BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit
Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit nomor satu di
dunia, menghasilkan 51,54% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia pada
tahun 2012, yaitu sebanyak 28.500.000 ton (United States Department of Agriculture, 2013) dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 9.074.621 Ha (Dirjen
Perkebunan, 2013). Pada proses ekstrasi minyak sawit dari tandan buah segar kelapa
sawit, tandan kosong kelapa sawit merupakan salah satu limbah padatnya. Persentase
tandan kosong kelapa sawit yang dihasilkan terhadap tandan buah segar kelapa sawit
untuk varietas tenera adalah berkisar antara 25,7–28,2 % sedangkan untuk varietas
dura berkisar antara 23,7–32,4 % (Ohimain et al., 2013). Dengan demikian, terdapat
potensi produksi tandan kosong kelapa sawit di Indonesia sebesar 28.000.000
ton/tahun (basis berat basah).
Tandan kosong kelapa sawit merupakan residu biomassa bernilai yang dapat
diubah, tidak hanya menjadi energi, tetapi juga sebagai bahan baku untuk produk
yang bernilai tinggi seperti panel dan komposit, bahan kimia, pulp dan kertas,
kompos dan pupuk biologis. Pengembangan berbagai macam produk dari tandan
kosong kelapa sawit ini terkait dengan nutrien dan selulosa yang terkandung di
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tandan kosong kelapa sawit
terdiri dari komponen biokimia lignoselulosa yaitu lignin (18–23% w/w), selulosa
(35% w/w) dan hemiselulosa (25% w/w) (Abdul Azis et al., 1989; Soom et al., 2002).
2.2 Selulosa
Selulosa merupakan homopolisakarida linier yang terdiri dari unit β
-D-glukopiranosa yang terhubung oleh sambungan β-1-4. Struktur kimia dasar dari
selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.1. Masing-masing monomer mengandung 3
gugus hidroksil. Hal ini yang kemudian menjelaskan bahwa gugus hidroksil ini dan
kemampuannya untuk membentuk ikatan hidrogen berperan penting dalam
pembentukan struktur kristal dan sifat fisik selulosa.
Gambar 2.1 Struktur Kimia Dasar Selulosa (Siqueira, 2010)
Rantai dari residu poli-β-(1 4)-D-glukosil berkumpul membentuk serat,
yang merupakan ikatan molekul seperti benang panjang (tampak samping) yang
distabilkan oleh ikatan hidrogen antarmolekul, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
diselingi dengan bagian amorf. Selulosa alami, disebut dengan selulosa I, adalah
selulosa kristal. Istilah turunan selulosa, atau disebut juga selulosa II, digunakan
berkenaan dengan selulosa yang mengendap pada larutan, umumnya larutan alkali.
Hal ini menunjukkan 2 polimorf utama dari selulosa. Pengetahuan tentang ilmu
kristal dan biosintesis selulosa menguatkan pendapat bahwa struktur selulosa terdiri
dari rantai paralel dimana struktur kristal dari selulosa II digambarkan sebagai
antiparalel. Selulosa I bukan merupakan bentuk selulosa yang paling stabil. Ikatan
hidrogen tambahan per residu glukosa pada selulosa II membuat alomorf ini menjadi
bentuk yang paling stabil secara termodinamik.
2.3 Selulosa Mikrokristal
Selulosa mikrokristal adalah hasil depolimerisasi parsial selulosa. Wujudnya
putih, tidak berbau, tidak berasa dan merupakan bubuk kristal yang terdiri dari
partikel berpori. Pada dasarnya, selulosa mikrokristal terdiri dari kristal-kristal dari
ukuran koloid. Kristal-kristal tersebut menggumpal, membentuk partikel dengan
diameter 15-20 µm. Gumpalan-gumpalan ini selanjutnya menggumpal selama proses
pengeringan bubur selulosa, sehinggga pada akhirnya diperoleh ukuran partikel
rata-rata sebesar 20-200 µm (Picker-Freyer, 2007).
Tanaman kayu dan kapas adalah sumber utama dari selulosa mikrokristal,
tetapi biaya produksinya yang tinggi menyebabkan perlu dilakukan penelitian
terhadap kemungkinan bahan lain sebagai penghasil selulosa mikrokristal. Selulosa
mikrokristal dapat dibuat dari berbagai material yang kandungan selulosanya tinggi,
mulai dari selulosa murni, selulosa komersial maupun material lignoselulosa.
Lignoselulosa adalah nama kolektif untuk 3 komponen utama tumbuhan,
yakni selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pada tumbuhan, rantai linier selulosa
berkontribusi terhadap kekuatan tarik, sedangkan lignin bertanggung jawab terhadap
resistensi kimia, terutama perlindungan terhadap air. Hemiselulosa memberikan
ikatan antara selulosa dan lignin. Jadi, terdapat 2 hambatan utama yang menghalangi
hidrolisis selulosa pada material lignoselulosa, yaitu:
a. Perlawanan dari kristal selulosa (timbul dari struktur rantai linier selulosa yang
b. Perlindungan lignin yang mengelilingi selulosa dan bertindak sebagai rintangan
fisik untuk mikroorganisme.
