PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN
KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN
PENGISI DALAM FILM LAYAK MAKAN PATI
TAPIOKA DENGAN GLISEROL
SEBAGAI PLASTISISER
TESIS
Oleh
PUJI PURWORINI 117006003/KIM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM
FILM LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
PUJI PURWORINI 117006003/KIM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos
nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM FILM LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER
Nama Mahasiswa : PUJI PURWORINI
Nomor Pokok : 117006003
Program Studi : Ilmu Kimia
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D
Ketua Anggota
Dr. Yugia Muis, M. Si
Ketua Program Studi, Dekan,
Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc
Telah diuji pada
Tanggal 27 April 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D
Anggota : 1. Dr. Yugia Muis, M.Si
2. Prof. Dr. Harlem Marpaung
3. Prof. Dr. Thamrin, M.Sc
4. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc
PERNYATAAN
PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM
FILM LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan leh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, April 2013 Penulis,
PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM FILM
LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pemanfaatan mikrokristal selulosa (MCC) dari limbah tandan kelapa muda (Cocos nucifera) sebagai bahan pengisi dalam film layak makan pati tapioka dengan pemlastis gliserol. MCC yang ditambahkan kedalam film pati dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu tahap pertama adalah pembuatan MCC dari limbah tandan kelapa muda yang didigesti dengan NaOH 17,5% menghasilkan α-selulosa kemudian dihidrolisis dengan HCl 2,5 N menghasilkan mikrokristal selulosa. Tahap kedua adalah pembuatan film pati dan MCC dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Dari hasil karakterisasi MCC dengan FT-IR, XRD dan SEM diperoleh hasil bahwa MCC yang dihasilkan mengandung gugus O-H bebas dan mempunyai struktur kristal. Analisis FT– IR untuk film pati-gliserol-MCC yang dihasilkan menunjukkan ikatan hidrogen intermolekuler yang kuat antara pati – gliserol dan MCC. Pengujian sifat mekanik film menunjukkan kuat tarik 0,317 KgF/mm2 dan kemuluran 114,82 % yang optimum pada film pati–gliserol–0,4 g MCC. Analisis XRD menunjukkan film pati–gliserol–0,4 g MCC mempunyai struktur sedikit semikristalin dan sebagian besar merupakan struktur amorf. Analisis SEM menunjukkan bahwa pada film pati– gliserol–0,4 g MCC terjadi interaksi fisik dimana MCC melekat pada permukaan matriks pati. Kadar air yang paling rendah didapat pada film pati–gliserol–0,5 g MCC yaitu 11, 50%, sedangkan nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang terendah didapat oleh film pati–gliserol tanpa MCC yakni 0,008 g/cm2.jam. Uji toksisitas menunjukkan bahwa film pati–gliserol–MCC tidak bersifat sebagai antibakteri.
THE UTILIZATION OF MICROCRYSTALLINE CELLULOSE FROM WASTE COCONUT BUNCHES (Cocos nucifera Linn) AS FILLER IN
STARCH EDIBLE FILM WITH GLYCEROL AS PLASTICIZER
ABSTRACT
The research utilization of microcrystalline cellulose (MCC) from waste coconut bunches (Cocos nucifera) as a filler material in tapioca starch edible film with glycerol as plasticizer has been done. MCC was added to the starch films with variation of mass 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. This study was divided into two stages: the first stage was the creation of MCC from waste coconut bunches which digested with 17.5%
NaOH produced α-cellulose and then were hydrolyzed with 2.5 N HCl produced microcrystalline cellulose. The second stage was the manufacture of starch-glycerol-MCC films with variation mass of starch-glycerol-MCC was 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. Characterization of MCC with FT-IR, XRD and SEM were obtained that the MCC contained free OH groups and had a crystal structure. Analysis of FT-IR for the MCC-glycerol film indicated strong intermolecular hydrogen bonds among starch-glycerol and MCC. The mechanical testing properties of the film indicated the tensile strength was 0,317 Kgf/mm2 and elongation was 114.82% in the optimum starch-glycerol film with 0.4 g MCC. XRD analysis showed that starch-starch-glycerol with 0.4 g MCC film had a semi-crystalline structure but largely in amorphous structure. SEM analysis showed that the starch-glycerol-0.4 g MCC film had a physical interaction where MCC was attached to the surface of the starch matrix. The lowest water content was 11,50% were obtained on starch-glycerol film with 0.5 g MCC, while the lowest water transmission rate (WVTR) values was 0,008 g/cm2.hours were obtained by starch-glycerol film without MCC. Toxicity tests showed that the starch-starch-glycerol-MCC films was not as antibacterial.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan penelitian tesis ini.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Sumatera
Utara c.q Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang memberikan beasiswa kepada
saya sebagai Mahasiswa Program Magister Kimia di Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara. Dengan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,
M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk
menyelesaikan pendidikan program magister.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program
Studi Magister Kimia Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D atas kesempatan
yang diberikan kepada saya untuk menjadi mahasiswa Program Magister Kimia di
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Bapak Dr. Sutarman,
M.Sc atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk menyelesaikan
penelitian tesis ini.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya ditujukan kepada :
1. Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D selaku Pembimbing Utama dan Dr. Yugia
Muis, M.Si, selaku anggota komisi pembimbing yang setiap saat dengan penuh
perhatian memberikan bimbingan, motivasi dan saran dalam penyusunan tesis
2. Kepala Sekolah SMA Negeri 18 Medan, Ibu Dra. Hj. Yurmaini Siregar, M.Si
yang telah memberikan kesempatan dan motivasi kepada saya untuk mengikuti
pendidikan pada Program Magister Kimia di Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Medan dan rekan – rekan guru di SMA Neg. 18 Medan atas
motivasi, doa dan pengertian selama saya mengikuti perkuliahan dan penelitian
tesis ini.
3. Kepala Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU, Kepala Laboratorium Ilmu
Dasar (LIDA) Kimia USU, Kepala Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU
beserta staf dan asisten atas fasilitas dan sarana yang diberikan.
4. Bapak/Ibu Dosen Pascasarjana Kimia yang telah membimbing dan memotivasi
saya sampai selesainya tesis ini.
5. Sun Theo Constan Ndruru di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB)
yang telah banyak membantu saya dalam analisa – analisa yang dilakukan.
6. Saudari Sri Rahayu di Labratorium Ilmu Dasar (LIDA) Kimia USU yang telah
banyak membantu saya selama penelitian.
7. Rekan – rekan Mahasiswa Magister Kimia (S-2) Guru dan regular Angkatan
2011, dan Kak Leli di Sekretariat Program Studi Magister Kimia yang telah
banyak membantu dalam memberikan motivasi, saran selama menjalankan
perkuliahan dan penelitian.
8. Keluarga tercinta : Orang tua saya Ayahanda Mudjijono dan Ibunda Suryani
serta adik - adikku Desma Harbudwi Utami dan Muhammad Purnoaji atas
perhatian, kasih sayang, doa, motivasi dan nasehat selama perkuliahan,
penelitian dan penulisan tesis ini.
9. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Edi Suratno
dan anakku Galih Agung Fadhirrahman. Dengan penuh kasih sayang dan cinta,
kesabaran dan perhatian memberikan doa restu serta dorongan baik materil dan
moril sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan Magister Kimia di Sekolah
Serta seluruh teman – teman yang tak dapat saya sebutkan satu persatu yang
telah mendoakan saya, saya ucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi penelitian dan
kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Hormat Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 22 Pebruari 1984 di Medan, anak dari Mudjijono dan
Suryani sebagai anak pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menimba ilmu pada masa pendidikan sekolah dasar di SD Swasta Ikal di
Medan pada tahun 1990-1996. SMP Negeri 18 Medan tahun 1996-1999, SMU Negeri 4
Medan tahun 1999-2002, dan pada tahun 2002 menjadi mahasiswa jurusan Kimia
FMIPA Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2006.
