• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

WIRA KURNIAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

POLITICIZATION CONFLICT IN DISTRICT VILLAGE WAY BALINURAGA PANJI SOUTH LAMPUNG REGENCY

by

Wira Kurniawan

Conflict is instability , disharmony and insecurity in certain people who make life uncomfortable. Conflict broke out in South Lampung regency. Conflict involving two village , between the village of Desa Balinuraga Agom. Conflict triggered by accident lalaulintas between village youth Balinuraga with two girls Agom village . In the event of an accident arises issue of sexual abuse committed Balinuraga village youth. With the onset of sexual harassment has been the politicization of utilization indicate conflict by irresponsible parties. Politicization is the mobilization of resource use conflicts that do interest groups to achieve goals.

The purpose of this study was to determine the political actors who exploit the conflict, and the politicization of the conflict Balinuraga South Lampung regency . The method used is descriptive qualitative, with a set of government affairs chief informant Way Panji district, village government and village Balinuraga Agom, the customs officials, community leaders, two communities, political actors, practitioners and South Lampung regency political observer, journalist and the press.

(3)

antipathy toward other groups , and to post information that is not correct . In goal there politicization actors politicize Balinuraga conflict . The purpose of political actors and political elite fighting occurred in the realm of a notch, showing exsistensi, getting a recognition, demonstrate the superiority, up to gain power.

(4)

ABSTRAK

POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

Wira Kurniawan

Konflik adalah ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan dibidang tertentu yang membuat masyarakat hidup tidak nyaman. Konflik kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Konflik melibatkan dua Desa, antar Desa Balinuraga dengan Desa Agom. Konflik dipicu oleh kejadian kecelakaan lalaulintas antara pemuda Desa Balinuraga dengan dua gadis Desa Agom. Dalam kejadian kecelakaan timbullah isu pelecehan seksual yang dilakukan pemuda Desa Balinuraga. Dengan timbulnya pelecehan seksual menandakan telah terjadinya politisasi pemanfaatan konflik oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Politisasi adalah mobilisasi pemanfaatan sumberdaya konflik yang dilakukan kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktor politik yang memanfaatkan terjadinya konflik, serta politisasi dalam konflik Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan menetapkan informan adalah Kepala urusan pemerintahan Kecamatan Way Panji, Pemerintahan Desa Balinuraga dan Desa Agom, pihak petinggi adat, tokoh–tokoh masyarakat, Masyarakat kedua desa, aktor politik, praktisi dan pengamat politik Kabupaten Lampung Selatan, wartawan dan pers.

(5)

dan berkembangnya konflik serta sulit atau mudahnya konflik diselesaikan dikarenakan ada yang mempengaruhi. Peran aktor-aktor yang terlibat dalam konflik adalah menciptakan dan menyebarkan isu pelecehan seksual, memobilisasi masa, memprovokasi masa, menanamkan sikap antipati terhadap kelompok lain, dan memberitakan informasi yang tidak benar. Dalam politisasi terdapat tujuan aktor-aktor yang mempolitisasi konflik Balinuraga. Tujuan aktor politik dan elit politik terjadi dalam ranah memperebutkan sebuah kedudukan, memperlihatkan exsistensi, mendapatkan sebuah pengakuan, menunjukkan superioritas, sampai untuk mendapatkan kekuasaan.

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

BAB IV. KRONOLOGI KONFLIK DESA BALINURAGA

A. Kronologi Konflik versi Masyarakat Agom ... 42

B. Kronologi Konflik versi Masyarakat Balinuraga ... 45

C. Kronologi Konflik versi Pemerintah ... 50

D. Kronologi Konflik Balinuraga ... 54

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Konflik ... 60

1.Dendam sebagai Faktor Utama Penyebab Konflik ... 61

2.Faktor lain Penyebab Konflik ... 69

B. Politisasi Dalam Konflik Balinuraga ... 73

1.Pemuda, peran pemuda, dan tujuan pemuda dalam konflik ... 73

2.Elite Politik, peran elit politik, dan tujuan elit politik dalam politisasi ... 79

