• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelidikan Umur Simpan Bika Ambon Dengan Film Layak Makan Berbasis Pati Ubi Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penyelidikan Umur Simpan Bika Ambon Dengan Film Layak Makan Berbasis Pati Ubi Kayu"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

FILM LAYAK MAKAN BERBASIS

PATI UBI KAYU

TESIS

Oleh

HELBINE SIAHAAN

087006012/KM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K

O L A H

P A

S C

A S A R JA

(2)

PENYELIDIKAN UMUR SIMPAN BIKA AMBON DENGAN

FILM LAYAK MAKAN BERBASIS PATI UBI KAYU

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HELBINE SIAHAAN

087006012/KM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Penelitian tentang kemasan film layak makan berbasis pati ubi kayu dan serbuk batang ubi kayu dengan pemlastis gliserol telah dilakukan terhadap umur simpan bika ambon. Penelitian ini menggunakan metode Labuza akselerasi untuk mengetahui aplikasi kemasan film layak makan terhadap umur simpan bika ambon. Uji yang dilakukan terhadap kemasan film layak makan yaitu uji ketahanan air sedangkan untuk uji umur simpan dilakukan uji karbohidrat serta uji protein. Sampel bika ambon yang dikemas dengan 4 kemasan yang berbeda yaitu K0, K1, K2, dan K3 pada temperatur 300C dan 2 kemasan pada temperatur 150C yaitu K0 dan K1. Hasilnya menunjukkan bahwa preparasi kemasan film layak makan yang terbaik dibuat dari campuran 10 g pati ubi kayu , 0,5 g serbuk batang ubi kayu , 1 g gliserol dan 120 g air mempunyai ketahanan air 71,43 %. Pada penyimpanan 300C maupun 150C kemasan yang terbaik adalah K1

( kemasan film layak makan ) yang dapat memperpanjang umur simpan bika ambon dari 4 hari menjadi 7 hari.

Kata Kunci : Bika ambon, film layak makan, pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu, gliserol, umur simpan.

(4)

ABSTRACT

Research of edible film based on cassava starch and powder of cassava wood, with glycerol as plasticizer, has been done to improve expiry period of "Bika Ambon". This research use Labuza acceleration method to know application of the edible film againts expiry period of "Bika Ambon". Test carried out to the edible film is water resistant test, where as test againts expiry period are carbohydrate and protein contens. The "Bika Ambon" samples were packaged using 4 different packing method at temperature 300C, i.e.: K0, K1, K2 and K3 and 2 packaging method at 150C, i.e.: K0 and K1. The results showed that preparation of the best edible film is : mixture of 10 g cassava starch, 0,5 g powder of cassava wood, 1 g glycerol, 120 g water, which has water resistant: 71,43 %. During preservation at 300C and 150C the best packaging method is K1 i.e.: edible film, which be able to increase expiry period of

"Bika Ambon" from 4 to 7 days.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, yang telah memberikan kasih dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "Penyelidikan Umur Simpan Bika Ambon Dengan Film Layak Makan Berbasis Pati Ubi Kayu" .

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Sumatera Utara c.q Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang memberikan beasiswa kepada penulis sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada

Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Kepada Direktur Sekolah Pascasarjana Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, dan Ketua Program Studi Kimia Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya ditujukan kepada:

(6)

2. Bapak Drs. Sawaluddin, MSc Kepala SMA Negeri 21 Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. 3. Kepala Laboratorium Fisika dan Kimia polimer serta Laboratorium Biokimia

FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan beserta staf dan asisten atas fasilitas dan sarana yang diberikan.

4. Rekan-rekan mahasiswa khususnya dindaku Rusphiandri Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan 2008 yang telah banyak membantu penulis selama menjalankan perkuliahan dan penelitian.

5. Rekan-rekan Guru SMA Negeri 21 Medan yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Keluarga tercinta: kedua orang tua penulis Ayahanda (Alm) Alboin Siahaan dan Ibu Minur Sagala serta Kel. Kakanda Hotbel Lumbanbatu atas berkat doa, motivasi dan pengorbanannya.

7. Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Pahala Tambunan Dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan perhatian memberikan doa restu serta dorongan baik materi maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

(7)

Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari yang diharapkan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun demi terciptanya penelitian yang lebih sempurna di kemudian hari.

Medan, Pebruari 2010 Penulis

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir tanggal 29 September 1970 di Pakan Baru, anak kedua dari dua bersaudara, dari (Alm) Alboin Siahaan dan Minur Sagala.

Penulis menjalani pendidikan Sekolah Dasar Inpres No. 064991 Medan tahun 1977 - 1983. Sekolah Menengah Pertama Swasta Daerah Medan tahun 1983 - 1986. Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Medan tahun 1986 - 1989.

Pada tahun 1989 Penulis diterima pada Jurusan Kependidikan Kimia, S-1, FPMIPA IKIP Medan dan lulus pada tahun 1995.

Pada tahun 2002 ditempatkan menjadi Guru PNS di SMA Negeri 2 Sibolga Kotamadya Sibolga, dan pada tahun 2005 pindah tugas menjadi guru SMA Negeri 21 Medan sampai sekarang.

(9)

DAFTAR ISI

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 8

(10)

2.7. Pengemasan 19

2.8. Karakteristik Film 21

2.8.1. Karakterisasi Edible Film Berbasis Ubi Kayu 22

2.9. Plastisasi Polimer 22

2.9.1. Mekanisme Plastisasi 23

2.10. Bika Ambon 24

BAB III. METODE PENELITIAN 26

3.1. Alat 26

3.2. Bahan 27

3.3. Prosedur Penelitian 28

3.3.1. Pembuatan Film Campuran Pati Ubi Kayu, Serbuk Batang Ubi Kayu dan Gliserol 28

3.3.2. Uji Ketahanan Air 28

3.3.3. Uji Umur Simpan 29

3.3.4. Uji Kadar Karbohidrat ( Gula Reduksi ) 29 3.3.5. Uji Kadar Protein Metode Kjeldhal 31

3.4. Bagan Penelitian 33

3.4.1. Pembuatan Film Campuran Pati Ubi Kayu,

Serbuk Batang Ubi Kayu dan Gliserol 33

3.4.2. Uji Ketahanan Air 34

3.4.3. Uji Umur Simpan 35

3.4.4. Uji Kadar Karbohidrat 36

(11)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4.1. Hasil Preparasi Dan Uji Ketahanan Air 39

4.2 Hasil Pengaruh Kemasan Terhadap Kadar Karbohidrat

Dan Protein Serta Umur Simpan Bika Ambon 42

4.2.1. Perhitungan Kadar Karbohidrat ( Gula Reduksi )

Pada Suhu 300C 46

4.2.2. Perhitungan Kadar Karbohidrat ( Gula Reduksi )

Pada Suhu 150C 47

4.2.3. Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 300C 48 4.2.4. Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 150C 49 4.3. Pembahasan Pengaruh Kemasan Terhadap Karbohidrat

Dan Protein Serta Umur Simpan Bika Ambon 50

4.3.1. Sampel K0 Pada Suhu 300C 55

4.3.2. Sampel K1 Pada Suhu 300C 58 4.3.3. Sampel K2 Pada Suhu 300C 60

4.3.4. Sampel K3 Pada Suhu 300C 63

4.3.5. Sampel K0 Pada Suhu 150C 65

4.3.6. Sampel K1 Pada Suhu 150C 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 70

5.1. Kesimpulan 70

5.2. Saran 71

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Data Dan Hasil Uji Ketahanan Air ………... 41

