Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.
PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) BAGI
NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
TESIS
Oleh
LUHUT SIGALINGGING 077005016/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
SEK O L A
H
P A
S C
A S A R JA
Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.
PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) BAGI
NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
LUHUT SIGALINGGING 077005016/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.
Judul Tesis : PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB)
BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Nama Mahasiswa : Luhut Sigalingging
Nomor Pokok : 077005016
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Ketua
)
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi D i r e k t u r
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.
Telah diuji pada
Tanggal 21 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.
ABSTRAK
Fungsi pemidanaan yang diamanatkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi merupakan usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana di masa yang akan datang. Salah satu pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah pemberian Cuti Menjelang Bebas.Penelitian dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas, hambatan serta upaya-upaya yang dilakukan. Adapun sifat penelitian adalah yuridis normatif. Bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama, sedangkan data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung. Data yang terkumpul dianalisis, terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, dan sistematis.
Hasil penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai menunjukkan bahwa pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas kurang optimal, karena ada beberapa narapidana tidak memperoleh remisi sehingga tidak dapat diusulkan Cuti Menjelang Bebas, sedangkan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf f angka 3 Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007, Cuti Menjelang Bebas baru dapat diberikan kepada narapidana yang telah memperoleh remisi. Ketentuan ini menjadi hambatan yang bersifat yuridis, sedangkan hambatan yang bersifat non-yuridis kurangnya pengetahuan dan motivasi Narapidana terhadap pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas, kurangnya pengertian/pandangan yang positif dari masyarakat terhadap narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas, kurang optimalnya kerjasama dengan instansi terkait, sedangkan upaya-upaya yang dilakukan adalah memberikan penerangan dan penjelasan mengenai Cuti Menjelang Bebas kepada narapidana, memberikan penerangan kepada masyarakat sehingga dapat merubah pandangan masyarakat yang negatif terhadap narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas, melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait.
Agar pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas dapat dilaksanakan secara optimal, maka disarankan kepada Menteri Hukum dan HAM RI untuk merevisi Pasal 6 ayat (1) huruf f angka 3 Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007, dan Petugas LAPAS Klas II A Binjai sebaiknya memperbanyak memberikan penerangan/penyuluhan kepada narapidana tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas, memberikan penyuluhan kepada masyarakat, meningkatkan hubungan koordinasi dengan instansi terkait dan khusus mengenai Balai Pemasyarakatan di Sumatera Utara hendaknya diadakan penambahan, sehingga pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana yang menjalani Cuti Menjelang Bebas dapat berjalan dengan baik.
ABSTRACT
The function of condemnation according to Act No. 12 of 1995 about the Correctional Institution is not only as discouragement but as a social reintegration and rehabilitation of the condemned person that involves the counselor, the condemned person and society integrally in order to encourage the condemned person aware their mistake, self improvement and did not do the crime in the future. One of the efforts is the Leave immediately before abolition.This research aims to study the implementation of the leave immediately before abolition, obstacles and any efforts. This is a normative juridical study. The library and document study is a main data while the field data was collected through interview as support data. The collected data were analyzed and the qualitative data was estimated juridical, logically and systematically.
The results of study at the LAPAS Class II A Binjai indicates that implementation of leave immediately before abolition is not optimum, because there are condemned person who did not get a remission and has not a right for the leave. While according to article 6 paragraph (1) letter f point 3 Permen Hukum and HAM RI No. M.O1.PK.04.10 of 2007, the leave immediately before abolition can provided to the condemned person who get remission. This provision is a juridical obstacles, while non juridical obstacle is a lack of knowledge and motivation of the condemned person to the leave immediately before abolition, a lack of positive opinion of society to the condemned person who take the leave immediately before abolition, the mutual cooperation of related institution is not yet optimal. While any efforts are to do a socialization about leave immediately before abolition to the condemned person, society in order to change the negative opinion of society to the condemned person who take the leave, and to do a coordination to the related institutions.
In order to implement the leave immediately before abolition optimally, it is suggested to the Minister of Law and HAM RI to revise Article 6 Paragraph
(1) letter f point 3 penmen Hukum and HAM RI No. M.01. PK.04. 10 of 2007 and the officer of LAPAS Class II A Binjai must provide the condemned person with socialization about the leave immediately before abolition, to provide the society with extension, to build a mutual cooperation with related institution specially the construction of the new building of the correctional institution in North Sumatera to enable controlling and guidance to the condemned person who take the leave.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini dengan judul “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan berbagai kritik yang sehat dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari.
Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara, dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana ;
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ;
4. Ibu Dr. Sunarmi SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ;
5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S, selaku Ketua Komisi Pembimbing,
beserta Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, dan Ibu Dr. Sunarmi SH,
M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberi saran,
bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi untuk
selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya ;
6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,
DFM, selaku Anggota Komisi Penguji ;
7. Orang tua tercinta Ayahanda A. Sigalingging dan Ibunda R. br. Pardosi, yang
telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya
demi kebaikan dan keberhasilan anak-anaknya ;
8. Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Kekhususan Hukum dan HAM Program
Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan I Tahun 2007 ;
9. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan-bantuannya, pelayanan dan
Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
trerutama bagi penulis sendiri dan semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melimpahkan rahmat dan anugerahNya kepada kita semua. Amin.
