• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Mikrobiologi Dan Biodegradasi Edible Film Berbasis Pati Ubi Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Mikrobiologi Dan Biodegradasi Edible Film Berbasis Pati Ubi Kayu"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI

EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU

(2)

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI

EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Kimia pada Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

EMMA KEMALASARI

087006009/KM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN

ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU

Nama Mahasiswa : Emma Kemalasari

Nomor Pokok : 087006009

Program Studi : Kimia

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D) (Drs. Darwin Yunus Nasution, M.Si) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D) (Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 24 Maret 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D

Anggota : 1. Drs. Darwin Yunus, M.Si

2. Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil

3. Prof. Dr. Harlem Marpaung, M.Sc

(5)

PERNYATAAN

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI

EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2010 Penulis,

Emma Kemalasari

(6)

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI

EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pembuatan edible film dari pati ubi kayu, pemlastis gliserol dan penambahan serbuk batang ubi kayu sebagai bahan pengisi berdasarkan metoda Casting yang menggunakan prinsip Gelatinisasi dari 10 g pati ubi kayu, 1 g gliserol, 100 g air dan 0,5 g serbuk batang ubi kayu.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki biodegradasi edible film pati ubi kayu dalam tanah sampah, tanah kebun dan pasir pantai, dan dalam media

Potatoe Dextro Agar yang ditanamkan jamur A. Niger kemudian menguji

toksisitasnya dalam media E. Coli. Uji biodegradasi dalam pasir, tanah kebun, tanah sampah diamati selama 3 hari dengan persentase perubahan massa film masing-masing 29,71%; 34,92%; 51,71% untuk film yang mengandung serbuk dan 25,53%; 33,44%; dan 40,42% untuk film tanpa serbuk. Uji biodegradasi film selama 3 hari pada media PDA yang ditanamkan jamur A. Niger didapat perubahan massa 54,86% untuk film yang mengandung serbuk dan 26,70% untuk film yang tidak mengandung serbuk. Data ini didukung oleh hasil uji FTIR dan SEM. Untuk uji toksisitas didapat zona bening pada pati yang mengandung serbuk sebesar 5 mm sehingga didapatkan zona toksisitas sebesar 0,67 mm.

(7)

MICROBIOLOGY CHARACTERISTICS AND EDIBLE FILM BIODEGRADATION OF CASSAVA STARCH BASED

ABSTRACT

Research has been done making edible films from cassava starch, glycerol and the addition pemlastis stems of cassava powder as filler material based on Casting method which uses the principle Gelatuation of 10 g cassava starch, 1 g glycerol, 100 g of water and 0.5 g of powdered stem cassava. The purpose of this study was to investigate the biodegradation edible cassava starch films in the waste land, garden soil and sand beaches, and in the Potatoe Dextro Agar medium mushrooms infused A. Niger and toxicity testing in the media E. Coli. Biodegradation tests in the sand, garden soil, waste soil were observed for 3 days with the percentage change in the mass of film of 29.71%; 34.92%; 51.71% for films containing powder of 25.53%; 33.44 %; and 40.42% respectively for films without powder. Biodegradation test film for 3 days on PDA medium mushrooms infused A. Niger gained 54.86% of mass change for the film containing powder and 26.70% for films that do not contain powder. These data are supported by test results of FTIR and SEM. For toxicity tests it was found a clear zone on the starch-containing powders of 5 mm and therefore the zone of toxicity obtained of 0.67 mm.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi

Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul "Karakteristik Mikrobiologis dan Biodegradasi

Edible Film Berbasis Pati Ubi Kayu" .

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Gubernur

Sumatera Utara c.q Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang memberikan

beasiswa kepada penulis sebagai mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera utara.

Dengan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. dr. Chairuddin P.

Lubis, DTM&H, Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti pendidikan. Kepada Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc, dan Ketua Program Studi Kimia

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi

mahasiswa Program Magister pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

ditujukan kepada:

1. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D selaku Pembimbing Utama dan Drs.

Darwin Yunus, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang setiap saat

dengan penuh perhatian selalu memberikan bimbingan dan saran dalam

penyusunan tesis ini.

2. Bapak Drs. Bahagia Kepala SMA Negeri 10 Medan yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi

(9)

3. Kepala Laboratorium Mikrobiologi BARISTAN Medan beserta staf atas

fasilitas dan sarana yang diberikan.

4. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Medan 2008 yang telah banyak membantu penulis

selama menjalankan perkuliahan dan penelitian.

5. Keluarga tercinta: kedua orang tua penulis Ayahanda (Alm) Drs. H. Fardi

Bustami dan Ibu Hj. Ernawati atas berkat doa, motivasi dan pengorbanannya.

6. Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada Suami terkasih

Mahmudin Hamzah Sinaga, S.Sos dan anakku tersayang Hisan Hamzah

Sinaga beserta Ibu mertua. Dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan

perhatian memberikan doa restu serta dorongan baik materi maupun moril

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Beserta semua pihak yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan usulan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari yang

diharapkan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang

membangun demi terciptanya penelitian yang lebih sempurna di kemudian

hari.

Medan, 29 Mei 2010

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir tanggal 26 Juni 1979, di Medan, anak keempat dari enam

bersaudara, anak dari (Alm) Drs. H. Fardi Bustami dan Hj. Ernawati.

Penulis menjalani pendidikan Sekolah Dasar Negeri 066042 Medan tahun

1985-1991. Sekolah Menengah Pertama Negeri 16 Medan tahun 1991-1994. Sekolah

Menengah Atas Negeri 11 Medan tahun 1994-1997.

Pada tahun 1997 Penulis diterima pada jurusan S-1 Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang dan lulus tahun

2002.

Pada tahun 2006 ditempatkan menjadi Guru PNS di SMA Negeri 10 Medan

sampai sekarang. Pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan S-2 Program Studi Kimia

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (bantuan beasiswa dari

Bappeda Provinsi Sumatera Utara) dan lulus serta memperoleh gelar Magister Sains

(11)

DAFTAR ISI

2.2. Ubi Kayu (Mannihot esculenta)... 8

2.3. Pati... 10

2.4. Gliserol... 13

2.5. Pemanfaatan Gliserol dan Turunannya... 14

2.6. Plastisasi Polimer... 16 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 21

3.1. Alat dan Bahan... 21

3.1.1. Alat... 21

3.1.2. Bahan... 21

3.2. Metode Pembuatan... 22

3.3. Prosedur Penelitian... 23

3.3.1. Pembuatan Spesimen Pencampuran Pati Ubi Kayu dengan Gliserol dan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu... 23

3.4. Perlakuan Uji Biodegradasi... 23

3.4.1. Uji Biodegradasi Film Spesimen dalam Tanah... 23

(12)

3.4.3. Uji Toksisitas Pemlastis terhadap Bakteri Kolioform

E.Coli... 25

3.4.4. Analisa FTIR... 25

3.4.5. Analisa SEM... 26

3.5. Bagan Penelitian... 28

3.5.1. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Tanah... 28

3.5.2. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Media Aspergillus Niger... 29

3.5.3. Bagan Alir Uji Toksisitas Edible Film Pati Ubi Kayu... 30

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

4.1. Penyediaan Sampel Uji Biodegradasi Edible Film... 31

4.2. Uji Biodegradasi Edible Film dalam Tanah... 31

4.3 Uji Biodegradasi Edible Film dalam Media Bermikroba... 35

4.4 Uiji Sifat Toksisitas Edible Film terhadap Perkembangan Bakteri E.coli... 41

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 44

5.1. Kesimpulan... 44

5.2. Saran... 45

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Persentase Perubahan Massa Film Selama 3 Hari pada Media

Tanah………

.

