KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI
EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU
KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI
EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Kimia pada Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Oleh
EMMA KEMALASARI
087006009/KM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU
Nama Mahasiswa : Emma Kemalasari
Nomor Pokok : 087006009
Program Studi : Kimia
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D) (Drs. Darwin Yunus Nasution, M.Si) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D) (Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 24 Maret 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D
Anggota : 1. Drs. Darwin Yunus, M.Si
2. Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil
3. Prof. Dr. Harlem Marpaung, M.Sc
PERNYATAAN
KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI
EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Maret 2010 Penulis,
Emma Kemalasari
KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI
EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pembuatan edible film dari pati ubi kayu, pemlastis gliserol dan penambahan serbuk batang ubi kayu sebagai bahan pengisi berdasarkan metoda Casting yang menggunakan prinsip Gelatinisasi dari 10 g pati ubi kayu, 1 g gliserol, 100 g air dan 0,5 g serbuk batang ubi kayu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki biodegradasi edible film pati ubi kayu dalam tanah sampah, tanah kebun dan pasir pantai, dan dalam media
Potatoe Dextro Agar yang ditanamkan jamur A. Niger kemudian menguji
toksisitasnya dalam media E. Coli. Uji biodegradasi dalam pasir, tanah kebun, tanah sampah diamati selama 3 hari dengan persentase perubahan massa film masing-masing 29,71%; 34,92%; 51,71% untuk film yang mengandung serbuk dan 25,53%; 33,44%; dan 40,42% untuk film tanpa serbuk. Uji biodegradasi film selama 3 hari pada media PDA yang ditanamkan jamur A. Niger didapat perubahan massa 54,86% untuk film yang mengandung serbuk dan 26,70% untuk film yang tidak mengandung serbuk. Data ini didukung oleh hasil uji FTIR dan SEM. Untuk uji toksisitas didapat zona bening pada pati yang mengandung serbuk sebesar 5 mm sehingga didapatkan zona toksisitas sebesar 0,67 mm.
MICROBIOLOGY CHARACTERISTICS AND EDIBLE FILM BIODEGRADATION OF CASSAVA STARCH BASED
ABSTRACT
Research has been done making edible films from cassava starch, glycerol and the addition pemlastis stems of cassava powder as filler material based on Casting method which uses the principle Gelatuation of 10 g cassava starch, 1 g glycerol, 100 g of water and 0.5 g of powdered stem cassava. The purpose of this study was to investigate the biodegradation edible cassava starch films in the waste land, garden soil and sand beaches, and in the Potatoe Dextro Agar medium mushrooms infused A. Niger and toxicity testing in the media E. Coli. Biodegradation tests in the sand, garden soil, waste soil were observed for 3 days with the percentage change in the mass of film of 29.71%; 34.92%; 51.71% for films containing powder of 25.53%; 33.44 %; and 40.42% respectively for films without powder. Biodegradation test film for 3 days on PDA medium mushrooms infused A. Niger gained 54.86% of mass change for the film containing powder and 26.70% for films that do not contain powder. These data are supported by test results of FTIR and SEM. For toxicity tests it was found a clear zone on the starch-containing powders of 5 mm and therefore the zone of toxicity obtained of 0.67 mm.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi
Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul "Karakteristik Mikrobiologis dan Biodegradasi
Edible Film Berbasis Pati Ubi Kayu" .
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Gubernur
Sumatera Utara c.q Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang memberikan
beasiswa kepada penulis sebagai mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera utara.
Dengan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. dr. Chairuddin P.
Lubis, DTM&H, Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan. Kepada Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc, dan Ketua Program Studi Kimia
Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi
mahasiswa Program Magister pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
ditujukan kepada:
1. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D selaku Pembimbing Utama dan Drs.
Darwin Yunus, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang setiap saat
dengan penuh perhatian selalu memberikan bimbingan dan saran dalam
penyusunan tesis ini.
2. Bapak Drs. Bahagia Kepala SMA Negeri 10 Medan yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi
3. Kepala Laboratorium Mikrobiologi BARISTAN Medan beserta staf atas
fasilitas dan sarana yang diberikan.
4. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan 2008 yang telah banyak membantu penulis
selama menjalankan perkuliahan dan penelitian.
5. Keluarga tercinta: kedua orang tua penulis Ayahanda (Alm) Drs. H. Fardi
Bustami dan Ibu Hj. Ernawati atas berkat doa, motivasi dan pengorbanannya.
6. Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada Suami terkasih
Mahmudin Hamzah Sinaga, S.Sos dan anakku tersayang Hisan Hamzah
Sinaga beserta Ibu mertua. Dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan
perhatian memberikan doa restu serta dorongan baik materi maupun moril
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Beserta semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan usulan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari yang
diharapkan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang
membangun demi terciptanya penelitian yang lebih sempurna di kemudian
hari.
Medan, 29 Mei 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir tanggal 26 Juni 1979, di Medan, anak keempat dari enam
bersaudara, anak dari (Alm) Drs. H. Fardi Bustami dan Hj. Ernawati.
Penulis menjalani pendidikan Sekolah Dasar Negeri 066042 Medan tahun
1985-1991. Sekolah Menengah Pertama Negeri 16 Medan tahun 1991-1994. Sekolah
Menengah Atas Negeri 11 Medan tahun 1994-1997.
Pada tahun 1997 Penulis diterima pada jurusan S-1 Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang dan lulus tahun
2002.
Pada tahun 2006 ditempatkan menjadi Guru PNS di SMA Negeri 10 Medan
sampai sekarang. Pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan S-2 Program Studi Kimia
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (bantuan beasiswa dari
Bappeda Provinsi Sumatera Utara) dan lulus serta memperoleh gelar Magister Sains
DAFTAR ISI
2.2. Ubi Kayu (Mannihot esculenta)... 8
2.3. Pati... 10
2.4. Gliserol... 13
2.5. Pemanfaatan Gliserol dan Turunannya... 14
2.6. Plastisasi Polimer... 16 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 21
3.1. Alat dan Bahan... 21
3.1.1. Alat... 21
3.1.2. Bahan... 21
3.2. Metode Pembuatan... 22
3.3. Prosedur Penelitian... 23
3.3.1. Pembuatan Spesimen Pencampuran Pati Ubi Kayu dengan Gliserol dan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu... 23
3.4. Perlakuan Uji Biodegradasi... 23
3.4.1. Uji Biodegradasi Film Spesimen dalam Tanah... 23
3.4.3. Uji Toksisitas Pemlastis terhadap Bakteri Kolioform
E.Coli... 25
3.4.4. Analisa FTIR... 25
3.4.5. Analisa SEM... 26
3.5. Bagan Penelitian... 28
3.5.1. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Tanah... 28
3.5.2. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Media Aspergillus Niger... 29
3.5.3. Bagan Alir Uji Toksisitas Edible Film Pati Ubi Kayu... 30
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 31
4.1. Penyediaan Sampel Uji Biodegradasi Edible Film... 31
4.2. Uji Biodegradasi Edible Film dalam Tanah... 31
4.3 Uji Biodegradasi Edible Film dalam Media Bermikroba... 35
4.4 Uiji Sifat Toksisitas Edible Film terhadap Perkembangan Bakteri E.coli... 41
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 44
5.1. Kesimpulan... 44
5.2. Saran... 45
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1. Persentase Perubahan Massa Film Selama 3 Hari pada Media
Tanah………
….