3.Masyarakat, peran masyarakat, dan tujuan masyarakat dalam konflik ... 89

4.Peran dan Tujuan Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat dalam Politisasi Konflik ... 98

5. Media, peran media, dan tujuan media dalam konflik ... 109

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 117

B. Saran ... 119

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam masyarakat. Latar

belakang konflik ialah awal mula penyebab sebuah gesekan–gesekan yang melahirkan

sebuah ketidakesesuaian dan berkembang menjadi sebuah konflik. Latarbelakang sebuah

konflik melahirkan intensitas konflik yang juga berbeda. Latar belakang konflik adalah

suber seberapa besarkah konflik yang akan muncul, bisa kecil, sedang, dan besar. Dari

prariset yang telah dilakukan dan atas dasar hasil wawancara yang telah dikumpulkan

dari sumbar-sumber warga kedua Desa dan dari pihak pemerintahan Desa maka

diketahui bahwa konflik di Desa Balinuraga ini dipicu dugaan pelecehan seks yang

menimpa dua gadis remaja yang dilakukan oleh pemuda dari Desa Balinuraga. Akibat

dari pelecehan yang dialami oleh dua gadis yang berasal dari Desa Agom tersebut

terjadilah bentrok. Kronologi kejadian amuk massa itu berawal Sabtu malam saat dua

gadis remaja dari Desa Agom yang melintas di Desa Balinuraga, jatuh dari motor. Kedua

gadis ini diisukan mengalami pelecehan dengan cara dicolek-colek tubuhnya. Warga

yang terdiri dari sejumlah Desa dan berasal dari seluruh Kecamatan yang ada di

Lampung Selatan datang untuk menyerang Desa Balinuraga. Masa tidak hanya etnis

Lampung namun terdiri dari etnis lain yang pernah berkonflik dengan warga Desa

(12)

sejak pagi melakukan serangan terhadap Desa Balinuraga. Sejumlah rumah warga

hangus dibakar massa. Massa melampiaskan emosi dengan merusak dan membakar apa

saja yang mereka temui. Desa balinuraga saat itu sudah ditinggalkan penghuninya

menyelamatkan diri. Hampir semua rumah rata dengan tanah dilalap api. Massa yang

membawa senjata tajam dari mulai parang, pedang, golok, clurit, bahkan senapan angin

itu, tidak mampu dibendung anggota keamanan yang jumlahnya kalah banyak dibanding

jumlah massa. Bahkan massa juga memblokir jalur lintas tengah Sumatera di antara dua

Desa tersebut sehingga membuat lalu lintas macet total.

Munculnya berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan

tingkat kekhawatiran bahwa potensi terjadinya konflik sangat besar. Kasus di Lampung

Selatan, tepatnya di wilayah Kecamatan Way Panji Desa Balinuraga. Dalam kasus ini,

soal pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu konflik, yang telah menelan belasan

korban jiwa dan menyebabkan perpecahan kedamaian masyarakat, sebenarnya hanyalah

puncak dari gunung es. Sebelum kasus konflik Balinuraga sudah banyak terjadi konflik–

konflik di Lampung Selatan yang melibatkan warga etnis Bali dengan etnis–etnis lainnya

pada Desa yang berbeda. Pada bulan Januari 2012 terjadi konflik di Kecamatan

Sidomulyo, konflik tersebut dipicu hal sepele, yaitu perebutan lahan parkir yang

melibatkan etnis Bali dari Desa Napal dan Etnis Lampung dari Desa Kotadalam.

Sebelumnya juga terjadi konflik antara warga masyarakat Kabupaten Lampung Selatan

dengan pihak pemerintah masalah pendirian patung Zainal Abidin Pagaralam yang

menyebabkan patung yang telah berdiri dan diresmikan tersebut dihancurkan dan

dirobohkan.

