemen konstitusional dan out put dari badan

legislatif. Empat karakteristik dalam sistem huku m menurut Dworkin adalah bagian (element),

hubungan (relation), struktur (structure) dan penyatuan (wholeness). Lihat selengkapnya, Salman, Teori Huk um, h. 93-94.

22Adapun inti pemikiran Allots adalah berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai

(44)

keadilan adalah kepentingan golongan kuat. Pemerintahan, baik demokratis,

aristokratis maupun autokratis, membuat undang-undang menurut kepentingan

mereka masing-masing. Undang-undang yang melindungi kepentingan mereka itu

dititahkan kepada rakyat sebagai ”adil” dan siapa yang melanggarnya dianggap

bersalah dan dihukum. Jika suatu saat muncul orang kuat yang menggantikannya, ia

akan menghapus segala peraturan itu dan menggantinya dengan yang sesuai dengan

kepentingannya.23

2) Karl Marx

Menurut Marx, hukum dan negara bukanlah sebagai bentuk-bentuk

perwujudan dari kebebasan, tapi cenderung sebagai ungkapan dari

hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu, yang di dalamnya produksi dan pemenuhan

diorganisasi dengan cara tertentu. Hukum dan negara merupakan cara

pengorganisasian produksi dan konsumsi. Secara hakiki, negara adalah negara kelas,

artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak oleh kelas yang menguasai

bidang-bidang ekonomi.24

3) Evgeni Pashukanis

Sebagaimana pandangan kaum Marxis dan Neo-Marxis pada umumnya, yang

mengungkap hukum dan perundang-undangan tidak terlepas dari struktur ekonomi

dan kepentingan kelas, seorang Neo-Marxis, Pashukanis, adalah orang pertama yang

23Dialog antara Socrates, Thrasymachus , Glaucon, Polemarchus dan Cleitophon mengenai

Huku m dan Kead ilan selengkapnya lihat Plato, Republik, penerj.: Sylvester G. Sukur (Jogjakarta:

Bentang Budaya, 2002), cet. I, h. 21-51.

24Meuwissen, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Huk um, Teori Hukum, dan

(45)

mengaplikasikan kritik ekonomi-politik Marx menjadi kritik jurisprudensi pada tahun

1920-1930-an. Pashukanis mengemukakan teori hukum perubahan komoditi sebagai

argumen bahwa untuk memahami hukum sebagai hubungan sosial sebagaimana Marx

melihat modal. Pashukanis memprediksikan bahwa hukum privat dan

perundang-undangan yang akan menghapus pemilikan pribadi akan semakin memburuk terkait

dengan realita politik di Soviet, di mana hukum mengarah kepada pemusatan

perencanaan ekonomi dan transformasi sosial.25

4) Piere Bourdieu

Bourdieu mengatakan bahwa perdebatan dominan dalam jurisprudensi adalah

perdebatan antara pendekatan Formalis (Formalist Approach) dan Instrumentalis

(Instrumentalist Approach). Bagi kelompok Formalis, hukum adalah sesuatu yang

otonom dari nilai-nilai sosial dan pengaruh politik dan ekonomi. Hukum

dikonseptualisasikan seperti sebuah sistem organik yang tertutup. Sedangkan menurut

pendekatan instrumentalis, hukum adalah refleksi dari kepentingan ekonomi dan

politik untuk melayani kepentingan kelas dominan, seperti kelas kapitalis/borjuis atau

kelas laki-laki/patriarkhi.26

5) Charles Samford

Samford adalah pencetus Teori Keos dalam Hukum, yang merupakan

pengkritik dan menganggap gagal Teori Sistem dalam Hukum. Samford mengatakan

25Lihat selengkapnya, Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Cange, (London-Thousand

Oaks-New Delhi: SA GE Publications, 2000), cet. I, h. 61-62.

26Lihat selengkapnya, Ibid, h. 54-55. Lebih lanjut, Bourdieu mengatakan bahwa hukum

(46)

bahwa teori hukum tidak hanya muncul dari sistem, tapi dapat juga muncul dari

situasi keos. Bahkan, menurut Samford, masyarakat sendiri selalu berada dalam

jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak teratur. Singkatnya,

masyarakat hidup tanpa sistem atau dalam bahasa Samford disebut Melee. Samford

memperlihatkan adanya kebenaran selain kebenaran yang selama ini diklaim oleh

paham hukum sistematis. Bagi pemikir sistematis-positivistik, keadaan

chaos/melee/disorder/a simetris yang di dalamnya terkandung pluralitas, diversitas,

multiplisitas dan transformasi sebagai hantu yang menakutkan dan dipandang

negatif.27

6) Roberto M Unger

Aktivis Critical Legal Studies (CLS) ini mengatakan bahwa implikasi dari

dikotomi negara-masyarakat, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum publik bertindak

sebagai alat negara untuk memanipulasi relasi-relasi sosial. Hukum menjadi alat

kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara.28

27Lihat selengkapnya Otje Salman dan Anthon F Susanto, h. 104-108. Dennis J. Brion

mengatakan bahwa gagasan Samford memberikan implikasi yang serius terhadap filsafat dan metode dalam ilmu hukum. Karena, pada dasarnya pandangan umum tentang hukum akan berubah total, hal ini tentu saja sebuah mo mentum penting yang dapat kita tempatkan sebagai sebuah lonjakan

paradigmatik (paradigm shift) sebagaimana terjadi dalam ilmu pengetahuan lainnya. Lihat, Ibid, h.