32
4.2. Hasil Analisis Gugus Fungsi Spesimen Campuran dari Spektra
FTIR………. 33
4.3. Persentase Perubahan Massa Spesimen Uji Selama 3 Hari pada
Media PDA yang Ditanamkan Jamur A. Niger……….. 36
4.4. Hasil Analisis Gugus Fungsi Spesimen dari Spektrum FTIR
Setelah Biodegradasi dalam Media A. Niger…..……….. 36
4.5. Data Pengamatan Zona Bening dengan Menggunakan Bakteri
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Struktur Amilosa... 11
2.2. Struktur Amilopektin... 12
2.3. Gliserolisis Lemak……….. 14
4.1. (a). Foto yang Ditanam pada Tanah Sampah Selama 3 Hari
(b). Foto yang Ditanam pada Tanah Kebun Selama 3 Hari…..……… 32
4.2. (a). Spesimen Film dengan Serbuk dalam Media A. Niger
(b). Spesimen Film tanpa Serbuk dalam Media A. Niger... 35
4.3. Struktur Molekul Amilosa ………..….. 38
4.4. Penguraian Amilosa Menjadi Maltosa dan Maltotriosa….……… 39
4.5. Pembentukan Glukosa dan Maltosa dari Maltotriosa.…………. 39
4.6. (a). Permukaan Film Tanpa Serbuk Sebelum Biodegradasi
(b). Permukaan Setelah Biodegradasi oleh Jamur A. Niger…..………. 40
4.7. (a). Foto Permukaan Film dengan Serbuk Sebelum Biodegradasi
(b). Foto Permukaan Setelah Biodegradasi oleh A. Niger……….. 40
4.8. (a). Foto Permukaan Campuran Pati, Gliserol Setelah Biodegradasi pada Tanah Kebun
(b). Foto Permukaan Spesimen Campuran Pati, Gliserol, Serbuk
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. a. Spektrum FTIR Spesimen Pati, Gliserol Sebelum
Biodegradasi
b. Spektrum FTIR Edible Film dengan Serbuk Sebelum
Biodegradasi………. 48
2. a. Spektrum Edible Film dengan Serbuk Setelah
Biodegradasi dalam Tanah Sampah Selama 3 Hari b. Spektrum Edible Film Tanpa Serbuk Setelah
Biodegradasi dalam Tanah Sampah Selama 3 Hari………. 50
3. a. Spektrum FTIR Edible Film dengan Serbuk Setelah
Biodegradasi yang Diinkubasi Selama 3 Hari pada PDA yang Diinokulasikan A. Niger
b. Spektrum FTIR Edible Film Tanpa Serbuk Setelah
Biodegradasi yang Diinkubasi Selama 3 Hari pada PDA
KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI
EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pembuatan edible film dari pati ubi kayu, pemlastis gliserol dan penambahan serbuk batang ubi kayu sebagai bahan pengisi berdasarkan metoda Casting yang menggunakan prinsip Gelatinisasi dari 10 g pati ubi kayu, 1 g gliserol, 100 g air dan 0,5 g serbuk batang ubi kayu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki biodegradasi edible film pati ubi kayu dalam tanah sampah, tanah kebun dan pasir pantai, dan dalam media
Potatoe Dextro Agar yang ditanamkan jamur A. Niger kemudian menguji
toksisitasnya dalam media E. Coli. Uji biodegradasi dalam pasir, tanah kebun, tanah sampah diamati selama 3 hari dengan persentase perubahan massa film masing-masing 29,71%; 34,92%; 51,71% untuk film yang mengandung serbuk dan 25,53%; 33,44%; dan 40,42% untuk film tanpa serbuk. Uji biodegradasi film selama 3 hari pada media PDA yang ditanamkan jamur A. Niger didapat perubahan massa 54,86% untuk film yang mengandung serbuk dan 26,70% untuk film yang tidak mengandung serbuk. Data ini didukung oleh hasil uji FTIR dan SEM. Untuk uji toksisitas didapat zona bening pada pati yang mengandung serbuk sebesar 5 mm sehingga didapatkan zona toksisitas sebesar 0,67 mm.
MICROBIOLOGY CHARACTERISTICS AND EDIBLE FILM BIODEGRADATION OF CASSAVA STARCH BASED
ABSTRACT
Research has been done making edible films from cassava starch, glycerol and the addition pemlastis stems of cassava powder as filler material based on Casting method which uses the principle Gelatuation of 10 g cassava starch, 1 g glycerol, 100 g of water and 0.5 g of powdered stem cassava. The purpose of this study was to investigate the biodegradation edible cassava starch films in the waste land, garden soil and sand beaches, and in the Potatoe Dextro Agar medium mushrooms infused A. Niger and toxicity testing in the media E. Coli. Biodegradation tests in the sand, garden soil, waste soil were observed for 3 days with the percentage change in the mass of film of 29.71%; 34.92%; 51.71% for films containing powder of 25.53%; 33.44 %; and 40.42% respectively for films without powder. Biodegradation test film for 3 days on PDA medium mushrooms infused A. Niger gained 54.86% of mass change for the film containing powder and 26.70% for films that do not contain powder. These data are supported by test results of FTIR and SEM. For toxicity tests it was found a clear zone on the starch-containing powders of 5 mm and therefore the zone of toxicity obtained of 0.67 mm.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film
untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan
memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Ubi-ubian, serealia, dan
biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian yang
sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Liu, 2005
dalam Cui, 2005). Pati singkong sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam
industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang
cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006).
Dalam pembuatan edible film, diperlukan penambahan gliserol yang berfungsi
sebagai plastisiser sehingga memberikan sifat plastis pada edible film yang
dihasilkan. Ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Renny Octaviyanti Sopyan
Putri dengan Judul Pengaruh Penambahan Gliserol terhadap Sifat Fisik dan
Mekanik Edible Film Berbahan Dasar Tepung Koro Pedang.
Penelitian tentang pemanfaatan pati ubi kayu sebagai bahan plastik
biodegradable telah dilakukan oleh lima mahasiswa Jurusan Ilmu dan Teknologi
Pangan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni Mujiono,
bimbingan dosen Feri Kusnandar, dengan mengambil judul Aplikasi Edibel Film
Komposit dari Pati Ubi Kayu sebagai Kemasan Ramah Lingkungan. Oleh tim IPB,
penelitian edible film secara spesifik dilakukan untuk mencari pengganti plastik
pembungkus bumbu kering, sebagaimana terdapat dalam berbagai jenis mi instan.
