• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Kalsium Secara Oral Terhadap Kadar Plumbum Dalam Darah Mencit (Mus Musculus L)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemberian Kalsium Secara Oral Terhadap Kadar Plumbum Dalam Darah Mencit (Mus Musculus L)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

RUNGGU RETNO JUSTIANI NAPITUPULU

067008010/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

(2)

PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM SECARA ORAL

TERHADAP KADAR PLUMBUM

DALAM DARAH MENCIT (

Mus musculus

L)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi Ilmu Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUNGGU RETNO JUSTIANI NAPITUPULU

067008010/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM SECARA ORAL TERHADAP KADAR PLUMBUM DALAM DARAH MENCIT (Mus musculus L)

Nama Mahasiswa : Runggu Retno Justiani Napitupulu Nomor Pokok : 067008010

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (dr. Datten Bangun, M.Sc.Sp.FK) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 September 2008

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, PhD Anggota : 1. dr. Datten Bangun, MSc, SpFK

(5)

ABSTRAK

Pemaparan plumbum merupakan masalah kesehatan yang penting di seluruh dunia. Jalur utama untuk absorpsi plumbum adalah melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Plumbum yang diabsorpsi diangkut ke seluruh tubuh oleh darah. Pumbum memasuki seluruh jaringan tubuh, mengikuti distribusi kalsium dan mengalami akumulasi di jaringan tubuh sehingga menimbulkan banyak penyakit pada tubuh. Nutrisi, termasuk kalsium, berperan penting dalam menurunkan kadar plumbum dalam tubuh. Kadar plumbum darah merupakan strategi utama untuk mengidentifikasi keracunan plumbum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efektifitas pemberian kalsium terhadap penurunan kadar plumbum dalam darah.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pada 30 ekor hewan percobaan mencit betina, sehat, berat badan 20-40gr, dilakukan selama 2 minggu. Hewan percobaan dibagi 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, diberi kalsium 25mg/hari/oral (P2 dan P4) dan 50mg/hari/oral (P3 dan P5) diikuti pemberian plumbum 40mg/kgBB/hari/oral. Pada P2 dan P3, kalsium dan plumbum diberi pada waktu yang bersamaan, sementara pada P4 dan P5, kalsium dan plumbum diberi jarak 1 jam. Kelompok K hanya diberi aquadest. Kelompok P1 hanya diberi plumbum 40mg/kgBB/hari. Kemudian kadar Pb dalam darah diperiksa menggunakan alat ICP (Inductively Couple Plasma). Data yang diperoleh dianalisa dengan uji Kruskall Wallis.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar Pb dalam darah mencit pada kelompok yang diberikan kalsium bersamaan dengan plumbum. Derajat penurunan ini paling jelas terlihat pada kelompok yang diberi kalsium 50 mg/hari dibandingkan dengan yang menerima kalsium dengan 25mg/hari. Hal ini memberi kesan bahwa penambahan dosis kalsium akan meningkatkan efektifitas kalsium dalam menurunkan efek plumbum terutama bila diberikan dalam waktu yang bersamaan..

(6)

ABSTRACT

Lead exposure is an important public health problem in the world. The primary route of lead absorption is via respiration and ingestion. Absorbed lead is carried throughout the body by the blood, enters tissues, in a similar way to calcium with accumulation causing many adverse effects. Nutritional intervention addressing lead exposure, includes calcium which has been shown to play a critical role in reducing lead. Blood lead level (BLL) testing is a critical strategy in identifying lead poisoning.

The aim of this study was to evaluate the effectiveness of calcium consumption in reducing lead levels in blood.

This study was designed as an experimental study using thirty female mice, 20-40g, maintained in a healthy state for the 2 weeks of the study. They were divided into 6 groups, 5 mice in each. Groups P2-P5 were given a daily dose of lead at 40 mg/kg body weight and either a daily dose of 25 mg calcium (P2 and P4) or 50 mg calcium (P3 and P5). In groups P2 and P3, calcium and lead were given at the same time, whereas in groups P4 and P5, the calcium and lead were given 1 hour apart. Group K (control) was just given aquadest, daily. Group P1 was only given lead at 40mg/kg body weight,daily. Concentrations of lead in the blood were determined with ICP (Inductively Couple Plasma). The data was analyzed with the Kruskall Wallis test.

The results showed that blood lead levels was lower in groups given calcium and lead at the same time, with a greater reduction in the group given 50 mg calcium. This result suggests that increasing the dose of calcium can increase the effectiveness of calcium in reducing the effects of lead especially if they are taken together.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat

menyelesaikan penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kalsium terhadap

Kadar Plumbum dalam Darah Mencit (Mus musculus L). Tesis ini merupakan salah

satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan

untuk meraih gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, SpA(K)

dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk

mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Direktur Pascasarjana USU Medan, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan program magister di Sekolah Pascasarjana USU, Medan.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada dr. Yahwardiah Siregar, PhD (Ketua Program Studi Biomedik dan

Ketua komisi pembimbing); dr. Datten Bangun, M.Sc, SpFK (sebagai anggota komisi

pembimbing) serta Prof.dr. Burhanuddin Nasution, SpPK (K) dan Dr. Ramlan

Silaban, M.Si (komisi pembanding) yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah

(8)

saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai

pada penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada semua dosen

pada Program Studi Biomedik yang telah membimbing saya selama mengikuti

program magister ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Darma Agung, Prof. Dr. Robert

Sibarani, MS, dan Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Darma Agung,

Setiamenda Ginting, SPd, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Terima kasih yang tulus kepada suamiku tercinta, Bima Sahat Sitorus, SE,

atas semua dorongan, pengertian dan semangat sehingga tesis ini selesai dan juga

anak-anakku tersayang Audina Juliasih Sitorus dan Jeremy Andre Sitorus. Ucapan

terima kasih yang tulus dan rasa hormat, penulis sampaikan kepada orang tua, Prof.

J.A. Napitupulu dan R.E. Sibuea, mertua, serta kepada seluruh keluarga yang telah

memberikan dukungan moril selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah

Pascasarjana USU Medan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua teman-teman

seperjuangan, mahasiswa Pascasarjana USU Program Studi Ilmu Bomedik angkatan

2006, atas dorongan semangat dan kerjasama yang baik dan kekompakan yang

terjalin selama ini, sehingga tesis ini dapat selesai. Juga terima kasih penulis

sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian

(9)

Akhirnya, penulis menyadari bahwa isi hasil penelitian ini masih perlu

mendapat koreksi dan masukan untuk memperoleh kesempurnaan. Oleh karena itu

penulis berharap adanya kritik serta saran yang membangun untuk penyempurnaan

tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, 27 September 2008

Penulis

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam, dalam

bahasa kimianya dinamakan plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan Pb.

Beberapa logam berat, seperti besi, esensial untuk kehidupan, sedangkan yang

lainnya, seperti timah hitam, terdapat di semua organisme tetapi keberadaannya tidak

bermanfaat secara biologis (Katzung, 1998).

Masalah polusi logam berat termasuk plumbum (Pb) merupakan masalah

yang serius di negara-negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia

(Hariono, 2005). Data yang diperoleh dari Adult Blood Lead Epidemiology and

Surveillance (ABLES) pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kira-kira 95% orang

dewasa yang terpapar plumbum adalah para pekerja, 94% diantaranya adalah pria,

dan 91% berusia 25-64 tahun. Pemerintah Amerika Serikat telah mencanangkan

tahun 2010 sebagai tahun bebas plumbum bagi orang-orang dewasa yang mempunyai

kadar plumbum ≥25 g/dL. Karena itu dibutuhkan usaha pencegahan yang lebih

besar, khususnya pada lingkungan kerja, untuk mencapai tujuan tersebut (CDC,

2004).

Polusi plumbum di lingkungan hidup kita biasanya berkaitan erat dengan

proses pertambangan, peleburan logam, industri yang menggunakan bahan baku

(11)

kalah pentingnya plumbum juga dapat berasal dari asap kendaraan bermotor.

Khususnya bagi individu muda, senyawa plumbum sangat potensial merusak sistem

saraf sehingga pada anak-anak dapat disertai penurunan intelligence quotient (IQ)

sehingga akibatnya anak-anak cenderung lamban dalam berpikir dan tidak cerdas

(Hariono, 2005). Selain itu plumbum juga terbukti dapat menyebabkan anemia,

kerusakan pada ginjal, serta mempengaruhi sistem reproduksi dengan akibatnya bayi

lahir cacat (Aminah, 2006).

Pemaparan plumbum di lingkungan berasal dari hasil sisa otomobil di seluruh

dunia dimana bensin yang berplumbum masih sering digunakan, dan dari air minum

di daerah-daerah yang menggunakan pipa berplumbum. Pemaparan di rumah dapat

terjadi karena termakannya cat yang berplumbum atau dari pigmen dan kaca-kaca

yang digunakan pada pembuatan keramik. Pembuangan limbah yang mengandung

plumbum secara tidak hati-hati dapat mengkontaminasi tanah, terutama di daerah

perkotaan. Meningkatnya kadar plumbum dalam tubuh berhubungan dengan

penyakit-penyakit ginjal dan jantung, toksisitas hematologik, kerusakan saraf yang

bersifat ireversibel. (Jain et al, 2005).