32

4.2. Hasil Analisis Gugus Fungsi Spesimen Campuran dari Spektra

FTIR………. 33

4.3. Persentase Perubahan Massa Spesimen Uji Selama 3 Hari pada

Media PDA yang Ditanamkan Jamur A. Niger……….. 36

4.4. Hasil Analisis Gugus Fungsi Spesimen dari Spektrum FTIR

Setelah Biodegradasi dalam Media A. Niger…..……….. 36

4.5. Data Pengamatan Zona Bening dengan Menggunakan Bakteri

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Struktur Amilosa... 11

2.2. Struktur Amilopektin... 12

2.3. Gliserolisis Lemak……….. 14

4.1. (a). Foto yang Ditanam pada Tanah Sampah Selama 3 Hari

(b). Foto yang Ditanam pada Tanah Kebun Selama 3 Hari…..……… 32

4.2. (a). Spesimen Film dengan Serbuk dalam Media A. Niger

(b). Spesimen Film tanpa Serbuk dalam Media A. Niger... 35

4.3. Struktur Molekul Amilosa ……….... 38

4.4. Penguraian Amilosa Menjadi Maltosa dan Maltotriosa….……… 39

4.5. Pembentukan Glukosa dan Maltosa dari Maltotriosa.…………. 39

4.6. (a). Permukaan Film Tanpa Serbuk Sebelum Biodegradasi

(b). Permukaan Setelah Biodegradasi oleh Jamur A. Niger…..………. 40

4.7. (a). Foto Permukaan Film dengan Serbuk Sebelum Biodegradasi

(b). Foto Permukaan Setelah Biodegradasi oleh A. Niger……….. 40

4.8. (a). Foto Permukaan Campuran Pati, Gliserol Setelah Biodegradasi pada Tanah Kebun

(b). Foto Permukaan Spesimen Campuran Pati, Gliserol, Serbuk

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. a. Spektrum FTIR Spesimen Pati, Gliserol Sebelum

Biodegradasi

b. Spektrum FTIR Edible Film dengan Serbuk Sebelum

Biodegradasi………. 48

2. a. Spektrum Edible Film dengan Serbuk Setelah

Biodegradasi dalam Tanah Sampah Selama 3 Hari b. Spektrum Edible Film Tanpa Serbuk Setelah

Biodegradasi dalam Tanah Sampah Selama 3 Hari………. 50

3. a. Spektrum FTIR Edible Film dengan Serbuk Setelah

Biodegradasi yang Diinkubasi Selama 3 Hari pada PDA yang Diinokulasikan A. Niger

b. Spektrum FTIR Edible Film Tanpa Serbuk Setelah

Biodegradasi yang Diinkubasi Selama 3 Hari pada PDA

(16)

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGI DAN BIODEGRADASI

EDIBLE FILM BERBASIS PATI UBI KAYU

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pembuatan edible film dari pati ubi kayu, pemlastis gliserol dan penambahan serbuk batang ubi kayu sebagai bahan pengisi berdasarkan metoda Casting yang menggunakan prinsip Gelatinisasi dari 10 g pati ubi kayu, 1 g gliserol, 100 g air dan 0,5 g serbuk batang ubi kayu.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki biodegradasi edible film pati ubi kayu dalam tanah sampah, tanah kebun dan pasir pantai, dan dalam media

Potatoe Dextro Agar yang ditanamkan jamur A. Niger kemudian menguji

toksisitasnya dalam media E. Coli. Uji biodegradasi dalam pasir, tanah kebun, tanah sampah diamati selama 3 hari dengan persentase perubahan massa film masing-masing 29,71%; 34,92%; 51,71% untuk film yang mengandung serbuk dan 25,53%; 33,44%; dan 40,42% untuk film tanpa serbuk. Uji biodegradasi film selama 3 hari pada media PDA yang ditanamkan jamur A. Niger didapat perubahan massa 54,86% untuk film yang mengandung serbuk dan 26,70% untuk film yang tidak mengandung serbuk. Data ini didukung oleh hasil uji FTIR dan SEM. Untuk uji toksisitas didapat zona bening pada pati yang mengandung serbuk sebesar 5 mm sehingga didapatkan zona toksisitas sebesar 0,67 mm.

(17)

MICROBIOLOGY CHARACTERISTICS AND EDIBLE FILM BIODEGRADATION OF CASSAVA STARCH BASED

ABSTRACT

Research has been done making edible films from cassava starch, glycerol and the addition pemlastis stems of cassava powder as filler material based on Casting method which uses the principle Gelatuation of 10 g cassava starch, 1 g glycerol, 100 g of water and 0.5 g of powdered stem cassava. The purpose of this study was to investigate the biodegradation edible cassava starch films in the waste land, garden soil and sand beaches, and in the Potatoe Dextro Agar medium mushrooms infused A. Niger and toxicity testing in the media E. Coli. Biodegradation tests in the sand, garden soil, waste soil were observed for 3 days with the percentage change in the mass of film of 29.71%; 34.92%; 51.71% for films containing powder of 25.53%; 33.44 %; and 40.42% respectively for films without powder. Biodegradation test film for 3 days on PDA medium mushrooms infused A. Niger gained 54.86% of mass change for the film containing powder and 26.70% for films that do not contain powder. These data are supported by test results of FTIR and SEM. For toxicity tests it was found a clear zone on the starch-containing powders of 5 mm and therefore the zone of toxicity obtained of 0.67 mm.

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan

edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film

untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan

memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Ubi-ubian, serealia, dan

biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian yang

sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Liu, 2005

dalam Cui, 2005). Pati singkong sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam

industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang

cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006).

Dalam pembuatan edible film, diperlukan penambahan gliserol yang berfungsi

sebagai plastisiser sehingga memberikan sifat plastis pada edible film yang

dihasilkan. Ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Renny Octaviyanti Sopyan

Putri dengan Judul Pengaruh Penambahan Gliserol terhadap Sifat Fisik dan

Mekanik Edible Film Berbahan Dasar Tepung Koro Pedang.

Penelitian tentang pemanfaatan pati ubi kayu sebagai bahan plastik

biodegradable telah dilakukan oleh lima mahasiswa Jurusan Ilmu dan Teknologi

Pangan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni Mujiono,

(19)

bimbingan dosen Feri Kusnandar, dengan mengambil judul Aplikasi Edibel Film

Komposit dari Pati Ubi Kayu sebagai Kemasan Ramah Lingkungan. Oleh tim IPB,

penelitian edible film secara spesifik dilakukan untuk mencari pengganti plastik

pembungkus bumbu kering, sebagaimana terdapat dalam berbagai jenis mi instan.

Dengan plastik biodegradable, bungkus bumbu plastik yang yang selama ini terbuang

menjadi sampah, dapat langsung dicemplung, ikut dimasak dan dimakan. Selain pati

ubi kayu, untuk membuat edible film dibutuhkan karagenan, lilin madu (beeswax),

dan gliserol. Diolah dari rumput laut, karagenan berfungsi sebagai bahan penstabil

sistem emulsi produk makanan. Komposisi keempat bahan saat dicampurkan ke

dalam air adalah 0,7%, pati ubi kayu, 2,5% karagenan, 0,5% rumah madu, dan 1%

gliserol. Edible film dibuat melalui beberapa tahap. Pertama, air dipanaskan hingga

mencapai suhu 40 derajat Celsius. Karagenan dimasukkan dan disusul kemudian pati

ubi kayu. Suhu lantas dinaikkan menjadi 90 derajat Celsius dan gliserol dimasukkan.

