POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Oleh
WIRA KURNIAWAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN
Pada
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
POLITICIZATION CONFLICT IN DISTRICT VILLAGE WAY BALINURAGA PANJI SOUTH LAMPUNG REGENCY
by
Wira Kurniawan
Conflict is instability , disharmony and insecurity in certain people who make life uncomfortable. Conflict broke out in South Lampung regency. Conflict involving two village , between the village of Desa Balinuraga Agom. Conflict triggered by accident lalaulintas between village youth Balinuraga with two girls Agom village . In the event of an accident arises issue of sexual abuse committed Balinuraga village youth. With the onset of sexual harassment has been the politicization of utilization indicate conflict by irresponsible parties. Politicization is the mobilization of resource use conflicts that do interest groups to achieve goals.
The purpose of this study was to determine the political actors who exploit the conflict, and the politicization of the conflict Balinuraga South Lampung regency . The method used is descriptive qualitative, with a set of government affairs chief informant Way Panji district, village government and village Balinuraga Agom, the customs officials, community leaders, two communities, political actors, practitioners and South Lampung regency political observer, journalist and the press.
antipathy toward other groups , and to post information that is not correct . In goal there politicization actors politicize Balinuraga conflict . The purpose of political actors and political elite fighting occurred in the realm of a notch, showing exsistensi, getting a recognition, demonstrate the superiority, up to gain power.
ABSTRAK
POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Oleh
Wira Kurniawan
Konflik adalah ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan dibidang tertentu yang membuat masyarakat hidup tidak nyaman. Konflik kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Konflik melibatkan dua Desa, antar Desa Balinuraga dengan Desa Agom. Konflik dipicu oleh kejadian kecelakaan lalaulintas antara pemuda Desa Balinuraga dengan dua gadis Desa Agom. Dalam kejadian kecelakaan timbullah isu pelecehan seksual yang dilakukan pemuda Desa Balinuraga. Dengan timbulnya pelecehan seksual menandakan telah terjadinya politisasi pemanfaatan konflik oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Politisasi adalah mobilisasi pemanfaatan sumberdaya konflik yang dilakukan kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktor politik yang memanfaatkan terjadinya konflik, serta politisasi dalam konflik Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan menetapkan informan adalah Kepala urusan pemerintahan Kecamatan Way Panji, Pemerintahan Desa Balinuraga dan Desa Agom, pihak petinggi adat, tokoh–tokoh masyarakat, Masyarakat kedua desa, aktor politik, praktisi dan pengamat politik Kabupaten Lampung Selatan, wartawan dan pers.
dan berkembangnya konflik serta sulit atau mudahnya konflik diselesaikan dikarenakan ada yang mempengaruhi. Peran aktor-aktor yang terlibat dalam konflik adalah menciptakan dan menyebarkan isu pelecehan seksual, memobilisasi masa, memprovokasi masa, menanamkan sikap antipati terhadap kelompok lain, dan memberitakan informasi yang tidak benar. Dalam politisasi terdapat tujuan aktor-aktor yang mempolitisasi konflik Balinuraga. Tujuan aktor politik dan elit politik terjadi dalam ranah memperebutkan sebuah kedudukan, memperlihatkan exsistensi, mendapatkan sebuah pengakuan, menunjukkan superioritas, sampai untuk mendapatkan kekuasaan.
BAB IV. KRONOLOGI KONFLIK DESA BALINURAGA
A. Kronologi Konflik versi Masyarakat Agom ... 42
B. Kronologi Konflik versi Masyarakat Balinuraga ... 45
C. Kronologi Konflik versi Pemerintah ... 50
D. Kronologi Konflik Balinuraga ... 54
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Konflik ... 60
1.Dendam sebagai Faktor Utama Penyebab Konflik ... 61
2.Faktor lain Penyebab Konflik ... 69
B. Politisasi Dalam Konflik Balinuraga ... 73
1.Pemuda, peran pemuda, dan tujuan pemuda dalam konflik ... 73
2.Elite Politik, peran elit politik, dan tujuan elit politik dalam politisasi ... 79
3.Masyarakat, peran masyarakat, dan tujuan masyarakat dalam konflik ... 89
4.Peran dan Tujuan Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat dalam Politisasi Konflik ... 98
5. Media, peran media, dan tujuan media dalam konflik ... 109
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 117
B. Saran ... 119
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam masyarakat. Latar
belakang konflik ialah awal mula penyebab sebuah gesekan–gesekan yang melahirkan
sebuah ketidakesesuaian dan berkembang menjadi sebuah konflik. Latarbelakang sebuah
konflik melahirkan intensitas konflik yang juga berbeda. Latar belakang konflik adalah
suber seberapa besarkah konflik yang akan muncul, bisa kecil, sedang, dan besar. Dari
prariset yang telah dilakukan dan atas dasar hasil wawancara yang telah dikumpulkan
dari sumbar-sumber warga kedua Desa dan dari pihak pemerintahan Desa maka
diketahui bahwa konflik di Desa Balinuraga ini dipicu dugaan pelecehan seks yang
menimpa dua gadis remaja yang dilakukan oleh pemuda dari Desa Balinuraga. Akibat
dari pelecehan yang dialami oleh dua gadis yang berasal dari Desa Agom tersebut
terjadilah bentrok. Kronologi kejadian amuk massa itu berawal Sabtu malam saat dua
gadis remaja dari Desa Agom yang melintas di Desa Balinuraga, jatuh dari motor. Kedua
gadis ini diisukan mengalami pelecehan dengan cara dicolek-colek tubuhnya. Warga
yang terdiri dari sejumlah Desa dan berasal dari seluruh Kecamatan yang ada di
Lampung Selatan datang untuk menyerang Desa Balinuraga. Masa tidak hanya etnis
Lampung namun terdiri dari etnis lain yang pernah berkonflik dengan warga Desa
sejak pagi melakukan serangan terhadap Desa Balinuraga. Sejumlah rumah warga
hangus dibakar massa. Massa melampiaskan emosi dengan merusak dan membakar apa
saja yang mereka temui. Desa balinuraga saat itu sudah ditinggalkan penghuninya
menyelamatkan diri. Hampir semua rumah rata dengan tanah dilalap api. Massa yang
membawa senjata tajam dari mulai parang, pedang, golok, clurit, bahkan senapan angin
itu, tidak mampu dibendung anggota keamanan yang jumlahnya kalah banyak dibanding
jumlah massa. Bahkan massa juga memblokir jalur lintas tengah Sumatera di antara dua
Desa tersebut sehingga membuat lalu lintas macet total.
Munculnya berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan
tingkat kekhawatiran bahwa potensi terjadinya konflik sangat besar. Kasus di Lampung
Selatan, tepatnya di wilayah Kecamatan Way Panji Desa Balinuraga. Dalam kasus ini,
soal pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu konflik, yang telah menelan belasan
korban jiwa dan menyebabkan perpecahan kedamaian masyarakat, sebenarnya hanyalah
puncak dari gunung es. Sebelum kasus konflik Balinuraga sudah banyak terjadi konflik–
konflik di Lampung Selatan yang melibatkan warga etnis Bali dengan etnis–etnis lainnya
pada Desa yang berbeda. Pada bulan Januari 2012 terjadi konflik di Kecamatan
Sidomulyo, konflik tersebut dipicu hal sepele, yaitu perebutan lahan parkir yang
melibatkan etnis Bali dari Desa Napal dan Etnis Lampung dari Desa Kotadalam.
Sebelumnya juga terjadi konflik antara warga masyarakat Kabupaten Lampung Selatan
dengan pihak pemerintah masalah pendirian patung Zainal Abidin Pagaralam yang
menyebabkan patung yang telah berdiri dan diresmikan tersebut dihancurkan dan
dirobohkan.