4.2. Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 300C ………. 42

4.3. Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 150C ………. 43

4.4. Data Pengamatan Uji Kadar Protein Pada Suhu 300C………. 44

4.5. Data Pengamatan Uji Kadar Protein Pada Suhu 150C………. 45

4.6. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 300C………. 46

4.7. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 150C ………. 47

4.8. Hasil Perhitungan Uji Protein Pada Suhu 300C ………... 49

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Struktur Amilosa 13

2.2. Struktur Amilopektin 14

2.3. Glikolisis Lemak 16 2.4. Bika Ambon 24

4.1. Film Kemasan Variasi 100 g Air 39 4.2. Film Kemasan Variasi 110 g Air 40 4.3. Film Kemasan Variasi 120 g Air 40 4.4. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 300C 52

4.5. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 300C 52

4.6. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 150C 54

4.7. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 150C 54

(14)

4.16. K1 hari ke – 11 pada suhu 300C 59 4.17. K1 hari ke – 15 pada suhu 300C 59 4.18. K1 hari ke – 19 pada suhu 300C 60 4.19. K2 hari ke – 4 pada suhu 300C 60 4.20. K2 hari ke – 7 pada suhu 300C 61

4.21. K2 hari ke – 11 pada suhu 300C 61

4.22. K2 hari ke – 15 pada suhu 300C 62 4.23. K2 hari ke – 19 pada suhu 300C 62

4.24. K3 hari ke –4 pada suhu 300C 63

4.25. K3 hari ke – 7 pada suhu 300C 63

4.26. K3 hari ke – 11 pada suhu 300C 64

4.27. K3 hari ke – 15 pada suhu 300C 64

4.28. K3 hari ke – 19 pada suhu 300C 65

4.29. K0 hari ke – 7 pada suhu 150C 65

4.30. K0 hari ke – 11 pada suhu 150C 66

4.31. K0 hari ke – 15 pada suhu 150C 66

4.32. K0 hari ke – 19 pada suhu 150C 67

4.33. K0 hari ke – 7 pada suhu 150C 67

4.34. K0 hari ke – 11 pada suhu 150C 68

4.35. K0 hari ke – 15 pada suhu 150C 68

(15)

ABSTRAK

Penelitian tentang kemasan film layak makan berbasis pati ubi kayu dan serbuk batang ubi kayu dengan pemlastis gliserol telah dilakukan terhadap umur simpan bika ambon. Penelitian ini menggunakan metode Labuza akselerasi untuk mengetahui aplikasi kemasan film layak makan terhadap umur simpan bika ambon. Uji yang dilakukan terhadap kemasan film layak makan yaitu uji ketahanan air sedangkan untuk uji umur simpan dilakukan uji karbohidrat serta uji protein. Sampel bika ambon yang dikemas dengan 4 kemasan yang berbeda yaitu K0, K1, K2, dan K3 pada temperatur 300C dan 2 kemasan pada temperatur 150C yaitu K0 dan K1. Hasilnya menunjukkan bahwa preparasi kemasan film layak makan yang terbaik dibuat dari campuran 10 g pati ubi kayu , 0,5 g serbuk batang ubi kayu , 1 g gliserol dan 120 g air mempunyai ketahanan air 71,43 %. Pada penyimpanan 300C maupun 150C kemasan yang terbaik adalah K1

( kemasan film layak makan ) yang dapat memperpanjang umur simpan bika ambon dari 4 hari menjadi 7 hari.

Kata Kunci : Bika ambon, film layak makan, pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu, gliserol, umur simpan.

(16)

ABSTRACT

Research of edible film based on cassava starch and powder of cassava wood, with glycerol as plasticizer, has been done to improve expiry period of "Bika Ambon". This research use Labuza acceleration method to know application of the edible film againts expiry period of "Bika Ambon". Test carried out to the edible film is water resistant test, where as test againts expiry period are carbohydrate and protein contens. The "Bika Ambon" samples were packaged using 4 different packing method at temperature 300C, i.e.: K0, K1, K2 and K3 and 2 packaging method at 150C, i.e.: K0 and K1. The results showed that preparation of the best edible film is : mixture of 10 g cassava starch, 0,5 g powder of cassava wood, 1 g glycerol, 120 g water, which has water resistant: 71,43 %. During preservation at 300C and 150C the best packaging method is K1 i.e.: edible film, which be able to increase expiry period of

"Bika Ambon" from 4 to 7 days.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam dunia modern seperti sekarang ini, kemasan menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada umumnya bahan kemasan yang digunakan banyak terbuat dari plastik. Hal ini dikarenakan plastik memiliki sifat unggul seperti ringan tapi kuat, transparan, tahan air serta harganya relatif murah.

Kebutuhan plastik masyarakat Indonesia di tahun 2002 sekitar 1,9 juta ton kemudian meningkat menjadi 2,1 juta ton di tahun 2003 dan di tahun 2004 meningkat lagi menjadi 2,3 juta ton per tahun (Dewi Martaningtyas, ISBN : 978-979-1165-74-7, 2004).

(18)
(19)

Edible coating adalah lapisan tipis yang dapat dikonsumsi yang digunakan pada

makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan, atau penyemprotan untuk memberikan penahan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta perlindungan terhadap kerusakan mekanis.

Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya,lipid, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Krochta, 1992).

Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetik (plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk tepung dan pati.

(20)

dipertahankan dan dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan (Kinzel, 1992).

Pati merupakan suatu bahan baku alternatif yang sehat untuk pengemasan yang dapat dimakan (edible), aman dan mudah untuk diserap tubuh sehingga kemasan layak makan berbasis pati layak untuk dikembangkan. (Indarti,Eti,et.al.2007).

Penggunaan pati sebagai bahan utama pembuatan kemasan layak makan memiliki potensi yang besar karena di Indonesia terdapat berbagai tanaman penghasil pati seperti tanaman ubi kayu (Mannihot esculenta) . Untuk memperoleh edible film, pati ditambahkan dengan plastisiser seperti gliserol, sehingga diperoleh edible film yang lebih fleksibel dan elastis. Penelitian telah dilakukan oleh Hj.Yusmarlela ( 2008 ) dengan judul Studi Pemanfaatan Plastisiser Gliserol Dalam Film Layak Makan Pati Ubi Dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu, menghasilkan edible film yang menurut hasil analisa uji Tarik, uji DTA, dan uji FT-IR menunjukkan bahwa adanya interaksi fisik antara pati – gliserol dan serbuk batang ubi kayu.

Hasil penelitian Helmi Haris ( 2001 ) Kemungkinan Penggunaan Edible Film

Dari Pati Tapioka Untuk Pengemas Lempuk , menghasilkan edible film yang

(21)

Bika ambon merupakan salah satu jenis makanan khas kota Medan yang sudah dikenal secara luas sehingga tidak heran produk pangan ini merupakan jajanan atau oleh- oleh tamu domestik yang berkunjung ke kota Medan.

Kondisi demikian membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam hal aplikasi dari edible film berbasis pati ubi kayu untuk pengemas produk pangan bika ambon.