Pada tahun 2010, penulis ditempatkan menjadi Guru PNS Dinas Pendidikan
Kota Medan di SMA Negeri 18 Medan sampai sekarang. Pada tahun 2011, penulis
melanjutkan jenjang pendidikan Magister Kimia pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara dengan bantuan beasiswa dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan
DAFTAR ISI
1.3Pembatasan Masalah 5
1.4Tujuan Penelitian 5
1.5Manfaat Penelitian 6
1.6Metodologi Penelitian 6
1.7Lokasi Penelitian 7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Selulosa 8
2.2 Mikrokristal Selulosa 11
2.3 Tanaman Kelapa 15
2.3.1 Komposisi Kimia dari Serat Kelapa 17
2.3.2 Pemanfaatan Tanaman Kelapa 18
2.4.Bahan Pengisi 21
2.4.1 Selulosa/Mikrokristal sebagai Bahan Pengisi 22
2.5 Edible Film 24
2.5.1 Material yang Digunakan dalam Edible Coatings 27 dan Film
2.5.2 Bahan – bahan Pembentuk Film 27
2.5.5 Edible Film/Coatings sebagai Kemasan Antimikrobial 30 2.5.6 Karakteristik Fisiko – Kimia Edible Film 31
2.6 Gliserol 36
2.6.1 Pemanfaatan Gliserol sebagai Zat Plastisiser dalam 37 Edible Film
2.6.2 Plastisasi Bahan Polimer 39
2.6.3 Interaksi Pemlastis dengan Bahan Polimer 39 2.6.4 Pengaruh Pemlastis terhadap Sifat Fisik Polimer 41
2.6.5 Mekanisme dan Teori Plastisasi 41
2.6.6 Teori Model Material Berpori 42
2.7.Analisis dan Karakterisasi Bahan Polimer 44 2.7.1 Spektroskopi Infra Merah Fourier – Transform (FTIR) 44
2.7.2 Pengujian Sifat Mekanis 45
2.7.3 Mikroskop Pemindai Elektron(SEM) 46
2.7.4 Difraksi Sinar-X (XRD) 46
2.8.Ekologi Mikroba pada Bahan Pangan 48
2.8.1 Penyakit Akibat Mikroba Pangan 48
BAB III METODE PENELITIAN 51
3.1 Alat – alat yang digunakan 51
3.2 Bahan – bahan yang digunakan 52
3.3 Prosedur Penelitian 53
3.3.1 Penyediaan Serbuk Tandan Kelapa 53
3.3.2 Proses Delignifikasi 53
3.3.3 Proses Hidrolisa 53
3.3.4 Pembuatan Selulosa Mikrokristal 54
3.3.5 Pembuatan Spesimen Film Campuran Pati 54 Tapioka – Gliserol
3.3.6 Pembuatan Spesimen Film Campuran Pati – Gliserol – 54 dengan Variasi Massa Mikrokristal Selulosa
3.4 Karakterisasi Film Pati–Gliserol–Mikrokristal Selulosa 55
3.4.1 Uji Kemuluran/Uji Tarik 55
3.4.2 Analisis Permukaan dengan SEM 56
3.4.3 Analisis FTIR 56
3.4.4 Uji Laju Transmisi Uap Air 56
3.4.5 Uji Toksisitas 57
3.4.6 Analisis Difraksi Sinar-X (XRD) 58
3.5 Bagan Penelitian 59
3.5.1 Isolasi α- selulosa dari Serat Tandan Kelapa 59
3.5.2 Pembuatan Selulosa Mikrokristal 60
3.5.5 Uji Toksisitas Film Pati–Gliserol dengan Bakteri 63 3.5.6 Uji Toksisitas Film Pati–Gliserol–MCC dengan Bakteri 64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 65
4.1 Hasil Penelitian 65
4.1.1 Pembuatan Mikrokristal Selulosa (MCC) dari Limbah 65 Tandan Kelapa Muda
4.1.2 Karakteristik Mikrokristal Selulosa 66
4.1.2.1 Analisis FT-IR 66
4.1.2.2 Analisis Difraksi Sinar-X 67
4.1.2.3 Analisis SEM 69
4.1.3 Pembuatan Film Pati–Gliserol dan Film Pati–Gliserol 71 –MCC
4.1.4 Karakteristik Edible Film Pati-Gliserol-MCC 75
4.1.4.1 Analisis Kadar Air 75
4.1.4.2 Analisis FT-IR 77
4.1.4.3 Pengujian Sifat Mekanik 80
4.1.4.4 Analisis Difraksi Sinar-X (XRD) 84 4.1.4.5 Analisis Permukaan dengan SEM 87 4.1.4.6 Pengukuran Laju Transmisi Uap Air (WVTR) 88 4.1.4.7 Uji Toksisitas Edible Film Pati-Gliserol-MCC 91
Dengan Bakteri
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 93
5.1.Kesimpulan 93
5.2.Saran 94
DAFTAR PUSTAKA 95
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Klasifikasi Taksonomi Kelapa 15
Tabel 2.2 Komposisi Kimia dari Berbagai Jenis Serat Lignoselulosa 18
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Berbagai Bagian dari Tanaman Kelapa 20
Tabel 4.1 Data Analisis FT-IR pada Serbuk Mikrokristal Selulosa 66
Tabel 4.2 Data Kadar Air Edible Film Pati-Gliserol dan Film 75 Pati- Gliserol MCC
Tabel 4.3 Data Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 78
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Sifat Mekanik Edible Film 80
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Struktur Kimia Selulosa 9
Gambar 2.2 Mikrokristal Selulosa 12
Gambar 2.3 Tanaman Kelapa dan Tandan Kelapa 17
Gambar 2.4 Skema Bahan Pengisi Polimer 21
Gambar 2.5 Struktur Pati 28
Gambar 2.6 Mekanisme Umum Permeasi Gas atau Uap 35
Gambar 2.7 Struktur Gliserol 37
Gambar 3.1 Spesimen Uji Kekuatan Tarik ASTM D-368-72 55
Gambar 3.2 Cawan Uji Transmisi Film Uji terhadap Uap Air 57
Gambar 4.1 Mikrokristal Selulosa Limbah Tandan Kelapa 65
Gambar 4.2 Spektrum Analisis FT-IR MCC 67
Gambar 4.3 Difraktogram XRD MCC 68
Gambar 4.4 Difraktogram XRD MCC Ardizzone et al, (1999) 69
Gambar 4.5 Mikrograf SEM dari MCC 69
Gambar 4.6 Edible Film Pati-Gliserol tanpa MCC 65
Gambar 4.7 Edible Film Pati-Gliserol-0,1 g MCC 72
Gambar 4.8 Edible Film Pati-Gliserol-0,2 g MCC 72
Gambar 4.9 Edible Film Pati-Gliserol-0,3 g MCC 73
Gambar 4.10 Edible Film Pati-Gliserol-0,4 g MCC 73
Gambar 4.11 Edible Film Pati-Gliserol-0,5 g MCC 74
Gambar 4.13 Grafik % Kemuluran Edible Film Pati-Gliserol-MCC 81
Gambar 4.14 Grafik Nilai Kekuatan Tarik Edible Film Pati-MCC 81
Gambar 4.15 Difraktogram XRD Edible Film Pati dan Edible Film 84-85 Pati-MCC
Gambar 4.16 Foto Permukaan Edible Film Pati dan Edible Film 87 Pati-MCC
Gambar 4.17 Nilai Laju Transmisi Uap Air (WVTR) Edible Film 89 Pati-Gliserol-Variasi Massa MCC
Gambar 4.18 Foto Uji Toksisitas Edible Film Pati tanpa MCC 91
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1 Daftar Ayakan Mesh ke Mikron 102
Lampiran 2 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi MCC 103
Lampiran 3 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 104 Pati-Gliserol-tanpa MCC
Lampiran 4 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 105 Pati-Gliserol-0,1 g MCC
Lampiran 5 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 106 Pati-Gliserol-0,2 g MCC
Lampiran 6 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 107 Pati-Gliserol-0,3 g MCC
Lampiran 7 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 108 Pati-Gliserol-0,4 g MCC
Lampiran 8 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 109 Pati-Gliserol-0,5 g MCC
Lampiran 9 Difraktogram XRD dari MCC 110
Lampiran 10 Difraktogram XRD dari Edible Film 112 Pati-Gliserol-tanpa MCC
PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM FILM
LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pemanfaatan mikrokristal selulosa (MCC) dari limbah tandan kelapa muda (Cocos nucifera) sebagai bahan pengisi dalam film layak makan pati tapioka dengan pemlastis gliserol. MCC yang ditambahkan kedalam film pati dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu tahap pertama adalah pembuatan MCC dari limbah tandan kelapa muda yang didigesti dengan NaOH 17,5% menghasilkan α-selulosa kemudian dihidrolisis dengan HCl 2,5 N menghasilkan mikrokristal selulosa. Tahap kedua adalah pembuatan film pati dan MCC dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Dari hasil karakterisasi MCC dengan FT-IR, XRD dan SEM diperoleh hasil bahwa MCC yang dihasilkan mengandung gugus O-H bebas dan mempunyai struktur kristal. Analisis FT– IR untuk film pati-gliserol-MCC yang dihasilkan menunjukkan ikatan hidrogen intermolekuler yang kuat antara pati – gliserol dan MCC. Pengujian sifat mekanik film menunjukkan kuat tarik 0,317 KgF/mm2 dan kemuluran 114,82 % yang optimum pada film pati–gliserol–0,4 g MCC. Analisis XRD menunjukkan film pati–gliserol–0,4 g MCC mempunyai struktur sedikit semikristalin dan sebagian besar merupakan struktur amorf. Analisis SEM menunjukkan bahwa pada film pati– gliserol–0,4 g MCC terjadi interaksi fisik dimana MCC melekat pada permukaan matriks pati. Kadar air yang paling rendah didapat pada film pati–gliserol–0,5 g MCC yaitu 11, 50%, sedangkan nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang terendah didapat oleh film pati–gliserol tanpa MCC yakni 0,008 g/cm2.jam. Uji toksisitas menunjukkan bahwa film pati–gliserol–MCC tidak bersifat sebagai antibakteri.