Pada awal kasus di awal tahun 2012 sebenarnya masalah yang menyebabkan perpecahan
Balinuraga dan suku lampung ini redam, Bupati malah membuat emosi warganya dengan
perkataannya. Namun masalah ini akhirnya dapat diatasi secara kekeluargaan setelah
Bupati minta maaf kepada warga, masalah emosional sedikit terlupakan. Bentrok
kembali pecah, kali ini terjadi antara desa Balinuraga dengan desa Agom Kecamatan
Way Panji Kabupaten Lampung Selatan, terdapat 14 korban jiwa dari kedua pihak.
Hingga ratusan jiwa harus mengungsi. Banyak anak-anak yang tak bisa sekolah karena
masalah ini.
Konflik Lampung Selatan menyangkut sejarah sosiologis menyebabkan terjadinya proses
traumatik konflik, sehingga memunculkan perubahan struktur sosial. Perubahan itu salah
satunya kemudian menyebabkan gesekan antara warga asli dengan pendatang
(transmigran). Konflik berupa bentrokan antarwarga di Lampung Selatan menyangkut
faktor sejarah dan sosiologis terkait dengan politik pada zaman Hindia Belanda tentang
program irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Menanggapi konflik antarwarga di Lampung
Selatan belum lama ini, bentrokan antarwarga tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya, dan kembali terulang. Konflik itu tidak
hanya melibatkan Desa-desa yang ada di Lampung Selatan, tetapi juga memiliki akar
persoalan yang lebih dalam. Beberapa konflik yang sempat terjadi sebelumnya itu di
antaranya terkait dengan persoalan transmigrasi. Konflik Balinuraga tersebut merupakan
kasus yang berulang dan lebih dalam lagi akar-akar persoalannya. Dalam konflik
Balinuraga faktor perbedaan etnis Bali sangatlah ditonjolkan, karena dari sejarah etnis
Bali di Balinuraga memiliki permasalahan dengan etnis–etnis lain dan Desa–desa yang
ada disekitarnya, kebetulan kasusnya dipicu persoalan perempuan kemudian membesar
Bentrok pemuda meluas menjadi Bentrok warga antardesa yang menjadi memanas dan
sampai memakan korban jiwa serta harta benda yang terjadi kembali. Awal sebab
munculnya konflik sosial dilihat dari kategori aktor yang terlibat, juga dapat dimulai dari
konflik antarindividu, selain karena perebutan sumberdaya juga karena tindakan kriminal
dan ketersinggungan. Konflik antarindividu, tindakan kriminal, dan keributan
antarpemuda dapat menjadi pemicu berkembangnya konflik antarkelompok. Dalam
konflik antara warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom ada pihak–pihak yang hendak
mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi. Dengan adanya isu pelecehan seksual
yang terjadi, maka terdapat pihak–pihak yang menjadikan konflik sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Pihak–pihak tersebut ingin menggunakan konflik Balinuraga untuk
mencapai tujuan pribadi ataupun kelompok tertentu yang ingin dicapai.
Menurut pendapat Hartoyo dalam buku “Merajut Jurnalisme Damai di Lampung”
Muncul dan berkembangnya konflik serta sulit atau mudahnya konflik diselesaikan juga
diduga ada yang dipengaruhi oleh campur tangan pihak lain yang ingin mengambil
keuntungan dari konflik tersebut. Mereka ini biasa dikatakan pihak–pihak yang suka
“memancing ikan di air keruh” (free riders), bahkan keberadaannya tidak terbatas.
Artinya, bisa berasal dari anggota kelompok itu sendiri atau dari luar, bisa berada
bersama pihak–pihak berkonflik dan bisa juga berada pada pihak yang ikut
menyelesaikan konflik. (Budi Santoro Budiman, 2012;40)
Menurut H.S Tisnanta, dalam buku “Merajut Jurnalisme Damai di Lampung” peta
konflik pertikaian warga antardesa di Lampung Selatan sangatlah besar, dari konflik di
Kecamatan Sidomulyo Januari 2012, dan yang terbaru konflik terjadi di Balinuraga.
Perdamaian yang dilakukan hanya bersifat elitis dan tidak pernah menyentuh akar
yang datang saat konflik berasal dari berbagai penjuru daerah di Provinsi Lampung.
Puluhan truk dan alat transformasi yang membawa massa datang ke lokasi kerusuhan.
Tercatat antara lain dari Way Kanan, Lampung Utara, Lampung Timur, Lampung
Tengah, Tanggamus, Bandar lampung dan lain–lain. Datangnya bantuan tersebut
dikarenakan ajakan bergabung melalui pesan singkat (SMS), melaluin BBM, dan melalui
jejaring sosial, sehingga gerakan massa menjadi masif. Dari beberapa analogi di atas,
timbul dasar logika yang paling sederhana, mengapa mobilisasi massa tersebut tidak
dicegah? Siapa yang menggerakkan? Siapa yang memfasilitasi pergerakan massa
tersebut? Hal ini patut dipertanyakan kerena masyarakat desa Agom dan sekitarnya
jumlah massa tidak akan sebanyak massa tersebut. Disisi lain, Bupati Lampung Selatan
Rycko Mendoza SZP juga berkonflik dengan masyarakat adat Lampung serta lawan–
lawan politiknya. Konflik tersebut berpengaruh pada kewibawaan dan legitimasinya
sebagai pemimpin. (Budi Santoro Budiman, 2012;63-64)
Siti Noor Laila, Komisioner Komnas HAM asal Lampung mengatakan konflik antar
warga Desa Balinuraga dengan warga Desa Agom menjadi besar dan menyebabkan
banyak korban karena kepemimpinan Bupati Lampung Selatan Rycko Mendoza yang
lemah serta adanya provokasi dari pihak–pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari
konflik tersebut. “saat kejadian Bupati sedang berada di Jatinangor Jawa Barat bersama
para Kepala Desa di Lampung Selatan untuk mengikuti bimbingan tekhnis pengelolaan
pemerintahan. Ketika pulang ke Lampung Selatan, dia juga tidak bisa langsung meredam
emosi warga karena banyak warga yang masih marah dengan Bupati”.
Menurut Siti Noor Laila “persoalan ini tidak sesederhana yang diperkirakan banyak
orang, masalahnya kompleks. Ada banyak kepentingan di dalam konflik, banyak
sebenarnya.” Dari pengakuan seorang warga Ibu Made (ibukandung dari korban
meninggal Gede Semarjaya) mengaku melihat dengan jelas pembunuhan anaknya karena
anaknya telah dibunuh secara keji di depannya. “ia mengaku bukan warga Agom yang
membunuh anaknya, warga Balinuraga dan warga Agom menurut Made sudah saling
mengenal dan biasa untuk bekerjasama.” (Budi Santoso Budiman, 2012;9)
Dari kumpulan pendapat para praktisi konflik di atas dapat ditarik sebuah hipotesis
bahwa konflik Balinuraga sangatlah kompleks. Dari isu pelecehan seksual yang
dilakukan pemuda, menjadi sebuah konflik besar yang memakan korban yang tidak
sedikit. Dalam konflik yang terjadi banyak juga pihak–pihak yang ingin mengambil
keuntungan dalam konflik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Konflik
balinuraga yang melibatkan etnis Bali dan etnis Lampung membuat sentimen etnis di
Lampung Selatan menjadi sangat kuat. Sentimen etnis dalam konflik tersebut
dimanfaatkan oleh pihak–pihak untuk dijadikan alat mencapai tujuan dalam
mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok.
Peneliti juga melihat beberapa riset–riset terdahulu. Riset–riset yang membahas tentang
politisasi dan konflik.