2.3.1 Hidrolisis Selulosa dengan Fraksi Kristal dan Amorf
Degradasi kimia selulosa dengan katalis asam adalah proses heterogen yang
memiliki beberapa tahap pemotongan rantai makromolekul untuk membentuk produk
dengan berat molekul yang rendah (Xiang et al., 2003; Stephens et al., 2008). Aspek
fisika dan kimia mengendalikan laju secara keseluruhan dan efisiensi proses
depolimerisasi. Telah diketahui dengan baik bahwa struktur serat selulosa, yang
ditentukan dengan ikatan hidrogen pada rantai gula yang kuat, menghasilkan
stabilitas kimia yang tinggi. Dengan demikian, pemutusan ikatan β-1,4 glycosidic
akan bergantung pada interaksi dari katalis asam dan air dengan struktur rantai
selulosa. Rejim kristal dari selulosa padat kurang dapat diakses ke zat yang reaktif,
sehingga lebih sulit untuk dihidrolisa. Rejim amorf, sebaliknya, dapat dengan mudah
dipenetrasi oleh zat kimia karena adanya gangguan rantai lokal yang menghasilkan
suatu laju depolimerisasi pada fraksi ini.
Beberapa model fenomena telah diusulkan untuk menjelaskan kinetika
degradasi selulosa. Salah satu model yang sederhana adalah model Ekenstam, dimana
degradasi selulosa awal dianggap sebagai proses orde 0 semu. Tetapi, hasil percobaan
menunjukkan bahwa tahapan lanjut dari proses degradasi menyimpang dari kinetika
k1
k2
...(2-2) ...(2-1) bahwa tahap autokatalitik dapat terjadi adalah berdasarkan sigmoid atau bentuk S dari
hasil depolimerisasi sebagai fungsi waktu.
Reaksi dalam bejana tertutup tanpa pengendalian pH, atau degradasi pada
kondisi asam rendah yang ekstrim adalah situasi dimana pembentukan senyawa asam
dapat mempercepat hidrolisis selulosa. Kondisi asam yang rendah mengurangi
konversi dari glukosa yang terbentuk menjadi 5-(hydroxymethyl)-2-furaldehide yang
merupakan produk yang tidak diinginkan dalam hidrolisis asam selulosa.
Mekanisme hidrolisis asam dipertimbangkan untuk kedua fraksi selulosa;
kristal dan amorf.
Ca + H P + H
Cc + H P + H
Dimana Ca dan Cc adalah jumlah awal atau jumlah yang tidak terdegradasi dari rantai
selulosa pada fraksi amorf dan kristal, H sebagai agen katalitik asam, P jumlah rantai
selulosa yang terdegradasi, dan k1,2 adalah konstanta laju reaksi reaksi orde 2 dari
degradasi fraksi amorf dan kristal, dimana k1 > k2 (Gehlen, 2010).
2.3.2 Penelitian Terdahulu mengenai Pembuatan Selulosa Mikrokristal
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperoleh selulosa mikrokristal
dari bermacam-macam bahan baku dan metode pembuatan. Beberapa metode dan
Metode dasar dalam pembuatan selulosa mikrokristal dari pulp yang telah
dimurnikan pertama kali diperkenalkan oleh Battista et al. (1961) dalam US Patent
No. 2.978.446. Metode tersebut yang mendasari proses pembuatan selulosa
mikrokristal komersial yang konvensional. Tahap awal pada proses ini adalah
repulping pulp yang telah kering, kemudian dilanjutkan dengan hidrolisa asam menggunakan asam mineral seperti HCl atau H2SO4 untuk melarutkan bagian amorf
selulosa. Setelah dihidrolisa, selanjutnya sampel dikeringkan, digiling dan disimpan
dalam wadah kantong. Kelemahan dari proses ini adalah tahap pemurnian selulosa
(repulping) yang dilakukan untuk memperoleh bahan baku dengan kadar α-selulosa yang tinggi.
Nguyen (2006) dalam US Patent No. 7.005.514 memperkenalkan metode
pembuatan selulosa mikrokristal dengan tahapan yang berbeda, yaitu kontak dengan
larutan alkali 30% (w/w) pada suhu 25-70 °C, pencucian, hidrolisis dengan larutan
asam 25-75% (w/w) pada suhu 80°C dan pencucian kembali. Namun, konsentrasi
asam yang cukup tinggi menjadi batasan dalam aplikasi proses ini secara komersial.
Hanna et al. (2001) dalam US Patent No. 6.228.213 menggunakan metode
hidrolisis asam yang dikombinasikan dengan ekstrusi. Asam kuat seperti HCl, H2SO4
dan HNO3 dapat digunakan dengan konsentrasi 1-5%. Proses ini dapat dilakukan
dengan satu tahap bila bahan baku yang digunakan berupa selulosa murni, atau dua
tahap bila bahan baku yang digunakan lignoselulosa. Ukuran partikel selulosa
digunakan dan kondisi hidrolisis. Temperatur, konsentrasi asam dan kecepatan
putaran extruder mempengaruhi hasil yang diperoleh.
