• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI REKONSTRUKSI KASUS PEMBUNUHAN SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN PIDANA OLEH KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FUNGSI REKONSTRUKSI KASUS PEMBUNUHAN SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN PIDANA OLEH KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

FUNGSI REKONSTRUKSI KASUS PEMBUNUHAN SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN PIDANA OLEH KEPOLISIAN

RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

DODDY IRWANSYAH

Salah satu jenis tindak pidana adalah pembunuhan, yaitu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Pembunuhan sebagai pebuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain sebagai Hak Asasi Manusia Terkait dengan tindak pidana pembunuhan maka Kepolisian melakukan penyidikan untuk mengungkap kasus pembunuhan. Salah satu tahap yang dilakukan adalah rekontruksi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah fungsi rekonstruksi kasus pembunuhan sebagai alat pembuktian pidana oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung? (2) Apakah faktor-faktor penghambat rekonstruksi dalam kasus pembunuhan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

(2)

1

Doddy Irwansyah

kepolisian sebagai tempat pelaksanaan rekonstruksi (c) Faktor masyarakat, yaitu keluarga korban yang tidak mau bekerja sama (tidak kooperatif) dalam proses rekonstruksi (d) Faktor kebudayaan, yaitu masih adanya sebagian masyarakat yang menyelesaikan suatu perbuatan yang mengarah pada tindak pidana secara adat atau kekeluargaan.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik Polresta Bandar Lampung hendaknya melaksanakan penyidikan dengan sebaik-baiknya secara jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada kinerja kepolisian. (2) Kewenangan kepolisian dalam melaksanakan penyidikan hendaknya dilaksanakan dengan penuh tanggungjawaban dan sewenang-wenang, tetap berada pada koridor dan batas yang telah ditentukan oleh hukum serta berpihak pada keadilan.

(3)
(4)

FUNGSI REKONSTRUKSI KASUS PEMBUNUHAN SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN PIDANA OLEH KEPOLISIAN

RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG (Skripsi)

Oleh

DODDY IRWANSYAH NPM. 1012011160

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Alat-Alat Bukti ... 18

B. Rekonstruksi ... 22

C. Penyidik dan Penyidikan ... 23

D. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Pembunuhan ... 30

III METODE PENELITIAN ... 33

A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Narasumber... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

E. Analisis Data ... 38

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Karakteristik Narasumber ... 39

B. Fungsi Rekonstruksi Kasus Pembunuhan Sebagai Alat Pembuktian Pidana oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung ... 40

(6)

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62 A. Kesimpulan ... 62 B. Saran ... 63

(7)
(8)
(9)

MOTO

“Intelligence is not the determinant of success, but hard work is the real

determinant of your success”

(Albert einstein)

K

etergesaan dalam setiap usaha dapat membawa kegagalan”

(Heredotus)

(10)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya

Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Ayah Suyanto dan Ibu Aidayati A.Ma,Pd.

sebagai kedua orang tua tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbingku menjadi anak yang kuat dan tegar dalam menjalani hidup, serta selalu memberikan kasih sayang yang tulus dan penuh cinta tanpa mengharapkan imbalan dan setiap tetes air mata

yang keluar hanya untuk mendoakan keberhasilanku Memberikan semangat yang tak pernah putus Untuk setiap langkah serta tidak pernah meninggalkanku

Dalam keadaan terpuruk sekalipun

Kakak ku Revi anggriyanti SE, MM, dan Rani Dwi Jayanti yang selalu menjadi motivasi untuk selalu berpikir maju memikirkan

masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang. Serta Sepupu-sepupuku, keponakan-keponakanku Atiqah Ghina Zikrillah dan Aqila Rahmadani Zikrillah

yang sangat ku kasihi

Canda tawa mereka yg slalu menjadi penghibur dikala duka.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 02 Februari 1992, merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara, buah hati pasangan Bapak Suyanto dan Ibu Aidayati A.Ma.,Pd .

(12)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Fungsi Rekonstruksi Kasus Pembunuhan Sebagai Aalat Pembuktian Pidana Oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembahas I yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus Dosen Pembimbing I yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini.