Medan, Juli 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP
N a m a : LUHUT SIGALINGGING
Tempat/Tgl. Lahir : Siambaton, 12 Juni 1965
Jenis Kelamin : Laki-laki
A g a m a : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan :
a. Sekolah Dasar Negeri Barus Mudik, lulus tahun 1977
b. Sekolah Menengah Pertama Negeri Barus, lulus tahun 1981
c. Sekolah Menengah Atas Negeri Barus, lulus tahun 1984
d. Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung, Medan, lulus tahun 1990
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... . i
ABSTRACT... ... ii
KATA PENGANTAR ... .. iii
RIWAYAT HIDUP ... .. vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ... ix
DAFTAR SINGKATAN... ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori dan Konsep ... 10
G. Metode Penelitian ... 23
BAB II PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 27
A. Perkembangan Sistem Pemasyarakatan ... 27
B. Pengaturan dan Dasar Hukum Cuti Menjelang Bebas (CMB) ... 39
D. Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) di LAPAS ... . 51
BAB III PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) ... 57
A. Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas ... 57
B. Permasalahan yang Timbul Dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan ... 66
BAB IV UPAYA YANG DITEMPUH GUNA MENGATASI PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS ... 70
A. Re-posisi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana (Integrated Criminal Justice) di Indonesia ... 70
B. Realisasi Cuti Menjelang Bebas (CMB) Pada LAPAS Klas II A Binjai ... 84
C. Upaya yang Ditempuh Guna Mengatasi Permasalahan yang Timbul dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai ... 104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 108
A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 110
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A Binjai Yang Mendapatkan Remisi Dalam Kurun Waktu Tiga
Tahun Terakhir (Tahun 2006 s/d 2008) ... 95
2. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A Binjai Yang Mendapatkan CMK Dalam Kurun Waktu Tiga
Tahun Terakhir (Tahun 2006 s/d 2008) ... 98
3. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A Binjai Yang Mendapat Pembebasan Bersyarat (PB) Tahun
2006 s/d 2008 ... 101
4. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A Binjai Yang Mendapat Cuti Menjelang Bebas (CMB) Tahun
DAFTAR SINGKATAN
BAPAS : Balai Pemasyarakatan
CB : Cuti Bersyarat
CMB : Cuti Menjelang Bebas
CMK : Cuti Mengunjungi Keluarga
HAM : Hak Asasi Manusia
HIR : Herziene Indonesisch Reglement Kasubdit. : Kepala Sub Direktorat
KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan
LITMAS : Penelitian Kemasyarakatan MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
PB : Pembebasan Bersyarat
P2U : Pintu Pos Utama
RK : Remisi Khusus
RU : Remisi Umum
RUPBASAN : Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara RUTAN : Rumah Tahanan Negara
SMR : The Standard Minimum Rule of the Treatment of Prisoners
Stb. : Statblad
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai
fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi merupakan suatu usaha
rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang dilaksanakan
secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan
kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana di masa yang akan datang.
Pancasila sebagai landasan idiil dari sistem pemasyarakatan, menyebutkan
adanya keseimbangan dan keselarasan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi,
dalam hubungannya dengan masyarakat, hubungannya dengan alam, dengan
bangsa-bangsa lain maupun hubungannya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Bahrudin
Soerjobroto mengemukakan :
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup,
kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan
pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara
pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan
Yang Maha Esa.1
1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
mengamanatkan bahwa sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan
warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi
masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta
merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha
perawatan, pembinaan, pendidikan, bimbingan warga binaan pemasyarakatan yang
bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga
binaan dengan masyarakat.2
Sejalan dengan perkembangan paradigma yang terus berubah di
tengah-tengah masyarakat serta upaya penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata
peradilan pidana, maka dilakukan pembenahan serta perubahan-perubahan pada
sistem kepenjaraan melalui payung hukum pemasyarakatan yaitu Undang-Undang RI
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk mengadopsi norma-norma
hukum lama yang masih relevan maupun instrumen internasional, aspek sosial,
maupun opini masyarakat. Perubahan paradigma sosial, budaya, ekonomi dan hukum
dalam masyarakat merupakan hasil interaksi sosial pada tataran internasioanal yang
dampaknya berimbas pada kondisi nasional, dampak tersebut cukup berpengaruh
terhadap perkembangan sistem tata peradilan pidana di Indonesia termasuk sistem
2
perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan.3 Lembaga Pemasyarakatan di
mata masyarakat dipandang berfungsi sebagai tempat membatasi ruang gerak orang
yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Oleh karena itu masyarakat umum lebih
mengenal sebagai penjara dari pada Lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemenjaraan
ini lebih merupakan usaha untuk memastikan bahwa terpidana tidak akan mengulangi
perbuatannya sepanjang masa penghukumannya. Dengan kata lain fungsi
pemenjaraan merupakan strategi untuk membuat agar terpidana tidak mampu
melakukan pelanggaran hukum, atau dalam konsep penologi disebut incapacitation.4
Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk
pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang
biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor
lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta
kurangnya pengawasan terhadap anak. Menurut Moeljatno :
5
Pembaharuan sistem pidana penjara secara lebih manusiawi dengan tidak
melakukan perampasan hak-hak serta kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan,
melainkan hanya pembatasan kemerdekaan yang wajar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan norma-norma yang ada di masyarakat,
merupakan dasar pertimbangan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk
3
Mardjaman, Beberapa Catatan RUU Tentang Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Legislasi Indonesia, Ditjen Peraturan Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM RI, Vol. 2 No. 3, September 2005, hlm. 109.