Pada awal kasus di awal tahun 2012 sebenarnya masalah yang menyebabkan perpecahan

(13)

Balinuraga dan suku lampung ini redam, Bupati malah membuat emosi warganya dengan

perkataannya. Namun masalah ini akhirnya dapat diatasi secara kekeluargaan setelah

Bupati minta maaf kepada warga, masalah emosional sedikit terlupakan. Bentrok

kembali pecah, kali ini terjadi antara desa Balinuraga dengan desa Agom Kecamatan

Way Panji Kabupaten Lampung Selatan, terdapat 14 korban jiwa dari kedua pihak.

Hingga ratusan jiwa harus mengungsi. Banyak anak-anak yang tak bisa sekolah karena

masalah ini.

Konflik Lampung Selatan menyangkut sejarah sosiologis menyebabkan terjadinya proses

traumatik konflik, sehingga memunculkan perubahan struktur sosial. Perubahan itu salah

satunya kemudian menyebabkan gesekan antara warga asli dengan pendatang

(transmigran). Konflik berupa bentrokan antarwarga di Lampung Selatan menyangkut

faktor sejarah dan sosiologis terkait dengan politik pada zaman Hindia Belanda tentang

program irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Menanggapi konflik antarwarga di Lampung

Selatan belum lama ini, bentrokan antarwarga tersebut merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya, dan kembali terulang. Konflik itu tidak

hanya melibatkan Desa-desa yang ada di Lampung Selatan, tetapi juga memiliki akar

persoalan yang lebih dalam. Beberapa konflik yang sempat terjadi sebelumnya itu di

antaranya terkait dengan persoalan transmigrasi. Konflik Balinuraga tersebut merupakan

kasus yang berulang dan lebih dalam lagi akar-akar persoalannya. Dalam konflik

Balinuraga faktor perbedaan etnis Bali sangatlah ditonjolkan, karena dari sejarah etnis

Bali di Balinuraga memiliki permasalahan dengan etnis–etnis lain dan Desa–desa yang

ada disekitarnya, kebetulan kasusnya dipicu persoalan perempuan kemudian membesar

(14)

Bentrok pemuda meluas menjadi Bentrok warga antardesa yang menjadi memanas dan

sampai memakan korban jiwa serta harta benda yang terjadi kembali. Awal sebab

munculnya konflik sosial dilihat dari kategori aktor yang terlibat, juga dapat dimulai dari

konflik antarindividu, selain karena perebutan sumberdaya juga karena tindakan kriminal

dan ketersinggungan. Konflik antarindividu, tindakan kriminal, dan keributan

antarpemuda dapat menjadi pemicu berkembangnya konflik antarkelompok. Dalam

konflik antara warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom ada pihak–pihak yang hendak

mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi. Dengan adanya isu pelecehan seksual

yang terjadi, maka terdapat pihak–pihak yang menjadikan konflik sebagai alat untuk

mencapai tujuan. Pihak–pihak tersebut ingin menggunakan konflik Balinuraga untuk

mencapai tujuan pribadi ataupun kelompok tertentu yang ingin dicapai.

Menurut pendapat Hartoyo dalam buku “Merajut Jurnalisme Damai di Lampung”

Muncul dan berkembangnya konflik serta sulit atau mudahnya konflik diselesaikan juga

diduga ada yang dipengaruhi oleh campur tangan pihak lain yang ingin mengambil

keuntungan dari konflik tersebut. Mereka ini biasa dikatakan pihak–pihak yang suka

“memancing ikan di air keruh” (free riders), bahkan keberadaannya tidak terbatas.

Artinya, bisa berasal dari anggota kelompok itu sendiri atau dari luar, bisa berada

bersama pihak–pihak berkonflik dan bisa juga berada pada pihak yang ikut

menyelesaikan konflik. (Budi Santoro Budiman, 2012;40)

Menurut H.S Tisnanta, dalam buku “Merajut Jurnalisme Damai di Lampung” peta

konflik pertikaian warga antardesa di Lampung Selatan sangatlah besar, dari konflik di

Kecamatan Sidomulyo Januari 2012, dan yang terbaru konflik terjadi di Balinuraga.

