• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Keterangan Ahli Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana Di Tingkat Penyidikan (Studi Di Poltabes Medan Dan Polda Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Keterangan Ahli Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana Di Tingkat Penyidikan (Studi Di Poltabes Medan Dan Polda Sumatera Utara)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

I. Buku-buku

Hamid, H. Hamrat, dan Harun M. Husein, 1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan. Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1993. Hukum Acara Pidana. Arikha Media Cipta, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP bidang Penyidikan dan Penuntutan. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

_______, M. Yahya, 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP bidang Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Husein, Harun M., 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah) Bagian I. Balai Lektur Mahasiswa.

Nico, Ngani, I Nyoman Budi Jaya dan Hasan Madani, 1984. Mengenal Hukum Acara Pidana Bagian Umum dan Penyidikan, Liberty, Yogyakarta.

Marpaung, Leden, 1991. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum. Sinar Grafika, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana. PT.Bina Aksara, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1971. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Subur, Bandung.

__________, Wirjono, 1980. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. PT. Eresco, Bandung.

Ranoemihardja, Atang R., 1980. Hukum Acara Pidana. Tarsito, Bandung

(2)

Sapardjaja, Komariah E, 2005. Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana Indonesia. Prenada Media, Jakarta.

Sari, Ratna, 1995. Penyidikan dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana. Kelompok Studi Hukum FH-USU, Medan.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita, 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. CV. Mandar Maju, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum.UI-Press, Jakarta.

Soeparmono, R., 2002. Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. CV. Mandar Maju, Bandung.

Soesilo, R., 1979. RIB/ HIR dengan Penjelasan. Politeia, Bogor.

Waluyadi, 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. CV. Mandar Maju, Bandung.

Yudowidagdo, Hendrastanto, 1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta.

II. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

RIB/ HIR beserta Penjelasan

III. Internet

(3)

BAB III

IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM

PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan

Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses

pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga

mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan

mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu

perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung

terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana

yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan,

penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik

membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli

lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang

selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih

lanjut kasus tersebut.81

Dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan, terkadang

penyidik mengalami kesulitan menentukan pasal mana yang berlaku terhadap

perkara pidana yang sedang diperiksa. Oleh karena itu, penyidik dapat memanggil

dan meminta keterangan ahli agar peristiwa pidana yang sedang diperiksa dapat

terungkap lebih terang. Keterangan ahli ini diminta oleh penyidik untuk

mengambil suatu perimbangan tentang fakta hukum yang sedang disidik dengan

81

(4)

keterangan yang diberikan oleh ahli tersebut sehingga dapat membantu penyidik

untuk lebih memastikan pasal yang dikenakan terhadap perkara pidana yang

sedang diperiksa.82 Keterangan ahli juga berfungsi untuk memberi masukan bagi penyidik dalam menempatkan atau memperjelas suatu perkara pidana yang sedang

diperiksa ataupun untuk memposisikan fakta perkara itu apakah sudah terpenuhi

atau tidak terhadap pasal-pasal yang dikenakan bagi tersangka.83

Pemeriksaan keterangan ahli hanya apabila penyidik menganggap perlu,

terutama terhadap orang-orang yang memiliki keahlian khusus, dengan maksud

agar peristiwa tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan semakin terang.

Jadi, peranan keterangan ahli dalam proses pemeriksaan perkara pidana di tingkat

penyidikan adalah mambuat terangnya suatu tindak pidana yang terjadi.84

(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 120 KUHAP yang berbunyi :

(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Adapun alasan perlunya keterangan ahli di tingkat penyidikan yaitu :85 a. Dari segi formil

Keterangan ahli diperlukan di tingkat penyidikan dengan alasan untuk

memenuhi ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP, karena tidak jarang penyidik

82

Wawancara dengan BRIPKA Luth Jhonson, SH, Penyidik pada Reserse Kriminal, pada tanggal 10 Maret 2009 di Reskrim Poltabes Medan

83

Wawancara dengan Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum, seorang ahli hukum pidana 84

Wawancara dengan AIPDA Erman Tanjung, Loc.cit.,

85

(5)

mengalami keraguan mengenai fakta-fakta hukum yang ditemukan pada saat

pemeriksaan perkara pidana. Atau dengan kata lain untuk mendukung alat

bukti yang sudah ada.

b. Dari segi materil

Perlunya keterangan ahli di tingkat penyidikan dari segi materil adalah untuk

memastikan pasal yang dipersangkakan atau memastikan fakta-fakta yang

terdapat dalam rangkaian proses penyidikan terhadap pasal yang

dipersangkakan.

Dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan tidak semua

kasus atau perkara memerlukan keterangan ahli. Pada umumnya perkara pidana

yang memerlukan keterangan ahli yaitu dalam perkara pidana lex specialis,

dimana dalam hal ini penyidik menggunakan undang-undang yang terdapat di luar

KUHP, misalnya tindak pidana perbankan, tindak pidana money laundry,

cybercrime. Keterangan ahli juga diperlukan dalam tindak pidana umum misalnya

pemalsuan surat atau dokumen atau sertifikasi.86

Pemeriksaan keterangan ahli di tingkat penyidikan dapat dilakukan dengan

dua cara yang telah ditentukan dalam undang-undang, yaitu :87 a. Keterangan langsung di hadapan penyidik

Dalam hal ini ahli dipanggil menghadap penyidik untuk memberi

keterangan langsung di hadapan pemeriksaan penyidik, sesuai dengan keahlian

khusus yang dimilikinya. Hal ini berarti keterangan ahli berbeda dengan

keterangan saksi, karena keterangan saksi berupa apa yang ia lihat, ia dengar, atau

86

Wawancara dengan BRIPKA Luth Jhonson, Loc cit.,

87

(6)

ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya. Sedangkan sifat

keterangan ahli semata-mata didasarkan pada pengetahuan yang khusus dimiliki

sesuai dengan bidang keahliannya.

Pemeriksaan keterangan ahli didahului dengan mengucapkan sumpah atau

janji. Mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dilakukan di muka penyidik

yang berisi bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang

sebaik-baiknya. Ahli dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta

apabila harkat martabat, pekerjaanya atau jabatannya mewajibkannya menyimpan

rahasia.88

b. Bentuk Keterangan Tertulis

Keterangan tertulis ini diatur dalam Pasal 133 KUHAP yang menentukan

bahwa pendapat ahli yang dimintakan penyidik dituangkan dalam bentuk tertulis.

Keterangan bentuk tertulis dari seorang ahli inilah yang lazim disebut dalam

praktek hukum visum et repertum. Adapaun tata cara yang ditempuh penyidik

untuk mendapatkan keterangan tertulis dari seorang ahli seperti yang diatur dalam

Pasal 133 KUHAP yaitu :89

1. Dalam hal penyidikan mengenai seorang korban luka, keracunan, ataupun

kematian yang diduga sebagai akibat dari suatu peristiwa pidana maka demi

untuk kepentungan peradilan, penyidik berwenang mengajukan permintaan

keterangan tertulis kepada ahli.

2. Pengajuan permintaan dimaksud diajukan kepada ahli kedokteran kehakiman,

atau dokter, dan atau ahli lainnya.

88

Wawancara dengan BRIPKA Diana R. Hutasoit, Penyidik Pembantu Dit Reskrim Polda Sumut, pada tanggal 28 April 2009

89

(7)

3. Cara meminta keterangan kepada ahli dilakukan dengan tertulis. Dalam surat

permintaan keterangan, penyidik menyebut dengan tegas pemeriksaan apa

yang dikehendaki penyidik kepada ahli. Berdasarkan permintaan itu maka

ahli melakukan pemeriksaan.

Penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada ahli dimana dalam

permintaan tersebut penyidik menyebutkan dengan jelas pemeriksaan apa yang

dikehendaki penyidik kepada ahli. Surat permintaan penyidik tersebut diberikan

kepada lembaga institusi tempat ahli tersebut bekerja. Artinya surat permintaan

tersebut tidak dapat diberikan secara personal langsung kepada ahli yang ditunjuk,

sehingga nilai keahlian yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan. Kemudian

pendapat ahli yang dimintakan penyidik tersebut dituangkan dalam bentuk

tertulis, misalnya dalam visum et repertum. 90

Ketika seorang ahli diminta untuk memberikan keterangan dalam tahap

penyidikan, biasanya ahli membuat laporan dalam bentuk pendapat hukum (legal

opinion) dan kemudian dituangkan dalam format Berita Acara Pemeriksaan

(BAP). Dalam surat permintaan, ada yang sudah menyertakan kronologis perkara

dan daftar pertanyaan, ada yang hanya daftar pertanyaan, dan bahkan ada yang

hanya mengajukan berkas yang mana ahli harus mempelajari sendiri, menyusun

daftar pertanyaan, dan memberikan jawaban dalam pendapat hukum. Kemudian,

ada yang melampirkan legal opinion itu dalam lampiran dakwaan dan ada juga

yang tidak.91

90

Wawancara dengan BRIPKA Luth Jhonson, Loc.cit., 91

(8)

B. Hambatan Yang Dihadapi Penyidik Dalam Memperoleh Keterangan Ahli Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di tingkat penyidikan, tidak

jarang penyidik menghadapi hambatan ataupun kendala terutama dalam hal

memperoleh keterangan ahli guna membantu penyidik mengungkap suatu perkara

pidana. Hambatan yang sering dihadapi penyidik adalah hambatan dari segi

kemampuan aparat kepolisian, yaitu dalam hal memahami keterangan yang

diberikan oleh seorang ahli. Hal disebabkan karena terkadang tidak selamanya

ahli dalam 1 bidang yang sama memberikan keterangan yang sama pula terhadap

suatu perkara pidana yang sama. Dengan demikian, penyidik tidak dapat hanya

berpatokan pada 1 keterangan ahli saja, karena dapat saja penyidik meminta lebih

dari 1 ahli untuk memberikan keterangan terhadap 1 perkara pidana.92

Hambatan lainnya yang dihadapi oleh penyidik adalah hambatan dari segi

budaya hukum masyarakat. Hal ini disebabkan karena masyarakat pada umumnya

belum dapat menerima adanya keterangan ahli dalam perkara, disebabkan oleh

ketidakwajiban masyarakat mengetahui tentang keterangan ahli tersebut.

Ketidakwajiban dan ketidaktahuan masyarakat inilah yang membuat sebagian

masyarakat tidak mengetahui apa sebenarnya fungsi ataupun kegunaan dari

keterangan ahli itu. Masyarakat menganggap bahwa keterangan ahli itu hanya

akan dapat memberatkan atau lebih menyudutkan pelaku tindak pidana sehingga

akan membuat si tersangka dikenakan pasal yang lebih berat.93

92

Wawancara dengan BRIPKA Luth Jhonson, Loc.cit.,

(9)

Anggapan dari masyarakat ini tentunya tidak benar dan sangat merugikan

masyarakat sendiri karena keterangan ahli ini sangat membantu penyidik dalam

mengungkap suatu perkara pidana.

C. Upaya-upaya Yang Dilakukan Penyidik Dalam Menyelesaikan Hambatan Yang Dihadapi Untuk Memperoleh Keterangan Ahli

Dalam menghadapi hambatan-hambatan yang dijumpai penyidik dalam

memperoleh keterangan ahli tersebut di atas, tentunya ada upaya-upaya yang

dilakukan oleh penyidik untuk mengatasi hambatan tersebut. Upaya-upaya yang

dilakukan penyidik dalam mengatasi hambatan dari segi kemampuan aparat

kepolisian yaitu dengan lebih mengamati dan mencermati setiap keterangan yang

diberikan oleh ahli tersebut. Sehingga keterangan yang diberikan oleh ahli itu

benar-benar dapat membantu penyidik dalam memperjelas suatu perkara pidana

yang sedang diperiksa. Dan tidak segan-segan untuk meminta keterangan ahli

tersebut kembali apabila penyidik belum memahami keterangan ahli tersebut.94 Sedangkan upaya yang dilakukan penyidik dalam mengatasi hambatan

dari segi budaya hukum masyarakat yaitu dengan memberikan keterangan ataupun

penjelasan kepada pihak-pihak yang berperkara baik terhadap korban maupun

pelaku tindak pidana mengenai perlu adanya keterangan ahli dalam kasus yang

sedang diperiksa oleh penyidik.95

94

Ibid.

95

(10)

D. Contoh Kasus

Tanggapan yang akan diberikan Penulis terhadap contoh kasus yang

dititikberatkan pada analisa yuridis kejadian perkara berdasarkan BERITA

ACARA PEMERIKSAAN AHLI Poltabes Medan, dimana pasal yang

dipersangkakan adalah Pasal 266 jo Pasal 263 dan Pasal 335 KUHP yaitu dengan

dugaan perkara tindak pidana “Menempatkan Keterangan Palsu dalam Akte

Autentik atau Pemalsuan Surat dan Membuat Perasaan Tidak Menyenangkan”,

dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Terhadap Pasal 266 jo Pasal 263 KUHP

Dalam hal ini, penyidik meminta keterangan seorang ahli untuk menanyakan

apakah Akte Perdamaian (dading) dapat digugurkan dengan sendirinya dari

hasil Notulensi Rapat. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh ahli

pidana menyatakan bahwa diduga pada kasus ini telah terjadi Tindak Pidana

Pemalsuan Surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1)

KUHP, dengan pertimbangan bahwa semua unsur-unsur dalam pasal ini sudah

terpenuhi, yaitu :

a. Unsur Objektif

1) Perbuatan, yaitu:

a) membuat palsu, atau

b) memalsukan

Pada kasus ini diduga telah terjadi perbuatan memalsukan surat, yaitu

awalnya sudah ada sepucuk surat (Akte No.68 tanggal 20 Februari 2006)

(11)

Agustus 2006. Sedangkan Notulensi Rapat ini tidak dapat membatalkan

Akte No.68 tanggal 20 Februari 2006. Dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa Notulensi Rapat tanggal 28 Agustus 2006 merupakan Surat Palsu

yang tergolong dalam pemalsuan secara intelektual yaitu membuat sebuah

surat yang isinya bertentangan dengan kenyataan sehingga bertentangan

dengan kebenaran.

2) Objeknya adalah surat

a) yang dapat menimbulkan sesuatu hak

b) yang menimbulkan sesuatu perikatan

c) yang menimbulkan sesuatu pembebasan hutang

d) yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal

Pada kasus ini, maka Surat Notulensi Rapat tanggal 28 Agustus 2006

dijadikan bukti oleh pihak terlapor untuk membatalkan Akte No.68

tanggal 20 Februari 2006 dan menguasai management perkebunan

yang selama ini dikelola oleh pelapor.

3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut

Pemakaian surat berupa Notulensi Rapat tanggal 28 Agustus 2006

menghilangkan hak pengelolaan management perkebunan kelapa sawit

Usaha Baru yang selama ini dikelola oleh pelapor. Dengan demikian

pelapor merasa dirugikan. Kata “dapat” yang dicantumkan pada

rumusan unsur di atas bermakna bahwa adanya kerugian itu tidak perlu

dibiktikan secara nyata, kemungkinan atau potensi saja akan adanya

(12)

unsur ini mengandung delik formil, yaitu suatu delik yang tidak

mensyaratkan adanya akibat dari tindak pidana sebagai syarat

pembuktian. Cakupan kerugian ini tidak hanya kerugian materil

semata, dapat juga kerugian moril, berupa kehormatan dan perasaan

keadilan masyarakat.

b. Unsur Subjektif

“Dengan maksud” untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai

seolah-olah isinya benar dan tidak palsu.

2. Terhadap Pasal 335 KUHAP

Dalam hal pasal ini, penyidik juga meminta keterangan ahli untuk

menanyakan pengertian hukum dan arti harfiah dari Pasal 335 ayat (1) KUHP.

