EFEK ASAP CAIR CANGKANG KELAPA SAWIT TERHADAP JAMUR
GANODERMA SP.
PADA KAYU KELAPA SAWIT
Thamrin
Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang efek asap cair cangkang kelapa sawit (ACCKS) terhadap jamur Ganoderma sp. pada kayu kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Polimer dan Mikrobiologi FMIPA USU Medan. ACCKS merupakan salah satu alternatif bahan pengawet yang dapat digunakan untuk pengawetan kayu karena mengandung fenol dan asam-asam organik. Efek ACCKS terhadap pertumbuhan jamur dilakukan secara invitro yaitu dilakukan pada media agar, dan secara in vivo yaitu dilakukan pada media kayu kelapa sawit secara langsung. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa ACCKS mampu menghambat pertumbuhan jamur. Suhu optimum ACCKS yang paling baik menghambat perkembangan jamur Ganoderma sp. adalah suhu 400°C.
Kata kunci: Asap cair, Cangkang Kelapa Sawit, Ganoderma sp., Pengawet
PENDAHULUAN
Kayu kelapa sawit (KKS) adalah kayu dengan kualitas rendah sehingga kayu KKS harus mengalami pengolahan khusus sebelum digunakan baik untuk bahan bangunan maupun kegunaan lainnya. Struktur KKS tidak memiliki serat untuk fungsi mekanis, sehingga sangat rapuh dan tidak stabil (Tomimura, 1992). Untuk menjadi bahan yang potensial, KKS perlu mengalami pengawetan maupun perlakuan kimia untuk meningkatkan kekuatan dimensinya (Manabendra Deka, 2000).
ACCKS mulai suhu 200°C hingga 450°C digunakan sebagai pengawet dari jamur Ganoderma dan Poliporus Alcularius, dengan cara perendaman (impregnasi) selama 48 jam. Uji perkembangan jamur dilakukan dengan menggunakan media agar pada cawan petridis. Perkembangan jamur diamati selang waktu satu bulan hingga
jangka waktu lima bulan. Sebagai kontrol diamati KKS tanpa menggunakan ACCKS.
BAHAN DAN METODA
Bahan
ACCKS, Aquadest, jamur Ganoderma sp., Alkohol/etanol, Helium, Ether.
Metoda
Pengawetan KKS dengan ACCKS melalui Metode Perendaman
0.1
Gambar 1. Nilai Absorbsi dan Berat Jenis (KKS Kering Angin) Bagian Pinggir Setelah Perendaman KKS Selama 48 Jam
Absorbsi
Nilai absorbsi yang diperoleh dari hasil perhitungan (Gambar 1) menunjukkan bahwa semakin tinggi spesimen kayu KKS yang digunakan, maka nilai absorbsi semakin besar. Ini disebabkan bahwa KKS dengan ketinggian 9 meter dari permukaan tanah memiliki nilai absorbsi yang paling tinggi, secara umum semakin tinggi KKS yang digunakan dalam uji absorsi ini menunjukkan nilai absorbsi semakin besar. Ini dikarenakan semakin tinggi KKS memiliki pori-pori semakin besar dan kandungan serat yang sedikit, sehingga lebih memudahkan asap cair untuk berdifusi masuk ke dalam kayu kelapa sawit. Untuk spesimen KKS bagian pinggir (P), tengah (T) dan, Inti (I) mulai Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa terjadi peningkatan absorbsi, di mana spesimen KKS semakin ke dalam nilai absorbsi asap cair CKS semakin besar. Peningkatan nilai absorbsi ini disebabkan KKS memiliki kandungan serat semakin sedikit pada bagian dalam bila dibandingkan dengan kandungan serat bagian luar.