Sesudah itu, larutan didinginkan hingga 50 derajat Celsius, kemudian dinaikkan lagi

ke 64 derajat Celsius. Terakhir, masukkan lilin madu. Tahap berikutnya, larutan

dipanaskan hingga mendidih, dan kemudian diaduk. Selang beberapa lama, larutan

dituang ke cetakan (plate) untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 50

derajat Celsius selama satu jam. Sebagai tahap penghabisan, hasil cetakan

dikeluarkan dan dibiarkan berada pada suhu ruangan hingga kering. Sesudahnya,

bumbu dimasukkan dan lembar cetakan di-seal sebagaimana plastik konvensional.

Yusmarlela (2009), telah melakukan penelitian dengan judul Studi

(20)

Batang Ubi Kayu. Mengunakan pati ubi kayu dalam pembuatan film layak makan

dengan penambahan gliserol sebagai plastisiser.

Maulana Karnawidjaja Wahyu (2009) mengambil judul Pemanfaatan Pati

Singkong sebagai Bahan Baku Edible Film. Edible film berbasis pati singkong

dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahan

kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga

25-44 hari.

Hari Eko Irianto, Muhammad Darmawan dan Endang Mindarwaty (2006),

dengan judul penelitian Pembuatan Edible Film dari Komposit Karaginan Tepung

Tapioka dan Lilin Lebah (Beeswax). Edible film terbaik dihasilkan dari perlakuan

penambahan karaginan 2,5%, tepung tapioka 0,3% dan lilin lebah 0,3%.

Hasil penelitian Helmi Haris (2001) Kemungkinan Penggunaan Edible Film

dari Pati Tapioka untuk Pengemasan Lempuk. Menghasilkan edible film dibuat

berdasarkan pada metode Mendoza yang dimodifikasi dengan menambahkan gliserol,

karboksimetil selulosa dan lebah lilin.

Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia

pada tahun 2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat kandungan pati pada singkong

sebesar 90%, maka pada tahun tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati

singkong. Produksi pati yang tinggi, penanamannya yang mudah, dan mudah

didapatkan di Indonesia menjadikan singkong sangat potensial dijadikan sebagai

(21)

Batang ubi kayu selama ini kurang dimanfaatkan, biasanya hanya

dimanfaatkan untuk peremajaan pohon ubi kayu. Kondisi demikian membuat peneliti

tertarik untuk memanfaatkan serbuk batang ubi kayu sebagai pengisi edible film pati

ubi kayu yang dapat terbiodegradasi oleh lingkungan sehingga tidak menimbulkan

limbah dan ramah lingkungan.

1.2. Permasalahan

1. Bagaimana degradasi edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi

kayu dalam media tanah dan media bermikroba?

2. Bagaimana toksisitas edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi

kayu terhadap mikroba (E.coli) dengan dalam media Kromokal?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menyelidiki degradasi edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi

kayu dalam tanah dan media bermikroba?

2. Menyelidiki toksisitas edible film pati ubi dengan pengisi serbuk batang ubi

kayu terhadap mikroba (E.coli) dengan dalam media NA?

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana

menghasilkan film kemasan yang dapat dihancurkan secara alami, ramah lingkungan

(22)

1.5. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dibatasi pada:

1. Uji biodegradasi penguburan tanah, di mana tanah berpasir diambil dari

daerah pantai Belawan, tanah kebun diambil dari areal perkebunan Tembung

dan tanah sampah diambil dari lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Mandala Medan.

2. Uji biodegradasi dalam media bermikroba mempergunakan jamur Aspergilus

Niger.

3. Uji toksisitas terhadap bakteri kolioform E.coli.

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi BARISTAN Medan,

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Edible Film

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami

penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi.

Penurunan kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan

temperatur. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut

adalah dengan pengemasan yang tepat (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006).

Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan dengan

bahan pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan

yang memiliki kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan dan

melindungi makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan

keamanannya dapat dipertahankan (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006). Menurut

Robertson (1993), bahan pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas,

logam, dan kaca.

Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan

ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Sekitar 60%

dari poliethilen dan 27% dari polyester diproduksi untuk membuat bahan pengemas

yang digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan material sintetis

tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan (Alvin dan Gil, 1994 dikutip

(24)

dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan

(biodegradable) (Henrique et. al., 2007). Adanya persyaratan bahwa kemasan yang

digunakan harus ramah lingkungan maka penggunaan kemasan edible (edible

packing) adalah suatu yang sangat menjanjikan.

Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan

edible (edible packaging). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat

melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat

langsung dimakan serta aman bagi lingkungan (Kinzel, 1922). Edible packaging

dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi sabagai pelapis

(edible coating) dan yang berbentuk lambaran (edible film).

Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan,

dibentuk di atas makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa

(misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat pelarut) atau sebagai carrier bahan

makanan atau aditif dan untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).

Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan

seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah

kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu,

mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen

alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan

penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Keuntungan penggunaan

(25)

simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena edible film ini dapat

dimakan bersama produk yang dikemasnya.

Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil

pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan

sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetis (plastik).

Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk tepung, pati

atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah polisakarida (karbohidrat),

polipeptida (protein) dan lipida. Ketiganya mempunyai sifat termoplastik, sehingga

mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai film kemasan. Keunggulan

polimer hasil pertanian adalah bahannya yang berasal dari sumber yang terbarui

(renewable) yang dapat dihancurkan secara alami (biodegradable).

2.2. Ubi Kayu (Mannihot esculenta)

Ubi kayu termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas (mudah

patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal

tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi

kayu bisa mencapai ketinggian 1-4 meter. Pemeliharaannya mudah dan produktif.

Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah yang ketinggian 1200 meter di atas

permukaan air laut.

Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai

telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun

(26)

Ubi kayu dikenal dengan nama Cassava (Inggris), Kasapen, sampeu, kowi

dangdeur (Sunda), Ubi kayu, singkong, ketela pohon (Indonesia), Pohon bodin, ketela

bodin, tela jandral, tela kapos (Jawa). Ubi kayu merupakan makan pokok di beberapa

negara Afrika. Di samping sebagai bahan makanan, ubi kayu juga digunakan sebagai

bahan baku industri dan pakan ternak. Ubi kayu mengandung air sekitar 60%. Pati

25-35% serta protein, mineral, serat, kalsium dan fosfor. Ubi kayu merupakan sumber

energi yang lebih tinggi dibandingkan padi, jagung, ubi jalar, dan sorgun.

Klasifikasi ubi kayu adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi:

Spermatophyta, Sub Divisi: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo:

Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus: Manihot, Spesies: Manihot utilissima

Pohl: Manihot esculenta Crantz sin (Prihatman, 2000).

Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), spesies dari singkong

dibedakan berdasarkan kandungan HCN, yaitu jenis pahit (Manihot esculenta

Crantz.; M. utilissma Pohl.) dan manis (M. dulcus Baill.; M. palmatta Muell.; M. aipi

Pohl.).

Menurut Wankhede et. al., (1998) dalam Salunkhe dan Kadam (1998), ubi

kayu merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Ubi

singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai

komponen utamanya. Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), ubi kayu relatif

kaya akan kalsium dan asam askorbat (vitamin C). Namun ubi ini tidak dapat

langsung dikonsumsi dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti

(27)

lainnya dengan tujuan untuk detoksifikasi atau membuang HCN yang bersifat

mematikan yang dikandung dari semua varietas ubi kayu.