(13)

5. Bapak Gunawan J, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II, yang telah banyak memberikan masukan, saran dan kritik yang membangun untuk memperbaiki dan kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Naek Siregar, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang memberikan masukan dan saran selama proses perbaikan skripsi ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bu Arnia, Mba Sri, Mba Yani, Mas Narto, Kyai Jamroni dan Kyai Aprianto, yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Sahabat-sahabatku dari Hukum 2010 Indra Sukma, Indra Saputra ,Dani aji Nugraha, Hady Waskitha Aldo, Alfian bayhaki, Deksa Arisa, Isna, Hety, Emy, Wida ,Oni, Eli, dll yang tidak dapat disebutkan seluruhnya, yang selalu saling mendukung satu sama lainnya.

10.Kawan-kawan dari Tehknik Geodesi 2010: Budi Hartoyo, Endik Cristianto Adi (Goldon), Nanda Ganda Putra (Udin), Aditya Nugraha (Cimot), Anjas Riadi (Bonggol), Ardityo Pratama, Debbi Irawan, Wayan Sunarta, dll .

11.Kawan-kawan kosan: Andriyani Yety, Sandy Wakwaw, Lina, Ferdy, Bagas (Badrun), Bang Guntur, Mbak Eka, Sepupu Harjo Apkuanbo, Jun, Batak Bersaudara di kosan lama, dll yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.

(14)

13.Rekan-rekan serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kurang sempurnanya skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada khususnya dan khalayak pada umumnya.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan, kesejahteraan dan perlindungan terhadap masyarakat. 1

Manusia dituntut untuk dapat mengendalikan perilakunya sebagai konsekuensi hidup bermasyarakat, tanpa pengendalian dan kesadaran untuk membatasi perilaku yang berpotensi merugikan kepentingan orang lain dan kepentingan umum. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka peranan hukum menjadi sangat penting untuk mengatur hubungan masyarakat sebagai warga negara, baik hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan kebendaan, manusia dengan alam sekitar dan menusia dengan negara.

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak

1

(16)

2

pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukannya. 2

Penegakan hukum memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal atau pelaku tindak pidana dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Dengan kata lain penegakan hukum secara ideal akan dapat mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum. Pentingnya masalah penegakan hukum dalam hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kecenderungan berbagai fenomena tindak pidana baik secara kuantitatif dan kualitatif serta mengalami kompleksitas baik pelaku, modus, bentuk, sifat, maupun keadaannya. Tindak pidana seakan telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia yang sulit diprediksi kapan dan dimana potensi tindak pidana akan terjadi.

Tindak pidana sebagai fenomena sosial bukan merupakan hal yang terjadi secara tidak sengaja atau hanya kebetulan belaka, karena pada dasarnya pelaku tindak pidana melakukan tindakan melawan hukum tersebut dipicu oleh berbagai faktor penyebab yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan secara erat. Tindak

2

(17)

3

pidana merupakan perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Dengan kata lain tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan undang-undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan3

Pembunuhan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan kata lain pembunuhan adalah suatu perbuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain sebagai Hak Asasi Manusia. Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Apabila terdapat unsur perencanaan sebelum melakukan pembunuhan, maka pembunuhan dapat disebut dengan pembunuhan berencana. Dalam Pasal 340 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

3

(18)

4

Pembunuhan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut Pasal 1, definisi HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa HAM meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Berdasarkan pasal di atas, jelaslah bahwa hak untuk hidup merupakan bagian integral dari HAM, sehingga negara berkewajiban menyelenggarakan suatu mekanisme perlindungan HAM dengan membentuk berbagai aturan dan perangkat penegak hukum, sebagai pelaksana perlindungan HAM.

(19)

5

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM.

