Diajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
FITOYO PAMBUDI NIM: 107046101953
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Juni 2011
Penulis memanjatkan puji syukur Kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya, serta shalawat dan salam bagi Nabi
Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“TINJAUAN SYARI’AH TERHADAP DEPOSITO BERBASIS KOMODITI
MURABAHAH” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan strata satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini bukan hanya
semata-mata hasil jerih payah penulis sendiri, melainkan berkat bimbingan, bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak yang tak ternilai harganya.
Atas dasar itu penulis dengan tulus ikhlas mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan setiap masalah yang
dihadapi oleh penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Amin Suma, SH, MH, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Program Studi Muamalat Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, serta Pimpinan
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah menyediakan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.
5. Seluruh Staf pengajar beserta Asisten Dosen dan Karyawan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
6. Kedua orang tuaku tercinta dan tersayang Ayahanda Sulanjar dan Ibunda
Asmirah, serta kakanda Eko Sulistyo dan Dwi Fatimah yang dengan tulus selalu
mendoakan, memberi dorongan dan semangat tiada henti kepada penulis,
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini yang juga menjadi
amanah bagi penulis kepada orang tua. Semoga Allah selalu memberikan
perlindungan kepada semua di bawah payung kasih sayang-Nya. Amin
7. Keluarga besar PS C 2007, Didin, Fahmi, Fairuz, Dwi, Acha, rekan-rekan
LiSEnSi (Lingkar Studi Ekonomi Syari’ah) dan FoSSEI, Amel, Mawaddah, Jaja,
Bimo, Khaikal, Fikri, Wahyu, serta sahabat TaRAs (Ta’lim Remaja As-Syafa’at)
yang telah memberikan banyak pelajaran berharga selama masa studi penulis di
ini kepada semua pihak yang berkepentingan, dengan harapan skripsi ini dapat
bermanfaat.
8 Rajab 1432 H Jakarta, ---
10 Juni 2011 M
Surat Pernyataan ... ii
Persetujuan Pembimbing ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 7
D. Review Studi Terdahulu ..………... 7
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ………... 9
F. Sistematika Penulisan ……… 11
BAB II : DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH ... 12
A. Pengertian Bursa Komoditi Berjangka ……….. 12
B. Hukum Bursa Komoditi Berjangka ...……. 18
C. Pengertian Deposito ...………. 34
D. Pengertian Komoditi Murabahah ... 35
E. Jenis-Jenis Komoditi Murabahah ... 39
B. Problematika Yang Ada Pada Transaksi Deposito Berbasis
Komoditi Murabahah ...…….. 53
BAB IV : AKAD DAN ANALISA PROBLEMATIKA PADA
DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH ... 56
A. Akad-Akad Yang Digunakan Pada Deposito Berbasis
Komoditi Murabahah ...……. 56 B. Pemenuhan Rukun dan Syarat Akad-Akad Yang Digunakan
Pada Deposito Berbasis Komoditi Murabahah .…..………... 60 C. Analisa Terhadap Problematika Yang Ada Pada Deposito
Berbasis Komoditi Murabahah …...…………..…..………… 73
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...……...…………..……….. 82
B. Saran ……...…….……… 84
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan zaman, saat ini banyak sekali ditemukan berbagai jenis
transaksi keuangan Islam berkembang mulai dari yang paling sederhana hingga yang
konsepnya sangat kompleks. Mulai dari industri perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pasar modal, bahkan bursa komoditi berjangka pun tidak mau ketinggalan
dalam mengikuti tren tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya commodity trading.
Produk future trading ini dikembangkan untuk memperluas instrument pasar uang
antar bank syariah yang lazim diterapkan pada Bank Syari’ah di luar negeri1, salah
satunya adalah komoditi murabahah.
Produk investasi berbasis komoditi murabahah memang telah dikenal cukup
lama di luar negeri. Namun untuk konteks di Indonesia, komoditi murabahah
merupakan hal baru, dan konsep produk yang ditawarkan adalah deposito fixed return
dimana bank syari’ah menjaring dana masyarakat untuk ditempatkan pada sejumlah
komoditas dengan menggunakan akad murabahah. Sehingga dengan murabahah
tersebut bank syariah bisa mendapatkan return tetap (marjin) dari pembiayaan
1
Soewardi Yusuf, Commodity Trading Sebagai Alternatif Instrument Solusi Likuiditas Pada Perbankan Syariah, (Jakarta: Karim review, special edition January 2008), h.6.
komoditas. Selanjutnya, bank syariah dapat memberikan return tetap (marjin) bagi
nasabah deposito berbasis komoditi murabahah.
Dalam praktiknya konsep ini banyak mendapat kritikan dari para akademisi
karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan ekonomi Islam sebenarnya. Masalah yang
disoroti adalah akad yang dipakai dalam transaksi ini menggunakan akad tawarruq
atau bai’ inah, yang mana keduanya kontroversi dan masih dalam perdebatan di
kalangan ulama2.
Para ulama klasik dari Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali memandang
tawarruq sebagai transaksi yang diperbolehkan secara legal. Islamic Fiqh Academy,
yang beranggotakan negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI pada konferensi
tahunan sesi ke 15 di kota Mekkah, telah mengeluarkan resolusi yang mendukung
diperbolehkan transaksi tawarruq, dengan syarat pembeli tidak menjual kembali
barang yang telah dibelinya kepada penjual pertama dengan harga yang lebih rendah,
langsung atau tidak langsung, sebab kalau hal itu terjadi, maka bisa dikatakan masuk
dalam kategori transaksi yang mengandung riba.3
Para ulama dari Mazhab Maliki tidak setuju dengan penjualan barang dengan
harga yang lebih tinggi dari harga pasar apabila dilakukan oleh seseorang yang
mengambil keuntungan pinjaman dengan cara yang masuk dalam kategori riba. Umar
Ibn Abdul ‘Aziz dan Muhammad Ibn al Hasan tidak setuju dengan tawarruq. Ibnu
2 Lukman Hakim Handoko, “Kritik Terhadap CMP” diakses pada 6 Desember 2010 dari http://luqmannomic.wordpress.com/2008/09/08/kritik-terhadap-produk-commodity-murabahah-product-cmp-bag-1/.
3
Taimiyyah dari Mazhad Hanbali, dan muridnya Ibn al-Qayim sangat tidak setuju
dengan Tawarruq dan menyamakan dengan katagori ‘inah. Sebagian dari Ulama
Hanafi telah melarang transaksi ini dan menyamakannya dengan ‘inah, namun
sebagian lagi, seperti Ibn al-Humam mengatakan kalau tawarruq tidak terlalu di
senangi atau khilaf al –awla.4
Selain permasalahan akad, karena produk ini berkaitan dengan futures, maka
perlu dipertanyakan juga objek transaksinya atau underlying asset-nya yang dikaitkan
dengan harga komoditas, misalnya metal di London Metal Exchange. Sehingga
terkesan hanya mem-benchmark tanpa disertai keberadaan metalnya secara fisik atau
underlying. Hal tersebut terjadi karena praktisi perbankan syari’ah hanya menitik
beratkan suatu transaksi pada pemenuhan rukun akad saja, yaitu adanya underlying
transaction. Sehingga pada akhirnya menyebabkan underlying trannsaction tidak
berfungsi sebagai hakikat atau tujuan transaksi tetapi sekedar menjadi justifikasi atas
hakikat atau tujuan sebenarnya dari transaksi itu, yaitu transaksi untuk mendapatkan
sejumlah uang (credit transaction). Padahal secara teori, murabahah harus jelas objek
transaksi atau underlying asset-nya.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, segala transaksi bisnis harus berbasis pada
sektor riil dan harus menunjukan penciptaan barang dan jasa yang merefleksikan
penciptaan kekayaan bukan transfer kekayaan. Karena penciptaan kekayaan memiliki
peranan yang sangat mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Hal tersebut sesuai
4
dengan tujuan ekonomi Islam yaitu falah baik di dunia dan maupun di akhirat.