THE UTILIZATION OF MICROCRYSTALLINE CELLULOSE FROM WASTE COCONUT BUNCHES (Cocos nucifera Linn) AS FILLER IN
STARCH EDIBLE FILM WITH GLYCEROL AS PLASTICIZER
ABSTRACT
The research utilization of microcrystalline cellulose (MCC) from waste coconut bunches (Cocos nucifera) as a filler material in tapioca starch edible film with glycerol as plasticizer has been done. MCC was added to the starch films with variation of mass 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. This study was divided into two stages: the first stage was the creation of MCC from waste coconut bunches which digested with 17.5%
NaOH produced α-cellulose and then were hydrolyzed with 2.5 N HCl produced microcrystalline cellulose. The second stage was the manufacture of starch-glycerol-MCC films with variation mass of starch-glycerol-MCC was 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. Characterization of MCC with FT-IR, XRD and SEM were obtained that the MCC contained free OH groups and had a crystal structure. Analysis of FT-IR for the MCC-glycerol film indicated strong intermolecular hydrogen bonds among starch-glycerol and MCC. The mechanical testing properties of the film indicated the tensile strength was 0,317 Kgf/mm2 and elongation was 114.82% in the optimum starch-glycerol film with 0.4 g MCC. XRD analysis showed that starch-starch-glycerol with 0.4 g MCC film had a semi-crystalline structure but largely in amorphous structure. SEM analysis showed that the starch-glycerol-0.4 g MCC film had a physical interaction where MCC was attached to the surface of the starch matrix. The lowest water content was 11,50% were obtained on starch-glycerol film with 0.5 g MCC, while the lowest water transmission rate (WVTR) values was 0,008 g/cm2.hours were obtained by starch-glycerol film without MCC. Toxicity tests showed that the starch-starch-glycerol-MCC films was not as antibacterial.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Film layak makan (Edible Film) didefinisikan sebagai suatu material yang berupa lapisan tipis yang dapat dimakan dan memberikan perlindungan terhadap kelembapan,
oksigen dan laju kelarutan dari makanan. Edible film saat ini sangat banyak mendapat perhatian karena kegunaannya yang dapat bertindak sebagai kemasan layak makan
dalam bentuk film sintetik. Kegunaan edible film ini dapat berkontribusi dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Dengan fungsinya sebagai pelindung, edible film
dapat mengurangi kompleksitas dan meningkatkan daya daur ulang dari material
kemasan, dibandingkan dengan banyaknya material kemasan yang tidak ramah
lingkungan, dan juga dapat menggantikan film polimer sintetik (Bourtoom, 2008).
Polimer alam dapat digunakan sebagai sumber alternatif untuk pengembangan
material kemasan karena kemampuan degradasinya (Siracusa et al, 2008). Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Pati sering
digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik
yang baik (Bourtoom, 2008).
Dari hasil penelitian Yusmarlela (2009) yang meneliti karakteristik mekanik dari
film pati ubi kayu dengan penambahan gliserol, diketahui bahwa film pati ubi kayu
dengan penambahan gliserol sebagai plastisiser memberikan hasil yang baik pada
perbandingan 10 : 1 dan dengan penambahan serbuk batang ubi kayu sebagai bahan
pengisi memberikan kenaikan harga uji tarik dari 7, 667 Mpa sebelum penambahan, dan
Sedangkan Macharani Hasibuan (2009) dalam penelitiannya “Pembuatan Film
Layak Makan Pati Sagu menggunakan Bahan Pengisi Serbuk Batang Sagu dan Gliserol
sebagai Plastisiser” menyimpulkan bahwa film pati sagu dengan bahan pengisi serbuk
batang sagu memberikan nilai kekuatan mekanik yang cukup baik jika dibandingkan
dengan tanpa bahan pengisi.
Emma Kemalasari (2010) dalam penelitiannya yang meneliti laju biodegradasi
dari film pati ubi kayu – gliserol juga menyimpulkan bahwa film campuran dari pati ubi
kayu dengan penambahan gliserol dan serbuk batang ubi kayu memberikan laju
biodegradasi yang lebih baik daripada campuran pati dan gliserol.
Tongdeesoontom et al (2011) merilis hasil penelitian mereka yang berjudul
“Effect of Carboxymethyl Cellulose Concentration on Physical Properties of Biodegradable Cassava Starch-Based Films” menyatakan bahwa penambahan
Carboxymethyl Cellulose (CMC) pada film pati meningkatkan tegangan tarik dan mengurangi kemuluran dari film yang dicampurkan. Hal ini mengindikasikan adanya
interaksi yang baik antara pati dengan CMC.
Salah satu polisakarida yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku edible film
adalah selulosa. Selulosa disusun dari perulangan unit D-glukosa pada ikatan β-1, 4 ikatan glikosida. Selulosa sebagai edible film menghasilkan struktur yang kuat dan struktur kristalin yang teratur (Krochta dan Mulder-Johnson, 1997).
Selulosa dalam bentuk kristal disebut mikrokristalin selulosa (MCC)
kimianya (proporsi selulosa, hemiselulosa dan lignin) dan juga struktur organisasi yang
mengakibatkan perbedaan komposisi α-selulosa yang terekstraksi dan kristalinitas dari mikroselulosa yang dihasilkan. Ohwoavworhua dan Adelakun (2005) meneliti bahwa
mikrokristalin selulosa umumnya dipakai sebagai bahan pengisi dan pengikat pada
tablet obat karena karena kemampuan mengikatnya yang sangat baik sebagai dry binder.
Bahan selulosa murni yang berasal dari tandan kosong kelapa sawit dapat
menjadi bahan pengisi alternatif karena sifat seratnya yang kuat (modulus tinggi) karena
rantai – rantai selulosa terdapat ikatan hidrogen yang kuat sehingga menghasilkan
stuktur kristal. Keunggulan lain adalah selulosa merupakan polimer dari bahan organik
sehingga mudah terdegradasi (Sinaga, M. Z. E, 2011).
Kelapa adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan atau Arecaceae dan anggota tunggal dari marga Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba guna, khususnya
bagi masyarakat pesisir (Anonim, 2010).
Tandan kelapa yang ada dianggap sebagai limbah, karena masyarakat hanya
mengambil buah kelapa untuk dimanfaatkan. Penelitian Thomas et al, (1998) melaporkan bahwa biomassa lignosellulosik dari tanaman kelapa (Cocos nucifera Linn.) seperti limbah tandan, pucuk daun, tangkai daun dan sabut kelapa, dapat dimanfaatkan
sebagai substrat bagi pertumbuhan jamur Pleurotus sajor-caju (Fr.) Singer. Thomas et al juga melaporkan bahwa kandungan selulosa dan lignin (rasio selulosa : lignin = 0,55) pada tandan kelapa meningkatkan pertumbuhan sporofor dari jamur Pleurotus sajor-caju. Dari hasil penelitian Thomas, diperoleh kandungan selulosa dari tandan kelapa adalah 29,18% dan kandungan ligninnya sebesar 31,28% (Thomas et al, 1998).
Oleh karena kadar lignin yang tinggi mengakibatkan karakteristik serat pada
lignin juga mempengaruhi struktur, sifat, fleksibilitas, laju hidrolisis dan membuat serat
menjadi lebih halus (Abiola, 2008).
Selulosa yang berasal dari limbah tandan kelapa ternyata sangat potensial untuk
digunakan sebagai sumber mikrokristal selulosa. Sementara itu, penelitian tentang
pembuatan film layak makan (edible film) berbahan dasar pati dengan bahan pengisi tertentu telah banyak dilakukan.