Ubi kayu mempunyai komposisi kandungan kimia (per 100 gram) antara lain:

Kalori 146 kal Protein 1,2 gram Lemak 0,3 gram Hidrat arang 34,7 gram

Kalsium 33 mg – Fosfor 40 mg Zat besi 0,7mg Vitamin B1 0,06mg Vitamin C

30 mg – dan 75% bagian buah dapat dimakan. Daun ubi kayu mengandung (per 100

gram): – Vitamin A 11000 SI Vitamin C 275 mg Vitamin B 1 0,12 mg Kalsium

165 mg – Kalori 73 kal Fosfor 54 mg Protein 6,8 gram Hidrat arang 13 gram

Zat besi 2 mg – dan 87% bagian daun dapat dimakan. Kulit batang ubi kayu

mengandung Pati Tanin, enzim Peroksidase, Glikosida dan Kalsium Oksalat

(Martono, dkk, 2005).

2.3. Pati

Pati merupakan karbohidrat, kandungan utama pada tanaman tingkat tinggi

yang diproduksi melalui fotosintesis dalam tanaman hijau. Pati diperoleh dalam

seluruh organ tanaman tingkat tinggi yang disimpan dalam biji, umbi, akar dan

jaringan batang tanaman sebagai cadangan energi untuk masa pertumbuhan dan

pertunasan. Selain sebagai bahan makanan pati juga digunakan dalam non-food,

diantaranya perekat, detergen, dalam industri tekstil dan polimer. Pati merupakan

polisakarida alami yang dapat diperbaharui (renewable), mudah rusak

(28)

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan á – glikosida dan

merupakan rantai gula panjang. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya tergantung

pada panjang rantai atom C nya, apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya

(Winarno, 1988).

Untuk menganalisa adanya pati digunakan iodin, karena pati yang berikatan

dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Pati merupakan granula berwarna putih

dengan diameter 2-100 µ m (Whistler, 1984). Pati merupakan polimer karbohidrat

dari unit anhidroglukosa, (C6H10O5)x terdiri dari dua polisakarida dengan struktur

tertentu yaitu amilosa dan amilopektin.

Gambar 2.1. Struktur Amilosa

Sifat-sifat dari amilosa:

1. Ikatannya linear (lurus).

2. Larutan dalam air dingin dalam batas tertentu.

3. Berat molekul rata-rata 10000 – 60000 (10³-60³).

(29)

Gambar 2.2. Struktur Amilopektin

Sifat-sifat dari amilopektin:

1. Ikatannya bercabang.

2. Tidak larut dalam air dingin.

3. Mempunyai berat molekul 60000-100000 (60³-104).

4. Ikatan antar molekul á – D glukosa dihubungkan oleh ikatan 1,4 dan ikatan

1,6 pada percabangan.

Amilosa merupakan polimer isotatik linier dari á – d glukosa yang saling

berikatan pada posisi 1, 4 sedangkan amilopektin merupakan polimer bercabang

dengan rantai pendek dari á– d glukosa yang saling berikatan melalui á (1,6), Satu

unit anhidroglukosa terdiri atas satu OH primer dan dua OH sekunder dan satu gugus

aldehid tereduksi dalam bentuk hemiastal, bertambahnya hidroksil merupakan sifat

hidrofilik sehingga memberikan kelembapan yang tinggi dan terdispersi di dalam air.

(30)

sebagai salah satu cara mengatasi masalah tersebut. Sifat granula pati adalah tidak

larut dalam air dingin tetapi mengalami Swilling (mengembang) (Baymun, 1985).

2.4. Gliserol

Salah satu alkil trihidrat yang penting adalah gliserol (propa- 1,2,3 –triol)

CH2OHCHOHCH2OH. Senyawa ini kebanyakan ditemui hampir semua lemak

hewani dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat (Austin,

1985).

Gliserol adalah senyawa yang netral, dengan rasa manis tidak berwarna,

cairan kental dengan titik lebur 20°C dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu

290°C, gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam

minyak. Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding

dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik

(Anonymous, 11, 2006).

Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan

senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan

pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya

(Austin, 1985).

Gliserol banyak dihasilkan dari industri di Sumatera Utara, merupakan bahan

baku yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai

ekonomis tinggi. Gliserol dapat diperoleh dari pemecahan ester asam lemak dari

(31)

Gliserol dapat digunakan untuk gliserolisis lemak atau metil ester untuk

membentuk gliserolat monogliserida, digliserida dan trigliserida. Gliserol

mengandung tiga gugus hidroksi yang terdiri dari dua gugus alkohol primer dan satu

gugus alcohol sekunder. Atom karbon yang terdapat dalam gliserol dapat ditunjukkan

sebagai atom karbon á, â dan ã (Nouriedden, dkk, 1992).

Gambar 2.3. Gliserolisis Lemak

2.5. Pemanfaatan Gliserol dan Turunannya

Dewasa ini, sumber utama gliserol komersil diperoleh dari pengolahan

minyak nabati, sebagai produk samping industri oleokimia dan juga dari industri

pertokimia. Gliserol yang diperoleh ini hanya sebagai bahan baku industri dan masih

merupakan sumber komoditas yang melimpah. Gliserol umumnya digunakan pada

pembuatan bahan peledak, bahan pembasah atau pengemulsi produk kosmetik dan

(32)

berbasis gliserol, maka harga jual komoditas gliserol masih tetap rendah, kecuali bila

kebutuhan bahan peledak meningkat.

Pada tahun 2004, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan telah

membangun pabrik biodisel berbahan baku minyak kelapa sawit mentah dengan

dalam industri kapasitas 2 ton/hari dengan rendemen mencapai lebih dari 95%.

Namun kelayakan ekonomi pabrik biodisel ini masih rendah, karena residu gliserol

yang dihasilkan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Melalui penelitian kerja

sama antara PPKS dan USU, Herawan, dkk (2006) telah berhasil mengolah residu

gliserol pabrik biodisel untuk mendapatkan gliserol komersial dengan kadar mencapai

88%.

Dalam hal lain, sehubungan dengan stuktur gliserol yang mempunyai gugus

alkohol primer dan gugus alkohol sekunder, maka akan memberikan banyak

kemungkinan terjadinya reaksi untuk mengembangkan senyawa turunan alkohol ini

(Finar, 1980).

Misalnya, dengan menambahkan gugus asetal pada stuktur gliserol akan

dihasilkan senyawa surfaktan yang dapat terdegradasi oleh pengaruh bahan kimia

atau dalam air dan oleh kegiatan mikroba (Piasecki, 2000).

Secara umum senyawa poliol (polihidroksi termasuk gliserol) dari berbagai

sumber banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industi seperti dalam industri

polimer, senyawa poliol banyak digunakan sebagai plastisiser maupun pemantap.

Senyawa poliol ini dapat diperoleh dari hasil industri petrokimia, maupun

(33)

Dibandingkan dengan hasil industri petrokimia, senyawa poliol dari minyak nabati

dan industri oleokimia dapat diperbaharui, sumber mudah diperoleh, dan juga akrab

dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam (Goudung, dkk, 2004).

2.6. Plastisasi Polimer

Pembuatan film layak makan dari pati (starch) memerlukan campuran bahan

aditif untuk mendapatkan sifat mekanis yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu perlu

ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini

dikenal dengan plastisasi, sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis.