Upaya untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak terhadap perkara yang didakwakan, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut harus dengan dibuktikan alat-alat bukti yang cukup. Untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui proses pemeriksaan di depan pengadilan. Untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian. Berkaitan dengan kasus pembunuhan, pihak kepolisian harus melaksanakan serangkaian prosedur dalam mengungkapkan kasus pembunuhan berencana melalui tahapan penyidikan. Salah satu tahap penyidikan adalah rekonstruksi, yaitu kegiatan untuk mengungkapkan tindak pidana, yaitu dengan cara melakukan adegan ulang peristiwa pidana secara terperinci dan sistematis untuk mengetahui secara jelas terjadinya tindak pidana.4

Dasar hukum pelaksanaan rekonstruksi adalah Pasal 75 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:

a. Pemeriksaan tersangka;

i. Pemeriksaan di tempat kejadian;

j. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;

k. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang

4

(20)

6

Sesuai ketentuan Pasal 75 ayat (1) huruf (k) KUHAP di atas maka diketahui bahwa rekonstruksi merupakan pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Artinya rekonstruksi merupakan bagian dari proses penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik kepolisian dalam rangka melengkapi berkas berita acara sebelum dilimpahkan kepada pihak kejaksaan guna proses hukum selanjutnya.

Pada pelaksanaanya, rekonstruksi kasus pembunuhan biasanya dilakukan dengan pengawalan yang cukup ketat oleh aparat kepolisian, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari pihak keluarga, kerabat atau teman korban yang merasa dendam dan berpotensi membalas perbuatan pelaku kejahatan terhadap korban. Rekonstruksi kasus dilakukan secara bertahap melalui berbagai adegan, setiap adegan dipotret atau direkam dan dicatat oleh petugas rekonstruksi.

Setelah tahap demi tahap selesai dilaksanakan, maka selanjutnya dibuatkan berita acara rekonstruksi sebagai bahan penyidikan lebih lanjut. Semua berkas penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian ini kemudian dilimpahkan kepada pihak kejaksaan untuk proses hukum lebih lanjut kepada pelaku tindak pidana. Rekonstruksi kasus dapat berperan sebagai salah satu alat bukti dan acuan bagi institusi penegak hukum yang akan memproses tindak pidana selanjutnya setelah penanganan kasus di pihak kepolisian selesai, yaitu kejaksaan dan pengadilan.

Upaya yang dilakukan penyidik tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur:

(21)

7

(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:

a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan

tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Contoh kasus fungsi rekonstruksi kasus pembunuhan sebagai alat pembuktian pidana oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung adalah rekonstruksi pembunuhan oleh tersangka Andri Septa Pubian Putra terhadap Brigadir Agus Setiawan dan istrinya Melani pada Senin 8 Juli 2013. Rekonstruksi dilakukan di halaman kantor PTPN 7. Pada rekonstruksi itu, polisi memperagakan 20 adegan, rekonstruksi merupakan bagian dari penyidikan, yaitu melengkapi berkas dan memudahkan pemberkasan.5

Rekonstruksi tindak pidana oleh penyidik kepolisian telah diatur dalam Pasal 68 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana:

(1) Untuk kepentingan pembuktian, Penyidik/Penyidik Pembantu dapat melakukan rekonstruksi dan membuat dokumentasi.

(2) Penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara rekonstruksi.

Tujuan rangkaian proses penyidikan diarahkan pada upaya penegakan hukum yang dapat menjamin kepastian dan perlindungan hukum serta menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai

5

(22)

8

oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, tegaknya hukum dan terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina, mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala pelanggaran hukum yang meresahkan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan melakukan dalam Skripsi Berjudul:

“Analisis Fungsi rekonstruksi kasus pembunuhan sebagai alat pembuktian pidana

oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah fungsi rekonstruksi kasus pembunuhan sebagai alat pembuktian pidana oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung?

b. Apakah faktor-faktor penghambat rekonstruksi dalam kasus pembunuhan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung ?

2. Ruang Lingkup

(23)

9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui fungsi rekonstruksi kasus pembunuhan sebagai alat pembuktian pidana oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat rekonstruksi dalam kasus pembunuhan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan fungsi rekonstruksi kasus pembunuhan sebagai alat pembuktian pidana oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum.

b. Kegunaan Praktis

(24)

10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum6. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Fungsi Rekonstruksi

Pengertian rekonstruksi adalah rangkaian kegiatan untuk mengungkapkan suatu kasus tindak pidana, yaitu dengan cara melakukan adegan ulang peristiwa pidana secara terperinci dan sistematis untuk mengetahui secara jelas, bagaimana peristiwa dilakukan, siapa-siapa saja yang terlibat, benda atau alat-alat yang digunakan serta waktu terjadinya tindak pidana7

Rekonstruksi merupakan bagian dari tindakan penyidikan yang didahului dengan penyelidikan. Manakala penyidik menemukan peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana, dapat segera melakukan penyidikan. Setelah jelas dan cukup bukti bahwa laporan masyarakat tersebut benar, dan memang didapatkan bukti awal bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan berencana maka dilaksanakan penyidikan.