Penelitian Pertama yang membahas tentang politisasi adalah penelitian dari “Ferryzar
Afriatama Semidang tahun 2010. Judul penelitiannya adalah “Politisasi Pada Perguruan
Paku Banten dalam mendukung Drs. Sjachroedin Z.P pada pemilihan Gubernur 2008.”
Universitas Lampung. Skipsi dalam Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi
politisasi pada Organisasi Paku Banten dalam mendukung terpilihnya Drs. Sjachroedin
Z.P pada pemilihan Gubernur 2008. Tujuan penelitian ini sesuai rumusan masalah adalah
mendukung terpilahnya Drs. Sjachroedin Z.P sebagai Gubernur Lampung periode
2009-2014. Hasil dari penelitian ini ialah terjadinya politisasi perguruan paku banten dalam
mendukung Drs. Sjachroedin Z.P menjadi Gubernur. Isu etnik dijadikan instrumen
untuk memperoleh dan meningkatkan dukungan suara dalam Pilkada. Politisasi dalam
perguruan Paku Banten pada Pigub 2008 terlihat dengan adanya hubungan antara
Sjachroedin Z.P dan Perguruan Paku Banten yang sangat baik, hal tersebut sudah dapat
dikatakan sebagai cara oleh Sjachroedin Z.P untuk mempolitisasi anggota Paku Banten
dan etnik Banten yang ada di Lampung agar memilihnya dalam pilgub 2008.
Penelitian kedua yang dijadikan referensi bagi peneliti adalah Skripsi dari “Sukma
Wulan, Tahun 2010, dengan judul “Politisasi Etnis Dalam Pilkada (study pada
Rekrutment Calon Wakil Kepala Daerah PDI Perjuangan Lampung Periode 2008-2013).
Universitas Lampung: Skipsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung.”
Rumusan masalah dari penelitian ini berdasarkan judul yang ada yaitu apakah terjadi
politisasi etnis dalam perekrutan calon wakil kepala daerah PDI Perjuangan Lampung.
Dari rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada
tidaknya politisasi etnis di dalam perekrutan Joko Umar Said sebagai calon wakil kepala
daerah PDI Perjuangan. Hasil dari penelitian ini ialah adanya politisasi dalam rekrutmen
calon wakil kepala daerah yang terjadi di tubuh PDI Perjuangan. Pemanfaatan etnik Jawa
terjadi dalam penjaringan calon wakil kepada daerah untuk mendampingi Drs.
Sjachroedin Z.P dalam Pilgub 2008. Hal ini juga didasarkan oleh pernyataan Drs.
Sjachroedin Z.P selaku Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung, bahwa dia
menginginkan calon wakil kepala daerah dari PDI Perjuangan adalah beretnik Jawa.
Penelitian terakhir yang peneliti jadikan referensi ialah penelitian dari “Johan Albert
Piche, tahun 2001. Judul dari penelitian tersebut adalah “Resolusi Konflik antara Suku
ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah resolusi konflik yang terjadi pada konflik
antar suku pedalaman di Papua. Sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini, maka
tujuan penelitian ini ialah ingin mengatahui bagaimana resulusi konflik yang terjadi dlam
konflik antar suku di Papua. Hasil dari penelitian ini ialah menganalisis tata cara
perdamaian dan resulusi konflik yang terjadi pada suku pedalaman Papua Barat. Resolusi
konflik terjadi dengan adanya bantuan tokoh–tokoh adat keduabelah suku untuk
mengadakan perdamaian yang disusul dengan upacara bakar batu.
Hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa penelitian–penelitian tersebut membahas
tentang politisasi politik dan resolusi konflik. Yang ditulis dan diteliti oleh penulis saat
ini adalah mengkaji sudut pandang masyarakat tentang politisasi konflik yang terjadi
dalam konflik Desa Balinuraga Kecamatan Way panji Kabupaten Lampung Selatan.
Persoalan yang menjadi objek penelitian penulis adalah meneliti apakah terjadi politisasi
dalam konflik antar warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom dan akhirnya meluas
menjadi konflik berskala Nasional yang terjadi di Lampung Selatan, dan apakah terdapat
aktor–aktor politik yang memanfaatkan konflik untuk mendapatkan keuntungan pribadi
maupun kelompok. Apakah tujuan aktor politik dalam konflik yang terjadi di Desa
Balinuraga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut “Apakah terdapat aktor politik yang memanfaatkan konflik yang
terjadi, dan bagaimana politisasi dalam konflik Balinuraga Kabupaten Lampung
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui “adakah aktor politik yang
memanfaatkan konflik yang terjadi, dan bagaimana politisasi dalam konflik Balinuraga
Kabupaten Lampung Selatan.”
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah
1. Secara teoritis, kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi ilmu
pengetahuan khususnya pada Ilmu Pemerintahan dan tercapainya pengembangan
kajian mengenai konflik.
2. Secara praktis, kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi
pemikiran dan referensi bagi pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan daerah
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Konflik 1. Pengertian Konflik
Menurut Ramlan Surbakti (1992:149) menyebutkan pengertian konflik yaitu
“benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara
individu dan individu, kelompok dan kelompok, indivudu dan kelompok, dan antara
individu atau kelompok dengan pemerintah. Definisi konflik (dari kata confligere,
conflicium=saling berbenturan) ialah semua bentuk benturan, tabrakan,
ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi–interaksi yang
antagonistis–bertentangan. (Kartini Kartono, 1983;245).
Menurut Eep Saeffullah Fatah (1994:46-47) konflik adalah Suatu bentuk perbedaan
atau pertentangan ide, pendapat, paham atau kepentingan di antara dua pihak atau
lebih. Pertentangan ini dapat berbentuk non fisik, bisa juga berkembang menjadi
benturan fisik, bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent) ataupun
berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).
Konflik dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau
bertentangan, benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat,
pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang. Konflik menjadi
manusia yang bersosial dan berpolitik dan pendorong dalam dinamika dan
perubahan Sosial politik (Kornblurn, 2003;294).
Konflik adalah ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan dibidang
tertentu yang membuat masyarakat hidup tidak nyaman (Gaffar, 1999;147). Konflik
berasal dari Bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik adalah unsur
terpenting dalam kehidupan Manusia. Karena Konflik memeiliki fungsi positif
(George Simmel, 1918; Lewis coser, 1957), konflik menjadi dinamika sejarah
manusia (Karl marx,1880/2003; Ibnu Khaldun, 1332-1406), konflik menjadi entitas
Sosial (Max Weber, 1918/1947; Ralf Dehrendorf, 1959), dan konflik adalah bagian
dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1954; Max Neef, 1987;
Jhon Burton, 1990; Marshal Rosenberg, 2003).
Konflik adalah Aspek intrinsik dan tidak mungkin untuk dihindari dalam perubahan
sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai, dan
keyakinan yang mucul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial
yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Cara menangani
konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Manusia adalah makhluk konfliktis
(homo conflic), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan,
dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun Poerwadinata (1976), konflik
berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam
menambahkan unsur persinggungan dan pergerakan sebagai aspek tindakan
sosialnya (2006:7). Sehingga secara sederhana konflik adalah pertentangan yang
ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.
Pengertian konflik di atas sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh Pluit dan Rubin
dengan mengutip Webster bahwa “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa
aspirasi pihak–pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan” (Pluit dan
Rubin, 2004;10)
Konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika
keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya hambatan
dari kedua pihak, baik secara potensial dan praktis. Sedangkan integrasi adalah
proses mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuat masyarakat menjadi
lebih baik atau harmonis. Di samping itu integrasi juga dipahami sebagai suatu
pernyataan yang sudah dicapai, atau sudah dekat untuk dicapai.
