• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Peran KPAI Sebagai State Auxiliary Organs Dalam Perlindungan Terhadap Anak Terlantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi Peran KPAI Sebagai State Auxiliary Organs Dalam Perlindungan Terhadap Anak Terlantar"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI

STATE AUXILIARY

ORGANS

DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP

ANAK TELANTAR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

RYAN CHANDRA ARDHYANTO

NIM : 1111048000025

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI

STATE AUXILIARY

ORGANS

DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP

ANAK TELANTAR

Nama : Ryan Chandra Ardhyanto

NIM : 1111048000025

Jurusan/Konsentrasi : Ilmu Hukum/Hukum Kelembagaan Negara Fakultas : Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai peran dan kontribusi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai state auxiliary organs atau lembaga negara bantu yang ditinjau dari pelaksanaan tugas dan wewenangnya dalam perlindungan terhadap anak telantar. Dalam penelitian ini, penulis fokus pada peran KPAI dalam menangani anak telantar dengan mengambil beberapa contoh kasus yaitu kasus penelantaran anak di Cibubur dan kasus penelantaran disertai kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya seorang anak bernama Angeline di Bali.

Hingga saat ini, eksistensi KPAI masih sering dipertanyakan dan sering dikesankan sebagai lembaga yang belum optimal dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, khususnya dalam perlindungan terhadap anak telantar. Sehingga, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui usaha-usaha apa saja yang dilakukan oleh KPAI dalam melindungi hak-hak anak khususnya hak-hak anak telantar. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas KPAI sebagai state auxiliary organs pada kasus-kasus penelantaran anak.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif sehingga sumber data diperoleh dari bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku, artikel, majalah dan jurnal ilmiah terkait permasalahan yang penulis teliti. Namun selain bahan kepustakaan tersebut, penulis juga menggunakan metode wawancara sebagai metode pendukung untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Pada teknik pengolahan dan analisis data, penulis mengumpulkan seluruh bahan dari berbagai sumber, mengklasifikasikan berdasarkan isu hukumnya, lalu menganalisis data tersebut untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.

(6)

diantaranya keterbatasan kewenangan yang kadang tidak sebanding dengan ekspektasi kerja, keterbatasan anggaran, sulitnya pembentukan KPAD di daerah, dan kurangnya perhatian pemerintah, penegak hukum dan masyarakat mengenai perlindungan anak, khususnya perlindungan terhadap anak telantar.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayahnya kepada kita semua khususnya kepada penulis. Karena atas izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK TELANTAR”. Shalawat serta salam

juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang hingga sampai saat ini masih memegang teguh ajaran beliau.

Skripsi ini merupakan hasil dari segala upaya dan kerja keras maksimal dari penulis. Namun, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Dukungan dari beberapa pihak juga turut berpengaruh dalam proses pengerjaan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada kedua orangtua penulis yaitu Bapak Wagino dan Ibu Woro yang selalu memberikan motivasi serta doa yang tiada henti bagi penulis.

(8)

akademis maupun moril, sehingga rasa terimakasih tersebut sudah sepantasnya penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Asroru Ni‟am Sholeh, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi. 4. Lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang telah

memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperoleh data dan melakukan penelitian.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Dosen dan Staf Pengajar Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan ilmu selama penulis berada dalam masa perkuliahan.

7. Orangtua penulis, yaitu Bapak Wagino dan Ibu Woro yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, doa dan banyak pengorbanan sehingga penulis mampu berjalan dan sampai di tahap sejauh ini. Segala hasil yang penulis peroleh khususnya skripsi dan gelar sarjana ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua penulis.

(9)

9. Asrama United Islamic Cultural Centre of Indonesia (UICCI), khususnya asrama cabang Sulaimaniyah, terimakasih kepada abi-abi yang telah memberikan banyak pelajaran berharga, perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam menuntut ilmu. Juga kepada kawan-kawan asrama yang selama kurang lebih 4 tahun tinggal di asrama yang sama, terimakasih atas kenyamanan yang telah diberikan.

10. Desi Aslutiana, terimakasih atas segala motivasi, perhatian dan pengertiannya kepada penulis.

11. Senior penulis, khususnya kepada Kak Endah, Kak Cantika dan Kak Kendri yang telah memberikan banyak pelajaran berharga dan suasana kekeluargaan di kampus.

12. Para Legend MCC, Novita, Avivah, Afrita, Ummu, Tommi, dan Iwan yang selalu multi fungsi, dapat menjadi sahabat, keluarga, teman diskusi dan mampu memberikan motivasi kepada penulis.

13. Segenap pengurus dan anggota MootCourt Community (MCC) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan kenyamanan, keceriaan sekaligus ilmu dan pengalaman berharga yang bermanfaat bagi penulis.

14. Teman seperjuangan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum angkatan 2011 khususnya konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.

(10)

Terakhir, atas segala motivasi dan doa yang telah diberikan berbagai pihak kepada penulis, penulis berharap dan berdoa semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang setimpal dan dijadikan amal jariyah yang terus mengalir. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat dalam bidang keilmuan khususnya ilmu hukum serta bermanfaat untuk semua pihak, khususnya bagi pembaca dan penulis.

Jakarta, 03 Oktober 2015 Penulis

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...V

KATA PENGANTAR ...VII

DAFTAR ISI ...XI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...10

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...11

E. Kerangka Teori dan Konseptual ...13

F. Metode Penelitian ...17

G. Sistematika Penulisan ...21

BAB II KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA SEBAGAI STATE AUXILIARY ORGANS DI INDONESIA A. Gambaran Umum Tentang State Auxiliary Organs ...23

B. Latar Belakang Pembentukan KPAI ...28

C. Kedudukan KPAI dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ...31

D. Struktur Kepengurusan KPAI ...33

(12)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK TELANTAR

A. Pengertian Anak Telantar ...41

B. Bentuk-Bentuk Tindakan yang Dapat Dikategorikan Penelantaran Anak ...47

C. Faktor Penyebab Penelantaran Anak ...50

D. Dampak Tindakan Penelantaran Bagi Anak ...52

E. Hukuman Bagi Pelaku Penelantaran Anak ...54

BAB IV KONTRIBUSI KPAI DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK TELANTAR A. Tugas dan Wewenang KPAI dalam Penanganan Anak Telantar ...58

B. Peran KPAI pada Penanganan Kasus Penelantaran Anak (Kasus Penelantaran Anak Cibubur dan Kasus Pembunuhan Angeline) ...63

C. Hambatan dan Kendala KPAI ...68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...72

B. Saran ...73

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah-masalah sosial di Indonesia yang kompleks dan muncul di berbagai bidang menuntut pemerintah melalui lembaga-lembaga negara yang ada untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga negara primer yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sesuai dengan doktrin Trias Politica yang dikemukakan oleh John Locke dan dikembangkan oleh Montesquieu.

Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga

macam kekuasaan : Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.1 Doktrin ini berkembang cukup lama dan banyak diterapkan di berbagai negara di dunia. Selain itu, bentuk kelembagaan negara seperti itu juga menjadi model baku yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di beberapa negara.

1

(14)

Saat ini, negara-negara abad ke-20, apalagi negara yang sedang berkembang di mana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan ke dalam tiga kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya konsep mengenai Negara Kesejahteraan (Welfare State) di mana pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, dan karena itu harus menyelenggarakan perencanaan perkembangan ekonomi dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi kenegaraan sudah jauh melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh Montesquieu.2

Montesquieu mengidealkan bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga lembaga atau organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian maka kebebasan akan terancam. Hanya saja konsep trias politika yang diidealkan Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organ negara hanya berurusan secara ekslusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances.3

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, h. 286.

3

(15)

Ketika ketiga cabang kekuasaan utama negara tersebut tidak dapat lagi bekerja secara maksimal akibat tuntutan pergerakan masyarakat yang semakin dinamis dan masalah sosial yang semakin kompleks, maka diperlukan adanya lembaga-lembaga baru yang lebih efektif dan bebas dari intervensi politik. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya state auxiliary organs di beberapa negara termasuk di Indonesia. Pasca reformasi dan pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, bermunculan lembaga-lembaga negara yang sifatnya mandiri dan independen (state auxiliary organs) baik yang memiliki tupoksi dalam lingkup eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, diantaranya4 :

Nama Lembaga E L Y Dasar Hukum

Komisi Yudisial X Pasal 24B UUD 1945 dan

UU No. 22 Tahun 2004

Komisi Pemberantasan Korupsi X X X UU No. 30 Tahun 2002

Komisi Penyiaran Indonesia X X UU No. 32 Tahun 2002

Komisi Kepolisian Nasional X UU No. 2 Tahun 2002

Komisi Perlindungan Anak Indonesia X X UU No. 23 Tahun 2002 dan

Keppres No. 77 Tahun 2003

Komisi Pemilihan Umum X Pasal 22E UUD 1945 dan

UU No. 12 Tahun 2003

Komisi Pengawas Persaingan Usaha X X X UU No. 5 Tahun 1999

Komisi Hukum Nasional X Keppres No. 15 Tahun 2000

4

(16)

Komisi Ombudsman X X UU No. 37 Tahun 2008

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia X X UU No. 39 Tahun 1999 dan

Keppres No. 48 Tahun 2001

Dewan Riset Nasional X Keppres No. 94 Tahun 1999

Dewan Gula Nasional X Keppres No. 23 Tahun 2003

Dewan Ketahanan Pangan X Keppres No. 132 Tahun

2001

Ket : (E) eksekutif, (L) legislatif, (Y) yudikatif

Istilah state auxiliary organs/states auxiliary bodies dipadankan dengan lembaga yang melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu, dan lembaga negara pendukung5 atau dapat juga disebut lembaga negara sekunder. Di Indonesia, biasanya istilah state auxiliary organs (selanjutnya disingkat SAO) merujuk kepada Lembaga, Dewan, Badan atau Komisi. Salah satu tujuan utama dibentuknya SAO adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang belum mampu diselesaikan oleh lembaga-lembaga negara primer yang sudah ada. Karena itulah kemunculan SAO di suatu negara seharusnya efektif dan merupakan jawaban dari permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Salah satu masalah sosial yang dihadapi berbagai negara termasuk Indonesia adalah masalah sosial anak. Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang. Dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup

5

(17)

bangsa pada masa mendatang.6 Anak merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit pula dibayangkan.7

Di Indonesia sendiri walaupun sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anak, namun masih banyak anak yang dapat dikategorikan ke dalam Anak Rawan. Anak Rawan sendiri pada dasarnya adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanan-tekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya, dan bahkan acap kali pula dilanggar hak-haknya.8

Beberapa kasus terhadap anak yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak. Pada bulan Mei 2015 masyarakat dihebohkan dengan kasus penelantaran lima orang anak yang dilakukan oleh kedua orangtuanya sendiri di perumahan Citra Grand Cibubur, Bekasi. Lalu dilanjutkan oleh berita hilangnya seorang anak bernama Angeline pada tanggal 16 Mei 2015 di Bali yang pada akhirnya anak tersebut ditemukan tewas di pekarangan rumahnya sendiri pada tanggal 10 Juni 2015.

6

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : PT Refika Aditama, 2006), h. 5.

7

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung : PT Alumni, 2010), h. 1.

8

(18)

Dari pemaparan tentang kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan bahkan pembunuhan dimana anak menjadi korban diawali karena ketidakpedulian dan penelantaran yang dilakukan baik oleh orangtua, masyakarat, dan pemerintah sehingga anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dalam masa tumbuh kembangnya justru tidak dapat memperoleh kebutuhan dasarnya tersebut dan hal ini dapat disebut penelantaran anak. Penelantaran anak menjadi salah satu kasus yang dapat dikategorikan anak rawan dan masih banyak terjadi di Indonesia, sehingga memerlukan perhatian lebih, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Dalam Buku Pedoman Pembinaan Anak Telantar yang dikeluarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (2001) disebutkan bahwa yang disebut anak telantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.9 Seorang anak dikatakan telantar, bukan sekedar karena ia sudah tidak lagi memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, telantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan atau kesengajaan.10

9

Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 212.