Dan apakah terlapor dapat dikenakan pasal ini terhadap kasus pemberitaan di

media massa. Berdasarkan hal ini, ahli tersebut menjelaskan bahwa jenis

tindak pidana yang diatur dalam Pasal 335 KUHP ini mengatur suatu

perbuatan yang ditujukan terhadap kebebasan seseorang dalam bertindak,

bukan perampasan kemerdekaan seseorang. Oleh karena itu, tindak pidana

pada Pasal 335 KUHP ini disebut juga tindak pidana terhadap kemerdekaan

bertindak. Namun sebagian orang menganggapnya sebagai tindak pidana

perbuatan tidak menyenangkan. Dilihat dari sudut pandang korban, kejahatan

dalam Pasal 335 KUHP ini dikatakan sudah sempurna terjadi apabila objek

sudah merasa terpaksa melakukan yang dipaksakan oleh si pelaku. Jadi tidak

harus menunggu sudah selesai dilakukan apa yang dikehendaki oleh si pelaku.

(13)

terpenuhi apabila si pelaku telah melakukan pemaksaan dengan suatu ancaman

kekerasan sebelum si objek tergerak untuk melakukan atau menolak

melakukan. Pada saat ynag demikian telah terjadi percobaan untuk melakukan

kejahatan ini. Adapun unsur-unsur dari Pasal 335 ayat (1) ke-1 adalah:

a. Barang siapa;

b. Melawan hukum;

c. Memaksa orang lain supaya;

1) melakukan

2) tidak melakukan (membiarkan sesuatu)

d. Dengan memakai;

1) kekerasan

2) sesuatu perbuatan lain

3) perlakuan yang tidak menyenangkan

e. Atau dengan memakai ancaman;

1) kekerasan

2) sesuatu perbuatan lain

3) perlakuan yang tidak menyenangkan

f. Terhadap orang itu sendiri atau orang lain

Dengan demikian, menurut keterangan ahli unsur Pasal 335 ayat (1) ke-1

KUHP tidak dapat dipersangkakan dalam kasus pemberitaan di sebuah media

massa dalam perkara ini.

Jika dilihat secara seksama uraian contoh kasus dalam Berita Acara

(14)

bahwa penyidik dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan sering

kali meminta keterangan seorang ahli. Hal ini disebabkan karena memang tidak

dapat dipungkiri lagi bahwa keterangan ahli ini sangat membantu penyidik untuk

memberi masukan dalam memperjelas perkara pidana yang sedang diperiksa.

Dalam contoh kasus ini, terlihat jelas bahwa penyidik meminta keterangan

ahli untuk memastikan pasal yang dipersangkakan terhadap tersangka yaitu Pasal

266 jo Pasal 263 KUHP dan Pasal 335 KUHP. Hal ini bertujuan untuk mengambil

perimbangan tentang fakta hukum yang sedang disidik dengan keterangan yang

akan diberikan oleh ahli tersebut. Di sini, ahli menyatakan bahwa pada kasus ini

diduga telah terjadi tindak pidana Pemalsuan Surat sebagaimana diatur dalam

Pasal 263 ayat (1) KUHP. Sedangkan Pasal 335 KUHP tentang tindak pidana

Membuat Perasaan Tidak Menyenangkan, menurut keterangan ahli tidak dapat

dipersangkakan terhadap si tersangka. Sedangkan penyidik memasukkan Pasal

335 KUHP ini sebagai pasal yang dipersangkakan bagi tersangka.

Di sini terdapat perbedaan mengenai pasal yang dipersangkakan antara

penyidik dengan keterangan ahli tersebut. Dimana penyidik langsung

mempersangkakan 2 pasal sekaligus yaitu Pasal 263 jo Pasal 266 KUHP

sedangkan ahli hanya memakai 1 pasal saja yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHP saja.

Walaupun demikian, penyidik tidak berhak untuk menggugurkan atau

memilih-milih keterangan ahli tersebut. Namun penyidik wajib memasukkan semua hasil

pemeriksaan ahli ke dalam Berita Acara Pemeriksaan. Karena yang berhak untuk

(15)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap permasalahan yang menjadi

rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis akhirnya sampai pada

suatu kesimpulan dari pembahasan. Kesimpulan tersebut akan diuraikan lebih

lanjut dalam poin-poin sebagai berikut :

1. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Peranan keterangan ahli

dalam pemeriksaan perkara pidana dapat dilihat pengaturannya dari 2 jenis

ketentuan undang-undang yaitu menurut HIR (Herziene Inlands Reglement)

dan menurut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam

HIR, keterangan ahli tidak termasuk alat bukti dalam pembuktian perkara

pidana.

HIR tidak memandang keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, tetapi

menganggapnya sebagai keterangan keahlian yang dapat dijadikan hakim

menjadi pendapatnya sendiri, jika hakim menilai keterangan ahli tersebut

dapat diterima. Dalam HIR keterangan ahli tidak secara tegas dicantumkan

sebagai alat bukti yang sah. Keterangan ahli tersebut hanya disebutkan dan

tersisip di dalam Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 83b, Pasal 286, Pasal 287

(16)

Namun semenjak berlakunya KUHAP pada tahun 1981 yang mencabut HIR,

maka ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang

pembuktian dalam proses pembuktian di sidang pengadilan menjadi lebih

lengkap, yaitu dengan dimasukannya secara tegas keterangan ahli sebagai alat

bukti yang sah di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. Keterangan ahli

merupakan hal yang baru dan merupakan suatu kemajuan dalam pembaharuan

hukum acara pidana Indonesia. Alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai

nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Keterangan ahli

mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas artinya tidak ada melekat nilai

kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada

penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak ada keharusan bagi hakim

untuk harus menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud.

2. Dasar hukum bagi pemeriksaan keterangan ahli dalam tingkat penyidikan jelas

terlihat dalam Pasal 120 KUHAP. Dimana penyidik dapat meminta pendapat

seorang ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara di tingkat

penyidikan. Namun dalam memperoleh keterangan ahli tersebut terkadang

penyidik menemui berbagai hambatan.seperti hambatan yang datang dari

kemampuan si penyidik. Dalam hal ini, penyidik mengalami kesulitan untuk

memahami keterangan yang diberikan oleh ahli tersebut. Problema dasarnya

adalah tidak selamanya keterangan ahli dalam 1 bidang yang sama,

memberikan pendapat yang sama pula. Sedangkan hambatan lainnya datang

dari segi budaya hukum masyarakat. Dimana masyarakat pada umumnya

(17)

disebabkan oleh ketidakwajiban masyarakat mengetahui tentang keterangan

ahli tersebut. Adapun upaya yang dilakukan penyidik untuk mengatasi

hambatan-hambatan dalam memperoleh keterangan ahli, yaitu penyidik dapat

lebih mengamati dan mencermati lagi setiap keterangan yang diberikan oleh

ahli tersebut. Sehingga keterangan ahli itu benar-benar dapat membantu

penyidik dalam memperjelas suatu perkara pidana yang sedang diperiksa.

Sedangkan hambatan dari segi budaya hukum masyarakat, upaya yang

dilakukan penyidik adalah dengan memberikan keterangan ataupun penjelasan

kepada pihak-pihak yang berperkara, perlunya ada keterangan ahli dalam

perkara pidana yang sedang diperiksa.

B. Saran

1. Hakim hendaknya lebih arif menilai bukti-bukti yang diajukan dalam suatu

perkara pidana agar tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran yang

materil itu, benar-benar dapat tercapai.

2. Penyidik seharusnya dapat semakin cepat dalam melakukan pemeriksaan

perkara pidana di tingkat penyidikan. Dengan tercapainya hal tersebut, maka

berkas-berkas perkara yang ada di tingkat penyidikan tidak menumpuk dan

perkara pidana tersebut dapat segera disidangkan untuk memberikan sanksi

(18)

BAB II

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

A. Pengaturan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Perkara Pidana

1. Menurut HIR (Herziene Inlands Reglement)

Pada masa HIR (Herziene Inlands Reglement), keterangan ahli tidak

termasuk alat bukti dalam pembuktian perkara pidana. Adapun yang dimaksud

dengan alat-alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu

kejahatan di mana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan

pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya tindak

pidana yang telah dilakukan oleh tertuduh. HIR tidak memandang keterangan ahli

sebagai alat bukti yang sah, tetapi menganggapnya sebagai keterangan keahlian

yang dapat dijadikan hakim menjadi pendapatnya sendiri, jika hakim menilai

keterangan ahli tersebut dapat diterima.43

Menurut Pasal 295 HIR disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah :44 a. kesaksian-kesaksian

b. surat-surat

c. pengakuan

d. isyarat-isyarat.