Efek toksik dari plumbum mungkin merupakan penyakit akibat kerja yang

tertua di dunia. Plumbum sekarang banyak didistribusi dalam udara, makanan dan air,

sehingga lingkungan yang benar-benar bebas dari plumbum sukar atau tidak mungkin

diperoleh. (Katzung, 1998). Keracunan yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam

Pb dapat terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh.

(12)

melalui makanan dan minuman, udara dan perembesan (Palar, 1994) atau penetrasi

pada lapisan kulit (Florence, 1998), meskipun sebenarnya penetrasi Pb melalui kulit

dapat diabaikan karena jumlah yang diabsorbsi melalui kulit sangat kecil (Sax, 1989).

Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho terhadap mencit, menunjukkan

bahwa pemberian plumbum asetat dengan dosis 25 mg/kgBB/hari secara oral selama

2 minggu sudah dapat memberikan pengaruh terhadap gambaran histologis epitel

jejunum mencit. Pada dosis yang lebih tinggi (100 mg/kgBB) dengan lama pemberian

2 minggu sudah dapat menyebabkan terjadinya nekrosis epitel vili jejunum

(Nugroho, 2006).

Logam plumbum diabsorbsi melalui inhalasi dan absorbsi saluran pencernaan

secara lambat tetapi konsisten. Absorbsi debu plumbum melalui saluran pernapasan

merupakan penyebab keracunan industri yang paling sering sedangkan saluran

pencernaan merupakan jalur masuk utama pada pemaparan nonindustri

(Katzung, 1998).

Sejumlah zat nutrisi yang berbeda mempengaruhi kerentanan terhadap

toksisitas plumbum. Dari berbagai zat makanan ini termasuk beberapa mineral yaitu

kalsium, fosfor, ferrum, dan zincum. Beberapa vitamin juga mempengaruhi absorpsi

plumbum, termasuk vitamin B1, vitamin C dan vitamin E (Mahaffey, 1990). Faktor

nutrisi ini, khususnya peningkatan kalsium dalam makanan terutama pada anak-anak

merupakan hal yang sangat penting (Bogden, 1997). Anak-anak yang mendapatkan

(13)

mempunyai kadar plumbum yang lebih rendah daripada mereka yang tidak

mendapatkan cukup kalsium(Bruening, 1999).

Faktor diet telah diketahui berpengaruh terhadap dinamika plumbum,

khususnya karena adanya absorbsi plumbum di saluran pencernaan. Plumbum

berkompetisi dengan kalsium pada tempat pengikatan kalsium dan selanjutnya dapat

merubah fungsi protein dan homeostasis kalsium (Pearl, 1983). Telah ada bukti

bahwa defisiensi kalsium dapat meningkatkan absorbsi dan retensi plumbum

(Ettinger,et al 2006).

Dari suatu penelitian yang dilakukan terhadap wanita-wanita yang melakukan

pemeriksaan antenatal, dimana sebagian besar para wanita ini tinggal di daerah

peleburan logam di negara Swedia, didapati bahwa kadar plumbum dalam darah

meningkat selama masa kehamilan, sementara kadar kalsium menurun. Hal ini

mungkin karena adanya mobilisasi plumbum dari tulang, dimana tulang merupakan

tempat deposit plumbum pada waktu-waktu sebelumnya dalam waktu yang lama.

Mobilisasi plumbum ini bersamaan dengan terjadinya perubahan metabolisme

kalsium selama masa kehamilan. Adanya penurunan bermakna pada kalsium serum

dan kadar plumbum dalam darah pada minggu ke-10 sampai 32 mungkin merupakan

akibat meningkatnya volume darah dan meningkatnya transfer kalsium (dan mungkin

plumbum) ke fetus, karena meningkatnya kebutuhan kalsium fetus pada trimester

akhir kehamilan. Seiring dengan hal tersebut, meningkatnya kalsium serum maternal

mungkin disebabkan oleh mobilisasi kalsium tulang dan atau meningkatnya ambilan

(14)

terhadap meningkatnya kadar plumbum darah pada masa akhir kehamilan. Jika

asupan kalsium dari makanan ibu hamil tak mencukupi maka akan terjadi

demineralisasi tulang maternal, dan plumbum yang dideposit di tulang kemudian

dimobilisasikan. (Lagerkvist et al, 1996).

Kebutuhan kalsium maternal meningkat pada masa awal kehamilan dan akan

tetap meningkat sampai melahirkan. Kebutuhan kalsium maternal ini dipertahankan

oleh menurunnya konsentrasi albumin serum, meningkatnya absorbsi kalsium di

saluran pencernaan, dan meningkatnya resorpsi tulang. Meningkatnya resorpsi tulang

selama kehamilan telah menjadi perhatian karena adanya kecenderungan transfer

plumbum tulang ke sirkulasi fetal melalui kompartemen plasma maternal. Kalsium di

transfer secara aktif ke fetus; transfer plumbum dan kalsium melalui jalur yang

hampir bersamaan, dan tidak ada penghalang untuk melalui sawar plasenta

(Téllez-Rojo et al, 2004).

Hampir bersamaan dengan hal tersebut, dari penelitian yang dilakukan

terhadap ibu-ibu menyusui di Meksiko, didapati bahwa suplementasi kalsium dapat

meningkatkan derajat penurunan plumbum dalam air susu ibu pada masa laktasi yang

dibandingkan dengan plasebo, dimana hal ini memberi kesan bahwa suplementasi

kalsium merupakan intervensi strategi yang potensial dan penting untuk mengurangi

kadar plumbum dalam air susu ibu, baik yang baru terpapar maupun yang mengalami

akumulasi dari waktu-waktu yang lalu (Ettinger et al, 2006).

Dari satu penelitian yang dilakukan oleh Sorrel terhadap anak-anak usia 1

(15)

konsentrasi plumbum tertinggi dalam tubuhnya (≥ 60 g/dL) mempunyai asupan

kalsium dan vitamin D yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang

konsentrasi plumbum dalam tubuhnya lebih sedikit (17-59 g/dL). (Ballew, 2001)

Penelitian yang pernah dilakukan terhadap hewan percobaan yang puasa dan

tidak puasa, termasuk pada mencit, tikus, dan kera, memberikan hasil yang hampir

sama dengan yang didapat dari penelitian terhadap manusia. Seperti juga dari

penelitian yang dilakukan oleh Mahaffey yang mendapatkan bahwa tikus yang

mengkonsumsi diet rendah kalsium memiliki kadar plumbum darah kira-kira 4 kali

lebih tinggi daripada tikus yang mengkonsumsi diet kalsium yang normal. Mahaffey

menemukan bahwa tikus yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang normal,

kadar Pb dalam darah tikus tersebut adalah 50 g/dL, sedangkan yang mengkonsumsi

diet rendah kalsium, kadar Pb dalam darah mencit tersebut hampir mencapai 200

g/dL (Mahaffey, 1974).

Peneliti lainnya, Later menunjukkan bahwa absorpsi plumbum di saluran

cerna menurun dengan adanya sejumlah mineral. Meningkatnya konsentrasi kalsium

akan menurunkan retensi plumbum sesuai dengan meningkatnya konsentrasi kalsium.

Seperti juga dari penelitian yang dilakukan terhadap manusia, didapati bahwa

pemberian fosfor tanpa kalsium tidak menyebabkan terjadinya pengurangan retensi

plumbum sebesar yang disebabkan oleh kalsium saja ataupun kalsium dan fosfor

(16)

Kemampuan kalsium dalam diet untuk menurunkan toksisitas plumbum telah

ditemukan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Shields melakukan percobaan terhadap

tikus dan mendapati bahwa asupan kalsium yang adekuat dapat menurunkan retensi

plumbum sehingga memberikan efek proteksi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh

plumbum (Shields, 1941).

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pertanyaan dalam penelitian

ini adalah: ”Apakah pemberian kalsium secara oral dapat menurunkan kadar

plumbum dalam darah, serta berapa kadar kalsium optimal yang dapat menurunkan

kadar plumbum dalam darah tersebut”.

1.3 Kerangka Teori

Pemaparan plumbum masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang

paling penting terutama dalam bidang kesehatan lingkungan. Plumbum merupakan

unsur logam berat yang banyak dijumpai di alam ini. Plumbum dapat mengalami

akumulasi di lingkungan dan dalam tubuh manusia. Cara masuknya plumbum dapat

melalui berbagai cara baik melalui saluran pernafasan, melalui saluran pencernaan,

yang pada akhirnya dapat memasuki aliran darah dan kemudian didistribusikan ke

seluruh jaringan tubuh.

Makanan merupakan faktor yang secara bermakna mempengaruhi dinamika

(17)

saluran pencernaan. Plumbum berkompetisi dengan kalsium pada tempat pengikatan

kalsium. Defisiensi kalsium dapat meningkatkan absorbsi dan retensi plumbum.