Perdamaian yang dilakukan hanya bersifat elitis dan tidak pernah menyentuh akar

(15)

yang datang saat konflik berasal dari berbagai penjuru daerah di Provinsi Lampung.

Puluhan truk dan alat transformasi yang membawa massa datang ke lokasi kerusuhan.

Tercatat antara lain dari Way Kanan, Lampung Utara, Lampung Timur, Lampung

Tengah, Tanggamus, Bandar lampung dan lain–lain. Datangnya bantuan tersebut

dikarenakan ajakan bergabung melalui pesan singkat (SMS), melaluin BBM, dan melalui

jejaring sosial, sehingga gerakan massa menjadi masif. Dari beberapa analogi di atas,

timbul dasar logika yang paling sederhana, mengapa mobilisasi massa tersebut tidak

dicegah? Siapa yang menggerakkan? Siapa yang memfasilitasi pergerakan massa

tersebut? Hal ini patut dipertanyakan kerena masyarakat desa Agom dan sekitarnya

jumlah massa tidak akan sebanyak massa tersebut. Disisi lain, Bupati Lampung Selatan

Rycko Mendoza SZP juga berkonflik dengan masyarakat adat Lampung serta lawan–

lawan politiknya. Konflik tersebut berpengaruh pada kewibawaan dan legitimasinya

sebagai pemimpin. (Budi Santoro Budiman, 2012;63-64)

Siti Noor Laila, Komisioner Komnas HAM asal Lampung mengatakan konflik antar

warga Desa Balinuraga dengan warga Desa Agom menjadi besar dan menyebabkan

banyak korban karena kepemimpinan Bupati Lampung Selatan Rycko Mendoza yang

lemah serta adanya provokasi dari pihak–pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari

konflik tersebut. “saat kejadian Bupati sedang berada di Jatinangor Jawa Barat bersama

para Kepala Desa di Lampung Selatan untuk mengikuti bimbingan tekhnis pengelolaan

pemerintahan. Ketika pulang ke Lampung Selatan, dia juga tidak bisa langsung meredam

emosi warga karena banyak warga yang masih marah dengan Bupati”.

Menurut Siti Noor Laila “persoalan ini tidak sesederhana yang diperkirakan banyak

orang, masalahnya kompleks. Ada banyak kepentingan di dalam konflik, banyak

(16)

sebenarnya.” Dari pengakuan seorang warga Ibu Made (ibukandung dari korban

meninggal Gede Semarjaya) mengaku melihat dengan jelas pembunuhan anaknya karena

anaknya telah dibunuh secara keji di depannya. “ia mengaku bukan warga Agom yang

membunuh anaknya, warga Balinuraga dan warga Agom menurut Made sudah saling

mengenal dan biasa untuk bekerjasama.” (Budi Santoso Budiman, 2012;9)

Dari kumpulan pendapat para praktisi konflik di atas dapat ditarik sebuah hipotesis

bahwa konflik Balinuraga sangatlah kompleks. Dari isu pelecehan seksual yang

dilakukan pemuda, menjadi sebuah konflik besar yang memakan korban yang tidak

sedikit. Dalam konflik yang terjadi banyak juga pihak–pihak yang ingin mengambil

keuntungan dalam konflik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Konflik

balinuraga yang melibatkan etnis Bali dan etnis Lampung membuat sentimen etnis di

Lampung Selatan menjadi sangat kuat. Sentimen etnis dalam konflik tersebut

dimanfaatkan oleh pihak–pihak untuk dijadikan alat mencapai tujuan dalam

mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok.

Peneliti juga melihat beberapa riset–riset terdahulu. Riset–riset yang membahas tentang

politisasi dan konflik.

Penelitian Pertama yang membahas tentang politisasi adalah penelitian dari “Ferryzar

Afriatama Semidang tahun 2010. Judul penelitiannya adalah Politisasi Pada Perguruan

Paku Banten dalam mendukung Drs. Sjachroedin Z.P pada pemilihan Gubernur 2008.