Aktivitas transfer kekayaan (non produktif) hanya akan memperkecil perputaran
barang dan jasa yang tentunya tidak sejalan dengan tujuan maqasid syariah,5 yang
menurut Al- Syatibi terdiri dari 5 kebutuhan dasar, yakni pemenuhan kebutuhan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.6
Di sisi lain, market shared perbankan syariah hingga akhir Desember 2010
baru mencapai angka 3,2 persen. Dari November angka ini naik sekitar Rp 7 triliun,
dari angka Rp 66 triliun menjadi 100,8 triliun.7 Tentu porsi tersebut masih sangat
kecil dari total market shared perbankan nasional.
Meski demikian upaya untuk menggenjot pangsa pasar perbankan syariah
tetap terus dilakukan. Salah satu upaya strategis adalah inovasi produk sesuai dengan
kebutuhan pasar tetapi tetap berada dalam koridor prinsip-prinsip syariah. Inovasi
produk perbankan syariah di Indonesia masih kurang dan masih .jauh tertinggal.
Produknya masih monoton dan bahkan terkesan kaku, kurang dinamis.
Berdasarkan kajian dari praktisi perbankan syariah dari Kuwaity Investment
Company., Baljeet Kaur Grewal,(2007) Indonesia menduduki kluster ketiga dalam
inovasi produk bank syariah dan pengembangan pasar. Sedangkan kluster keempat
5
Ali Sakti, “Commodity Murabahah dan Implikasinya Dalam Perekonomian”,diakses pada 5 Desember 2010 dari http://abiaqsa.blogspot.com/2007_08_01_archive.html
6 Al-Syatibi,
Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, (Kairo: Mushtafa Muhammad, T.th), jilid 2, h.374
7
yang merupakan kluster tertinggi adalah Malaysia, Uni Emirat Arab dan Bahrain.
Kluster keempat adalah negara yang paling inovatif dan variatif dalam
pengembangan produk.
Terdapat hubungan kuat antara inovasi produk dengan pengembangan pasar
bank syariah. Semakin inovatif bank syariah membuat produk, semakin cepat pula
pasar berkembang. Maka, lemahnya inovasi produk bank syariah, membuat
lambatnya pengembangan pasar (market expansion).
Inovasi produk diperlukan agar bank syari’ah bisa lebih optimal dalam
memanfaatkan fenomena global. Karena itu harus melakukan inisiatif akselerasi luar
biasa dalam pengembangan pasar dan pengembangan produk.
Oleh karenanya, beberapa tahun lalu tepatnya bulan April 2008 HSBC
Amanah Syariah bekerjasama dengan Danamon Syariah memperkenalkan produk
Komoditi Murabahah ini dengan nama Amanah Fixed Investment. Menurut Head of
HSBC Amanah Syariah Mahmoud Abushama, produk ini merupakan produk
pengelolaan dana pihak ketiga yang pertama di Indonesia yang menggunakan struktur
komoditi murabahah (commodity murabaha structure) yang tentunya memberikan
kesempatan diversifikasi portofolio investasi para nasabahnya dalam produk investasi
pendapatan tetap dan pastinya sudah disetujui oleh Bank Indonesia (BI) maupun
Dewan Syariah Nasional.8
8
Bahkan perkembangan komoditi murabahah di Indonesia belakangan berbuah
respon positif dari Bursa Berjangka Jakarta. Karena pengembangan produk komoditi
syariah berlabel Murabahah Comodity dari Bursa Berjangka Jakarta atau Jakarta
Futures Exchange (JFX), diperkirakan akan terbit pada Juli 2011.9
Oleh karena permasalahan futures trading (bursa komoditi berjangka)
khususnya Komoditi Murabahah sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya,
merupakan persoalan yang baru muncul di abad modern, yang secara pasti tidak
ditemukan dalil yang rinci yang berbicara tentang ini. Bermula dari uraian di atas,
maka penulis tertarik melakukan pengkajian yang lebih mendalam tentang komoditi
murabahah dengan judul TINJAUAN SYARI’AH TERHADAP DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Oleh karena dirasa terlalu luas pembahasan tentang komoditi murabahah ini,
maka penulis membatasi penelitian ini hanya dalam jenis komoditi murabahah
deposito dan perspektif fikih mu’amalahnya, dan agar penulisan ini lebih terarah serta
efisien dalam mencapai tujuan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah konsep deposito berbasis komoditi murabahah yang dipraktekkan
dalam perbankan syari’ah?
9
2. Bagaimanakah pendapat para ulama terkait akad-akad yang digunakan dalam
deposito berbasis komoditi murabahah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui seperti apa konsep deposito berbasis komoditi murabahah
yang dipraktekkan dalam perbankan syari’ah.
2. Untuk mengetahui pandangan para ulama terkait akad-akad yang digunakan
dalam deposito berbasis komoditi murabahah.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Bagi penulis pada khususnya dapat menambah khazanah keilmuan dan
mengembangkan daya analisis berupa gagasan atau pendapat yang direalisasikan
melalui karya ini, mengenai deposito berbasis komoditi murabahah.
2. Bagi para akademisi dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi kuliah.
3. Bagi para praktisi perbankan syariah, dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk meningkatkan sharia compliance demi menjaga
produk-produknya agar tidak keluar dari prinsip-prinsip syari’at Islam
4. Bagi masyarakat, dapat dijadikan untuk menambah pengetahuan dan juga
sebagai bahan pembelajaran terhadap kompleksnya produk-produk perbankan
syari’ah.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Artikel dengan judul “Commodity Murabahah Product (CMP) Dalam
Perspektif Hukum Ekonomi Islam” yang ditulis oleh Luqman Hakim Handoko. Perbedaannya dengan skripsi penulis adalah artikel tersebut melihat
komoditi murabahah dari sudut pandang ekonomi Islam. Meskipun di dalamnya
terdapat penjelasan terkait akad-akad yang digunakan pada transaksi ini, namun
penjelasan tersebut masih sangat minim karena artikel ini tidak menjelaskan
tempat terjadi transaksi (bursa komoditas berjangka). Sedangkan skripsi ini fokus
pada komoditi murabahah dalam bentuk penghimpunan dana serta penjelasan
terkait bursa komoditi berjangka dari aspek fikih mu’amalah.
2. Artikel yang ditulis oleh Muhammad Gunawan Yasni, SE.Ak., MM yang
berjudul “Kritik Syariah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-Bank Asing”. Adapun perbedaannya dengan skripsi penulis adalah artikel ini hanya melihat komoditi murabahah sebagai kontrak berjangka yang mengandung
unsur gharar tanpa menganalisa lebih dalam aspek-aspek syari’ah lainnya,
sebagaimana yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini.
3. Artikel yang ditulis oleh Nibra Hosen yang berjudul “Tawarruq”. Adapun
perbedaannya dengan skripsi penulis adalah artikel ini hanya melihat komoditi
murabahah dari aspek tawarruqnya saja, tanpa melihat akad-akad lain yang
digunakan pada komoditi murabahah selain tawarruq sebagaimana yang ingin
diungkapkan penulis pada skripsi ini.
4. Artikel dari Soewardi Yusuf yang dimuat dalam jurnal KARIM Review Special
Instrument Solusi Likuiditas Pada Perbankan Syari’ah”. Tulisan ini lebih mengarah kepada bagaimana perbankan syari’ah menjadikan commodity trading
sebagai solusi untuk manajemen likuiditasnya. Hal ini jelas sangat berbeda
dengan skripsi penulis yang akan membahas komoditi murabahah dari aspek
syari’ah.