Namun, pemanfaatan selulosa limbah tandan kelapa sebagai sumber mikrokristal
selulosa sebagai bahan pengisi dalam edible film pati belum pernah dilakukan. Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk memanfaatkan selulosa
dari limbah tandan kelapa muda menjadi mikrokristal selulosa yang digunakan sebagai
bahan pengisi dalam edible film pati dengan gliserol sebagai plastisiser untuk mengurangi jumlah limbah tandan kelapa serta meningkatkan nilai tambah bagi limbah
1.2Permasalahan
Adapun permasalahan yang ditemui pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kinerja dari mikrokristal selulosa yang dibuat dari limbah tandan kelapa
muda untuk digunakan sebagai bahan pengisi dalam film layak makan pati tapioka
dengan gliserol sebagai plastisiser.
2. Bagaimana karakteristik film pati tapioka yang mengandung plastisiser gliserol dan
menggunakan mikroselulosa sebagai bahan pengisi dan interaksi antar
komponennya agar dapat digunakan sebagai film layak makan.
1.3Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
1. Pati tapioka dan gliserol yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh secara
komersial.
2. Pati tapioka yang digunakan berukuran 325 mesh (44 mikron).
3. Limbah tandan kelapa yang digunakan sebagai bahan pembuat mikrokristalin
selulosa adalah yang masih muda dan berwarna hijau.
4. Mikrokristalin selulosa yang digunakan berukuran 100 – 120 mesh (149 mikron).
1.4Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kinerja dari mikrokristalin selulosa limbah tandan kelapa sebagai
bahan pengisi dalam film layak makan dari pati tapioka dengan gliserol sebagai
plastisiser.
2. Untuk mengetahui karakteristik film layak makan dari pati tapioka yang
1.5Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana
memanfaatkan hasil pertanian dan memberikan nilai tambah bagi tanaman kelapa untuk
menghasilkan mikrokristal selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam
film layak makan berbahan dasar pati.
1.6Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium, dengan variabel – variabel sebagai
berikut :
• Variabel tetap : Pati tapioka komersial 325 – 400 mesh = 44 mikron,
sebanyak 10 gram
Volume akuades 100 mL
Temperatur 80ºC
Massa gliserol 1,5 gram
• Variabel bebas : Variasi massa mikrokristal selulosa 100 – 120 mesh = 149
mikron (0,1 g ; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g)
• Variabel terikat : Hasil analisa uji tarik, SEM, FTIR, uji laju transmisi uap air, kadar air, XRD, dan uji toksisitas dengan mikroba.
Sampel berupa limbah tandan kelapa muda jenis kelapa hibrida yang diperoleh
dari pedagang minuman es kelapa muda. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
dari lima titik pedagang minuman es kelapa muda yang berbeda di kelurahan Tanah
1.7Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Dasar Lida FMIPA USU,
Laboratorium Kimia Polimer dan Kimia Fisika Jurusan Kimia FMIPA USU,
Laboratorium Penelitian FMIPA USU, Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi
FMIPA USU, Laboratorium Basic Science A FMIPA ITB, Laboratorium Pengujian Metalurgi Fakultas Pertambangan dan Perminyakan ITB, Bandung dan Laboratorium
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Selulosa
Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kira – kira 40 – 45% bahan kering dalam
kebanyakan spesies kayu adalah selulosa (Eero Sjostrom, 1995). Selulosa terdapat pada
semua tanaman dari pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput laut,
flagellata, dan bakteri (Fengel dan Wegner, 1995).
Selulosa banyak ditemukan di alam, merupakan konstituen utama dari dinding
sel tumbuh-tumbuhan dan rata-rata menduduki sekitar 50% dalam kayu tertentu.
Selulosa juga menjadi konstituen utama dari berbagai serat alam yang terjadi sebagai
rambut-rambut biji yang mengelilingi biji-bijian dari beberapa jenis tumbuhan misalnya
kapas, sebagai kulit bagian dalam kayu yang berserat, batang, dan konstituen-konstituen
berserat dari beberapa tangkai daun (serat-serat daun).
Jumlah selulosa dalam serat bervariasi menurut sumbernya dan biasanya
berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin, protein, lignin dan
substansi-substansi mineral. Derajat polimerisasi dari selulosa kapas berkisar 15.000,
dibandingkan dengan sekitar 10.000 untuk selulosa kayu. Pemisahan selulosa kayu dari
lignin menyebabkan penurunan DP ke sekitar 2600 (Stevens, 2001).
Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit – unit β -D-glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan – ikatan glikosida (1→4). Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida
17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi 600 –
1500.
2. Selulosa β (Beta Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5 % atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 – 90, dapat
mengendap bila dinetralkan.
3. Selulosa γ (Gamma Cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat
polimerisasinya kurang dari 15. Struktur kimia dari selulosa dapat dilihat pada
gambar 2.1 berikut ini
Gambar 2. 1 Struktur kimia Selulosa
Sifat – sifat selulosa adalah :
• Tidak berwarna
• Tidak larut dalam air dan alkali
• Dapat dihidrolisis sempurna dalam suasana asam menghasilkan glukosa • Hidrolisis tak sempurna menghasilkan maltosa
Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α >92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan
propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan
sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang / kain (Umar S.
Tarmansyah, 2007 dan Sinaga, M. Z. E, 2011).
Morfologi selulosa mempunyai pengaruh besar pada reaktivitasnya. Gugus –
mudah bereaksi, sedangkan gugus – gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah
kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat
dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi
(alkali) maupun dalam esterifikasi (asam) (Eero Sĵostrom, 1995 dan Sinaga, M. Z. E, 2011).
Ditinjau dari strukturnya, diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar
dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan
hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-terlarut). Akan tetapi
kenyataannya tidak demikian, selulosa bukan hanya tak larut dalam air tetapi juga dalam
pelarut lain. Penyebabnya ialah kekakuan rantai dan tingginya gaya antar-rantai akibat
ikatan hidrogen antar gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang
menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa.
Jika ikatan hidrogen berkurang, gaya antaraksi pun berkurang, dan oleh
karenanya gugus hidroksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh
pengesteran (Cowd, 1991). Selulosa dengan morfologi yang baru sedang dikembangkan
yang dikenal sebagai MFC (Micro Fibrillated Cellulose). MFC adalah selulosa dari pulp yang sudah mengalami proses refiner dan homogenizer sampai ukurannya berskala nano.
Pembuatannya dari pulp melalui proses mekanik yaitu proses penguraian dan
homogenisasi tekanan tinggi dan menghasilkan selulosa yang memiliki luas permukaan
yang besar. Pembuatannya selama ini berasal dari selulosa kayu dan pemanfaatannya
baru terbatas pada bahan aditif dalam makanan, cat, kosmetik dan produk medis
2. 2 Mikrokristal Selulosa
Mikrokristalin selulosa (MCC) digambarkan sebagai hasil pemurnian, sebagian depolimerisasi selulosa dengan mereaksikan α-selulosa, yang didapat sebagai pulp dari tanaman yang berserat dengan suatu asam mineral. Mikrokristalin selulosa komersial
didapat dari berbagai tanaman gymnospermae (umumnya tanaman conifer) dan berbagai
softwood dan tanaman hardwood dicotyledons.
Kayu – kayu ini berbeda dari segi komposisi kimianya (proporsi kandungan
selulosa, hemiselulosa dan lignin) dan struktur organisasi yang memberikan pengaruh terhadap komposisi α-selulosa yang terekstrak serta komposisi dan kristalinitas MCC yang dihasilkan.
Hasil penelitian Ohwoavrhua et al, 2011 bahwa mereka telah membuat dan mengkarakterisasi mikrokristalin selulosa yang diperoleh dari serat kasar tanaman
Cochlospermum planchonii yang digunakan sebagai bahan pengisi dan bahan pengikat dalam tablet obat – obatan. Berdasarkan hasil yang didapat, MCC yang dapat diekstrak
sekitar 21% dimulai dari pembuatan serat kasar. Sedangkan hasil mikrokristalin yang diperoleh dari α-selulosa adalah 67%.
Material selulosa tersusun sebagai serat – serat selulosa yang tidak teratur
dengan kandungan kelembapan 7,2% dan kadar abu 0,12%. Densitas yang diperoleh
1,38. Hasil pengujian sifat fisiko-kimia MCC menunjukkan level kemurnian selulosa
yang tinggi. Hal ini diduga karena serat kasar dianggap sebagai bentuk selulosa yang
paling murni yang mengandung kira-kira 90% dan 7% kelembapan.