1.2 Permasalahan

1. Bagaimana preparasi dan karakteristik ketahanan air bahan film layak makan berbasis pati ubi kayu yang sesuai untuk dijadikan sebagai kemasan bika ambon?

2. Bagaimana pengaruh kemasan yang berbeda terhadap kadar protein dan karbohidrat dari bika ambon jika disimpan pada suhu 30 0C dan 150C pada variasi waktu ?

3. Bagaimana pengaruh kemasan yang berbeda pada umur simpan bika ambon terutama terhadap pertumbuhan jamur?

1.3 Tujuan Penelitian

(22)

2. Menyelidiki pengaruh kemasan yang berbeda terhadap kadar protein dan karbohidrat dari bika ambon jika disimpan pada suhu 30 0C dan 150C pada variasi waktu.

3. Menyelidiki pengaruh kemasan yang berbeda pada umur simpan bika ambon terutama terhadap pertumbuhan jamur.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang :

1. Preparasi dan karakteristik ketahanan air bahan film layak makan berbasis pati ubi kayu yang sesuai untuk dijadikan sebagai kemasan bika ambon. 2. Pengaruh kemasan yang berbeda terhadap kadar protein dan karbohidrat

dari bika ambon jika disimpan pada suhu 30 0C dan 15 0C pada variasi waktu.

3. Pengaruh kemasan yang berbeda pada umur simpan bika ambon terutama terhadap pertumbuhan jamur.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium dengan langkah sebagai berikut:

a. Proses Pembuatan Film ( Edible Film )

Edible Film dibuat dengan menggunakan pati ubi kayu, serat batang ubi

(23)

satu wadah lalu dihomogenkan dan dipanaskan pada suhu 100 oC sampai campuran membentuk gel.

b. Karakteristik Uji umur Simpan

Dilakukan dengan memvariasikan penyimpanan bika ambon pada dua kondisi yaitu;

1. Pada ruang terbuka ( 30 oC ), dengan memvariasikan waktu penyimpanan : 0, 4, 7, 11, 15, 19 hari dan bentuk kemasan yaitu :

 K0 ( tanpa pengemas)  K1 (edible film )

K2 ( edible film dengan kertas minyak)  K3 (dengan kertas minyak)

2. Pada ruang pendingin ( 15 oC ),dengan memvariasikan waktu penyimpanan : 0, 7, 11, 15, 19 hari dan variasi bentuk kemasan yaitu:

 K0 (tanpa pengemas),  K1 ( edible film ).

c. Analisa yang dilakukan

(24)

1.6 Lokasi Penelitian

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Kayu

Ubi kayu ( Mannihot esculenta ) yang biasa disebut singkong atau ketela pohon berasal dari Brazilia, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke 17 dibawa oleh pedagang Spanyol dari Mexico ke Philipina. Kemudian menyebar ke Asia Tenggara, namun memasyarakat tahun 1952 terutama di Pulau Jawa. Memasyarakatnya ubi kayu dikalangan petani karena dua hal. Pertama tanaman ini mudah sekali dibudidayakan. Bahkan di tanah yang tandus pun tanaman ini dapat memberikan hasil. Kedua, kandungan karbohidratnya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan makanan alternative pengganti beras.

(26)

Secara taksonomi ubi kayu dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Suku : Euphorbiaceae Subsuku : Crotonoideae Tribe : Manihoteae Marga : Mannihot Spesies : M. esculenta

(27)

54 mg - Protein 6,8 gram - Lemak 1,2 gram - Hidrat arang 13 gram - Zat besi 2 mg - dan 87 % bagian daun dapat dimakan. Kulit batang ubi kayu mengandung tanin, enzim peroksidase, glikosida dan kalsium oksalat.

2.2. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan senyawa hidrokarbon yang dibentuk oleh unsur unsur C, H, dan O. Karbohidrat merupakan sakarida (Yunani, Sakcharon, Gula) yang didefinisikan sebagai polihidroksil aldehida atau polihidrosil keton. Karbohidrat mempunyai rumus empiris ( CH2O )n. Sebagai contoh glukosa ( C6H12O6 ) yang

merupakan kelipatan enam dari CH2O (Fessenden, 1990). Pada tanaman karbohidrat

dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses

fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil ( Winarno, F.G, 1984 ). Reaksi fotosintesis:

6nCO2 +6n H2O Sinar matahari ( C6H12O6 )n + 6nO2

Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul tinggi seperti pati, pectin, sellulosa dan lignin. Berbagai polisakarida seperti pati banyak terdapat dalam serelia dan umbi-umbian. Selama proses pematangan kandungan pati berubah menjadi gula-gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis.

(28)

ini jika dididihkan akan dapat mereduksi ion-ion tembaga dari larutan fehling membentuk endapan merah bata. ( Gaman, 1991 ).

2.3 Jenis Karbohidrat

Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu:

1. Monosakarida, merupkan suatu molekul yang terdiri dari 5 atau 6 atom C (karbon).

2. Oligosakarida yang umumnya merupakan polimer dari 2 sampai 10 monosakarida. Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 yang biasanya larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari 2 molekul disebut disakarida.

3. Polisakarida, yang umumnya merupakan polimer yang terdiri dari lebih dari 10 monomer monosakarida.

2.4 Pati

(29)

industri yaitu sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil dan pada industri kosmetik. Pati merupakan polisakarida alami yang dapat diperbaharui (renewable), mudah rusak (biodegradable ).

Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinasi setelah mencapai suhu tertentu ( suhu gelatinasi ). Hal ini disebabkan oleh pemanasan energi kinetik molekul – molekul air yang menjadi lebih kuat dari pada daya tarik menarik antara molekul pati dalam butiran, sehingga air dapat masuk ke dalam pati tersebut dan pati akan membengkak. Butiran pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada posisi semula. Perubahan sifat inilah yang disebut gelatinasi ( Winarno,1984 ). Sedangkan suhu pada saat butir pati pecah disebut suhu gelatinasi.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan  – glikosida dan merupakan rantai gula panjang. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya tergantung pada panjang rantai atom C nya, apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya (Winarno, 1984).

Untuk menganalisa adanya pati digunakan iodin, karena pati yang berikatan dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Pati merupakan granula berwarna putih dengan diameter 2 – 100 ìm ( Winarno, 1984 ) . Pati merupakan polimer karbohidrat dari unit anhidroglukosa, ( C6H10O5 )x terdiri dari dua polisakarida dengan struktur

(30)

Amilosa merupakan polimer isotatik linier dari  – d glukosa yang saling berikatan pada posisi 1,4 sedangkan amilopektin merupakan polimer bercabang dengan rantai pendek dari - d glukosa yang saling berikatan melalui ( 1,6 ). Satu unit anhidroglukosa terdiri atas satu OH primer dan 2 OH sekunder dan satu gugus aldehid tereduksi dalam bentuk hemiasetal, bertambahnya hidroksil merupakan sifat hidrofilik dengan memberikan kelembaban yang tinggi dan terdispersi dalam air.

.

Gambar 2.1 Struktur Amilosa

Sifat-sifat dari amilosa: 1. Ikatannya linear (lurus).

2. Larutan dalam air dingin dalam batas tertentu. 3. Berat molekul rata-rata 10000 . 60000 (10³-60³).

(31)

Gambar 2.2 Struktur Amilopektin

Sifat-sifat dari amilopektin: 1. Ikatannya bercabang.

