• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Kpai) Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Kpai) Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

i

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salahsatu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

oleh :

HILMAN REZA

108048000021

KO NSENT RASI KE LEMBAGAAN NE GARA

P R O G R AM S T U D I I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

ii

PERAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) DALAM

MENGATASI KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

Skripsi

DiajukanKepadaFakultas Syari’ah Dan HukumUntuk Memenuhi SalahSatu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

HILMAN REZA NIM: 108048000021

Pembimbing I Pembimbing II

KO NSENT RASI KE LEMBAGAAN NE GARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

iii

diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum.

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

v

Prodi/Konsentrasi : Ilmu Hukum/Kelembagaan Negara

Judul Skripsi : Peran Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Melihat jumlah kekerasan seksual terhadap anak yang samakin tinggi dan meresahkan. Dari database akhir November 2013 lalu KPAI mencatat kasus yang melibatkan kekerasan seksual sebanyak 526 kasus. Kaitannya dengan hal itu, KPAI secara normatif, mempunyai kewenangan untuk berperan sebagai pelidung anak dalam mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal tersebut bisa dilihat dari pasal 76 UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak, bahwa KPAI berfungsi dan bertugas untuk: menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap pelanggaran perlindungan anak. Namun dalam beberapa hal penanganan kasus kekerasan yang terjadi pada anak, sering kali KPAI hanya bersikap pasif, dan yang paling sangat terlihat KPAI sering tertinggal langkahnya oleh lembaga swadaya masyarakat lainnya dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Setelah melakukan penelahaan komprehensif dalam beberapa kasus kekerasan seksual, KPAI telah berperan untuk melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi dan mengawasi bentuk pelanggaran yang melibatkan anak-anak, dalam konteks ini kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sejak didirikannya KPAI melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang perlidungan anak pada tahun 2002 silam hingga sekarang, KPAI mengalami beberapa permasalahan serta hambatan yang cukup rumit. Dalam melakukan dorongan kepada para pihak yang berkepentingan seperti kepada pemerintah, pemangku kebijakan, aparat penegak hukum, orang tua ataupun masyarakat untuk betul-betul memberikan dorongan, masukan, sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa kepentingan untuk tumbuh dan berkembangnya seorang anak itu tetap harus dijaga. Hal itu tidaklah semudah membalikan tangan ketika terjadi suatu pristiwa kekerasan seksual bagi para pihak untuk menyelesaikannya. Kendala dan tantangan yang dihadapi KPAI sebagai berikut: a) Legal Standing Penanganan Perkara KPAI, b) Perlindungan Anak Belum Prioritas Bagi Pemerintah Indonesia, c) Minimnya Database Informasi KPAI, d). Minimnya pemahaman masyarakat, penegak hukum dan stake holders (pihak berkepentingan) dalam kerangka perlidungan hak anak menjadi penghambat tersendiri bagi KPAI.

(6)

vi

tugasnya dalam konteks ini mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak yaitu KPAI telah pengumpulan data, informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap apapun. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B (2) menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Namun paya Perlidungan Anak dalam mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak, secara garis besar KPAI telah berperan secara pasif dalam mengupayakan bentuk perlidungan kepada anak Indonesia, bertolak belakang dengan amanat UUD 1945.

(7)

vii

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DALAM MENGATASI

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para sahabatnya yang telah menyampaikan dan mengajarkan kepada semua manusia tentang hakikat kehidupan yang sebenarnya.

Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar bahwa tidak mungkin menyelesaikan semua ini sendirian. Penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan baik langsung maupun tidak langsung, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan, karena dengan adanya mereka segala macam hambatan dapat teratasi oleh Penulis.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. H. Moh. Amin Suma, SH., MH., MM selaku Dekan Fakultas Syariah

(8)

viii

3. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA dan Drs. Abu Tamrin, SH., M. Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Euis Nurlaelawati, MA., Ph.d selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Afwan Faizin, M.A. dan serta Dedy Nursamsi, SH., M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk selalu memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi yang sangat berarti demi kelancaran penulisan skripsi.

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis, selama duduk di bangku perkuliahan, semoga menjadi bekal hidup kami.

7. Segenap Jajaran Staf Perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

8. Lembaga Komisi Perlindungan Anak terutama Bpk. Diinil yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk memperoleh data dan informasi yang Penulis butuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini.

(9)

ix cemerlang.

11.Keluarga Besar Kakek H. Hasan (alm) yang telah banyak memberikan motivasi dan inspirasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12.Sahabat-sahabat seperjuangan Chaerul, Rida Farida, Al-Myzan, Firdaus, Wijayandaru, Wahid , Zulpikar, Martin, Arief, Kholifah, Fauziah dan sahabat-sahabat Ilmu Hukum angkatan 2008 lainnya, semoga kita mendapatkan kesuksesan dan bermanfaat bagi yang lainnya.

13.Iin Kurnia, Azmie, Sofyan, Atiyah, dan teman-teman KKN API, semoga kita bisa saling terus memotivasi.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 9 Januari 2014

Penulis

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Metodelogi Penelitian ... 14

F. Riview Studi Terdahulu ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II KOMISI PERLIDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) ... 20

A. Pengertian Komisi Perlidungan Anak ... 20

B. Asal Usul Berdirinya KPAI ... 26

C. Struktur Organisasi KPAI ... 31

(11)

xi

A. Pengertian Kekerasan Seksual ... 43

B. Bentuk Kekerasan seksual ... 47

C. Faktor Penyebab Kekerasan Seksual ... 49

D. Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia ... 51

E. Pemidanaan Kasus kekerasan Seksual terhadap Anak ... 54

BAB IV EFEKTIVITAS KINERJA KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DALAM MENGATASI KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK ... 58

A. Peran KPAI Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak ... 58

B. Hambatan KPAI Dalam Mengatasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak... 71

C. Efektivitas Kinerja KPAI Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak ... 76

BAB V PENUTUP ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran-saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(12)

xii

1. Surat Wawancara ...

2. Surat Hasil Wawancara KPAI ...

3. Hasil Transkip Wawancara ...

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa bulan terakhir ini, kasus kekerasan seksual pada anak kembali marak terjadi di Indonesia. Seperti yang diberitakan oleh beberapa media, Komnas Anak mencatat bahwa kasus kekerasan seksual pada anak terjadi di Indonesia kini mencapai 730 kasus.1 Jika kita melihat lebih jauh, kekerasan seksual pada anak beragam modusnya, ada yang menjadi pegawai pajak, kasus pencabulan anak jalanan yang dilakukan oleh koordinatornya dan sebagainya. Kekerasan seksual pada anak ini sangatlah memprihatinkan banyak pihak sekolah-sekolah serta ibu-ibu yang memiliki anak.