Soom et al. (2012) dalam Patent WO 2012/021056 A1 memperkenalkan
metode pembuatan selulosa mikrokristal dari tandan kosong kelapa sawit. Pada
proses ini, tahapan pemurnian untuk menghasilkan α-selulosa dari tandan kosong
kelapa sawit dilakukan terlebih dahulu. Selanjutnya, dilakukan hidrolisis α-selulosa
untuk menghasilkan selulosa mikrokristal menggunakan larutan H2SO4 0,5-1,5 %
pada autoklaf dengan temperatur 121-132°C selama 1-2 jam. Proses dalam autoklaf
yang berlangsung secara batch, menjadi kendala untuk pengembangan proses skala komersial.
Selain hidrolisa dengan asam mineral, metode enzim juga diperkenalkan.
Stupinska et.al (2007) membuat selulosa mikrokristal dari pulp pinus dengan dua
tahap, yaitu irradiasi elektron dan hidrolisis menggunakan enzim selulase Econase
CE. Selulosa mikrokristal yang diperoleh melalui metode ini memiliki derajat
polimerisasi 150, fase kristal (KWr) 64% serta kekasaran butiran yang sama seperti
selulosa mikrokristal komersial tipe 12.
Metode hidrolisa dengan enzim menghasilkan produk samping berupa
glukosa, sehingga menjadi metode yang lebih diinginkan. Namun, metode ini lebih
mahal dan menghasilkan produk selulosa mikrokristal dengan kristalinitas yang lebih
Penelitian pembuatan selulosa mikrokristal selanjutnya lebih banyak
menggunakan metode asam dengan variasi bahan baku dan/atau kondisi hidrolisa
seperti jenis asam, konsentrasi asam, rasio liquor, suhu dan waktu hidrolisa. Asam yang dapat digunakan pada proses hidrolisis antara lain adalah asam klorida (HCl),
asam sulfat (H2SO4) dan asam fosfat (H3PO4). Namun, pada suhu tinggi, asam sulfat
dan asam fosfat dapat menggumpalkan dan memodifikasi permukaan
(mengesterifikasi) selulosa mikrokristal yang terbentuk (Hanna et al., 2001).
Penelitian yang membandingkan selulosa mikrokristal yang dihasilkan melalui
metode hidrolisis dengan HCl dan H2SO4 dilakukan oleh El-Sakhawy dan Hassan
(2007) dan Adel et al. (2011). El-Sakhawy dan Hassan (2007) menggunakan pulp
ampas tebu, jerami padi dan tangkai kapas sebagai bahan baku. Jenis asam yang
digunakan (HCl atau H2SO4) ditemukan berpengaruh terhadap ukuran partikel,
stabilitas termal, kekuatan tarik dan kohesi tablet yang dibuat dari selulosa
mikrokristal yang dihasilkan. Pada hidrolisis dengan H2SO4, gugus sulfat pada
selulosa mikrokristal akan terionisasi pada larutan dan terjadi tolak menolak antar
rantai. Hal ini dapat menyebabkan aliran yang lebih mudah bila dibandingkan dengan
selulosa mikrokristal yang dibuat menggunakan HCl. Kelemahan lainnya adalah
ukuran partikel yang diperoleh lebih besar dan laju degradasi melalui pengurangan
berat yang lebih tinggi akibat pemisahan gugus sulfat.
Das et al. (2008) menyelidiki pengaruh konsentrasi asam yang digunakan untuk
20, 30, 35, 40, 47 dan 64%. Grafik XRD dari sampel selulosa mikrokristal yang
dihasilkan dengan konsentrasi asam yang berbeda, mengungkapkan bahwa
penguraian rantai selulosa selama hidrolisis, balutan kristal, penyesuaian molekul,
pola ikatan hidrogen antar molekul, memiliki perbedaan yang signifikan tergantung
pada konsentrasi asam yang digunakan. Perbedaan ini juga dipengaruhi kondisi
penggumpalan selama proses pengeringan dan meningkatkan satu ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel yang berbeda. Dari karakteristik selulosa mikrokristal yang
dihasilkan, disimpulkan bahwa konsentrasi H2SO4 yang terbaik adalah 35-47%.
Pengaruh waktu terhadap karakteristik selulosa mikrokristal diteliti oleh
Azubuike dan Okhamafe (2012) menggunakan bahan baku tongkol jagung dan HCl.
Dari variasi waktu yang digunakan, yaitu 15, 30 dan 45 menit, diketahui bahwa sifat
psikokimia yang lebih mendekati karakteristik selulosa mikrokristal Avicel PH 101
adalah yang dihasilkan dari hidrolisis selama 15 menit. Namun, selulosa mikrokristal
yang dihasilkan dari hidrolisis selama 45 menit memiliki stabilitas termal yang lebih
baik.