4
mempersiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat
dan bertanggung jawab di masyarakat.6
Dalam rangka mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan, salah satu
upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB),
yang merupakan bagian dari hak-hak warga binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dengan sistem pembinaan
pemasyarakatan disamping untuk mencegah diulangnya kejahatan serta perlindungan
terhadap masyarakat, juga berupaya untuk mengintegrasikan warga binaan
pemasyarakatan dalam derap langkah kehidupan masyarakat yang dinamis.
Ditempatkannya warga binaan pemasyarakatan di masyarakat, diharapkan
melalui pembinaan yang terus menerus akan tumbuh partisipasi masyarakat terhadap
sistem pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi
keberhasilan sistem pembinaan.
Harus disadari walaupun pembinaan yang diberikan selama di Lembaga
Pemasyarakatan itu baik, tetapi kalau narapidana itu sendiri tidak sanggup ataupun
masyarakat itu sendiri yang tidak mau menerimanya, maka pembinaan tidak akan
mencapai sasarannya. Konsekuensi terhadap dilaksanakannya perlakuan yang
memfokuskan kegiatan narapidana di tengah-tengah masyarakat, maka selesainya
masa pidana itu pun tidak berakhir di Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi berakhir
di tengah-tengah masyarakat.
5
Moeljatno, Kriminologi, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986), hlm. 112. 6
pemberian hak-hak warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan jo. Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak
pidana yang dipidana satu tahun keatas, di luar Lembaga Pemasyarakatan untuk
beberapa waktu sebesar remisi terakhir maksimum 6 (enam) bulan, setelah menjalani
(dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan
baik.7
Sering terjadi kerancuan penafsiran antara cuti menjelang bebas, pembebasan
bersyarat dan pidana bersyarat. Untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah
menjalani (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan
remisi, dihitung sejak tanggal penahanan dengan ketentuan (dua pertiga) tersebut
tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Sisa masa pidana tidak perlu dijalani selama ia
tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan untuk itu. Sedangkan untuk pidana
bersyarat, hukuman terhadap terpidana tetap dijatuhkan tetapi tidak perlu dijalani,
kecuali jika dikemudian hari ternyata terpidana sebelum habis masa percobaan
berbuat sesuatu tindak pidana lagi atau melanggar syarat-syarat yang diberikan
7
kepadanya oleh hakim, jadi keputusan hukum tetap ada hanya pelaksanaan hukuman
itu yang tidak dilaksanakan.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, disebutkan :
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Dasar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 adalah sebagai sarana
penunjang pelaksanaan hak-hak warga binaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
14 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal-pasal tersebut hak-hak warga binaan
diatur dan dijamin, mengingat adanya pengakuan hak-hak asasi manusia dan nilai
kemanusiaan mengharuskan mereka diperlakukan sebagai subjek, dimana
kedudukannya sejajar dengan manusia lain. Pemidanaan tidak lagi ditujukan sebagai
efek penjeraan, melainkan sebagai upaya preventif atau mencegah terjadinya
kejahatan.
Berdasarkan praktek di Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya, ternyata
pemberian hak-hak narapidana khususnya tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas
(CMB) tidak efektif dan optimal, karena ada narapidana yang tidak memperoleh
Bertitik tolak dari kenyataan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut di atas dan
uraian penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan bagaimana
pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini jika dihubungkan dengan Permen Hukum dan
HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat,
mendorong minat Penulis untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pelaksanaan
Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”.
B. Perumusan Masalah
Masalah adalah setiap persoalan dalam kesulitan yang menggerakkan manusia
untuk memecahkannya.8
1. Bagaimana pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan ?
Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk penegasan
masalah-masalah yang akan diteliti, guna mempermudah pencapaian sasaran dan
tujuan penelitian.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
2. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas
(CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?
8
3. Upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam
pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan?
C. Tujuan Penelitian
Seiring dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan.
2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB)
bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan
dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian, perumusan terhadap suatu permasalahan yang
dihadapi selalu dikaitkan dengan kemanfaatan penelitian baik dalam praktek maupun
dalam teori.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya yang berhubungan dengan sistem pembinaan
narapidana.
b. Dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang Pemasyarakatan.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan penjelasan hal ikhwal mengenai pelaksanaan Cuti
Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
b. Dapat mengungkapkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Cuti
Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.