10

(19)

Kasus penelantaran anak di Indonesia, termasuk kasus penelantaran yang mengakibatkan kekerasan pada anak, tentu membutuhkan perhatian pemerintah melalui lembaga-lembaga negaranya. Kewajiban pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan dasar anak memang menjadi tanggung jawab utama orang tua, namun apabila orang tua tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik karena faktor kemiskinan, kelalaian atau karena gangguan psikologis, maka selanjutnya pemerintah yang dituntut untuk mampu mengambil peran orang tua tersebut melalui lembaga-lembaga negaranya. Bukan hanya kepolisian dan aparat penegak hukum lain yang berwenang memberikan hukuman bagi pelaku, namun diperlukan lembaga negara lain untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi bagi anak sebagai korban penelantaran.

Melalui Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak yang berbunyi “dalam rangka meningkatkan efektivitas

penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi

Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen” serta dipertegas dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2003, maka lahirlah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (selanjutnya disingkat KPAI).

(20)

non-struktural yang memiliki fungsi menjaga akuntabilitas pemerintahan terhadap masyarakat.11

Selain tugas dan wewenang sebagai pengawas pemerintah, kedudukan KPAI sebagai SAO juga diharapkan mampu memberikan kontribusi lebih dalam rangka menciptakan situasi dan kondisi yang aman bagi anak, perlindungan terhadap hak anak serta menjamin tercapainya masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa. Selama ini, peran dan kontribusi KPAI dikesankan hanya terlihat pada kasus-kasus yang mendapat sorotan publik dan sifatnya represif, bertindak setelah adanya kejadian.

Selain itu, tugas dan wewenang KPAI masih sangat terbatas pada tingkat pengawasan sehingga kurang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat, khususnya pada penanganan anak terlantar. Padahal, mengingat kedudukannya sebagai SAO atau lembaga negara independen, KPAI harus mampu mengatasi masalah sosial yang diamanahkan padanya secara optimal. Maka atas dasar pemikiran dan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut untuk menjadi bahan skripsi yang berjudul

“OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI STATE AUXILIARY ORGANS

DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK TELANTAR”.

11

(21)

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan masalah yakni, membahas peran dan kontribusi KPAI sebagai State Auxiliary Organs yang ditinjau dari pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada

perlindungan terhadap anak telantar. Dalam penelitian ini penulis akan fokus pada peran KPAI dalam menangani kasus-kasus penelantaran anak diantaranya kasus penelantaran anak di Cibubur dan kasus penelantaran, kekerasan dan pembunuhan Angeline di Bali sebagai gambaran umum terhadap kasus-kasus penelantaran anak di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang kemunculannya, maka tujuan utama pembentukan State Auxiliary Organs adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial tertentu yang belum mampu diselesaikan oleh lembaga negara primer yang sudah ada. Diantara sekian banyak masalah sosial di Indonesia, masalah sosial anak khususnya anak telantar merupakan masalah sosial yang harus segera diatasi. Maka, kemunculan KPAI sebagai State Auxiliary Organs yang bebas dari intervensi politik diharapkan menjadi

(22)

Namun kenyataannya, tugas dan kewenangan KPAI yang diatur melalui Pasal 76 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan KPAI terkesan tidak optimal dalam menyelesaikan masalah sosial anak, khususnya masalah anak telantar.

Rumusan masalah di atas, penulis rangkum dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimana usaha KPAI dalam perlindungan terhadap anak, khususnya anak telantar?

b. Bagaimana efektivitas KPAI sebagai State Auxiliary Organs pada penanganan kasus penelantaran anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui usaha KPAI dalam perlindungan terhadap anak, khususnya anak telantar.

(23)

2. Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam hukum kelembagaan di bidang lembaga negara independen (state auxiliary organs), utamanya mengenai segala aspek yang menyangkut eksistensi KPAI dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Selain itu adanya tulisan ini dapat menambah perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi bagi perkembangan hukum kelembagaan di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum di bidang lembaga negara independen.

c. Manfaat Akademis

(24)

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Skripsi yang disusun oleh Rizky Pramustiko Putera dari Universitas Indonesia pada tahun 2012 dengan judul Analisis Kewenangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam Struktut Ketatanegaraan Republik Indonesia. Skripsi ini menjelaskan tentang kedudukan dan fungsi KPAI sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta hubungannya dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Skripsi kedua yang disusun oleh Hilman Reza dari Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2014 dengan judul Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Mengatasi Kekerasan Seksual terhadap Anak. Skripsi ini membahas mengenai peran KPAI sebagai lembaga pelindung anak khususnya dalam hal anak sebagai pelaku atau korban kekerasan seksual. Dalam skripsinya penulis juga mengkritisi peran KPAI yang pasif dan sering tertinggal oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lain dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak.

(25)

waktu, konsep lembaga negara, kategorisasi lembaga negara di Indonesia ke dalam 34 kategori dan gambaran umum tentang State Auxiliary Organs.

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda dari contoh skripsi yang ditulis oleh Rizky Pramustiko Putera, dalam skripsi ini penulis membahas mengenai optimalisasi KPAI yang berarti akan membahas lebih mendalam terhadap kedudukannya dan efektivitasnya sebagai state auxiliary organs, tugas dan wewenangnya serta lebih fokus pada penanganannya terhadap anak telantar.

Sedangkan dibandingkan contoh skripsi kedua yang ditulis oleh Hilman Reza yang membahas tentang peran KPAI dalam mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, maka penulis lebih fokus pada peran KPAI dalam mengatasi anak telantar. Selain itu, penulis juga akan membahas mengenai hambatan dan kendala KPAI dalam melaksnakan tugas dan fungsinya karena mengingat kedudukannya sebagai lembaga negara independen, KPAI seharusnya mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal.