Tujuan pokok penyidikan adalah utuk menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan, bukan mencari-cari kesalahan seseorang. Dengan demikian, seseorang

6

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103

7

(25)

11

penyidik dituntut untuk bekerja secara obyektif, tidak sewenang-wenang, senantiasa berada dalam koridor penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia.

Rekonstruksi kasus pembunuhan memiliki fungsi penting dalam upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai suatu sistem peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum pidana dalam kerangka kerja sitematik, di mana tindakan lembaga penegak hukum yang satu memiliki kaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dari kinerja dengan lembaga lainnya. Sistem peradilan pidana tersebut dilaksanakan untuk menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana serta mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.8

Pada pelaksanaannya, rekonstruksi kasus pembunuhan biasanya dilakukan dengan pengawalan yang cukup ketat oleh aparat kepolisian, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari pihak keluarga, kerabat atau teman korban yang merasa dendam dan berpotensi membalas perbuatan pelaku kejahatan terhadap korban. Rekonstruksi kasus dilakukan secara bertahap melalui berbagai adegan, setiap adegan dipotret atau direkam dan dicatat oleh petugas rekonstruksi. Setelah tahap demi tahap selesai dilaksanakan, maka selanjutnya dibuatkan berita acara rekonstruksi sebagai bahan penyidikan lebih lanjut.

8

(26)

12

b. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut: 1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. 5) Faktor Kebudayaan

(27)

13

bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.9

Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula dperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi.10

Budaya hukum (legal culture) menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.

Aspek kultural melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum

9

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11

10

(28)

14

memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya. 11

Budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum. Hal ini tidak berarti sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) antar lembaga penegak hukum harus menjadi satu fungsi di bawah

“satu atap”, akan tetapi masing-masing fungsi tetap dibawah koordinasi

sendiri-sendiri yang independen dengan kerjasama yang aktif dalam persepsi yang sama dilihat dari fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut. 12

Keterpaduan antara subsistem dalam penegakan hukum menjadi penentu efektifvitas suatu peraturan. Sistem hukum dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi. Berkaitan

11

Ibid. hlm.82.

12

(29)

15

dengan hal tersebut, ada anggapan yang menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul dan mungkin pula tidak timbul. Semakin tinggi taraf kesadaran hukum seseorang, akan semakin tinggi pula tingkat ketaatan dan kepatuhannya kepada hukum13

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian14. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Rekonstruksi adalah rangkaian kegiatan untuk mengungkapkan suatu kasus

tindak pidana, yaitu dengan cara melakukan adegan ulang peristiwa pidana secara terperinci dan sistematis untuk mengetahui secara jelas, bagaimana peristiwa dilakukan, siapa-siapa saja yang terlibat, benda atau alat-alat yang digunakan serta waktu terjadinya tindak pidana15

b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya16.

c. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan17.

13

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994. hlm.81.

14

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103

15

Petunjuk Teknis Penyelidikan dan Penyidikan, Polri 2012.

16

Pasal 1 Ayat 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

17

(30)

16

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku18

e. Pembunuhan adalah adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan kata lain, pembunuhan adalah suatu pebuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain sebagai Hak Asasi Manusia. Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun19

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai kajian yang berhubungan dengan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian alat-alat bukti, kepolisian dan tindak pidana pembunuhan

18

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46.