Penelitian mengenai pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan
baku selulosa mikrokristal dilakukan antara lain oleh Soom et al. (2009) dan Haafiz
et al. (2013). Soom et. al (2009) mengisolasi selulosa dari tandan kosong kelapa sawit
berdasarkan ASTM D 1104-56 untuk menghasilkan holoselulosa, diikuti dengan
penghilangan fraksi hemiselulosa berdasarkan ASTM D 1103-60. α-selulosa yang
bertekanan) selama 1 dan 3 jam. Berdasarkan kurva difraktogram dari selulosa
mikrokristal yang dihasilkan dengan metode ini, terdapat perbedaan yang signifikan
dengan selulosa mikrokristal komersial (dari Sigma-Aldrich). Kurva difraktogram
selulosa mikrokristal menunjukkan karakteristik selulosa I, sedangkan selulosa
mikrokristal dari tandan kosong menunjukkan karakteristik selulosa I dan II (indikasi
bahwa terdapat selulosa II dengan persentase yang kecil). Dengan demikian, derajat
kristalinitas selulosa mikrokristal yang dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan
dengan selulosa mikrokristal komersial. Namun, sifat semi kristal dari selulosa
mikrokristal tandan kosong tersebut belum diketahui, apakah disebabkan oleh sifat
alami bahan baku atau dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti jenis asam yang
digunakan, waktu reaksi dan sebagainya.
Haafiz et al. (2013) melakukan hidrolisa terhadap pulp tandan kosong dengan
prosedur yang diperkenalkan oleh Battista et al. (1950), tanpa memvariasikan kondisi
hidrolisis seperti konsentrasi asam, waktu dan suhu reaksi. Hasil yang diperoleh dari
data XRD menunjukkan bahwa selulosa mikrokristal yang dihasilkan memiliki
derajat kristalinitas yang tinggi dan seluruhnya merupakan selulosa I (tidak ada
selulosa II), yang diindikasikan tidak adanya puncak ganda pada 22,6 °. Hal tersebut
berbeda dengan selulosa mikrokristal yang dihasilkan dari α-selulosa tandan kosong
yang dilakukan oleh Soom et al. (2009).
Beberapa penelitian yang telah dipublikasi mengenai pembuatan selulosa
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu mengenai Pembuatan Selulosa Mikrokristal
No. Bahan Baku Metode Variabel Pengamatan Yield/CrI/DP/Kondisi
Optimum Rujukan
2. Irisan kapas Hidrolisa dengan H2SO4
6. Pulp kayu Hidrolisa dengan HCl
No. Bahan Baku Metode Variabel Pengamatan Yield/CrI/DP/Kondisi
Optimum Rujukan
11. Serat sisal Hidrolisa dengan HCl
No. Bahan Baku Metode Variabel Pengamatan Yield/CrI/DP/Kondisi
Optimum Rujukan 22. Pomace apel Hidrolisis
dengan HCl ratio material : liquid =
1 : 25 (v/v), jumlah
24. Tandan aren Hidrolisis dengan HCl
Catatan : Penelitian yang tidak memiliki variabel pengamatan, hanya membandingkan hasil dan karakteristik selulosa mikrokristal yang diperoleh dengan selulosa mikrokristal komersial.
2.3.3 Aplikasi Selulosa Mikrokristal
Aplikasi selulosa mikrokristal yang paling banyak ditemui adalah pada
pembuatan tablet obat, karena dapat mengkombinasikan dua sifat utama yang
dibutuhkan pada tablet yaitu ; dapat menghasilkan tablet yang sangat keras dan tablet
digunakan di berbagai bidang seperti industri farmasi, kosmetik, makanan dan
plastik. Dalam bentuk bubuk, selulosa mikrokristal digunakan sebagai pengisi dan
pengikat pada tablet medis dan tablet makanan suplemen. Dalam bentuk gel, selulosa
mikrokristal digunakan sebagai regulator viskositas, zat pensuspensi, pengemulsi
pada berbagai pasta, krim, dan sebagainya (Laka dan Chernyavskaya, 2007).
Penelitian penggunaan selulosa nanofiber (termasuk selulosa mikrokristal)
sebagai fase penguat pada komposit dimulai sejak dua dekade yang lalu (Dufresne,
2010; Eichhorn et al., 2010). Alasan mendasar dari penggunaan selulosa nanofiber
pada material komposit adalah kekakuan kristal selulosa yang tinggi. Hal ini dapat
dieksploitasi dengan menguraikan struktur hierarki tanaman menjadi nanofiber
dengan kristalinitas yang tinggi, sehingga mengurangi jumlah material amorf yang
ada dan diperoleh aspek rasio (L/d) yang tinggi. Nilai aspek rasio tersebut
memungkinkan suatu panjang kritis untuk perpindahan tegangan dari matriks ke fase
penguat (Khalil et al., 2012).
Halasz et.al (2012) meneliti pengaruh selulosa mikrokristal dan nanokristal
sebagai pengisi pada komposit PLA (Polylactic Acid) dengan plastisiser Polyethylene Glycol. Pembuatan komposit dilakukan dengan mencampurkan semua komponen
masing-masing komposit, disimpulkan bahwa kerapuhan PLA berkurang dengan
penambahan selulosa mikrokristal dan selulosa nanokristal.