Kekerasan seksual (sexual violence) terhadap anak merupakan bentuk perlakuan yang merendahkan martabat anak dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Bentuk perlakuan kekerasan seksual seperti digerayangi, diperkosa, dicabuli atapun digaulli dengan paksaan telah membawa dampak yang

1

(14)

2

sangat endemik, dalam kacamata psikologis anak akan menyimpan semua derita yang pernah ada,2 terlebih kekerasan seksual pada anak.3

Kekerasan seksual yang ditonjolkan hari-hari ini merupakan pembuktiaan bahwa bentuk eksploitasi terhadap anak dilakukan oleh pelaku yang memiliki kekutan fisik lebih, hal itu dilakukan demi kepuasan seksual orang dewasa. Kekuatan fisik dijadikan sebagai alat untuk mempelancar usaha-usaha jahatnya.4 Pelaku dapat dengan mudah memperdayakan anak sehingga mau menuruti segala perintah orang yang meyuruhnya. Apabila jika perintah tersebut diimingi-imingi, dijanjikan dengan sesuatu atau dibujuk oleh pelaku, hingga akhirnya korban diperlakukan serta dilecehkan dengan beragam bentuk.

Kekerasan seksual terhadap anak juga dikenal dengan istilah child sexual

abuse. Dalam banyak kejadian, kasus kekerasan seksual terhadap anak sering

tidak dilaporkan kepada kepolisi. Kasus tersebut cenderung dirahasiakan, bahkan jarang dibicarakan baik oleh pelaku maupun korban. Para korban merasa malu karena menganggap hal itu sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan rapat-rapat atau korban merasa takut akan ancaman pelaku. Sedangkan si pelaku merasa malu dan takut akan di hukum apabila perbuatannya di ketahui.

2

Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hal. 8

3

Lihat pula hasil monitoring korban kekerasan seksual oleh LBH Jakarta. LBH Jakarta,

Mengawal Perlindungan Anak berhadapan dengan Hukum, (Jakarta: LBH Jakarta, 2012), hal. 93

dan 124

4

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

(15)

Keenggan pihak keluarga melaporkan kasus child sexual abuse yang dialami, bisa jadi merupakan salah satu sebab kasus tersebut menjadi seperti fenomena gunung es. Karena yang tampak hanya sebagai kecil saja, sedangkan bagaian besar tidak tampak. Apalagi jika kasus tersebut menyangkut pelaku orang terkenal, tokoh masyarakat, dikenal dengan dekat oleh korban atau ada hubungan keluarga antara korban dan pelaku.5

Kekerasan seksual terhadap anak merujuk pada prilaku seksual yang tidak wajar dalam berhubungan seksual merugikan pihak korban yang masih anak-anak dan merusak kedamaian ditengah masyarakat, adanya kekerasaan seksual yang terjadi, maka penderitaan korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian.6

Child abuse antara lain dirumuskan sebagai suatu bentuk tindakan yang

bersifat tidak wajar pada anak dan biasanya dilakukan oleh orang dewasa. Para pakar umumnya memberikan definisi ini menjadi suatu bentuk perlakuan salah terhadap anak baik secara fisik (physically abused) seperti penganiayaan, pemukulan, melukai anak, maupun kejiwaan (mentally abused) seperti melampiaskan kemarahan terhadap anak dengan mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak senonoh. Bentuk lain dari tindakan tidak wajar terhadap anak dapat

5

Lihat kasus di tanjung priok yang melibatkan seorang tokoh masyarakat. LBH Jakarta,

Mengawal Perlindungan Anak berhadapan dengan Hukum, (Jakarta: LBH Jakarta, 2012), hal.

113

6

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

(16)

4

juga berbentuk perlakuan salah secara seksual (sexual abused). Contoh tindakan ini antara lain kontak seksual langsung yang dilakukan antara orang dewasa dan anak berdasarkan paska (perkosaan) maupun tanpa paksaan (incest). Tindakan perlakuan salah secara seksual lainnya adalah eksploitasi seksual seperti prostitusi anak dan pelecehan seksual terhadap anak.7

Kekerasaan dan abuse seksual pada masa kanak-kanak sering tidak teridentifikasikasi karena berbagai alasan (terlewat dari perhatiaan, anak tidak dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya, anak diancam pelaku untuk tindak melaporkan kejadiaan yang dialaminya, atau laporan anak tidak ditanggapi secara serius karena berbagai alasaan misalnya, atau laporan anak tidak ditanggapi secara serius karena berbagai alasaan misalnya anak tidak dipercaya, atau reaksi denial, pengingkaran dari orang-orang dewasa yang dilapori anak tentang kejadiaan sesungguhnya.8

Kekerasaan seksual dapat terjadi di dalam lingkungan keluarga maupun diluar keluarga (masyarakat). Perbuatan tersebut dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai hubungan sebagai anggota keluarga, kerabat, tentangga bahkan

7

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

seksual: Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2001), 99

8

E. Kristi Poerwandari, Mengungkap Seluung Kekerasan: Telaah Filsafat Manusia,

(17)

orang yang tidak dikenal oleh si anak.9Anak memiliki posisi yang paling lemah dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan negara.10Anak merupakan individu yang belum baik secara fisik, mental maupun sosial karena kondisinya rentan, tergantung dan masih berkembangjika dibandingkan dengan orang dewasa jelas anak lebih beresiko tehadap tindakan kekerasaan, eksloitasi, penelantaran, dan lain-lain.

Secara umum akibat dari kekerasaan terhadap anak adalah sangat serius dan berbahaya karena seseorang anak sedang berada pada masa pertumbuhan baik fisik maupun mental. Secara anak yang menalami kekerasan jika penananannya tidak tepat maka ia akan mengalami cacat yang bukan pada fisik saja tetapi juga pada mental dan emosinya. Kecacatan mental dan emosi inilah yang akan merubah hidup dan masa depan serta akan dibawanya serus hingga dewasa.

Kebanyakan korban kekerasaan seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun. Bahkan kasus yang terbaru yaitu bayi berumur 9 bulan menjadi korban kekerasan seksual pula.11Bagi pelaku jenis kelamin tidak berpengaruh

9

Purnianti, Informasi Masalah Kekerasan Dalam Keluarga, (Jakarta: Mitra Perempuan, 1999), hal. 95.

10

YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI dan PSHK, 2007), cet. Ke-2, hal. 348

11Cabuli Bayi A Lebih dari Sekali.

Lihat lebih

(18)

6

dalam melakuan kekerasan seksual yang penting bagi pelaku hasrat seksual mereka dapat tersalurkan.