106.

28Roberto M Unger, Teori Huk um Kritis; Posisi Huk um dalam Masyarak at Modern, penerj.:

Dariyatno dan Derta Sri Widowatie (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007), cet. I, h. 78-79. Dalam hal

ini Unger mengemukakan tiga konsep hukum; Pertama, huku m adat (customery law) atau hukum

interaksional (interactional law). Unger mengatakan bahwa dalam pengertiannya yang lebih luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul beru lang -ulang di antara banyak indiv idu dan kelo mpok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dan memunculkan ekspektasi perilaku timbal-balik

yang harus dipenuhi. Inilah yang disebut Unger sebagai customery law atau interactional law itu.

Kedua, hukum biro kratis (bureucratic law) atau hukum pengatur (regulatory law), yaitu hukum positif

yang ditegakkan oleh pemerintah. Sedangkan yang k etiga adalah tatanan hukum (legal order) atau

(47)

Sebagai penutup sub bab ini, penulis kemukakan unsur dan ciri yang melekat

dalam hukum. Unsur-unsurnya adalah: 1) adanya peraturan mengenai tingkah laku

manusia dalam pergaulan masyarakat, 2) peraturan itu diadakan oleh badan-badan

resmi yang berwajib, 3) peraturan itu bersifat memaksa; dan 5) Adanya sanksi

terhadap pelanggaran atas peraturan tersebut adalah tegas.29

Adapun ciri-cirinya adalah: 1) adanya perintah dan/atau larangan;30 2)

perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang;31 dan 3) ciri terpenting

dari hukum, sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. D.H.M. Meuwissen, adalah

menyangkut obyek dan isi hukum. Hukum memiliki pretensi untuk mewujudkan atau

mengabdi pada tujuan tertentu.32

B. Negara Hukum dan Rasio-Legis-Falsafi Kenegaraan Indonesia

1. Negara Hukum

Dalam khazanah ilmu hukum, ada dua istilah yang diterjemahkan secara sama

ke dalam kepustakaan bahasa Indonesia menjadi Negara Hukum; rechtstaat dan rule

yang terakhir, sekelo mpok khusus, profesi legal, yang dicirikan oleh aktivitas, prerogative, dan pendidikannya, meman ipulasi peraturan, mengisi jabatan dalam institusi-institusi hukum dan terlibat praktik perdebatan hukum. Tiga konsep hukum in i, menurut Unger, dapat dianggap sebagai spesies dalam genus tatanan normative (normative order). Ketiga-tiganya menjabarkan bagaimana

standar-standar prilaku. Bermula dari interactional law, keteraturan dan standar itu bersifat lestari. Lalu

dengan munculnya hukum birokratis dan tatanan hukum, pembedaannya menjadi semakin tajam, meski tidak pernah absolut. Dunia fakta dan norma mulai menampilkan identitas yang berlainan. Lihat selengkapnya, Ibid, h. 61-83.

29Kansil, 12. Lihat juga Soeroso, h. 38.

30Kansil, h . 12.

31Ibid, h. 12.

32Penjabaran ciri-ciri huku m menurut Meuwissen, lihat selengkapnya Prof. Dr. D.H.M.

(48)

of law.33 Survey Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1975

menyimpulkan bahwa Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari

rechtstaat. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Notohamidjojo. Namun, sejak

tahun 1966, sud

Referensi

Dokumen terkait

Aminudin, hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Ujung Pandang: Lembaga Penerbit Universitas Hasanudin, 1990), hlm.. memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh

Isi dari perjanjian perkawinan itu sendiri jika dilihat dalam ketentuan KUHPerdata, hanya sebatas mengatur mengenai harta kekayaan, tetapi jika di dalam Undang

Kimia Farma Persero TBK merupakan sebuah cabang produksi yang berperan penting dalam menguasai hajat hidup orang banyak dan diharapkan mampu mewujudkan cita-cita

Jangka waktu maksimal 95 tahun yang diberikan UUPM sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang investasi maka akan memberikan keuntungan bagi negara dalam hal

Peraturan Gubernur Jambi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan di Bidang Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Kepada Kepala Badan Penanaman Modal Daerah dan Pelayanan

Dalam upaya mewujudkan negara hukum, Indonesia telah memberikan perlindungan kepada Konsumen dengan memberlakukan UUPK yang bertujuan mengangkat kedudukan konsumen

5 Tahun 1968 yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat telah membuka kemungkinan bagi Pihak Penanaman Modal Asing swasta, yang menanam modalnya di Indonesia untuk

Ketiga, Mekanisme penyelegaraan perizinan terhadap penanaman modal asing di Indonesia dalam Undang-undang Penanaman Modal mengatur masalah Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP secara