5. Skripsi tahun 2003 yang berjudul “Bursa berjangka komoditi : sebuah tinjauan etika bisnis Islami” yang merupakan skripsi tahun 2003 dari Deny Pribadi mahasiswa program studi Mu’amalat FSH UIN Jakarta. Adapun skripsi
ini hanya membahas tentang bursa berjangka komoditi tanpa menjelaskan
komoditi murabahah sebagaimana yang ingin penulis sampaikan.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam mendekati masalah
yang diangkat adalah pendekatan normatif atau empiris.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini dirancang untuk mengumpulkan
informasi tentang keadaan–keadaan nyata sekarang. Tujuan dari menggunakan
jenis penelitian deskriptif kualitatif adalah untuk menggambarkan sifat suatu
keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan. Jenis
pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut
keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok penelitian. Dari
penjelasan di atas maka penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk jenis
penelitian deskriptif kualitatif karena penulis menentukan dan melaporkan
keadaan sekarang yang sedang terjadi dengan mengumpulkan, menyusun dan
mendeskripsikan berbagai dokumen, data dan informasi yang aktual yang
bertujuan untuk menjelaskan permasalahan sampai menemukan jawaban yang
diharapkan.
c. Data Penelitian
Data Penelitian yang digunakan penulis bersumber dari data sekunder
dengan jenis data yang bersifat kualitatif.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan penelitian library
research (studi pustaka) yaitu kajian kepustakaan yang dilakukan untuk
mencapai pemahaman yang komprehensif tentang konsep yang akan dikaji.
Bahan yang digunakan untuk kajian pustaka adalah buku, majalah dan
beberapa makalah yang berkaitan dan relevan dengan kajian ini.
2.Teknik Penulisan
Sebagai buku pedoman penulisan proposal ini, penulis merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review
Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, serta
Sistematika Penulisan.
BAB II DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH terdiri dari: Pengertian Bursa Komoditi Berjangka, Hukum Bursa Komoditi
Berjangka, Pengertian Deposito, Pengertian Komoditi Murabahah,
Jenis-Jenis Komoditi Murabahah, serta Tawarruq dan
Implementasinya Pada Inovasi Keuangan Syari’ah.
BAB III MEKANISME DAN PROBLEMATIKA DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH terdiri dari: Mekanisme Deposito Berbasis Komoditi Murabahah, serta Problematika pada Deposito
Berbasis Komoditi Murabahah.
BAB IV AKAD DAN ANALISA PROBLEMATIKA PADA DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH terdiri dari: Akad-Akad Yang Digunakan Pada Deposito Berbasis Komoditi Murabahah,
Pemenuhan Rukun dan Syarat Akad-Akad Yang Digunakan Pada
Deposito Berbasis Komoditi Murabahah, serta Analisa Terhadap
Problematika Yang Ada Pada Deposito Berbasis Komoditi Murabahah.
BAB II
DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH
A. Pengertian Bursa Komoditi Berjangka
Sebelum membahas lebih jauh tentang komoditi murabahah, kita harus
mengetahui terlebih dahulu tentang bursa komoditi berjangka, karena tempat ini
merupakan tempat berlangsungnya transaksi komoditi murabahah.
1. Pengertian Bursa
Bursa; Burshah adalah tempat untuk memperjualbelikan sekuritas, valuta
asing, atau barang yang dilakukan secara teratur (bourse).1 Bursa juga dapat
diartikan sebagai pasar yang di dalamnya berjalan usaha jual beli saham yang
berkaitan dengan hasil bumi dengan melibatkan para broker sebagai perantara
antara penjual dan pembeli saham.2 Secara umum bursa merupakan tempat
transaksi produk-produk surat berharga di bawah pembinaan dan pengawasan
pemerintah.3
Jadi bursa merupakan tempat yang memperjualbelikan surat-surat
berharga seperti saham, sekuritas, obligasi, valuta asing, dan lain sebagainya.
Asal mula istilah “bursa” digunakan untuk menunjukkan tempat atau
transaksi yang berhubungan dengan surat-surat berharga yang merujuk kepada
1
Ahmad Ifham, “Definisi Bursa Berjangka”, diakses pada 22 Desember 2010 dari http://sharianomics.wordpress.com/2010/12/15/definisi-bursa-berjangka/
2
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.291
julukan seorang pedagang Belgia yang bernama Van der Bourse. Pedagang
tersebut memiliki hotel di kota Bruges, Belgia yang menjadi tempat bertemunya
para pedagang di kota tersebut. Adapun aktivitas ini terjadi pada abad keenam
belas masehi.4
2. Macam-Macam Transaksi Bursa Efek a. Dari Sisi Waktu
Dilihat dari sisi waktu, transaksi bursa terbagi menjadi dua macam:
1) Transaksi Spot (tunai). Yakni transaksi dimana dua pihak yang melakukan transaksi melakukan serah terima jual beli secara langsung atau paling lambat dua kali 24 jam
2) Transaksi Forward (berjangka). Yakni transaksi yang diputuskan setelah beberapa waktu kemudian yang ditentukan dan disepakati saat transaksi. Bahkan terkadang harus diklarifikasi lagi pada hari-hari yang telah ditetapkan oleh komite bursa dan ditentukan serah terimanya di muka. 5
Adapun yang dimaksud dengan transaksi spot adalah serah terima barang
secara nyata bukan sekedar transaksi semu, atau bukan sekedar jual beli tanpa
disertai barang ril sebagai objek yang diperjualbelikan.
Sementara transaksi forward pada umumnya bertujuan untuk semacam
investasi terhadap berbagai jenis harga tanpa keinginan untuk melakukan jual
beli secara ril, dimana jual beli ini pada umumnya hanya transaksi pada naik
turun harga saja.
4
Husein al-Syahatah dan Athiyyah Fayyadh, Bursa Efek: Tuntunan Islam Dalam Transaksi di Pasar Modal. Penerjemah A. Syakur (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h.3.
5
Bahkan di antara transaksi forward ada yang bersifat permanen bagi
kedua pihak yang melakukan jual beli. Ada juga yang memberikan beberapa
bentuk hak pilih sesuai dengan bentuk transaksi. Transaksi yang memberikan hak
pilih ini memiliki perbedaan dengan transaksi lain, karena orang yang
mendapatkan hak pilih harus membayar biaya kompensasi bila ia menggunakan
hak pilih tersebut.
b. Dari Sisi Objek
Adapun jika dilihat dari sisi objek, transaksi bursa terbagi menjadi dua
macam:
1) Transaksi yang menggunakan kertas-kertas berharga (bursa efek)
Bursa efek sendiri objeknya adalah saham, obligasi, serta
surat-surat berharga lainnya. Dimana saham merupakan jumlah satuan dari
modal koperatif yang sama jumlahnya bisa diputar dengan berbagai cara
transaksi dan harganya bisa berubah-ubah sewaktu-waktu tergantung
keuntungan dan kerugian berdasarkan kinerja perusahaan tersebut.
2) Transaksi yang menggunakan barang-barang komoditas (bursa
komoditi)
Adapun objek jual beli pada bursa komoditi umumnya berasal dari
alam, namun komoditas tersebut tidak dihadirkan pada saat transaksi.