Modus pelaku dalam mendekati korban sangat berfariasi misalnya mereka tingal mendekati korban dan mengajaki ngobrol saja, ada juga membujuk korban, dan juga merayu dan ada juga yang memaksa korbannya. Serta modus yang lebih canggih yakni pelaku menggunakan jejaring sosial (media internet) dengan berkenalan dengan korban, mengajak bertemu dan memperkosa atau melakukan kekerasan sosial lainnya.Hal demikian, seperti yang dikatakan oleh Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa modus kekerasan seksual terhadap anak berawal dari jejaring sosial mencapai hingga 31%,12 angka yang cukup fantastis kekerasan seksual pada anak hingga kini terus meningkat tinggi.

Menanggapi hal itu semua, Ketua Komnas Perlidungan Anak menegaskan tahun ini sebagai tahun darurat terhadap kekerasan anak.Fakta kejahatan atau kekerasan seksual harus menjadi isu bersama.Semua komponen bangsa harus turut serta memerangi dan menghentikan kekerasan seksual.Lebih lanjut menurutnya pula bahwa adanya UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pun belum diimbangi implementasi perlindungan terhadap anak dan sanksi bagi pelaku pelanggaran hak anak pun tidak maksimal. Degradasi norma agama dan ketahanan keluarga pun terus terjadi. Keluarga yang

12

Lihat berita “31% Kekerasan Seksual terhadap Anak Dimulai dari

(19)

seharusnya menjadi benteng perlindungan anak pun justru menjadi pelaku utama kekerasan terhadap anak.13

Anak sebagai tulang punggung bangsa dan sebagai generasi muda yang nantinya sebagai penerus bangsa tentunya harus hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhannya agar dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya dan dapat menjadi penerus bangsa yang dapat diandalkan untuk memajukan bangsa dan mensejahterakan negara bukan menjadi penerusyang perkembangan mental dan psikisnya terhambat bahkan mengalami penyimpangan kekerasan seksual. Dalam hal ini Negara harus secepatnya turun tangan untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami berbagai masalah yang dapat menghambat hidupnya.

Sebagai wujud nyata bahwa Negara sebagai pelindung martabat anak, melalui Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kepres No. 77 tahun 2003 untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau yang biasa disebut dengan KPAI. KPAI merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang bertugas untuk melindungi anak-anak bangsa dari segala tindakan yang merugikan mereka. Hal itu sesuai dengan amanat konstitusi kita yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas keberlangsungan

13

(20)

8

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perindungan dari kekerasan

dan diskriminasi”.14

Urgensitas KPAI dirasa sangat penting pada saat ini, melihat kondisi kekerasan terhadap anak dengan beragam model dan jenisnya. Sebagai lembaga IndependenNegara, secara spesifik KPAI mempunyai tugas dan fungsi menurut Pasal 76, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu antara lain:15

a) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan prundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap pelanggaran perlindungan anak.

b) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak.

Dengan begitu tugas dan fungsi Komisi Perlindungan Anak Indonesia telah jelas secara legalitasnya.Namun bagaimana mengenai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi KPAI itu sendiri terhadap maraknya kasus kekerasan anak yang terjadi seperti pelecehan dan kekerasan seksual di mana-mana. Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam kasus kekerasan seksual terhadap

14

Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republika Indonesia 1945

15

(21)

anak selain makin marak,banyak juga kasus ini terjadi dengan pelaku berusia muda alias sama-sama anak-anak. Misalnya, KPAI sempat mendapat pengaduan atas tindakan pencabulan yang dilakukan anak berumur 9 tahun terhadap anak berusia 4 tahun.Oleh karenanya, KPAI menilai penanganan dan pencegahan perlu dilakukan bukan hanya untuk korban, tapi juga pelaku.16

Sebagai salah satu upaya untuk merealisasikan hal itu, KPAI menggelar pertemuan forum kemitraan yang diikuti anggota unit Polri di beberapa Polres, LSM anak dan pengacara sejumlah LBH yang biasa menangani kasus-kasus anak.Dalam forum ini, berbagai penyebab terjadinya kekerasan seksual anak terungkap.Mulai dari pola pengasuhan yang keliru, penyebaran pornografi di sosial media sampai absennya pendidikan seksual sejak dini. Pertemuan yang digelar tiga hari di Bogor itu menghasilkan sejumlah usulan. Diantaranya, membangun forum peduli anak di tingkat RT/RW dan membentuk jaringan psikolog untuk pendampingan kepada anak.17

Terlepas penting tidaknya KPAI sebagai pelindung hak martabat anak, seiring berjalannya waktu beragam kritikan terhadap kinerja KPAI menjadi sorotan media pula, salah satunya adalah dalam penanganan kasus KPAI

16

Lihat berita hukum online “Kasus Kekerasan Seksual Anak Makin

Memprihatinkan” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt514c58f9ea788/kasus-kekerasan-seksual-anak-makin-memprihatinkan. Diakses pada tanggal 26 November 2013 Pukul 19.38 WIB.

17

Lihat berita hukum online “Kasus Kekerasan Seksual Anak Makin

(22)

10

terhadap kekerasan seksual di beberapa wilayah yang dinilai lambat. Bahkan pihak keluarga korban mempertanyakan kinerja Komisi Perlindungan Anak yang hingga kini belum menindaklanjuti dugaan kasus tersebut.18

Dari permasalahan ini membuat penulis tertarik untuk menganalisis peran serta efektivitas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait perannya sebagai pelindung hak anak, dalam hal ini mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak, untuk itu penulishadirkan dalam penelitian skripsi dengan judul:

PERAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DALAM

MENGATASI KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah hanya pada peran serta efektivitas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait penanganan pada kasus kekerasan seksual terhadap anak.Pembatasan ini dilakukan untuk lebih fokus dan mempermudah penulis dalam penelitian. Hal ini juga untuk menghindari perluasan pembahasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang akan diteliti.

18

Lihat “Keluarga Korban Kekerasan Seksual Keluhkan

(23)

2. Rumusan Masalah

Sesuai Pasal 76 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas sebagai suatu lembaga independen dalam“Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan

data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,

pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap pelanggaran perlindungan

anak. Namun dalam kenyataannya pada beberapa kasus KPAI mendapat kritikan

dari pihak korban yang lambat dalam menangani kasus kekerasan seksual, seperti pada contoh di atas.KPAI sebagai lembaga independen yang menangani permasalahan anak seharusnya lebih berperan aktif dalam pemantauan, mengevaluasi dan pengawasan terhadap pelanggaran serta perlindungan anak.