Gambar 2. Nilai Absorbsi dan Berat Jenis (KKS Kering Angin) Bagian Tengah (T) Setelah Perendaman KKS Selama 48 Jam
Gambar 3. Nilai Absorbsi dan Berat Jenis (KKS Kering Angin) Bagian Inti (I) Setelah Perendaman KKS Selama 48 Jam
Penetrasi
Dari uji penetrasi terlihat pada lampiran 15 bahwa semua spesimen KKS yang diimpregnasi dengan asap cair CKS selama 48 jam menghasilkan penetrasi yang sempurna, dari data semua spesimen mencapai penetrasi 20 mm. Ini membuktikan ACCKS dapat dengan mudah berdifusi untuk masuk ke pori-pori kayu kelapa sawit. Gaya adhesi juga memegang peranan penting dari mudahnya asap cair masuk ke dalam KKS. Robert G. Smidt (1998) dalam disertasinya mengatakan sudut kontak yang lebih kecil dari suatu cairan yang dimasukkan ke dalam
kayu akan memiliki gaya adesi tertentu sehingga memudahkan cairan tersebut untuk masuk ke dalam kayu.
Perhitungan berat jenis dari spesimen KKS diperoleh sangat rendah bila dibandingkan dengan kayu lain, ini menunjukkan KKS memiliki kerapatan yang sangat rendah sehingga tidak memiliki sifat mekanik yang baik.
Efek ACCKS terhadap Pertumbuhan Jamur
Uji pengawetan terhadap jamur
Ganoderma sp. (Gambar 4), bahwa
perkembangan jamur Ganoderma sp. dengan kontrol (tanpa perlakuan asap cair) sangat jelas terlihat di mana jamur tersebut hampir rata memenuhi cawan petri.
Gambar 4. Bakteri Ganoderma sp. dengan Media Agar
Gambar 5. Jamur Ganoderma sp. dengan Media Serbuk KKS
Dari Gambar terlihat jamur Ganoderma sp. dapat tumbuh dengan baik pada serbuk
KKS dengan penambahan sedikit media agar untuk mempermudah pertumbuhan jamur,
Gambar 6. Jamur Ganoderma sp. dengan Asap Cair 200°C
Gambar 7. Jamur Ganoderma sp. Asap Cair 300°C
Gambar 8. Jamur Ganoderma sp. dengan Asap Cair 400°C
bakterisida yang utama adalah dari fenol dan ditinjau dari perubahan suhu asap cair yang digunakan, efek asap cair sangat efektif pada semua variasi suhu asap cair yang digunakan.
Uji Efektivitas ACCKS terhadap Pertumbuhan Jamur Secara In Vitro
Pengaruh penambahan ACCKS terhadap pertumbuhan jamur Ganoderma sp. dapat diuji dengan pengukuran diameter koloni dan pengukuran biomasa jamur.
Pengukuran Diamter Koloni Jamur
Dari pengukuran diameter koloni jamur Polyporous alcularius dan Ganoderma sp.
diperoleh hasil seperti Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Diameter Koloni Jamur
Ganoderma sp.
Rerata diameter koloni (mm) Suhu
Dari hasil pengukuran diameter koloni pada Tabel 1 diperoleh bahwa efektivitas ACCKS terhadap jamur bervariasi. Pada jamur Ganoderma sp. untuk suhu ACCKS 200°C pada hari keenam mempunyai diameter koloni 27 mm, untuk suhu ACCKS 250°C adalah 26 mm, suhu 300°C adalah 23 mm, suhu 350°C adalah 21 mm, suhu 400°C adalah 11 mm dan untuk suhu 450°C adalah 16 mm. Dari data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ACCKS pertumbuhan jamur semakin berkurang dan paling kecil pertumbuhan jamur adalah pada suhu ACCKS 400°C, ini menggambarkan bahwa pada suhu tersebut asap cair mempunyai efektivitas yang tinggi untuk menghambat pertumbuhan jamur, dan hal ini disebabkan asap cair tersebut memiliki kadar fenol yang
tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan jamur dengan baik. Pszezola (1995) menjelaskan bahwa asap cair mengandung fenol dan asam-asam organik yang secara bersama dapat efektif menghambat pertumbuhan mikrobia.
Pengukuran Biomasa Jamur
Ditinjau dari pengukuran biomasa jamur
Ganoderma sp. diperoleh hasil seperti Tabel
2.
Tabel 2. Pengukuran Biomasa Jamur Ganoderma sp.
Pengulangan
Uji efektivitas ACCKS terhadap pertumbuhan jamur Ganoderma sp.
0,26 g. Dari data ini menunjukkan ACCKS yang paling efektif mempunyai biomasa yang terkecil pada suhu 400°C. Ini disebabkan kadar fenol pada suhu tersebut sangat tinggi.