Haafiz et.al (2013) membuat komposit PLA yang diisi dengan selulosa
mikrokristal yang diperoleh dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan metode
casting. Variasi komposisi selulosa mikrokristal yang digunakan adalah 1, 3 dan 5 % (w/w). PLA dicampur dan diaduk dengan selulosa mikrokristal pada suhu 60 °C
sampai seluruh PLA terlarut sempurna. Suspensi yang terbentuk selanjutnya
disonikasi selama 5 menit dan dituangkan ke dalam cetakan kaca untuk memperoleh
komposit dengan ketebalan ± 100 µm setelah penghilangan pelarut. Analisa terhadap
komposit memperlihatkan bahwa penambahan kadar selulosa mikrokristal akan
meningkatkan modulus Young yang disebabkan oleh efek pengerasan yang diberikan
oleh selulosa mikrokristal. Namun, kekuatan tarik dan pemuluran saat putus menurun
dengan bertambahnya kadar selulosa mikrokristal karena dispersi yang buruk pada
matriks PLA dan berakibat terhadap pembatasan pergerakan matriks. Dispersi
tersebut terlihat dari hasil analisa morfologi komposit menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dan AFM (Atomic Force Microscopy).
2.4 Komposit Polimer
Komposit dapat didefinisikan sebagai material yang terdiri dari 2 atau lebih
fase yang berbeda secara fisika dan kimia, yang dipisahkan oleh lapisan antarmuka
berbagai keuntungannya seperti ringan, tahan korosi, kekuatan yang tinggi dan
pemasangan yang lebih cepat. Perbedaan mendasar dari campuran dan komposit
adalah 2 komponen utama dalam komposit dapat dikenali, sedangkan pada campuran
tidak dapat dikenali. Komposit merupakan kombinasi material yang berbeda
komposisinya, dimana masing-masing komponen menahan identitasnya sendiri.
Komponen terpisah ini bertindak bersama untuk menghasilkan kekuatan mekanik
atau kekakuan yang dibutuhkan (Jose et al., 2012).
Material komposit terdiri dari 2 atau lebih fase (fase matriks dan fase
terdispersi) dan memiliki sifat-sifat yang signifikan berbeda dari setiap komponen.
Fase matriks adalah fase primer yang memiliki karakter kontinu. Matriks biasanya
lebih elastis dan sedikit keras. Matriks menahan fase terdispersi dan membagi
bebannya dengan fase terdispersi. Fase terdispersi (penguat) tertanam di dalam
matriks dalam bentuk yang tidak kontinu. Fase terdispersi biasanya lebih kuat dari
matriks, sehingga kadang-kadang disebut dengan fase penguat (Jose et al., 2012).
Material penguat pada komposit polimer biasanya berupa serat, tetapi dapat
juga berupa mineral tanah. Kekuatan produk sangat bergantung pada rasio material
penguat dalam komposit polimer. Komposit polimer sangat populer karena harganya
yang rendah dan metode pembuatan yang sederhana. Penguatan polimer dengan
jaringan serat yang kuat, memiliki karakter sebagai berikut:
a. Kekuatan yang tinggi
b. Kekakuan yang tinggi
d. Ketahanan terhadap abrasi yang baik
e. Ketahanan terhadap benturan yang baik
f. Ketahanan terhadap korosi yang baik
g. Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue) yang baik h. Biaya yang rendah
Sedangkan kelemahan utama dari polimer komposit adalah:
a. Resistansi termal yang rendah
b. Koefisien ekspansi termal yang tinggi
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat polimer komposit (Jose et al., 2012):
1. Adhesi pada antarmuka
Kelakuan dari material komposit dijelaskan berdasarkan kombinasi kelakuan dari
komponen penguat, matriks polimer dan antarmuka serat/matriks pada Gambar
2.3. Untuk mencapai sifat mekanik terbaik, adhesi pada antarmuka harus kuat.
Molekul matriks dapat dilabuhkan pada permukaan serat dengan reaksi kimia
Gambar 2.3 Model Skematis Antarmuka Komposit Polimer (Downing et al., 2000)
2. Bentuk dan orientasi pemasukan fase terdispersi (partikel, serpihan, serat dan laminar).
Partikel tidak memiliki arah tertentu dan digunakan untuk meningkatkan sifat
atau mengurangi biaya material isotropik. Bentuk partikel penguat antara lain
bola, kubik, trombosit atau bentuk yang teratur atau tidak teratur. Penguatan
partikel memiliki ukuran yang kira-kira sama pada semua arah. Komposit
laminar terdiri dari 2 lembaran atau panel, yang memiliki arah tertentu untuk
memperoleh kekuatan yang tinggi. Lapisan ditumpuk dan disatukan sehingga
orientasi arah kekuatan yang tinggi bervariasi terhadap lapisan yang berurutan. Bulk matrix
Polymer of Different Properties
Sizing
Adsorbed Material Fiber Chemistry Fiber Topography Fiber Morfology
Bulk Fiber Thermal,
3. Sifat matriks
Sifat dari polimer akan menentukan aplikasi yang tepat. Keuntungan utama
polimer sebagai matriks adalah harga yang rendah, mudah diproses, resistansi
kimia yang baik dan densitas yang rendah. Sebaliknya, kekuatan yang rendah,
modulus yang rendah dan suhu operasi yang rendah membatasi penggunaannya
(Huang dan Talreja, 2006). Polimer yang digunakan adalah polimer termoplastik,
polimer termosetting, elastomer dan campurannya.