Selanjutnya dapat dilihat substansi alat-alat bukti yang sah menurut HIR

yaitu :

43

R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana,CV. Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 2

44

(19)

a. Kesaksian-kesaksian sebagai bukti

Yang dimaksud dengan kesaksian yaitu keterangan lisan yang diberikan

oleh orang-orang yang secara langsung ataupun tidak langsung menghayati

adanya perbuatan kejahatan misalnya:45

1. Orang-orang ynag langsung menjadi korban kejahatan

2. Orang-orang yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan adanya perbuatan

kejahatan

3. Orang yang secara tidak langsung mengetahui adanya perbuatan kejahatan

Keterangan lisan seseorang ini disumpah terlebih dahulu tentang peristiwa

tertentu yang didengar, dilihat, dialami sendiri. Kesaksian yang tidak dilihat

sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah

merupakan kesaksian yang sah. Kesaksian seperti ini biasa disebut saksi de

auditu.

Menurut Pasal 80 HIR menyatakan bahwa menjadi saksi dalam suatu

perkara pidana itu merupakan suatu kewajiban dan apabila dilalaikan ada

sanksinya, akan tetapi tidak semua orang wajib menjadi saksi. Tiap-tiap orang

yang tidak dikecualikan dalam undang-undang wajib memberikan kesaksian.

Mengenai siapa-siapa orang yang dikecualikan itu ditentukan dalam pasal-pasal

sebagai berikut :46

45

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1980, hal. 57 46

R. Soesilo, Op.cit., hal. 204

1) Pasal 274 HIR

(20)

1o. Keluarga sedarah, atau keluarga semenda dalam turun ke atas atau ke bawah dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta pesakitan;

2o. Suami atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang atau perempuan dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan; lagi pula saudara ibu atau saudara bapa baik laki-laki, maupun perempuan, juga yang karena perkawinan, dan anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan. 3o. Suami atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi

pesakitan, biarpun telah bercerai;

4o. Budak yang telah dibebaskan oleh pesakitan atau oleh salah seorang yang serta menjadi tertuduh.

Dalam Pasal 274 ini disebutkan beberapa golongan orang-orang yang

dikecualikan. Mereka itu yang biasa disebut relatief onbevoegde getuigen (saksi

yang mempunyai hak undur diri relatif dari memberikan kesaksian), umumnya

tidak diperiksa menjadi saksi dan berhak meminta dibebaskan dirinya dari

memberikan kesaksian.

2) Pasal 275 HIR

(1) Jika jaksa pada pengadilan negeri dan pesakitan bersama-sama dengan tegas mengizinkan, maka orang-orang yang tersebut pada pasal di atas ini, dapat juga dikabulkan memberi kesaksian asal mereka turut meluluskan.

(2) Orang itu dapat diluluskan oleh pengadilan negeri untuk memberi keterangan tidak bersumpah, biarpun tidak ada izin itu.

3) Pasal 277 HIR

(1) Orang-orang, yang diwajibkan menyimpan rahasia karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya yang sah dapat meminta mengundurkan diri dari memberikan kesaksian; akan tetapi hanya mengenai hal yang diketahui dan dipercayakan kepadanya itu saja.

(2) Pertimbangan apakah permintaan mengundurkan diri itu beralasan atau tidak terserah pada ketua pengadilan negeri.

4) Pasal 278 HIR

Hanya dapat diperiksa untuk memberi keterangan dengan tidak mengangkat sumpah;

(21)

2o orang gila, meskipun kadang-kadang ia dapat memakai ingatannya dengan terang.

Pasal 278 ini menyebutkan golongan saksi absolute onbevoegde getuigen

(orang-orang senantiasa dibebaskan dari memberikan kesaksian). Mereka itu

hanya dapat diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah artinya

keterangannya tidak bernilai sebagai bukti kesaksian tetapi hanya sebagai

penjelasan saja.

Keterangan saksi itu harus diberikan di muka sidang pengadilan, jadi

bukan di muka polisi atau jaksa, kecuali dalam hal tersebut dalam Pasal 259 HIR

yang menentukan bahwa keterangan orang yang diberikan dengan sumpah dalam

pemeriksaan pendahuluan oleh polisi dan jaksa pun dapat dianggap sebagai

kesaksian, apabila itu tidak dapat menghadap sidang pengadilan, karena

meninggal dunia tidak dipanggil sebab jauh tempat tinggalnya, dan keterangan itu

dibacakan di muka persidangan. Keterangan orang tidak atas sumpah tidak

dianggap sebagai alat bukti yang sah (Pasal 303 HIR).

b. Surat-surat sebagai bukti

Adapun yang dimaksud dengan surat-surat sebagai alat bukti yang sah

menurut hukum yaitu surat-surat:47

1. Surat yang dikeluarkan oleh dokter atas permintaan hakim, jaksa atau

pembantu jaksa yang ada hubungannya dengan keahliannya untuk bahan

pembuktian yang menyangkut sesuatu perkara. Surat keterangan tersebut

dibuat di bawah sumpah jabatan dan disebut denagan visum et repertum.

47

(22)

2. Surat-surat yang ada hubungannya dengan keahlian-keahlian lain, misalnya

keterangan yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Negara tentang sidik

jari, pemalsuan tulisan atau surat keterangan yang dikeluarkan oleh

lembaga-lembaga negara yang lain seperti misalnya hasil pemeriksaan darah, racun dan

sebagainya.

3. Selain apa yang terurai di atas, surat-surat lain yang dapat dijadikan sebagai

bukti adalah surat-surat sebagaimana diterangkan dalam pasal-pasal 304, 305

dan 306 HIR.

Pasal 304 menentukan bahwa peraturan tentang kekuatan bukti surat-surat

umum dan surat-surat khusus dalam perkara perdata harus diperhatikan pula

terhadap bukti dalam perkara pidana. Bukti surat-surat perkara perdata terdiri atas

surat-surat otentik dan surat-surat bawah tangan (Pasal 187 Burgerlijke Wetboek).

Surat-surat otentik yaitu surat-surat yang dibuat dalam bentuk menurut

undang-undang oleh atau dengan disaksikan oleh pejabat umum (notaris. jaksa, polisi,

camat dan lain sebagainya), yang di tempat surat itu dibuat, berkuasa untuk itu

(Pasal 1868 BW dan 165 HIR). Adapun yang dimaksud dengan dibuat oleh adalah

bahwa pegawai itu sendirilah yang melakukan sesuatu perbuatan, umpamanya

pegawai polisi membuat berita acara pendapatan. Sedangkan yang dimaksud

dengan dibuat dengan disaksikan oleh adalah bahwa pegawai itu hanya

menyebutkan saja dalam surat itu hal-hal yang diberitahukan kepadanya oleh

orang lain, misalnya pegawai polisi membuat berita acara pemberitahuan atau

pengaduan.48

48

R. Soesilo, Op.cit., hal. 219

(23)

Surat-surat bawah tangan yaitu surat-surat yang dibuat dengan sengaja

untuk membuktikkan suatu pernyataan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian

yang tertentu, tidak dengan perantaraan pegawai umum, ditandatangani oleh orang

atau orang-orang yang menyatakan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian

tersebut, misalnya surat perjanjian jual-beli tanah yang dibuat dan ditanda tangani

tidak di muka pegawai umum. Kekuatan surat-surat otentik dan surat-surat bawah

tangan itu pada umumnya dapat dikatakan sama, hanya apabila ada sangkaan dari

pihak lain, bahwa tanda tangan yang ada disitu palsu, maka bagi surat otentik

pihak yang menyatakan palsu itu harus membuktikan kepalusannya itu, sedangkan

bagi surat bawah tangan pihak yang mengatakan palsu itu tidak perlu

membuktikan, tetapi sebaliknya pihak yang mendasarkan atas surat itu harus

membuktikan, bahwa tanda tangan itu betul tidak palsu. Surat-surat sebagai bukti

baik yang berupa surat otentik dan maupun yang berwujud surat bawah tangan

misalnya surat kelahiran, surat nikah, surat ijazah, surat wasiat, surat perjanjian

hutang, surat perjanjian beli-sewa, obligasi, visum et repertum dan lain

sebagainya.49

Pengakuan yaitu keterangan-keterangan yang diberikan oleh terdakwa

dalam pemeriksaan di mana dia mengakui telah melakukan suatu peristiwa pidana

yang dituduhkan kepadanya. Menurut Pasal 307 HIR agar pengakuan itu c. Pengakuan sebagai bukti

49

(24)

merupakan alat bukti yang cukup haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut :50

1) diberikan atas kehendak sendiri (bebas dari paksaan)

2) diberikan di muka sidang pengadilan

3) disertai dengan pemberitahuan yang tentu dan seksama, tentang sesuatu yang

diketahui, baik dari keterangan orang yang menderita peristiwa pidana,

maupun dari alat-alat bukti lainnya yang cocok dengan pengakuan itu.