2. Tidak larut dalam air dingin.

3. Mempunyai molekul 10000 - 60000

4. Ikatan antar molekul  - D . glukosa dihubungkan oleh ikatan 1,4 dan ikatan 1,6 pada percabangan.

2.5. Protein

(32)

dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh.

Kita memperoleh protein dari makanan yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Protein yang berasal dari hewan disebut protein hewani, sedangkan protein yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati. Beberapa makanan sumber protein adalah: daging, susu, telur, ikan, beras, beras ketan, kacang kedelai, gandum, jagung dan buah-buahan.

Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat dalam protein ialah sebagai berikut: karbon 50 %, hydrogen 7 %, oksigen 23 %, nitrogen 16 %, belerang 0 – 3 %, dan phosphor 0 – 3 %. Dengan berpedoman pada kadar nitrogen sebesar 16% dapat dilakukan penentuan kandungan protein dari suatu bahan makanan. Dimana unsur nitrogen ditentukan secara kuantitatif misalnya kjeldhal yaitu dengan cara destruksi dengan asam pekat. Unsur protein yang ditentukan adalah 6,25 kali berat unsur nitrogen (Poedjiadi.A, 1994 ).

2.6. Gliserol

Salah satu alkil trihidrat yang penting adalah gliserol (propa- 1,2,3 .triol) CH2OHCHOHCH2OH. Senyawa ini kebanyakan ditemui hampir semua lemak

(33)

Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik (Anonymous, 11, 2006).

Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya (Austin, 1985).

Gliserol banyak dihasilkan dari industri di Sumatera Utara, merupakan bahan baku yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi. Gliserol dapat diperoleh dari pemecahan ester asam lemak dari minyak dan lemak industri oleokimia (Bhat, 1990).

(34)

O O O

OH O C R1 O C R1 O C R1

O O 2 OH + O C R2 OH + O C R2

O

OH O C R3 OH OH

Gliserol Trigliserida Monogliserida Digliserida

Gambar 2.3 Gliserolisis Lemak

2.6.1 Pemurnian Gliserol

Gliserol yang diproduksi biodisel berskala kecil dapat digunakan sebagai sabun tanpa harus diproses lebih lanjut. Gliserol dapat juga dikomposkan atau diletakkan di tanah sehingga cepat dikonsumsi oleh bakteri dan mikroba alami.

Gliserol murni digunakan untuk membuat ratusan produk dan harganya biasanya mahal. Namun gliserol yang diproduksi selama transesterifikasi berlangsung mengandung banyak bahan tidak murni. Sebagian besar katalis dan alkohol yang tidak bereaksi dalam reaksi biodisel akan turun kedalam lapisan gliserol.

Hasil samping proses pembuatan biodisel berbahan baku RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil) dan metanol dengan katalis basa diperoleh dalam

(35)

gliserol, seperti senyawa lemak, sabun, KOH dan lain-lain. Sebagai perbandingan gliserol yang berasal dari Palm Kernel Oil Methyl Ester mengandung 20,3% gliserol, 6,6% asam lemak (dalam bentuk senyawa sabun) dan 64,3% garam –garam (Syah, 2002)

2.6.2 Pemanfaatan gliserol dan Turunannya

Dewasa ini, sumber utama gliserol komersil diperoleh dari pengolahan minyak nabati, sebagai produk samping industri oleokimia dan juga dari industri petrokimia. Gliserol yang diperoleh ini hanya sebagai bahan baku industri dan masih merupakan sumber komoditas yang melimpah. Gliserol umumnya digunakan pada pembuatan bahan peledak, bahan pembasah atau pengemulsi produk kosmetik dan sebagai bahan anti beku. Sehubungan dengan terbatasnya diversifikasi produk olahan berbasis gliserol, maka harga jual komoditas gliserol masih tetap rendah, kecuali bila kebutuhan bahan peledak meningkat.

(36)

Dalam hal lain, sehubungan dengan stuktur gliserol yang mempunyai gugus alkohol primer dan gugus alkohol sekunder, maka akan memberikan banyak kemungkinan terjadinya reaksi untuk mengembangkan senyawa turunan alkohol ini (Finar, 1986).

Misalnya, dengan menambahkan gugus asetal pada stuktur gliserol akan dihasilkan senyawa surfaktan yang dapat terdegradasi oleh pengaruh bahan kimia atau dalam air dan oleh kegiatan mikroba (Piasecki, 2000).

Secara umum senyawa poliol (polihidroksi termasuk gliserol) dari berbagai sumber banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industi seperti dalam industri polimer, senyawa poliol banyak digunakan sebagai plastisiser maupun pemantap. Senyawa poliol ini dapat diperoleh dari hasil industri petrokimia, maupun langsung dari transformasi minyak nabati dan olahan industri oleokimia. Dibandingkan dengan hasil industri petrokimia, senyawa poliol dari minyak nabati dan industri oleokimia dapat diperbaharui, sumber mudah diperoleh, dan juga akrab dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam (Goudung,, 2004).

2.7 Pengemasan

Pengemasan (Packaging) disebut juga pembungkusan, pewadahan atau

pengepakan, dan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan.

(37)

agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusian.

Kemasan layak makan ( edible packaging ) adalah jenis kemasan yang terbuat dari satu atau beberapa jenis bahan tara – pangan ( food grade ), dan dapat dimakan bersama produk pangan yang dikemas tampa menimbulkan pengaruh yang membahayakan.

Edible Packaging dalam aplikasinya dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu

yang berbentuk lembaran film ( edible film ) atau dalam bentuk proses salut ( edible coating ). Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku,

kamasan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul. sedangkan edible film digunakan untuk produk pangan dan penguasaan teknologinya masih terbatas. Edible film sangat potensial digunakan sebagai pembungkus dan pelapis produk-produk pangan, industri, farmasi maupun hasil-hasil pertanian (Krochta, 1994).

Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti

(38)

Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air

serta komponen flavor. Keuntungan penggunaan edible film untuk kemasan bahan pangan adalah untuk memperpanjang umur simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena edibel film ini dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya.

Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Hidrokoloid.

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film berupa protein atau polisakarida. Bahan dasar protein dapat berasal dari kedele, gelatin dan lain – lain. Polisakarida yang digunakan adalah pati dan selulosa serta turunannya. 2. Lemak, seperti lilin lebah

3. Komposit, adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida.

Dalam pembuatan edible film plastisiser juga memegang peranan penting seperti gliserol bahan organik yang ditambahkan dengan maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer ( Ferry, 1980 ).

2.8 Karakteristik film

Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari : kuat tarik (tensile strenth), kuat tusuk (pencture strenght), persen perpanjangan (elongation to break)

(39)

menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film kuat tarik adalah faya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film selama pengukuran berlangsung. Kuat tarik dipengaruhi oleh pemlastis yang ditambahkan selama proses pembuatan film, sedangkan kuat tusuk menggambarkan tusukan maksimum yang dapat ditahan oleh film. Film dengan struktur yang kaku akan menghasilkan nilai kuat tusuk yang tinggi atau tahan terhadap tusukan. Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Berlawanan dengan itu adalah elastisitas akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film. Elastisitas merupakan kekuatan ukuran film yang dihasilkan (Latif, 2001).