(26)

E. Kerangka Teori dan Konseptual

Dalam filsafat hukum dan kenegaraan dikenal adanya lima ajaran atau teori yang biasa diperdebatkan dalam sejarah, yaitu kedaulatan Tuhan (Sovereignty of God), kedaulatan raja (Sovereignty of the King), kedaulatan hukum (Sovereignty

of Law), kedaulatan rakyat (People’s Sovereignty), dan ajaran kedaulatan negara (State’s Sovereignty). Prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.

Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian

kekuasaan itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindakan sewenang-wenang pada penguasa.12 Secara visual, nampaklah bahwa kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara :

A. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl J. Friedrich memakai istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power). Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat kita saksikan kalau kita bandingkan antara negara kesatuan, negara federal serta konfederasi.

12

(27)

B. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara horizontal. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias Politica atau pembagian kekuasaan (division of powers).13

Ketiga Undang-undang Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin Trias Politika dianut, tetapi karena ketiga Undang-undang Dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias Politika dalam arti pembagian kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh menteri-menteri sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman.14

Namun, disebabkan karena dinamika ketatanegaraan dan adanya kebutuhan baik karena faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya maka lembaga-lembaga negara mengalami perkembangan. Salah satunya adalah munculnya state auxiliary organs atau biasa disebut lembaga negara independen. Komisi Perlindungan Anak

Indonesia merupakan salah satu contoh lembaga negara independen untuk menangani masalah sosial anak khususnya anak rawan di Indonesia. Untuk

13

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h 267.

14

(28)

memahami hal tersebut dan memahami hubungan antara konsep-konsep yang penulis akan teliti dan bahas dalam penelitian ini, maka diperlukan suatu kerangka konseptual sebagai berikut :

1. State Auxiliary Organs dapat disebut lembaga negara independen, komisi independen, komisi negara independen, lembaga negara bantu, lembaga negara yang melayani, organ sampiran negara atau lembaga negara penunjang. Beberapa negara juga mengenal lembaga ini dengan istilah state auxiliary bodies, administrative agencies, independent regulatory agencies,

atau state auxiliary agencies. Menurut Jimly Asshidiqie, komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.15 Pembentukan lembaga-lembaga negara bantu tersebut harus memiliki landasan pijakan yang kuat dan paradigma yang jelas. Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi kepentingan publik umumnya serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya.16

2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah lembaga yang bersifat

independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan anak.

15

Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta: Kompas, 2008), h. 266.

16 Ni‟matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi,

(29)

3. Anak Telantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi

kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Anak Telantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam hukum dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian normatif merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder yakni data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, sedangkan penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan secara langsung di dalam masyarakat.17 Dalam sebuah penelitian hukum, dapat digunakan salah satu jenis penelitian tersebut ataupun kombinasi antara keduanya.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dalam penelitian normatif yang diteliti hanya daftar pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.18 Penelitian Hukum Normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder

17

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14

18

(30)

belaka.19 Namun dalam penelitian ini penulis juga akan menggunakan metode wawancara sebagai metode pendukung. Penulis akan mengambil contoh kasus terkait dengan isu yang dibahas sehingga metode wawancara sangat diperlukan sebagai metode untuk mendapatkan data lapangan dalam penelitian ini.

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, maka dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:20

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan perundang-undangan yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

b. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami beberapa konsep yaitu konsep lembaga negara independen di Indonesia khususnya KPAI dan konsep mengenai anak telantar.

c. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan kasus penulis gunakan untuk melihat contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan anak telantar berikut penanganannya.

19

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14.

20

(31)

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan data yang bersumber dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang bersifat sekunder yaitu data-data yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat dipakai untuk menganalisa permasalahan.

Pada penelitian kepustakaan, sarana yang digunakan untuk mendapatkan data adalah bahan-bahan pustaka yang terdiri dari tiga macam bahan hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat,21 yaitu Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

21

(32)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer22, yaitu berbagai buku yang membahas tentang lembaga negara, berbagai buku yang membahas tentang lembaga negara independen, berbagai buku yang membahas tentang anak, berbagai artikel dan makalah di dalam jurnal dan majalah maupun media lainnya.

c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari kamus hukum, jurnal hukum, ensiklopedi hukum, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian untuk diterapkan dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis akan mengumpulkan data dari berbagai sumber baik melalui bahan hukum primer, sekunder, dan tersier serta didukung dengan penelitian lapangan berupa wawancara dan permohonan data kasus.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data dari berbagai sumber terkumpul, penulis akan mengklasifikasikan berdasarkan isu hukum yang penulis bahas sehingga data yang diperoleh sistematis. Setelah data disusun, maka penulis akan menganalisa data tersebut untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Teknik yang penulis gunakan untuk menganalisis data adalah analisis

22

(33)

deksriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori, asas, dan kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini berfungsi agar penelitian lebih sistematis. Penulis akan mencoba membahas persoalan-persoalan dengan membaginya dalam beberapa bab. Dari beberapa bab tersebut akan terbagi lagi menjadi beberapa sub-sub bab sehingga mempermudah pemahaman mengenai penelitian ini.

Bab pertama, penulis menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Teori dan Konseptual, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua, yaitu tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai State Auxiliary Organs di Indonesia yang terdiri dari gambaran umum tentang

(34)

dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, strutur kepengurusan, serta tugas dan wewenangnya sebagai State Auxiliary Organs.

Bab ketiga, yaitu tinjauan umum mengenai anak telantar, penulis akan menjelaskan mengenai pengertian anak telantar, bentuk-bentuk tindakan yang dapat dikategorikan penelantaran anak, faktor penyebab, dampak bagi anak, dan hukuman bagi pelaku penelantaran anak.

Bab keempat, yaitu tentang kontribusi KPAI dalam perlindungan terhadap anak telantar yang berisi tentang tugas dan wewenang KPAI secara umum pada penanganan anak telantar, peran KPAI pada penanganan kasus penelantaran anak diantaranya berisi mengenai uraian singkat tentang kasus penelantaran anak Cibubur dan kasus penelantaran, kekerasan, disertai pembunuhan anak bernama Angeline di Bali sebagai gambaran terhadap kasus-kasus penelantaran anak yang terjadi di Indonesia. Pada bab ini dijelaskan pula mengenai hambatan KPAI dalam memberikan perlindungan kepada anak khususnya dalam penanganan terhadap anak telantar untuk mengetahui apakah KPAI sudah optimal dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerjanya.