Universitas Lampung. Skipsi dalam Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung.

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi

politisasi pada Organisasi Paku Banten dalam mendukung terpilihnya Drs. Sjachroedin

Z.P pada pemilihan Gubernur 2008. Tujuan penelitian ini sesuai rumusan masalah adalah

(17)

mendukung terpilahnya Drs. Sjachroedin Z.P sebagai Gubernur Lampung periode

2009-2014. Hasil dari penelitian ini ialah terjadinya politisasi perguruan paku banten dalam

mendukung Drs. Sjachroedin Z.P menjadi Gubernur. Isu etnik dijadikan instrumen

untuk memperoleh dan meningkatkan dukungan suara dalam Pilkada. Politisasi dalam

perguruan Paku Banten pada Pigub 2008 terlihat dengan adanya hubungan antara

Sjachroedin Z.P dan Perguruan Paku Banten yang sangat baik, hal tersebut sudah dapat

dikatakan sebagai cara oleh Sjachroedin Z.P untuk mempolitisasi anggota Paku Banten

dan etnik Banten yang ada di Lampung agar memilihnya dalam pilgub 2008.

Penelitian kedua yang dijadikan referensi bagi peneliti adalah Skripsi dari “Sukma

Wulan, Tahun 2010, dengan judul Politisasi Etnis Dalam Pilkada (study pada

Rekrutment Calon Wakil Kepala Daerah PDI Perjuangan Lampung Periode 2008-2013).

Universitas Lampung: Skipsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung.”

Rumusan masalah dari penelitian ini berdasarkan judul yang ada yaitu apakah terjadi

politisasi etnis dalam perekrutan calon wakil kepala daerah PDI Perjuangan Lampung.

Dari rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada

tidaknya politisasi etnis di dalam perekrutan Joko Umar Said sebagai calon wakil kepala

daerah PDI Perjuangan. Hasil dari penelitian ini ialah adanya politisasi dalam rekrutmen

calon wakil kepala daerah yang terjadi di tubuh PDI Perjuangan. Pemanfaatan etnik Jawa

terjadi dalam penjaringan calon wakil kepada daerah untuk mendampingi Drs.

Sjachroedin Z.P dalam Pilgub 2008. Hal ini juga didasarkan oleh pernyataan Drs.

Sjachroedin Z.P selaku Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung, bahwa dia

menginginkan calon wakil kepala daerah dari PDI Perjuangan adalah beretnik Jawa.

Penelitian terakhir yang peneliti jadikan referensi ialah penelitian dari “Johan Albert

Piche, tahun 2001. Judul dari penelitian tersebut adalah Resolusi Konflik antara Suku

(18)

ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah resolusi konflik yang terjadi pada konflik

antar suku pedalaman di Papua. Sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini, maka

tujuan penelitian ini ialah ingin mengatahui bagaimana resulusi konflik yang terjadi dlam

konflik antar suku di Papua. Hasil dari penelitian ini ialah menganalisis tata cara

perdamaian dan resulusi konflik yang terjadi pada suku pedalaman Papua Barat. Resolusi

konflik terjadi dengan adanya bantuan tokoh–tokoh adat keduabelah suku untuk

mengadakan perdamaian yang disusul dengan upacara bakar batu.

Hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa penelitian–penelitian tersebut membahas

tentang politisasi politik dan resolusi konflik. Yang ditulis dan diteliti oleh penulis saat

ini adalah mengkaji sudut pandang masyarakat tentang politisasi konflik yang terjadi

dalam konflik Desa Balinuraga Kecamatan Way panji Kabupaten Lampung Selatan.