Pengujian spesimen KKS terhadap daya tahan jamur Ganoderma sp. dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 9.
Gambar 9. Spesimen KKS yang Terimpregnasi Asap Cair 400 oC
Gambar 10. Jamur Ganoderma sp. pada Spesimen KKS yang Terimpregnasi Asap Cair 400°C
Spesimen KKS dengan perendaman asap cair 400°C (Gambar 10) merupakan spesimen KKS yang telah terimpregnasi asap cair lalu diuji pengawetannya dengan jamur
Ganoderma sp. dalam jangka waktu 5 bulan,
dan hasil menunjukkan tidak adanya jamur yang dapat tumbuh, ini menunjukkan bahwa asap cair dapat menghambat pertumbuhan jamur poliporus Alcularius, karena asap cair CKS juga mengandung asam propinat yang dapat menghambat pertumbuhan jamur.
Gambar 11. Jamur Ganoderma sp. Asap Cair 200°C
Gambar 12. Jamur Ganoderma sp. tanpa Asap Cair
Asap Cair CKS mampu menghambat atau membunuh pertumbuhan jamur pembususk putih (white-rot) seperti
Ganoderma sp. karena asap cair CKS hasil
GC-MS, di samping mengandung fenol juga mengandung asam propionat dan asam asetat. Carlos A. Clousen (1996) mengatakan dengan menggunakan asam propionat 1% telah dapat menghambat perkembangan jamur pembusuk putih pada kayu, keras atau kayu lunak, penelitian ini beliau lakukan dengan cara in vitro menggunakan media agar.
KESIMPULAN
2. Suhu optimum ACCKS yang sangat baik menghambat pertumbuhan jamur
Ganoderma sp. adalah pada suhu
ACCKS 400°C.
DAFTAR PUSTAKA
Bunichiroo Tomitta. Chung Yun Hse. (1998). “Phenol–Urea–Formaldehyde (PUF) Co-Condensed Wood Adhesives”. J. International Journal Adhesion & Adhesives 18 69-79.
Carol. A. (1996). “Ibufrofen Inhibits Invitro Growth of White–Rot Fungi” The International Research Group on Wood Preservation,. Forest Products Laboratory, Madison, WI, USA Prepared for the 30th Annual Meeting Rosenheim, Germany 6-11 June 1999 IRG Secretariat 100 44 STOCKHOLM.
Darnoko. (2001). “Feasibility Study on Full Scale Plants For Treatment of Waste Water And Solid Waste from Palm Oil Mills”, Indonesia-German Coopration Project Production Integrated Enviromental Protection, Medan.
Dumanauw, F. J. (1990). “Mengenal Kayu”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Dwinell. D.L. (6-9 November 2002). “Fumigating and Heat-Treating in Service Hardwood Pallets” USDA Forest Service, Southern Research Station, Athens, GA 30605. Annual International Research Conference on Methyl Bromide Alternatives and Emmissions Reduction, Orlando, FL.
Guanghoo He, Bernad Riedy. (2004). “Curing Cenetics of Phenol Formaldehyde Resin and Wood-Resin Interaction in the Presence of Wood Substrates” J. Wood Sci Techmol 38 69-81.
Prayitno, T. A. Darnoko. (1994). “Karakteristik Papan Partikel dari Pohon Kelapa Sawit”,
Barita PPKS.
Prayitno, T.A. (1995). “Bentuk Batang dan Sifat Fisika Kelapa Sawit”. Laporan Penelitian Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.
Rebecca E. Ibach, (1999) “Wood Preservation”
Forest Products Laboratory. Wood handbook-Wood as an engineering material. Gen. Tech. Rep. FPL–GTR–113. Madison, WI: U.S. Department of Agriculture, Forest Service.
Rebecca E. Ibach and Roger M. Rowell, (2001).
“Wood Preservation Based on In situ Polymerization of Bioactive Monomers”
USDA Forest Service, Forest Products Laboratory, Madison, Wisconsin U.S.A. Holzforschung 55365-372.
Stephen Mallon, Callum A.S.H., (2002). “Covalent Bonding of Wood Through Chemical activation” J. International Journal Adhesion & Adhesives 22 465-469.