(35)

BAB II

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA SEBAGAI

STATE AUXILIARY ORGANS

DI INDONESIA

A. Gambaran Umum tentang StateAuxiliaryOrgans

Dinamika ketatanegaraan di berbagai negara di dunia saat ini berkembang cepat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Teori Trias Politika sebagai konsep ketatanegaraan yang banyak diterapkan oleh berbagai negara di dunia perlahan mulai bergeser. Kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, dan kekuasaan yudikatif sebagai yang mengadili atas pelanggaran undang-undang1 lambat laun mulai keluar dari fungsi asalnya.

Di Indonesia, sejak diadakannya Perubahan Pertama yang kemudian lebih dilengkapi lagi oleh Perubahan Kedua, Ketiga, dan Keempat UUD 1945, konstitusi negara kita meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan dan mengadopsi gagasan pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal (horizontal separation of power). Pemisahan kekuasaan itu dilakukan dengan menerapkan prinsip check and balances di antara lembaga-lembaga konstitusional yang sederajat yang diidealkan saling mengendalikan satu sama lain. 2 Dalam pembuatan undang-undang misalnya, bukan hanya legislatif yang bertugas untuk

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2013), h.282.

2

(36)

membuat undang-undang melainkan juga harus melibatkan eksekutif di dalam proses pembuatannya.

Selain perkembangan atas fungsi ketiga lembaga tersebut, dinamika ketatanegaraan yang terjadi juga mengakibatkan munculnya lembaga-lembaga negara baru di beberapa negara yang berfungsi sebagai lembaga negara penunjang. Lembaga-lembaga tersebut dikenal dengan nama lembaga negara independen, komisi independen, komisi negara independen, lembaga negara bantu, lembaga negara yang melayani, organ sampiran negara atau lembaga negara penunjang. Lembaga-lembaga ini dapat juga disebut lembaga negara sekunder karena berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai lembaga negara primer.

Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak bertumbuhan lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.3

3

(37)

Di Amerika Serikat, kelahiran organ kekuasaan baru, yang kemudian

dikenal dengan istilah “komisi negara” atau administrative agencies,

sesungguhnya telah dimulai dengan pembentukan Interstate Commerce Commission, yang berdiri dengan pengesahan Congress pada 1887. Kemudian

dilanjutkan pada 1914, ketika krisis ekonomi melanda dunia, Amerika Serikat menghendaki sebuah lembaga yang secara khusus mengatur dunia bisnis, untuk mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha. Maka lahirlah apa yang dinamakan dengan Federal Trade Commission. Dalam periode berikutnya, di Amerika Serikat bermunculan sejumlah komisi negara independen (independent regulatory agencies). Hingga saat ini, setidaknya tercatat 30 komisi negara

independen yang dimiliki oleh Amerika Serikat.4

Sementara di negara-negara dunia ketiga, seperti Afrika Selatan, Thailand dan Indonesia, pembentukan komisi-komisi negara, baru melembaga ketika berlangsung proses transisi demokrasi. Afrika Selatan mungkin yang mula-mula mengawali proyek re-demokratisasi ini, yang kemudian menjadi rujukan bagi negara-negara dunia ketiga lainnya. 5 Hingga saat ini, sudah banyak negara-negara di dunia yang mengadopsi hal tersebut karena lembaga-lembaga negara yang sudah ada belum cukup untuk menyelesaikan problematika masyarakat yang semakin kompleks.

4

Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 120

5

(38)

Di Indonesia, pembentukan state auxiliary organs atau lembaga negara penunjang mulai menjamur sejak runtuhnya rezim kekuasaan orde baru. Selain karena kebutuhan akan sebuah lembaga baru yang mampu menangani permasalahan sosial yang ada, kemunculan lembaga-lembaga ini juga dipicu oleh trauma masyarakat terhadap pemerintahan orde baru yang bersifat sentralistik. Maka pembentukan lembaga negara baru yang sifatnya independen dan solutif terhadap permasalahan sosial yang ada menjadi solusi bagi negara Indonesia saat itu.

Pembentukan lembaga-lembaga tersebut ada yang berdasarkan Undang-undang Dasar seperti Komisi Yudisial melalui Pasal 24B UUD 1945 dan ada yang dibentuk berdasarkan undang-undang seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia serta ada pula yang dibentuk berdasarkan Keppres seperti Komisi Hukum Nasional melalui Keppres No. 15 tahun 2000.

Denny Indrayana dalam bukunya yang berjudul Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan yang diterbitkan oleh Kompas Media Nusantara memasukkan lima puluh tiga (53) lembaga negara yang dapat disebut sebagai state auxiliary organs. Beliau membagi state auxiliary organs ke dalam dua jenis yaitu independent regulatory bodies dan executive branch agencies.6 Jenis independent regulatory bodies mengacu pada lembaga-lembaga yang sifatnya independen dan tidak termasuk dalam cabang kekuasaan apapun seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi

6

(39)

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sedangkan jenis executive branch agencies mengacu pada lembaga negara yang berada di dalam kekuasaan

eksekutif dan memiliki tupoksi untuk membantu menjalankan fungsi eksekutif yaitu menjalankan amanat undang-undang seperti Komisi Hukum Nasional, Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan.

Jika ditinjau secara historis, maka dapat dilihat munculnya state auxiliary organs di beberapa negara disebabkan karena ketidakmampuan lembaga negara primer dalam menyelesaian permasalahan yang ada. Selain itu, kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks tidak sebanding dengan terbatasnya kemampuan lembaga negara primer juga menjadi faktor utama munculnya lembaga-lembaga negara yang sifatnya penunjang. Di Indonesia, menjamurnya lembaga-lembaga penunjang juga dikarenakan jatuhnya rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik sehingga phobia masyarakat terhadap pemerintahan yang bergaya otoriter dan sentralistik menjadi salah satu faktor mengapa muncul lembaga-lembaga penunjang yang sifatnya independen tersebut.