Konflik–konflik sangatlah beragam, dan dilihat dalam ruang yang luas dan konpleks
dapat dilihat dari berbagai dimensinya. Banyak basis kolektivitas sosial merupakan
sumberdaya yang memungkinkan hubungan antarkelompok sosial. Perbedaan
tersebut menunjukkan adanya sebuah konflik, yang sewaktu–waktu dapat
berkembang menjadi sebuah konflik yang besar. Melihat formasi konflik muncul
dari perubahan sosial, kemudian membawanya menuju proses tranformasi konflik
kekerasan atau konflik tanpa kekerasan, dan melahirkan perubahan sosial yang lebih
extrim dalam posisi tertekan suatu kelompok akan melakukan apapun untuk
Setiap skala memiliki latarbelakang dan arah perkembangannya, masyarakat
manusia di dunia pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala antara
perorangan sampai antarnegara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana
akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruksi bagi perubahan sosial
masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa Konflik dari semenjak dulu telah
ada dalam masyarakat. Konflik dapat diklasifakasikan dalam berbagai tingkatan dan
skala yang berbeda. Jadi menurut penulis konflik adalah pertikaian sebagai gejala
ketidaksesuaian yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan sosial masyarakat
dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses yang tidak mungkin
terpisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.
2. Latar Belakang Konflik
Latar belakang konflik ialah awal mula penyebab sebuah gesekan–gesekan yang
melahirkan sebuah ketidakesesuaian dan berkembang menjadi sebuah konflik.
Latarbelakang sebuah konflik melahirkan intensitas konflik yang juga berbeda. Latar
belakang konflik adalah suber seberapa besarkah konflik yang akan muncul, bisa
kecil, sedang, dan besar.
Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam masyarakat.
Konflik terjadi antarindividu atau antarkelompok yang memperebutkan hal yang
sama, tetapi konflik akan slalu menuju kearah kesepakatan (consensus). Selain itu,
masyarakat tak mungkin terintregrasi secara permanen dengan mngandalkan
kekuasaan paksaan dari kelompok yang dominan. Sebaliknya, masyarakat yang
terintregrasi atas dasar consensus sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen
dengan tanpa adanya paksaan, konflik dan consensus merupakan gejala-gejala yang
Pada dasarnya konflik didasarkan oleh dua hal. Konflik mencakup kemajemukan
horizontal dan kemajemukan vertikal, yang dimaksud dengan kemajemukan
Horizontal adalah Struktur masyarakat yang majemuk secara kultural seperti suku
bangsa, daerah, agama, dan ras, dan juga majemuk secara sosial dalam arti
perbedaan pekerjaan dan provesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha,
pegawai negri sipil, militer, wartawan, dokter, alim ulama, cendikiawan, dan dalam
arti perbadaan karakteristik tempat tinggal seperti kota dan desa.
Kemajemukan horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena
masing-masing unsur kultur berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik
budayanya dari ancaman kultur lain dalam masyarakat yang berciri demikian ini,
apabila belum ada suatu konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik
karena benturan budaya akan menimbulkan perang saudara, ataupun gerakan
separatisme. Kemajemukan vertikal adalah struktur masyarakat yang terpolarisasi
menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan
vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak
memiliki kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang
bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber
pengaruh tersebut. Jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan yang
pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik.
Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalam rumusan lain dapat
dikemukakan konflik dapat terjadi jika ada pihak yang diperlakukan tidak adil
manakala titik kemarahan sudah melampaui batas. Potensi Konflik terjadi manakala
terjadi kontak antarmanusia. Sebagai individu yang terorganisasi dalam kelompok,
individu ingin mencari jalan untuk memenuhi tujuannya. Peluang untuk memenuhi
dibutuhkan, atau terpaksa terlibat dalam konflik dengan pihak lain. Berarti, dalam
setiap masyarakat, selalu ada peluang sangat besar bagi terjadinya kompetisi dan
konflik. Karena acap kali hasil konflik itu buruk, maka persepsi kita tentang konflik
cenderung negatif. Harus diingat, semua konflik tidak sama, kita berhadapan dengan
konflik yang berbeda menurut level. Kita mungkin tidak sepakat dengan beberapa
isu dalam keluarga, teman, dan rekan sekerja, disini konflik seperti itu lebih mudah
dipecahkan (Prasangka dan Koflik; Alo Liliweri, M.S;256).
Ketika mempelajari dan meneliti konflik, kita harus dapat membuat deskripsi yang
jelas mengenai sumber atau sebab yang memicu terjadinya konflik. Ada 2 hal umum
yang patut diperhatikan dalam membahas sumber atau sebab konflik, yakni
(1)konteks terjadinya konflik dan (2)sumber–sumber konflik. Mengenai konteks
terjadinya konflik dapat dikatakan bahwa konflik terjadi dalam beragam konteks,
mulai dari konteks antarpribadi, komunitas, komunal, regional, dalam negara sendiri
hingga antarnegara. Dari beragam konteks itulah bersumber konflik karena
ketidaksetaraan atau perbedaan disposisi, persepsi, orientasi nilai, sikap, dan
tindakan dalam merespon situasi sosial, historis, kesadaran sosial, ekonomi, idiologi,
politik, bahkan situasi yang berkaitan dengan kejadian–kejadian mutakhir konflik.
3. Tipe – tipe Konflik. 1. Konflik Sederhana
Konflik tipe ini masih pada taraf emosi dan muncul dari perasaan berbeda yang
dimiliki oleh individu. Ada empat tipe konflik sederhana:
(1) Konflik personal versus diri sendiri adalah konflik yang terjadi karena apa
yang dipikirkan atau yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.
(2) Konflik personal versus personal adalah konflik antarpersonal yang
(3) Konflik personal versus Masyarakat adalah konflik yang terjadi antara
individu dan Masyarakat yang bersumber dari perbedaan keyakinan suatu
kelompok atau keyakinan Masyarakat atau perbedaan hukum.
(4) Konflik personal versus alam adalah konflik yang terjadi antara keberadaan
personal dan tekanan alam.
2. Konflik berdasarkan Sifat
Tipologi konflik dapat dilihat dari sifat gerak-dinamika konflik. Dari segi
dinamika , konflik berproses dari:
1). Adanya keyakinan bahwa setiap konflik mempunyai struktur tertentu, dan
struktur itu umumnya bersifat laten yang mempunyai karakteristik, sifat, atau
modus operandi yang relatif hampir sama dan berulang-ulang.
2). Konflik yang bersifat manifes, konflik laten yang menjadi konflik yang nyata
(manifes).
3). Kadang–kadang sifat konflik itu tidak laten juga tidak manifes. Melainkan
datang sebagai sebuah paristiwa yang luar biasa karena tidak ada catatan modus
operandi sebelumnya.
Ketiga sifat tersebut mendorong prilaku konflik dan setiap prilaku konflik
diselesaikan dengan manajemen konflik sesuai sifatnya. Hasil penyelesaian itu
dapat menjadi sumber informasi kepada kita tentang struktur sebuah konflik.
3. Konflik Berdasarkan Jenis Peristiwa dan Proses
Kita dapat membedakan konflik berdasarkan jenis peristiwa dan proses. Sebagai
1. Konflik biasa adalah konflik yang terjadi karena hanya karena adanya
kesalahfahaman akibat distorsi informasi. Melibatkan hubungan antarpersonal
yang sejawat, awalnya didorong oleh faktor emosi.
2. Konflik luar biasa adalah konflik yang tidak berstruktur karena sebelumnya
kita tidak mempunyai catatan mengenai modus operandinya.