Jual beli dilakukan dengan menggunakan barang contoh atau
berdasarkan nama dari satu jenis komoditi yang disepakati dengan
3. Bursa Komoditi Berjangka
Bursa komoditi merupakan tempat pertemuan antara permintaan dan
penawaran komoditas dan derivatifnya. Pihak penjual dan pihak pembeli
barang-barang komoditas bertemu di bursa tersebut. Selain pembeli dan penjual, adapula
pedagang perantara yang dikenal dengan komisioner dan makelar. Komisioner
mengambil posisi sendiri, sedangkan makelar tidak dapat memegang posisi.6
Komoditi yang umumnya ditransaksikan adalah kopi, kakao, gula,
kedelai, jagung, emas, tembaga, kapas, lada, gandum, dan CPO (crude palm oil,
minyak sawit mentah), katun, susu, logam (emas, perak, nikel) dan juga kontrak
berjangka yang menggunakan komoditi sebagai aset acuannya. Kontrak
berjangka ini mencakup harga spot, kontrak serah, kontrak berjangka dan opsi
berjangka ataupun suku bunga, instrumen lingkungan hidup, swap, ataupun
kontrak derivatif pengangkutan.7
Bursa komoditi biasanya memperdagangkan kontrak berjangka atas
komoditi. Seorang petani yang menanam jagung dapat menjual kontrak
berjangka jagung yang baru akan dipanennya beberapa bulan kemudian dan
mendapatkan jaminan harga yang akan diterimanya kelak pada saat barang akan
diserahkan setelah panen dilakukan; dan seorang produsen makanan ringan
serealia membeli kontrak tersebut saat ini dan mendapatkan jaminan bahwa
harga tidak akan naik pada waktu barang dikirimkan kelak. Hal ini akan
6
“Bursa Komoditi”, diakses pada 9 Desember 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Komoditi 7
melindungi petani dari kejatuhan harga dan melindungi pula pembeli dari
kenaikan harga.
Spekulator juga melakukan pembelian dan penjualan kontrak berjangka
untuk mendapatkan keuntungan dan menyediakan likuiditas terhadap sistem
perdagangan berjangka.
Bursa berjangka adalah tempat/fasilitas memperjual belikan kontrak atas
sejumlah komoditi atau instrumen keuangan dengan harga tertentu yang
penyerahan barangnya disepakati akan dilakukan pada saat yang akan datang.
Kontrak adalah mengikat pada saat terjadinya kesepakatan antara pembeli dan
penjual. Tidak ada pasar sekunder untuk kontrak dalam perdagangan berjangka.
Semua kontrak adalah kontrak primer dan setiap kontrak (dengan subjek kontrak
tertentu) yang terjadi (dibuka) harus didaftarkan pada otoritas bursa setempat,
jadi kontrak diciptakan di bursa.8
Bursa berjangka menentukan suatu nilai minimum dimana harga komoditi
dapat bergerak naik maupun turun. Minimum fluktuasi ini dikenal sebagai
"kode" atau "tick" atau commodity tick. Setiap kontrak berjangka memiliki
ukuran yang berbeda-beda, jumlah, penilaian dan lain-lain, sehingga setiap
"ukuran kode" yang digunakan dalam kontrak berjangka amat tergantung pada
variabel tersebut. Ukuran ini amat penting oleh karena mencerminkan
kemungkinan harga yang tersedia.
8
Kontrak berjangka atau juga dikenal dengan sebutan futures contract
dalam dunia keuangan merupakan suatu kontrak standar yang diperdagangkan
pada bursa berjangka, untuk membeli ataupun menjual aset acuan dari instrumen
keuangan pada suatu tanggal dimasa akan datang, dengan harga tertentu. Tanggal
di masa akan datang tersebut disebut dengan istilah tanggal penyerahan atau
dikenal juga dengan istilah delivery date atau tanggal penyelesaian akhir (final
settlement date). Harga tertentu disebut dengan istilah harga kontrak berjangka
(futures price). Harga dari aset acuan pada saat tanggal penyerahan disebut
dengan istilah harga penyelesaian (settlement price).9
Suatu kontrak berjangka menimbulkan "kewajiban" kepada pemegang
kontrak guna melaksanakan pembelian atau penjualan dimana berbeda dengan
kontrak opsi yang memberikan "hak" dan "bukan kewajiban". Pada kontrak
berjangka ini, kedua belah pihak "wajib" untuk melaksanakan kewajiban
masing-masing pada tanggal penyelesaian, dimana si penjual akan menyerahkan
komoditi yang dijadikan aset acuan kepada pembeli dan pembeli wajib membeli
dengan harga penyelesaian yang telah disepakati.
Apabila kontrak berjangka dilakukan dengan cara penyelesaian tunai
(tanpa penyerahan barang) maka pelaku perdagangan berjangka yang mengalami
kerugian wajib untuk mentransfer sejumlah uang tunai kepada pelaku
perdagangan yang memperoleh keuntungan. Kontrak berjangka dengan
9
penyerahan tunai hanya diperbolehkan kalau harga penyelesaian aset acuan
sudah dapat diterima umum seperti misalnya harga saham yang diperdagangkan
di bursa saham.
Untuk bebas dari kewajiban pada tanggal penyelesaian akhir maka
pemegang posisi pada kontrak berjangka harus melakukan perhitungan atas
posisinya baik dengan melakukan penjualan posisi "long" ataupun melakukan
pembelian kembali posisi "short" yang secara efektif akan menutup posisi
kontrak berjangka serta kewajibannya berdasarkan kontrak tersebut.
Kontrak berjangka, atau disingkat "berjangka" atau futures, adalah
merupakan suatu instrumen derivatif yang diperdagangkan di Bursa. Lembaga
kliring akan bertindak selaku mitra transaksi atas semua kontrak yang
diperdagangkan, dan menentukan aturan marjin yang dibutuhkan.10
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bursa komoditi berjangka adalah
tempat/fasilitas memperjualbelikan kontrak atas sejumlah komoditi dengan harga
tertentu yang penyerahan barangnya disepakati akan dilakukan pada saat yang
akan datang.
B. Hukum Bursa Komoditi Berjangka
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa transaksi bursa ada yang
bersifat tunai, pasti dan permanen, serta ada juga yang berjangka dengan syarat uang
10
di muka. Sedangkan jika dilihat dari objeknya bisa berupa jual beli barang komoditi
biasa ataupun saham dan obligasi.
Oleh karena transaksi yang terdapat dalam bursa ini bermacam-macam, maka
tidak bisa ditetapkan hukum syari’atnya dalam skala umum, sehingga harus dirinci
terlebih dahulu jenis transaksinya sehingga bisa ditentukan hukumnya secara
terpisah.11
Majma’ al-Fiqh al-Islami telah meneliti permasalahan pasar modal dan bursa
komoditas serta akad-akad jual beli yang terjadi di dalamnya atas mata uang kertas,
saham, obligasi, serta hal-hal yang terjadi dalam akad tersebut, baik tunai ataupun
tangguh.
Selain itu, Majma’ al-Fiqh al-Islami juga meneliti atas sisi-sisi positif yang
bermanfaat dari pasar tersebut dari kacamata ekonomi dan dari kacamata para pelaku
serta sisi-sisi negatif di dalamnya. Sehingga Majma’ al-Fiqh al-Islami pada
pertemuan ketujuh Rabithah al-Alam al-Islami di Mekkah 1404 H mengeluarkan
beberapa keputusan terkait pasar modal.12
Keputusan pertama menyatakan bahwa tujuan utama pasar modal (bursa)
adalah menciptakan pasar tetap dan simultan dimana mekanisme pasar (supply and
demand) yang terjadi serta para pedagang dan pembeli dapat saling bertemu
melakukan transaksi jual beli. Ini merupakan suatu hal baik dan bermanfaat karena
11
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.25.
12
dapat mencegah para pengusaha yang mengambil kesempatan terhadap orang-orang
yang lengah atau lugu yang ingin melakukan jual beli tetapi ia tidak mengetahui
harga sesungguhnya, bahkan tidak mengetahui siapa yang mau membeli atau
menjual sesuatu kepada mereka.