(40)

lembaga yang biasa disebut enti pubblici berjumlah 40.000 buah.7 Bukan tidak mungkin Indonesia juga mengalami hal yang sama dengan negara-negara tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa lembaga negara penunjang yang dibentuk harus dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal sebagai solusi atas terbatasnya kemampuan dari lembaga negara primer dan hal ini tentu harus sesuai dengan tujuan negara. Dalam tulisan Sri Sumanntri yang berjudul Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 yang dikutip oleh Titik Triwulan Tutik, beliau mengatakan, bahwa dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, presidenlah yang pertama mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional (negara).8

B. Latar Belakang Pembentukan KPAI

Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dalam sidang umum PBB tahun 1989 menunjukkan bahwa pemerintah berupaya untuk menjamin kesejahteraan anak. Diratifikasinya konvensi tersebut melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 menunjukkan keseriusan pemerintah saat itu. Komitmen pemerintah tersebut dilanjutkan dengan penandatanganan Deklarasi Konferensi Tingkat Tinggi Anak (KTT Anak) di New York 30 September 1990 serta

7

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h. 11

8

(41)

Deklarasi Stockholm untuk Agenda Aksi Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak pada tahun 1996.9

Hingga dibentuknya Undang-undang No. 23 tahun 2002 yang direvisi menjadi Undang-undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak merupakan usaha sinkronasi KHA dan berbagai perjanjian internasional lain dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada akhirnya, kedua Undang-undang Perlindungan Anak tersebut mengamanatkan dibentuknya lembaga negara baru yakni Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Pasal 74 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan : 1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan

pemenuhan Hak Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah salah satu state auxiliary organs di Indonesia yang termasuk dalam jenis independent regulatory

bodies.10 Artinya, KPAI merupakan lembaga negara penunjang yang bersifat independen di luar kekuasaan lembaga negara primer. KPAI merupakan lembaga

9

Ade Mega Suryani, Upaya Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual, Skripsi, (Jakarta : UIN Jakarta, 2014), h.39

10

(42)

negara independen yang memiliki tugas dan wewenang dalam bidang perlindungan hak-hak anak. Lembaga ini dibentuk karena permasalahan sosial anak sebagai salah satu permasalahan sosial masyarakat sangat sulit untuk diatasi sehingga diperlukan lembaga negara baru yang bersifat independen dan bebas dari kepentingan pihak manapun untuk menjadi garda terdepan dalam perlindungan hak-hak anak di Indonesia.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk berdasarkan amanat UU Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 undang-undang tersebut, Presiden menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan mengangkat Anggota KPAI seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut.11

Dengan demikian KPAI dibentuk sekurang-kurangnya berlandaskan pada : a. UUD 1945, pasal 27 dan 28 (hasil amandemen)

b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

c. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi KHA PBB d. Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 Tentang KPAI

11

Website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia,

(43)

e. Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2004 Tentang Pengangatan Anggota KPAI.12

C. Kedudukan KPAI dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia

KPAI adalah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan pasal 74 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Kedudukan KPAI sejajar dengan komisi-komisi negara lainnya, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), Komisi Kejaksaan, Komisi Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain.

KPAI merupakan salah satu dari tiga institusi nasional pengawal dan pengawas implementasi HAM di Indonesia (NHRI/National Human Right Institusion) yakni KPAI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.13 Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan KPAI dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah sebagai lembaga pengawas pemerintah dalam hal ini adalah eksekutif sebagai pelaksana kebijakan meskipun tidak menutup kemungkinan KPAI memiliki kewenangan untuk mengawasi lembaga legislatif dan eksekutif serta lembaga lain jika itu terkait dengan kepentingan anak.

12

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk Perlindungan Anak (Jakarta : KPAI, 2006), h. 15

13

Website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia,

(44)

Kedudukan KPAI sebagai lembaga negara pengawas bukan sebagai lembaga pelaksana teknis perlindungan anak dikarenakan sebenarnya Indonesia sudah memiliki lembaga-lembaga pelaksana teknis dalam hal perlindungan anak. Untuk pembuat kebijakan sudah ada lembaga legislatif dan eksekutif khususnya dalam pembuatan undang-undang. Di tingkat pelaksanaan kebijakan sudah ada lembaga eksekutif melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sedangkan apabila ada pelanggaran terhadap hak-hak anak sudah ada lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan dan lembaga peradilan guna menangani kasus-kasus tersebut.14

Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan KPAI menjadi penting karena lembaga-lembaga yang sudah ada tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pelaksana teknis perlindungan anak. Sehingga, atas dasar hal tersebut diperlukan lembaga negara baru yang bersifat independen untuk mengawasi lembaga-lembaga yang ada agar lebih optimal dalam menjalankan fungsinya masing-masing khususnya pada upaya perlindungan anak. Kewenangan KPAI di bidang pengawasan juga ditujukan agar kewenangannya tidak tumpang tindih dengan lembaga lain yang sudah ada sebelumnnya sehingga sangat diharapkan KPAI mampu berperan optimal dalam menjalankan tupoksinya agar dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan pemenuhan hak anak.

14

(45)

D. Struktur Kepengurusan KPAI

Sebagai salah satu state auxiliary organs yang bersifat independen di Indonesia, KPAI memiliki struktur kepengurusan berupa komisioner yang masing-masingnya memiliki hubungan kordinatif. Pasal 75 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan tentang struktur kepengurusan dan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia :

Ayat ;

(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh) orang anggota.

(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap Perlindungan Anak.

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan diatur dengan Peraturan Presiden.15

15

(46)

Dalam Pasal 5 Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 Tentang KPAI menyatakan bahwa Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari unsur :

a. Pemerintah; b. Tokoh agama; c. Tokoh masyarakat; d. Organisasi sosial;

e. Organisasi kemasyarakatan; f. Organisasi profesi;

g. Lembaga swadaya masyarakat; h. Dunia usaha; dan

i. Kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.16

Selanjutnya, pada Pasal 6 Keppres tersebut juga menjelaskan mengenai mekanisme pengisian jabatan keanggotaan KPAI dipilih dan dilaksanakan sendiri oleh para anggota KPAI. Penjelasan ini memperkuat posisi KPAI sebagai state auxiliary organs yang bersifat independen dan bebas dari kepentingan politik pihak manapun karena KPAI diberikan kebebasan dalam mekanisme pengisian dan pemilihan keanggotaan. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja KPAI agar lebih optimal dalam bekerja untuk melindungi kepentingan anak.