3. Konflik Zero-Sum (game) adalah bentuk konflik yang hasilnya adalah satu
pihak menang dan pihak lain kalah (win-lose)
4. Konflik merusak adalah konflik yang dari proses sampai hasilnya merusak
sistem relasi sosial.
5. Konflik yang dapat dipecahkan adalah konflik subtantif karena dapat
dipecahkan melalui sebuah keputusan bersama.
Kita juga dapat membedakan konflik dari segi proses yang terdiri atas:
a. Konflik yang sedang terjadi.
b. Konflik dengan sifat khusus, yang modus operandinya tidak berstruktur
sehingga menampilkan proses yang berbeda dengan jenis konflik yang sama.
c. Konflik Produktif, yakni jenis konflik yang dapat diselesaikan dan hasilnya
akan mendorong peningkatan relasi dari dua belah pihak yang terlibat konflik.
d. Konflik yang dapat dikelola adalah konflik yang karena sifatnya dapat
dikelola bagi keuntungan dua belah pihak.
4. Konflik Berdasarkan Faktor Pendorong
Konflik terjadi karena berbagai faktor pendorong, yang secara psikologis
dilakukan karena para pelaku konflik merubah respon terhadap perubahan
stimulus. Misalkan, satu pihak merubah atau membuat klarifikasi baru berupa
yang memungkinkan kita menentukan tipe konflik berdasarkan (1)Konflik
Internal (2)konflik Eksternal (3)Konflik Realistik (4)Konflik Tidak Realistik.
4. Manajemen Konflik
John Burton dalam Conflict : Resolution and Provention (1990) menyebut konflik
bersumber dari basic human needs (kebutuhan dasar manusia). Setiap kepentingan
memiliki tujuan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar, baik yang tersedia secara
sosial maupun lingkungan alam. Semakin sederhana dimensi kebutuhan dasar yang
diperjuangkan oleh beberapa kepentingan berkonflik, proses pemecahan masalah bisa
lebih sederhana dan cepat tercapai. Kebutuhan terhadap kekayaan bisa berkembang
menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas sumber konflik
ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus diciptakan dan
dijalankan.
Strategi konflik pada prakteknya muncul dalam bentuk–bentuk prilaku tertentu. Pluit
dan Rubin mengkategorikan lima strategi konflik kelompok–kelompok kepentingan,
yaitu strategi contending (keras), withdrawing (menarik diri), yielding (menyerahkan
keputusan), compromy , dan problem solving (pemecahan masalah). Kelima strategi
tersebut digunakan oleh pihak–pihak yang berkonflik dalam kaitannya dengan usaha
pencapaian tujuan. Setiap strategi akan diterjemahkan dalam bentuk tindakan–
tindakan tertentu baik secara individual maupun kolektif.
Pertama strategi konflik contending dicirikan oleh penolakan terhadap aspirasi pihak
lain, dan semua proses penyelesaian konflik harus menguntungkan tujuan dalam
konflik. Akibat dari strategi konflik ini adalah munculnya komunitas dan praktek
kekerasan sehingga menyebabkan hubungan–hubungan ketegangan, ancaman, dan
saling meniadakan. Hubungan yang tercipta dalam konflik ini adalah zero-sum game
satu pihak dan kalah dipihak lain, atau keduanya kalah dan hancur. Kedua adalah
strategi konflik Withdrawing yang mana salah satu atau kedua belah pihak
mengundurkan diri atau mencabut semua tuntutan, dan hubungan konflik berhenti
tanpa resolusi apapun. Strategi ini bisa muncul ketika satu atau dua pihak merasa
eksistensi atau keselamatannya terancam. Ketiga strategi konflik Yielding, yaitu
tindakan menyerahkan apapun keputusan dan bentuk resolusi yang diberikan oleh
pihak lawan. Keempat strategi konflik compromy yang berarti masing–masing pihak
hanya mentargetkan memperoleh sebagian dari tuntutan mereka.
Proses mencapai pemecahan akar masalah dalam relasi konflik, menurut Johan
Galtung (2007) secara ideal perlu menggunakan transcend approach atau pendekatan
transidental yang berarti adanya kesadaran dan keahlian dalam pihak berkonflik
untuk menemukan bentuk tujuan baru yang bisa menguntungkan seluruh pihak.
Setiap strategi konflik akan muncul dalam bentuk tindakan individu maupun kolektif
yang bervariasi dan memiliki konsekwansi masing–masing. Konflik dapat
diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau bertentangan,
benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat, pergesekan,
perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang. Konflik menjadi fenomena yang
paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang
bersosial dan berpolitik dan pendorong dalam dinamika dan perubahan social politik
(Kornblurn, 2003;294).
Secara pendekatan Psikososial atas konflik, ada pendekatan yang akan digunakan
didalam penelitian ini yaitu pendekatan historis. Pendekatan Historis merupakan
pendekatan yang lebih mengandalkan catatan sejarah warisan suatu kelompok.
Setiap kelompok seolah–olah merasa bebas menginterpretasikan diri sebagai yang
status dan peran dalam bidang sosial politik dan ekonomi. Akibatnya, kelompok
superior menciptakan kondisi untuk mendominasi status dan peran dan menjadikan
kelompok lain secara inferior. seperti ditunjukkan oleh penelitian Lohman dan
Reitzes (1951).
5. Tahap Konflik
Analisis dasar tahapan konflik ada lima tahap, yang umumnya disajikan secara
berurutan. Tahapan ini adalah:
1. Prakonflik
Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidak sesuaian sasaran diantara
dua belah pihak atau lebih, sehingga timbullah sebuah konflik. Konflik
tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mengetahui
potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara
beberapa pihak atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada
tahap ini.
2. Konfrotasi
Pada tahap ini konflik terjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang
merasa ada masalah. Mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi
demonstrasi atau prilaku konfrontatif. Pertikayan atau kekerasan pada tingkat
rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak. Masing–masing pihak
mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu dengan
harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara
kedua belah pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi antara para
pendukung dimasing–masing pihak.
Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling
hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika kedua
belah pihak jatuh korban dan saling membunuh. Komunikasi normal diantara
kedua belah pihak kemungkinan terputus. Pernyataan–pernyataan umum
cenderung menuduh dan menentang pihak–pihak lainnya.
4. Akibat
Suatu konflik pasti akan meninggalkan akibat. Satu pihak mungkin
menakhlukan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata. Satu pihak
mungkin menyarah dengan sendirinya, atau menyerah atas desakan pihak lain.
Keduabelah pihak mungkin setuju untuk bernegosiasi dengan atau tanpa
perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang
mungkin lebih berkuasa memaksa duabelah pihak untuk menghentikan
pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan
pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
5. Pasca konflik
Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai macam konfrontasi
kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah pada situasi normal
diantara kedua belah pihak. Namun isu–isu dan masalah–masalah yang timbul
karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap
ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
6. Akar Kekerasan konflik
Ada dua perspektif teoritis yang menjelaskan kekerasan dalam konflik. Pertama
adalah prilaku kekerasan menjadi bagian dari pola hubungan–hubungan konflik dari
masyarakat yang rentan konflik seperti masyarakat indonesia. Masyarakat rentan
masyarakat pada berbagai kelompok identitas. Kondisi social ini akan muncul dalam
bentuk reciprocal antagonisem (permusuhan timbal balik), (Coser, 1957) dan
coercive behavior (prilaku kekerasan), (Bartos dan Weher, 2003) takkala masing–
masing kelompok harus saling bersaing untuk meraih sumberdaya yang terbatas.
Kekerasan menjadi prilaku kolektif dengan mengikuti pola dan karakter modal sosial
(social capital) (Putnam, 2000) atau sumber konflik (conflict resource) (Bartos dan
Weher, 2003) yang menjadi mesin pergerakan sosial dan mobilisasi massa. Kedua
adalah lemahnya pelembagaan tatakelola konflik dalam masyarakat yang
berkompetisi memperebutkan sumber–sumber daya terbatas.