Akan tetapi kemashlahatan yang jelas ini dalam dunia bursa saham tersebut
tertutupi oleh berbagai macam transaksi yang sangat berbahaya menurut syari’at
seperti perjudian, memanfaatkan ketidaktahuan orang lain, bahkan memakan uang
orang dengan cara yang bathil. Oleh sebab itu tidak mungkin ditetapkan hukum
umum untuk bursa saham dalam skala besarnya. Namun yang harus dijelaskan adalah
segala jenis transaksi jual beli yang terdapat di dalamnya satu persatu secara terpisah.
Keputusan kedua menyatakan bahwa transaksi spot terhadap barang yang ada
dalam kepemilikan penjual dan bisa dilakukan serahterima (al-qabdh) bila
mensyaratkan harus ada serah terima langsung pada saat transaksi menurut syari’at
adalah transaksi yang dibolehkan. Tentunya selama objek transaksi tersebut bukan
barang yang diharamkan syari’at. Namun, jika barang yang diperjualbelikan tidak
dalam kepemilikan penjual, maka harus dipenuhi syarat-syarat jual beli Salam.
Setelah itu barulah pembeli boleh menjual barang tersebut meskipun belum dilakukan
serah terima barang.
Keputusan ketiga menyatakan bahwa transaksi spot terhadap saham
diperbolehkan jika saham tersebut memang telah berada dalam kepemilikan penjual.
diperjualbelikan tidak bertentangan dengan syari’at seperti bank ribawi, perusahaan
miuman keras, dan sejenisnya.
Keputusan keempat menyebutkan bahwa transaksi spot maupun forward
terhadap obligasi berbunga dengan berbagai macam bentuk dan derivatifnya tidaklah
diperbolehkan menurut syari’at, karena semua itu adalah aktivitas jual beli yang
diharamkan karena mengandung riba.
Keputusan kelima menyatakan bahwa transaksi forward dengan segala
bentuknya terhadap saham dan barang yang tidak berada dalam kepemilikan penjual
(short sale) dengan cara yang berlaku dalam pasar bursa tidaklah diperbolehkan,
karena termasuk menjual barang yang tidak dimiliki, dengan dasar bahwa penjual
tersebut baru akan membeli dan menyerahkan barang tersebut di kemudian hari pada
saat transaksi dilakukan. Cara ini jelas dilarang oleh syari’at berdasarkan hadist
shahih Rasulullah SAW yang berbunyi:
ْﺑ ِﻢﯿِﻜَﺣ ْﻦَﻋ
َﻦِﻣ ُﮫَﻟ ُﮫُﻋﺎَﺘْﺑَﺄَﻓَأ ىِﺪْﻨِﻋ َﺲْﯿَﻟ َﻊْﯿَﺒْﻟا ﻰﱢﻨِﻣ ُﺪﯾِﺮُﯿَﻓ ُﻞُﺟﱠﺮﻟا ﻰِﻨﯿِﺗْﺄَﯾ ِﮫﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر ﺎَﯾ َلﺎَﻗ ٍماَﺰِﺣ ِﻦ
لﺎَﻘَﻓ ِقﻮﱡﺴﻟا
كﺪﻨﻋ ﺲﯿﻟ ﺎﻣ ﻊﺒﺗ ﻻ
(ماﺰﺣ ﻦﺑ ﻢﯿﻜﺣ هاور)
13
Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Hakim bin Hizam)
13
Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nailu al-Authar syarh muntaqa al-Akhbar.
Adapun keputusan keenam menyatakan bahwa transaksi forward dalam pasar
bursa bukanlah jual beli Salam yang diperbolehkan dalam syari’at Islam, karena
terdapat perbedaan antara keduanya.
Perbedaan pertama yakni dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar
langsung saat transaksi. Melainkan ditangguhkan pembayarannya sampai penutupan
pasar bursa. Sementara dalam jual beli Salam harga barang harus dibayar terlebih
dahulu.
Perbedaan kedua yakni dalam pasar bursa, barang transaksi dijual beberapa
kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak lain
hanyalah tetap memegang barang tersebut atau menjualnya dengan harga maksimal
kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan (spekulatif) melihat
untung ruginya. Sehingga hal tersebut dapat diqiyaskan dengan perjudian. Padahal
dalam jual beli Salam tidaklah diperbolehkan menjual barang sebelum barang
tersebut diserahterimakan. Berikut ini akan dijelaskan berbagai jenis transaksi yang
tidak bisa dilepaskan dari bursa komoditi berjangka.
1. Menjual Sesuatu Untuk Masa Yang Akan Datang (future contract)
Menjual sesuatu untuk masa yang akan datang jika dikaitkan dengan fikih
Islam merupakan jual beli sesuatu yang ma’dum (tidak ada wujudnya). Adapun
mayoritas ulama fikih melarang untuk melakukan jual beli yang tidak ada
wujudnya (ma’dum) secara mutlak. Meskipun ada sebagian ulama fikih yang
melarang jual beli sesuatu yang tidak ada wujudnya tersebut dengan alasan
Dalam pandangan fikih, jual beli dengan keberadaan komoditi yang
belum jelas tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat. Namun dalam
hukum positif di berbagai negara Islam, hal tersebut tetap dibolehkan untuk
melakukan jual beli sesuatu yang dimungkinkan komoditinya ada dalam bentuk
apapun selama pihak penjual dan pembeli saling rido, dan tidak ada pengecualian
dalam hal ini kecuali jual beli harta warisan untuk masa yang akan datang.14
Seluruh contoh transaksi seperti yang berkembang saat ini tersebut
dilarang dalam fikih, bahkan dalam sebagian transaksi tersebut tidak ada lagi
celah untuk melakukan ijtihad karena adanya nash yang secara spesifik
melarangnya dan ditambah dengan adanya dalil syar’i yang bersifat umum
tentang larangan jual beli sesuatu yang bersifat gharar.
Hal demikian karena adanya hadist yang melarang untuk menjual buah
yang belum layak panen, dan tidak ada perbedaan antara menjualnya dengan
ta’liq (bersyarat) jika panen berhasil ataupun secara munjizan (sudah terlaksana
dan panennya ada), karena unsur gharar ada dalam dua kondisi tersebut. Dalam
kondisi ta’liq, gharar muncul dari dua sisi, yaitu sisi jahalah (ketidaktahuan)
dalam wujud dari komoditi dan sisi jahalah (ketidaktahuan) dalam ukurannya
jika ada.
14
Misalnya seseorang menjual buah yang akan dihasilkan dari kebunnya,
dengan harga tertentu, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya jual beli
dengan cara seperti ini sah menurut fikih, karena tidak ada unsur gharar di
dalamnya. Hal tersebut karena seorang pembeli akan membayar komoditi
seharga dengan buah yang dapat diambil. Dan seandainya kebun tersebut tidak
menghasilkan apapun maka sesungguhnya pembeli tidak memiliki kewajiban
untuk membayar apapun.15 Di bawah ini akan dijelaskan dalil yang
dimungkinkan dapat digunakan untuk pelarangan transaksi jual beli buah
sebelum layak panen (future contract).
Yang pertama yakni bahwa jual beli dengan harga keseluruhan sekaligus,
sekalipun tidak mengandung unsur gharar dan sisi ketidaktahuan terhadap wujud
komoditi, maka sesungguhnya dalam transaksi tersebut tetap dikatakan
mengandung unsur gharar dari sisi ketidaktahuan terhadap efek dari akad itu
sendiri. Karena sesungguhnya transaksi dalam kondisi tersebut menjadi mu’allaq
(bergantung) atas adanya buah, dan itu adalah perkara yang dapat dimungkinkan
akan keberadaanya.dan kita telah mengetahui bahwa para ulama fikih tidak
membolehkan transaksi jual beli dengan adanya ta’alluq (penggantungan
bersyarat) karena mengandung unsur gharar dan juga interpretasi lainnya.16 Dan
dalam transaksi tersebut juga mengandung unsur gharar dari sisi ketidaktahuan
15
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam, h.234.