16

(47)

E. Tugas dan Wewenang KPAI

Fungsi KPAI berbeda dengan fungsi Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Perlindungan Anak (PA). Fungsi KPP dan PA adalah membuat kebijakan di wilayah eksekutif yang mensinkronkan berbagai aspek perlindungan anak yang dijalankan oleh seluruh perangkat pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Dalam hal ini, KPP dan PA juga memiliki perangkat pemantauan dan evaluasi sendiri, termasuk untuk menjatuhkan sanksi internal dan memberikan penghargaan. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan yang dilakukan KPP dan PA memiliki makna yang berbeda dengan yang dilakukan KPAI, dimana yang dilakukan KPP dan PA ada dalam wilayah administratif dan dalam kerangka antar instansi sehingga lebih bersifat koordinasi di dalam pemerintahan. Sedangkan yang dilakukan KPAI berada di luar wilayah penyelenggara Negara dalam arti eksekutif. Meskipun KPAI adalah lembaga negara, sifat independennya menyebabkan KPAI tidak berada dalam wilayah koordinasi internal. KPAI bisa memberikan teguran, publikasi, rekomendasi, dan hal-hal lain yang dianggap perlu kepada seluruh Penyelenggara Negara, namun KPAI tidak bisa menjatuhkan sanksi internal atau administratif.

(48)

untuk memberikan penanganan sementara dan segera memintakan instansi terkait untuk menjalankan fungsinya terkait dengan masalah anak.17 Sistem ini dikenal dengan nama Reveral System karena ada lembaga lain yang sebenarnya sudah memiliki tupoksi sebagai eksekutor penyelesaian masalah atau kasus yang melibatkan anak.

Berdasarkan beberapa dasar hukum pembentukan, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan latar belakang terbentuknya, KPAI memiliki rumusan visi, misi, dan strategi sebagai berikut :

Visi :

“terwujudnya Indonesia Ramah Anak”

Misi :

Meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan yang terkait dengan kebijakan perlindungan anak :

1. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam perlindungan anak;

2. Membangun sistem dan jejaring pengawasan perlindungan anak; 3. Meningkatkan jumlah dan kompetensi pengawasan perlindungan anak; 4. Meningkatkan kuantitas kualitas, dan utilitas laporan pengawasan

perlindungan anak;

5. Meningkatkan kapasitas, aksebilitas, dan kualitas layanan pengaduan masyarakat;

6. Meningkatkan kinerja organisasi KPAI.

17

(49)

Strategi :

1) Penggunaan System Building Approach (SBA) sebagai basis pelaksanaan tugas dan fungsi, yang meliputi tiga komponen sistem :

a. Sistem norma dan kebijakan, meliputi aturan dalam perundang-undangan maupun kebijakan turunannya baik di tingkat pusat maupun daerah;

b. Struktur dan pelayanan, meliputi bagaimana struktur organisasi, kelembagaan dan tata laksananya, siapa saja aparatur yang bertanggung jawab dan bagaimana kapasitasnya;

c. Proses, meliputi bagaimana prosedur, mekanisme kordinasi, dan SOP- nya.

2) Penguatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang profesional, kredibel dan terstruktur, sehingga diharapkan tugas dan fungsi KPAI dapat berlangsung dengan efektif dan efisien;

3) Penguatan kesadaran masyarakat untuk mendorong tersedianya sarana dan prasarana pendukung yang memberikan kemudahan akses terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di semua sektor;

4) Perspektif dan pendekatan yang holistik, komprehensif dan bukan parsial dalam merespon masalah atau kasus, karena masalah atau kasus anak tidak pernah berdiri sendiri namun selalu beririsan dengan berbagai aspek kehidupan yang kompleks;

(50)

child right mainstreaming dalam segala aspek dan level pembangunan secara

berkelanjutan;

6) Penguatan mekanisme sistem rujukan (reveral system) dalam penerimaan pengaduan. Hal ini dipandang penting untuk memantapkan proses penanganan masalah perlindungan anak yang bersumber dari pengaduan masyarakat;

7) Kemitraan strategis dengan pemerintah dan civil society dalam setiap bidang kerja dan isu agar setiap permasalahan bisa mendapatkan rekomendasi dan solusinya yang tepat, serta terpantau perkembangannya.18

Selanjutnya, melalui Pasal 76 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa tugas Komisi Perlindungan Anak yaitu : a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan

Hak Anak;

b. Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak.

c. Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak;

d. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak;

e. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;

f. Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak; dan

18

Website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia,

(51)

g. Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.19

Untuk mencapai visi dan misi, menunjang pelaksanaan tugas, kewenangan, serta fungsi KPAI agar optimal, maka beberapa usaha yang dilakukan KPAI diantaranya sebagai berikut :

Sosialisasi

Sosialisasi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu tugas dan fungsi (tupoksi) Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Metode sosialiasi yang digunakan bervariasi yakni sosialisasi media massa baik cetak dan elektronik, sosialisasi melalui brosur, pamplet, buku, spanduk, baliho dan media cetak lainnya, serta sosialisasi melaui forum tatap buka, baik seminar, workshop dan FGD.

Penerapan metode sosialisasi tersebut didasarkan atas analisis sasaran, kebutuhan dan kepentingan, bila sasaran yang diinginkan adalah masyarakat publik secara umum maka metode sosialisasi yang digunakan adalah media massa baik cetak maupun elektronik dan media cetak, berupa buku, brosur, pamplet, baliho, spanduk dan lain-lain. Namun bila sasaran sosialisasi adalah audiens khusus seperti anak, orang tua ataupun masyarakat maka Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan sosialisasi melalui metode tatap muka.