19

(31)

17

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data mengenai fungsi rekonstruksi kasus pembunuhan sebagai alat pembuktian pidana dan faktor-faktor penghambat rekonstruksi dalam kasus pembunuhan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung

V PENUTUP

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Alat-Alat Bukti

Menurut Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh berdasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedang pemeriksaan di persidangan di dasarkan atas surat dakwaan yang dirumuskan Penuntut Umum yang dilimpahkan ke pengadilan. Hal

tersebut di atas berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yaitu: “Penuntut umum

melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segara

mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”

Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e).Keterangan Terdakwa.1 Penjelasan mengenai alat bukti yang sah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi

Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali dikecualikan oleh Undang-Undang. Menghindar sebagai saksi dapat dikenakan pidana

1

(33)

19

(Penjelasan Pasal 159 Ayat (2) KUHAP). Semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yaitu:

a. Keluarga berdarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari atau yang sama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama sebagai terdakwa.

2. Keterangan Ahli

Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat.

3. Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut Pasal 187 KUHAP yang termasuk surat adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

(34)

20

laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksama berdasarkan hati nuraninya. Petunjuk adalah perbuatan atau kejadian, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Pasal 188 Ayat (2), Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

(35)

21

bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif dalam hal ini, alat bukti petunjuk di perluas, sehingga alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana.

(36)

22

dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 2

5. Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. 3.

B. Rekonstruksi

Pengertian rekonstruksi adalah rangkaian kegiatan untuk mengungkapkan suatu kasus tindak pidana, yaitu dengan cara melakukan adegan ulang peristiwa pidana secara terperinci dan sistematis untuk mengetahui secara jelas, bagaimana

2

http://www.academia.edu/7228559/analisa_perluasan_alat_bukti_denganpengaturan_hukum_ acara_di_luar_kuhap. Diakses Selasa 24 Juni 2014

3

(37)

23

peristiwa dilakukan, siapa-siapa saja yang terlibat, benda atau alat-alat yang digunakan serta waktu terjadinya tindak pidana4

Rekonstruksi kasus pembunuhan memiliki fungsi penting dalam upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai suatu sistem peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum pidana dalam kerangka kerja sitematik, di mana tindakan lembaga penegak hukum yang satu memiliki kaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dari kinerja dengan lembaga lainnya. Sistem peradilan pidana tersebut dilaksanakan untuk menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana serta mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

C. Penyidik dan Penyidikan

Menurut Pasal 1 Butir (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

Menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh

4

(38)

24

Undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan yang berhak menjadi penyidik menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP adalah:

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu). Ketentuan di atas dengan pengecualian, jika disuatu tempat tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud maka Komandan Sektor karena jabatannya adalah penyidik kepolisian berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi.

Berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian maka untuk meringankan beban penyidik juga telah diatur adanya penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan yang diberi wewenang tertentu dalam melaksanakan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.

(39)

25

Pembantu tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Wewenang pengangkatan ini dapat dilimpahkan pada pejabat Kepolisian Negara yang lain.

Wewenang Penyidik Pembantu ini hampir sama dengan penyidik pada umumnya, kecuali pada kewenangan penahanan. Dalam hal penahanan, penyidik pembantu harus menunggu terlebih dahulu pelimpahan wewenang dari penyidik. Dalam pembuatan berita acara dan berkas perkara yang tidak langsung diserahkan kepada penuntut umum, tetapi diserahkan kepada penyidik.5

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa pelaksanaan penyidikan oleh penyidik harus berdasar pada peraturan perundang-undangan, tanpa aturan yang mengaturnya dapat dikatakan justru petugas sendiri yang tidak menegakkan hukum bahkan melawan hukum. Adapun landasan atau dasar hukum penyidikan kepolisian adalah bahwa pelaksanaan penyidikan itu sah dan dibenarkan oleh hukum, sehingga semua pihak terlindungi, baik petugas maupun masyarakat.

Ketentuan tentang pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP bahwa: “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya

(40)

26

masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti- bukti yang ada kedepan persidangan. Bila diperhatikan pekerjaan ini mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena keseluruhan pekerjaan ini ditujukan pada pekerjaan disidang pengadilan. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dilakukan penuntutan.