16
dalam takaran komoditi ataupun harga, yaitu ketika seseorang tidak mengetahui
ukuran dari apa yang akan dihasilkan oleh kebun tersebut walaupun faktanya
memang menghasilkan buah.
Dalil yang kedua yakni bahwa jual beli semacam ini dapat dikategorikan
sebagai transaksi al-kali bi al-kali (jual beli hutang dengan hutang), atau juga
salam akan tetapi untuk buah tertentu dalam sebuah kebun, dan kedua transaksi
tersebut dilarang dalam fikih. Hal demikian karena jika pembeli tidak
membayarkan uangnya maka hal ini bisa disebut dengan transaksi kali bi
al-kali, dan jika pembeli membayarkan uangnya maka ini adalah akad salam untuk
komoditi tertentu.17
Para pendukung akad kedua membela akan sahnya transaksi tersebut
karena transaksi tersebut dianggap telah terlaksana. Dengan kondisi yang sama
bahwa jual beli yang diperdebatkan keabsahannya adalah jual beli mu’allaq
(menggantung/bersyarat) atas adanya buah. Dan telah diketahui, bahwa transaksi
bersyarat tidak akan terlaksana kecuali dengan terlaksananya sesuatu yang
disyaratkan. Dengan alasan ini, maka pendapat kedua dianggap batal.
Sekarang tinggal landasan argumentasi yang dipakai oleh pendapat
pertama yang mengatakan bahwa unsur ta’liq dalam jual beli tidak
diperbolehkan. Dan pendapat yang dipilih adalah tidak bolehnya memasukkan
unsur penggantungan (bersyarat) dalam jual beli, walaupun pendapat mayoritas
17
telah menolak sebagian pendapat para ulama fikih dengan membolehkan adanya
ta’liq.18
Adapun ta’liq dalam kondisi seperti itu tidak diperbolehkan karena tidak
adanya kebutuhan mendesak dan tidak adanya unsur maslahah yang terbangun,
bahkan terkadang dapat menimbulkan kemudharatan, yaitu ketika hasil panen
lebih banyak dari yang telah disepakati oleh pembeli, karena ia akan merasa tidak
mampu untuk membayarnya. Dan terkadang juga harganya berubah dari hasil
panen yang dihasilkan dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Maka
kemudharatan dapat dipastikan akan menimpa salah satu pihak yang berakad
dengan penuh penyesalan dan kerugian. Dan hal ini dapat menjadi alasan untuk
membatalkan transaksi jual beli atau tetap melanjutkan transaksi dengan tidak
adanya rasa saling ridho. Padahal saling ridho merupakan hal yang sangat
ditekankan oleh syari’at dalam transaksi jual beli. Oleh karenanya
kemashlahatan dapat terbangun ketika larangan jual beli hasil panen yang belum
layak panen untuk waktu yang akan datang itu tetap dilarang, sekalipun transaksi
tersebut dapat diharapkan hasilnya dan dijual dengan harga keseluruhan
sekaligus.
2. Jual Beli Sesuatu Yang Belum Dimiliki Secara Penuh Oleh Penjual
Transaksi ini merupakan jual beli yang bertentangan dengan aturan fikih.
Karena fikih tidak membolehkan seseorang menjual sesuatu yang belum
18
dimilikinya pada waktu transaksi berlangsung terhadap objek transaksinya yang
utama. Dalam hasyiyah (penjelasan) Ibnu Abidin yang dikutip oleh Hussein
Shahatah dikatakan:
Termasuk salah satu syarat dari jual beli adalah objek transaksinya harus
dimiliki secara penuh oleh penjual dari apa yang ia jual untuk dirinya sendiri.
Maka tidak diperkenankan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya,
walaupun pada akhirnya objek tersebut akan menjadi miliknya setelah transaksi
berlangsung, sebagai aplikasi dari sebuah hadis sahih tentang larangan seseorang
menjual sesuatu yang bukan miliknya.19
Dalam masalah ini Ibnu Qudamah berkata bahwa tidak adanya perbedaan
pendapat ulama terkait hukum masalah ini.20 Adapun ‘illat (penyebab) larangan
dari hal tersebut adalah adanya unsur gharar yang timbul akibat adanya
ketidakmampuan penyerahan komoditi.21 Dalam permasalahan ini transaksi
salam dikatakan sebagai pengecualian dari larangan untuk menjual sesuatu yang
bukan miliknya, karena adanya hadist yang membolehkan akad salam. Maka
dikatakan hadis yang terkait dengan salam merupakan mukhasis (pengkhususan)
dari umumnya hadis tentang larangan untuk menjual sesuatu yang bukan
milknya.22
19
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam, h.237.
20 Abu Muhammad Abdillah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdasi, Al-Mughni. (T.t, Dar al-Manar, 1367), h.206.
21
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam, h.238.
22
Adapun transaksi salam yang terjadi di pasar keuangan yang dikenal
dengan future contract, maka sesungguhnya transaksi tersebut mengandung
banyak hal merugikan secara syar’i. Di antaranya adalah tidak disyaratkannya
transaksi tersebut kepemilikan penuh si penjual, akan tetapi cukup dengan
adanya komitmen untuk menyerahkan komoditi pada waktu tertentu jika pembeli
memintanya. Sebagaimana pula tidak disyaratkan adanya uang muka dalam
transaksinya, yang ada hanyalah syarat untuk membayar nisbah yang tidak lebih
dari 10%. Maka hal ini merupakan jual beli sesuatu yang bukan miliknya yang
dilarang dalam Islam dan tidak termasuk dalam transaksi salam yang telah
mendapat rukhsah untuk menjalankannya.
Transaksi- transaksi sebagaimana yang disebutkan di atas jelas dilarang
dalam syari’ah, walaupun si penjual memiliki suatu komoditi tertentu kemudian
diserahkan kepada sang pembeli. Akan tetapi kenyataannya yang ada tidaklah
seperti itu, karena transaksi ini hanya berakhir dengan pembayaran selisih dari
harga (agio), dan yang berakhir dengan serah terima komoditi tidak lebih dari
tiga persennya, sebagaimana dibatasi oleh para broker yang ada dalam pasar
tersebut. Dan inilah yang menjadikan transaksi ini lebih dekat kepada jenis
perjudian daripada transaksi jual beli.23
Selanjutnya penulis ingin memaparkan sebuah permasalahan yang terkait
dengan jual beli sesuatu yang belum dimiliki secara penuh, sebagaimana tertuang
23
dalam sebuah hadis yang melarang untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah larangan tersebut termasuk
setiap apa yang tidak dimiliki oleh seorang penjual pada waktu transaksi
berlangsung? Baik itu untuk komoditi tertentu atau komoditi yang dalam
tanggungan yang tersifati kadar dan karakternya (mausuf fii dzimmah), seperti
salam, atau juga apakah untuk komoditi yang bersifat mausuf fii dzimmah dapat
diserahkan pada waktu akad? Atau termasuk sesuatu yang diserahkan beberapa
saat setelah transaksi berlangsung? Atau hanya khusus untuk kondisi-kondisi
tertentu?