Dari latar belakang serta pembatasan masalah, maka rumusan masalah diajukan untuk ditelaah lebih lanjut sebagai berikut:

a. Bagaimana Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak?

b. Hambatan Apa Saja yang Dialami Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak? c. Sejauhmana Fungsi Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam

(24)

12

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitianini ada beberapa tujuan secara khusus yaitu terkait dengan peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak, yaitu:

a. Mengatahui Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak secara normatif.

b. Mengetahui Hambatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

c. Mengetahui sejauhmana peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam memenuhi perlidungan anak ketika mengatasi kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

(25)

dijadikan bahan pertimbangan dan menambah referensi peneliti untuk mendalami diiskursus kelembagaan negara.

2. Praksis

Penelitian ini bermanfaat bagi akademisi, peneliti, legal drafter, hakim, mahasiswa serta para penggiat kajian keilmuan hukum kelembagaan negara. Sebagai acuan dalam mengemban memahami hukum kelembagaan Negara dan sebuah sumbangan pikiran dari peneliti untuk kerangka pembangunan hukum yang berkarakter Indonesia.

E. Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis sebelumnya dan berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti. Beberapa skripsi tersebut memiliki berbagai perbedaan antara judul, pokok permasalahan dan sudut pandang dengan skripsi yang penulis buat, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak akan ada rasa timbul kecurigaan ataupun plagiasi. 1. Sumiyati, Pemetaan dan Pengelolaan Komisi Perlidungan Anak Indonesia

(26)

14

2. Ifada Imaniah, Kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dalam

Menanggulangi Perdagangan Anak Di Indonesia, Fakultas Syariah Dan

Hukum UIN Jakarta, 2009. Dalam skripsi ini dibahas mengeni Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengenai kasus perdagangan anak di Indonesia. Objek dalam skripsi ini sangat jelas bahwa khusus mengenai perdagangan anak di Indonesia.

Dari kedua studi review di atas bahwa terlihat jelas perbedaan antara objek yang diteliti penulis dengan skrispsi di atas. Skripsi yang pertama objek penelitiannya yaitu kekerasan seksual terhadap anak secara umum. Adapun studi

review terdahulu yang kedua objeknya adalah perdagangan anak di Indonesia.

Jadi bisa disimpulkan antara objek penelitian kedua studi review terdahulu di atas dengan objek penelitian penulis sangatlah berbeda.

F. Metode Penelitian

(27)

adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan yang berlaku dengan menggunakan metode diskriptif.

1. Sumber dan pengumpulan Data

Data-data yang digunakan alam penulisan skripsi ini bersumber dari: a. Sumber data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada para

narasumber yang terkait dengan masalah ini.

b. Data sekunder yaitu berupa bahan hukum primer yang diperoleh dari perundang-undangan, yaitu:

i. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

ii. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;

iii. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

iv. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

v. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

(28)

16

2. Analisis Data

Setelah proses pengumpulan data dikumpulkan melalui beberapa teknik, maka data yang sudah ada akan diolah dan dianalisis supaya mendapatkan suatu hasil akhir yang bermanfaat bagi penelitian ini.Pengolahan data dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori kenyataan yang ada di tempat penelitian.Sedangkan teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2013.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah:

a. Observasi

Obsevasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.Dalam hal ini, Peneliti mengawasi dengan cermat setiap perkembangan yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh KPAI.

b. Wawancara

(29)

Pusat. Selain itu, penulis menggunakan beberapa media pendukung yaitu tape

recorder, alat tulis, foto digital dan lain-lain.

c. Dokumentasi

Pada tahap dokumentasi, penulis mengumpulkan buku-buku, majalah, artikel-artikel dari internet yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan di Indonesia.Dokumentasi ini memudahkan penulis dalam mencari teori-teori yang berkaitan dengan judul skripsi.

4. Jenis data

Adapun jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini memakai metode yang lazimdigunakan yaitu studi normatif dan studi kepustakaan. Sedangkan Metode pendekatan analisis data yang diperlukan adalah Metode kualitatif yang memahami secara mendalam yang terjadi menghasilkan data deskriptif analisis.19

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu setelah data diklasifikasikan sesuai aspek data yang terkumpul lalu diinterpretasikan secara logis. Dengan demikian akan tergambar sejauh manakah efektifitas koordinasi kerja lembaga KPAI dalam penegakan hak-hak anak di Indonesia, dengan melihat data-data yang diperoleh penulis melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi setelah itu dianalisis kemudian disusun dalam laporan penelitian.

19

(30)

18

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, antara lain:

Bab Pertama adalah pendahuluan yang menjelaskan penulisan skripsi yang dirangkai dengan latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua membahas tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Pertama pengertian komisi perlidungan anak, Asal Usul Berdirinya KPAI, Struktur Organisasi, Kedudukan dan Visi, Misi KPAI, terkahir peraturan tentang yang berkaitan dengan perlidungan anak.

Bab Ketiga adalah pembahasan tentang Kekerasan Seksual Terhadap Anak, yang membahas Pengertian Kekerasan Seksual, Faktor Penyebab Kekerasan Seksual, Jenis Kekerasan Seksual, Kasus kekerasan seksual di Indonesia dan Pemidanaan Kasus kekerasan Seksual terhadap Anak.

(31)
(32)

20

BAB II

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

A. Pengertian Komisi Perlindungan Anak

Sebelum memberikan pengertian tentang komisi perlidungan anak, penulis terlebih dahulu menjelaskan pengertian satu persatu dari tiga suku kata di atas. Pertama pengertian “komisi” menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu sekolompok orang yang ditunjuk atau diberi wewenang oleh pemerintah untuk menjalankan sebuah tugas tertentu.1

Adapun pengertian yang kedua yaitu terkait dengan “perlidungan anak”.

Guna tidak terjadi kesalahpahaman dalam definisi, penulis terlebih dahulu mendefinisikan istilah tentang “anak”, hal tersebut agar tidak terjadi

kesalahpahaman serta multitafsir terhadap dalam dua istilah tersebut.