KERANGKA TEORI

Saluran Pencernaan

Saluran Pernafasan

Plumbum dalam darah

Jaringan tubuh

Plumbum dalam jaringan

Kadar Plumbum Darah

Kalsium darah

Ferrum darah

Intoksikasi PLUMBUM

Yang diukur adalah kadar Pb dalam darah

(18)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum :

Untuk mengetahui pengaruh pemberian kalsium secara oral terhadap

plumbum pada mencit dengan kadar kalsium yang berbeda dan waktu pemberian

yang berbeda.

Tujuan Khusus :

1. Untuk mengukur kadar plumbum darah mencit setelah diberi kalsium

dengan konsentrasi 25 dan 50 mg/hari bersamaan dengan 40 mg/kgBB

plumbum

2. Untuk mengetahui berapa kadar plumbum darah mencit jika diberi

kalsium dengan konsentrasi 25 dan 50 mg/hari 1 jam setelah pemberian

40 mg/kgBB plumbum.

1.5 Hipotesis

Kalsium dapat menurunkan absorbsi plumbum di saluran pencernaan

sehingga menurunkan konsentrasi plumbum dalam darah.

1.6 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi bahwa konsumsi kalsium dapat menurunkan

jumlah plumbum yang diserap oleh tubuh.

2. Memberikan informasi bahwa konsumsi kalsium dapat mengurangi

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sifat Plumbum

Timah hitam mempunyai simbol Pb; nomor atom 82; berat atom 207,19; berat

jenis 11,34. Pb berwarna kebiruan atau abu-abu keperakan, mempunyai titik lebur

327,5 dan titik didih 17400C. Dalam sistem periodik, logam Pb masuk grup metal

IV B dan mempunyai valensi 0, +2, dan +4. Pb(+2) biasanya ditemukan dalam bentuk

garam anorganik, sedangkan Pb(4+) adalah unsur utama dalam senyawa organik.

Unsur Pb di alam mempunyai beberapa isotop yaitu 204Pb, 206Pb, 207Pb, 208Pb, 210Pb,

211

Pb, 214Pb (WHO, 1977).

2.2. Ambang Kadar Plumbum

World Health Organisation (WHO) merekomendasikan bahwa Pb dalam air

untuk kebutuhan minum tidak boleh melebihi 0,05 g/mL (WHO, 1963). Pada tahun

1971, WHO menyarankan limit kandungan untuk Pb adalah 0,1 g/mL, dengan

asumsi kebutuhan minum sekitar 2,5 L/orang/hari, yang berarti asupan maksimum

adalah sekitar 250 g/hari (WHO, 1971).

Kandungan Pb di udara bebas adalah sekitar 0,0006 g/m3. Konsentrasi Pb

maksimum yang diijinkan adalah 1,5 g/m3 (USEPA, 1987).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, disimpulkan

bahwa pemasukan Pb sehari-hari ke dalam tubuh manusia dan digolongkan pada

(20)

variasi antara 100 g sampai dengan 2000 g (Palar, 1994). Untuk mengendalikan

efek negatif pada pekerja, Occupational Safety and Health Association (OSHA) telah

menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk plumbum inorganik, debu dan uapnya

0,05 mg/m3. Menurut WHO, pajanan plumbum yang diperkenankan untuk pekerja

laki-laki adalah 40 g/dL dan untuk pekerja perempuan 30 g/dL (OSHA, 2005).

Pada tikus, ambang dosis toksik plumbum yang di dapat secara oral adalah

790 mg/kg bila pemaparan kurang dari 14 hari, sedangkan bila pemaparan lebih dari

14 hari maka ambang dosis toksiknya adalah 1100 mg/kg. Ambang dosis toksik

plumbum yang didapat secara inhalasi adalah 10 mg/m3/24 jam, sedangkan yang

didapat secara intraperitoneal, ambang dosis toksiknya adalah 1000 mg/kg

(Sax, 1989).

2.3. Sumber Plumbum

Sumber utama terdapatnya plumbum di atmosfer pada masa-masa yang lalu

adalah dari penguapan bensin yang mengandung bahan tambahan plumbum tetraetil

yang berfungsi sebagai zat ”antiknock”. Pada saat ini penggunaan bahan bakar yang

menggunakan pumbum telah menurun, dengan konsentrasinya yang semakin

menurun pula sehingga hal ini dapat semakin meminimalkan bahan bakar sebagai

sumber utama plumbum. Sampai saat ini yang masih tetap sebagai sumber plumbum

termasuk dari penguapan batubara dimana plumbum dapat dijumpai dalam jumlah

yang sangat kecil pada batubara yang tidak murni, juga dapat dijumpai pada tangki

(21)

juga dapat dijumpai pada baterai, insektisida, tinta koran, serta cat yang mengandung

plumbum terutama pada zaman dahulu (Jain, 2005).

2.4. Toksikologi Plumbum

Plumbum mempunyai kemampuan untuk membentuk kompleks dengan banyak

senyawa. Plumbum mengganggu aktivitas enzim dan mempengaruhi berbagai sistem

organ, termasuk darah, sistem saraf, ginjal organ reproduksi dan saluran pencernaan.

Keracunan plumbum yang anorganik lebih sering karena pemaparan yang kronik,

dengan manifestasinya yang paling sering berupa kelemahan, anoreksia, gugup,

tremor, turunnya berat badan, sakit kepala dan gejala-gejala saluran pencernaan

(CCOHS, 2007). Sementara keracunan plumbum yang organik lebih sering bersifat

akut yang disebabkan oleh plumbum tetraetil atau tetrametil, yang digunakan sebagai

zat “antiknock” dalam bensin. Plumbum organik sangat mudah menguap dan larut

dalam lemak. Keracunan akut ini terutama menimbulkan gangguan pada sistem saraf

pusat tapi hanya sedikit menimbulkan gangguan hematologi ( Katzung, 1998).

Kadar plumbum darah sampai 10 g/dL belum memberikan efek pada tubuh

manusia. Pada kadar 20 g/dL sudah menyebabkan gangguan berupa peningkatan

hemoglobin (Hb), menurunnya kadar vitamin D, serta penurunan perkembangan

susunan saraf pusat. Gangguan sistem saraf pusat yang berat terjadi pada kadar

plumbum darah 80 g/dL. Kematian dapat terjadi bila kadar plumbum darah sudah

(22)

Tidak semua plumbum yang terpapar ke manusia akan diserap oleh tubuh.

Hanya sekitar 5-10% dari jumlah Pb yang masuk melalui makanan dan atau sebesar

30% dari jumlah plumbum yang terhirup yang akan diserap oleh tubuh. Dari jumlah

yang terserap itu, hanya 15% yang akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya

akan turut terbuang bersama bahan sisa metabolisme seperti urin dan feses. Tetapi

meskipun jumlah plumbum yang diserap oleh tubuh hanya sedikit, logam ini ternyata

menjadi sangat berbahaya karena senyawa-senyawa plumbum dapat memberikan

efek racun terhadap banyak fungsi organ yang terdapat dalam tubuh (Palar, 1994).

Pada orang dewasa, 95 persen plumbum mengalami akumulasi di tulang,

terutama pada masa usia tua. Akibatnya, penyimpanan plumbum di tulang dapat tetap

meninggi walaupun terjadi penurunan pemaparan di lingkungan (Ronis,2001).

Kebanyakan (99 persen) plumbum dalam darah berhubungan dengan eritrosit, dimana

ini menunjukkan bahwa bagian plumbum yang lebih kecil jumlahnya di plasma

mungkin lebih labil secara biologis dan merupakan bagian plumbum yang lebih

toksik di plasma (Téllez-Rojo et al, 2004).

Pemberian kelator dalam beberapa siklus perlu dilakukan dalam waktu lebih

dari 1 bulan untuk menghasilkan penurunan kadar Pb dalam darah yang adekuat dan

mengurangi waktu pemberian. Hal ini karena ”pool” darah seimbang dengan Pb pada

kompartemen internal lain, sehingga ”pool” darah yang memunculkan Pb kembali

yang dimobilisasi dari kompartemen lain setelah pemberian 1 siklus kelator

(23)

2.5. Metabolisme Kalsium

Kalsium dalam serum, pada keadaan normal 9-11 mg/dl atau 4,5-5,5 meq/l,

ditemukan terutama dalam dua bentuk. Sekitar separoh daripadanya beredar sebagai

ion bebas (Ca++) yang berperan dalam koagulasi darah, antaran neuromuskular,

pemeliharaan fungsi membran, regulasi intrasel dari sekresi oleh kelenjar, dan kontrol

atas kontraktilitas otot rangka dan jantung. Kalsium yang tidak berwujud ion, terikat

kepada protein yang beredar dan fisiologis tidak berperan (Widman,1999).

Penting sekali bagi tubuh untuk memelihara kadar normal ion kalsium. Kadar

kalsium total dalam serum berubah dengan adanya perubahan kadar protein-protein,

baik albumin maupun globulin; akan tetapi kadar ion kalsium tidak dipengaruhi oleh

ikatan dengan protein-protein itu. Kadar kalsium dan fosfat mempunyai hubungan

timbal balik; kalau yang satu meningkat, yang lain menurun (Widman, 1995).