Di samping itu pemlastis dapat pula meningkatkan elastisitas bahan, membuat lebih

tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang-kadang disebut

juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa plastisasi akan

mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanisme film seperti kekuatan tarik, elastisitas

kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.

Adapun pemlastis yang digunakan adalah gliserol, karena gliserol merupakan

bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat diperbaharui dan juga akrab

dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam.

Proses plastisasi pada prinsipnya adalah dispersi molekul pemlastis kedalam

fase polimer. Jika pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses

dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer-

(34)

Sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi yang kompatibel ini akan

merupakan fungsi distribusi dari sifat komposisi pemlastis yang masing-masing

komponen dalam sistem. Bila antara pemlastis dengan polimer tidak terjadi

percampuran koloid yang tak mantap (polimer dan pemlastis tidak kompatibel) dan

menghasilkan sifat fisik polimer yang berkulitas rendah. Karena itu, ramalan

karakteristik polimer yang terplastisasi dapat dilakukan dengan variasi komposisi

pemlastis.

Interaksi antara polimer dengan pemlastis dipengaruhi oleh sifat affinitas

kedua komponen, jika affinitas polimer-pemlastis tidak terlalu kuat maka akan terjadi

plastisasi antara struktur (molekul pemlastis hanya terdistribusi diantara struktur).

Plastisasi ini hanya mempengaruhi gerakan dan mobilitas struktur.

Jika terjadi interaksi polimer-polimer cukup kuat, maka molekul pemlastis

akan terdifusi kedalam rantai polimer (rantai polimer amorf membentuk satuan

struktur globular yang disebut (bundle) menghasilkan plastisasi infrastruktur intra

bundle. Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer dan

mempengaruhi mobilitas rantai yang dapat meningkatkan pemlastis melebihi batas

ini, maka akan terjadi sistem yang heterogen dan plastisasi berlebihan, sehingga

plastisasi tidak efisien lagi (Wirjosentono, 1995).

2.7. Degradasi Polimer

Degradasi polimer merupakan suatu proses kerusakan atau penurunan mutu

(35)

ikatan rantai. Selama proses pengolahan menjadi barang setengah jadi atau barang

jadi, bahan polimer mengalami degradasi secara mekanis dan panas. Pada

pemakaiannya menjadi barang jadi, bahan polimer ini juga mengalami degradasi oleh

pengaruh radiasi ultra violet dalam sinar matahari. Di samping itu kondisi lingkungan

seperti adanya oksigen atau bahan-bahan kimia oksidator turut pula mempengaruhi

kecepatan degradasi.

Jika bahan baku polimer dikenakan terhadap kondisi tertentu maka akan

mengalami degradasi. Perubahan yang diamati selama degradasi dapat dihasilkan dari

perubahan struktur bahan polimer, kehilangan atau perubahan dalam setiap bahan

senyawa dan perubahan sifat-sifat mekanis (Kudoh, 1996).

Valdya (1994) menyelidiki biodegradasi campuran polimer yang mempunyai

gugus fungsi dan polimer alam (misalnya: Karbohidrat, protein). Selama

pencampuran, kedua polimer dapat mengalami reaksi kimia dengan polimer yng

dapat terbiodegradasi dan menghasilkan ikatan diantara kedua polimer.

2.8. Mikroba Tanah

Menurut Salle (1984), bakteri selulotik tanah dibedakan atas empat kelompok

yaitu mesofilik aerobik, termofilik aerobik, mesofilik anaerobik dan termofilik

anaerobik. Lebih lanjut Alexander (1997) dan Salle (1984) menjelaskan bahwa

bakteri selulotik yang mesofilik aerobik meliputi anggota-anggota dari genus

celvacicula, celvibrio, cellalomonas, sporocytophage, pseudomonas, cytophaga dan

(36)

Kisaran jenis mikroorganisme dalam tanah sangat luas yang terdiri dari

bakteri, virus, protozoa, dan fungi, dengan populasi bakteri merupakan populasi

mikroorganisme yang dominan. Jumlahnya dapat mencapai 2,5 juta sel/gram,

sedangkan tingkat pertumbuhannya dalam tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor

yaitu: jumlah dan macam zat hara, kelembaban, tingkat aerasi, temperatur, pH dan

perlakuan pada tanah. Pada tanah yang ber pH asam populiasi fungi dominan,

sedangkan pada tanah yang digenangi air mikroba anaerob lebih dominan.

Panas, konsentrasi ion hidrogen (pH), adanya air, oksigen dan cahaya

mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Enzim dapat mempercepat reaksi

kimiawi. Suhu di mana enzim berfungsi sempurna disebut suhu optimum. Bila suhu

ini menyimpang dari suhu optimum maka aktivitas enzim menurun.

Kisaran suhu untuk aktivitas enzim menentukan sifat pertumbuhan

mikroorganisme. Suhu tertinggi di mana mikroorganisme masih dapat tumbuh

disebut suhu maksimum. Sedangkan minimum adalah suhu terendah di mana

mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Kisaran suhu tidak saja mempengaruhi aktivitas

enzim, namun mempengaruhi sifat fisik membran sel. Permeabilitas membran sel

tergantung pada kandungan dan jenis lipida. Peningkatan 5o – 10o C di atas suhu

optimum dapat menyebabkan proses lisis dan kematian mikroorganisme.

Lazimnya, mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 7,0 namun ada juga yang

dapat tumbuh pada pH 2,0 dan pH 10,0. Fungi dapat tumbuh pada kisaran pH cukup

(37)

2.9. Toksikologi

Secara sederhana dan ringkas, toksikologi didefinisikan sebagai hakikat dan

mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan berbagai sistem

biologik lainnya. Toksikologi sangat luas cakupannya, toksikologi menangani

penelitian toksisitas bahan-bahan kimia yang digunakan (1) di bidang kedokteran

untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapeutik, (2) dalam industri makanan

sebagai zat tambahan langsung maupun tak langsung (3) dalam pertanian sebagai

pestisida, zat pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan dan zat tambahan makanan

hewan dan (4) dalam industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara

bagi pelarut serta banyak jenis bahan kimia lainnya (Frank, 1994).

Toksisitas diartikan sebagai racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan

apabila masuk kedalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya (Soemirat,

2003).

Bahan antimikrobial yang mampu menghambat atau mematikan berbagai

mikroorganisme disebut antimikrobial dengan kisaran luas (brotspektrum

antimikrobial). Sebaliknya bahan antimikrobial yang dapat menghambat atau

mematikan beberapa mikroorganisme disebut antimikrobial dengan kisaran sempit

(38)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan

3.1.1. Alat

1. Neraca Analitik Sartorius

2. Magnetic Stirrer Ika – Ret BC

3. Termometer Ika – Ret BC

4. Alat-alat Gelas Pyrex

5. Seperangkat Alat FT-IR Shimadzu FTIR – 8201PC

6. Seperangkat Alat SEM

7. Petridis

8. Sprayer

9. Auto Clave

10.Tabung Reaksi

11.Jarum Ose

3.1.2. Bahan

1. Pati ubi kayu 325 mesh

2. Gliserol pa

3. Serbuk Batang Ubi Kayu 325 mesh

4. Air

(39)

6. Alkohol 70%

7. Media NA

8. Biakan e.coli

9. Biakan Aspergillus Niger

3.2. Metode Pembuatan

Metode casting merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk

membuat film. Pada metode ini protein atau polisakarida didispersikan pada

campuran air dan plasticizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan dilakukan

pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran tadi dipanaskan dalam beberapa

waktu dan dituangkan pada casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan

mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan dan waktu tertentu. Film yang

telah mengering dilepaskan dari cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan

pengujian terhadap karakteristik yang dihasilkan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui,

2006).