Definisi tentang Anak, dipahami berbeda dalam setiap disiplin ilmu, sesuai dengan sudut pandang dan pengertian masing-masing. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.2 Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Akses Pada: http://artikata.com/arti-335802-komisi.html. Tanggal 27 Desember 2013. Pukul 05.32 WIB

2

(33)

pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dalam artian tersebut meliputi pengelompokan ke dalam subsistem dari pengertian sebagai berikut:3

a. Pengertian anak dalam Undang-Undang Dasar 1945

Pengetian anak menurut pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena menjadi dasar kedudukan anak, dalam kedua pengertian ini, yaitu anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara, dibina untuk mencapai kesejakteraan. Pengertian menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan pengertian politik melahirkan atau mendahulukan hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat, bangsa dan negara atau dengan kata yang tepat pemerintah dan masyarakat lebih bertanggung jawab terhadap masalah sosial yuridis dan politik yang ada pada seorang anak.

b. Pengertian anak dalam hukum Pidana

Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna”penafsiran hukum secara negatif” dalam arti sesorang anak yang bersetatus sebagai subjek hukum

yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbaar

3

(34)

22

feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan

sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapatkan perlakuan khusus menurut ketentuan hukum berlaku. c. Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan

Anak, anak adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah. Anak adalah makhluk sosial seperti orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuan, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.4 Jhon Locke berpendapat bahwa anak adalah pribadi yang masih bersih terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.5 d. Pengertian anak menurut pandangan Psikologi

Berbeda dengan perpektif hukum yang mendefinisikan anak sebagai individu berusia dibawah 18 tahun, dalam perspektif psikologi, anak adalah individu yang berusia antara 3-11 tahun. Diatas usia 11 tahun individu di anggap sudah memasuki usia remaja. Selain didasarkan oleh tanda-tanda pekembangan fisik, yang memang sangat jelas membedakan

4

Mulyanto, Model Pengembangan Anak Dalam Perlindungan Khusus .(Laporan Penelitian Pada Konfeksi Nasional Kesejakteraan Sosial Ketiga), DNIKS, Bukittinggi, Ta h.67

5

(35)

anak dengan individu yang sudah memasuki masa remaja, perbedaan juga didasarkan perkembangan kognisi dan moral individu.6

Karena terdapat banyak definisi mengenai tentang anak, maka sesuai penelusuran penulis, pendekatan yang dilakuakan lebih mengarah pada objek perlindungan anak, seperti yang didefinisikan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (1) bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan”.7

Adapun mengenai kata “perlindungan”, secara etimologi dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata lindung, yaitu yang dalam konteks ini berarti menyelamatkan atau memberikan pertolongan supaya terhidar dari bahaya.8 Secara sederhana kata perlindungan memiliki tiga unsur, yaitu adanya subjek yang melindungi, adanya objek yang terlindungi, serta adanya instrumen hukum sebagai upaya tercapai perlindungan tersebut.

Ketika kata “perlidungan” dengan kata “anak” digabungkan maka definisinya juga cukup sangat spesifik. Beberapa pengertian tentang kedua kata ini (baca: perlidungan anak) sering juga didefinisikan dengan segala kegiatan

6

LBH Jakarta, Mengawal Perlidungan Anak Berhadapan dengan Hukum, (LBH Jakarta: Jakarta, 2012), hal. 12

7

Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak

8

Tim Penyusunan Pusat Pembimbing dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD,

(36)

24

untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian serta mendapatkan perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Ditinjau secara garis besar, disebutkan perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian:

a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam Bidang Hukum publik dan Bidang Hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputiBidang sosial, Bidang kesehatan dan Bidang pendidikan

Menurut Arif Gosita mengatakan perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Hukum perlindungan anak dalam hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.9 Sedangkan Bismar Siregar menyebutkan bahwa aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingatkan secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.10

9

Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta Akademi: Presindo, 1989), hal.52

10

(37)

Pengertian perlindungan anak juga dapat dirumuskan sebagai:11

a. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Keadilan ini merupakan keadilan sosial, yang merupakan dasar utama perlindungan anak.

b. Suatu unsur bersama melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara manusiawi dan positif

c. Suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. d. Suatu hasil interaksi dari pihak-pihak tertentu, akibat dari adanya suatu

interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhinya. e. Suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh unsur-unsur sosial

tertentu atau masyarakat tertentu.

f. Suatu tindakan hukum (yurudis) yang dapat mempunyai akibat hukum yang harus diselesaikan dengan berpedoman dan berdasarkan hukum. g. Merupakan suatu bidang pembangunan hukum nasional.

h. Merupakan suatu bidang pelayanan sukarela (voluntarime) yang luas lingkup dengan gaya baru.

Jadi bisa kesimpulan yang diambil oleh penulis dalam definisi komisi perlidungan anak adalah suatu sekelompok orang yang di beri wewenang oleh pemerintah untuk melindungi anak-anak Indonesia, baik melindungi dari

11

(38)

26

kekerasan, ekspolitasi, perdagangan dan sebagainya yang mengakibatkan hak-hak anak terlantar.

B. Asal Usul Berdirinya KPAI

Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah sebuah lembaga negara yang bersifat independen, dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut di sahkan oleh sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 september 2002 dan di tandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai pasal 76 Undang-Undang Perlindungan Anak, Presiden menerbitkan KEPPRES Nomer 77 tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Diperlukan waktu sekitar 8 Bulan untuk memilih dan mengangkat anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia seperti yang di atur dalam peraturan perundang-undangan tersebut.12

Nama dari Komisi perlindungan Anak Indonesia dipilih berdasarkan Komnas Perlindungan Anak yang setara dengan nama Komnas HAM dan Komnas Perempuan, karena sama-sama di bentuk berdasarkan Undang-undang atau keputusan presiden telah terlebih dahulu di pakai oleh LSM yang pembentukannya di lakukan melalui akta notaries. Ketika dalam pembahasan

12

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk

(39)

RUU perlindungan anak, iantara PANSUS DPR dan wakil pemerintah di sepakati untuk mencari dan menggunakan nama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), karena LSM tersebut tidak bersedia menganti nama baru itu memerlukan pemikiran, waktu, strategi, usaha, tenaga, dan biaya ekstra agar dapat dikenal dan dipahami perbedaan oleh masyarakat, yaitu mana yang komisi Negara dan mana yang LSM.

Komisi Perllindungan Anak Indonesia adalah Komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 74, 75 dan 76 dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Komisi Perlindungan Anak, yang di sahkan pada tanggal 20 Oktober 2002. Pembentukan Komisi Perllindungan Anak Indonesia, di lakukan melalui KEPPRES No. 77 Tahun 2003, dan Pengangkatan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Berjumlah 9 orang dan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, yang dipilih mewakili unsur yang tercantum dalam UU yang dipilih dan di angkat berdasarkan persyaratan serta prosedur yang di atur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.13

Berdasarkan ketentuan di atas, maka status Komisi Perlindungan Anak Indonesia sejajar dengan Lembaga Komisi-Komisi milik Negara lainnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Penyiaran

13

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk

(40)

28

Indonesia (KPI) Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Ada sedikit perbedan antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan Komisi Ombusdmen dan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan).Komisi-komisi tersebut hanya di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden atas tuntutan keadaan, tetapi belum di amanatkan oleh Undang-Undang.Namun demikian, Komisi-Komisi itu pun adalah Komisi Negara bukan LSM.