Pelacakan prilaku kekerasa dalam konflik–konflik secara teoritis bisa dilacak secara
teoritis melalui teori akar kekerasan (Rule, 1988), tindakan konflik dari John Bartos
dan Paul Wehr (2003), dan modal sosial (Putnam 2000; Bourdieu; 1991).
Selanjutnya bagaimana kwalitas pelembagaan tatakelola konflik produktif melalui
teori John Burton (1998), pendekatan transendental dari Johan Galtung (2004). Rule
memilah akar prilaku kekerasan menjadi dua, yaitu kekerasan sebagai kalkulasi
rasional dan kekerasan irasional. Menurutnya kekerasan sebagai kalkulasi rasional
merupakan bagian dari upaya manusia mencapai tujuan. Dengan mengutib Thomas
Hobbes, Rule menjelaskan bahwa manusia menyadari dunia adalah tempat yang
penuh dengan persaingan dari berbagai manusia yang memperjuangkan tujuan
masing–masing. Hobbes menggunakan istilah lain (homo homini lupus) (Rule,1988).
Sedangkan kekerasan sebagai produk irasional adalah kondisi tercerabutnya prilaku
dari tatanan normatif yang sering terjadi dalam situasi kerumunan. Situasi
kerumunan melahirkan mentalitas kerumunan (crowd mentality) yang mendorong
para individu di dalamnya berprilaku liar tanpa terkendali, dan merebabnya isu–isu
Menurut Bardos dan Wehr tindakan koersif adalah tindakan sosial yang memaksa
pihak lawan untuk melakukan sesuatu. Terdapat dua dimensi tindakan koersif, yaitu
actual coercion (koersi nyata) dan threat coercion (koersi ancaman). Koersi nyata
adalah tindakan melukai ataupun menghancurkan lawan. Tindakan ini bisa muncul
pula dalam bentuk kekerasan psikologis yang menghasilkan luka simbolis (symbolic
injury). Tujuan utama dari koersi nyata adalah menghilangkan kapasitas pihak lawan
untuk melanjutkan konflik. Sedangkan koersi ancaman bertujuan menekan agar
lawan menurunkan keinginan mencapai tujuan pada tingkat tertentu. Bentuk koersi
ini muncul dalam bentuk intimidasi dan negosiasi sekaligus. Non coercive action
adalah upaya mencari jalan keluar dan pemecahan masalah konflik, Bartos dan
Wehr, 2003. (Susan Novri, 2012;24).
7. Kerangka Teori Konflik
Dahrendorf melihat konflik pada dasarnya memiliki dua makna. Pertama, konflik
adalah konsekuensi atau akibat dari tidak tuntasnya proses integrasi di dalam suatu
masyarakat. Dalam konteks kegagalan integrasi seperti ini, konflik menjadi sebuah
gejala penyakit (syndrom) yang dapat merusak persatuan dan kesatuan suatu
masyarakat dalam sebuah bangsa. Kedua, konflik dapat pula dipahami sebagai
sebuah proses alamiah dalam rangka proyek rekonstruksi sosial. Dalam konteks ini
konflik dilihat secara “fungsional” sebagai suatu strategi untuk menghilangkan
unsur-unsur disintegratif di dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara
sempurna. Konflik dalam perspektif ini diyakini sebagai sebuah media yang bila
terselesaikan dengan baik, justru akan memperkuat proses integrasi dalam
Melalui teori dari Dahrendorf dapat dipelajari bahwa konflik dapat dilihat dari dua
kacamata berbeda positif dan negatif. Kedua tipe ini meliputi konflik positif dan
konflik negatif. Yang dimaksud dengan Konflik Positif ialah Konflik yang tidak
mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme
penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang
dimaksud adalah lembaga–lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan–badan
perwakilan rakwat, pengadilan, pemerintahan, pers, dan forum–forum terbuka yang
lain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat
melalui lembaga–lembaga itu merupakan contoh konflik positif. Sebaliknya Konflik
Negatif ialah Konflik yang mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya
disalurkan melalui cara–cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme,
terorisme, dan revolusi.
Menurut Taquiri, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku
dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,
kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris, terjadi hanya satu pihak yang
sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif
(Robbins, 1993; Mengelola Konflik).
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,
pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249. Manajemen Konflik).
Konflik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan
karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai atau
kebutuhan. Sering kali konflik dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua
atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran–
sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, perbuatan, yang tidak sejalan.
Bentuk pertentangan alamiah dihasilkan oleh individu atau kelompok etnik, baik
interaetnik maupun antaretnik, yang memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan,
nilai–nilai atau kebutuhan (Alo Liliweri, 2005;146).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu
konflik bersifat positif ataukah negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok
yang sedang terlibat dalam konflik. Dalam hal ini yang menjadi patokan positif atau
negatif sebuah konflik adalah respon masyarakat terhadap sistem yang berlaku, hal
ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat terhadap salah satu kelompok yang
berkonflik.
B. Politisasi dalam Konflik Balinuraga
Penulis menjelaskan konsepsi tentang politisasi. Praktek politis dalam konflik Balinuraga
tidak ada urgensinya apabila dijadikan tujuan akhir untuk kekuasaan kepentingan yang
tidak memihak rakyat. Politisasi adalah praktek politik yang menjadikan isu tertentu
sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kasus Balinuraga, isu tersebut
adalah sebuah konflik. Tujuan dari politisasi beranekaragam bentuknya, dari untuk
mendapatkan kekuasaan, mendapatkan kedudukan, mendapatkan sipati masyarakat,
sampai mendapatkan sebuah pengakuan. Dalam politisasi, sebuah fenomena bukanlah
merupakan suatu tujuan, melainkan sebuah fenomena adalah alat untuk mencapai sebuah
tujuan. Dalam hal ini fenomena tersebut adalah sebuah konflik yang terjadi di Desa
Konflik seringkali dikaitkan dengan kegiatan politik. Politisasi adalah sebuah cara
berfikir yang menjadikan peristiwa sebagai alat mencapai tujuan tertentu dan menjadikan
sebuah tujuan adalah sebuah hasil akhir. Tiap-tiap kelompok kepentingan diasumsikan
mempunyai tujuan yang berbeda-beda dan mempunyai cara untuk mendapatkan tujuan
yang berbeda pula. Tiap kelompok berpikir bahwa cara fikir dan tindak kelompoknya
adalah yang paling benar.
Politisasi juga dapat terjadi di dalam kelompok itu sendiri, pemimpin kelompok
menanamkan sifat antipati terhadap kelompok lain (antipathy toward outgroups),
kompensasi-kompensasi yang nyata (tangible rewards) dan manipulasi para pemimpin
kelompok yang berkonflik “Leader manipulation” ditandai oleh adanya pemimpin yang
seringkali melihat manfaat bagi diri sendiri atas sebuah konflik yang terjadi. Oleh
karenanya ia berusaha meningkatkan provokasi melalui eksploitasi rasa takut dan benci
terhadap kelompok lain (Pace & Faules, 1994:249. Manajemen Konflik).
Politisasi mengandung perilaku positif terhadap kelompoknya sendiri (ingroup) dan
perilaku atau penyikapan negatif terhadap kelompok lain (outgroups). Politisasi yang
bersifat positif dalam sebuah peristiwa dimaknai sebagai cara untuk mendapatkan tujuan
bersama, bukan hanya mencapai sebuah tujuan pribadi atau kelompok saja, melainkan
tujuan semua stageholder yang ada didalam peristiwa tersebut. Politisasi ditandai dengan
adanya suatu pemanfaatan oleh kelompok (ingroup) terhadap sebuah peristiwa.