Uji organoleptis dari MCC-CP dihasilkan mikrokristal yang tidak berbau, tidak
berasa, putih dan berbentuk granular (Ohwoavrhua et al, 2011).
Gambar 2. 2 Mikrokristalin selulosa
Secara kimia, MCC merupakan polihidroksialdehid, yang secara reaktivitas
sangat mirip sebagai suatu molekul – molekul ampifilik (surfaktan). Tablet yang
umumnya mengandung MCC komersial yakni AVICEL PH 102, digunakan sebagai
bahan aktif yang baru – baru ini diteliti sebagai bahan yang bersifat terapeutik untuk mengatur kecepatan transit makanan di dalam saluran pencernaan manusia di dalam
usus halus (Vecchi et al, 1996).
Tabel 2.1 Karakteristik Fisiko – Kimia Mikrokristalin Selulosa (CP-MCC)
Ohwavworhua et al (2005)
Uji Hasil Uji CP-MCC
Identifikasi Organoleptik Tidak berbau, putih, tidak berasa, serbuk
kasar yang berwarna violet menjadi biru
dengan ZnCl2 teriodinasi
Pengotor organik Tidak ada warna merah dengan
floroglusinol asam
Pati dan dekstrin Tidak ada warna biru / merah coklat
dengan larutan iodin
pH 7,6
Kelarutan (dalam larutan ammoniakal
tetraammin tembaga)
Larut dan tanpa residu
Substansi yang larut air < 0,2%
Total kadar abu (%) 0,12 (0,004)
Mikroskopi Bentuk partikelnya tidak beraturan
dimana berupa campuran partikel –
partikel dan agregat berbentuk spheris.
(Ohwavworhua et al, 2005)
Ardizzone et al, 1999 telah meneliti tentang struktur, kondisi permukaan dan kapasitas penyerapan air dari mikrokristalin selulosa AVICEL PH 102 komersial
dengan beberapa parameter pengujian. Berdasarkan data penyerapan / desorpsi air dan
data eksperimen TGA, berikut ini ada beberapa pertimbangan umum yang dapat dibuat
pada interaksi air / MCC :
1. Temperatur tidak menjadi parameter kunci dalam mempengaruhi dehidrasi sampel.
Selain itu, waktu, pada temperatur yang diberikan, sepertinya menjadi parameter
2. Penentuan TGA dan losis air membuktikan adanya perbedaan jumlah air yang
dilepaskan.
3. Adsorpsi / absorpsi dari uap jenuh bersifat reversibel dan menunjukkan perbedaan
laju desorpsi selama proses berlangsung.
4. Interaksi yang terlibat selama proses hidrasi adalah, gaya Van der Waals, didukung oleh adanya jembatan hidrogen (Ardizzone et al, 1999).
Yakubu et al, 2011 juga telah melaporkan bahwa mikrokristalin selulosa juga dapat dimodifikasi secara kimia dengan proses blending dengan polimer sintetik yakni polietilen menghasilkan kemasan yang biodegradable yang diaplikasikan pada industri tekstil, makanan dan farmasi.
Hasil blending yang diperoleh antara MCC dengan polietilen menunjukkan peningkatan sifat – sifat fisik seperti fleksibilitas, kehalusan, transparansi, kekuatan dan
biodegradabilitas yang mana menunjukkan peningkatan hidrofobisitas relatif terhadap
sampel yang non modifikasi. Modifikasi ini sangat penting untuk membawa perubahan
terhadap interaksi permukaan antara selulosa dengan HDPE (high density polyethylene) berdasarkan prinsip “like dissolve like” (Yakubu et al, 2011).
Selulosa fibril secara alami memiliki polaritas permukaan yang tinggi
(hidrofilik) dimana tidak dapat berinteraksi dengan baik dengan permukaan yang
bersifat hidrofobik yang umumnya digunakan dalam polimer sintetik. Mikrokristalin
selulosa sebagai penguat polimer komposit menarik perhatian lebih karena kelebihannya
yang potensial seperti sifat terbarukan, biodegradabilitas, sifat mekanik yang baik dan
kapasitas luas permukaannya yang memungkinkan penyesuaian atau grafting secara kimia (modifikasi kimia) untuk meningkatkan sifatnya sebagai penahan (Galina et al
Hasil penelitian dari Yakubu et al, 2011 yang memodifikasi mikrokristalin selulosa yang telah diasetilasi dan diblending dengan polietilen yakni Acetylated Microcrystalline Cellulose Polyethylene Blend (AMCCPB) memperlihatkan kenaikan sifat mekanik dan sifat kimia, sebagai contoh dihasilkannya tekstur yang halus,
transparan, fleksibel, dan biodegradabel.
Karakteristik yang dihasilkan dari proses blending antara mikrokristalin selulosa terasetilasi dengan polietilen mengindikasikan bahwa sifat penahan dalam selulosa dapat
berinteraksi dengan polimer sintetik dan karenanya, dimungkinkan untuk proses
blending dalam aplikasi untuk kemasan pada makanan, farmasi dan industri tekstil (Yakubu et al, 2011).
2. 3 Tanaman Kelapa
Kelapa (Cocos nucifera Linn.) adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan atau dan adalah anggota tunggal dalam marga Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba guna,
khususnya bagi masyarakat. Tanaman kelapa memiliki taksonomi sebagai berikut yang
Tabel 2. 2 Klasifikasi Taksonomi Kelapa
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Pohon dengan batang tunggal atau kadang-kadang bercabang. Serabut, tebal
dan berkayu, berkerumun membentuk bonggol, adaptif pada lahan berpasir pantai.
Batang beruas-ruas namun bila sudah tua tidak terlalu tampak, khas tipe monokotil
dengan pembuluh menyebar (tidak konsentrik), berkayu.
Kayunya kurang baik digunakan untuk bangunan. Daun tersusun secara
majemuk, menyirip sejajar tunggal, pelepah pada ibu tangkai daun pendek, duduk pada
batang, warna daun hijau kekuningan. Bunga tersusun majemuk pada rangkaian yang
dilindungi oleh bractea; terdapat bunga jantan dan betina, berumah satu, bunga betina terletak di pangkal karangan, sedangkan bunga jantan di bagian yang jauh dari pangkal.
Batangnya, yang disebut glugu dipakai orang sebagai kayu dengan mutu menengah, dan daunnya dipakai sebagai atap rumah setelah dikeringkan. Daun muda
kelapa, disebut janur, dipakai sebagai bahan anyaman dalam pembuatan ketupat atau berbagai bentuk hiasan yang sangat menarik, terutama oleh masyarakat Jawa dan Bali
merangkai janur). Tangkai anak daun yang sudah dikeringkan, disebut lidi, dihimpun menjadi satu menjadi sapu.
Buah besar, diameter 10 cm sampai 20 cm atau bahkan lebih, berwarna kuning,
hijau, atau coklat; buah tersusun dari mesokarp berupa serat yang berlignin, disebut
sabut, melindungi bagian endokarp yang keras (batok) dan kedap air, endokarp
melindungi biji yang dilindungi oleh membran yang melekat pada sisi dalam endokarp.
Endospermium berupa cairan yang mengandung banyak enzim, dan fase padatannya
mengendap pada dinding endokarp ketika buah menua, embrio kecil dan baru membesar
ketika buah siap untuk berkecambah (kentos) (Anonim, 2012). Gambar 2.3
menunjukkan tanaman kelapa dan tandan kelapanya.
Gambar 2. 3 Tanaman Kelapa dan tandan kelapa
2. 3. 1 Komposisi Kimia dari Serat Kelapa
Konstituen utama dari serat kelapa adalah : Selulosa, Hemiselulosa, Lignin dan
komponen - komponen vital lainnya yang disebut dengan “building block” dalam struktur sel. Serat kelapa secara alami merupakan multiselular dan diameternya dan
panjang seratnya berbeda dimensinya dan biasanya sangat tebal pada bagian tengah
membuat serat kelapa ini sangat kuat dan kaku jika dibandingkan dengan serat alami
lainnya.
Hal ini menjadi pelengkap fakta bahwa lignin membantu menyediakan jaringan
tanaman dan sel – sel individu dengan kekuatan yang baik dan juga kekakuan dinding
sel serat melindungi karbohidrat dari kerusakan secara fisik maupun kimia. Kandungan
lignin juga mempengaruhi struktur; sifat; fleksibilitas, laju hidrolisis dan dengan
kandungan lignin yang tinggi menjadikannya lebih halus dan lebih fleksibel (Rajan et al,
2005 dan Abiola, 2008).