Pembuatan edible film berbasis pati pada dasarnya menggunakan prinsip

gelatinisasi. Dengan adanya penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu

yang tinggi, maka akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi mengakibatkan ikatan

amilosa akan cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses

pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai akibat dari lepasnya air,

sehingga gel akan membentuk film yang stabil (Careda, Henrique, Oliveira, Ferraz,

(40)

Menurut Sarmento (1997) dikutip Careda et. al., (2000), suhu dimulainya

gelatinisasi pati yang digunakan pada suhu 600C hingga 65,80C, dan pada suhu

61,20C hingga 66,50C merupakan rentan suhu pengentalan. Pada suhu pendinginan

hingga 500C akan sedikit menaikkan kekentalan, kecenderungan untuk terjadi

retrogradasi kecil, dan juga kecil kemungkinannya terjadi kristalisasi. Ketebalan film

dapat diatur dengan memperhatikan rasio luas cetakan dengan larutan edible film

yang digunakan.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pembuatan Spesimen Campuran Pati Ubi Kayu dengan Gliserol dan dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu

Sebanyak 10 gram pati ubi kayu ditambahkan dengan 100 gram air diaduk

hingga merata lalu ditambahkan 1 gram gliserol. Kemudian dipanaskan pada suhu

100° C sampai campuran mengental. Setelah campuran mengental diletakkan di atas

kaca berukuran 20 x 20 cm, matrik dikering anginkan selama 3 sampai 4 hari. Hal

yang sama dilakukan dengan penambahan 0,5 g serbuk batang ubi kayu sebelum

pemanasan. Hasil diuji biodegradasi dan toksisitasnya.

3.4. Perlakuan Uji Biodegradasi

3.4.1. Uji Biodegradasi Film Spesimen dalam Tanah

Uji degradasi di dalam tanah dimulai dengan mencuci masing-masing

(41)

5 menit, dikeringkan serta ditimbang menggunakan neraca analitis kemudian di kubur

dalam sampah. Setelah 3 hari spesimen uji diambil dan dibersihkan, dicuci dengan air

steril, dibilas dengan alkohol 70%, dikeringkan ditimbang kembali dengan

menggunakan neraca analitis. Uji biodegradasi sampel dalam tanah ini diamati

berdasarkan perubahan massa yang dihitung dalam persen (%), Kemudian diamati

morfoliginya dengan menggunakan teknik SEM dan dianalisa gugus fungsinya

dengan FTIR.

3.4.2. Uji Biodegradasi Film Spesimen terhadap Jamur Aspergillus Niger

Sebelum melakukan kerja mikrobiologi, sebaiknya daerah tempat kerja

disterilkan dengan menggunakan desinfektan dan tangan menggunakan anti septik

agar daerah sekitar tempat kerja menjadi steril. Terlebih dahulu kita lakukan preparasi

sampel dengan dipotong dengan ukuran luas 3 x 3 cm2. Kemudian sampel ditimbang

menggunakan neraca analitis. Setelah itu sampel disterilkan dengan direndam dalam

alkohol 70% selama 5 menit. Kemudian direndam kedalam aquades steril selama

menit lalu dikeringkan. Perlakuan ini diulang hingga dua kali. Media PDA yang

sudah steril dituang kedalam petridis. Kemudian diinokulasikan A. Niger keseluruh

permukaan petridis hingga merata. Sampel yang telah dipotong diletakkan di bagian

tengah dari permukaan media PDA. Sampel ditekan-tekan agar lebih melekat ke

permukaan media. Kemudian diinkubasi pada suhu 36o C selama 3 hari. Setelah 3

hari sampel diambil dari media dan disterilkan kedalam alkohol 70% selama 5 menit

lalu direndam kedalam aquades steril selama 5 menit sebanyak 2 kali. Setelah itu

(42)

diamati morfoliginya dengan menggunakan teknik SEM dan dianalisa gugus

fungsinya dengan FTIR.

3.4.3. Uji Toksisitas Pemlastis terhadap Bakteri Kolioform E.coli

Sebelum melakukan kerja mikrobiologi, sebaiknya daerah tempat kerja

disterilkan dengan menggunakan desinfektan dan tangan menggunakan anti septik

agar daerah sekitar tempat kerja menjadi steril. Media NA yang sudah steril dituang

kedalam cawan petri yang telah steril. Kemudian didiamkan hingga memadat.

Suspensi e.coli disiapkan hingga jumlah sel 108 sebanyak 10 ml dengan standar

Mc.Farlan. setelah itu dengan menggunakan cutton swap yang telah steril digoreskan

suspensi biakan e.coli ke seluruh permukaan media NA yang telah memadat.

Kemudian, kertas cakram yang telah direndam kedalam larutan sampel diletakkan

dibagian tengah dari petri. Lalu diinkubasi pada suhu 36oC selama 48 jam. Kemudian

diamati zona bening yang terbentuk jika ada diukur dengan menggunakan jangka

sorong.

3.4.4. Analisa FTIR

Sistim optik Spektrofotometer FTIR dilengkapi dengan cermin yang bergerak

tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan

menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak (M) dan

jarak cermin yang diam (F). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang

selanjutnya disebut sebagai retardasi (ä). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang

diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistem

(43)

disebut sebagai sistem optik Fourier Transform Infra Red. Pada sistem optik FTIR

digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of

Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra

merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan

lebih baik.

Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra

Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih

banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS,

yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih

sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap

energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah.

Film hasil pencampuran dijepit pada tempat sampel kemudian diletakkan pada

alat kearah sinar infra red. Hasilnya akan direkam kedalam kertas berskala berupa

aliran kurva gelombang terhadap intensitas.

3.4.5. Analisa SEM

Analisa SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi sampel. Dalam hal

ini dilihat rongga-rongga hasil pencampuran pati ubi kayu, gliserol, dan serbuk

batang ubi kayu. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari

degradasi polimer.

Cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada

mikroskop optic dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron

(44)

ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder

atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar

amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor Cathode

Ray Tube (CRT). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar

bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan,

sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi, agar

pengamat dapat mengamati preparat dengan baik, diperlukan persiapan sediaan

dengan tahap sebagai berikut:

1. Melakukan fiksasi, yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah

struktur sel yang akan diamati. Fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan

senyawa glutaraldehida atau osmium tetroksida.

2. Dehidrasi, yang bertujuan untuk memperendah kadar air dalam sayatan

sehingga tidak mengganggu proses pengamatan.

3. Pelapisan/pewarnaan, bertujuan untuk memperbesar kontras antara preparat

yang akan diamati dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan dapat

(45)

3.5. Bagan Penelitian

3.5.1. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Tanah

(46)

3.5.2. Bagan Alir Uji Biodegradasi Edible Film Pati Ubi Kayu dengan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu dalam Media Aspergillus Niger

(47)

3.5.3. Bagan Alir Uji Toksisitas Edible Film Pati Ubi Kayu

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Media NA

Dituang kedalam cawan petri

Didiamkan hingga padat

E.Coli digoreskan

Diamati Zona Bening

Sampel diletakkan di atas biakan E. coli

(48)

4.1. Penyediaan Sampel Uji Biodegradasi Edible Film

Sampel polimer yang digunakan adalah pati ubi kayu 10 gram yang dicampur

dengan 1 gram gliserol dalam pelarut air. Kemudian untuk sampel kedua

ditambahkan 0,5 gram serbuk batang ubi kayu. Hasil pencampuran dipanaskan

sampai mengental pada suhu 100 oC kemudian dicetak di atas kaca berukuran 20 x 20

cm lalu dikering anginkan selama 3 hari. Kemudian edible film dipotong-potong

dengan ukuran 3 x 3 cm untuk perlakuan uji biodegradasi dalam tanah dan dalam

media bermikroba.