Apabila tidak ada sesuatu hal sama sekali diketahui dalam sidang

pengadilan yang dapat meneguhkan, maka menurut Pasal 308 HIR, pengakuan

belaka sekali-kali tidak dapat dianggap cukup sebagai alat bukti yang sah.

d. Isyarat-isyarat sebagai bukti

Isyarat-isyarat adalah terjemahan dari kata bahasa Belanda aanwizingen.

Ada yang menterjemahkan dengan tanda-tanda atau penunjukkan-penunjukkan.

Menurut Pasal 310 HIR yang dimaksud penunjukkan yaitu perbuatan-perbuatan,

kejadian-kejadian atau keadaan-keadaaan yang adanya dan persetujuannya, baik

yang satu dengan yang lain, maupun dengan kejahatan itu sendiri dengan nyata

menunjukkan bahwa ada suatu kejadian telah dilakukan dan siapakah

pembuatnya.51

1) saksi-saksi,

Menurut Pasal 311 HIR adanya penunjukkan-penunjukkan itu hanya dapat

dibuktikan dengan :

2) surat-surat,

50

R. Atang Ranoemihardja, Op.cit., hal. 59 51

(25)

3) penglihatan hakim sendiri,dan

4) pengakuan (erkentensis), biarpun di luar sidang pengadilan.

Berdasarkan Pasal 295 HIR di atas yang dianggap sebagai bukti yang sah

hanyalah empat macam alat bukti yang disebutkan dalam pasal ini. Selain dari

empat macam alat bukti ini tidak dianggap sah, misalnya sangkaan belaka, hasil

nujum pendukunan yang lazim dipraktekkan di kampung-kampung seperti melihat

tanda-tanda dalam sebuah primbon dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas

jelaslah bahwa di dalam HIR alat bukti keterangan ahli tidak secara tegas

dicantumkan sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanya disebutkan dan tersisip di

dalam pasal-pasal lain di luar pasal 295 HIR.52 Pasal-pasal yang menyebut tentang keterangan ahli tersebut antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut :53

52

R. Soeparmono, Loc.cit., 53

R. Soesilo, Op.cit.,

1. Pasal 68 HIR

Kalau hak itu dianggap perlu oleh pegawai penuntut umum, maka ia akan membawa seorang atau dua orang ahli untuk menemaninya, yang dapat menimbang sifat dan keadaan kejahatan itu.

Menurut bunyi pasal ini, maka jaksa atau jaksa pembantu dalam

penyidikan perkara, jika perlu tidak akan kekurangan pembantu. Mereka itu dapat

membawa seorang atau dua orang ahli untuk menemaninya, yang dapat memberi

pertimbangan atas hal ikhwal atau keadaan kejahatan yang telah terjadi, seperti

misalnya kasus-kasus kebakaran gedung atau pasar biasa dibawa seorang atau dua

(26)

2. Pasal 69 HIR

(1) Dalam hal mati karena perbuatan kekerasan, atau sebab mati mendatangkan syak, demikian juga dalam hal luka parah atau percobaan meracun orang dan makar-makar yang lain untuk membinasakan nyawa orang, maka ia akan membawa seorang atau dua orang tabib untuk menemaninya; tabib itu memberi rencana tentang sebab mati itu atau sebab luka itu dan tentang keadaan mayat itu atau badan orang yang dilukai dan tentang hal itu kalau perlu diperiksa badan mayat itu sebelah dalamnya.

(2) Orang-orang yang dipanggil dalam hal yang tersebut pada pasal ini dan pasal yang lalu hendaklah disumpah di hadapan pegawai penuntut umum, yaitu bahwa mereka itu harus memberi rencana kepadanya menurut kebenaran yang sesungguh-sungguhnya, yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Sebagaimana ternyata dari bunyi pasal ini maka terang bahwa dalam

penyidikan perkara kematian, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya jaksa

atau jaksa pembantu berwenang untuk membawa dokter turut memeriksa di

tempat kejahatan dan dapat diminta keterangannya. Dalam prakteknya tidak

senantiasa seorang ahli atau dokter dapat dibawa ke tempat kejahatan.

Kebanyakan barang-barang yang perlu dimintakan pemeriksaan keahlian itu

dikirim kepada mereka dan kemudian diminta pendapatnya dengan tertulis.

3. Pasal 70 HIR

Tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai orang yang ahli atau sebagai tabib wajib datang memberi bantuan itu.

Yang dimaksud dengan orang ahli adalah bukan saja yang berpendidikan

akademis saja seperti insiyur bangunan, mesin, elektronik dan lain sebagainya,

akan tetapi pada umumnya semua orang yang berpengalaman dan amat pandai

dalam pekerjaannya seperti juru masak, tukang kayu, tukang jahit, montir, dan

lain sebagainya yang berpengalaman, cakap, dan mahir dalam pekerjaannya,

(27)

dengan pertolongan tukang besi (mengenai kunci palsu), tukang jahit (mengenai

baju yang dicuri dengan melihat macam jahitannya dan sebagainya). Mereka yang

sengaja tidak mau memberikan bantuan dalam hal ini diancam pidana dalam pasal

216 KUHP

4. Pasal 83b HIR

(1) Kalau dianggap perlu oleh perlu oleh pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu, yang melakukan pemeriksaan itu, maka ia boleh meminta rencana yang perlu kepada tabib atau ahli-ahli yang lain.

(2) Mereka itu haruslah bersumpah di hadapan pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu, bahwa mereka akan memberi rencana menurut kebenaran yang sesungguh-sungguhnya, yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Dalam prakteknya jarang sekali terjadi bahwa orang ahli atau tabib itu

mengangkat sumpah di depan jaksa ataupun jaksa-pembantu. Rencana atau surat

keterangan keahlian tersebut biasanya dibuat oleh yang bersangkutan dengan

mengingat sumpah jabatan atau suatu kesediaan untuk meneguhkannya dengan

mengangkat sumpah di kemudian, dimana sumpah dilakukan di depan pengadilan.

Dalam ayat (2) dari pasal ini menetukan bahwa Pasal 70 berlaku untuk ini, yang

berarti bahwa tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada

justisi sebagai orang ahli atau tabib, wajib datang memberi bantuan itu.54

54

Ibid.

5. Pasal 286 HIR

(1) Segala aturan yang ada dalam hal ini mengenai saksi-saksi berlaku juga mengenai orang-orang ahli; tetapi orang-orang ahli itu hendaklah di sumpah menurut Pasal 83b.

(28)

(3) Orang itu juga, dapat didengar sebagai saksi dan sebagai ahli, asal saja sebelum sumpah dijalankan, diperingatkan kepadanay bahwa ia disumpah untuk kedua hal ini.

(4) Ketua dapat memerintahkan kepada kepala daerah dari daerah tempat diam atau tempat tinggal dari ahli itu untuk mengambil sumpahnya dan mendengarnya menurut pertanyaan-pertanyaan yang diberikan

(5) Kepala daerah mengirim pemberitaaan penyumpahan itu dengan kepala tertutup dan bermaterai kepada pengadilan negeri

(6) Pemberitaan acara itu harus dibacakan.

Pasal ini menentukan bahwa semua peraturan mengenai saksi berlaku juga

bagi orang ahli, akan tetapi orang ahli harus bersumpah menurut Pasal 83b, berarti

bahwa orang ahli selain bersumpah sebagai saksi di depan sidang pengadilan, juga

harus sebagai orang ahli di muka jaksa atau jaksa-pembantu yang bersangkutan.