2.4.1 Polimer Termoplastik
Termoplastik terdiri dari rantai molekul linier atau bercabang yang memiliki
ikatan intermolekul yang kuat, tetapi ikatan antar molekul yang lemah. Polimer ini
dapat dibentuk ulang dengan aplikasi panas dan tekanan dan strukturnya dapat berupa
semikristal atau amorf. Contohnya adalah polyethylene, polypropylene, polystirene,
nylon, polycarbonate, polyacetal, polyamide-imide, polyether ether ketone,
polysulfone, polyphenylene sulfide, polyether imide, dan lain-lain (Jose et al., 2012).
2.4.2 Polimer Termosetting
Termoset memiliki struktur sambung-silang atau jaringan dengan ikatan
kovalen pada seluruh molekul. Polimer ini tidak lembut tetapi terurai bila dipanaskan.
ulang. Contoh yang umum adalah epoxy, polyester, phenolic, urea, melamine,
silicone dan polyimide (Jose et al., 2012).
2.4.3 Elastomer
Elastomer adalah polimer dengan sifat viskoelastis, umumnya memiliki harga
modulus Young yang rendah dan regangan yang tinggi bila dibandingkan dengan
material lain. Masing-masing monomer yang berhubungan untuk membentuk polimer
biasanya terbuat dari karbon, hidrogen, oksigen dan silikon. Elastomer adalah polimer
amorf yang ada di atas suhu transisi gelas (Tg), sehingga memungkinkan pergerakan
ruas. Karet alam, polyisoprene sintetik, polybutadiene, chloroprene rubber, butyl
rubber, ethylene propylene rubber, epichlorohydrin rubber, silicone rubber,
fluoroelastomer, elastomer termoplastik, polysulfide rubber adalah contoh-contoh
dari elastomer (Thomas et al., 2012).
2.5 Pati
Pati merupakan karbohidrat, kandungan utama pada tanaman tingkat tinggi
yang diproduksi melalui fotosintesis dalam tanaman hijau. Pati diperoleh dalam
seluruh organ tanaman tingkat tinggi yang disimpan dalam biji, umbi, akar dan
jaringan batang tanaman sebagai cadangan energi untuk masa pertumbuhan dan
pertunasan. Selain sebagai bahan makanan pati juga digunakan dalam industri non
pangan, diantaranya perekat, deterjen, keramik, tekstil dan polimer. Pati merupakan
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosida dan rantai
gula panjang. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung pada panjang
rantai atom C-nya, apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya (Winarno, 1988).
Untuk menganalisis adanya pati digunakan iodin, karena pati yang berikatan
dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Pati merupakan polimer karbohidrat dari
unit anhidroglukosa (C6H10O5)x, yang terdiri dari dua polisakarida dengan struktur
tertentu yaitu amilosa dan amilopektin (Winarno, 1988).
2.5.1 Mekanisme Peleburan dan Transformasi Pati
Butiran pati sebagian berupa kristal dalam bentuk aslinya. Bila butiran pati
kering dipanaskan, degradasi termal terjadi sebelum titik leburnya tercapai. Dengan
demikian, pati tidak dapat dileburkan pada bentuk aslinya. Ikatan hidrogen yang
menyatukan molekul pati harus dikurangi agar dapat meleburkan pati asli.
Pengurangan ikatan hidrogen dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut seperti
air. Bila pati dipanaskan pada suatu media yang mengandung air, keadaan fase
transisi berubah dari beraturan menjadi tidak beraturan. Proses ini disebut
gelatinisasi.
Sifat pati di dalam air adalah dasar dari kemampuan pati untuk dapat dilebur.
Bila pati dipanaskan dengan pelarut pada suhu kritis, pelarut berinteraksi dengan
gugus hidroksil pada pati, selanjutnya mengurangi ikatan hidrogen antara molekul
lainnya, sehingga memungkinkan pati dapat dileburkan. Suhu kritis saat fenomena ini
terjadi disebut suhu gelatinisasi (Willet dan Doane, 2002).
Pati termoplastik dibentuk melalui destrukturisasi butiran pati asli melalui
pemanasan pada suhu yang relatif tinggi, kecepatan pengadukan yang tinggi dan
dengan jumlah air yang terbatas (Hulleman et al., 1998). Pengolahan pati alami untuk
membuat material bioplastik diperlukan untuk memecah dan meleburkan struktur
aslinya. Stabilitas, pemrosesan dan sifat fisik pati termoplastik tergantung pada sifat
zona amorf dan kristal dari struktur butiran. Transformasi butiran pati dipengaruhi
oleh kondisi proses seperti suhu dan kadar plastisiser. Air dan gliserol adalah
plastisiser yang paling umum digunakan. Selama proses termoplastisasi, pengaruh air
dan gliserol pada butiran pati merupakan hal yang paling penting karena fungsi
plastisiser sebagai pelumas yang dapat memfasilitasi mobilitas rantai polimer dan
memperlambat kerusakan produk pati termoplastik (Van Soest et.al. 1996; Wu dan
Zhang, 2001; Leblanc et al., 2008; Da Rz et al., 2006; Hulleman et al., 1999).