Tabel 2. 3 Komposisi Kimia dari Berbagai Jenis Serat Lignoselulosa
Daun
2. 3. 2 Pemanfaatan Tanaman Kelapa
Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat
sebagai kopra, minyak kelapa, kelapa parut dan santan. Seiring perkembangan pasar dan
seperti dalam bentuk nata de coco, Virgin Coconut Oil (VCO), tepung kelapa
(desiccated coconut),hydrogenated coco oil, paring oil, crude glycerine, coco chemical, alkoholamide, serat sabut, arang tempurung dan arang aktif.
Sejak tahun 2000, penggunaan kopra dan butiran kelapa masih meningkat tetapi
dengan laju pertumbuhan sangat kecil. Penggunaan tepung kelapa meningkat dengan
laju 21,9% per tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007).
Sebaliknya penggunaan minyak kelapa cenderung berkurang. Penggunaan minyak
kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan
preferensi konsumen yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena
harganya lebih murah.
Produksi arang aktif dan arang tempurung selama ini lebih ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pasar luar negeri sehingga penggunaan di dalam negeri hampir
tidak ada. Demikian pula untuk produk serat sabut,walaupun terdapat indikasi bahwa
penggunaan serat sabut di dalam negeri mulai berkembang sejak terjadi krisis ekonomi.
Bagian tanaman kelapa atau hasilnya yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi alternatif adalah daging buah untuk minyak dan bahan bakar nabati,
minyak kelapa dapat dijadikan cocodiesel, sebagai campuran maupung pengganti solar. Tempurung dan serabut serta pelepah daun kelapa dijadikan bahan bakar padat.
Bagian lainnya adalah hasil nira, yang dapat dijadikan bahan pembuatan bioetanol.
Walaupun kadar energinya berbeda, tetapi bagian tanaman tersebut berpotensi
sebagai sumber energi alternatif.
Hasil bioenergi kotor yang dihasilkan dari kelapa, termasuk nira, tempurung,
dan sabut diperkirakan sebesar 316,1 MJ / pohon (Soerawidjaja, 2006 dan Prastowo,
2007). Penanaman kelapa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioenergi,
diperhitungkan sekitar 25% dari luas areal tanam dan sekitar 25% yang
diperhitungkan menghasilkan bioenergi sekitar 0,13 EJ atau 130 juta GJ (Prastowo,
2007).
Biomassa lignosellulosik dari tanaman kelapa seperti tandan kelapa, lembaran
daun, dan sabut kelapa telah diujikan sebagai substrat untuk pembudidayaan jamur tiram
Pleurotus sajr-caju (Fr.) yang dilaporkan oleh Thomas et al (1998). Budidaya jamur konsumsi adalah salah satu proses yang secara ekonomis dapat berjalan terus sebagai
biokonversi dari limbah lignosellulosik.
Berikut tabel kandungan selulosa dari bagian tanaman kelapa seperti yang
dilaporkan oleh Thomas et al, 1998 pada Tabel 2.4 berikut ini:
Tabel 2. 4 Komposisi kimia berbagai bagian dari tanaman kelapa
2. 4 Bahan Pengisi
Bahan pengisi dapat diklasifikasikan menurut sifat - sifat kimia dan fisikanya. Pada
awalnya pengisi dibagi atas pengisi organik dan anorganik tetapi dapat juga dibagi atas
pengisi berserat dan partikulat seperti pada Gambar 2. 4 berikut ini.
Ber
Gambar 2. 4 Skema bahan pengisi polimer
Menurut Maulida, et al, 2000, penggunaan pengisi alamiah sebagai penguat pada material komposit memberikan beberapa keuntungan dibanding bahan pengisi mineral,
yaitu: kuat dan pejal, ringan, ramah lingkungan, sangat ekonomis dan sumber dapat
diperbaharui. Tetapi disisi lain menurut Belmares et al, 1983, pengisi alamiah juga memiliki kelemahan dan kekurangan yaitu, mudah terurai karena kelembaban, adhesi
permukaan yang lemah pada polimer hidrofobik, ukuran pengisi yang tidak seragam,
tidak cocok dipakai pada temperatur tinggi dan mudah terpengaruh pada serangan
komposit ialah serat kaca, serat karbon, serat kevlar, dan serat alamiah seperti serat
kelapa, serat nenas, sera kelapa sawit, serat pohon karet, serbuk kayu dan sebagainya.
Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan pengisi alami
sebagai penguat pada komposit seperti: nenas, sisal, sabut kelapa, tempurung kelapa,
rami, kapas, sekam padi, bambu dan tandan kosong kelapa sawit. Luo dan Netravali,
1999 telah meneliti dan membuktikan bahwa sifat-sifat regangan dan fleksibilitas yang
dihasilkan pada komposit dengan kandungan serat nenas yang berbeda-beda, lebih baik
dibandingkan dengan resin tanpa pengisi. Belmeras et al, 1983 menemukan bahwa serat-serat sisal dan kelapa sawit memiliki sifat regangan, sifat kimia dan fisika yang
sama sehingga baik digunakan sebagai bahan pengisi.
Perkembangan teknologi dewasa ini yang menuntut dihasilkannya produk yang
ramah lingkungan dan lebih ekonomis, membuat setiap industri berusaha memanfaatkan
sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Di dalam pembuatan komposit, bahan
pengisi yang mengandung selulosa menjadi perhatian yang besar karena kemampuannya
sebagai penguat pada polimer – polimer termoplastik dengan titik peleburan yang
rendah, salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi adalah selulosa
yang diperoleh dari tandan kelapa (Abu Bakar 2009 dan Hidayani, 2012).
2. 4. 1 Selulosa / Mikroselulosa sebagai bahan pengisi
Serat selulosa saat ini banyak digunakan sebagai material penguat yang potensial karena
memiliki banyak keuntungan seperti ketersediaan yang melimpah, massa yang rendah,
biodegradabel, murah, dapat diperbaharui, abrasif rendah, merupakan limbah biomassa,
dan sifat-sifat mekanik yang baik (Bledzki et al, 1996). Serat selulosa juga mempunyai kekurangan seperti absorpsi kelembapan, stabilitas termal yang rendah, dan
seperti iklim, jadwal panen, kematangan, desortikasi, kerusakan, modifikasi serat, teksil
dan proses teknik. Untuk memahami sifat-sifat serat alami sebagai penguat komposit,
maka menjadi perlu untuk mengetahui sifat mekanik, sifat fisik dan sifat kimia
serat-serat alami (Van de Velde, 2001).
Serat selulosa mempunyai kekuatan dan kekakuan yang relatif tinggi, dan
densitas yang rendah. Perbedaan sifat mekanik dapat digabungkan kedalam serat alami
selama periode pemrosesan. Teknik digesti pada serat adalah faktor yang sangat penting
dalam menentukan struktur begitu juga nilai karakteristik serat. Modulus elastik dari
sejumlah besar serat alami seperti kayu sekitar 10 GPa. Serat selulosa dengan modulus
diatas 40 GPa dapat dipisahkan dari kayunya dengan proses kimia. Serat tersebut
selanjutnya dapat dibagi menjadi mikrofibril dengan modulus elastik sebesar 70 GPa
(Kalia et al, 2011).
Serat selulosa bersifat higroskopis; absorpsi kelembapan dapat menyebabkan
penggelembungan serat sehingga menghasilkan keretakan mikro dari komposit dan
degradasi sifat mekanik. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mereaksikan serat ini
dengan bahan kimia yang mengurangi gugus hidroksil yang terlibat dalam pembentukan
ikatan hidrogen dalam molekul selulosa. Perlakuan secara kimia dapat mengaktifkan
gugus – gugus ini atau menghasilkan gugus baru yang dapat secara efektif terikat
dengan matriks.
Nagaraja G. K et al, 2011 telah melaporkan pembuatan biokomposit berbahan modifikasi antara selulosa dengan poliasam laktat (PLA) dengan tujuan
mengkarakterisasi sifat mekanik, absorpsi kelembapan, dan sifat biodegradasi. Hasilnya
adalah bahwa selulosa dapat menurunkan absorpsi kelembapan, dan dapat juga
mengurangi laju transmisi oksigen dengan meningkatkan konsentrasi selulosa
modifikasi. Tetapi film modifikasi selulosa ini kurang efektif dalam memperlambat laju
2. 5 Edible Film
Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan edible (edible packaging). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman
bagi lingkungan (Yusmarlela, 2008). Edible Packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai pelapis (edible coating), dan berupa lembaran (edible film).