Dengan plastik biodegradable, bungkus bumbu plastik yang yang selama ini terbuang
menjadi sampah, dapat langsung dicemplung, ikut dimasak dan dimakan. Selain pati
ubi kayu, untuk membuat edible film dibutuhkan karagenan, lilin madu (beeswax),
dan gliserol. Diolah dari rumput laut, karagenan berfungsi sebagai bahan penstabil
sistem emulsi produk makanan. Komposisi keempat bahan saat dicampurkan ke
dalam air adalah 0,7%, pati ubi kayu, 2,5% karagenan, 0,5% rumah madu, dan 1%
gliserol. Edible film dibuat melalui beberapa tahap. Pertama, air dipanaskan hingga
mencapai suhu 40 derajat Celsius. Karagenan dimasukkan dan disusul kemudian pati
ubi kayu. Suhu lantas dinaikkan menjadi 90 derajat Celsius dan gliserol dimasukkan.
Sesudah itu, larutan didinginkan hingga 50 derajat Celsius, kemudian dinaikkan lagi
ke 64 derajat Celsius. Terakhir, masukkan lilin madu. Tahap berikutnya, larutan
dipanaskan hingga mendidih, dan kemudian diaduk. Selang beberapa lama, larutan
dituang ke cetakan (plate) untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 50
derajat Celsius selama satu jam. Sebagai tahap penghabisan, hasil cetakan
dikeluarkan dan dibiarkan berada pada suhu ruangan hingga kering. Sesudahnya,
bumbu dimasukkan dan lembar cetakan di-seal sebagaimana plastik konvensional.
Yusmarlela (2009), telah melakukan penelitian dengan judul Studi
Batang Ubi Kayu. Mengunakan pati ubi kayu dalam pembuatan film layak makan
dengan penambahan gliserol sebagai plastisiser.
Maulana Karnawidjaja Wahyu (2009) mengambil judul Pemanfaatan Pati
Singkong sebagai Bahan Baku Edible Film. Edible film berbasis pati singkong
dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahan
kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga
25-44 hari.
Hari Eko Irianto, Muhammad Darmawan dan Endang Mindarwaty (2006),
dengan judul penelitian Pembuatan Edible Film dari Komposit Karaginan Tepung
Tapioka dan Lilin Lebah (Beeswax). Edible film terbaik dihasilkan dari perlakuan
penambahan karaginan 2,5%, tepung tapioka 0,3% dan lilin lebah 0,3%.
Hasil penelitian Helmi Haris (2001) Kemungkinan Penggunaan Edible Film
dari Pati Tapioka untuk Pengemasan Lempuk. Menghasilkan edible film dibuat
berdasarkan pada metode Mendoza yang dimodifikasi dengan menambahkan gliserol,
karboksimetil selulosa dan lebah lilin.
Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia
pada tahun 2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat kandungan pati pada singkong
sebesar 90%, maka pada tahun tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati
singkong. Produksi pati yang tinggi, penanamannya yang mudah, dan mudah
didapatkan di Indonesia menjadikan singkong sangat potensial dijadikan sebagai
Batang ubi kayu selama ini kurang dimanfaatkan, biasanya hanya
dimanfaatkan untuk peremajaan pohon ubi kayu. Kondisi demikian membuat peneliti
tertarik untuk memanfaatkan serbuk batang ubi kayu sebagai pengisi edible film pati
ubi kayu yang dapat terbiodegradasi oleh lingkungan sehingga tidak menimbulkan
limbah dan ramah lingkungan.
1.2. Permasalahan
1. Bagaimana degradasi edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi
kayu dalam media tanah dan media bermikroba?
2. Bagaimana toksisitas edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi
kayu terhadap mikroba (E.coli) dengan dalam media Kromokal?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menyelidiki degradasi edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi
kayu dalam tanah dan media bermikroba?
2. Menyelidiki toksisitas edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi
kayu terhadap mikroba (E.coli) dengan dalam media NA?
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana
menghasilkan film kemasan yang dapat dihancurkan secara alami, ramah lingkungan
1.5. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dibatasi pada:
1. Uji biodegradasi penguburan tanah, di mana tanah berpasir diambil dari
daerah pantai Belawan, tanah kebun diambil dari areal perkebunan Tembung
dan tanah sampah diambil dari lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Mandala Medan.
2. Uji biodegradasi dalam media bermikroba mempergunakan jamur Aspergilus
Niger.
3. Uji toksisitas terhadap bakteri kolioform E.coli.
1.6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi BARISTAN Medan,
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Edible Film
Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami
penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi.
Penurunan kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan
temperatur. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut
adalah dengan pengemasan yang tepat (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006).
Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan dengan
bahan pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan
yang memiliki kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan dan
melindungi makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan
keamanannya dapat dipertahankan (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006). Menurut
Robertson (1993), bahan pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas,
logam, dan kaca.
Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan
ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Sekitar 60%
dari poliethilen dan 27% dari polyester diproduksi untuk membuat bahan pengemas
yang digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan material sintetis
tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan (Alvin dan Gil, 1994 dikutip
dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan
(biodegradable) (Henrique et. al., 2007). Adanya persyaratan bahwa kemasan yang
digunakan harus ramah lingkungan maka penggunaan kemasan edible (edible
packing) adalah suatu yang sangat menjanjikan.
Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan
edible (edible packaging). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat
melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat
langsung dimakan serta aman bagi lingkungan (Kinzel, 1922). Edible packaging
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi sabagai pelapis
(edible coating) dan yang berbentuk lambaran (edible film).
Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan,
dibentuk di atas makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa
(misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat pelarut) atau sebagai carrier bahan
makanan atau aditif dan untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).
Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan
seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah
kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu,
mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen
alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan
penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Keuntungan penggunaan
simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena edible film ini dapat
dimakan bersama produk yang dikemasnya.
Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil
pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan
sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetis (plastik).
Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk tepung, pati
atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah polisakarida (karbohidrat),
polipeptida (protein) dan lipida. Ketiganya mempunyai sifat termoplastik, sehingga
mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai film kemasan. Keunggulan
polimer hasil pertanian adalah bahannya yang berasal dari sumber yang terbarui
(renewable) yang dapat dihancurkan secara alami (biodegradable).
2.2. Ubi Kayu (Mannihot esculenta)
Ubi kayu termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas (mudah
patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal
tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi
kayu bisa mencapai ketinggian 1-4 meter. Pemeliharaannya mudah dan produktif.
Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah yang ketinggian 1200 meter di atas
permukaan air laut.
Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai
telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun
Ubi kayu dikenal dengan nama Cassava (Inggris), Kasapen, sampeu, kowi
dangdeur (Sunda), Ubi kayu, singkong, ketela pohon (Indonesia), Pohon bodin, ketela
bodin, tela jandral, tela kapos (Jawa). Ubi kayu merupakan makan pokok di beberapa
negara Afrika. Di samping sebagai bahan makanan, ubi kayu juga digunakan sebagai
bahan baku industri dan pakan ternak. Ubi kayu mengandung air sekitar 60%. Pati
25-35% serta protein, mineral, serat, kalsium dan fosfor. Ubi kayu merupakan sumber
energi yang lebih tinggi dibandingkan padi, jagung, ubi jalar, dan sorgun.
Klasifikasi ubi kayu adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi:
Spermatophyta, Sub Divisi: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo:
Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus: Manihot, Spesies: Manihot utilissima
Pohl: Manihot esculenta Crantz sin (Prihatman, 2000).
Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), spesies dari singkong
dibedakan berdasarkan kandungan HCN, yaitu jenis pahit (Manihot esculenta
Crantz.; M. utilissma Pohl.) dan manis (M. dulcus Baill.; M. palmatta Muell.; M. aipi
Pohl.).
Menurut Wankhede et. al., (1998) dalam Salunkhe dan Kadam (1998), ubi
kayu merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Ubi
singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai
komponen utamanya. Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), ubi kayu relatif
kaya akan kalsium dan asam askorbat (vitamin C). Namun ubi ini tidak dapat
langsung dikonsumsi dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti
lainnya dengan tujuan untuk detoksifikasi atau membuang HCN yang bersifat
mematikan yang dikandung dari semua varietas ubi kayu.
Ubi kayu mempunyai komposisi kandungan kimia (per 100 gram) antara lain:
– Kalori 146 kal – Protein 1,2 gram – Lemak 0,3 gram – Hidrat arang 34,7 gram –
Kalsium 33 mg – Fosfor 40 mg – Zat besi 0,7mg – Vitamin B1 0,06mg – Vitamin C
30 mg – dan 75% bagian buah dapat dimakan. Daun ubi kayu mengandung (per 100
gram): – Vitamin A 11000 SI – Vitamin C 275 mg – Vitamin B 1 0,12 mg – Kalsium
165 mg – Kalori 73 kal – Fosfor 54 mg – Protein 6,8 gram – Hidrat arang 13 gram –
Zat besi 2 mg – dan 87% bagian daun dapat dimakan. Kulit batang ubi kayu
mengandung Pati Tanin, enzim Peroksidase, Glikosida dan Kalsium Oksalat
(Martono, dkk, 2005).
2.3. Pati
Pati merupakan karbohidrat, kandungan utama pada tanaman tingkat tinggi
yang diproduksi melalui fotosintesis dalam tanaman hijau. Pati diperoleh dalam
seluruh organ tanaman tingkat tinggi yang disimpan dalam biji, umbi, akar dan
jaringan batang tanaman sebagai cadangan energi untuk masa pertumbuhan dan
pertunasan. Selain sebagai bahan makanan pati juga digunakan dalam non-food,
diantaranya perekat, detergen, dalam industri tekstil dan polimer. Pati merupakan
polisakarida alami yang dapat diperbaharui (renewable), mudah rusak
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan á – glikosida dan
merupakan rantai gula panjang. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya tergantung
pada panjang rantai atom C nya, apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya
(Winarno, 1988).
Untuk menganalisa adanya pati digunakan iodin, karena pati yang berikatan
dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Pati merupakan granula berwarna putih
dengan diameter 2-100 µ m (Whistler, 1984). Pati merupakan polimer karbohidrat
dari unit anhidroglukosa, (C6H10O5)x terdiri dari dua polisakarida dengan struktur
tertentu yaitu amilosa dan amilopektin.
Gambar 2.1. Struktur Amilosa
Sifat-sifat dari amilosa:
1. Ikatannya linear (lurus).
2. Larutan dalam air dingin dalam batas tertentu.
3. Berat molekul rata-rata 10000 – 60000 (10³-60³).
Gambar 2.2. Struktur Amilopektin
Sifat-sifat dari amilopektin:
1. Ikatannya bercabang.
2. Tidak larut dalam air dingin.
3. Mempunyai berat molekul 60000-100000 (60³-104).
4. Ikatan antar molekul á – D – glukosa dihubungkan oleh ikatan 1,4 dan ikatan
1,6 pada percabangan.
Amilosa merupakan polimer isotatik linier dari á – d glukosa yang saling
berikatan pada posisi 1, 4 sedangkan amilopektin merupakan polimer bercabang
dengan rantai pendek dari á– d glukosa yang saling berikatan melalui á (1,6), Satu
unit anhidroglukosa terdiri atas satu OH primer dan dua OH sekunder dan satu gugus
aldehid tereduksi dalam bentuk hemiastal, bertambahnya hidroksil merupakan sifat
hidrofilik sehingga memberikan kelembapan yang tinggi dan terdispersi di dalam air.
sebagai salah satu cara mengatasi masalah tersebut. Sifat granula pati adalah tidak
larut dalam air dingin tetapi mengalami Swilling (mengembang) (Baymun, 1985).
2.4. Gliserol
Salah satu alkil trihidrat yang penting adalah gliserol (propa- 1,2,3 –triol)
CH2OHCHOHCH2OH. Senyawa ini kebanyakan ditemui hampir semua lemak
hewani dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat (Austin,
1985).
Gliserol adalah senyawa yang netral, dengan rasa manis tidak berwarna,
cairan kental dengan titik lebur 20°C dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu
290°C, gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam
minyak. Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding
dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik
(Anonymous, 11, 2006).
Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan
senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan
pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya
(Austin, 1985).
Gliserol banyak dihasilkan dari industri di Sumatera Utara, merupakan bahan
baku yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai
ekonomis tinggi. Gliserol dapat diperoleh dari pemecahan ester asam lemak dari
Gliserol dapat digunakan untuk gliserolisis lemak atau metil ester untuk
membentuk gliserolat monogliserida, digliserida dan trigliserida. Gliserol
mengandung tiga gugus hidroksi yang terdiri dari dua gugus alkohol primer dan satu
gugus alcohol sekunder. Atom karbon yang terdapat dalam gliserol dapat ditunjukkan
sebagai atom karbon á, â dan ã (Nouriedden, dkk, 1992).
Gambar 2.3. Gliserolisis Lemak
2.5. Pemanfaatan Gliserol dan Turunannya
Dewasa ini, sumber utama gliserol komersil diperoleh dari pengolahan
minyak nabati, sebagai produk samping industri oleokimia dan juga dari industri
pertokimia. Gliserol yang diperoleh ini hanya sebagai bahan baku industri dan masih
merupakan sumber komoditas yang melimpah. Gliserol umumnya digunakan pada
pembuatan bahan peledak, bahan pembasah atau pengemulsi produk kosmetik dan
berbasis gliserol, maka harga jual komoditas gliserol masih tetap rendah, kecuali bila
kebutuhan bahan peledak meningkat.
Pada tahun 2004, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan telah
membangun pabrik biodisel berbahan baku minyak kelapa sawit mentah dengan
dalam industri kapasitas 2 ton/hari dengan rendemen mencapai lebih dari 95%.
Namun kelayakan ekonomi pabrik biodisel ini masih rendah, karena residu gliserol
yang dihasilkan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Melalui penelitian kerja
sama antara PPKS dan USU, Herawan, dkk (2006) telah berhasil mengolah residu
gliserol pabrik biodisel untuk mendapatkan gliserol komersial dengan kadar mencapai
88%.
Dalam hal lain, sehubungan dengan stuktur gliserol yang mempunyai gugus
alkohol primer dan gugus alkohol sekunder, maka akan memberikan banyak
kemungkinan terjadinya reaksi untuk mengembangkan senyawa turunan alkohol ini
(Finar, 1980).
Misalnya, dengan menambahkan gugus asetal pada stuktur gliserol akan
dihasilkan senyawa surfaktan yang dapat terdegradasi oleh pengaruh bahan kimia
atau dalam air dan oleh kegiatan mikroba (Piasecki, 2000).