Absorbsi kalsium hampir sempurna dalam waktu 10 sampai 20 menit pada

konsentrasi kalsium dibawah 10 mM. Pada konsentrasi kalsium yang lebih tinggi,

kecepatan absorbsi melambat; pada konsentrasi 150 mM hanya kira-kira setengah

kalsium yang dapat diabsorbsi dalam waktu 2,5 jam (Bronner, 1986).

Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan akan efisien bila kalsium dalam

bentuk yang terlarut, umumnya dalam bentuk ion kalsium (Hanzlik et al, 2005).

Kalsium diabsorbsi dari saluran pencernaan oleh adanya kombinasi antara transport

aktif dan difusi pasif. Transport aktif distimulasi oleh 1,25-dihydroxyvitamin D3, dan

terutama pada duodenum dan jejunum proksimal. Proses pasif lebih penting pada

(24)

mekanisme utama pada penyerapan muatan kalsium yang lebih besar yang

mensaturasi proses aktif. Kalsium dari sel intestinal bagian apeks diangkut ke bagian

basolateral melalui suatu saluran atau “carrier” dan kemudian dipompakan keluar ke

cairan tubuh. Transport kalsium meningkat dengan adanya “calcium-binding protein”

(Ca-BP) yang tergantung pada vitamin D di sitosol, yang mengangkut kalsium dari

satu kutub ke kutub lainnya sehingga meningkatkan difusi kalsium intraseluler.

Secara teori, transport kalsium transseluler dapat diatur oleh jumlah kalsium yang

masuk ke dalam sel, oleh jumlah atau kecepatan kation berpindah dari satu kutub ke

kutub lainnya, atau oleh adanya ekstrusi kalsium. Jika diperantarai oleh

“calcium-channel”, hanya dibutuhkan dalam jumlah yang kecil (Bronner et al, 1986).

Diet mempunyai pengaruh besar terhadap ekskresi kalsium. Makan banyak

karbohidrat dan protein meningkatkan ekskresi kalsium; susu dan bahan berasal dari

susu menyebabkan ekskresi kalsium dan fosfat dalam urin meningkat. Ekskresi

kalsium dalam urin juga bervariasi menurut waktu sepanjang hari, berhubungan

dengan makanan dan derajat aktifitas fisik. Informasi secara kuantitatif hanya bisa

didapat dari penilaian ekskresi selama 24 jam; memeriksa urin sesewaktu hanya

memberi hasil kualitatif ”tidak ada”, ”sedikit” atau ”banyak” kalsium yang diekskresi

(Widman, 1999).

Jumlah asupan kalsium berbanding terbalik dengan plumbum plasma

kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya absorbsi kalsium di saluran pencernaan

(25)

bahwa asupan kalsium dapat memberikan efek proteksi terhadap akibat yang

ditimbulkan oleh pemaparan dengan plumbum (Téllez-Rojo, 2004).

Komponen diet umumnya, dan kalsium khususnya, diduga berinteraksi dengan

plumbum dengan beberapa cara yaitu: dengan mengikat atau mempresipitasi

plumbum di usus sehingga plumbum tidak dapat diabsorbsi, dengan berkompetisi

dengan plumbum di usus pada lokasi transport dan mekanisme absorpsi, dengan

merubah aviditas sel intestinal terhadap plumbum, dan dengan merubah afinitas

jaringan target terhadap plumbum. Kedua faktor terakhir yang mempengaruhi

metabolisme kalsium dan plumbum diatur oleh sistem endokrin cholecalciferol

melalui 1,25- dihydroxyvitamin D dan protein yang berikatan dengan kalsium

(Ballew, 2001)

Ada beberapa bentuk suplemen kalsium yang dapat dijumpai secara luas,

tetapi yang lebih umum adalah yang mengandung kalsium karbonat dan kalsium

sitrat. Kalsium karbonat merupakan garam kalsium dengan kelarutan yang tinggi

(Hanzlik et al, 2005). Kalsium karbonat merupakan kalsium dalam bentuk yang dapat

masuk melalui saluran pencernaan dan lebih mudah diabsorbsi (Gulson et al, 2001).

2.6. Kebutuhan Kalsium pada Tikus dan Manusia

Kalsium merupakan mineral yang penting bagi manusia, merupakan 1 sampai 2

persen berat badan manusia. Dari jumlah ini, 99 persen berada di dalam jaringan

(26)

Di Amerika, kebutuhan kalsium yang dianjurkan lebih tinggi daripada

negara-negara lain, termasuk negara-negara-negara-negara Asia dan Afrika. Angka kebutuhan kalsium

perhari untuk usia 19 sampai 50 tahun di Amerika Serikat adalah 1000 mg,

sementara untuk yang berusia diatas 50 tahun mencapai 1200 mg. Di Inggris,

kebutuhan kalsium rata-rata perhari berkisar 900 mg untuk pria dan 750 mg untuk

wanita. Tapi dari survei diet dan nutrisi yang dilakukan di Inggris menunjukkan

bahwa beberapa kelompok populasi, khususnya anak-anak sekolah dan orang tua

gagal mencapai angka kebutuhan yang dianjurkan tersebut (Mason, 2002). Angka

kecukupan rata-rata sehari untuk kalsium bagi orang Indonesia pada bayi dan

anak-anak adalah 300-500 mg, pada remaja dan dewasa berkisar 500-800 mg, sedangkan

pada ibu hamil dan menyusui berkisar 900-1200 mg (Almatsier, 2004).

Konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg sehari. kelebihan

kalsium dapat menimbulkan batu ginjal ataupun gangguan ginjal dan juga dapat

menyebabkan konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier, 2004).

Diperkirakan jumlah kalsium yang dibutuhkan oleh tikus untuk pertumbuhan

maksimal dan perkembangan tulang bervariasi mulai dari 0,55 sampai 1,2 mmol

kalsium per hari. Salah satu lembaga penelitian merekomendasikan asupan kalsium

harian minimum, 1,5 mmol kalsium per hari, dan kebanyakan makanan hewan jenis

roden menyediakan lebih banyak kalsium daripada yang dibutuhkan. Dengan

perkiraan bahwa cairan ekstraselular tikus adalah kira-kira 20 persen dari berat badan

(27)

berat badan 250 gram, mempunyai kira-kira 0,1 mmol kalsium dalam cairan

ekstraselularnya (Tordoff, 2001)

2.7. Pemeriksaan Kalsium

Kadar kalsium dapat diukur dengan berbagai cara, tetapi cara yang paling akurat

adalah cara spektrofotometri serapan atom. Dalam darah kalsium terikat pada protein

yang beredar, sebagian besar albumin tetapi juga sedikit globulin. Kadar kalsium

serum meliputi kalsium terikat protein dan ion kalsium bebas; hanya kalsium dalam

bentuk ion mempunyai arti biologik. Penderita yang mempunyai kadar protein rendah

juga mempunyai kadar kalsium total rendah tetapi secara fisiologis tidak mengalami

hipokalsemia. Kebanyakan antikoagulan menghambat terjadinya pembekuan darah

dengan cara mempresipitasikan kalsium (chelating), karena itu plasma tidak dapat

digunakan untuk penentuan kadar kalsium. pH darah mempengaruhi proporsi kalsium

yang terikat dan kalsium dalam bentuk ion. Bila pH menurun ion kalsium meningkat,

sedangkan dalam darah dengan pH tinggi akibat kehilangan CO2, ion kalsium

berkurang. Hasil penentuan kadar ion akan dipengaruhi oleh status pH penderita, oleh

stasis darah vena pada waktu pengambilan darah (pH rendah, fraksi ion meningkat),

oleh hiperventilasi karena takut (kehilangan CO2, fraksi ion menurun) dan oleh

(28)

2.8. Pemeriksaan Plumbum

Ada berbagai tes laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosa keracunan

plumbum dimana bahannya dapat diambil dari darah, urin ataupun dari rambut.

Pemeriksaan pada darah adalah dengan memeriksa hitung sel darah lengkap, kadar

plumbum whole-blood, aktivitas enzim DALAD (delta-aminolevulinic acid) pada sel

darah merah, serta protoporfirin eritrosit bebas. Pemeriksaan dengan menggunakan

urine adalah dengan memeriksa kadar plumbum urin 24 jam, kadar DALAD pada

urin, koproporfirin urin, serta kadar plumbum pada urin setelah tes mobilisasi

calcium disodium EDTA. Pemeriksaan dengan menggunakan rambut adalah dengan

menilai determinasi kadar plumbum (Rahde, 1994).

Kadar plumbum darah, secara khusus dalam spesimen darah lengkap (

whole-blood specimens) diperiksa dengan menggunakan darah vena atau dari darah tepi,

yang sudah dicampur dengan antikoagulan. Untuk mengukur kadar plumbum dalam

spesimen ini biasanya digunakan pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan

graphite furnace atomic absorption spectroscopy, yang mempunyai limit deteksi

(limit of detection = LOD) sampai dengan 1 g/dL. Beberapa laboratorium masih

menggunakan anodic stripping voltametry yang mempunyai LOD sampai 5 g/dL

(Hu, 2007).