2.5.2 Pati sebagai Matriks Komposit Termoplastik
Pati dari berbagai tanaman merupakan sumber bahan baku plastik
Pati yang diperkuat oleh selulosa merupakan salah satu contoh komposit
polimer alam. Material ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya dapat
diperbaharui, terurai, tersedia dalam jumlah yang melimpah dan tidak mahal. Alasan
utama dari penggunaan selulosa untuk memperkuat pati adalah perbaikan sifat
mekanisnya. Wollerdofer dan Bader (1998) mempublikasikan bahwa pati gandum
termoplastik yang diperkuat oleh selulosa memiliki kekuatan mekanis 4 kali lebih
baik (37 N/mm2) dibandingkan dengan yang tidak diperkuat sama sekali. Bila
dibandingkan dengan bahan pengisi anorganik, keuntungan yang dapat diperoleh dari
penggunaan bahan pengisi selulosa antara lain; dapat diperbaharui, tersedia melimpah
di seluruh dunia, konsumsi energi yang rendah, biaya yang rendah, densitas yang
rendah, kekuatan dan modulus yang tinggi (aspek rasio serat yang diinginkan),
tingkat peredaman suara yang tinggi, mudah diproses (karena fleksibilitas dan sifat
non abrasif, yang memungkinkan jumlah pengisian yang banyak, sehingga dapat
menghemat biaya), dan permukaan yang relatif reaktif.
2.5.3 Penelitian Terdahulu mengenai Komposit Pati
Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengembangkan pembuatan
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu mengenai Komposit Pati dengan Selulosa sebagai Bahan Pengisi
No. Matriks Pengisi Plastisiser Metode
Pembuatan Rujukan 1. Pati kacang
polong
Selulosa nanokristal dari serat rami
Gliserol Pencampuran dan
casting
3. Pati jagung Serbuk halus tongkol jagung
Gliserol Pencampuran dan
casting
Pasaribu (2009)
4. Pati jagung Serat selulosa dari kertas koran bekas
Selulosa serat tebu Gliserol Pencampuran dan
hot compression
Singkong (Mannihot esculenta) adalah umbi-umbian yang mengandung pati dan termasuk famili Euphorbiaceae. Singkong merupakan salah satu sumber energi yang paling penting di wilayah tropis. Meskipun singkong tumbuh dengan baik di
tanah yang subur, keuntungannya untuk penanaman yang lebih menguntungkan
yang rendah, curah hujan yang sporadis atau musim kering yang panjang. Penanaman
yang paling sesuai adalah pada lahan dengan ketinggian 1800 meter di atas
permukaan laut, suhu 20-30 °C (optimum pada 24 °C), kelembaban relatif 50-90%
(optimum pada 72%) dan curah hujan tahunan 600-3.000 mm (optimum pada 1.500
mm). Secara luas, tanaman ini dikembangkan di Afrika, Asia dan Amerika Latin,
serta merupakan tanaman utama keempat di negara-negara berkembang, dengan
kisaran produksi pada tahun 2006 sebesar 226 juta ton. Produk singkong dapat
digunakan pada industri terutama dari pati (Navia dan Villada, 2012).
Akar singkong terdiri dari 3 jaringan : periderm (kulit ari), parenkim kortikal
(kulit luar) dan parenkim bagian dalam, dimana sekitar 80% dari berat basah akar
berhubungan dengan parenkim atau pulp, yang merupakan jaringan yang menyimpan
pati. Kandungan zat kering pada akar singkong berfluktuasi antara 30% dan 40%. Zat
kering terdiri dari parenkim (90-95%), yang tersusun atas fraksi nitrogen dan
karbohidrat (pati dan gula), sisanya berupa serat (1-2%), lemak (0,5-1,0%, abu dan
mineral (1,5-2,4%) dan protein (2,0%). Pati juga merupakan bagian utama dari
karbohidrat (96%) yang terdapat pada zat kering akar (FAO, 2007).
Pati singkong secara komersial lebih dikenal dengan nama tapioka. Tapioka
diperoleh melalui proses penggilingan umbi singkong, dekantasi, pemisahan ampas
dengan konsentrat, pengendapan dan pengeringan. Beberapa sifat umum dari pati
a. Pati singkong terdiri dari 17% amilosa dan 83% amilopektin.
b. Granulanya berbentuk semi bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya
mengerucut dengan ukuran 5-35 µm.
c. Suhu gelatinisasi pati singkong berkisar antara 52-64 °C
d. Kristalinitas 38%
e. Kekuatan pembengkakan sebesar 42 µm
f. Kelarutan dalam air 31%
2.7 Gliserol
Gliserol adalah senyawa kimia 1,2,3-propanatriol dengan rumus molekul
CH2OHCHOHCHO2OH (The Soap dan Detergent Association, 1990). Senyawa ini ditemukan melimpah di alam dalam bentuk trigliserida, kombinasi kimia antara
gliserol dan asam lemak yang merupakan penyusun utama dari hampir seluruh
minyak nabati dan lemak hewani. Trigliserida pada tumbuhan berasal dari
karbohidrat yang dihasilkan secara fotosintesis dari air dan karbondioksida. Pada
hewan, trigliserida terbentuk melalui asimilasi trigliserida yang terdapat dalam
makanan dan melalui biosintesis dari makanan pengganti lain, seperti karbohidrat.