4.2. Uji Biodegradasi Edible Film dalam Tanah

Uji biodegradasi dalam lingkungan tanah dimulai dengan menanamkan setiap

spesimen sampel dalam wadah yang masing-masing berisi:

b. Tanah berpasir diambil dari daerah pantai Belawan Kota Medan.

c. Tanah kebun yang diambil dari areal kebun Kecamatan Tembung Kabupaten

Deli Serdang.

d. Tanah sampah diambil areal tempat pembuangan akhir Kelurahan Tegal Sari

(49)

(a) (b)

Gambar 4.1. (a) Sampel yang Ditanam pada Tanah Sampah Selama 3 Hari (b) Sampel yang Ditanam pada Tanah Kebun Selama 3 Hari

Uji biodegradasi dalam tanah ini diamati selama 3 hari dengan persentase

perubahan berat spesimen uji (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Persentase Perubahan Massa Film Selama 3 Hari pada Media Tanah

No. Spesimen Dengan Serbuk Tanpa Serbuk Penurunan

Massa (%)

ma mt Äm ma mt Äm (+) (-)

1. Tanah pasir 0,2891 0,2032 0,0859 0,3537 0,2634 0,0903 29,71 25,53

2. Tanah kebun 0,2818 0,1834 0,0984 0,3583 0,2385 0,1198 34,92 33,44

3. Tanah sampah 0,2796 0,1350 0,1446 0,3575 0,2130 0,1445 51,71 40,42

Keterangan:

ma = massa awal

mt = massa akhir

Äm = selisih massa

(+) = dengan serbuk

(-) = tanpa serbuk

Uji biodegradasi dalam tanah memperlihatkan bahwa spesimen mengalami

(50)

yang lebih besar pada spesimen edible film yang ditanam dalam tanah sampah. Ini

kemungkinan tanah sampah lebih banyak nutrisinya dan adanya kerja sinergis antara

kegiatan beberapa mikroba (jamur dan bakteri) yang terdapat dalam tanah uji

(Wirjosentono, 1999). Laju dan mekanisme biodegradasi edible film ini sangat

dipengaruhi oleh suhu, oksigen, kelembaban dan kondisi mikroba.

Selanjutnya, spesimen dikarakterisasi dengan spectrofotometri FTIR untuk

melihat puncak serapan dan analisis SEM untuk mengetahui bentuk dan perubahan

dari sampel.

Dari spektrum pati+gliserol memberikan informasi pada bilangan gelombang

(51)

menunjukkan adanya gugus C-H alifatik yang didukung sidik jari pada 1411,91 cm-1

menunjukkan adanya gugus CH2. Pada bilangan gelombang 1647,03 cm-1

menunjukkan adanya gugus C=O.

Dari spectrum FTIR campuran pati, gliserol, dan serbuk memberikan

informasi pada bilangan gelombang 3423,29 cm-1 menunjukkan adanya ikatan O-H

ikatan hydrogen yang didukung dengan spectrum sidik jari 1022,89 menunjukkan

adanya C-O streech dari alcohol primer. Bilangan gelombang 2927,98 cm-1

menunjukkan adanya gugus C-H alifatik didukung sidik jari pada 1425,25 cm-1

menunjukkan adanya C-H Bend dari CH2. Pada bilangan gelombang 1633,13cm-1

menunjukkan adanya gugus C=O karbonil.

Campuran pati-gliserol dan campuran pati-gliserol-serbuk sebelum

biodegradasi masing-masing memberikan spectra FTIR seperti pada Lampiran 2a dan

2b. Spektrum FTIR pada Lampiran 2b yaitu campuran pati-gliserol setelah

biodegradasi memperlihatkan serapan gugus O-H pada bilangan gelombang 3464,04

cm-1 yang melemah. Begitu juga serapan gugus karbonil C=O yang melemah pada

1645,54 cm-1. Ini merupakan indikasi terjadinya degradasi pada sampel selama

perlakuan biodegradasi. Proses biodegradasi campuran edible film tersebut dimulai

dari fase bahan pemlastis sehingga memungkinkan difusi oksigen kedalam fase ruah

pati yang selanjutnya memicu proses degradasinya.

Campuran pati-gliserol-serbuk juga menunjukkan puncak serapan yang

(52)

hidroksida yang didukung dengan gugus C-O streech dari R-OH primer. Ini

menunjukkan bahwa telah terjadi biodegradasi pada spesimen.

4.3. Uji Biodegradasi Edible Film dalam Media Bermikroba

Jamur A.Niger diinokulasikan pada media PDA, kemudian sampel edible film

diletakkan di tengah-tengah cawan petri. Diinkubasi pada suhu 36oC selama 10 hari.

Setelah 3 hari sampel diambil dari kultur pertumbuhannya, dicuci dengan alkohol

70% selama 5 menit dan dibilas dengan air steril. Sampel dikeringkan kemudian

ditimbang untuk mengamati kehilangan massanya.

(a) (b)

Gambar 4.2. (a). Spesimen Film dengan Serbuk dalam Media A. Niger (b). Spesimen Film tanpa Serbuk dalam Media A. Niger

Hasil pengamatan secara visual terhadap spesimen yang diinkubasi dalam

media PDA menggunakan A. Niger menunjukkan bahwa setelah 3 hari inkubasi

terlihat bercak berwarna kuning kecoklatan pada sampel dan tidak hilang pada saat

(53)

Pengujian biodegradasi edible film oleh jamur A. Niger dilakukan dengan

melihat kehilangan massa pada spesimen. Penurunan massanya dibuat dalam persen

(%). Data kehilangan massa sampel tercantum pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Persentase Perubahan Massa Spesimen Uji Selama 3 Hari pada Media PDA yang Ditanamkan Jamur A.Niger

No. Spesimen ma mt Äm Penurunan

Massa (%)

1. Dengan serbuk 0,2747 0,1240 0,1507 54,86

2. Tanpa serbuk 0,3599 0,2638 0,0961 26,70

Pada uji biodegradasi sampel dalam media jamur A. Niger kehilangan berat

untuk spesimen terlihat lebih nyata pada spesimen sampel yang mengandung serbuk

(54)

Tabel 4.4. Hasil Analisis Gugus Fungsi Spesimen dari Spektrum FTIR Setelah

Tabel 4.4 merupakan hasil pembacaan dari Lampiran 2(c) dan 2 (d) spektrum

dari bahan campuran pati-gliserol dan pati-gliserol-serbuk setelah mengalami

biodegradasi terlihat bahwa puncak serapannya melemah. Ini menunjukkan telah

terjadi biodegradasi.

Pati tersusun dari unit-unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,4–á

(55)

ikatan 1,6–áglikosida. Polimer pati terdiri atas 2 jenis yaitu amilosa dan.

amilopektin.