Cara lain untuk mengukur kadar Pb dalam udara, darah atau urin adalah dengan

Double Extraction, Mixed Color, Dithizone Method. Cara ini berdasarkan adanya

(29)

yang dapat di ekstraksi dengan chloroform. Kepekaan dapat dicapai hingga 0,3 g

(Sjamsudin, 1978).

Metode atomic absorption spectroscopy (AAS) mempunyai limit deteksi yang

relatif tinggi dan membutuhkan prosedur ekstraksi untuk konsentrasi rendah

umumnya dalam air minum. Metode electrothermal atomic absorption (EAA) lebih

sensitif untuk konsentrasi rendah dan tidak membutuhkan ekstraksi. Metode

inductively coupled plasma (ICP) memiliki sensitifitas yang mirip dengan metode

AAS. Metode dithizone sensitif dan spesifik sebagai prosedur kolorimetrik

(Eaton, 1995).

2.9. Hubungan Kalsium dan Plumbum

Telah diketahui sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, bahwa diet kalsium pada

binatang percobaan dapat menurunkan absorpsi dan retensi plumbum dalam saluran

pencernaan, yang sebagian besar mungkin disebabkan adanya hubungan antara

absorpsi dan ekskresi plumbum, diet kalsium, dan metabolisme vitamin D

(Quarterman, 1978). Pada tikus, peningkatan diet kalsium dapat menurunkan

akumulasi plumbum dalam tulang dan mobilisasinya selama masa kehamilan dan

laktasi, yang mungkin saja dapat terjadi pada saat-saat yang lainnya (Han, 1997).

Kandungan mineral, khususnya, adanya kalsium dan fosfat dalam makanan

merupakan salah satu faktor yang berperan untuk menurunkan absorpsi plumbum

ketika plumbum masuk bersama makanan. Asupan kalsium dalam makanan

(30)

pada manusia tapi juga pada tikus (ATSDR, 2007). Dari suatu penelitian terhadap

tikus dan kera dijumpai bahwa tikus dan kera yang kekurangan kalsium mencerna

plumbum asetat dalam jumlah yang lebih besar daripada kontrol. Pada kasus

kekurangan mineral lain misalnya magnesium dan zincum, tapi bukan besi, juga

dijumpai adanya asupan kalsium yang meningkat, tetapi dalam kadar yang lebih kecil

(Tordoff, 2001).

Menurunnya kadar kalsium dan zincum akan meningkatkan absobsi plumbum.

Absorbsi plumbum pada saluran pencernaan disebabkan oleh adanya solubilisasi

asam dan tampaknya hal itu yang menyebabkan transport kalsium melalui mukosa

saluran pencernaan hampir sama dengan plumbum (Gilman, 1990).

Plumbum dapat dengan mudah memasuki jaringan tubuh hewan yang

kekurangan kalsium, dimana hal ini memberi kesan bahwa dalam keadaan kalsium

tidak mencukupi, hewan dapat menggunakan plumbum sebagai gantinya (Tordoff,

2001). Pengaturan absorbsi kalsium secara hormonal juga dipengaruhi oleh plumbum

dimana toksisitas plumbum dapat dijumpai pada makanan rendah kalsium (Mahaffey,

1981). Plumbum dapat meningkatkan konsentrasi 1,25-dihydroxyvitamin D

[1,25(OH)2D], yang akan meningkatkan absorpsi kalsium dan kemudian akan

mengurangi beratnya defisiensi kalsium (Tordoff, 2001).

Plumbum dan kalsium dapat digunakan secara bergantian oleh tulang. Plumbum

mempunyai affinitas terhadap tulang dan bekerja dengan cara menggantikan kerja

kalsium pada matriks mineral tulang. Konsentrasi plumbum yang tinggi dapat

(31)

tertinggi adalah pada metafise (Khan, 2007). Plumbum juga mempunyai efek

langsung terhadap pengaturan lokal fungsi sel-sel tulang dalam hubungannya dengan

homeostasis kalsium dan pengaturan sistem secondary messenger atau dengan

mengganggu sinyal cAMP (Pounds,1991).

Plumbum merupakan kation divalent, dan terikat kuat ke gugus sulfhidril

protein. Banyak sifat toksik plumbum disebabkan kemampuannya untuk menyerupai

atau berkompetisi dengan kalsium. Pada konsentrasi pikomolar, plumbum berhasil

berkompetisi dengan kalsium pada lokasi pengikatan pada fosfokinase C dan karena

itu mempengaruhi penandaan neuronal yang akan menghambat masuknya kalsium ke

dalam sel (Needleman, 2004).

Plumbum mempunyai ikatan yang kuat dengan protein transport yang

digunakan oleh kalsium, tetapi afinitas pengikatan plumbum paling sedikit dua kali

lipat daripada terhadap kalsium. Karena mekanisme transport yang sama ini juga

bekerja terhadap absorpsi plumbum dan kalsium dari saluran cerna, maka hal ini akan

menyebabkan terjadinya interaksi kompetitif antara kalsium dan plumbum

(Gulson, 2001).

Homeostasis kalsium dapat diganggu oleh plumbum, menyebabkan terjadinya

akumulasi kalsium yang nyata pada sel yang terpapar plumbum. Plumbum

mengalami akumulasi dalam mitokondria yang merupakan organella yang melakukan

proses metabolisme energi sel, sehingga mitokondria dapat rusak (Scott, 1980).

Plumbum dalam konsentrasi nanomolar juga dapat menginduksi mitokondria untuk

(32)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental

laboratorik dengan 6 (enam) kelompok perlakuan terhadap hewan percobaan mencit

putih betina (Mus musculus L) strain Balb/c.

3.2. Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium terpadu, Universitas Sumatera Utara,

Medan, dan laboratorium BTKL & PPM (Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan

Pemberantasan Penyakit Menular), Medan. Penelitian berlangsung selama 8 minggu

(2 bulan).

3.3. Besar Sampel

Jumlah sampel yang digunakan menggunakan rumus Rancangan Acak

Lengkap menurut Sugandi (1994) yaitu sebagai berikut:

t (r-1) ≥ 20 t : Jumlah Perlakuan

r : Jumlah Ulangan

Dari rumus ini didapati bahwa pada penelitian ini akan digunakan sebanyak 30 ekor

mencit betina dewasa (Mus musculus L) strain Balb/c, umur 6-8 minggu, berat antara

20-40 gram dengan kondisi sehat. 30 ekor mencit ini akan dibagi ke dalam 6

(33)

3.4. Rancangan Penelitian

Pada penelitian ini sampel terdiri dari 30 ekor mencit betina yang dibagi

secara acak dalam 6 kelompok, masing-masing kelompok diberi kode kelompok

yakni K, P1, P2, P3, P4, P5. setiap kelompok diberi perlakuan sebagai berikut:

Tabel 1. Disain Perlakuan

Perlakuan Kelompok Kalsium karbonat

(mg/hari)

Plumbum asetat

(mg/kgBB/hari) Jarak pemberian

K - - -

3.5. Penentuan Dosis Plumbum dan Kalsium

Dalam penelitian ini, dosis Pb asetat yang digunakan adalah 40mg/kgBB/hari

dalam bentuk serbuk kemudian dilarutkan dengan aquadest. Dosis kalsium karbonat

yang digunakan adalah 25mg/hari dan 50mg/hari dalam bentuk serbuk kemudian

dilarutkan dengan aquadest. Pb asetat dan kalsium karbonat diberikan peroral dengan

menggunakan jarum gavage yang dimasukkan langsung ke lambung mencit.

3.6 Populasi Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah mencit betina umur 6-8 minggu dengan berat

badan 20-40gr dan sehat yang ditandai dengan gerakan yang aktif. Mencit diperoleh

(34)

3.7. Variabel Penelitian

3.7.1 Variabel bebas, yaitu plumbum asetat

3.7.2 Variabel tergantung, yaitu kadar/dosis kalsium yang divariasikan

3.7.3 Variabel kendali, yaitu jenis kelamin, kesehatan fisik, berat badan, makanan,

umur, dan faktor lingkungan

3.8. Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sediaan plumbum asetat

dalam bentuk bubuk (C4H6O4Pb) dengan dosis 40mg/kgBB, dan juga sediaan kalsium

karbonat dalam bentuk bubuk (CaCO3) dengan dosis 25 mg/hari dan 50 mg/hari.

Sediaan plumbum asetat dan kalsium karbonat ini dilarutkan dalam air agar dapat

dimasukkan ke hewan coba. Sebagai antikoagulan setelah darah diambil dari hewan

coba digunakan larutan heparin. Pada proses preparasi Pb, digunakan larutan AgNO3

pekat dan AgNO3 13%. Semua bahan yang digunakan pada penelitian ini

menggunakan bahan yang pro analitik (p.a). Pellet digunakan sebagai makanan

hewan coba. Aquadest digunakan sebagai air minum hewan coba dan sebagai pelarut

plumbum asetat dan kalsium karbonat.

3.9. Alat-alat

Pada penelitian ini digunakan 2 macam timbangan yaitu timbangan hewan dan

timbangan analitis. Timbangan hewan digunakan untuk mengukur berat badan hewan

coba setiap hari agar dapat diberikan dosis kalsium dan Pb dan kalsium yang sesuai

(35)

mengukur jumlah kalsium dan Pb yang akan diberikan kepada hewan coba. Untuk

pemberian kalsium dan Pb secara oral, digunakan jarum gavage. Untuk pengambilan

darah hewan coba, digunakan spuit 1cc. Darah yang diambil dikumpulkan dulu dalam

tabung eppendorf baru kemudian dimasukkan ke tabung reaksi dengan menggunakan

mikropipet.