2.8.1 Karakterisasi Edible Film Berbasis Ubi Kayu.

Karakteristik edible film berbasis ubi kayu dengan perbandingan pati : gliserol

: serbuk batang ubi kayu = 10 g : 1 g : 0,5 g adalah : 1. Kekuatan Tarik = 9,333 Mpa

2. Kemuluran = 18,531 %

(40)

4. Analisa Gugus Fungsi dengan Spektrum FT-IR ; uluran C – H pada 2927,98 cm-1, C = O pada 1633,13 cm-1, dan gugus fungsi O – H ikatan hidrogen pada 3423,29 cm-1. ( Yusmarlela, 2008 ).

2.9 Plastisasi Polimer

Pembuatan film layak makan dari pati (starch) memerlukan campuran bahan aditif untuk mendapatkan sifat mekanis yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu perlu ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini dikenal dengan plastisasi, sedang zat yang ditambah disebut pemlastis. Di samping itu pemlastis dapat pula meningkatkan elastisitas bahan, membuat lebih tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang-kadang disebut juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa plastisasi akan mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanisme film seperti kekuatan tarik, elastisitas kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.

Adapun pemlastis yang digunakan adalah gliserol, karena gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat diperbaharui dan juga akrab dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam.

(41)

Sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi yang kompatibel ini akan merupakan fungsi distribusi dari sifat komposisi pemlastis yang masing-masing komponen dalam sistem. Bila antara pemlastis dengan polimer tidak terjadi percampuran koloid yang tak mantap (polimer dan pemlastis tidak kompatibel) dan menghasilkan sifat fisik polimer yang berkulitas rendah. Karena itu, ramalan karakteristik polimer yang terplastisasi dapat dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis.

2.9.1 Mekanisme Plastisasi

Interaksi antara polimer dengan pemlastis dipengaruhi oleh sifat affinitas kedua komponen, jika affinitas polimer-pemlastis tidak terlalu kuat maka akan terjadi plastisas antara struktur (molekul pemlastis hanya terdistribusi diantara struktur). Plastisasi ini hanya mempengaruhi gerakan dan mobilitas struktur.

(42)

2.10 Bika Ambon

Gambar 2.4 Bika Ambon

(43)

 Bahan A :

1.Aduk bahan A sampai rata, diamkan selama 15 menit. tepung sagu, aduk rata sambil tuangi santan sedikit demi sedikit sampai santan habis. Saring, diamkan selama 2-3 jam.

4.Tuang adonan ke dalam cetakan yang telah dipoles minyak tipis-tipis. Panggang dalam oven panas sampai matang.

http://www.doyan-masak.info/2009/10/resep-kue-khas-medan-bika-ambon.html

(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

- Neraca Analitik Sartorius

- Hotplate Stirrer Ika-Ret BC

- Magnetic Stirrer

- Oven Memmert

- Desikator

- Alat-alat gelas Pyrex

- Labu Kjeldahl Pyrex

- Alat Destilasi

- Buret Pyrex

- Statif dan Klem

- Bunsen

- Seperangkat alat cetak tekan

- Labu ukur

(45)

3.2 Bahan

- Pati ubi kayu 325 mesh

- Serbuk Batang Ubi Kayu 325 mesh

- Gliserol 88 %

- Aquadest

- Bika Ambon

- Fehling A

- Fehling B

- Indikator Methylen blue

- Indikator Fenolftalein

- H3BO3

- H2SO4 pekat

- HCl 0,1 N

- NaOH 30 %

- Selenium

- Indikator Tashiro

- Kertas Lakmus

(46)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Film campuran pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu

dan gliserol sebagai pengemas

Sebanyak 1 gram gliserol ditambahkan 120 gram air dan diaduk sampai

homogen. Kemudian ditambahkan 10 gram pati ubi kayu dan 0,5 gram serbuk

batang ubi kayu sambil diaduk hingga tercampur rata, lalu dipanaskan pada suhu

100 0C sampai campuran membentuk gel. Hasilnya dicetak di atas plat kaca

dengan tebal 2 mm, matrix kemudian dikeringkan (udara terbuka) dan divakum

sampai dengan berat tetap. Hal yang sama dilakukan untuk variasi air 110 gr dan

120 gr .

3.3.2 Uji Ketahanan Air

Prosedur uji ketahanan air pada sampel bioplastik adalah sebagai berikut :

1. Gunakan digital balance, ukur berat awal ( Wo ) sampel berukuran 2 x 2

cm2 yang akan diuji.

2. Isi tempat desikan pada desikator dengan air aquades. Letakkan sampel

edible film pada desikator.

3. Setelah 24 jam, keluarkan dari desikator dan timbang berat akhir sampel

( W ) yang telah dikondisikan dalam desikator.

Air yang diserap dihitung melalui persamaan :

(47)

3.3.3 Uji Umur Simpan

Uji umur simpan ditentukan dengan metoda Akselerasi (Labuza, 1982).Film

layak makan digunakan untuk membungkus bika ambon yang telah dipersiapkan

sesuai dengan perlakuan, yaitu: 1. Penyimpanan pada ruang terbuka ( 30 oC ) ada

3 variasi pengemasan: Ko ( tanpa pengemas ), K1 ( edible film ), K2 ( edible film

dan kertas minyak ) K3 ( kertas minyak ), 2. Penyimpanan pada ruang pendingin

( 15 oC ) ada 2 variasi pengemasan: Ko ( tanpa pengemas ), K1 ( edible film ).

3.3.4 Uji kadar Karbohidrat ( gula pereduksi )

- Sebanyak 5 gram bika ambon dihaluskan kemudian dilarutkan dalam 100

mL air dan dikocok.

- Masukkan 10 mL larutan sampel ke dalam labu takar kemudian

tambahkan air 100 mL.

- Masukkan 5 mL Fehling A dan 5 mL Fehling B ke dalam erlenmeyer,

ditambahkan 15 mL larutan sampel yang telah diencerkan dan 3 tetes

indikator methylen blue lalu dipanaskan diatas hot plate sampai mendidih

- Dilakukan titrasi dengan larutan sampel sebagai tritran. Penambahan

tritran diatur sedemikian sehingga titik akhir terjadi. Titik akhir ditandai

dengan hilangnya warna biru dan timbulnya warna merah bata yang

menunjukkan adanya endapan kupro oksida.

- Dicatat volume titran yang dibutuhkan.

(48)

Ket :

F = Faktor koreksi analisis gula reduksi (berdasarkan tabel Lane-Eynon)

(49)

3.3.5 Uji Kadar Protein Metode Kjeldhal

a) Tahap Destruksi

- 2 gram sampel bika ambon dimasukkan dalam labu kjeldhal

- Ditambahkan 25 mL H2SO4 (p) dan 0,5 gr Se ke dalam labu tersebut

- Didestruksi dengan pemanasan sampai terbentuk larutan berwarna

kehijauan jernih

- Didinginkan dan diencerkan dalam 250 mL aquades

b) Tahap Destilasi

- Sebanyak 100 mL hasil destruksi yang telah diencerkan dimasukkan

ke dalam labu alas dan ditambahkan batu didih lalu dipanaskan

sambil diteteskan ke dalamnya 30 mL larutan NaOH 30 %.

- Destilat ditampung dalam gelas kimia yang berisi larutan H3BO3 3%

dan 2 tetes indikator tashiro.