Sebagai Komisi Negara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan bersifat independen agar terbatas dari pengaruh atau intervensi dari kepentingan- kepentingan lain di luar kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuam di maksud tercantum didalam Pasal 74 dari UU perlindungan anak.Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat tidak seiringan dan sejalan dengan berbagai pilihan termasuk kebijakan eksekutif, legislatif atau yudikatif dalam membelah kepentingan dan melindungi hak-hak anak.

(41)

dari “privasi” keluarga yang tidak perlu melibatkan orang lain apalagi Komisi

Perlindungan Anak Indonesia, Namun UU Perlindungan Anak menolak terhadap tersebut sehingga Komisi perlindungan Anak Indonesia Memiliki kewenangan Untuk melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun publik.14

Dalam sejarahnya, sebelum KPAI berdiri seperti sekarang, rangkaian sejarah tentang upaya perlidungan anak di Indonesia telah lama digagas. Hal tersebut berawal dari rangkaian sidang umum PBB (1989), tepatnya pada tanggal 20 November 1989, majellis Umum PBB telah menyetujui dan mensahkan rumusan Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang di kenal dengan sebutan

Convention On The Rights Of The Child (CRC) termasuk di ikuti oleh wakil

delegasi pemerintahan Indonesia yang telah ikut serta secara aktif merumuskan dan membahas naskah serta mendatangani kesepakatan tersebut.

Dalam dokumen konvensi Hak-Hak Anak(KHA) secara garis besar di bagi atas tiga bagian dengan pasal 54, karena itu KHA merupakan bagian yang tidak bias dipisahkan dari Deklarasi HAk Asasi Manusia (Declaration Of Human

Right PBB 1948). Dan Deklarasi Hak-Hak Anak PBB (1959). Karena itu, KHA

adalah merupakan bagaian yang tidak terpisahkan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right PBB – 1948).Dengan demikian dapat

14

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk

(42)

30

dikatakan bahwa Upaya Perlindungan terhadap hak-hak anak merupakan perlindungan terhadap hak-hak anak berarti pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).15

Salah satu tugas pokok Komisi Perlindungan Anak Indonesia tercantum dalam pasal 76, huruf a dari UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Kegiatan tersebut sangat penting bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai Lembaga Negara yang bersifat independen dalam membela kepentingan terbaik bagi anak.Setiap warga Negara yang peduli terhadap nasib anak, patut memberikan perlindungan terhadap anak baik fisik, mental, ekonomi yang rentan terhadap kekerasan eksploitasi, perdagangan, social maupun hokum. Di samping itu anak juga merupakan kelompok pendudukan yang rentan terhadap kekerasan, pemaksaan, eksploitasi, diperdgangkan oleh orang dewasa, bahkan ada yang dilakukan dengan hal tertentu, salah satu tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah menerima pengaduan masyarakat tentang pelanggaran hak-hak anak. Dan untuk menuntaskan pengaduan masyarakat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dapat menindaklanjuti penanganan dan pengaduan tersebut melalui pelayanan kepada instansi atau lembaga fungsional yang bertanggung jawab guna memberikan

15

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk

(43)

perlindungan, rehabilitasi, reginterasi dan reunifikasi anak kedalaman lingkungan kehidupan keluarga dan masyarakat sekitarnya16

Dengan demikian KPAI di bentuk Sekurang-kurangnya berlandasan pada:

a. UUD1945, pasal 27 dan 28 (hasil amandemen) b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

c. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi KHA PBB d. Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 tentang KPAI

e. Keputusan Presiden No. 95 Tahun2004 Tentang Pengangkatan Anggota KPAI.17

C. Struktur Organisasi KPAI

Pemilihan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sejak Awal telah diatur di dalam Pasal 75 ayat (2) dari UU No. 23 Tahun 2002 bahwa keaggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia berdasarkan dari unsur masyarakat agar dapat dapat menggambarkan sifat independennya. Karena itu tidak ada unsure wakil yang dominan (memiliki wakil lebih dari 1 orang). Status kesejakteraan itu di formulasikan secara tegas dalam Keppres No. 95/M tahun 2004 tentang pengankatan Anggota komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan

16

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk

Perlindungan Anak. (Jakarta: KPAI, 2006), hal.1

17

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk

(44)

32

menyebutkan nama dan wakil, tanpa disebutkan posisi atau jabatan sebagai ketua, wakil ketua atau seketaris, setiap orang hanya di sebutkan sebagai anggota. Karena itu siapapun yang terpilih atau di prcaya oleh anggota sebagai ketua, wakil ketua atau sketaris maka kedudukan tersebut bukan pemimpin yang memiliki otoritas lebih tinggi tetapih lebih berfungsi sebagai koordintor pengaturan pembagian tugas diantaranya anggota.Dengan demikian Jabatan atau posisi tersebut tidak bersifat structural seperti di dalam organisasi yang dikenal selama ini. Kepemimpinan Komisi Perlindungan Anak Indonesia lebih bersifat kolektif kolegal bukan hierarkis structural dengan system organisasi tersebut ”Flats Organization Model”. Dalam ketentuan tata tertib Komisi Perlindungan

Anak Indonesia dikatakan bahwa setiap anggota memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau mengirim surat dan lain sebagainya dalam memberikan perlindungan dari kepentingan terbaik bagi anak, dengan tetap memberikan laporan dan informasi kepada anggota lain sesegera mungkin.

Adapun keorganisasian KPAI bisa dlihat dalam pasal 75 (1) UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa, susunan keanggotaan KPAI terdiri dari: a) Satu orang ketua; b) Dua orang wakil; c) Satu orang seketaris; d) Lima orang anggota.18

18

(45)

Sedangkan unsur yang mewakili keaggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia disebutkan bahwa di dalam pasal 75 ayat (2) : “keanggotan Komisi

Perlindungan Anak Indonesia sebagai mana yang di maksud didalam pasal (1) terdiri dari unsur”.a) Pemerintah; b) Tokoh Agama; c) Tokoh Masyarakat; d) Organisasi Sosial; e) Organissi Kemasyarakatan, f) Organisasi Profesi; g) Lembaga Swadaya masyarakat; h) Dunia usaha dan i) Kelompok Masyarakat yang Perduli Terhadap Perlindungan Anak.19

Mengenai pengangkatan dan pemberentian keanggotan Komisi Perlindungan Anak Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungn Anak pada pasal 75 ayat (3) :20 “keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai Mana Yang dimaksud pada ayat (1) dan

(2) dianggkat dan di berhentikannya oleh presiden mendapat pertimbangan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Untuk masa Jabatan 3 (tiga)

tahun dapat dianggkat kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan.