Edible film adalah suatu lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan,
penyikatan atau penyemprotan. Fungsinya adalah sebagai penahan terhadap perpindahan
massa (kelembapan, oksigen, aroma, zat terlarut) dan / atau sebagai pembawa bahan
tambahan makanan (pewarna, vitamin, nutrisi, antimikroba, antioksidan) untuk
mempertahankan kualitas makanan (Krochta et al, 1994).
Edible film juga dapat digunakan untuk mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk makanan sehingga memperpanjang umur simpan
serta meningkatkan kualitas dan keamanan makanan. Pelapisan atau coating produk makanan dengan edible film antimikroba setelah pengolahan dapat menghasilkan lapisan rintangan fisik ekstra yang juga mengandung anti mikroba (Krochta & Johnson, 1997
dan Han, 2003).
Berbeda dengan material plastik atau material logam, kemasan yang dibuat dari
plastik bersifat lebih permeable pada keadaan yang berbeda seperti gas, kadar air dan kadar uap organik. Pengetahuan tentang perilaku kelarutan / difusi / permeasi dari film
polimer menjadi hal yang sangat penting dalam beberapa tahun ini, terutama polimer
yang digunakan dalam pengemasan makanan dimana kontaminasi dari lingkungan harus
dihindari dan kondisi makanan dikontrol dengan menggunakan teknik pengemasan
Penggunaan jenis – jenis polimer dalam industri pengemasan makanan
tergantung dari sifat dan karakteristik dari bahan makanan yang dikemas. Berikut ini
jenis – jenis polimer yang beredar di pasaran yang digunakan dalam pengemasan, dalam
hal ini terdapat kontak atau tidak dengan makanan :
(i) Poliolefin, yang termasuk low-, linier low-, dan polietilena densitas-tinggi (LDPE, LLDPE, HDPE), Polipropilena (PP), dan biaxially oriented polypropylene (BOPP);
(ii) Kopolimer etilena, seperti etilen-vinil asetat (EVA), etilen-vinil alkohol
(EVOH), dan etilen-asam akrilat (EAA);
(iii) Olefin tersubstitusi, seperti polistirena (PS), high-impact polystyrene (HIPS, dengan isomer 1,3-butadiena yang ditambahkan selama polimerisasi PS),
oriented polystyrene (OPS), polivinil alkohol (PVOH), polivinil klorida (PVC), dan polivinildena klorida (PVdC), dan politetrafloroetilena (PTFE);
(iv) Poliester, seperti polietilen tereftalat (PET), polietilen naftalat (PEN), dan
kopolimer relatif PET-PEN;
(v) Polikarbonat (PC);
(vi) Poliamida (PA);
(vii) Akrilonitril, seperti poliakrilonitril (PAN) dan akrilonitril/stirena (ANS);
(viii) Polilasam laktat (PLA) sebagai polimer biodegradasi untuk pengemasan
makanan (Siracusa, 2012).
Polimer alam dapat dijadikan sumber alternatif untuk perkembangan
pengemasan karena sifat palatabilitas dan biodegradabilitasnya (Siracusa et al, 2008).
Edible coatings dan film muncul sebagai alternatif untuk plastik sintetik dalam makanan dan telah mendapat perhatian yang cukup besar dalam beberapa tahun ini karena
kelebihannya dibanding film sintetis. Keuntungan yang utama dari edible film
Sehingga tidak ada yang terbuang dan jika film tersebut tidak dikonsumsi maka film
tersebut masih memberikan kontribusi kepada lingkungan.
Edible film dibuat dari bahan yang dapat didaur ulang, yakni bahan – bahan yang dapat dimakan untuk mengantisipasi agar lebih mudah terdegradasi dibandingkan
material polimer. Edible film dapat meningkatkan sifat – sifat organoleptik dari kemasan makanan seperti komponen (flavor, zat warna, pemanis). Bahan – bahan tersebut dibuat
dari polimer alam dan zat tambahan yang food grade secara konstan meningkat dalam industri makanan.
Kegunaan dan penampilan dari edible film terutama tergantung dari kemampuannya sebagai penghalang, sifat mekanik dan warna yang mana bergantung
pada komposisi film dan proses pembuatannya. Dalam kasus edible coating, metode aplikasi produk, dan kapasitas pelapis yang melapisi permukaan adalah parameter yang
paling penting. Produk makanan biasanya dilapis dengan proses pencelupan atau
penyemprotan, membentuk suatu film tipis pada permukaan makanan yang bertindak
sebagai membran semi-permiabel, yang pada gilirannya mengatur kehilangan kelembapan atau/dan menahan transfer gas (Lin & Zhao, 2007 dan Dhanapal et al, 2012).
Film ini juga berfungsi sebagai carrier zat antioksidan dan antimikroba. Produksi edible film menyebabkan berkurangnya sampah dan polusi, bagaimanapun juga permeabilitas dan sifat – sifat mekaniknya secara umum agak kurang dibandingkan
2. 5. 1 Material yang Digunakan dalam Edible Coatings dan Film
Adanya perbedaan yang besar dari bahan – bahan yang digunakan untuk membuat
edible coatings dan film, tetapi kebanyakan dari bahan – bahan tersebut dapat dimasukkan kedalam satu dari tiga kategori yaitu polisakarida, protein dan lipid.
2. 5. 2 Bahan – bahan Pembentuk Film
1. Bahan Hidrokoloidal
Hidrokoloid adalah polimer hidrofilik dari hewan, tumbuhan, mikrobial ataupun
bahan sintetis asli, yang umumnya mengandung gugus hidroksil dan mungkin
polielektrolit sebagai contoh alginat, karagenan, karboksimetilselulosa (CMC), gum
arabik, pektin dan gum xanthan. Saat ini, bahan – bahan ini digunakan secara luas
sebagai larutan pembentuk film untuk menampilkan dan menjaga tekstur, rasa, dan daya
simpan makanan (Williams, 2000 dan Dhanapal et al, 2012).
2. Film Polisakarida
Film polisakarida dibuat dari pati, alginat, eter selulosa, kitosan, karagenan, atau
pektin. Sebagai tambahan, film dan coating polisakarida dapat digunakan untuk menambah daya simpan pada makanan dengan mencegah dehidrasi, oksidasi, dan
browning pada permukaan makanan, tetapi sifat hidrofiliknya membuat film ini kurang baik dalam menghalangi uap air (Nisperos-Carriedo, 1994 dan Dhanapal et al, 2012).
2. 5. 3 Pati Sebagai Bahan Pembuatan Film Layak Makan
dan 80 – 90% amilopektin tergantung dari sumbernya (Ramesh et al, 1999 dan Lu et al, 2009). Amilosa larut dalam air dan membentuk struktur heliks (Wallace et al, 1981 dan Lu et al, 2009). Pati secara alami terjadi sebagai granula – granula diskret saat rantai amilopektin dapat membentuk struktur heliks yang terkistalisasi. Granula pati
menunjukkan sifat hidrofilik dan gaya inter-molekular yang kuat melalui ikatan
hidrogen membentuk gugus hidroksil pada permukaan granula.Sturuktur pati dapat kita
lihat pada gambar 2. 5.
(1) Amilosa
(2) Amilopektin
2. 5. 4 Pembuatan Polimer Terbiodegradasi Berbasis Pati
Untuk meningkatkan sifat – sifat pati, berbagai modifikasi fisika atau kimia seperti
blending, pembuatan turunan, dan kopolimerisasi-graft telah diteliti. Untuk membuat komposit berbasis pati yang terbiodegradasi, biasanya komponen – komponen yang
dicampur dengan pati adalah poliester alifatik, polivinil alkohol (PVA) dan biopolimer.
PLA atau poliasam laktat adalah satu dari poliester yang biodegradabel paling penting
dengan banyak sifat – sifat yang sangat baik dan telah digunakan secara luas di banyak
bidang, terutama di bidang medis (Jun, 2000).
Salah satu masalah pada campuran berbasis pati adalah bahwa pati dan
kebanyakan bahan polimer bersifat non-misibel, yang mengacu pada sifat mekanik antara campuran pati / polimer yang umumnya kurang baik.
Modifikasi kimia pada pati umunya dilakukan melalui reaksi dengan gugus
hidroksil dalam molekul pati. Kopolimerisasi-graft sering digunakan sebagai cara yang ampuh untuk memodifikasi sifat – sifat pati. Disamping itu, pati-g-polimer dapat digunakan sebagai zat kompatibiliser untuk campuran berbasis pati (Kiatkamjornwong
et al , 2002).