Selain itu orang yang dipanggil sebagai orang ahli berwajib menyediakan

tenaganya yang berarti bahwa tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi

bantuan kepada justisi sebagai seorang ahli atau dokter, wajib memberikan

bantuan itu. Kalau ia dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban itu, dapat

dituntut di muka pengadilan atas dasar Pasal 216 KUHP.

6. Pasal 287 HIR

(1) Ketua dapat menyuruh memanggil orang lain daripada saksi dan orang ahli yang sudah dipanggil, selagi pemeriksaan dijalankan, pun juga dengan perintah akan menghadap persidangan dengan segera, dan dapatlah ia memeriksa orang-orang itu dengan mengangkat sumpah.

(2) Ia dapat juga meminta pertelaan yang dikehendaki dari orang-orang ahli dan menyuruh mengadakan surat keterangan baru, disebabkan keterangan yang diberikan oleh pesakitan atau saksi dalam persidangan, supaya perkara itu lebih terang.

(3) Tentang meminta pertelaan dari orang yang ahli maka berlaku ketentuan pada Pasal 83a.

7. Pasal 306 HIR

(29)

(2) Hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat orang ahli yang diberikan itu, jika pendapat itu bertentangan dengan keyakinannya.

Menurut pasal ini maka keterangan, laporan atau pendapat yang diberikan

oleh orang ahli seperti dokter, ahli kimia, ahli elektronik dan lain sebagainya itu

oleh hakim hanya dipakai sebagai keterangan atau penjelasan saja, artinya tidak

dinilai sebagai alat bukti sah yang penuh. Hakim pun tidak terikat oleh pendapat

yang diberikan oleh orang ahli itu jika bertentangan dengan keyakinannya, akan

ditolak juga.

2. Menurut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi garisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Di samping itu juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan

yang boleh dipergunakan hakim membukt ikan kesalahan yang didakwakan.55 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengertian pembuktian adalah

ketentuan yang dibatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan

menemukan kebenaran. Para instansi terkait dalam pemeriksaan perkara pidana

terikat ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan

undang-undang. Mereka tidak boleh bertindak dengan caranya sendiri dalam penilaian

pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan

55

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

(30)

undang-undang. Demikian pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan

pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti,

harus dilaksanakan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang.

Semenjak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

disingkat KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. LN Th.1981 No. 76,

TLN. NO. 3209) yang mencabut H.I.R. (Stb. Th 1941 No. 44) jo Undang-Undang

Nomor 1/ Drt Th 1951 (LN Th 1951 No. 9) jo Ketentuan Hukum Acara Pidana

dan Peraturan Perundang-undangan lain, maka ketentuan perihal macam-macam

alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan di sidang

pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukannya secara tegas alat

bukti “keterangan ahli” di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP.56

a. kesaksian-kesaksian

Pasal 184 KUHAP, menyebutkan :

(1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Jika dilihat dari substansinya Pasal 184 KUHAP ini telah mengalami

perubahan dan perkembangan jika dibandingkan dengan HIR, terutama mengenai

keterangan ahli dan keterangan terdakwa. Menurut Pasal 295 HIR disebutkan

bahwa alat bukti yang sah adalah:

b. surat-surat

56

(31)

c. pengakuan

d. isyarat-isyarat.

Dalam HIR, keterangan ahli bukan merupakan alat bukti yang sah,

keterangan ahli hanya merupakan pendapat atau keterangan yang diberikan

kepada hakim, oleh karena itu tidak mengikat hakim dan dapat

mengenyampingkan keterangan ahli tersebut.

Selanjutnya dapat dilihat substansi alat-alat bukti yang sah menurut

KUHAP yaitu:

a. Keterangan Saksi

Menurut Pasal 1 Angka 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepantingan penyidikan,

penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri. Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa saksi adalah:57

57

M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 286

1. Setiap orang yang dapat memberikan keterangan. Setiap orang dimaksudkan

yang tidak mendapat pengecualian dari undang-undang seperti anak yang

belum berumur 15 tahun atau yang belum pernah kawin, atau orang yang sakit

jiwa. (penjelasan Pasal 171 KUHAP)

2. Dari kata-kata dialaminya sendiri, maka yang dimaksud dengan saksi disini

adalah juga termasuk saksi yang menjadi korban dari suatu tindak pidana yang

(32)

Mengenai keterangan apa saja yang dapat diberikan oleh seorang saksi, hal

ini diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan Pasal 185 ayat (1) dan (5)

KUHAP.

Pasal 1 angka 27 berbunyi :

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu”.

Pasal 185 ayat (1) dan (5) KUHAP berbunyi :

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

Dari kedua pasal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :58

1. Keterangan saksi adalah apa yang ia dengar sendiri, keterangan mana

diberikan dan dinyatakan di sidang pengadilan perkara pidana. Dengan

demikian keterangan saksi yang dinyatakan dalam peradilan perdata tidak

dapat dijadikan bukti dalam peradilan perkara pidana, demikian pula yang

diberikan di luar sidang bukan merupakan alat bukti. Saksi hanya

menerangkan apa yang ia dengar sendiri yang berhubungan dengan peristiwa

yang sedang diperiksa. Saksi tidak dibenarkan menerangkan suatu keadaan,

suatu kejadian yang didengar dari orang lain (testimonium de auditu). Apabila

hal ini terjadi hakim tidak dibenarkan menggunakannya sebagai alat bukti

keterangan saksi. Tetapi keterangan saksi de auditu ini tidak selamanya

dikesampingkan, sebab ada kalanya dari keterangan ini hakim dapat mencari

58

(33)

sumber berita dari saksi lain sehingga hal itu berguna untuk menyusun suatu

rangkaian peristiwa pembuktian terhadap terdakwa.

2. Keterangan saksi adalah apa yang ia lihat sendiri, artinya saksi hanya

menerangkan apa yang ia lihat sendiri, yang berhubungan dengan peristiwa

yang sedang diperiksa. Keterangan saksi yang diberikan berdasarkan

penglihatannya (misalnya rekaman video) dari rekaman peristiwa tidak

dibenarkan oleh undang-undang.

3. Keterangan saksi adalah apa yang ia alami sendiri dalam suatu peristiwa yang

sedang diperiksa. Seorang saksi tidak dibenarkan membuat kesimpulan

ataupun rekaan apa yang telah dialaminya sendiri.

4. Keterangan saksi harus disebutkan dengan alasan-alasan yang jelas menurut

pengetahuannya sendiri, bukan pengetahuan atau pendapat dari orang lain

atau berdasarkan pengajaran /petunjuk dari orang lain. Dengan kata lain,

keterangan saksi ini harus dilengkapi dengan alasan-alasan tanpa adanya

rekayasa atau campur tangan dari pihak luar.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang,

hanya diatur dalam satu pasal saja pada Bagian Keempat, Bab XVI sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 186. Akibatnya jika hanya bertitik tolak pada pasal dan

penjelasan Pasal 186 saja, sama sekali tidak memberikan pengertian yang jelas.

Untuk mencari dan menemukan pengertian yang lebih luas, tidak dapat hanya

bertumpu berlandaskan pasal dan penjelasan Pasal 186. Sehingga harus mencari

(34)

pasal-pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, dan

Pasal 180. Dengan jalan merangkai pasal-pasal itu barulah jelas arti dan

seluk-beluk pemeriksaan keterangan ahli.

Menurut Pasal 186 KUHAP khusus merumuskan mengenai masalah

keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Akan tetapi,

kenyataannya Pasal 186 itu sendiri sebagai pasal yang mengatur keterangan ahli

sebagai alat bukti dan pembuktian, tidak mampu menjelaskan masalah yang

dikandungnya sekalipun pasal tunggal ini dihubungkan dengan penjelasannya.

Untuk menguatkan pendapat ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 186 KUHAP

tersebut, yaitu: “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang

pengadilan”. Dengan demikian dapat dilihat bahwa isi Pasal 186 hanya

merumuskan mengenai hal itu saja dan tidak dirinci lagi dalam pasal-pasal

berikutnya. Sehingga Pasal 186 sebagai ketentuan yang mengatur keterangan ahli

dari sudut pembuktian, benar-benar merupakan pasal tunggal yang berdiri sendiri.