D. Visi dan Misi KPAI

Berdasarkan tugas yang diemban komisi perlindungan anak Inonesia (KPAI) serta tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kondisi ideal anak

19

Undang-Undang Perlindungan Anak, UU RI No.23 Tahun 2002, (Jakarta :Sinar Grafika, 2009), cet ke 4,hal.27

20

(46)

34

Indonesia, maka visi komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) ditetapkan: “efektifitas penyelenggaraan anak di Indonesia untuk mewujudkan Anak

Indonesia yang berakhlak mulia, sehat, cerdas, ceria dan terlindungi”.

Disamping itu terdapat juga visi Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang lain yaitu “terjamin” terpenuh dan terlindunginya hak-hak anak

Indonesia.Visi tersebut meliput 2 aspek yaitu:

a. Komisi Perlindungan Aak Indonesia (KPAI) mengutamakan promosi dan upaya pencegahan terhadap pelanggaran hak-hak anak tanpa meninggalkan upaya represif dan kuratif.

b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia berupaya mengayomi, melindungi, memenuhi hak-hak anak termasuk upaya rehabilitasi dan reintegrasi anak dengan keluarga dan lingkungan, untuk dapat mewujudkan visi tersebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) harus mampu menjadi lembaga negara yang independen, terpercaya dan melindungihak-hak anak baik di dalam maupundi luar lingkungan rumah tangga.

Adapun guna dapat mewujudkan visi diatas Komisi Perlindungan Anak Indonesia memiliki sejumlah misi yang akan dilakukan setidak-tidaknya untuk 5-6 tahun antara lain sebagai berikut:21

21

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk

(47)

a) Menyadarkan semua pihak terutama orangtua, keluarga, masyarakat dan negara akan pentingnya perlindungan hak-hak anak.

b) Menyadarkan anak-anak sendiri akan hak-haknya.

c) Menerima pengaduan masyarakat dan memfasilitasi pelayanan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak.

d) Melakukan penkajian, penelahaan dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah dan pelaksanaan program penyelenggaraan perlindungan anak ditingkat pusat dan daerah. e) Membangun kerjasama dan kemitraandengan berbagai pihak dalam

rangka perlindungan hak-hak anak.

f) Mengumpulkan data informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan anak.

g) Melakukan pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan anak yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.

h) Memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada berbagai pihak terutama pemerintah (presiden) dalam meningkatkan perlindungan hak-hak anak.

(48)

36

E. Peraturan Tentang Perlindungan Anak

Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Ada beberapa alasan mengapa anak perlu dilindungi dalam kasus hukum,, menurut Pater Newel dalam bukunya Taking Children

Seriously: A proposal for Children„s Rights Commisionermenyebutkan antara

lain:

a) Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan.

b) Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas tindakan atau perbuatan (action) atau ketiadaan tindakan/perbuatan (unaction) dari pemerintah atau kelompok lainnya.

c) Anak selalu mengalami kesenjangan dalam pemberian pelayaran publik. d) Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan lobby

untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah .

e) Anak pada banyak situasi tidak dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.

f) Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalagunaan.22

22

(49)

Untuk itu sangat urgen, manakala perlidungan hak anak dalam hukum diatur sedemikian rupa.Baik yang skalanya nasional maupun internasional.Dalam skala nasional peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait masalah anak telah diatur sejak lama, bahkan dirasa cukup komprehensifmeskipun terdapat beberapa aturan yang sudah tidak relevan lagi.23Di bawah ini upaya negara dalam menjamin hak-hak anak secara umum:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; 4) Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tenang Konvensi Hak Anak;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1998 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Anak;

6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusia; 7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

8) Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;

9) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

23

(50)

38

10) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlidungan Saksi dan Korban;

11) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Dalam konteks perlidungan bagi anak, secara khusus Indonesia sendiri telah mengatur beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang perlidungan anak, seperti yang dijabarkan di atas yaitu Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 4 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, beberapa peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak.

Mengacu pada landasan normatif, dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak bahwa ada dua konsepsi mengenai perlidungan anak. Yang pertama terkait dengan definisi umum yang menjelaskan bahwa Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.24 Dan yang kedua yaitu perlidungan anak secara khususyaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok

24

(51)

minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.25Jadi bisa disimpulkan upaya perlidungan yang diberikan dalam undang-undang yaitu terkait masalah perlidungan secara umum dan khusus.

Adapun upaya penyelenggaraan perlidungan anak berasaskan pancasila dan berlandaskan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak meliputi:Non diskriminasi, Kepentingan yang terbaik bagi anak, Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan Penghargaan terhadap anak.26

Lebih lanjut dalam Pasal 3 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan sejahtera.27Perlindungan anak diusahakan oleh

25

Pasal 1 Ayat (15) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak

26

Pasal 2 Ayat Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak

27

(52)

40

setiap orang, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan:Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.28

Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu:

a) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21); b) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan

perlindungan anak (Pasal 22);

c) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);

d) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).29

Dalam pasal 5 dijelaskan pula tentang Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran

28

Pasal 20 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak

29

(53)

masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.30 Adapun kewajiban tanggungjawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak, yaitu:

a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b) Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.31

Kaitannya dengan kasus kekerasan seksual , Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak pun telah mengaturnya, yang mana upaya perlidungan kekerasan seksual termasuk dalam kategori upaya perlidungan anak secara khusus menurut undang-undang ini. Upaya perlidungan khusus kasus kekerasan seksual bisa dilihat dalam pasal 66 dari ayat 1-3 yaitu:

1) Adapun kewajiban dan tanggung jawab dalam kasus ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah danmasyarakat.32

2) Pada pasal 62 ayat (2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:

30

Pasal 25 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak

31

Pasal 26 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak

32

(54)

42

a) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anakyang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).33

33

(55)

43

Hari-hari ini banyak kasus kekerasan seksual terjadi pada anak, hal tersebut membawa dampak yang sangat buruk pada masa perkembangannya. Sebelum membahas lebih jauh, guna menghindari salah persepsi mengenai kekerasan seksual terhadap anak, penulis terlebih dahulu merinci satu persatu mulai dari definisi hingga bentuk perlindungan hukum mengenai kekerasan seksual terhadap anak. Hal tersebut dapat menangkap pemahaman yang lebih komprehensif dalam menelaah sebuah permasalahan.