Adapun untuk menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis
berpendapat bahwa larangan hadist terhadap seseorang untuk menjual sesuatu
yang bukan miliknya itu jika yang dimaksud dalam transaksi yang penyerahan
objek transaksinya harus dilakukan pada waktu akad berlangsung, dan penjual
tersebut belum memilikinya secara penuh, dan jika disepakati atas penyerahan
komoditinya beberapa saat setelah akad berlangsung, maka hal demikian
diperbolehkan, karena ‘illat dari larangan hadis adalah adanya unsur gharar yang
timbul akibat ketidakmampuan dalam penyerahan komoditi, dan gharar tersebut
akan hilang atau berkurang ketika ada keyakinan dari pihak penjual untuk
mendapatkan komoditi dan kemudian diserahkan kepada pembeli.24
24
Dalam pandangan syari’ah, suatu transaksi terlarang ketika paling tidak
mengandung salah satu dari riba, gharar (risiko) berlebihan dan maysir
(perjudian). Pembahasan yang dilakukan oleh ulama mengenai kontrak berjangka
dan instrumen turunan (derivative) lainnya umumnya terletak pada kandungan
gharar yang berlebihan di dalamnya. Gharar bisa didefinisikan sebagai
penjualan dari probable items yang eksistensi dan karakteristiknya tidak pasti,
karena mempunyai risiko berlebihan yang mana membuat perdagangan itu
menyerupai atau bahkan menjadi perjudian. Gharar timbul ketika adanya
ketidakpastian atau ketidakcukupan informasi (jahl) dalam
persyaratan-persyaratan yang ada dalam suatu kontrak seperti harga, obyek transaksi, jumlah
obyek, waktu penyerahan, tempat penyerahan dan lainnya.25
Dalam sejumlah hadis, Rasulullah Muhammad SAW telah melarang jual
beli yang mengandung gharar ini. Kontrak berjangka memiliki pengertian mirip
dengan kontrak forward, yaitu sebuah kontrak untuk membeli atau menjual suatu
komoditas atau sekuritas di masa datang pada harga yang telah ditetapkan
sekarang. Hanya tidak seperti forward, kontrak berjangka biasanya terstandard
dan diperjualbelikan di suatu bursa resmi. Contohnya dalam kontrak berjangka
komoditas tembaga, satu unit tembaga akan diperdagangkan pada harga x dan
akan diserahkan pada waktu penyerahan (delivery date), akhir bulan ketiga.
25
Dari kontrak ini timbullah kewajiban dari kedua belah pihak yang
bertransaksi yang pemenuhannya ditunda sebagai waktu penyerahan. Kewajiban
dari pembeli (long position) adalah menyerahkan satu unit tembaga, sementara
kewajiban penjual (short position) adalah membayar x unit uang. Meskipun
dalam bursa berjangka, setiap trader wajib mendeposit sejumlah dana (margin)
kepada pengelola bursa (clearing house), tidak mengakibatkan kewajiban kedua
belah pihak tidak tertunda. Alasannya, jelas karena margin itu sendiri tidak
diserahkan kepada para pihak (counterparties) dari kontrak dan biasanya
mempunyai nilai jauh lebih kecil dibanding dengan besar nilai kontrak.
Mayoritas ulama sepakat bahwa transaksi dengan penyelesaian kewajiban dari
kedua belah pihak pada suatu waktu di masa datang secara syariah terlarang
karena adanya kandungan gharar yang berlebihan. Transaksi seperti ini dikenal
juga dengan nama bai’ al-mudaf. Ada beberapa justifikasi terhadap adanya
kandungan gharar dalam kontrak berjangka.26
Pertama, timbulnya penundaan kewajiban kedua belah pihak dalam
kontrak berjangka membuat transaksi ini menjadi penjualan sesuatu yang belum
dimiliki atau dikuasai oleh penjual (short sale), sehingga secara syariah termasuk
dalam transaksi terlarang (kecuali untuk beberapa kontrak seperti salam dan
istishna yang mayoritas ulama menerimanya). Banyak bukti yang menunjukkan
26
bahwa penjualan semacam ini telah mendorong prilaku spekulatif berlebihan
yang mengarah ke perjudian.
Kedua, berasal dari praktek yang terjadi pada kebanyakan bursa
berjangka dimana penyerahan fisik sebagai cara penyelesaian kontrak bukanlah
menjadi tujuan. Dalam banyak kasus di bursa berjangka, transaksi biasanya
berakhir dengan cash settlement (pembayaran kas) atau melalui offset/reversing
trade (pembalikan transaksi perdagangan) sebelum waktu penyerahan, tanpa
adanya penyerahan fisik. Malah terhadap kontrak berjangka yang memiliki dasar
transaksi seperti indeks, penyerahan fisik sama sekali tidak memungkinkan.
Ketidakpastian mengenai adanya penyerahan fisik ini membuat barang yang
diperjualbelikan dalam kontrak berjangka diragukan keberadaannya atau malah
sama sekali maya. Sehingga tidak diragukan lagi ke-gharar-annya.
Ketiga, sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang
untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini
terjerembab menjadi maysir ketika harga dari barang dasar ( underlying good)
kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) harganya dan sulit untuk ditebak
pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan
dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini
bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas
mendorong prilaku spekulatif. Selain gharar, kontrak berjangka juga membuka
Mudahnya, ambil contoh dalam suatu kontrak berjangka atau forward
valuta asing. Seorang individu membeli $1000 dari suatu pihak spot pada rate
$1:Rp.8500. Beberapa waktu kemudian individu tersebut masuk ke suatu kontrak
berjangka/forward dengan counterpart yang sama untuk menjual $1000 pada
forward rate $1: Rp9.500 setelah satu bulan. Transaksi secara tidak langsung
menunjukkan bahwa si individu tersebut meminjamkan uang Rp.8,5 juta dan
menerima bunga sebesar satu juta rupiah setelah satu bulan. Ini mirip dengan
transaksi repo dalam keuangan konvensional dan jelas ditolak oleh mayoritas
ulama.Transaksi dalam kontrak berjangka dimana terjadi penundaan kewajiban
dari kedua belah memiliki nuansa pertukaran hutang dengan hutang (bai al-dayn
bi al-dayn) yang terlarang. Misalkan suatu kontrak berjangka tembaga. Si A
membeli tembaga satu ons seharga seribu satuan uang dari si B yang akan
diserahkan pada akhir bulan ke tiga. Dapat dilihat di sini bahwa hutang si A
kepada si B sejumlah seribu satuan uang setelah satu bulan akan ditukarkan
dengan hutang si B kepada si A sejumlah satu ons tembaga setelah satu bulan.
Dari kenyataan di atas, terlihat bahwa transaksi dalam kontrak berjangka
jelas mengandung unsur gharar, riba dan maysir. Hal ini membuat fungsi
instrumen ini (juga instrumen derivative lainnya) sebagai alat lindung (hedging)
nilai dipertanyakan. Tujuan bertransaksi apakah untuk hedging atau spekulasi
makin tidak jelas.Volatilitas pasar dan ketidakjelasan dari underlying good suatu
kontrak malah memancing lebih banyak prilaku spekulatif yang pada akhirnya
Inovasi dalam kontrak berjangka (juga instrumen derivative) lainnya
justru meningkatkan unsur gharar dalam kontrak ini. Transaksi semacam kontrak
berjangka indeks jelas memperdagangkan sesuatu yang maya. Transaksi maya
yang digelembungkan oleh segelintir orang atau segelintir komunitas khusus di
beberapa kota bisnis terbesar di dunia telah mendatangkan malapetaka dalam
perekonomian. Jumlah uang yang beredar di bisnis ril menjadi terbatas karena
tersedot oleh transaksi maya. Padahal utamanya, perkembangan dari bisnis ril
memberikan kontribusi langsung terhadap tingkat perekonomian negara dan
tentunya kesejahteraan masyarakat.
C. Pengertian Deposito
Deposito adalah suatu bentuk investasi jangka pendek atau kurang dari satu
tahun dengan tingkat resiko yang sangat kecil. Investasi jenis ini dapat memberikan
jaminan kepada nasabah penyimpan dana bahwa nasabah akan mendapatkan kembali
uang yang didepositokan beserta bunganya. Pengaturan tentang Deposito terdapat
pada Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang
RI No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, serta Undang-Undang
RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.27
Pengertian deposito menurut Pasal 1 butir 22 Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syari’ah adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah yang penarikannya
27
Melissa Sianipar, “Perlidungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana Dalam Bentuk
Rekening Deposito”, diakses pada 30 Mei 2011 dari
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah
penyimpan dan Bank Syari’ah dan/atau UUS.28
Sedangkan menurut pengertian umumnya, deposito dapat diartikan sebagai
simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang
bersangkutan.