Itulah sebabnya dikatakan bahwa untuk memahami keterangan ahli sebagai alat

bukti dan pembuktian, pasal itu harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang

terdapat dalam KUHAP.59

Adapun pasal-pasal yang berhubungan dengan Pasal 186 KUHAP tersebut

yang mengatur mengenai ketentuan keterangan ahli sebagai alat bukti dan

pembuktian yaitu:60

59

Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 252

60

(35)

1. Pasal 1 angka 28.

Pasal ini memberi definisi pengertian apa yang disebut keterangan ahli yaitu: “Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Memperhatikan bunyi Pasal 1 angka 28, dapat ditarik pengertian:

a) keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki

keahlian khusus tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu

perkara pidana yang sedang diperiksa,

b) maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang

diperiksa menjadi terang demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang

bersangkutan.

Dari sudut pengertian dan tujuan keterangan ahli inilah ditinjau makna dari

keterangan ahli sebagai alat bukti. Karena jika hakim, penuntut umum atau

terdakwa tidak memahami arti dan tujuan keterangan ahli, hal itu bisa

menimbulkan kekacauan dalam pemeriksaan. Seandainya apabila hakim kurang

memahami pengertian tentang suatu keadaan, dan penjelasan hanya dapat

diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus, namun ternyata hakim

meminta penjelasan dari seseorang yang bukan memiliki keahlian khusus dalam

masalah yang hendak dijernihkan. Dalam masalah ini ditinjau dari segi hukum,

keterangan yang seperti itu tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut

undang-undang, karena orang yang memberi keterangan tidak memiliki keahlian

khusus. Oleh karena itu, disamping orang yang diminta keterangannya

benar-benar ahli dan memiliki keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat

(36)

pemeriksaan ahli tadi., yaitu untuk membuat terang perkara pidana. Jika perkara

sudah cukup terang tidak perlu diminta keterangan ahli, karena bertentangan

dengan tujuan pemeriksaan keterangan ahli ditinjau dari segi pembuktian.

Rumusan yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai

sebagai alat bukti yang sah:61

a) Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai

keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana

yang sedang diperiksa,

b) Sedang keterangan yang diberikan oleh seorang ahli tetapi tidak mempunyai

kehalian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara

pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah

menurut undang-undang.

2. Pasal 120 KUHAP

Dalam pasal ini kembali ditegaskan, yang dimaksud dengan keterangan

ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus, yang akan memberikan

keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Pengertian inilah yang

dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 120, jika pengertian ahli dikaitkan dengan

alat bukti dan pembuktian. Dengan demikian Pasal 120 semakin mempertegas

pengertian keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian, yaitu:62

61

M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 299 62

(37)

a. Secara umum yang dimaksud dengan keterangan ahli yang dapat dianggap

bernilai sebagai alat bukti yang sah ialah keterangan seorang ahli yang

memiliki keahlian khusus tentang suatu hal,

b. dan keterangan yang diberikannya sebagai ahli yang memiliki keahlian khusus

dalam bidangnya, berupa keterangan menurut pengetahuannya.

Dari ketentuan Pasal 120 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28, semakin

jelas dilihat kapan keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang memiliki

kekuatan pembuktian, ialah:63

63

Ibid.

1). keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan

dengan perkara pidana yang sedang diperiksa,

2). dan bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus yang

dimilikinya berbentuk keterangan menurut pengetahuannya.

Dengan demikian jika keterangan yang diberikan berbentuk pendengaran,

penglihatan atau pengalamannya sehubungan dengan peristiwa pidana yang

terjadi, keterangan semacam itu sekalipun diberikan oleh ahli, tidak bernilai

sebagai bukti keterangan ahli, tetapi menjadi alat bukti keterangan saksi. Oleh

karena itu, dalam menentukan penilaian apakah sesuatu keterangan dapat dinilai

sebagai keterangan ahli, bukan hanya ditentukan oleh faktor keahliannya atau

faktor orangnya tetapi ditentukan oleh faktor bentuk keterangan yang

dinyatakannya, yaitu berbentuk keterangan menurut pengetahuannya secara

murni.

(38)

Pasal 133 lebih menitikberatkan masalahnya kepada keterangan ahli

kedokteran kehakiman dan menghubungkannya dengan tindak pidana yang

berkaitan dengan kejahatan penganiayaan dan pembunuhan. Apabila Pasal 133

dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120 pada satu pihak, terlihat

seolah-seolah undang-undang mengelompokkan ahli dalam dua kelompok :64

64

Ibid., hal. 300

a. Ahli secara umum seperti yang diatur pada Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120,

yaitu orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu,

seperti ahli jiwa, akuntan, ahli kimia, ahli mesin, dan sebagainya,

b. Ahli kedokteran kehakiman yang disebut dalam Pasal 133, ahli yang khusus

dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah mayat

dan forensik.

Sebenarnya ahli dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan

dengan kejahatan tindak pidana penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya pada

hakikatnya adalah ahli yang memiliki keahlian khusus. Atau dengan kata lain, ahli

kedokteran kehakiman ialah ahli yang khusus memiliki keahlian yang

berhubungan dengan korban yang memiliki luka, keracunan ataupun mati yang

diduga diakibatkan karena peristiwa pidana. Keterangan yang diberikan oleh

dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman tidak dapat dinilai sebagai alat

bukti yang sah. Keterangan mereka hanya bernilai sebagaimana yang ditegaskan

(39)

4. Pasal 179 KUHAP

Ditinjau dari alat segi alat bukti dan pembuktian, tampaknya pasal ini lebih

mempertegas pendapat akan hal-hal yang telah diuraikan diatas, yaitu :65 a. Ada dua kelompok ahli:

1). Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam

kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban

penganiayaan, keracunan atau pembunuhan,

2). ahli pada umumnya, yaitu orang yang memiliki “keahlian khusus” dalam

bidang tertentu.

Hal ini dapat dibaca dari kalimat Pasal 179 ayat (1):

“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”.

b. kemudian Pasal 179 juga merupakan penegasan kembali ketentuan Pasal 120,

tentang bentuk keterangan yang mereka berikan adalah menurut

pengetahuannya. Hal ini jelas dapat dibaca pada Pasal 179 ayat (2) kalimat

terakhir. Bahwa para ahli tersebut akan memberikan keterangan yang

sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang

keahliannya. Jadi Pasal 179 sejalan dan sejiwa dengan pasal-pasal yang telah

diuraikan terdahulu.

Dengan penjelasan diatas dapatlah dipahami pengertian keterangan ahli

ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Selain itu perlu diutarakan Surat

Edaran Jaksa Agung yang mengatur tentang keterangan ahli mengenai tanda

65

(40)

tangan dan tulisan sebagai alat bukti. Tujuan surat edaran tersebut dimaksudkan

untuk mencapai keseragaman tentang hasil pemeriksaan ahli terhadap autentikasi

tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti. Jadi surat edaran

ini merupakan aturan pelaksanaan Pasal 184 ayat (1) huruf c jo Pasal 187

KUHAP. Tetapi, hanya khusus terbatas sepanjang mengenai keterangan ahli

tentang tanda tangan dan tulisan.66

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas atau tentang keterangannya itu.

c. Surat

Mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi :

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktiannya yang lain.

Dari bunyi Pasal 187 KUHAP tersebut diatas dapat diambil kesimpulan,

bahwa yang dimaksud dengan surat itu adalah :67

1. Surat yang dibuat oleh pejabat umum atau dihadapannya. Surat yang seperti

ini adalah surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk

membuatnya, yang isinya memuat keterangan tentang kejadian atau tentang

66

Ibid. 67

(41)

keadaan yang didengarnya, dilihat atau dialami oleh pejabat itu sendiri serta

menjelaskan alasan-alasan yang tegas. Atau surat itu sengaja dibuat oleh para

pihak di depan pejabat umum yang mempunyai wewenang dalam hal itu,

misalnya surat yang dibuat dan ditandatangani di hadapan notaris.

2. Surat-surat yang biasanya dibuat oleh aparat pemerintah dalam bidang

administrasi negara, misalnya surat izin mendirikan bangunan, SIM, dan lain

sebagainya.