Sebelum dibawa ke laboratorium yang akan memeriksa kasar Pb dalam darah

hewan coba, dilakukan preparasi. Pada proses preparasi digunakan alat aluminium

foil, vortex dan hotplate. Setelah selesai proses preparasi, darah diperiksa dengan

menggunakan alat Inductively Couple Plasma (ICP).

3.10 Pelaksanaan Penelitian

3.10.1. Pemeliharaan Hewan Coba

Hewan (mencit betina) dipelihara dalam kandang plastik bertutup, dengan

ukuran panjang dan lebar kandang lebih panjang dari tubuh hewan termasuk ekornya

dan tiap kandang dialasi dengan sekam padi. Pada masa aklimatisasi, di tiap kandang

ditempatkan 2 ekor mencit untuk menilai berapa jumlah kalsium yang dikonsumsi

oleh 2 ekor mencit dalam 1 hari. Setelah masa aklimatisasi, jumlah makanan

ditimbang setiap hari, termasuk jumlah yang diberikan dan yang habis. Diperoleh

data bahwa jumlah kalsium yang terkandung dalam pellet mencit dapat diabaikan,

karena ternyata tiap kandang mencit hanya menghabiskan pelet tidak lebih dari

35 mg/hari. Dari pengamatan ini, kemudian diputuskan bahwa pada tiap kandang

(36)

yang lebih suka bila berada dalam jumlah sekitar 5 ekor dalam tiap kandang.

Minuman berupa aquadest diberikan secara ad libitum. Kandang ditempatkan dalam

ruangan yang memiliki ventilasi dan masuk cahaya secara tidak langsung, serta

memiliki kelembaban yang sesuai dengan kehidupan mencit. Kandang dibersihkan

dan alas sekam diganti sekali dua hari. Tempat makan dan minum dibersihkan dan

diganti tiap hari.

3.10.2. Perlakuan Hewan Coba

Setelah selesai diberi perlakuan, maka terhadap hewan percobaan kelompok K,

P1, P2, P3, P4,dan P5 dilakukan dislokasi leher untuk pengambilan darahnya.

Pengambilan darah ini dilakukan pada waktu yang berbeda-beda, dimana kelompok

K yang merupakan kelompok kontrol negatif dilakukan pada saat awal percobaan,

sedangkan kelompok P1 sampai P5 dilakukan setelah 2 minggu perlakuan. Dari

tiap-tiap hewan coba diambil minimal 0,5 mL darah untuk diperiksa kadar Pb dalam darah

hewan coba tersebut.

3.11 Prosedur Pemeriksaan Plumbum

3.11.1 Pembuatan preparasi untuk pemeriksaan kadar plumbum dalam darah

Sampel darah sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah

dimasukkan larutan AgNO3 pekat sebanyak 1 mL ke tabung tersebut, kemudian di

vortex selama beberapa saat sampai larutan tercampur. Larutan ini kemudian

dipanaskan di hot plate selama 15 sampai 30 menit sampai mendidih. Setelah

mendidih, kemudian temperatur diturunkan. Hot plate dimatikan setelah larutan

(37)

vortex lagi sampai larutan tercampur dan tampak warna kuning muda. Larutan

tersebut kemudian dibiarkan pada suhu ruangan, sekitar 22oC. Larutan yang sudah di

preparasi ini kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa Pb dalam darah

hewan coba tersebut. Darah yang sudah dipreparasi dapat bertahan dalam suhu

ruangan selama 1 bulan kalau tidak langsung diperiksa darahnya.

3.11.2 Pemeriksaan dengan alat Inductively Coupled Plasma (ICP)

Prinsip: Sampel yang diasamkan mengandung plumbum dalam jumlah mikrogram

bercampur dengan “reducing solution” ammoniacal citrate-cyanide dan

diekstraksi dengan dithizone dalam chloroform (CHCl3) untuk membentuk

“cherry-red lead dithizonate”. Warna dari campuran larutan berwarna diukur

secara fotometrik.

Adapun langkah-langkah pengoperasian ICP (Inductively Couple Plasma)

metode Dithizone adalah sebagai berikut:

Sampel dihancurkan dan disaring melalui kertas filter bebas plumbum dan

corong filter dan kemudian langsung dimasukkan ke dalam 250 mL corong pemisah.

Tabung penghancur kemudian dicuci dengan 50 mL air dan ditambahkan ke filter.

Setelah itu ditambahkan 50 mL larutan ammoniacal citrate-cyanide, dicampur dan

kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Ditambahkan 10 mL larutan kerja

dithizone kemudian corong penyumbat digoyang dengan kuat selama 30 detik,

sampai lapisan terpisah. Kapas bebas plumbum dimasukkan ke dalam batang corong

(38)

mL, kemudian diisi dengan sel penyerap. Absorbansi ekstrak diukur pada panjang

gelombang 510 nm menggunakan larutan kerja dithizone, ¶ 3g, untuk membuat nol

spektrofotometer. Aklimatisasi (tujuh hari)

Kel. K

Analisa / Uji Statistik

(39)

3.13. Analisa Data

Data pengamatan yang diperoleh dianalisa dengan memakai uji Kruskall

(40)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, pengaruh kombinasi plumbum dengan kalsium dan jarak

pemberian, diperoleh hasil sebagai berikut:

Gambar 3. Perbandingan Kadar Pb pada kelompok kontrol negatif (K) dan kelompok yang hanya diinduksi aquadest (P1)

Dari gambar 3, bila dibandingkan dengan kelompok mencit yang diberi Pb

(P1), terlihat bahwa pada kelompok kontrol (K) ini dijumpai Pb dalam darahnya

(0,029 mg/L). Hal ini memberi indikasi bahwa adanya Pb dalam darah mencit yang

tidak dipaparkan dengan Pb mungkin disebabkan oleh keterpaparan dari udara yang

terdapat di sekitar ruangan, ataupun mungkin berasal dari tempat pengolahan

(41)

(mencit) ini diambil setelah berumur 6 minggu, sehingga mungkin saja mencit

tersebut telah terpapar Pb sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Polivka et al, bahwa

pada anak-anak berusia 1-2 tahun yang walaupun tidak tinggal di daerah

pertambangan, sudah dijumpai plumbum dalam darahnya (Polivka et al, 2006). Hasil

ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tong et al yang melakukan

penelitian terhadap anak-anak mulai dari lahir dan kemudian diikuti sampai berusia

11-13 tahun yang tidak tinggal di daerah pertambangan. Mereka mendapati bahwa

pada anak-anak ini terdapat peningkatan kadar plumbum dalam darah seiring dengan

bertambahnya usia (Tong et al, 1998).

(42)

Dari gambar 4 tampak bahwa kadar Pb pada kelompok yang mendapatkan

kalsium dengan konsentrasi 25 mg/hari (P2) dan 50 mg/hari (P3) dalam waktu yang

bersamaan dengan pemberian Pb 40 mg/kgBB/hari, terlihat adanya penurunan bila

dibandingkan dengan kelompok P1 (hanya mendapatkan Pb 40 mg/kgBB/hari),

dimana setelah diuji dengan uji Anova satu arah, ternyata perbedaan ini tidak

bermakna (p>0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Tordoff menemukan bahwa tikus

dan kera yang kekurangan kalsium mencerna plumbum asetat dalam jumlah yang

lebih besar daripada kontrol (Tordoff, 2001).

Hasil ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Gilman yang menemukan

bahwa menurunnya kadar kalsium dan zincum akan meningkatkan absobsi plumbum

(Gilman, 1990). Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) juga

mendapati hasil bahwa kandungan mineral, khususnya, adanya kalsium dan fosfat

dalam makanan merupakan salah satu faktor yang berperan untuk menurunkan

absorpsi plumbum ketika plumbum masuk bersama makanan (ATSDR, 2007).

Pada kelompok P3 (mendapatkan kalsium 50 mg/hari) tampak penurunan nilai

Pb dibandingkan dengan kelompok P2 (mendapatkan kalsium 25 mg/hari), walaupun

secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan kadar Pb dalam darah bila dosis

kalsium ditingkatkan dari 25mg/hari menjadi 50mg/hari. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Bogden et al yang menemukan bahwa peningkatan

konsumsi kalsium yang diberikan pada tikus dapat menurunkan akumulasi plumbum

(43)

Gambar 5. Perbandingan kadar Pb pada kelompok yang diberi Pb 1 jam setelah diberikan kalsium 25 mg/hari (P4) atau 50 mg/hari (P5), dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan Pb (P1)

Pada gambar 5 tampak nilai yang berbeda antara kelompok yang mendapatkan

Pb 40 mg/kgBB/hari, 1 jam setelah diberi kalsium dengan konsentrasi 25 dan 50

mg/hari(P4 dan P5), yang ternyata setelah diuji dengan statistik, tidak menunjukkan

perbedaan yang bermakna (p>0,05). Pemberian kalsium 25 mg/hari bahkan tampak

meningkatkan kadar Pb dalam darah, walaupun bila dibandingkan dengan kontrol

(44)

Gambar 6. Perbandingan kadar Pb pada kelompok yang mendapatkan Pb dalam waktu yang bersamaan dengan pemberian kalsium 25 mg/hari (P2) atau 1 jam setelah pemberian kalsium 25 mg/hari (P4), dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan Pb (P1)

Pada gambar 6 terlihat nilai yang berbeda antara kelompok yang mendapatkan

kalsium dan Pb dalam waktu yang bersamaan (P2) dan yang mendapatkan Pb 1 jam

setelah diberikan kalsium (P4) dengan konsentrasi kalsium yang sama (25 mg/hari).