Adapun pembagian deposito berdasarkan kebebasan pihak bank dalam
menggunakan dana deposito adalah:
1. Deposito kontan biasa. Yakni deposito yang bebas digunakan oleh pihak bank, namun harus dikembalikan pada saat yang ditentukan.
2. Deposito Support (kontan dengan tujuan tertentu). Yakni deposito yang hanya bisa digunakan oleh pihak bank untuk tujuan tertentu dan harus dikembalikan pada saat yang ditentukan. 29
D. Pengertian Komoditi Murabahah
Komoditi dapat diartikan sebagai suatu benda nyata yang relatif mudah
diperdagangkan, dapat diserahkan secara fisik, dapat disimpan untuk suatu jangka
waktu tertentu dan dapat dipertukarkan dengan produk lainnya dengan jenis yang
sama, yang biasanya dapat dibeli atau dijual oleh investor melalui bursa berjangka.
Secara lebih umum, komoditi merupakan suatu produk yang diperdagangkan,
termasuk valuta asing, instrumen keuangan dan indeks. 30
28
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Perbankan Syari’ah 2008 (UU RI No.21 Tahun 2008) (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.6.
29
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2008), h.404.
30
Dalam ilmu linguistik, kata "komoditi" ini mulai dikenal dan dipergunakan di
Inggris pada abad ke 15 yang berasal dari bahasa Perancis yaitu "commodité" yang
berarti "sesuatu yang menyenangkan" dalam kualitas dan layanan. Dalam akar bahasa
latin disebut commoditas yang merujuk pada berbagai cara untuk pengukuran yang
tepat dari sesuatu; keadaan waktu ataupun kondisi yang pas, kualitas yang baik;
kemampuan untuk menghasilkan sesuatu atau properti; dan nilai tambah atau
keuntungan. Di Jerman disebut die Ware, misalnya produk atau barang yang
ditawarkan untuk dijual. Di Perancis disebut "produit de base" seperti energi, barang,
atau bahan baku industri. Sedangkan di Indonesia, komoditi dapat diartikan sebagai :
barang dagangan, benda niaga, atau bahan mentah yang dapat digolongkan menurut
mutunya sesuai dengan standar perdagangan internasional, misalnya gandum, karet,
kopi.31
Jadi, komoditi merupakan suatu benda nyata yang relatif mudah
diperdagangkan dan dapat dipertukarkan dengan produk lainnya yang biasanya dapat
dibeli atau dijual oleh investor melalui bursa berjangka.
Sedangkan pengertian murabahah secara bahasa atau etimologis adalah
berasal dari kata "ribh" yang artinya keuntungan yaitu pertambahan nilai modal. Kata
murabahah merupakan bentuk mutual yang bermakna 'saling'. Jadi, murabahah
31
artinya 'saling mendapatkan keuntungan'. Dalam ilmu fiqh, murabahah diartikan
'menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas'.32
Secara terminologis, yang dimaksud dengan murabahah adalah pembelian
barang dengan pembayaran yang ditangguhkan (1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan
seterusnya tergantung kesepakatan). Pembiayaan murabahah diberikan kepada
nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).33
Heri Sudarsono mendefinisikan murabahah sebagai jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan
nasabah. Dalam murabahah, penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada
pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu.34
Udovitch via Abdullah Saeed mendefinisikan murabahah sebagai suatu
bentuk jual beli dengan komisi, di mana si pembeli biasanya tidak dapat memperoleh
barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika si pembeli
tidak mau susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia mencari jasa seorang
perantara.35
32
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, terj. Abu Umar Basyir, h.198.
33
Karanaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta: P.T. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), h.25.
34
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 62. 35
Murabahah juga diartikan suatu kontrak usaha yang didasarkan atas kerelaan
antara kedua belah pihak atau lebih dimana keuntungan dari kontrak usaha tersebut
didapat dari mark up harga sebagaimana yang terjadi dalam akad jual beli biasa.36
Muhammad Syafi'i Antonio mengutip Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa
murabahah adalah "jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati". Dalam akad ini, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia
beli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya.37
Jadi, murabahah adalah jual beli disertai marjin keuntungan yang disepakati
kedua belah pihak dimana pihak penjual memberitahukan harga pokok pembelian
serta keuntungan dari barang yang diperjualbelikan tersebut.
Islamic Finance Service Board (IFSB) mendefinisikan komoditi murabahah
sebagai tools untuk manajemen likuidtas LKS dengan cara jual beli komoditas di
pasar komoditas sesuai syariah berbasis murabahah, baik secara tunai atau
pembayaran ditangguhkan.38
Jadi Deposito Berbasis Komoditi Murabahah merupakan penghimpunan dana
pihak ketiga yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu dengan
cara jual beli komoditas di pasar komoditas sesuai syariah berbasis murabahah, baik
secara tunai atau pembayaran ditangguhkan.
36
Ivan Rahmawan A., Kamus Istilah Akuntansi Syari'ah (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h.112-113.
37
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Islam: Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.101.
38
E. Jenis-Jenis Komoditi Murabahah
Ada tiga jenis komoditi murabahah yang didefinisikan oleh IFSB, yaitu:
1. Komoditi murabahah berupa operasi antarbank untuk mengelola likuiditas yang surplus atau defisit. Misalnya jual beli komoditas sesuai syariah dengan akad murabahah atau ketika mitra transaksinya adalah bank sentral/ otoritas moneter setempat yang menyediakan (SLOLR) dan atau fasilitas pengelolaan likuiditas lainnya. Jenis komoditi murabahah ini disebut oleh IFSB sebagai Commodity
Murabahah for Liquid Funds (CMLF).
2. Komoditi murabahah berupa pembiayaan kepada nasabah (mitra transaksi) untuk membeli komoditas secara tangguh dengan penambahan margin atas pokok dana yang dibiayai bank tersebut. Saat itu juga, nasabah menjual komoditas yang dibelinya secara tunai di pasar pada harga pasar yang berlaku. Jenis ini disebut
Commodity Murabahah Financing (CMF).
3. Komoditi murabahah dalam kasus bank menerima dana (funding) dari nasabah sebagai kewajiban (liabilities) untuk pembelian komoditas secara tangguh/ kredit. Saat bersamaan komoditas tersebut dijual oleh bank ke pasar. Jenis ini disebut Commodity Murabahah for Obtaining Funding (CMOF). Di berbagai negara, CMOF disebut juga deposito murabahah atau reverse murabahah. Dan jenis inilah yang akan menjadi fokus penulisan kali ini. 39
Komoditi murabahah dalam praktiknya bisa melibatkan dua pihak seperti
terlihat pada kontrak bai’ al-iInah (sell and buy back contract) atau tiga pihak seperti
terlihat pada kontrak tawarruq (tripartite sale). Kontrak bai’ al-inah biasanya
digunakan pada produk bai’ bitsaman ajil (BBA) home financing, personal financing,
dan kontrak tawarruq biasanya digunakan pada working capital financing, dan
Islamic hedge funds melalui komoditi murabahah. Beberapa bank syariah di luar
Indonesia yang mengaplikasikan komoditi murabahah adalah Am Islamic (Malaysia)
dengan produk bai’ al-inah, Stanchart (Uni Emirat Arab) dengan produk tawarruq
ijarah, HSBC Amanah (Uni Emirat Arab) dengan reversed tawarruq.
39