Tujuan penyidikan secara konkrit dapat diperinci sebagai tindakan penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang:

a. Tindak pidana apa yang dilakukan. b. Kapan tindak pidana dilakukan. c. Dengan apa tindak pidana dilakukan. d. Bagaimana tindak pidana dilakukan. e. Mengapa tindak pidana dilakukan.

f. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana tersebut6

Hal menyelidik dan hal menyidik secara bersama-sama termasuk tugas kepolisian yustisiil, akan tetapi ditinjau pejabatnya maka kedua tugas tersebut merupakan dua jabatan yang berbeda-beda, karena jika tugas menyelidik diserahkan hanya kepada pejabat polisi negara, maka hal menyidik selain kepada pejabat tersebut juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Pengertian mulai melakukan

(41)

27

penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro yustisia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya.

Persangkaan atau pengetahuan adanya tindak pidana dapat diperoleh dari empat kemungkinan, yaitu:

a. Kedapatan tertangkap tangan. b. Karena adanya laporan. c. Karena adanya pengaduan. d. Diketahui sendiri oleh penyidik7

Penyidikan dilakukan setelah dilakukannnya penyelidikan, sehingga penyidikan tersebut mempunyai landasan atau dasar untuk melakukannya. Dengan kata lain penyidikan dilakukan bukan atas praduga terhadap seseorang menurut penyidik bahwa ia bersalah. Penyidikan dilaksanakan bukan sekedar didasarkan pada dugaan belaka, tetapi suatu asas dipergunakan adalah bahwa penyidikan bertujuan untuk membuat suatu perkara menjadi terang dengan menghimpun pembuktian-pembuktian mengenai terjadinya suatu perkara pidana. Dengan kata lain bahwa penyidikan dilakukan bila telah cukup petunjuk-petunjuk bahwa seorang atau para tersangka telah melakukan peristiwa yang dapat dihukum. 8

Penyidikan memerlukan beberapa upaya agar pengungkapan perkara dapat diperoleh secara cepat dan tepat. Upaya–upaya penyidikan tersebut mulai dari surat panggilan, penggeledahan, hingga penangkapan dan penyitaan. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik membertahukan hal itu kepada Penuntut Umum

(42)

28

hari dikenal dengan SPDP atau Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) hal ini sesuai dengan KUHAP Pasal 109 Ayat (1). Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum. Pemberhentian penyidikan ini dibertahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka atau keluarganya.

Berdasarkan pemberhentian penyidikan tersebut, jika Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan penyidik maka penghentian penyidikan sah, tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat dengan penyidikan, maka penyidikan wajib dilanjutkan. Setelah selesai penyidikan, berkas diserahkan pada penuntut Umum (KUHAP Pasal 8 Ayat (2)). Penyerahan ini dilakukan dua tahap:

a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.

b. Dalam hal penyidik sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.

(43)

29

a. Dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau apabila sebelum berakhirnya batas waktu tersebut penuntut umum memberitahukan pada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. b. Sesuai dengan ketentuan Pasal 110 Ayat (4) KUHAP jo Pasal 8 Ayat (3)

huruf b, dengan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.

c. Dalam hal penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 109 Ayat (2), yakni karena tidak terdapatnya cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum. Selesainya penyidikan dalam artian ini adalah bersifat sementara, karena bila disuatu saat ditemukan bukti-bukti baru, maka penyidikan yang telah dihentikan harus dibuka kembali. Pembukaan kembali penyidikan yang telah dihentikan itu, dapat pula terjadalam putusan praperadilan menyatakan bahwa penghentian penyidikan itu tidak sah dan memerintahkan penyidik untuk menyidik kembali peristiwa itu. Berdasarkan Pasal 110 Ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan dianggap telah selesai.

(44)

30

D. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan.9

Unsur-unsur tindak pidana adalah: a) Kelakuan dan akibat (= perbuatan )

b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d) Unsur melawan hukum yang objektif

e) Unsur melawan hukum yang subyektif. 10

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

strafbaar feit“, untuk menyebutkan “tindak pidana“ di dalam Kitab Undang

-Undang Hukum Pidana.

Perkataan “feit”dalam Bahasa Belanda berarti “sebagaian dari suatu kenyataan”, sedangkan “straftbaar” berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah, perkataan “staftbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “ sebagaian dari suatu

kenyataan yang dapat dihukum”, sifat penting dari tindak pidana “strafbaar feit

ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan. Perkataan “ straftbaar feit “ itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “ suatu

pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, di mana penjatuhan hukum

9

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 26.