- Destilasi dihentikan jika destilat tidak bereaksi basa dengan lakmus

(50)

Reaksinya:

Tahap destruksi

( C,H,O)n + H2SO4



Se

(NH4)2SO4 + SO2↑ + CO2↑ + H2O ↑ Larutan bening

Tahap destilasi

(NH4)2SO4 + 2 NaOH



 Na2SO4 + 2 NH4OH

NH4OH (l)



 NH3 (g) + H2O (l)

NH3 (g)

NH3 (l )

2 NH3 (l ) + 4 H3BO3

 

Tashiro

(NH4)2B4O7 + 6 H2O

Biru dongker Lar. Hijau toska

Tahap titrasi

(NH4)2B4O7 + 2 HCl → 2 NH4Cl + H2B4O7↓ + 5 H2O

(51)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Film campuran pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu

dan gliserol sebagai pengemas

Ditambahkan Ditambahkan 0,5 g

100 g aquades serbuk batang ubi kayu

(variasi 110 g dan 120 g)

Di campur sampai homongen

Dipanaskan sampai membentuk gel ( 1000C )

Dicetak diatas kaca

Dikeringkan ( udara terbuka )

Divakum sampai dengan berat tetap

1 g gliserol 10 g pati ubi kayu

Bentuk Film

(52)

3.4.2 Uji Ketahanan Air

Diukur 2 x 2 cm

Ditimbang

Dimasukkan ke dalam desikator yang berisi aquades

Dibiarkan selama 24 jam

Ditimbang Kemasan layak makan

Hasil

(53)
(54)
(55)

3.4.5 Uji Kadar Protein

a) Tahap Destruksi

Dicuci

Dimasukkan ke dalam labu kjeldhal

Ditambahkan 0,5 g Selenium

Ditambahkan 20 mL H2SO4(p)

Didestruksi dengan pemanasan

Didinginkan

Diencerkan dalam 250 mL aquades

b) Tahap Destilasi

Dimasukkan ke dalam labu alas

Ditambahkan batu didih

Dipanaskan sambil diteteskan 20 mL NaOH 30 %

Ditampung dalam beaker gelass yang berisi campuran H3BO3 3 % dan indikator tashiro

sampai larutan bersifat basa Larutan Kehijauan

Hasil

2 g sampel bika ambon

100 mL larutan hasil destruksi

(56)

c) Tahap Titrasi

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer

Ditambahkan 3 tetes indikator pp

Dititrasi dengan HCl 0,1 N hingga berubah warna

Dicatat volume HCl yang terpakai 5 mL destilat

(57)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Preparasi dan Uji Ketahanan Air

1. Film pati ubi kayu variasi air 100 g

Terbuat dari 100 g air + 10 g pati ubi kayu + 0,5 g serbuk batang ubi kayu +

1 g gliserol.

Gambar 4.1. Film kemasan variasi 100 g air

Tampak dalam Gambar 4.1 bahwa film kemasan yang dihasilkan dari pati

ubi kayu variasi 100 g air agak buram, kurang jernih dan serbuk batang ubi kayu

kelihatan lebih jelas.

2. Film pati ubi kayu variasi air 110 g

Terbuat dari 110 g air + 10 g pati ubi kayu + 0,5 g serbuk batang ubi kayu +

1 g gliserol.

(58)

Gambar 4.2. Film kemasan variasi 110 g air

Terlihat pada Gambar 4.2 film kemasan yang dihasilkan sudah lebih

transparan dan lebih jernih dibandingkan dengan variasi 100 g air, dan serbuk

batang ubi kayu juga semakin tipis.

.

3. Film pati ubi kayu variasi air 120 g

Terbuat dari 120 g air + 10 g pati ubi kayu + 0,5 g serbuk batang ubi kayu +

1 g gliserol.

(59)

Terlihat pada Gambar 4.2 film kemasan yang dihasilkan jauh lebih

transparan, lebih jernih dan serbuk batang ubi kayu juga lebih tipis dibandingkan

dengan variasi 100 dan 110 g air. Mempunyai ketebalan 0,1 mm.

4. Uji Ketahanan Air

Uji ketahanan air terhadap film kemasan layak makan yang digunakan

sebagai pembungkus sampel dilakukan dengan 3 ( tiga ) kali

percobaan/pengulangan. Data dan hasil pengujian ketahanan air terlihat pada tabel

di bawah ini.

Tabel 4.1 Data Dan Hasil Uji Ketahanan Air

No.Percobaan W0 ( gr ) W ( gr ) Air Yang Diserap(%)

Dari 3 ( tiga ) kali pengulangan diperoleh persen rerata air yang diserap edible:

(60)

4.2 Hasil Pengaruh Kemasan Terhadap Kadar Protein, Karbohidrat dan

data - data terdapat pada Tabel berikut:

Tabel 4.2 Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 300C

(61)
(62)
(63)
(64)

4.2.1. Perhitungan Kadar Gula Reduksi Bika Ambon Pada suhu 300C

F = Faktor koreksi analisis gula reduksi (berdasarkan tabel Lane-Eynon)

Fp = Faktor Pengenceran = 10

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar gula reduksi pada suhu

300C , ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 30 0C

(65)

4.2.2. Perhitungan Kadar Gula Reduksi Bika Ambon Pada suhu 150C

F = Faktor koreksi analisis gula reduksi (berdasarkan tabel Lane-Eynon)

Fp = Faktor Pengenceran = 10

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar gula reduksi pada suhu

150C, ditunjukkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 15 0C

Hari Ke

NO Sampel

0 7 11 15 19

1 K0 3,34 3,28 3,26 3,24 3,23

(66)

4.2.3. Perhitungan Kadar Protein Bika Ambon Pada Suhu 300C

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar protein pada suhu 300C,

(67)
(68)

= 0,6484 %

% P = 0,6484 % x 6,25

= 4,05 %

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar protein pada suhu 150C,

ditunjukkan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Hasil Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 15 0C

Hari Ke

NO Sampel

0 7 11 15 19

1 K0 4,46 3,28 2,92 2,19 1,82

2 K1 4,46 4,05 3,65 3,28 2,43

4.3. Pembahasan Pengaruh Kemasan Terhadap Kadar Karbohidrat dan

Protein serta Umur Simpan.

Berdasarkan penampakan visual pada hari ke- 4 penyimpanan sampel pada

suhu 300C sampel K0 sudah ditumbuhi jamur dan kelihatan cukup jelas. Sampel

K2 dan K3 juga sudah berjamur tetapi tidak sebanyak pada sampel K0. Hal ini

dimungkinkan karena K0 tanpa pengemas apapun. Jamur pada sampel K2 lebih

sedikit dibandingkan dengan jamur pada sampel K3. Hal ini juga dimungkinkan

karena sampel K2 dikemas dengan edible dan kertas minyak sedangkan K3 hanya

dikemas dengan kertas minyak saja. Demikian seterusnya hasil pengamatan hari

ke- 7 sampai dengan hari ke- 19 sampel K0, K2 dan K3 jamurnya semakin banyak

(69)

Pertumbuhan mikroorganisme di dalam atau pada makanan dapat

mengakibatkan berbagai perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan.

Apabila ini terjadi, produk pangan tersebut dinyatakan sebagai bahan pangan yang

busuk (Buckle, et.al,1987) .