E. Keaslian Penelitian
Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini merupakan
pendalaman dari Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04-10
Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang penulis
lakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara tentang penelitian “Pelaksanaan
Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”, belum
sama. Oleh karena itu, menurut penulis, penelitan ini adalah asli dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena senantiasa
memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi
bagi seorang peneliti.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Pemidanaan adalah upaya menyadarkan narapidana agar menyesali akan
perbuatannya dan mengembalikannya menjadi orang yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi moral dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat
yang aman, tertib, damai melalui asas pengayoman, pendidikan, rehabilitasi dan
reintegrasi. Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu proses penjatuhan pidana oleh
hakim terhadap seseorang yang diadakan dan dinyatakan terbukti bersalah melakukan
suatu tindak pidana.9
1. Teori Retributif atau Teori Pembalasan (Retribution Theory) Teori-teori tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :
Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang berpendapat bahwa barangsiapa
yang melakukan kejahatan harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan atas
pembalasan karena disyaratkan oleh pemerintah yang tidak bersyarat dari akal
9
yang praktis.10
2. Teori Pencegahan ( Deterrence Theory)
Dengan demikian, maka tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat
yang etis. Hanya keadilan dan bukan tujuan lain yang mendapat membenarkan
dijatuhkannya pidana, dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang
dicapai melalui pembalasan itu, ukurannya cuma pembalasan.
Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa kejahatan
itu tidak selalu harus dijatuhi dengan suatu hukuman tetapi harus ada manfaatnya
baik untuk si pelaku tindak pidana maupun untuk masyarakat. Hukuman
diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu,
melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan. Sehingga hukuman
berfungsi mencegah agar kejahatan tidak diulangi, dan menakut-nakuti anggota
masyarakat sehingga menjadi takut untuk melakukan kejahatan.11
10
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, (Jakarta : Radjawali, 1982), hlm. 201.
11
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1983), hlm. 26-27.
Bagi teori ini
hal utama adalah hendak mencari suatu keseimbangan antara perlunya hukuman
dengan biaya penghukuman. Kalau manfaatnya lebih besar, maka perlu suatu
hukuman, bila efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu
3. Teori Rehabilitasi (Rehabilitation Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Rudolph J. Gerber dan Patrick D. Mc. Anany yang
menyatakan bahwa seseorang yang menjalani pidana di dalam penjara atas nama
perubahan sosial dan dibiarkan di sana karena mereka diobati. Keberadaan
seseorang yang direhabilitasi disebabkan adanya kesalahan atau tindakan
kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam
masyarakat.12
4. Teori Integratif atau Teori Gabungan
Teori ini dikemukakan oleh Muladi yang mengkategorikan tujuan pemidanaan ke
dalam 4 (empat) tujuan yaitu :13
a. Pencegahan (umum dan khusus), salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang-orang lain yang mungkin punya maksud untuk melakukan kejahatan-kejahatan semacam karenanya mencegah kejahatan lebih lanjut.
b. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana.
c. Memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan.
d. Pidana bersifat pengimbalan/pengimbangan.
12
Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, (Jakarta : . Indhill, 2007), hlm. 21.
13
Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan
saat diberlakukannya Getischen Reglement (Peraturan Penjara) Stb. 1917 Nomor 708.
Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai suatu
penjeraan, artinya seseorang yang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana
yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini
dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik,
tidak etis, tidak manusiawi, dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan
narapidana hanya ditempatkan sebagai objek yang harus dipekerjakan saja tanpa
memperhatikan potensi dan eksistensinya sebagai manusia.
Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah :
Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pembatasan
kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu
yang diakibatkan oleh putusan hakim.14
Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu
tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati
sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang,
karena tiap harinya mereka harus ditempatkan di dalam sel yang dikelilingi tembok
yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat
14
menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari warga binaan, sehingga
stigma-stigma terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah mereka kembali ke
masyarakat.
Sistem Pemasyarakatan di Indonesia memiliki 3 (tiga) pilar utama di dalam
melakukan pembinaan terhadap narapidana yang diharapkan menjadi Manusia
Mandiri. Ketiga pilar tersebut adalah Masyarakat, Petugas Pemasyarakatan, dan
Narapidana yang mana ketiganya harus saling terkait dan saling menjaga
keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada khususnya
membangun manusia mandiri di pemasyarakatan.15
Sistem Pemasyarakatan berasumsi bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) yang salah satu di antaranya adalah narapidana, dipandang tidak lagi sebagai
objek melainkan sebagai subjek. Sebagai manusia yang tidak berbeda dari manusia
lainnya, maka sewaktu-waktu ia dapat melakukan kesalahan atau
kekhilafan-kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus
diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lainnya yang dapat dikenakan
pidana.16
15
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Buletin Warta Pemasyarakatan, No. 25 Tahun VIII, Juni 2007, hlm. 26.
16
Oleh sebab itu, eksistensi pemidanaan diartikan sebagai upaya untuk
menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya
menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang
aman, tertib dan damai. Sistem pemasyarakatan juga beranggapan bahwa pada
hakekatnya perbuatan pelanggaran hukum narapidana adalah cerminan dari adanya
keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan
dengan masyarakat di sekitarnya.