Secara industri, gliserol adalah produk dari lemak dan minyak yang telah
disaponifikasi, dihidrolisa, atau ditransesterifikasi, yang kembali ke wujud padat dan
kemudian dimurnikan dengan proses destilasi atau pertukaran ion. Gliserol juga dapat
disintesa dari propilene, atau dihasilkan melalui fermentasi atau hidrogenolisis
kandungan atau bahan pembantu dalam proses pada kosmetik, perlengkapan mandi,
produk perawatan, formulasi produk farmasi dan makanan (Pagliaro dan Rossi,
2008). Sebagian besar volume gliserol digunakan untuk makanan hingga busa
urethane. Beberapa grade gliserol yang diproduksi sesuai peruntukannya antara lain
U.S. Pharmacopeia (USP), Chemically Pure (CP), Food Grade, High Gravity, Dynamite dan Saponification Crude dan Soap Lye Crude.
Gliserol dapat menghasilkan efek plastisasi pada material. Efek plastisasi pada
gliserol merupakan akibat dari kombinasi sifat-sifat seperti kekuatan pelarut,
volatilitas yang rendah dan nonkristalinitas, serta higroskopisitas. Hal ini juga
bergantung pada ukuran molekul dan struktur gliserol yang relatif terhadap struktur
molekul atau celah (rongga) dari material yang diplastisasi. Sifat pelumasan gliserol
pada material juga dapat menjadi faktor penyebab efek ini. Efek plastisasi yang
dimiliki gliserol serta ketersediaannya yang melimpah di alam, menjadi alasan
penggunaannya sebagai plastisiser dalam pembuatan komposit termoplastik (The Soap dan Detergent Association, 1990).
2.8 Response Surface Methodology untuk Optimasi Proses
Response Surface Methodology atau RSM adalah kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang berguna untuk pemodelan dan analisis permasalahan
dimana respon dipengaruhi oleh beberapa variabel dan bertujuan untuk mengoptimasi
suatu model yang lebih rumit, seperti model orde 2 dapat digunakan, dan suatu
analisis dapat dilakukan untuk menemukan titik optimum (Montgomery, 2001).
2.8.1 Rancangan Percobaan untuk Model Orde Dua
Central Composite Design (CCD) adalah rancangan yang sangat efisien untuk model orde 2. Terdapat 2 parameter dalam rancangan yang harus dispesifikasi: jarak
α run aksial dari titik tengah rancangan dan jumlah titik tengah nc, seperti yang
terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Central Composite Design untuk k=2 dan k=3 (Montgomery, 2001)
Kemampuan berputar adalah dasar pemilihan rancangan response surface. Karena tujuan RSM adalah optimasi dan lokasi titik optimum tidak diketahui sebelum
melaksanakan percobaan, hal ini menimbulkan pemikiran untuk menggunakan suatu
rancangan yang memberikan perkiraan dengan ketepatan yang sama di semua arah. x3
x1
(0,0)
(+1,-1) (+1,+1)
(α,0) x2
x1
(-1,+1)
(-1,-1) (-α,0)
CCD dibuat dapat berputar dengan pemilihan α. Nilai α untuk kemampuan berputar
tergantung pada jumlah titik pada rancangan faktorial; pada kenyataannya, α =
menghasilkan CCD yang dapat berputar dimana nF adalah jumlah titik yang
digunakan dalam rancangan faktorial. Bila daerah peminatan adalah suatu bola, maka
rancangan harus meliputi run pada titik tengah yang memberikan varians respon yang
stabil. Umumnya, 3-5 run pada titik tengah direkomendasikan.
Jika mengggunakan rancangan percobaan RSM perlu dipertimbangkan
pemblokiran untuk menghilangkan variabel yang mengganggu. Rancangan percobaan
RSM disebut terblok secara ortogonal jika terbagi menjadi blok-blok dimana blok
tersebut tidak mempengaruhi perkiraan parameter dari model RSM. Untuk rancangan
orde 2 yang diblok secara ortogonal, terdapat 2 kondisi yang harus dipenuhi.
Jika terdapat nb pengamatan dalam blok ke-b, maka kondisinya adalah
sebagai berikut:
1. Setiap blok harus menjadi suatu rancangan ortogonal orde pertama,
sehingga
2. Fraksi total sum of square dari masing-masing variabel dikontribusikan oleh setiap blok yang harus sama dengan fraksi pengamatan total yang
b
Dimana N adalah jumlah run pada perancangan.
Jika k cukup besar, rancangan faktorial dapat dibagi menjadi 2 atau lebih blok.
Tabel 2.3 menunjukkan beberapa susunan blok untuk central composite design dengan berbagai nilai k (jumlah variabel).
Tabel 2.3 Beberapa Central Composite Design yang terblok secara Ortogonal (Montgomery, 2001)
Total jumlah titik pada blok aksial
2.8.2 Analisis Response Surface Orde Dua
...(2-3)
memperoleh penyelesaian matematika secara umum untuk titik stasioner dengan
persamaan-persamaan berikut:
++ dan elemen selain diagonal berupa setengah dari koefisien kuadratik campuran
+,- . / 0 . Turunan dari terhadap elemen dari vektor x sama dengan 0, sehingga
1 ! 2
Titik stasioner adalah penyelesaian persamaan 2-5, atau
3 ! 4! ! 5 !
Dengan mensubstitusi persamaan 2-6 ke persamaan 2-4, maka respon pada titik