Setelah diuji secara stasitistik, ternyata perbedaan nilai ini juga tidak bermakna

(p>0,05). Bila dibandingkan pemberian kalsium dengan konsentrasi 25 mg/hari

dalam waktu yang bersamaan dengan waktu yang tidak bersamaan, maka tampak

bahwa jika kalsium diberi bersamaan dengan Pb akan mengakibatkan kadar Pb darah

menurun, tetapi bila pemberian kalsium tersebut 1 jam sebelum pemberian Pb, maka

kadar Pb dalam darah akan meningkat, meskipun peningkatan kadar Pb tersebut tidak

(45)

Hal ini mungkin berkaitan dengan yang dikemukakan oleh Gulson bahwa

plumbum mempunyai ikatan yang kuat dengan protein transport yang digunakan oleh

kalsium, tetapi afinitas pengikatan plumbum paling sedikit dua kali lipat daripada

terhadap kalsium (Gulson, 2001). Bronner juga mengemukakan bahwa transport Pb

yang bermuatan elektropositif bisa dipengaruhi juga oleh suatu mekanisme “carrier”

tertentu, walaupun hanya sedikit, selain dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya Pb

(Bronner, 1986).

Gambar 7. Perbandingan kadar Pb pada kelompok yang mendapatkan kalsium 50 mg/hari dalam waktu bersamaan dengan Pb (P3) atau 1 jam kemudian baru diberikan Pb (P5), dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan Pb (P1)

Hasil yang tampak pada gambar 7 menunjukkan bahwa terdapat penurunan nilai

(46)

pada kelompok yang mendapatkan Pb 40 mg/kgBB/hari dan kalsium dalam waktu

yang bersamaan (P3) dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan kalsium 1

jam sebelum diberikan Pb (P5), walaupun secara statistik tidak bermakna. Hal ini

memberikan kesan bahwa tampaknya pemberian kalsium lebih efektif bila diberikan

bersamaan dengan Pb. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Bronner bahwa absorbsi

kalsium hampir sempurna dalam waktu 10 sampai 20 menit pada konsentrasi kalsium

dibawah 10 mM (400 mg), sedangkan pada konsentrasi kalsium yang lebih tinggi,

kecepatan absorbsi melambat (Bronner, 1986). Pada penelitian ini jumlah kalsium

yang digunakan adalah 25 mg dan 50 mg, berarti masa absorbsi kalsium pada

penelitian ini sudah hampir sempurna dalam waktu 10 sampai 20 menit.

(47)

Dari gambar 8 tampak adanya perubahan nilai Pb pada masing-masing

kelompok yang menunjukkan adanya penurunan nilai Pb pada semua kelompok yang

mendapatkan kalsium bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan

Pb (P1), kecuali pada kelompok P4. Hasil uji statistik secara Kruskall Wallis ternyata

didapati bahwa perbedaan diantara tiap kelompok perlakuan tersebut tidak bermakna

(p>0.05).

Hasil yang didapat pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Gulson,et al. Mereka mendapatkan hasil yang merupakan kebalikan

dari apa yang didapat oleh para peneliti sebelumnya dimana mereka mendapati bahwa

tidak ada hubungan yang bermakna antara konsentrasi Pb dan asupan mikronutrien,

termasuk kalsium. Pada remaja dan orang dewasa dengan konsentrasi Pb dalam darah

rendah dan keterpaparannya terhadap Pb hanya minimal, mungkin tidak diperlukan

(48)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini didapati kesimpulan sebagai berikut:.

1. Kadar plumbum dalam darah mencit akibat pemberian Pb asetat

40mg/kgBB/hari selama 2 minggu secara oral tampaknya menunjukkan

peningkatan

2. Pemberian kalsium 25 maupun 50 mg/hari selama 2 minggu ternyata tidak

berpengaruh terhadap kadar Pb darah

3. Pemberian kalsium 25 mg/hari selama 2 minggu, 1 jam sebelum Pb

menunjukkan peningkatan kadar Pb darah bila dibandingkan dengan

kelompok yang diberi kalsium dan Pb bersamaan, namun secara statistik,

kedua kelompok ini tidak berbeda

4. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada pemberian kalsium dengan

konsentrasi 25 dan 50 mg/hari, baik yang diberikan Pb secara bersamaan

dengan kalsium, maupun yang diberikan kalsium dulu, dan sejam kemudian

baru diberi Pb

5.2. Saran

1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi kalsium yang

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Adham, K.G., Shabana, M.B., Abdel-Latif, H.A., Soliman, S.S.M., 2002, Effects of Supplementary Calcium on Lead Poisoning in Rat, Acta Pharm, 52:19-28

Almatsier, S., 2004, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 235-243

Aminah, N., 2006, Perbandingan Kadar Pb, Hb, Fungsi Hati, Fungsi Ginjal, pada Karyawan BBTKL & PPM Surabaya Bagian Sampling dan Non Sampling, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(2):111-120

ATSDR (Agency for Toxic Substances and Disease Registry), 2007, Toxicological Profile for Lead, Public Health Service, Atlanta

Ballew, C., Bowman, B., 2001, Recommending Calcium to Reduce Lead Toxicity in Children: A Critical Review, Nutrition Reviews, 59(3):71-79

Berg, N., Few, G.S., Easley, M.F., Ross, Jr., W.G., Overcash, B.K., Kimball, H.P., 2002, 2000 Ambient Air Quality Report, North Carolina, USA

Bogden, J.D., Oleske, J.M., Louria,D.B, 1997, Lead Poisoning – One Approach to a Problem That Won’t Go Away, Environ Health Perspect, 105:1284-1287

Bronner, Felix, Pansu, D., Stein, W.D., 1986, An Analysis of Calcium Transport Across the Rat Intestine, Am. J. Physiol. 250:561-569

Bruening, K., Kemp, F.W., Simone, N., Holding, Y., Louria, D.B., Bogden, J.D., 1999, Dietary Calcium Intakes of Urban Children at Risk of Lead Poisoning, Environ Health Perspect, 107(6):431-435

Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS), 2007, Cheminfo, Chemical Profiles Created by CCOHS, Lead Acetate

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2004, Adult Blood Lead Lead Epidemiology and Surveillance – United States, 2002, Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR), 53(26):578-582

(50)

Eaton, A.D., 1995, Standard Methods, ed. 19, APHA, Washington, DC, pp 371-372

Ettinger, A.S., Téllez-Rojo, M.M., Amarasiriwardena, C., Peterson, K.E., Schwartz, J., Aro, A., et al, 2006, Influence of Maternal Bone Lead Burden and Calcium Intake on Levels of Lead in Milk over The Course of Lactation,

Am J Epidemiol, 163:48-56

Florence, T.M, Stauber, J.L., Dale, L.S., Henderson, D., Izard, B.E., Belbin, K., 1998, The Absorption of Ionic Lead Compounds Through the Skin of Mice, Journal of Nutritional & Environmental Medicine, 8(1):19-23

Gilman, A.G., Rall, T.W., Nies, A.S., Taylor, P., 1990, Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed., New York, Pergamon Press

Gulson, B.L., Mizon, K.J., Palmer, J.M., Korsch, M.J., Taylor, A.J., 2001, Contribution of Lead from Calcium Supplements to Blood Lead, Environ Health Perspect, 109(3):283-288

Gulson, B.L., Mizon, K.J., Korsch, M.J., Taylor, A.J., 2006, Low Blood Lead Levels Do Not Appear to Be Further Reduced by Dietary Supplements, Environ Health Perspect, 114(8):1186-1192

Hamidinia, S.A., Erdahl, W.L., Chapman, C.J., Steinbaugh, G.E., Taylor, R.W., Pfeiffer, D.R., 2006, Monensin Improves the Effectiveness of meso-Dimercaptosuccinate when Used to Treat Lead Intoxication in Rats, Environmental Health Perspectives, 114(4):484-493

Han, S., Equez, M.L., Ling, M., Qiao, X., Kemp, F.W., Bogden, J.D., Effects of prior lead exposure and diet calcium on fetal development and blood pressure during pregnancy. In: Trace Elements in Man and Animals, vol ( (Fischer, P.W.F., L’Abbe, M.R., Cockrell,A., Gibson, R.S), Ottawa, Canada: Research Press, 1997:87-88