Kerusakan bahan makanan yang disebabkan mikroorganisme terjadi karena

mikroorganisme tersebut berkembang biak, karena bahan makanan memiliki

persyaratan untuk pertumbuhan mikroorganisme ( Doddi Yudhabuntara, 2008).

Secara visual sampel K1 pada hari ke- 4 penyimpanan pada suhu 300C tidak

menunjukkan adanya jamur, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.14. Pada hari

ke-7 jamur mulai kelihatan pada sampel K1 dengan jumlah yang sangat sedikit, dapat

dilihat pada Gambar 4.15. Demikian seterusnya pengamatan sampai hari ke- 19

jamur bertambah tetapi lebih lambat dibandingkan pada sampel K0, K2 dan K3.

Dibandingkan dengan sampel K0, K2, dan K3 pada penyimpanan dan waktu

yang sama maka sampel K1 mempunyai umur simpan yang lebih lama. Hal ini

dimungkinkan karena sampel dikemas dengan edible film dimana komponen

utama penyusunnya adalah hidrokoloid. Edible film yang dibuat dari hidrokoloid

dan penambahan selulosa merupakan barrier yang baik terhadap transfer oksigen.

Kebanyakan dari film hidrokoloid memiliki sifat yang baik sehingga sangat baik

dijadikan sebagai bahan pengemas ( Tekno Pangan & Agroindustri, Vol 1, No

12,).

Hasil uji gula reduksi dan uji protein pada sampel yang disimpan pada suhu

300C dan waktu penyimpanan yang sama menunjukkan kadar yang berbeda, dapat

(70)

protein paling sedikit dan lambat terjadi pada sampel K1. Penurunan kadar gula

Gambar 4.4. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 300C

0.8

Gambar 4.5. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 300C

Enzim yang terdapat dalam jamur menguraikan karbohidrat maupun protein

menjadi senyawa dengan struktur yang lebih sederhana yang dapat larut dalam air.

(71)

menjadi glukosa yang akan diserap ke dalam sel. Demikian juga enzim protease

akan menguraikan protein menjadi asam amino.

Pada setiap sampel sebelum dilakukan uji gula reduksi dan uji protein

diberikan perlakuan yang sama yaitu pencucian sampel. Hal ini kemungkinan

yang menyebabkan kadar gula reduksi dan protein menurun. Karbohidrat yang

sudah terurai menjadi glukosa maupun protein yang terurai menjadi asam amino

larut dalam air pencucian.

Secara visual sampel K0 dan K1 penyimpanan pada suhu 150C tidak

menunjukkan adanya jamur baik penyimpanan sampai dengan hari ke- 19. Hal ini

dimungkinkan karena sampel disimpan pada suhu 150C. Dimana suhu adalah

salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan

mikroorganisme. Umumnya bakteri tumbuh baik pada suhu 25 – 350C.

Hasil uji gula reduksi dan uji protein pada sampel yang disimpan pada suhu

150C dan waktu penyimpanan yang sama menunjukkan kadar yang berbeda, dapat

dilihat pada Tabel 4.7 dan Tabel 4.9. Sampel K0 maupun K1 menunjukkan

adanya penurunan kadar gula reduksi maupun kadar protein dapat dilihat pada

Gambar 4.6 dan Gambar 4.7. Hal ini kemungkinan dikarenakan perlakuan

(72)

3.22

Gambar 4.6. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 150C

1.7

Gambar 4.7. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 150C

(73)

4.3.1. Sampel K0 pada Suhu 300C

Gambar 4.8. K0 (Blanko)

Kadar Gula Reduksi = 3,34 g/ml

Kadar Protein % = 4,46%

Gambar 4.9. K0 Hari ke – 4 pada Suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,24 g/ml

(74)

Gambar 4.10 K0 hari – 7 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,22 g/ml

Kadar Protein = 1,99 %

Gambar 4.11 K0 hari ke – 11 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,20 g/ml

Kadar Protein = 1,09 %

(75)

Gambar 4.12 K0 hari ke – 15 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,19 g/ml

Kadar Protein = 0,99 %

Gambar 4.13 K0 hari ke – 19 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,14 g/ml

Kadar Protein = 0,91 %

(76)

4.3.2. Sampel K1 Pada Suhu 300C

Gambar 4.14 K1 hari ke – 4 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,34 g/ml

Kadar Protein = 4,05 %

Gambar 4.15 K1 hari ke – 7 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,32 g/ml

(77)

Gambar 4.16 K1 hari ke – 11 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,28 g/ml

Kadar Protein = 2,98 %

Gambar 4.17 K1 hari ke – 15 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,24 g/ml

(78)

Gambar 4.18 K1 hari ke – 19 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,21 g/ml

Kadar Protein = 1,22 %

4.3.3. Sampel K2 Pada Suhu 300C

Gambar 4.19 K2 hari ke – 4 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,28 g/ml

(79)

Gambar 4.20 K2 hari ke – 7 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,24 g/ml

Kadar Protein = 2,43 %

Gambar 4.21 K2 hari ke – 11 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,22 g/ml

(80)

Gambar 4.22 K2 hari ke – 15 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,20 g/ml

Kadar Protein = 1,09 %

Gambar 4.23. K2 hari ke – 19 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,18 g/ml

(81)

4.3.4. Sampel K3 Pada Suhu 300C

Gambar 4.24 K3 hari ke – 4 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,25 g/ml

Kadar Protein (% ) = 2,65 %

Gambar 4.25 K3 hari ke – 7 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,22 g/ml

(82)

Gambar 4.26 K3 hari ke – 11 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,21 g/ml

Kadar Protein (% ) = 1,21 %

Gambar 4.27 K3 hari ke – 15 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,19 g/ml

(83)

Gambar 4.28 K3 hari ke – 19 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,18 g/ml

Kadar Protein % = 0,99 %

4.3.5. Sampel K0 Pada Suhu 150C

Gambar 4.29 K0 hari ke – 7 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,28 % g/ml

(84)

Gambar 4.30 K0 hari ke – 11 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,26 g/ml

Kadar Protein = 2,92 %

Gambar 4.31 K0 hari ke – 15 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,24 g/ml

Kadar Protein = 2,19 %

(85)

Gambar 4.32 K0 hari ke – 19 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,23 g/ml

Kadar Protein = 1,82 %

4.3.6 Sampel K1 Pada Suhu 150C

Gambar 4.33 K1 hari ke – 7 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,34 g/ml

(86)

Gambar 4.34 K1 hari ke – 11 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,32 g/ml

Kadar Protein = 3,65 %

Gambar 4.35 K1 hari ke – 15 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi (g/ml) = 3,31 g/ml

(87)

Gambar 4.36 K1 hari ke – 19 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi = 3,29 g/ml

(88)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah kami lakukan dan berdasarkan data-data yang

diperoleh setelah dilakukan uji kadar karbohidrat dan uji kadar p-rotein, dapat

disimpulkan:

1. Preparasi film kemasan layak makan yang dibuat dari 10 g pati ubi kayu,

1 g gliserol dan 0,5 g serbuk batang ubi kayu menggunakan air sebanyak

120 g mempunyai ketebalan 0,1 mm dan ketahanan air 71,43 %.

2. Pada penyimpanan sampel bika ambon pada suhu 30 0C dan pada suhu

15 0C yang terbaik adalah yang menggunakan kemasan K1.