Amilosa terdapat dalam pati sekitar 20% dan terdiri atas unit glukosa yang

berkisar 50-300 unit yang membentuk rantai lurus yang berikatan pada atom

karbon nomor 1 dan nomor 4 atau disebut ikatan 1,4 alfa. Dalam larutan,

rantai ini membentuk heliks (spiral) karena adanya ikatan dengan konfigurasi

alfa pada setiap unit glukosa. Bentuk ini terdiri dari enam unit glukosa perputaran

heliks, yang menyebabkan amilosa membentuk kompleks dengan bermacam-macam

molekul kecil yang dapat masuk ke dalam kumparannya. Warna biru tua atau

biru kehitaman yang diberikan pada penambahan iod pada pati adalah contoh

pembentukan kompleks tersebut.

Gambar 4.3. Struktur Molekul Amilosa

Dalam penelitian ini, enzim Amilase dihasilkan oleh A. Niger. Enzim

inilah yang berperan men ghidrolisis ikatan alfa pada amilum yang

(56)

a-1,4-D-glukanohidrolase, endoamilase) merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan á

-1,4-glikosidik dari pati dan maltodekstrin secara acak pada bagian dalam molekul

polisakarida (Ballschmiter, et al., 2006). Terdapat tiga jenis enzim amilolitik yaitu

á-amilase, â-amilase, dan glukoamilase. Pada hidrolisis pati, enzim yang berperan

adalah á-amilase yang beker a memutuskan ikatan dengan konfigurasi á pada

pati. Hidrolisis pati oleh enzim á-amilase terbagi dalam dua jalur, yaitu

hidrolisis amilosa dan hidrolisis amilopektin.

Menurut Suhartono (1989) hidrolisis amilosa oleh a-amilase terjadi

melalui dua tahap. Tahap pertama adalah penguraian amilosa menjadi maltosa dan

maltotriosa yang terjadi secara acak. Penguraian ini terjadi secara cepat yang

diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahapan kedua berlangsung

relatif lambat, dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir.

áamilase

Tahap I : amilosa maltosa + maltotriosa

(57)

áamilase

Tahap II maltotriosa maltosa + glukosa

á amilase

maltosa glukosa + glukosa

Gambar 4.5. Pembentukan Glukosa dan Maltosa dari Maltotriosa

(a) (b)

Gambar 4.6. (a). Permukaan Film Tanpa Serbuk Sebelum Biodegradasi (b). Permukaan Setelah Biodegradasi oleh Jamur A.Niger

Pada Gambar 4.6 memperlihatkan fotografi permukaan film tanpa serbuk

yang berongga setelah diperbesar 1200 kali menggunakan SEM. Ini menunjukkan

(58)

(a) (b)

Gambar 4.7. (a). Foto Permukaan Film dengan Serbuk Sebelum Biodegradasi (b). Foto Permukaan Setelah Biodegradasi oleh A. Niger

Pada Gambar 4.7 memperlihatkan fotografi permukaan film dengan serbuk

yang berongga setelah diperbesar 280 kali menggunakan SEM. Ini menunjukkan

telah terjadi biodegradasi oleh jamur A.Niger. Gumpalan kuning merupakan serbuk

batang ubi kayu yang tidak terdegradasi oleh A. Niger, karena enzim amylase pada A.

Niger tidak bisa menghidrolisis selulosa yang merupakan komponen utama dari

(59)

(a) (b)

Gambar 4.8. (a). Foto Permukaan Campuran Pati, Gliserol Setelah Biodegradasi pada Tanah Kebun

(b). Foto Permukaan Spesimen Campuran Pati, Gliserol, Serbuk Setelah Biodegradasi pada Tanah Kebun

Pada Gambar 4.8 terlihat permukaan spesimen yang berongga setelah

diperbesar 1200 kali dengan menggunakan SEM yang ditanam pada tanah kebun

selama 3 hari. Ini menunjukkan bahwa adanya kerja mikroorganisme dalam tanah

yang mendegradasi spesimen. Pada tanah kebun, selulosa dapat didegradasi oleh

bakteri-bakteri yang terdapat dalam tanah.

4.4. Uji Sifat Toksisitas Edible Film terhadap Perkembangan Bakteri E.Coli

Suspensi E.Coli disiapkan hingga jumlah sel 108 dengan standar Mc.Farlan,

kemudian digoreskan suspense biakan E.Coli ke seluruh permukaan media NA.

spesimen sampel dicetak seukuran kertas cakram kemudian diletakkan di bagian

tengah cawan petri, diinkubasi pada suhu 30oC selama 48 jam. Diamati zona bening

(60)

(a) (b)

Gambar 4.9. Uji Toksisitas terhadap Bakteri E.Coli (a). Campuran Pati, Gliserol

(b). Campuran Pati, Gliserol, Serbuk

Dari pengamatan terlihat bahwa pada kedua sampel terdapat zona bening yang

sangat pendek. Ini menunjukkan bahwa campuran pati, gliserol dan serbuk

mempunyai indikasi sifat sedikit antiseptik terhadap bakteri E.Coli.

Tabel 4.5. Data Pengamatan Zona Bening dengan Menggunakan Bakteri E.Coli

No Sampel Inkubasi 48 Jam

1. Kontrol 0

2. Pati, Gliserol dan

Serbuk

5 mm

3. Pati, Gliserol 0 mm

Zona toksisitas edible film dengan serbuk

= Zona bening – zona cakram

Zona Cakram

= 5 – 3

3

(61)

Dari pengamatan terlihat bahwa pada campuran pati, gliserol dan serbuk

mempunyai indikasi sedikit bersifat antiseptik terhadap bakteri E.Coli. Sifat

antiseptik ini diduga berasal dari serbuk batang ubi kayu yang terdiri dari banyak

campuran senyawa-senyawa organik baik itu yang bersifat metabolit sekunder

Gambar

Gambar 2.1. Struktur Amilosa
Gambar 2.2. Struktur Amilopektin
Gambar 2.3. Gliserolisis Lemak
Tabel 4.1. Persentase Perubahan Massa Film Selama 3 Hari pada Media Tanah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Edible Coating Berbasis Pati Kulit Ubi Kayu terhadap Kualitas dan Umur Simpan Buah Jambu Biji Merah pada Suhu Kamar, dibimbing oleh Terip Karo-Karo dan Era

Sebagai sumber informasi tentang pengaruh lapisan edible pati kulit ubi kayu terhadap kualitas dan umur simpan buah jambu biji pada suhu kamar.

Penambahan gliserol dan serbuk S.platensis dapat mempengaruhi karakteristik dari edible film dengan dilakukan pengujian ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan,

Adapun kelemahannya sebagaimana umumnya polisakarida dan hidrokoloid lainnya, pati memiliki sifat hidrofilik, dan apabila pati digunakan sebagai bahan baku pembuat edible

Pada penelitian ini dilakukan studi literatur mengenai pengaruh jenis dan konsentrasi pemlastis (gliserol dan sorbitol) terhadap karakteristik WVTR edible film

Hal ini disebabkan pati yang ditambahkan mempunyai sifat hidrofilik dan mudah mengikat air, dan penambahan gliserol yang semakin tinggi akan meningkatkan sifat

Judul Skripsi : Pengaruh Konsentrasi Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Sebagai Edible Film Terhadap Kadar Air Pada Jenang Apel.. Diajukan untuk

Adanya penurunan dan kenaikan elongasi diduga dipengaruhi oleh adanya gliserol. Gliserol berperan sebagai plastisizer sehingga edible film menjadi lebih elastis. Gliserol