Menurut Paul Wehr (2003) kompleksitas sumber konflik dapat mendorong kelompok–
kelompok kepentingan melakukan mobilisasi pemanfaatan sumber daya konflik dengan
kata lain mempolitisasi sebuah konflik. Sumber daya konflik merupakan modal–modal
yang dimiliki oleh satu kelompok kepentingan untuk mencapai suatu tujuan dalam relasi
dalam bentuk startegi konflik (conflict strategy) untuk menciptakan proses–proses dan
hasil yang menguntungkan satu kelompok kepentingan (Susan Novri, 2012;20).
Menurut Jacques Bertrand (2004), ada sekurangnya tiga pendekatan yang dapat
menjelaskan mengapa konflik seringkali menjadi saluran bagi arus politik dan
perjuangan kelompok atau individu dalam mencapai sebuah tujuan. Pendekatan
“konstruktivis” menekankan pada konteks historis dan sosial yang membentuk,
mengubah dan menegaskan batasan-batasan konflik dan akar-akar konflik. Pendekatan
“instrumentalis” fokus pada peran elit dalam memobilisasi kpentingan-kepentingan di
dalam kelompoknya. Pemimpin dan para aktor politik memakai kedekatan emosional
dalam kelompok untuk memobilisasi dukungan massa dalam usahanya bersaing dalam
memperebutkan kekuasaan, sumber daya dan kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.
Pendekatan “primordialis” menekankan pada warisan dalam keterikatan kelompok
berupa ketentuan yang tidak bisa berubah, nasib, dalam batasan-batasan sosial.
Kelompok-kelompok kepentingan menurut primordialis, secara inheren memang rawan
terhadap beragam bentuk kekerasan terhadap kelompok yang berbeda, dan rawan
menciptakan sebuah gesekan–gesekan yang berujung terjadinya konflik, hal itu sebagai
sesuatu yang dapat dipolitisasi oleh segelintir orang ataupun kelompok. Politisasi
dimaknai sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, bukan ditoleransi. Politisasi muncul
ketika melihat sebuah peristiwa atau sebuah isu yang berpotensi menimbulkan
keuntungan untuk individu atau kelompoknya.
Banyak terdapat aktor–aktor politik yang berani untuk mempolitisasi sebuah kejadian
agar dapat mengambil keuntungan dari hal tersebut. Dalam hal konflik balinuraga,
politisasi dijadikan alat untuk menambah tingkat intensitas faktor akselerator konflik
elite politik dalam sharing of power. Yang menjadi kursial untuk terus dipertanyakan
apakah aktor politik tadi benar–benar dipihak rakyat, atau hanya sekedar berpura–pura
untuk memenuhi kebutuhan politik untuk spekulasi dukungan saja, karena biasanya para
elit politik akan mengambil keuntungan dari terjadinya konflik itu sendiri.
Dalam konteks kepentingan politis untuk kepentingan pribadi atau merebut kekuasaan,
manufer–manufer memang sering dilakukan dengan memanfaatkan situasi yang sedang
terjadi, dalam hal ini adalah sebuah konflik yang terjadi di Balinuraga. Dengan adanya
konflik, aktor-aktor konflik termasuk para elit politik dapat mengambil keuntungan
dengan mempolitisasi sebuah konflik adalah sebuah tranformasi perilaku yang dapat
dijadikan penelitian, berawal dari konsepsi tadi maka akan memberikan nilai tersendiri
bagi para politisi karena suasana pertarungan politik dibangun atas dasar politisasi.
Pilihan yang diberikan kepada rakyat, tidak atas dasar sentimen dan diskriminasi
simbol–simbol semata tetapi dukungan yang diberikan karena kemunculan sosok politisi
yang diuntungkan yang dapat diterima oleh masyarakat manapun disebabkan oleh
kehandalannya menyelesaikan konflik, sikap para elit politik dan komitmennya untuk
terus membela rakyat dan bukan karena kepentingan yang melekat pada dirinya namun
karena adanya politisasi untuk mengambil keuntungan semata.
Politisasi menjadi ajang bagi para aktor politik untuk menciptakan sebuah penilaian
yang baik di dalam masyarakat. Proses politisasi didalam konflik tidak terlepas dari para
aktor–aktor yang terdapat daidalam konflik. Aktor-aktor konflik yang terdapat dalam
konflik dapat berasal dari kelompok yang berkonflik atau berasal dari luar kelompok
yang berkonflik. Aktor-aktor konflik yang berasal dari luar kelompok yang berkonflik
menjalankan politisasi tersebut. Kepentingan–kepentingan itulah yang melatarbelakangi
politisasi terjadi.
Politisasi dapat dilihat dari waktu terjadinya dalam sebuah konflik. Bilamana politisasi
terjadi sebelum terjadi konflik dan mengkibatkan konflik tersebut terjadi maka konflik
yang terjadi dapat dikatakan karena adanya politisasi atau dilatarbelakangi sebuah
politisasi. Namun jika politisasi dilihat setelah konflik terjadi dan mengakibatkan konflik
menjadi sedemikian besar maka politisasi bukan merupakan suatu latarbelakang dari
konflik yang terjadi.
Pemanfaatkan konflik dapat beragam tujuan dari yang untuk mencari nama baik dan
untuk pencitraan dalam kepentingan politiknya sampai dengan untuk mengambil sebuah
kekuasaan. Dalam fenomena konflik, konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam
bermasyarakat dan bernegara. Intensitas sebuah konflik didasarkan oleh faktor–faktor
yang mempengaruhi sebuah konflik. Konflik dapat berkembang menjadi besar apabila
sebuah konflik tidak dikelola dengan sebaik–baiknya dan ditunggangi oleh orang atau
kelompok yang ingin mengambil keuntungan. Konflik akan berujung pada tindak
kekerasan apabila terdapat aktor–aktor yang terlibat dalam konflik tersebut dan
mengambil keuntungan dengan adanya konflik tersebut.
Salah satu dimensi penting proses politisasi ialah penyelesaian konflik yang melibatkan
pemerintah. Dalam proses ini rentan adanya adu kepentingan antar aktor politik yang ada
dibelakang konflik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Proses “penyelesaian”
konflik yang tak bersifat kekerasan dibagi menjadi tiga tahap. Adapun ketiga tahapan ini
meliputi tahap politisasi atau koalisi, tahap pembuatan keputusan, dan tahap pelaksanaan
dan integrasi. Apabila dalam masyarakat terdapat konflik di antara dua kelompok
motifasi yang mendorong maka masing-masing pihak akan berupaya merumuskan dan
mengajukan ide-ide dan pokok pemikirannya agar diketahui dan dibenarkan oleh pihak
ketiga, yaitu masyarakat. Satu kebiasaan khas dalam suatu konflik adalah memberikan
prioritas yang tinggi guna mempertahankan pihaknya sendiri terutama dalam
kepentingan politik. Jika kepentingan lain bertentangan dengan kepentingan pihaknya,
maka akan cenderung mengabaikan kepentingan pihak lain tersebut.