10

(45)

31

terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 11

Pembunuhan merupakan bentuk tindak pidana terhadap “nyawa” yang dimuat

pada Bab XIX dengan judul “Kejahatan Terhadap Nyawa Orang”, yang diatur

dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Mengamati pasal-pasal tersebut maka KUHP mengaturnya sebagai berikut:

a. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia

b. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa anak yang sedang/baru dilahirkan c. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa anak yang masih dalam kandungan12

Dilihat dari segi kesengajaan (dolus), tindak pidana terhadap nyawa terdiri atas: a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja

b. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja disertai dengan kejahatan berat c. Pembunuhan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu

d. Pembunuhan yang dilakukan atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh e. Pembunuhan yang menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri13

Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut, pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Dilakukan dengan sengaja (diatur dalam Bab XIX)

b. Dilakukan karena kelalaian/kealpaan (diatur dalam Bab XXI)

c. Dilakukan karena tindak pidan lain, mengakibatkan kematian (diatur antara lain dalam Pasal 170, 351 Ayat (3) dan lain-lain) 14

Kejahatan terhadap nyawa ini disebut delik materiil, yakni delik yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul, tanpa menyebut cara-cara yang

11

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 55

12

Leden Marpauang, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta. 2000. hlm. 19.

13

Ibid. hlm. 20.

14

(46)

32

menimbulkan akibat tersebut. Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat dalam KUHP adalah sebagai berikut:

a. Pembunuhan (Pasal 338)

b. Pembunuhan dengan Pemberatan (Pasal 339) c. Pembunuhan Berencana (Pasal 340)

d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Pasal 341) e. Pembunuhan Bayi Berencana (Pasal 342)

f. Pembunuhan Atas Permintaan yang bersangkutan (Pasal 342) g. Membujuk/membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345) h. Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346)

i. Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya (Pasal 348) j. Dokter/bidan/tukang obat yang membantu pengguguran/matinya kandungan

(Pasal 349) 15

Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan kata lain, pembunuhan adalah suatu pebuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain sebagai Hak Asasi Manusia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 338 dinyatakan bahwa: Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Apabila terdapat unsur perencanaan sebelum melakukan pembunuhan maka pembunuhan tersebut dapat disebut dengan pembunuhan berencana. Dalam Pasal 339 dinyatakan bahwa pembunuhan yang disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

15

(47)

33

Pasal 340 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pembunuhan (murder) diatur dalam Pasal 338 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : "Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun." Unsur-unsur pembunuhan adalah: (a) Barang siapa (ada orang tertentu yang melakukannya); (b) Dengan sengaja (sengaja sebagai maksud, sengaja dengan keinsyafan pasti, sengaja dengan keinsyafan/dolus evantualis, menghilangkan nyawa orang lain.

Sebagian pakar mempergunakan istilah "merampas jiwa orang lain". Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan/merampas jiwa orang lain adalah pembunuhan. Pada teks RUU-KUHP 1993 masih menggunakan istilah "merampas nyawa orang lain". Rumusan tersebut, perlu mendapatkan perhatian, karena dengan kata "membunuh" persepsi masyararakat umum, telah jelas. Di Thailand dirumuskan "melakukan pembunuhan terhadap orang lain", sedang di Malaysia mempergunakan istilah "menimbulkan kematian dengan melakukan suatu perbuatan", sedang pada Code Penal mempergunakan istilah "pembunuhan". Kata "murder" pada "The Lexicon Webster Dictionary", dimuat artinya sebagai berikut: "The act of unlawfully killing a human being by another human with premeditated malice." "The act of unlawfully" (perbuatan melawan hukum) seyogianya dimuat dalam rumusan "pembunuhan" sebab jika membunuh tersebut dilakukan dengan tanpa melawan hukum, misalnya, melaksanakan hukuman mati, maka hal tersebut bukan "pembunuhan". Kata-kata "menghilangkan nyawa orang lain" atau "merampas nyawa orang lain", sudah saatnya dipikirkan untuk diganti dengan istilah yang lebih realistis. 16