Secara umum senyawa poliol (polihidroksi termasuk gliserol) dari berbagai
sumber banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industi seperti dalam industri
polimer, senyawa poliol banyak digunakan sebagai plastisiser maupun pemantap.
Senyawa poliol ini dapat diperoleh dari hasil industri petrokimia, maupun
Dibandingkan dengan hasil industri petrokimia, senyawa poliol dari minyak nabati
dan industri oleokimia dapat diperbaharui, sumber mudah diperoleh, dan juga akrab
dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam (Goudung, dkk, 2004).
2.6. Plastisasi Polimer
Pembuatan film layak makan dari pati (starch) memerlukan campuran bahan
aditif untuk mendapatkan sifat mekanis yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu perlu
ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini
dikenal dengan plastisasi, sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis.
Di samping itu pemlastis dapat pula meningkatkan elastisitas bahan, membuat lebih
tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang-kadang disebut
juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa plastisasi akan
mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanisme film seperti kekuatan tarik, elastisitas
kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.
Adapun pemlastis yang digunakan adalah gliserol, karena gliserol merupakan
bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat diperbaharui dan juga akrab
dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam.
Proses plastisasi pada prinsipnya adalah dispersi molekul pemlastis kedalam
fase polimer. Jika pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses
dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer-
Sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi yang kompatibel ini akan
merupakan fungsi distribusi dari sifat komposisi pemlastis yang masing-masing
komponen dalam sistem. Bila antara pemlastis dengan polimer tidak terjadi
percampuran koloid yang tak mantap (polimer dan pemlastis tidak kompatibel) dan
menghasilkan sifat fisik polimer yang berkulitas rendah. Karena itu, ramalan
karakteristik polimer yang terplastisasi dapat dilakukan dengan variasi komposisi
pemlastis.
Interaksi antara polimer dengan pemlastis dipengaruhi oleh sifat affinitas
kedua komponen, jika affinitas polimer-pemlastis tidak terlalu kuat maka akan terjadi
plastisasi antara struktur (molekul pemlastis hanya terdistribusi diantara struktur).
Plastisasi ini hanya mempengaruhi gerakan dan mobilitas struktur.
Jika terjadi interaksi polimer-polimer cukup kuat, maka molekul pemlastis
akan terdifusi kedalam rantai polimer (rantai polimer amorf membentuk satuan
struktur globular yang disebut (bundle) menghasilkan plastisasi infrastruktur intra
bundle. Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer dan
mempengaruhi mobilitas rantai yang dapat meningkatkan pemlastis melebihi batas
ini, maka akan terjadi sistem yang heterogen dan plastisasi berlebihan, sehingga
plastisasi tidak efisien lagi (Wirjosentono, 1995).
2.7. Degradasi Polimer
Degradasi polimer merupakan suatu proses kerusakan atau penurunan mutu
ikatan rantai. Selama proses pengolahan menjadi barang setengah jadi atau barang
jadi, bahan polimer mengalami degradasi secara mekanis dan panas. Pada
pemakaiannya menjadi barang jadi, bahan polimer ini juga mengalami degradasi oleh
pengaruh radiasi ultra violet dalam sinar matahari. Di samping itu kondisi lingkungan
seperti adanya oksigen atau bahan-bahan kimia oksidator turut pula mempengaruhi
kecepatan degradasi.
Jika bahan baku polimer dikenakan terhadap kondisi tertentu maka akan
mengalami degradasi. Perubahan yang diamati selama degradasi dapat dihasilkan dari
perubahan struktur bahan polimer, kehilangan atau perubahan dalam setiap bahan
senyawa dan perubahan sifat-sifat mekanis (Kudoh, 1996).
Valdya (1994) menyelidiki biodegradasi campuran polimer yang mempunyai
gugus fungsi dan polimer alam (misalnya: Karbohidrat, protein). Selama
pencampuran, kedua polimer dapat mengalami reaksi kimia dengan polimer yng
dapat terbiodegradasi dan menghasilkan ikatan diantara kedua polimer.
2.8. Mikroba Tanah
Menurut Salle (1984), bakteri selulotik tanah dibedakan atas empat kelompok
yaitu mesofilik aerobik, termofilik aerobik, mesofilik anaerobik dan termofilik
anaerobik. Lebih lanjut Alexander (1997) dan Salle (1984) menjelaskan bahwa
bakteri selulotik yang mesofilik aerobik meliputi anggota-anggota dari genus
celvacicula, celvibrio, cellalomonas, sporocytophage, pseudomonas, cytophaga dan
Kisaran jenis mikroorganisme dalam tanah sangat luas yang terdiri dari
bakteri, virus, protozoa, dan fungi, dengan populasi bakteri merupakan populasi
mikroorganisme yang dominan. Jumlahnya dapat mencapai 2,5 juta sel/gram,
sedangkan tingkat pertumbuhannya dalam tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu: jumlah dan macam zat hara, kelembaban, tingkat aerasi, temperatur, pH dan
perlakuan pada tanah. Pada tanah yang ber pH asam populiasi fungi dominan,
sedangkan pada tanah yang digenangi air mikroba anaerob lebih dominan.
Panas, konsentrasi ion hidrogen (pH), adanya air, oksigen dan cahaya
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Enzim dapat mempercepat reaksi
kimiawi. Suhu di mana enzim berfungsi sempurna disebut suhu optimum. Bila suhu
ini menyimpang dari suhu optimum maka aktivitas enzim menurun.
Kisaran suhu untuk aktivitas enzim menentukan sifat pertumbuhan
mikroorganisme. Suhu tertinggi di mana mikroorganisme masih dapat tumbuh
disebut suhu maksimum. Sedangkan minimum adalah suhu terendah di mana
mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Kisaran suhu tidak saja mempengaruhi aktivitas
enzim, namun mempengaruhi sifat fisik membran sel. Permeabilitas membran sel
tergantung pada kandungan dan jenis lipida. Peningkatan 5o – 10o C di atas suhu
optimum dapat menyebabkan proses lisis dan kematian mikroorganisme.
Lazimnya, mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 7,0 namun ada juga yang
dapat tumbuh pada pH 2,0 dan pH 10,0. Fungi dapat tumbuh pada kisaran pH cukup
2.9. Toksikologi
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi didefinisikan sebagai hakikat dan
mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan berbagai sistem
biologik lainnya. Toksikologi sangat luas cakupannya, toksikologi menangani
penelitian toksisitas bahan-bahan kimia yang digunakan (1) di bidang kedokteran
untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapeutik, (2) dalam industri makanan
sebagai zat tambahan langsung maupun tak langsung (3) dalam pertanian sebagai
pestisida, zat pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan dan zat tambahan makanan
hewan dan (4) dalam industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara
bagi pelarut serta banyak jenis bahan kimia lainnya (Frank, 1994).
Toksisitas diartikan sebagai racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan
apabila masuk kedalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya (Soemirat,
2003).