Hanzlik, R.P., Fowler, S.C., Fisher, D.H., 2005, Relative Bioavailability of Calcium from Calcium Formate, Calcium Citrate, and Calcium Carbonate, JPET, 313:1217-1222

Hariono, B., 2005, Efek Pemberian Plumbum (Timah Hitam) Anorganik pada Tikus Putih (Rattus norvegicus), J. Sains Vet., 23(2):107-118

(51)

Jain, N.B., Laden, F., Guller, U., Shankar, A., Kazani, S.,Garshick, E., 2005, Relation between Blood Lead Levels and Childhood Anemia in India, Am J Epidemiol, 161:968-973

Katzung, B.G., 1998, Farmakologi Dasar dan Klinik, ed. VI, EGC, Jakarta, hal. 927-929

Khan, A.N., Munir, U., Turnbull, I, Macdonald, S., 2007, Lead Poisoning, Saudi Arabia

Lagerkvist, B.J., Ekesrydh, S., Englyst, V., Nordberg, G.F., Söderberg, H., Wiklund, D., 1996, Increased Blood Lead and Decreased Calcium Levels During Pregnancy: a Prospective Study of Swedish Women Living Near a Smelter, American Journal of Public Health, 86(9):1247-52

Lidsky, T.I., Schneider, J.S., 2003, Lead Neurotoxicity in Children: Basic Mechanisms and Clinical Correlates, Brain, 126(1):5-19

Mahaffey, K.R., 1974, Nutritional Factors and Susceptibility to Lead Toxicity,

Environmental Health Perspective, May 1974:107-112

_____________, 1981, Nutritional Factors in Lead Poisoning, Nutr. Rev., 39:353-362

_____________, 1990, Environmental Lead Toxicity, Nutrition as a Component of Intervention, 89:75-78

Martiana, T, 2007, Use of Haematological and Immunological Biomarker as Indicator of Pb Intoxication, Folia Medica Indonesiana, 43:1489-152

Mason, P., Calcium - An Update, The Pharmaceutical Journal, 268:329-30

Needleman, H., 2004, Lead Poisoning, Annual Review of Medicine, 55:209-220

Nugroho, H., 2006, Pengaruh Pemberian Timbal Asetat Per Oral terhadap gambaran Histologis Epitel Jejunum Mencit (Mus Musculus), JBP, 8(3):113-120

Palar, H., 1994, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 75-83

(52)

Polivka, B.J., Salsberry, P., Casavant, M.J., Chaudry, R.V., Bush, D.C., 2006, Comparison of Parental Report of Blood Lead Testing in Children Enrolled in Medicaid with Medicaid Claims Data and Blood Lead Surveilance Reports,

Journal of Community Health, 31(1):43-55

Pounds, J.G., Long, G.J., Rosen, J.F., 1991, Cellular and Molecular Toxicity of Lead in Bone, Environ. Health Perspect., 91:17-32

Quarterman, J., Morrison, J.N., Humphries, W.R., 1978, The Influence of High Dietary Calcium and Phosphate on Lead Uptake and Release, Environ Res, 17:60-67

Rahde, A.F., 1994, Lead, Inorganic (PIM 301), IPCS, INCHEM, pp 7-13

Ronis, M.J.J., Aronson, J., Gao, G.G., Hogue, W., Skinner, R.A., Badger, T.M., et al, 2001, Skeletal Effects of Developmental Lead Exposure in Rats, TOXICOLOGICAL SCIENCE, 62:321-329

Sax, N.I., Lewis, R.J., 1989, Dangerous Properties of Industrial Materials, 7th ed., New York, van Nostrand Reinhold

Scott, I.D., Akerman, K.E.O., Nicholls, D.G., 1980, Calcium-ion transport by intact synaptosomes, Biochem. J., 192:873-880

Shields, J.B., Mitchell, H.H., 1941, The Effect of Calcium and Phosphorus on the Metabolism of Lead, The Journal of Nutrition, 21(6):541-552

Sjamsudin, U., Suyatna, F.D., 1978, Keracunan Pb, Cermin Dunia Kedokteran, 13:28-32

Smith, J.B., Mangkoewidjoyo, S., 1988, Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di daerah Tropis, UI Press, Jakarta, hal. 37-57

Sugandi, E., Sugiarto, 1994, Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 8,24

Sulaiman, W., 2003, Statistik Non Parametrik Contoh Kasus dan Pemecahannya dengan SPSS, Edisi Pertama, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 29

Téllez-Rojo, M.M., Hernández-Avila, M., Lamadrid-Figueroa, H., Smith, D., Hernández-Cadena, L., Mercado, A., et al, 2004, Impact of Bone Lead and Bone Resorption on Plasma and Whole Blood Lead Levels During Pregnancy,

(53)

Tong, S., Baghurst, P.A., Sawyer, M.G., Burns, J., McMichael, A.J., 1998, Declining Blood Lead Levels and Changes in Cognitive Function During Childhood, The Port Pirie Cohort Study, JAMA 280(22):1915-1920

Tordoff, M.G., 2001, Calcium: Taste, Intake, and Appetite, Physiol. Rev., 81(4):1567-97

United States Center Environmental Protection Agency (USEPA), 1987, National Primary and Secondary Ambient Air Quality Standards for Lead, 40 CFR 50,12 Code of Federal Regulations, US Government Printing Press, Washington, DC

Widman, F.K., 1999, Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, ed. 9, EGC, Jakarta, hal. 271-272, 457-458

World Health Organisation (WHO), 1963, International Water Standards, Geneva

____________________________, 1971, International Standards for Drinking Water, Geneva, third ed.

(54)

Lampiran 1

Tabel Berat badan (BB) mencit dan jumlah Pb yang diberikan selama penelitian

(55)

Hari VIII Hari IX Hari X Hari XI Hari XII Hari XIII Hari XIV P1-4 26,1 10,44 25,6 1,024 25,6 1,024 25,9 1,036 25,7 1,028 25,7 1,028 25,9 1,036

P1-5 25 1 21,7 0,868 21,7 0,868 21,4 0,856 21,7 0,868 26 1,04 26,1 1,044

P2-1 31,4 1,256 31,4 1,256 31,4 1,256 30,9 1,236 31,3 1,252 31,3 1,252 31,5 1,242 P2-2 25,9 1,036 25,9 1,036 25,9 1,036 24,7 0,988 24,3 0,972 24,3 0,972 24,3 0,972 P2-3 27,3 1,092 27,3 1,092 27,3 1,092 27 1,08 26,8 1,072 26,8 1,072 27 1,08

P4-1 24,3 0,972 24,6 0,984 24,6 0,984 24,4 0,976 24,6 0,984 24,6 0,984 24,7 0,988 P4-2 31,7 1,268 32,8 1,312 32,8 1,312 31,9 1,276 32 1,28 32 1,28 32,6 1,304 P4-3 30,7 1,228 31,3 1,252 31,3 1,252 31,5 1,26 31 1,24 31 1,24 30,4 1,216 P4-4 31,9 1,276 31,8 1,272 31,8 1,272 32,8 1,312 31,8 1,272 31,8 1,272 31,6 1,264 P4-5 27,4 1,096 27,3 1,092 27,3 1,092 28,3 1,132 28,6 1,144 28,6 1,144 23,7 0,948

(56)

Lampiran 2

HASIL PENGOLAHAN PENELITIAN SECARA STATISTIK

Descriptives

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Descriptive Statistics

30 ,272693 ,0784052 ,0410 ,4259

30 3,50 1,737 1 6

Hasil analisa Pb klp perlakuan

(57)
(58)
(59)

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Konsep
Tabel 1.  Disain Perlakuan
Gambar 2. Bagan Kerangka Kerja
Gambar 3. Perbandingan Kadar Pb pada kelompok kontrol negatif (K) dan       kelompok yang hanya diinduksi aquadest (P1)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk bangunan IPTEK ini merupakan implementasi dari ekspresi bentuk bunga pinus yang mengembang. Sesuai dengan fungsi bangunan yang mengembangkan wawasan para

Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan membentuk sebuah lembaga yang bertugas menerbitkan sertifikasi kepada pelaku usaha sebagai bukti bahwa mereka yang melakukan

Hasil penelitian sebelumnya tentang kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan patin Pangasionodon hypopthalmus diberi artemia yang diperkaya dengan vitamin C

Sertifikasi insinyur Indonesia hanya ada satu faktor yang sesuai dengan best practicesadalah faktor pertama (faktor 4/1) yaitu peran pemerintah sebagai regulator

(5) Usulan pengembangan pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan dari PPL kepada PT PLN (Persero) harus dilengkapi dengan kajian

Pengaturan tingkat yang dihasilkan oleh pembicara tanpa bantuan sistem pada 70 dB untuk jarak 0,6 meter, dapat dihitung bidang langsung DC harus 60 dB dan karena bidang

Model kepemimpinan kepala sekolah yang efektif yang sesuai dengan kondisi SMP Negeri di Kecamatan Konda adalah kepemimpinan ENTELCERDAS, sebuah akronim dari

Kun jatkosota syttyi kesällä vuonna 1941, 14. Divisioona lähti hyökkäykseen kohti itää Ru- kajärven suuntaan Kuhmon tasalta. Divisioona eteni vaativien taisteluiden jälkeen