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut "penganiayaan". Penganiayaan yang diatur KUHP terdiri dari:

16

(48)

34

a. Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP yang dirinci atas: (1) Penganiayaan biasa;

(2) penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (3) penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati. b. Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP

c. Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP dengan rincian sebagai berikut:

(1) Mengakibatkan luka berat (2) mengakibatkan orangnya mati.

d. Penganiayaan berat yang diatur olch Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut:

(1) Mengakibatkan luka berat; (2) mengakibatkan orangnya mati.

a. Senganiayaan berat dan berencana yang diatur Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai berikut:

(1) Penganiayaan berat dan berencana:

(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yurdis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian berdasarkan realitas yang ada.1

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1

(50)

36

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer yang terdiri dari buku, literatur dan makalah yang berhubungan dengan pembahasan

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber yang menjadi sumber informasi mengenai permasalahan yang dibahas. Narasumber ini adalah sebagai berikut:

a. Anggota Satreskrim Polresta Bandar Lampung : 1 orang b. Anggota Provost Polresta Bandar Lampung : 1 orang c. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

(51)

37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi pustaka dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi pustaka (library research)

Dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan. b. Studi lapangan (field research)

Dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden sebagai usaha mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data

Merupakan kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi data

(52)

38

c. Penyusunan data

Merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(53)

V. P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulan bahwa: 1. Fungsi rekontruksi kasus pembunuhan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar

Lampung bagi pihak kejaksaan dalam proses penuntutan adalah membantu Jaksa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan kepada tersangka pembunuhan . Surat dakwaan tersebut haruslah berjalan selaras dengan BAP dari penyidik. Kegunaan rekontruksi kasus pembuhan bagi pengadilan dalam proses persidangan adalah memberikan bahan pertimbangan atau alat bukti yang dapat membantu Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku pembunuhan. Menurut Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

(54)

63

rekonstruksi dan secara kuantitas kurangnya personel dalam antisipasi pengamanan oleh petugas kepolisian dalam pelaksanaan rekonstruksi (b) Faktor sarana dan fasilitas yang tidak mendukung, yaitu tidak tersedianya suatu ruangan khusus digunakan pihak kepolisian sebagai tempat pelaksanaan rekonstruksi (c) Faktor masyarakat, yaitu keluarga korban yang tidak mau bekerja sama (tidak kooperatif) dalam proses rekonstruksi (c) Faktor kebudayaan, yaitu masih adanya sebagian masyarakat yang menyelesaikan suatu perbuatan yang mengarah pada tindak pidana secara adat atau kekeluargaan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penyidik Polresta Bandar Lampung hendaknya melaksanakan penyidikan dengan sebaik-baiknya secara jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada kinerja kepolisian.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam H.R.. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum.Restu Agung, Jakarta. 2009.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra

Adityta Bakti, Bandung.

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

______________ . 2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya.

Nawawi Arief, Barda. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

__________________. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997. Pertanggungjawaban Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial

(56)

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Referensi

Dokumen terkait

sosial sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU. KELIMA : Penggunaan belanja bantuan sosial ……. sebagaimana dimaksud dalam diktum KEEMPAT menjadi tanggung jawab penerima

Grafik diatas digambarkan bahwa data-data penjualan pada Toko Kue Henby Bolu pada tahun 2019 dari setiap bulan semakin meningkat Sehingga dari permasalahan ini mereka meminta

Hasil uji hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi sederhana didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap gaya

• Seandainya publik bisa menentukan pilihan siapa tokoh yang paling tepat untuk memimpin sebuah partai politik, hampir semua Ketua Umum partai lebih diunggulkan untuk kembali

kepala daerah untuk menghindari besarnya biaya penyelenggaraan pilkada Berapapun biaya yang akan di keluarkan, sangat penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin

„ The atom changes to another stationary state (the electron moves to another orbit) only by absorbing or emitting a photon whose energy equals the difference in energy between the

Desa Adi Jaya Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah sudah menerima alokasi dana desa sejak tahun 2015 untuk mewujudkan pengelolaan keuangan desa yang

Penyusunan RKPD merupakan pelaksanaan dari Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2005 tentang Sistem