Bahan antimikrobial yang mampu menghambat atau mematikan berbagai
mikroorganisme disebut antimikrobial dengan kisaran luas (brotspektrum
antimikrobial). Sebaliknya bahan antimikrobial yang dapat menghambat atau
mematikan beberapa mikroorganisme disebut antimikrobial dengan kisaran sempit
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
1. Neraca Analitik Sartorius
2. Magnetic Stirrer Ika – Ret BC
3. Termometer Ika – Ret BC
4. Alat-alat Gelas Pyrex
5. Seperangkat Alat FT-IR Shimadzu FTIR – 8201PC
6. Seperangkat Alat SEM
7. Petridis
8. Sprayer
9. Auto Clave
10.Tabung Reaksi
11.Jarum Ose
3.1.2. Bahan
1. Pati ubi kayu 325 mesh
2. Gliserol pa
3. Serbuk Batang Ubi Kayu 325 mesh
4. Air
6. Alkohol 70%
7. Media NA
8. Biakan e.coli
9. Biakan Aspergillus Niger
3.2. Metode Pembuatan
Metode casting merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk
membuat film. Pada metode ini protein atau polisakarida didispersikan pada
campuran air dan plasticizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan dilakukan
pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran tadi dipanaskan dalam beberapa
waktu dan dituangkan pada casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan
mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan dan waktu tertentu. Film yang
telah mengering dilepaskan dari cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan
pengujian terhadap karakteristik yang dihasilkan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui,
2006).
Pembuatan edible film berbasis pati pada dasarnya menggunakan prinsip
gelatinisasi. Dengan adanya penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu
yang tinggi, maka akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi mengakibatkan ikatan
amilosa akan cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses
pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai akibat dari lepasnya air,
sehingga gel akan membentuk film yang stabil (Careda, Henrique, Oliveira, Ferraz,
Menurut Sarmento (1997) dikutip Careda et. al., (2000), suhu dimulainya
gelatinisasi pati yang digunakan pada suhu 600C hingga 65,80C, dan pada suhu
61,20C hingga 66,50C merupakan rentan suhu pengentalan. Pada suhu pendinginan
hingga 500C akan sedikit menaikkan kekentalan, kecenderungan untuk terjadi
retrogradasi kecil, dan juga kecil kemungkinannya terjadi kristalisasi. Ketebalan film
dapat diatur dengan memperhatikan rasio luas cetakan dengan larutan edible film
yang digunakan.
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Pembuatan Spesimen Campuran Pati Ubi Kayu dengan Gliserol dan dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu
Sebanyak 10 gram pati ubi kayu ditambahkan dengan 100 gram air diaduk
hingga merata lalu ditambahkan 1 gram gliserol. Kemudian dipanaskan pada suhu
100° C sampai campuran mengental. Setelah campuran mengental diletakkan di atas
kaca berukuran 20 x 20 cm, matrik dikering anginkan selama 3 sampai 4 hari. Hal
yang sama dilakukan dengan penambahan 0,5 g serbuk batang ubi kayu sebelum
pemanasan. Hasil diuji biodegradasi dan toksisitasnya.
3.4. Perlakuan Uji Biodegradasi
3.4.1. Uji Biodegradasi Film Spesimen dalam Tanah
Uji degradasi di dalam tanah dimulai dengan mencuci masing-masing
5 menit, dikeringkan serta ditimbang menggunakan neraca analitis kemudian di kubur
dalam sampah. Setelah 3 hari spesimen uji diambil dan dibersihkan, dicuci dengan air
steril, dibilas dengan alkohol 70%, dikeringkan ditimbang kembali dengan
menggunakan neraca analitis. Uji biodegradasi sampel dalam tanah ini diamati
berdasarkan perubahan massa yang dihitung dalam persen (%), Kemudian diamati
morfoliginya dengan menggunakan teknik SEM dan dianalisa gugus fungsinya
dengan FTIR.
3.4.2. Uji Biodegradasi Film Spesimen terhadap Jamur Aspergillus Niger
Sebelum melakukan kerja mikrobiologi, sebaiknya daerah tempat kerja
disterilkan dengan menggunakan desinfektan dan tangan menggunakan anti septik
agar daerah sekitar tempat kerja menjadi steril. Terlebih dahulu kita lakukan preparasi
sampel dengan dipotong dengan ukuran luas 3 x 3 cm2. Kemudian sampel ditimbang
menggunakan neraca analitis. Setelah itu sampel disterilkan dengan direndam dalam
alkohol 70% selama 5 menit. Kemudian direndam kedalam aquades steril selama
menit lalu dikeringkan. Perlakuan ini diulang hingga dua kali. Media PDA yang
sudah steril dituang kedalam petridis. Kemudian diinokulasikan A. Niger keseluruh
permukaan petridis hingga merata. Sampel yang telah dipotong diletakkan di bagian
tengah dari permukaan media PDA. Sampel ditekan-tekan agar lebih melekat ke
permukaan media. Kemudian diinkubasi pada suhu 36o C selama 3 hari. Setelah 3
hari sampel diambil dari media dan disterilkan kedalam alkohol 70% selama 5 menit
lalu direndam kedalam aquades steril selama 5 menit sebanyak 2 kali. Setelah itu
diamati morfoliginya dengan menggunakan teknik SEM dan dianalisa gugus
fungsinya dengan FTIR.
3.4.3. Uji Toksisitas Pemlastis terhadap Bakteri Kolioform E.coli
Sebelum melakukan kerja mikrobiologi, sebaiknya daerah tempat kerja
disterilkan dengan menggunakan desinfektan dan tangan menggunakan anti septik
agar daerah sekitar tempat kerja menjadi steril. Media NA yang sudah steril dituang
kedalam cawan petri yang telah steril. Kemudian didiamkan hingga memadat.
Suspensi e.coli disiapkan hingga jumlah sel 108 sebanyak 10 ml dengan standar
Mc.Farlan. setelah itu dengan menggunakan cutton swap yang telah steril digoreskan
suspensi biakan e.coli ke seluruh permukaan media NA yang telah memadat.
Kemudian, kertas cakram yang telah direndam kedalam larutan sampel diletakkan
dibagian tengah dari petri. Lalu diinkubasi pada suhu 36oC selama 48 jam. Kemudian
diamati zona bening yang terbentuk jika ada diukur dengan menggunakan jangka
sorong.
3.4.4. Analisa FTIR
Sistim optik Spektrofotometer FTIR dilengkapi dengan cermin yang bergerak
tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan
menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak (M) dan
jarak cermin yang diam (F). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang
selanjutnya disebut sebagai retardasi (ä). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang
diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistem
disebut sebagai sistem optik Fourier Transform Infra Red. Pada sistem optik FTIR
digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of
Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra
merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan
lebih baik.
Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra
Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih
banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS,
yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih
sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap
energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah.
Film hasil pencampuran dijepit pada tempat sampel kemudian diletakkan pada
alat kearah sinar infra red. Hasilnya akan direkam kedalam kertas berskala berupa
aliran kurva gelombang terhadap intensitas.
3.4.5. Analisa SEM
Analisa SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi sampel. Dalam hal
ini dilihat rongga-rongga hasil pencampuran pati ubi kayu, gliserol, dan serbuk
batang ubi kayu. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari
degradasi polimer.
Cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada
mikroskop optic dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron
ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder
atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar
amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor Cathode
Ray Tube (CRT). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar
bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan,
sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi, agar
pengamat dapat mengamati preparat dengan baik, diperlukan persiapan sediaan
dengan tahap sebagai berikut:
1. Melakukan fiksasi, yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah
struktur sel yang akan diamati. Fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan
senyawa glutaraldehida atau osmium tetroksida.
2. Dehidrasi, yang bertujuan untuk memperendah kadar air dalam sayatan
sehingga tidak mengganggu proses pengamatan.
3. Pelapisan/pewarnaan, bertujuan untuk memperbesar kontras antara preparat
yang akan diamati dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan dapat
3.5. Bagan Penelitian
3.5.1. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Tanah
3.5.2. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Media Aspergillus Niger
3.5.3. Bagan Alir Uji Toksisitas Edible Film Pati Ubi Kayu
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Media NA
Dituang kedalam cawan petri
Didiamkan hingga padat
E.Coli digoreskan
Diamati Zona Bening
Sampel diletakkan di atas biakan E. coli
4.1. Penyediaan Sampel Uji Biodegradasi Edible Film
Sampel polimer yang digunakan adalah pati ubi kayu 10 gram yang dicampur
dengan 1 gram gliserol dalam pelarut air. Kemudian untuk sampel kedua
ditambahkan 0,5 gram serbuk batang ubi kayu. Hasil pencampuran dipanaskan
sampai mengental pada suhu 100 oC kemudian dicetak di atas kaca berukuran 20 x 20
cm lalu dikering anginkan selama 3 hari. Kemudian edible film dipotong-potong
dengan ukuran 3 x 3 cm untuk perlakuan uji biodegradasi dalam tanah dan dalam
media bermikroba.
4.2. Uji Biodegradasi Edible Film dalam Tanah
Uji biodegradasi dalam lingkungan tanah dimulai dengan menanamkan setiap
spesimen sampel dalam wadah yang masing-masing berisi:
b. Tanah berpasir diambil dari daerah pantai Belawan Kota Medan.
c. Tanah kebun yang diambil dari areal kebun Kecamatan Tembung Kabupaten
Deli Serdang.
d. Tanah sampah diambil areal tempat pembuangan akhir Kelurahan Tegal Sari
(a) (b)
Gambar 4.1. (a) Sampel yang Ditanam pada Tanah Sampah Selama 3 Hari (b) Sampel yang Ditanam pada Tanah Kebun Selama 3 Hari
Uji biodegradasi dalam tanah ini diamati selama 3 hari dengan persentase
perubahan berat spesimen uji (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Persentase Perubahan Massa Film Selama 3 Hari pada Media Tanah
No. Spesimen Dengan Serbuk Tanpa Serbuk Penurunan
Massa (%)
ma mt Äm ma mt Äm (+) (-)
1. Tanah pasir 0,2891 0,2032 0,0859 0,3537 0,2634 0,0903 29,71 25,53
2. Tanah kebun 0,2818 0,1834 0,0984 0,3583 0,2385 0,1198 34,92 33,44
3. Tanah sampah 0,2796 0,1350 0,1446 0,3575 0,2130 0,1445 51,71 40,42
Keterangan:
ma = massa awal
mt = massa akhir
Äm = selisih massa
(+) = dengan serbuk
(-) = tanpa serbuk
Uji biodegradasi dalam tanah memperlihatkan bahwa spesimen mengalami
yang lebih besar pada spesimen edible film yang ditanam dalam tanah sampah. Ini
kemungkinan tanah sampah lebih banyak nutrisinya dan adanya kerja sinergis antara
kegiatan beberapa mikroba (jamur dan bakteri) yang terdapat dalam tanah uji
(Wirjosentono, 1999). Laju dan mekanisme biodegradasi edible film ini sangat
dipengaruhi oleh suhu, oksigen, kelembaban dan kondisi mikroba.
Selanjutnya, spesimen dikarakterisasi dengan spectrofotometri FTIR untuk
melihat puncak serapan dan analisis SEM untuk mengetahui bentuk dan perubahan
dari sampel.
Dari spektrum pati+gliserol memberikan informasi pada bilangan gelombang
menunjukkan adanya gugus C-H alifatik yang didukung sidik jari pada 1411,91 cm-1
menunjukkan adanya gugus CH2. Pada bilangan gelombang 1647,03 cm-1
menunjukkan adanya gugus C=O.
Dari spectrum FTIR campuran pati, gliserol, dan serbuk memberikan
informasi pada bilangan gelombang 3423,29 cm-1 menunjukkan adanya ikatan O-H
ikatan hydrogen yang didukung dengan spectrum sidik jari 1022,89 menunjukkan
adanya C-O streech dari alcohol primer. Bilangan gelombang 2927,98 cm-1
menunjukkan adanya gugus C-H alifatik didukung sidik jari pada 1425,25 cm-1
menunjukkan adanya C-H Bend dari CH2. Pada bilangan gelombang 1633,13cm-1
menunjukkan adanya gugus C=O karbonil.
Campuran pati-gliserol dan campuran pati-gliserol-serbuk sebelum
biodegradasi masing-masing memberikan spectra FTIR seperti pada Lampiran 2a dan
2b. Spektrum FTIR pada Lampiran 2b yaitu campuran pati-gliserol setelah
biodegradasi memperlihatkan serapan gugus O-H pada bilangan gelombang 3464,04
cm-1 yang melemah. Begitu juga serapan gugus karbonil C=O yang melemah pada
1645,54 cm-1. Ini merupakan indikasi terjadinya degradasi pada sampel selama
perlakuan biodegradasi. Proses biodegradasi campuran edible film tersebut dimulai
dari fase bahan pemlastis sehingga memungkinkan difusi oksigen kedalam fase ruah
pati yang selanjutnya memicu proses degradasinya.
Campuran pati-gliserol-serbuk juga menunjukkan puncak serapan yang
hidroksida yang didukung dengan gugus C-O streech dari R-OH primer. Ini
menunjukkan bahwa telah terjadi biodegradasi pada spesimen.
4.3. Uji Biodegradasi Edible Film dalam Media Bermikroba
Jamur A.Niger diinokulasikan pada media PDA, kemudian sampel edible film
diletakkan di tengah-tengah cawan petri. Diinkubasi pada suhu 36oC selama 10 hari.
Setelah 3 hari sampel diambil dari kultur pertumbuhannya, dicuci dengan alkohol
70% selama 5 menit dan dibilas dengan air steril. Sampel dikeringkan kemudian
ditimbang untuk mengamati kehilangan massanya.