3. Ternyata penggunaan pembungkus K1 pada bika ambon dapat

memperpanjang umur simpan bika ambon tersebut hingga 7 hari dari

(89)

5.2. SARAN

1. Untuk peneliti selanjutnya agar memperhatikan cara pembungkusan

dengan kemasan film layak makan sehingga tidak membentuk adanya

rongga udara antara makanan dengan film yang dapat mendorong

pertumbuhan jamur dan penurunan kadar gula reduksi (karbohidrat

serta kadar protein).

2. Agar melakukan uji organoleptik dan kadar gizi lainnya seperti kadar

lemak pada makanan yang dikemas dengan kemasan film layak

(90)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous II, 2006, Glycerin,www.pioneerthinking.com/glycerin.html

Austin, 1985, Shereve, s Chemical Proces Indusries, Mc Graw-Hill Book Co

Tokyo

Averous luc. 2004, Biodegradable Multiphase Systems Based on Plasticized

Starch: A review, Journal of Macromolecular Science, United Kingdom.

Bhat, S.G.,1990, Oleic Acid AValue Added Product From Palm Oil. The Conference Chemistry Technology. PORIM Kuala Lumpur.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M.Wootton, 1987, Ilmu Pangan. Penerjemah H.Purnomo dan Adiono, UI – Press, Jakarta.

Darni Yuli, Chici A.,Sri Ismiyati D., 2008, Sintesa Bioplastik Dari Pati Pisang

dan Gelatin Dengan Plasticizer Gliserol, Jurusan Tehnik Kimia, Fakultas

Tehnik Universitas Lampung.

Firdaus, F. dan Mulyaningsih S., 2008, Morfologi Film Plastik Biodegradeble

dari Komposit Pati PLA, Pati Khitosan, dan Pati Tropis-PLA-Khitosan, Jurnal TEKNOIN ISSN 0853-8697 ( terakreditasi ) Edisi

Juni 2008.

Gaman. P, 1991, Ilmu Pangan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Goudung, D.U., 2004. Catalytic Epoksidation of Methyl Lindeate.

J.Am.Oil.Chem.Socs, Vol.81.No.4

Harris Helmi, 2001, Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka

Untuk Pengemasan Lempuk, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia.

Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Herawan T., Wirjosentono, B.,dan Rahmi U., 2006, Pemurnian Residu Gliserol

Pabrik Biodisel dengan Cara Pengasaman, Penelitian PPKS USU,

(91)

Indarti,Eti.Sri Mulyani,dan Normalina Arpi.2007. Perbaikan Karekteristik Plastik

Biodegradeble Pati Sagu dengan Penambahan Serat Selulosa dan Minyak Sawit. Universitas Syiah Kuala. Aceh.

Kinzel,B.1992.Protein-Rich Edible Coatings For Foods. Agricultural research. May 1992.

Krochta, J.M.,1992, Control Of Mass Transfer In Food With Edible Coating End Film. Di dalam : Singh, R.P. dan M.A. Wira

Krotcha, J.M., Balswin E.A dan M.O. Nisperos-Carriedo. 1994, Edible Coating

and Film to improve Food Quality, Echnomic Publ. Co., Inc., USA.

Krotcha, J.M dan De Mulder- Jhonston C. 1997. Edible and biodegradable

Polymer Films Challenges and Oppurtunities, Food technology, 51,61-74

dalamWeber C.J (Ed) 2000.Biobased Packaging Materials for The Food Industry, A European Concerted Action, Denmark.

Latief, R., 2001, Teknologi Kemasan Biodegradeble, Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3 IPB, Bandung. http:// www.hayati-ipb.com/user/rudyct/indiv2001/rindam_latief.htm.

Liu.L.J.F Kennedy And P.K.Joseph 2005, Selection of Optimum Extrasion

Technology Parameters In the Manufacture of Edible / Biodegradable

Packaging Films Derived From Food – Based Polymers, Journal Of Food

Agriculture & Environment. Vol 3.

Martaningtyas, D., 2004, Potensi Biodegradable, 02 September 2004 http://www.pikiran rakyat.com/cetak/0904/02/cakrawala/lainnya 06.html.

Nourieddini,H. dan Mendikonduru,v., 1997. Glycerolysis Of Fats And Methyls

Ester. J.Am.Oil.Chem.Socs.

Piasecki, 2000, Synthesis And Surface Properties Of Chemodegrable Anionic

Surfactans Diastreomeric (2-N-Alkyl-1,3-Dioksan-5-yl) Sulafates.

J.Am.Oil. Chem.Socs, Vol.74,1.

Poedjadi.A, 1994, Dasar-dasar Biokimia, universitas Indonesia, Jakarta.

Pramuda, H., 2003, Pengembangan Bahan Plastik Biodegradable Berbahan Baku

Pati Tropis, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.

Sudarmadji.S, Bambang Haryono,Suhardi, 1984, Analisa Bahan Makanan dan

(92)

Syah,A.N.A., 2006, Biodisel Jarak Pagar Bahan Alternatif Yang Ramah

Lingkungan. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Syarief, R.Santausa.S.dan B.T.Isyana. 1988. Buku dan Monograf Teknologi

Pengemasan Pangan. IPB. Bogor.

Weiping Ban, JianguoSong, Argyrop, 2005, Improving The Physical Functionally

of Starch – Derived Films With Biopolymers, Journal of Applied Polymer

Science 2006 Vol. 100, United State.

Winarno, F. G., 1984, Kimia Pangan dan Gizi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wirjosentono,Basuki, 1995. Perkembangan Industri Polimer di Indonesia, Orasi Ilmiah Lustrum 6. FMIPA-USU.Medan.

Yudhabuntara, Doddi, 2008. Pengendalian Mikroorganisme Dalam Bahan

Pangan,

http://milkoerdie.blogspot.com/2008/05/pengendalian-mikrooranisme-dlm-bahan.html.

Yusmarlela, Hj.,2009, Studi Pemanfaatan Plastisiser Gliserol Dalam Film Pati Ubi Dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu, USU Medan.

..., Edible Film, Tekno Pangan & Agroindustri, Volume 1, Nomor 12, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi – IPB,

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Amilosa .
Gambar 2.3 Gliserolisis Lemak
Gambar 2.4 Bika Ambon
Tabel 4.2 Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 300C
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengkonsumsi wortel Aceh ternyata mempuyai nilai efektivitas yang lebih baik (p- value < 0,05) dibandingkan mengonsumsi wortel Medan terhadap perubahan debris indeks

Menurut Hasbullah (2006: 75), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama dalam membangun suatu

Skripsi Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Perkotaan.. Sri

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menilai tingkat serangan serangga hama gudang, menilai beberapa faktor fisik penyimpanan beras yang

100 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi dan Kabupaten/Kota, alokasi anggaran Dekonsentrasi dapat dipergunakan

Seperti pembuatan Aplikasi Toko kaset/CD Gudang Musik Berbasis Web Online yang berisikan tentang informasi seputar perkembangan musik dan lagu-lagu serta memperkenalkan situs

Python dapat digabungkan dengan modul-modul lain yang dibuat dengan C++ sebagai tools yang

Merujuk kepada proses defuzzifikasi dan penghitungan nilai AFER in-sample model fuzzy untuk keempat indikator, maka terlihat indikator- indikator PDRB dan Konsumsi