3. Surat-surat yang berupa penjelasan mengenai keterangan ahli, keterangan

mana dibuat dalam bentuk laporan atau surat yang ditandatangani ahli

tersebut.

4. Surat-surat lain pada umumnya, yang nilai pembukitannya tergantung pada

isinya apakah mempunyai hubungan dengna alat-alat bukti yang lain. Surat

yang tidak mempunyai hubungan dengna alat bukti yang lain, maka tidak

dapat dijadikan alat bukti yang sah. Sekarang ini surat-surat banyak yang

dalam bentuk foto copy, tetapi kekuatan pembuktiannya tetap terletak pada

surat yang asli.

d. Petunjuk

Mengenai alat bukti petunjuk, diatur dalam Pasal 188 KUHAP, yang

berbunyi :

(1). Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunnya. (2). Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a.keterangan saksi; b.surat;

(42)

(3). Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hatu nuraninya.

Dari bunyi pasal tersebut diatas dapat diambil beberapa kesimpulan,

yaitu:68

1. Alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan

atau keterangan terdakwa. Jadi hakim tidak dibenarkan memperoleh petunjuk

di luar dari salah satu atau ketiga alat bukti ini, hal ini bertujuan untuk

menjaga agar hakim tidak mencari alat bukti petunjuk dari sumber yang

terlampau luas. Hakim dapat secara sah menggunakan alat bukti petunjuk dari

suatu surat saja, apabila mempunyai hubungan atau persesuaian satu sama lain

dengan peritiwa pidana yang sedang diperiksannya.

2. Petunjuk adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena dalam

menggunakan alat bukti petunjuk harus menghubungkannya dengan

kejadian-kejadian lain yang berhubungan denga tindak pidana itu sendiri apakah sesuai

atau tidak. Dengan demikian alat bukti petunjuk ini dapat berdiri sendiri

sebagai alat bukti

3. Hakim harus menggunakan dengan arif lagi bijaksana serta memeriksa

petunjuk dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati

nuraninya. Peringatan ini ditujukan kepada hakim agar jangan sampai terjadi

bahwa hakim akan menganggap sebagai petunjuk hal-hal yang sebenarnya

merupakan sangkaan atau perkiraan, yang menyebakan terdakwa dijatuhi

hukuman. Untuk itu hakim harus behati-hati, dan sedapat mungkin

68

(43)

menggunakan bukti petunjuk ini secara minimal jika alat bukti lain tidak /

belum mencukupi untuk membuktikkan terdakwa.

e. Keterangan Terdakwa

Di dalam HIR bukti ini disebut dengan pengakuan tertuduh. Pengakuan ini

dapat dijadikan bukti oleh karena orang menganggap tidaklah ada orang yang

lebih dipercaya dari orang yang mengakui kesalahannya sendiri, sedangkan ia

menyadari bahwa pengakuannya itu akan merugikan dirinya yang bertentangan

dengan sifat manusia pada umumnya yang selalu menghindari sesuatu yang

mengakibatkan kerugian pada dirinya. Dengan demikian wajar bahwa pengakuan

ini adalah kebenaran yang patut diterima sebagai alat bukti. Akan tetapi, pada

kenyataanya pengakuan seorang tersangka ini sebenarnya dapat dipengaruhi oleh

keadaan lain yang menyebabkan pengakuan itu bukan yang sebenarnya. Hal ini

misalnya pengakuan yang disebabkan oleh intimidasi, ancaman atau siksaan dari

orang lain atau dari pihak penyidik sendiri, sehingga ia secara terpaksa mengakui

sesuatu perbuatan yang sebenarnya tidak ia lakukan. Atau mungkin saja

pengakuan terdakwa itu bertujuan untuk menyelamatkan seseorang yang

dikasihani atau mungkin juga ia memperoleh sesuatu dari pengakuannya itu. Oleh

karena itu, pada akhirnya pengakuan ini sering diragukan dan tidak dapat

dijadikan alat bukti yang sah. Mengingat hal ini maka di dalam KUHAP

istilahnya diganti dengan keterangan terdakwa, dengan demikian di dalamnya

tidak hanya mencakup pengakuan saja tetapi juga termasuk hal-hal yang diingkari

oleh terdakwa.69

69

(44)

Mengenai keterangan terdakwa di dalam KUHAP diatur dalam Pasal 189,

yang berbunyi :

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar dapat digunakan untuk membantu

menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Demikian persoalan pembuktian dan alat-alat bukti yang sah dalam hukum

acara pidana khususnya dalam KUHAP. Dari kelima macam alat bukti tersebut,

yang perlu diterangkan adalah alat bukti yang berupa keterangan ahli. Hal ini

disebabkan karena keterangan ahli merupakan hal yang baru dan merupakan suatu

kemajuan dalam pembaharuan hukum acara pidana Indonesia. Perkembagan ilmu

teknologi sekarang ini menuntut keterangan ahli untuk memberikan peranannya

dalam penyelesaian kasus-kasus pidana terutama yang menyangkut di luar bidang

hukum. Banyak hal yang dahulu tidak disebutkan dalam HIR, maka kini di dalam

KUHAP telah dirumuskan dan dicantumkan dengan tegas seperti alat bukti

keterangan ahli tersebut dalam semua tahap pemeriksaan. HIR tidak

mengkategorikan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara

pidana, sebab dahulu keterangan ahli hanya sebagai penerang bagi hakim seperti

(45)

meyakini pendapat seorang ahli apabila keyakinan hakim bertentangan dengan

pendapat ahli tersebut.70

Menurut ketentuan Pasal 133 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan

Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat

bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut :71

1. Keterangan ahli yang diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan

Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah

pada bentuk ini, yaitu

a. Diminta dan diberikan ahli pada saat penyidikan, jadi pada saat

penyidikan demi untuk kepentingan peradilan, penyidik meminta

keterangana ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik “secara tertulis”

dengan menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu

dilakukan, misalnya apakah untuk pemeriksaan luka ataupun untuk

pemeriksaan mayat dan lain sebagainya.

b. atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”,

laporan itu bisa berupa “surat keterangan”, misalnya berupa visum et

repertum

c. laporan yang dibuat oleh ahli yang bersangkutan dilakukan dengan

mengingat sumpah di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.

70

R. Soeparmono, Op.cit., hal. 64 71

(46)

d. dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan

yang dituangkan dalam laporan mempunyai sifat dan nilai sebagai alat

bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang

Tata cara dan bentuk kedua ini ialah keterangan yang diberikan ahli dalam

pemeriksaan persidangn pengadilan. Permintaan keterangan ahli dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu

pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi

dapat juga terjadi, walaupun penyidik atau penuntut umum pada waktu

pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika ketua sidang

atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap

perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, dapat meminta kepada

ahli yang mereka tunjuk memberik keterangan di sidang pengadilan. Adapun

tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang

yaitu :

a. Apabila dianggap perlu dan dikehendaki oleh ketua sidang karena

jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau

penasehat hukum, dapat meminta atau pemeriksaan keterangan ahli

dalam pemeriksaan di sidang pengadilan,

b. keterangan ahli menurut tata cara ini berberntuk “keterangan lisan” dan

secara langsung diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan,

c. bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Saksi dan Ahli Menurut KUHAP

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

berjudul Analisis Pengakuan Pendapatan dan Beban pada KUD Dwi Karya Banyuwangi menurut SAK ETAP yang merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada

Grafik 1 Diagram Batang Strategi Koping Siswa Kelas XII SMAN Jatinangor yang akan Menghadapi Ujian Nasional 2012 secara keseluruhan Dari grafik 1 di atas maka dapat

[r]

Manajemen Kepala Sekolah dalam Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Gemuh.. Semarang: Tesis tidak diterbitkan, dalam

Penelitian mengumpulkan data-data jenis pajak dan distribusi daerah, kemudian mencari kontribusi dan pertumbuhan setiap jenis pajak dan distribusi daerah terhadap

mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut

Tujuan usaha yang kami harapkan dari produksi “Zile chips” adalah : 1. Mendapatkan keuntungan dari produksi keripik jahe tersebut. Membudidayakan makanan dengan bahan alami