A. Pengertian Kekerasan Seksual terhadap Anak

Kata “kekerasan” dan “seksual” merupakan dua suku yang mempunyai arti berbeda. Jika kita telusuri, kata “kekerasan” setra dengan kata “violence“ dalam bahasa inggris. Kata tersebut berkaitan erat dengan kata latin “vis”dan”latus”, makna pertama berupa daya atau kekuatan sedangkan yang

kedua membawa kekuatan.1

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata kekerasan diartikan sebagai: a) perihal yang bersifat,berciri keras; b) Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; c)

1

(56)

44

paksaan.2Sedangkan dalam pengertiannya, kekerasan didefinisikan sebagai wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Di mana salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.3

Pengertian lainmengenai kekerasan seperti yang dituturkan oleh Musda Mulia bahwa kekerasan merupakan perilaku yang bersifat menyerang (offensive), atau bertahan (defensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang bersifat terbuka (overt) atau tertutup (covert).4Dalam pengertian pskologis, menurut Soekanto kekerasan merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan luka fisik, pingsan maupun kematian yang terdiri dari lima faktor, yaitu:

a) Kekerasan tanpa menggunakan alat atau dengan tangan kosong b) Kekerasan menggunakan alat

c) Kekerasan mengkobinasikan alat dengan tangan kosong d) Kekerasan individu

2

Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke-3, hal. 550

3

Abdul Wahid dan Muhamad Irfan,Perlindungan Terhadap KorbanKekerasan Seksual

(advokasi atas hak asasi perempuan), (Bandung: RefikaAditama, 2001), hal. 54

4

Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia; modul pelatihan

untuk pelatih hak-hak reproduksi dalam perspektif pluralism, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama

(57)

e) Kekerasan kelompok.5

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, penulis meringkas serta menyimpulkan bahwa kekerasan merupakan sebuah tindakan nyata (actual) atau intimidasi (semi-aktual) yang dilakukan oleh pelaku kepada korbannya, yang berakibat pada korban menderita secara fisik, materi, mental maupun psikis.

Setelah mengetahui pengertian kekerasan, tak luput pula pembahasan pengertian (derivasi)seksual untuk dibahas di sini.Secara sederhana, seksual adalah perbedaan bilogis antara perempuan dan laki-laki atau yang biasa disenut dengan “jenis kelamin”. Dalam perjalanannya, pengertian seksual ketika

disandarkan kepada kata lain akan mengalami makna secara berbeda, seperti mengandung makna intim, mesra, hubungan seksual antara pria dan perempuan.

Jadi, jika kita menyandarkan antara kata “kekerasan” dan kata “seksual” mempunyai makna yaitu sebuah tindakan nyata (actual) atau intimidasi

(semi-aktual)yang berhubungan dengan keintiman atau hubungan seksualitasyang

dilakukan oleh pelaku kepada korbannya dengan cara memaksa, yang berakibat korban menderita secara fisik, materi, mental maupun psikis.

Dalam perjalannya, kasus-kasus kekerasan sering terjadi atau sangat rentan korbannya adalah anak-anak atau perempuan,6hal ini dikarenakan

5

(58)

46

terdapatnya asumsi patriarkisbahwa baik anak-anak maupun perempuan mempunyai kelemahan (daya) tersendiri.Hal itu senada dengan pendapatnya Jane R. Chapman yang mengatakan bahwa kekerasan seksual marak terjadi pada anak-anak dan perempuan,hal itu terjadi secara universal di setiap wilayah,7 termasuk juga Indonesia.

Dalam konteks kekerasan seksual yang relasinya terhadap anak adalah merupakan dua bentuk kekerasan seksual yang objeknya adalah anak-anak.Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefinisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seseorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang lain, saudara kandung atau orangtua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku, baik dengan ancaman, suap, tipuan atau tekanan.8

Definisi yang cukup komprehensif juga diberikan oleh Baker dan Ducan yaitu kekerasan seksual pada anak adalah jika ada seorang anak dilibatkan dalam kegiatan yang bertujuan untuk membangitkan gairah seksual pada pihak yang

6

Ratih Pusoitasari, Pemasaran Sosial Peningkatan Pendidikan Seksual Oleh Orang Tua,

(Depok:FISIF UI, 2009), hal. 1

7

Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekereasan terhadap

Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, 2000),

hal. 78

8

Lihat “Pusat Data dan Informasi EksploitasiSeksual Komersial Anak (Pusdatin

Eska)”,http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=

(59)

mengajak, dan pihak yang mengajak telah matang.Secara operasional, definisi Baker dan Ducan bisa meliputi segala hal, seperti:

a) Antaranggota keluarga, dengan orang dari luar keluarganya atau dengan orang asing sama sekali.

b) Hanya terjadi sekali, terjadi beberapa kali dengan orang yang sama atau terjadi beberapa kali dengan orang yang berbeda-beda.

c) Tak ada kontak fisik (bicara cabul), ada kontak fisik (diraba, dibelai, mastrubasi bahkan terjadi senggama.9

B. Bentuk Kekerasan Seksual

Sebenarnya jika dilihat dari hakekatnya, kekerasan secara umum dibedakan dari aspek bentuk dan jenisnya. Baik kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi maupun kekerasan politis. Karena konsen penulis menganalisa kekerasan seksual, maka jenis serta bentuknya pun berbeda.

Dari tahun ketahun bentuk kekerasan seksual beragam macam bentuknya. Seperti yang dijelaskan oleh E

Gambar

Tabel A4 Bagan di atas merupakan hasil pemantauan KPAI terhadap sejumlah
Grafika 2009. cet ke-4

Referensi

Dokumen terkait

Judul penelitian ini REALISASI PERAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) DALAM MENANGANI ANAK YANG MENJADI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN. Karya ini

Peran Keluarga Dalam Proses Rehabilitasi Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Di Surakarta (Studi Kasus Keluarga Dari Anak Korban Kekerasan Seksual Dampingan Yayasan

Peran Konselor dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Anak Sebenarnya langkah terpenting dalam penanganan kekerasan seksual anak adalah mencegahnya sehingga kasus ini tidak terjadi

pendukung yang berasal dari diri anak korban tersebut? Jika ya, jelaskan. Apakah selama proses penyelesaian kasus kekerasan seksual terdapat faktor1. penghambat yang

Bahwa anak yang berhadapan dengan hukum, adalah harus diberikan perlindungan anak secara khusus oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam hal ini

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Kota Singaraja, yang mana kekerasan seksual

Oleh karena itu penulis akan melihat perbandingan antara kedua media online tersebut terkait pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan Emon periode

terhadap penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual pada anak yaitu melakukan advokasi hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual untuk memenuhi hak-haknya, selain itu