19

(52)

Kemitraan

Kemitraan adalah salah satu strategi yang digunakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (tupoksi). Kemitraan bertujuan untuk membangun jejaring perlindungan anak, baik untuk kepentingan promotif, proventif, kuratif dan rehabilitative. Luasnya demografi wilayah Indonesia membutuhkan sistem jejaring perlindungan anak yang massif dan terkoordinir, agar pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak berjalan efektif dan efisien.20

20

(53)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK TELANTAR

A. Pengertian Anak Telantar

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Bunyi Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi acuan dan pedoman bagi negara dalam hal ini pemerintah melalui lembaga-lembaganya untuk menjamin bahwa anak telantar harus dipelihara dan dijamin kelangsungan hidupnya serta masa depannya. Selain kewajiban untuk melakukan perintah Undang-Undang Dasar tersebut, kesadaran untuk memelihara dan menjamin kelangsungan hidup serta masa depan anak memang harus dimiliki oleh seluruh elemen bangsa.

Secara umum, anak diartikan sebagai keturunan yang dilahirkan, juga bisa diartikan sebagai manusia yang belum dewasa atau masih kecil.1 Sedangkan menurut Undang-undang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.2 Undang-undang Kesejahteraan Anak juga memberikan definisi tentang anak, yaitu seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.3

1

M. B. Ali dan T. Deli, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung : Penabur Ilmu, 2009), h. 32

2

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

3

(54)

Perbedaan batasan umur anak dalam berbagai ketentuan perundang-undangan di Indonesia tersebut sering menimbulkan kerancuan untuk mengetahui siapa saja yang dapat disebut sebagai anak. Menurut Konvensi Hak Anak, anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.4 Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa batasan umur anak secara umum adalah dibawah delapan belas tahun namun sekaligus mengakui bahwa setiap negara memiliki ketentuan masing-masing mengenai batasan umur anak. Indonesia pun bahkan memiliki batasan umur yang berbeda dalam berbagai peraturan perundang-undangannya tentang batas kedewasaan seseorang.

Kata telantar mengandung arti tak terurus atau tak terpelihara.5 Sedangkan kata penelantaran sebagai kata kerja berasal dari kata lantar yang berarti tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus.6 Maka dari beberapa rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak telantar adalah seseorang yang secara umum berusia dibawah delapan belas tahun atau ditentukan lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan karena suatu sebab tidak diberikan pemeliharaan yang layak, tidak terurus, dan terbengkalai sehingga hak-hak dasarnya tidak terpenuhi.

4

Pasal 1 Konvensi Hak Anak

5

M. B. Ali dan T. Deli, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h. 467

6

(55)

Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.7 Sedangkan menurut Kementrian Sosial, anak telantar adalah seorang anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, meliputi anak yang mengalami perlakuan salah dan ditelantarkan oleh orang tua/keluarga atau anak kehilangan hak asuh dari orang tua/keluarga.

Kriteria :

a. Berasal dari keluarga fakir miskin;

b.Anak yang dilalaikan oleh orang tuanya; dan c. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.8

Anak telantar sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori anak rawan atau anak-anak membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection). Dalam Buku Pedoman Pembinaan Anak Telantar yang

dikeluarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (2001) disebutkan bahwa yang disebut anak telantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.9

7

Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

8

Lampiran Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial

9

(56)

Seorang anak dikatakan telantar, bukan sekedar karena ia sudah tidak lagi memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, telantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan atau kesengajaan. Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki, misalnya, mereka umumnya sangat rawan untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah (child abuse). Pada tingkat ekstrem, perilaku penelantaran anak bisa berupa tindakan orang tua membuang anaknya, entah itu di hutan, di selokan, di tempat sampah, dan sebagainya baik ingin menutupi aib atau karena ketidaksiapan orang tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara wajar.10

Bukan hanya dalam hukum positif, melainkan dalam hukum Islam juga diatur tentang hak-hak anak. Walaupun tidak dijelaskan secara mendetail mengenai anak telantar, namun konsep perlindungan terhadap hak-hak anak juga disebutkan dalam Al-Quran. Dalam Islam, perlindungan terhadap hak anak adalah salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan khususnya oleh kedua orangtua karena anak merupakan titipan Allah SWT yang dapat menjadi penyenang hati bagi kedua orangtuanya. Hal ini terdapat dalam Surah Al-Furqon ayat 74,

10

(57)

Artinya : "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi

orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqon: 74)

Selain itu, anak merupakan amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada kedua orangtua, hal ini terdapat dalam Surah Al-Anfal ayat 27,

Artinya : ”Wahai orang-orang yang beriman,janganlah kalian mengkhianati (amanat) Allah dan Amanat Rasul,dan janganlah kalian mengkhianati

amanat-amanat yang diamanatkan kepada kalian,sedangkan kamu mengetahui”.

(Q.S.al-Anfal/8:27)

Selanjutnya, kewajiban pemeliharaan anak sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Tahrim ayat 6,

Artinya : “Hai o

Gambar

Grafika, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui peran komisi perlindungan anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara dalam menanggulangi kekerasan terhadap anak di

Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak seharusnya hidup dengan layak dan terpenuhi hak-haknya, akan tetapi dalam faktanya hak-hak tersebut tidak didapatkan oleh

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi masyarakat mengenai perlindungan anak sebagai Pekerja Rumah Tangga, serta mengawasi

terhadap oknum yang diduga melakukan kekerasan psikis. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Lembaga Perlindungan Anak.. dalam memberikan perlindungan terhadap anak

Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah Lembaga Independen yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara yang dibentuk  pada. tanggal 21 Juni 2004 berdasarkan amanat

Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual terhadap anak ( Child.. Sexual Abuse ) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah. Provinsi

Hal ini perlu menjadi perhatian bagi negara yang di mana dalam melakukan pengawasannya dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan masyarakat Indonesia untuk

1119028602 Email : nahlifikry00@gmail.com Abstrak Upaya dalam memberikan perlindungan terhadap anak terlantar di Kota Banjarmasin Utara karena anak adalah tunas harapan, dan generasi