Tujuan utama dari memproduksi film komposit adalah meningkatkan sifat
mekanik yang digunakan sesuai dengan penggunaan spesifik. Edible film dapat dibuat dengan material yang mempunyai kemampuan membentuk film. Penelitian tambahan
masih dibutuhkan pada metode pembuatan film dan metode untuk meningkatkan sifat –
sifat mekanik dari film (Bourtoom, 2008).
Film pati umumnya mempunyai sifat daya penahan yang baik terhadap oksigen,
karbondioksida, dan lemak dan dapat juga melindungi produk makanan dari oksidasi
lemak (Tongdeesoontom et al, 2011).
Film dari polisakarida juga sangat kuat dan lebih mudah tertarik daripada film
makan adalah ubi kayu (Manihot esculenta). Secara struktur, pati ubi kayu terdiri dari 17% kandungan amilosa, dan bertanggung jawab terhadap sifat pembentuk film yang
kuat (Bangyekan et al, 2006 dan Bourtoom, 2008). Pati ubi kayu dapat langsung dibuat menjadi film. Tetapi bagaimanapun, pati ubi kayu bersifat rapuh dan mudah lembek.
Usaha untuk mengatasi kerapuhan pada film ini adalah dengan menambahkan zat
plastisiser (Suppakul et al, 2006 dan Bourtoom, 2008).
2. 5. 5 Edible Film/Coating Sebagai Kemasan Antimikrobial
Berbagai penelitian tentang edible film berbahan protein, polisakarida, dan lemak serta beragam agen antimikroba yang telah berpotensi diinkorporasi pada edible film telah dilaporkan dapat menghambat mikroorganisme pembusuk dan patogen, serta
meningkatkan umur simpan makanan.
Seydim dan Sarikus (2006) melaporkan bahwa nisin yang ditambahkan ke edible film campuran glukomanan dan kitosan dapat menghambat aktivitas bakteri patogen makanan seperti E. coli, S. aureus, L.monocytogenes, dan B. cereus (Li et al, 2006 dan Zainab, 2009).
Jin dan Zhang (2008) telah melaporkan bahwa film poliasam laktat yang
diinkorporasi dengan bakteriosin alami (nisin) menghasilkan kemasan makanan
antimikrobial. Polimer PLA / nisin menunjukkan aktivitas antibakteri yang efektif
melawan L. monocytogenes, E.coli, dan S. enteritidis. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa nisin dalam film pektin / PLA menahan lebih banyak aktivitas
bakteri L. monocytogenes selama 48 jam dibandingkan dengan penambahan senyawa lain. Sama halnya dengan Salmaso et al (2004) meneliti bahwa PLA yang diisi partikel nisin memperpanjang aktivitas antibakteri sampai 40 jam. Sehingga polimer PLA / nisin
kemasan makanan yang berupa cairan, seperti yang dibuat pada permukaan film untuk
kemasan makanan padat.
2. 5. 6 Karakteristik Fisiko - kimia Edible Film
2. 5. 6. 1 Permeabilitas Uap Air (WVP)
Film pati / kitosan dengan gliserol menunjukkan efek yang signifikan terhadap
permeabilitas uap air (WVP), hasil penelitian Zhong dan Xia, 2007 memberikan hasil
95%. Bagaimanapun juga, ketika pati ubi kayu ditambahkan sebanyak 100 gram per 100
gram kitosan, permeabilitas uap air meningkat dan raihan maksimum saat pati ubi kayu
yang ditambahkan sebanyak 150 gram per 100 gram kitosan. Perilaku ini mungkin dapat
dihubungkan dengan modifikasi struktural dari jaringan kitosan-pati ubi kayu-gelatin
yang terjadi saat 63 gram gliserol ditambahkan per 100 gram kitosan.
2. 5. 6. 2 Permeabilitas Oksigen dan Karbondioksida
Selain permeabilitas uap air, Zhong dan Xia, 2007 juga melaporkan film hasil blending
pati ubi kayu dengan fraksi bermassa lebih tinggi menghasilkan permeabilitas yang
tinggi terhadap gas O2 dan CO2 dibandingkan dengan fraksi bermassa rendah pada film pati ubi kayu tersebut. Gelatin memperbaiki sifat sebagai penghalang pada film hasil
blending. Permeabilitas film hasil blending terhadap gas oksigen dan karbondioksida menurun seiring dengan bertambahnya jumlah gelatin.
Permeabilitas gas benar – benar bergantung pada interaksi antara matriks
polimer dengan gas (Garcia et al, 2000). Perbaikan sifat penghalang gas pada film hasil
2. 5. 6. 3 Dehidrasi Osmotik
Dehidrasi osmotik adalah suatu metode perpindahan sebagian air dari buah atau sayuran
dengan mencelupkannya kedalam berbagai larutan hipertonik encer. Metode ini
merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kadar air tanpa mengurangi nilai nutrisi.
Gaya yang bekerja saat terjadinya perpindahan air pada saat terjadinya tekanan osmotik
ternyata berbeda antara jaringan tanaman dan di sekitar larutan (Jokic et al, 2007).
Struktur sel jaringan tanaman yang kompleks bertindak sebagai membran
semi-permeabel. Selama dehidrasi osmotik, air dari jaringan tanaman bergerak ke larutan
osmotik dimana zat terlarutnya berdifusi dari larutan ke jaringan tanaman. Hasil yang
dilaporkan oleh Levic et al (2008) memberikan gambaran bahwa film coating dari pati jagung yang disalutkan pada wortel menunjukkan efisiensi dehidrasi osmotik dalam
larutan sakarosa dan molase. Kadar zat terlarut dalam wortel meningkat lebih dari 30%
dalam sampel yang telah dilapisi. Peningkatan kadar zat terlarut yang paling tinggi
yakni 35,97% terjadi pada sampel yang berlapis dua.
2. 5. 6. 4 Sifat Mekanik
Sujatha dan Sashiprabha (2009) telah mengkarakterisasi film polimer biodegradable
dari isolat protein cowpea. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan terhadap variasi kekuatan tarik dengan konsentrasi plastisiser yang ditambahkan, diperoleh suatu fakta
bahwa kekuatan tarik menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi platisiser.
Molekul – molekul plastisiser terletak diantara rantai protein sehingga mengurangi
perpanjangan interaksi intermolekular diantara rantai - rantai protein, sehingga
menurunnya interaksi antara jaringan rantai polimer protein menghasilkan penurunan
kekuatan tarik. Juga, karena molekul – molekul plastisiser bersifat hidrofilik, hal ini
menggembung. Hal ini juga mengurangi interaksi antara rantai – rantai polimer protein
(Sujatha dan Sashipraba, 2009).
2. 5. 6. 5 Aktivitas Air (aw)
Pertumbuhan dan metabolisme mikroba memerlukan air dalam bentuk yang tersedia.
Air yang dimaksudkan adalah air bebas atau air yang tidak terikat dalam bentuk ikatan
dengan komponen-komponen penyusun bahan pangan lain. Oleh karena itu besarnya
kadar air suatu bahan pangan bukan merupakan parameter yang tepat untuk
menggambarkan aktivitas mikroba pada bahan pangan. Aktivitas kimia air atau sering
diistilahkan aktivitas air (water activity = aw) merupakan parameter yang lebih tepat
untuk mengukur aktivitas mikroba pada bahan pangan. Sebagian besar mikroba
(terutama bakteri) tumbuh baik pada bahan pangan yang mempunyai aw = 0,9 – 0,97; khamir membutuhkan aw = 0,87 – 0,91 dan kapang membutuhkan aw = 0,8 – 0,91 (Nurwantoro dan Abbas, 1997 dan Purnomo, 1995).
Pengukuran aktivitas air terhadap suatu bahan pangan sampai saat ini masih
berdasarkan pengukuran kelembapan relatif berimbang dari bahan tersebut terhadap
lingkungannya. Oleh karena itu ekstrapolasi menjadi cara pengukuran yang lebih
penting daripada tekniknya (Purnomo, 1995).
2. 5. 6. 6 Laju Transmisi Uap air (WVTR)
Laju transmisi uap air adalah massa dari uap air yang terbawa melalui suatu luas tertentu
dalam satuan waktu yang dikondisikan dalam temperatur dan kelembapan yang spesifik.
Myllareinen et al (2002) melaporkan bahwa laju respirasi dari film polisakarida bergantung pada ketebalan film tersebut. Laju respirasi uap air sangat berpengaruh besar