Dalam konflik yang terjadi di Balinuraga, etnis , kelompok kepentingan, dan konflik itu
sendiri dijadikan oleh segelintir orang atau kelompok untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya. Hal ini terlihat dari konflik yang terjadi sangat cepat menyebar dan
meluas, dan juga intensitas konflik cepat sekali membesar dan sampai memakan korban
nyawa. Kemasan politik dengan masih menggunakan simbol–simbol kelompok tidak
harus dipertahankan, karena kultur ini akan segera ditinggalkan seiring dengan
peningkatan kapasitas masyarakat yang menjadi pintar. Propaganda kelompok
sewajarnya ditinggalkan karena pada akhirnya dapat dijadikan politisasi oleh para aktor
politik agar konflik tersebut memberikan keuntungan kepada dirinya pribadi. Para warga
yang berasal dari kelompok sama merasa konflik sudah dipolitisasi. Konflik tidak akan
secara langsung dapat ditunggangi oleh aktor politik yang akan mengambil keuntungan
dengan terjadinya konflik tersebut. Konflik tentu saja tidak diperbolehkan ditunggangi
oleh aktor politik atau para elit politik dalam merebut kekuasaan. Demikian juga
seharusnya dengan para pemimpin yang sedang berkuasa manapun juga yang
Bagan kerangka pikir :
Konflik Balinuraga
Politisasi dalam
Konflik
Kerangka Teori
Konflik
Aktor Konflik
Peran Aktor
Latar Belakang
Konflik Proses Penyebab
Konflik
Faktor Konflik
III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Basrowi (2008:15), penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang
dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis artinya sesuai
dengan metode tertentu, sistematis artinya berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti
tidak ada hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Tipe penelitian yang
digunakan adalah tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan secara terperinci bagaimana fenomena sosial
tertentu.
Menurut Mohammad Nazir (2008:63) yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis,
faktual, tajam dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
yang sedang diteliti.
Menurut Suwandi (2008:17), tipe penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang
digunakan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi pada masa sekarang,
dilakukan dengan langkah-langkah pengumpulan data, membuat klasifikasi data dan
analisa atau pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama
untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam suatu
Hadari Nawawi (2011:63-64) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah metode
yang digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menjawab pertanyaan yang ada
dilapangan dengan menggunakan teori-teori, konsep-konsep, dan data hasil penelitian
yang diperoleh dari lapangan. Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka tipe penelitian
deskriptif adalah tipe penelitian untuk menggambarkan tentang suatu keadaan secara
obyektif terhadap situasi dalam hal ini yaitu karakteristik dalam suatu deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang akan diteliti.
Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan ciri-ciri dari penelitian
deskriptif yang biasanya mempunyai dua tujuan yaitu:
1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu
aspek fenomena sosial tertentu.
2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu.
Penelitian deskripsi ini akan membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena
tertentu dengan mengambil studi komparatif atau dengan mengukur suatu dimensi
penelitian seperti dalam berbagai penelitian kualitatif, atau mengadakan penelitian
ataupun standar (normatif), menentukan hubungan kedudukan (status) satu unsur dengan
unsur lainnya.
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif pasca prilaku. Penelitian jenis ini
dimaksudkan sebagai suatu cara yang tidak menggunakan prosedur statistik atau dengan
menggunakan alat kuantifikasi yang lain, melainkan melakukan pengamatan fenomena
data dan informasi. Penelitian kualitatif menunjuk pada suatu penelitian tentang
kehidupan seseorang, sejarah, perilaku aktor, proses dan juga tentang fungsi organisasi,
gerakan sosial atau hubungan interaksi untuk mencari makna. Karenanya, penelitian ini
dimaksudkan untuk menentukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh gambaran
(deskripsi) tentang politisasi yang terjadi dalam konflik Balinuraga Kecamatan Way Panji
Kabupaten Lampung Selatan.
Penelitian ini berbentuk studi kasus, karena peneliti berusaha mengumpulkan sejumlah
informasi hanya pada kasus tertentu secara mendalam (insight) dan menyeluruh (whole)
terhadap suatu lembaga atau fenomena tertentu. Penelitian jenis ini berupaya mencari
kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam, bukan banyaknya individu
dan juga bukan rerata yang menjadi dasar penarikan kesimpulan, melainkan dimaksudkan
untuk menemukan kecenderungan, pola, arah, interaksi banyak faktor, dan hal lain yang
memacu atau menghambat perubahan yang dapat digunakan untuk membuat
perkiraan-perkiraan perkembangan masa depan. Penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif ini
karena sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu menuturkan dan mendefinisikan data
tentang Konflik yang terjadi di Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji kabupaten
Lampung Selatan.
Peneleti dalam menggali informasi menggunakan metode Teori Analisi Wacana Kritis.
Analisis wacana yang dimaksudkan dalam penelitian ini, adalah sebagai upaya
pengungkapan maksud tersembunyi dari objek(informan) yang mengemukakan suatu
pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi informan,
dengan mengikuti struktur makna dari informasi yang diberikan informan, sehingga
bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui.
Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan
Wacana menurut pandangan Foucoult tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau
proposisi dalam teks , tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan,
konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,
konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Dalam sebuah wacana terdapat
pernyataan (proposisi) yang bertujuan untuk menyatakan sesuatu (arti atau makna), akan
tetapi juga mengatakan sesuatu tentang sesuatu (referensi). Referensi inilah yang
memperluas dimensi makna bahasa dan memengaruhi sistem sosial budaya sampai
pikiran manusia. Oleh sebab itulah, maka wacana harus dilihat dalam satu kesatuan yang
utuh.
Dalam menentukan kebenaran, bagi Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang
datang begitu saja (konsep yang abstrak). Kebenaran menurut Foucault diproduksi oleh
setiap kekuasaan. “ Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan
secara langsung saling mempengaruhi tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada
konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya” (Michel Foucault, 1979;27).
C. Lokasi dan Waktu
Peneliti menetapkan lokasi penelitian pada Desa Balinuraga dan Desa Agom, penulis juga
akan melakukan penelitian pada kecamatan Way Panji. Waktu penelitian akan dilakukan
pada hari dan jam kerja warga kedua desa agar dapat memperoleh data dan informasi
yang tepat dan akurat.
D. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu apa yang menjadi sasaran penelitian
dalam penelitiannya. Fokus penelitian merupakan hal yang penting jika kita melakukan
sebuah penelitian yang bersifat kualitatif. Melalui fokus penelitian, diharapkan dapat
mengarahkan suatu penelitian. Tanpa adanya fokus penelitian, maka seorang peneliti akan
mudah terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan.
Sesuai dengan teori di atas fokus penelitian pada penelitian ini adalah:
1. Penulis ingin mengetahui adakah politisasi dalam konflik Balinuraga Kecamata Way
Panji Kabupaten Lampung Selatan,
2. Mengetahui adakah aktor–aktor politik dalam konflik yang memanfaatkan konflik dan
bagaimana peran aktor–aktor politik dalam konflik yang terjadi di Desa Balinuraga
E. Sumber Data
Proses pengumpulan data atau informasi dilakukan secara purposive sampling, dimana
informan yang dipilih adalah yang memiliki data dan informasi guna memahami secara
utuh tentang Konflik yang terjadi. Klasifikasi jenis informan terdiri dari:
1. Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Pemerintahan Desa Balinuraga dan Desa
Agom, dan Pemerintah Kecamatan Way Panji.
a. Kepala Desa Balinuraga, Bapak Ketut Wardane.
b. Kepala Desa Agom, Bapak Muchsin Syukur.
c. Pemerintah Kecamatan Way Panji, Kepala Urusan Pemerintahan Kecamatan Way
Panji Bapak Mujiharto yang sekarang menjabat PJS Kepala Desa Balinuraga.
2. Pihak petinggi adat, tokoh–tokoh masyarakat dan tokoh–tokoh adat yang beresal dari
kedua Desa.
a. Tokoh Masyarakat Desa Balinuraga, Bapak Wayan Sudiartana.
b. Tokoh pemuda Desa Balinuraga, Bli Gede Wydiastike.
c. Tokoh Adat Desa Balinuraga, Bapak Wayan Gambar.
d. Tokoh Adat Lampung, Raden Permata. Beliau adalah pengurus MPAL