Hal ini berarti, faktor-faktor penyebab terjadinya perbuatan melanggar hukum
bertumpu pada 3 (tiga) aspek tersebut. Aspek hidup diartikan sebagai hubungan
antara manusia dan pencipta-Nya. Aspek kehidupan diartikan sebagai hubungan
sesama manusia, sedangkan aspek penghidupan diartikan sebagai hubungan manusia
dengan alam/lingkungannya (yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia
dengan pekerjaannya). Oleh sebab itu tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah
pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) dengan masyarakatnya (reintegrasi hidup, kehidupan dan
penghidupan).
Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pemasyarakatan mengenal 2 (dua)
jenis program pembinaan yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
Kedua jenis program pembinaan ini diintegrasikan secara terpadu sebagai upaya
Maha Esa, kesadaran berbangsa dan bernegara, intelektual, sikap dan perilaku,
kesehatan jasmani dan rohani, kesadaran hukum.
Menurut Bambang Purnomo, yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan
adalah :
Suatu proses terapi yang sejak saat itu narapidana lalu menjalani pembinaan
yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila, Pengayoman, dan Tut
Wuri Handayani.17
17
Bambang Purnomo, Op. Cit, hlm. 186.
Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas
Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut
mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia
yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Pemasyarakatan”.
Sistem pemasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai
pengganti dari sistem kepenjaraan. Dengan demikian istilah penjara juga diganti
menjadi Lembaga Pemasyarakatan, tepatnya pada tanggal 27 April 1964 dan
sekarang setiap tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan.
Sebelumnya Sahardjo mengemukakan perubahan tujuan pembinaan
narapidana dalam pengarahannya sebagai Dr. H.C. di Istana Negara pada tanggal 15
Juli 1963.
Menurut Sahardjo, untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan
Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh narapidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.18
18
Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1963) hlm. 8 dan 15
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bukan saja masyarakat yang harus
diayomi dengan adanya tindakan pidana, tetapi juga si pelaku tindak pidana perlu
diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan, agar berguna bagi dan di dalam masyarakat.
Sehingga dengan berubahnya nama, dari sistem kepenjaraan ke sistem
pemasyarakatan, maka berubah pula tujuan dari sistem tersebut. Dalam sistem
pemasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan
untuk pembinaan. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali di
tengah-tengah masyarakat secara wajar dan bertanggungjawab. Tujuan pidana penjara
di sini adalah di samping untuk menimbulkan derita pada narapidana agar bertaubat
dan mendidik narapidana supaya menjadi seorang anggota masyarakat yang berguna.
Pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi
narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan-tahapan
pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran narapidana
1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik ;
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan ; 3. Berikan bimbingan (bukannya penyiksaan) supaya mereka bertobat ;
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada dijatuhi pidana ;
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat ;
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu ;
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila ;
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya, kemudian dibina dan dibimbing ke jalan yang benar ;
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu ;
10.Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan.19
Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan, telah diatur
dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yaitu :
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik antara
Pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang dibina atau warga binaan
19
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan
pemasyarakatan, dan masyarakat mutlak diperlukan untuk menyiapkan warga binaan
agar dapat kembali ke masyarakat dan diterima baik oleh masyarakat.
Pada sistem pemasyarakatan, narapidana di Lembaga Pemasyarakatan harus
diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan (narapidana) sebagai
manusia biasa tentunya juga mempunyai keinginan yang sama layaknya manusia
bebas lainnya. Untuk itu negara harus membina mereka dengan baik di dalam
maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, yang didasarkan pada Pancasila dan tidak
lepas dari Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan.19
Pembinaan adalah hal yang pokok dalam sistem pemasyarakatan, mengingat
bahwa penyebab timbulnya kejahatan atau sebab seseorang berbuat jahat itu sangat
beraneka ragam. Di sinilah peran serta petugas dan masyarakat dituntut partisipasinya
dalam rangka mewujudkan usaha pembinaan terhadap narapidana.
Dalam proses pemasyarakatan dikenal adanya dua periode pembinaan, yaitu
di dalam dan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Bagi narapidana, interaksi sosial
dengan masyarakat mutlak diperlukan. Oleh karena tahap pembinaan di luar Lembaga
Pemasyarakatan adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, dalam usaha mencapai tujuan pemasyarakatan yang
sasaran utamanya adalah pemulihan kesatuan hubungan yang retak, narapidana harus
dikenalkan dengan masyarakat sehingga tidak boleh diasingkan. Pembinaan
narapidana ketika menjelang bebas dimaksudkan untuk mengurangi efek negatif
sebagai akibat pengasingan selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta
Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, menyebutkan :
Narapidana berhak :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ; b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani ; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran ;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ; e. menyampaikan keluhan ;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang ;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan ;
h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya ; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) ;
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga ; k. mendapatkan pembebasan bersyarat ;
l. mendapatkan cuti menjelas bebas ; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya hak-hak asasi manusia, sangat mempengaruhi sistem
perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Mereka berhak memperoleh
hak-haknya seperti remisi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, dan cuti
menjelang bebas. Jadi dapat ditegaskan bahwa cuti menjelang bebas bukanlah suatu
anugerah atau hadiah, akan tetapi merupakan suatu hak yang dapat diperoleh warga
binaan pemasyarakatan.
Mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB)
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, khususnya dalam Bab II
tentang Hak dan Kewajiban Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat serta Keputusan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06.PK.04-10 Tahun 1992 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menegaskan bahwa :
(1). Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada :
a. Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani (dua pertiga) masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya paling lama 6 (enam) bulan.
b. Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun 6 (enam) bulan, dan telah dinilai cukup baik.
(2). Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir :
a. bagi Narapidana dan Anak Pidana, tepat pada saat bersamaan dengan hari bebas yang sesungguhnya;
b. bagi Anak Negara, pada usia 18 (delapan belas) tahun.
(3). Izin Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat atas usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
2. Kerangka Konsep
Berdasarkan judul yang merupakan suatu syarat dalam penelitian dan agar
tidak terjadinya kesalahpahaman dalam materi dalam penulisan tesis ini, maka judul
harus ditegaskan dan diartikan. Judul yang penulis kemukakan adalah: Pelaksanaan
Dalam penulisan tesis ini diperlukan kerangka konsep yang merupakan
definisi operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari
perbedaan penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak
pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani (dua pertiga) masa
pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik.20
2. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaannya di
LAPAS.21 Menurut Romli Atmasasmita dan Sumadipraja narapidana yang berada
di Lembaga Pemasyarakatan adalah bagian dari masyarakat. Setiap narapidana
adalah seorang manusia yang tetap mempunyai hak-hak dasar yang harus
dihormati. Narapidana sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, selalu
membutuhkan orang lain untuk membantu dan menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapinya serta dapat hidup layak seiring dengan hak-hak asasi
manusianya bersama-sama anggota masyarakat yang berada di sekitarnya.22
3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pemidanaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
23
20
Pasal 1 angka 3 Permen Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat
21
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 22
Romli Atmasasmita dan Soemadipraja, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Bandung : Bina Cipta, 1979), hlm. 12
23
4. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.24
G. Metode Penelitian
Untuk memperoleh suatu kebenaran yang benar-benar dapat dipercaya
keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan metode yang tepat dan sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai. Penulis harus cermat dalam memilih dan
menentukan metode yang akan digunakan agar metode yang dipilih tersebut efektif
dalam pencapaian sasaran penelitian, sehingga hasilnya benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam penulisan tesis ini, metode yang digunakan adalah :
1. Spesifikasi/Tipe Penelitian
Spesifikasi/Tipe Penelitian ini dilakukan tergolong yuridis normatif dan
bersifat deskriptif analitis, dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus
menganalisis mengenai peraturan hukum tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak
warga binaan pemasyarakatan khususnya mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang
Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, hambatan-hambatan dan
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.
24
2. Sumber Data
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder25
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang
pemasyarakatan, antara lain Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pemasyarakatan. , yang meliputi:
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan
pemasyarakatan.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat
informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.26
25
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hlm. 14.
26
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Studi kepustakaan (library research).
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data
akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur,
yakni dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang
pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan
materi penelitian.
b. Studi lapangan (field research)
Studi lapangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
mengumpulkan data pendukung mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB)
bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai yakni dengan
melakukan wawancara langsung kepada Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Binjai.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah
studi dokumen yang bersumber dari bahan hukum primer yakni Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007.
wawancara langsung dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Binjai.
5. Analisis Data
Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library
research) serta data pendukung yang diperoleh dari penelitian lapangan (field
research), maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi, kemudian data dikelompokkan
atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara
yuridis, logis, sistematis.
Berdasarkan hal ini, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis
kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data, dimana apa yang
dinyatakan oleh informan secara tertulis maupun lisan akan diteliti dan dipelajari
secara utuh, dengan cara menjabarkan, menganalisa, memahami dan menjelaskan
sebenarnya mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana
dalam kaitannya dengan syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak warga binaan
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10
BAB II
PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB ) BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Perkembangan Sistem Permasyarakatan
1. Sistem Kepenjaraan
Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan
dengan diberlakukannya Getischen Reglement (Peraturan Penjara) Stb. 1917 Nomor
708. Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai
suatu penjeraan, artinya seseorang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana
yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini
dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik,
tidak etis, tidak manusiawi, dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan,
narapidana hanya ditempatkan potensi dan eksistensinya sebagai manusia,
seolah-olah keberadaan narapidana di penjara semata-mata karena wujud dari pembalasan
dendam.27
Diperlukannya integrasi narapidana, petugas serta masyarakat karena hal itu
dianggap dapat mencegah kekejaman penjara. Perubahan orientasi pidana penjara
yang menitikberatkan kepada pemasyarakatan narapidana, hal itu dikarenakan
masalah jera, rehabilitasi atau resosialisasi adalah masalah yang menghendaki pula
27
pengalaman dari masyarakat, secara implisit dan eksplisit dan untuk keperluan itu
harus ada pemanifestiannya secara langsung melalui suatu proses timbal balik yang
memerlukan waktu.28
Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pembatasan
kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu
yang diakibatkan oleh keputusan hakim.
Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah :
29
28
Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, (Bandung : Tribisana Karya, 1977), hlm. 153-154
29
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm. 125
Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu
tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati
sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang,
karena tiap harinya mereka harus ditempatkan di dalam sel yang dikelilingi tembok
yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat
menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari binaan, sehingga stigma-stigma
terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah kembali ke masyarakat.
Dalam sistem kepenjaraan dimana narapidana ditempatkan sebagai objek,
mereka diklasifikasikan menjadi beberapa golongan menurut besar kecilnya pidana
yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Adapun klasifikasi narapidana dapat dikelompokkan menjadi :
b. Register B-IIa adalah narapidana yang dijatuhi pidana selama diatas 3 bulan
sampai 12 bulan.
c. Register B-IIb adalah narapidana yang dijatuhi pidana selama 1 hari sampai
3 bulan.
d. Register B-III adalah narapidana yang menjalani pidana kurungan pengganti
denda.
Sedangkan untuk tahanan dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Register A-I untuk tahanan Kepolisian.
b. Register A-II untuk tahanan Kejaksaan.
c. Register A-III untuk tahanan Pengadilan Negeri.
d. Register A-IV untuk tahanan Pengadilan Tinggi.
e. Register A-V untuk tahanan Mahkamah Agung.
2. Sistem Permasyarakatan
Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas
Direktorat Permasyarakatan di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut
mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia
Yang dimaksud dengan Sistem Permasyarakatan adalah “Suatu proses
Therapoutie yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila,
Penganyoman, dan Tut Wuri Handayani”30
Sistem permasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai
pengganti dari sistem kepenjaraan. Dengan demikian istilah penjara juga diganti
menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Tepatnya pada tanggal 27 April ditetapkan
sebagai hari pemasyarakatan.
31
Perubahan nama mengakibatkan berubah pula tujuan dari sistem kepenjaraan
ke sistem pemasyarakatan. Dalam sistem permasyarakatan tujuannya bukan lagi
untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaan. Pembinaan dilakukan
sebagai persiapan untuk hidup kembali di tengah masyarakat secara wajar dan
bertanggung jawab. Tujuan pidana penjara adalah untuk menimbulkan derita pada
narapidana dengan menghilangkan kemerdekaannya, juga untuk membimbing
narapidana agar bertobat dan mendidik narapidana menjadi anggota masyarakat yang
berguna.32
30
Ibid, hlm. 186 31
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Buletin Warta Pemasyarakatan, No. 25 Tahun VIII, Juni 2007, hlm. 2
32
Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 10
Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal
klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan
pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan
1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai
warga masyarakat yang baik ;
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan ;
3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat ;
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat
dari pada dijatuhi pidana ;
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan
anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat ;
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
sekedar bersifat mengisi waktu ;
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
tidak adalah berdasarkan Pancasila ;
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka
sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak
dirinya, keluarganya dan lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing ke
jalan benar ;
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu ;
10.Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan
sarana yang diperlukan.33
33
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan
Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan itu sendiri telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yaitu :
a. “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara warga binaan pemasyarakatan, untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab”.34
Bahwa pemasyarakatan agar berhasil diselenggarakan dengan sistem integrasi
dengan masyarakat, maka harus ada usaha timbal balik, baik dari Lembaga maupun
bandingkan Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1982, hlm. 61 menyatakan ” Dalam hal ini tujuan Sahardjo mengemukakan 10 Prinsip Pemasyarakatan adalah :
a. Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan pula suatu cara atau sistem perlakuan terpidana ;
b. Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong-royong, yakni antara petugas-narapidana-masyarakat ;
c. Tujuan Pemasyarakatan adalah mencapai kesatuan hubungan hidup-kehidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat ;
d. Fokus pemasyarakatan bukan individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan hubungan antara terpidana dan masyarakat ;
e. Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melakukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ingin melanggar hukum melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap hukum kemasyarakatan yang makin lama makin kompleks;
f. Terpidana harus dipandang sebagai manusia makhluk Tuhan seperti manusia-manusia lainnya mempunyai potensi dan itikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat ;
g. Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai perdamaian dan pada waktunya tidak segan-segan untuk mintak maaf ;
h. Petugas pemasyarakatan harus menghayati prinsip-prinsip kegotong-royongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotong-royongan ;
i. Tidak boleh ada paksaaan dalam kegotong-royongan, tujuan harus dapat dicapai melalui
self propelling adjusment dan Readjusment Approach yang harus dipakai ialah Approach
antara sesama manusia ;