(a) (b)
Gambar 4.2. (a). Spesimen Film dengan Serbuk dalam Media A. Niger (b). Spesimen Film tanpa Serbuk dalam Media A. Niger
Hasil pengamatan secara visual terhadap spesimen yang diinkubasi dalam
media PDA menggunakan A. Niger menunjukkan bahwa setelah 3 hari inkubasi
terlihat bercak berwarna kuning kecoklatan pada sampel dan tidak hilang pada saat
Pengujian biodegradasi edible film oleh jamur A. Niger dilakukan dengan
melihat kehilangan massa pada spesimen. Penurunan massanya dibuat dalam persen
(%). Data kehilangan massa sampel tercantum pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Persentase Perubahan Massa Spesimen Uji Selama 3 Hari pada Media PDA yang Ditanamkan Jamur A.Niger
No. Spesimen ma mt Äm Penurunan
Massa (%)
1. Dengan serbuk 0,2747 0,1240 0,1507 54,86
2. Tanpa serbuk 0,3599 0,2638 0,0961 26,70
Pada uji biodegradasi sampel dalam media jamur A. Niger kehilangan berat
untuk spesimen terlihat lebih nyata pada spesimen sampel yang mengandung serbuk
Tabel 4.4. Hasil Analisis Gugus Fungsi Spesimen dari Spektrum FTIR Setelah
Tabel 4.4 merupakan hasil pembacaan dari Lampiran 2(c) dan 2 (d) spektrum
dari bahan campuran pati-gliserol dan pati-gliserol-serbuk setelah mengalami
biodegradasi terlihat bahwa puncak serapannya melemah. Ini menunjukkan telah
terjadi biodegradasi.
Pati tersusun dari unit-unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,4–á–
ikatan 1,6–á–glikosida. Polimer pati terdiri atas 2 jenis yaitu amilosa dan.
amilopektin.
Amilosa terdapat dalam pati sekitar 20% dan terdiri atas unit glukosa yang
berkisar 50-300 unit yang membentuk rantai lurus yang berikatan pada atom
karbon nomor 1 dan nomor 4 atau disebut ikatan 1,4 alfa. Dalam larutan,
rantai ini membentuk heliks (spiral) karena adanya ikatan dengan konfigurasi
alfa pada setiap unit glukosa. Bentuk ini terdiri dari enam unit glukosa perputaran
heliks, yang menyebabkan amilosa membentuk kompleks dengan bermacam-macam
molekul kecil yang dapat masuk ke dalam kumparannya. Warna biru tua atau
biru kehitaman yang diberikan pada penambahan iod pada pati adalah contoh
pembentukan kompleks tersebut.
Gambar 4.3. Struktur Molekul Amilosa
Dalam penelitian ini, enzim Amilase dihasilkan oleh A. Niger. Enzim
inilah yang berperan men ghidrolisis ikatan alfa pada amilum yang
a-1,4-D-glukanohidrolase, endoamilase) merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan á
-1,4-glikosidik dari pati dan maltodekstrin secara acak pada bagian dalam molekul
polisakarida (Ballschmiter, et al., 2006). Terdapat tiga jenis enzim amilolitik yaitu
á-amilase, â-amilase, dan glukoamilase. Pada hidrolisis pati, enzim yang berperan
adalah á-amilase yang beker a memutuskan ikatan dengan konfigurasi á pada
pati. Hidrolisis pati oleh enzim á-amilase terbagi dalam dua jalur, yaitu
hidrolisis amilosa dan hidrolisis amilopektin.
Menurut Suhartono (1989) hidrolisis amilosa oleh a-amilase terjadi
melalui dua tahap. Tahap pertama adalah penguraian amilosa menjadi maltosa dan
maltotriosa yang terjadi secara acak. Penguraian ini terjadi secara cepat yang
diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahapan kedua berlangsung
relatif lambat, dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir.
á–amilase
Tahap I : amilosa maltosa + maltotriosa
á–amilase
Tahap II maltotriosa maltosa + glukosa
á– amilase
maltosa glukosa + glukosa
Gambar 4.5. Pembentukan Glukosa dan Maltosa dari Maltotriosa
(a) (b)
Gambar 4.6. (a). Permukaan Film Tanpa Serbuk Sebelum Biodegradasi (b). Permukaan Setelah Biodegradasi oleh Jamur A.Niger
Pada Gambar 4.6 memperlihatkan fotografi permukaan film tanpa serbuk
yang berongga setelah diperbesar 1200 kali menggunakan SEM. Ini menunjukkan
(a) (b)
Gambar 4.7. (a). Foto Permukaan Film dengan Serbuk Sebelum Biodegradasi (b). Foto Permukaan Setelah Biodegradasi oleh A. Niger
Pada Gambar 4.7 memperlihatkan fotografi permukaan film dengan serbuk
yang berongga setelah diperbesar 280 kali menggunakan SEM. Ini menunjukkan
telah terjadi biodegradasi oleh jamur A.Niger. Gumpalan kuning merupakan serbuk
batang ubi kayu yang tidak terdegradasi oleh A. Niger, karena enzim amylase pada A.
Niger tidak bisa menghidrolisis selulosa yang merupakan komponen utama dari
(a) (b)
Gambar 4.8. (a). Foto Permukaan Campuran Pati, Gliserol Setelah Biodegradasi pada Tanah Kebun
(b). Foto Permukaan Spesimen Campuran Pati, Gliserol, Serbuk Setelah Biodegradasi pada Tanah Kebun
Pada Gambar 4.8 terlihat permukaan spesimen yang berongga setelah
diperbesar 1200 kali dengan menggunakan SEM yang ditanam pada tanah kebun
selama 3 hari. Ini menunjukkan bahwa adanya kerja mikroorganisme dalam tanah
yang mendegradasi spesimen. Pada tanah kebun, selulosa dapat didegradasi oleh
bakteri-bakteri yang terdapat dalam tanah.
4.4. Uji Sifat Toksisitas Edible Film terhadap Perkembangan Bakteri E.Coli
Suspensi E.Coli disiapkan hingga jumlah sel 108 dengan standar Mc.Farlan,
kemudian digoreskan suspense biakan E.Coli ke seluruh permukaan media NA.
spesimen sampel dicetak seukuran kertas cakram kemudian diletakkan di bagian
tengah cawan petri, diinkubasi pada suhu 30oC selama 48 jam. Diamati zona bening
(a) (b)
Gambar 4.9. Uji Toksisitas terhadap Bakteri E.Coli (a). Campuran Pati, Gliserol
(b). Campuran Pati, Gliserol, Serbuk
Dari pengamatan terlihat bahwa pada kedua sampel terdapat zona bening yang
sangat pendek. Ini menunjukkan bahwa campuran pati, gliserol dan serbuk
mempunyai indikasi sifat sedikit antiseptik terhadap bakteri E.Coli.
Tabel 4.5. Data Pengamatan Zona Bening dengan Menggunakan Bakteri E.Coli
No Sampel Inkubasi 48 Jam
1. Kontrol 0
2. Pati, Gliserol dan
Serbuk
5 mm
3. Pati, Gliserol 0 mm
Zona toksisitas edible film dengan serbuk
= Zona bening – zona cakram
Zona Cakram
= 5 – 3
3
Dari pengamatan terlihat bahwa pada campuran pati, gliserol dan serbuk
mempunyai indikasi sedikit bersifat antiseptik terhadap bakteri E.Coli. Sifat
antiseptik ini diduga berasal dari serbuk batang ubi kayu yang terdiri dari banyak
campuran senyawa-senyawa organik baik itu yang bersifat metabolit sekunder