j. Lembaga Pemasyarakatan adalah unit operasional untuk mencapai tujuan pemasyarakatan dan bukan hanya bangunan, bangunan hanya sarana ;
dari masyarakat. Semua itu merupakan satu kesatuan usaha. Pemasyarakatan tidak
hanya diselenggarakan demi kepentingan narapidana tetapi justru demi kepentingan
masyarakat. Oleh karena itu, dari masyarakat diharapkan akan pengertiannya,
bantuannya, dan bahkan juga tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan
pembinaan narapidana, sebab suatu perbuatan pelanggaran hukum selain tergantung
dari sikap dan perbuatan narapidana, sedikit banyak juga tergantung dari masyarakat
sekitarnya.35
Oleh karena itu pula, maka sistem pemasyarakatan dalam pembinaan
terpidana, menurut Baharuddin Soerjobroto : Tidak boleh merupakan suatu treatment
sistem yang ”prison oriented” melainkan multilateral dapat dikatakan ”gotong royong
oriented”. Ini tidak berarti, bahwa pembinaan secara institutair tidak diperlukan lagi,
melainkan pembinaan secara instituair masih tetap perlu akan tetapi sekedar sebagai
”way-station” dalam arti kata yang baik, bukan seperti dulu untuk menuju tiang
gantungan atau untuk menuju ke dunia yang gelap, melainkan sebagai ”way-station ”
alam process of justice untuk menuju dunia yang lebih cerah penuh dengan harmoni
perdamaian.36
Ide ”pemasyarakatan” itu sendiri telah digunakan Sahardjo sebelum
mengucapkan pidatonya, yaitu sejak tahun 1962, yakni dalam pidato Menteri
Kehakiman Sahardjo pada tanggal 12 Januari 1962 yang diucapkan di Blitar ketika
34
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 35
Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, (Bandung : Tribisana Karya, 1977), hlm. 153-154
36
meresmikan pemakaian gedung rumah pendidikan negara yang baru selesai di bangun
kembali. 37
“Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindakan pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam membangun dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab”.
Dapat dilihat pula dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan tersebut mengenai tujuan dan fungsi dari sistem pemasyarakatan,
yaitu :
38
“Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan
agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat
berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung
jawab.”39
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan
di Indonesia sekarang ini lebih disebabkan karena adanya tuntutan agar pelaksanaan
pidana penjara itu harus pula menghargai dan menghormati hak-hak seorang warga
37
Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1982, hlm. 61
38
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 39
binaan pemasyarakatan sebagai manusia notabene sama-sama mahluk Tuhan yang
mempunyai hak kemanusiaan.40
a. pengayoman ;
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas-asas
tertentu.
“Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
b. persamaan perlakuan dan pelayanan ;
c. pendidikan ;
d. pembimbingan ;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia ;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan ;
g. terjaminnya hak-hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu”.41
Dari asas-asas pembinaan sistem pemasyarakatan tersebut nampak bahwa
sistem pemasyarakatan memandang warga binaan pemasyarakatan bukan hanya
sebagai objek melainkan sebagai subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya
yang sewaktu-waktu dikenakan sanksi pidana, sehingga mereka sebenarnya tidak
harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor penyebab yang dapat
menyebabkan narapidana tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
40
Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 5 41
hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban lain yang dapat dikenakan pidana. Dengan
kata lain, strategi yang harus ditangani adalah masalah atau kondisi yang baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan
kejahatan.42
Adanya sistem pemasyarakatan, maka narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan
sebagai manusia tentunya juga mempunyai keinginan yang sama seperti layaknya
manusia bebas lainnya. Untuk itu negara harus membina mereka dengan baik di
dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, yang didasarkan pada Pancasila dan
tidak lepas dari 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan.43
Sebagian besar narapidana dibina di dalam Lembaga Permasyarakatan/Rumah
Tahanan Negara. Sebenarnya narapidana harus dipidana dan dibina hanya di
Lembaga Permasyarakatan saja, tidak di Rumah Tahanan Negara, karena Rumah
Tahanan Negara hanya diperuntukkan bagi para tahanan. Tetapi karena tidak semua
kabupaten/kota mempunyai Lembaga Permasyarakatan, maka sebagian narapidana
terpaksa ditempatkan dan dibina di Rumah Tahanan Negara, terutama untuk
narapidana dengan pidana di bawah satu tahun.44
Narapidana yang menjalankan pidana di Lembaga Permasyarakatan, pada
dasarnya selama menjalani pidana, telah kehilangan kebebasan untuk bergerak,
artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga
42
Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 3 43
Permasyarakatan saja. Kebebasan/kemerdekaan bergerak telah dirampas untuk jangka
waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup.
Dalam proses pemidanaan, Lembaga Permasyarakatan/Rumah Tahanan
Negara yang mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan, setelah melalui
proses Persidangan di Pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah
penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak
pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik
kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana
(pihak yang merugikan), agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum
sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam
menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan
hukum yang memadai.45
a. pencatatan :
Narapidana yang diterima di Lembaga Pemasyarakatan wajib didaftar,
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Pendaftaran ini mengubah status Terpidana menjadi Narapidana.
Pendaftaran menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 meliputi :
1) putusan Pengadilan
2) jati diri
3) barang atau uang yang dibawa
44