Persoalan yang menjadi objek penelitian penulis adalah meneliti apakah terjadi politisasi

dalam konflik antar warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom dan akhirnya meluas

menjadi konflik berskala Nasional yang terjadi di Lampung Selatan, dan apakah terdapat

aktor–aktor politik yang memanfaatkan konflik untuk mendapatkan keuntungan pribadi

maupun kelompok. Apakah tujuan aktor politik dalam konflik yang terjadi di Desa

Balinuraga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan ini

adalah sebagai berikut “Apakah terdapat aktor politik yang memanfaatkan konflik yang

terjadi, dan bagaimana politisasi dalam konflik Balinuraga Kabupaten Lampung

(19)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui “adakah aktor politik yang

memanfaatkan konflik yang terjadi, dan bagaimana politisasi dalam konflik Balinuraga

Kabupaten Lampung Selatan.”

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah

1. Secara teoritis, kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi ilmu

pengetahuan khususnya pada Ilmu Pemerintahan dan tercapainya pengembangan

kajian mengenai konflik.

2. Secara praktis, kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi

pemikiran dan referensi bagi pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan daerah

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Konflik 1. Pengertian Konflik

Menurut Ramlan Surbakti (1992:149) menyebutkan pengertian konflik yaitu

“benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara

individu dan individu, kelompok dan kelompok, indivudu dan kelompok, dan antara

individu atau kelompok dengan pemerintah. Definisi konflik (dari kata confligere,

conflicium=saling berbenturan) ialah semua bentuk benturan, tabrakan,

ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi–interaksi yang

antagonistis–bertentangan. (Kartini Kartono, 1983;245).

Menurut Eep Saeffullah Fatah (1994:46-47) konflik adalah Suatu bentuk perbedaan

atau pertentangan ide, pendapat, paham atau kepentingan di antara dua pihak atau

lebih. Pertentangan ini dapat berbentuk non fisik, bisa juga berkembang menjadi

benturan fisik, bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent) ataupun

berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).

Konflik dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau

bertentangan, benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat,

pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang. Konflik menjadi

(21)

manusia yang bersosial dan berpolitik dan pendorong dalam dinamika dan

perubahan Sosial politik (Kornblurn, 2003;294).

Konflik adalah ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan dibidang

tertentu yang membuat masyarakat hidup tidak nyaman (Gaffar, 1999;147). Konflik

berasal dari Bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,

konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik adalah unsur

terpenting dalam kehidupan Manusia. Karena Konflik memeiliki fungsi positif

(George Simmel, 1918; Lewis coser, 1957), konflik menjadi dinamika sejarah

manusia (Karl marx,1880/2003; Ibnu Khaldun, 1332-1406), konflik menjadi entitas

Sosial (Max Weber, 1918/1947; Ralf Dehrendorf, 1959), dan konflik adalah bagian

dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1954; Max Neef, 1987;

Jhon Burton, 1990; Marshal Rosenberg, 2003).

Konflik adalah Aspek intrinsik dan tidak mungkin untuk dihindari dalam perubahan

sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai, dan

keyakinan yang mucul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial

yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Cara menangani

konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Manusia adalah makhluk konfliktis

(homo conflic), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan,

dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun Poerwadinata (1976), konflik

berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam

(22)

menambahkan unsur persinggungan dan pergerakan sebagai aspek tindakan

sosialnya (2006:7). Sehingga secara sederhana konflik adalah pertentangan yang

ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.

Pengertian konflik di atas sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh Pluit dan Rubin

dengan mengutip Webster bahwa “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan

kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa

aspirasi pihak–pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan” (Pluit dan

Rubin, 2004;10)

Konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika

keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya hambatan

dari kedua pihak, baik secara potensial dan praktis. Sedangkan integrasi adalah

proses mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuat masyarakat menjadi

lebih baik atau harmonis. Di samping itu integrasi juga dipahami sebagai suatu

pernyataan yang sudah dicapai, atau sudah dekat untuk dicapai.

Konflik–konflik sangatlah beragam, dan dilihat dalam ruang yang luas dan konpleks

dapat dilihat dari berbagai dimensinya. Banyak basis kolektivitas sosial merupakan

sumberdaya yang memungkinkan hubungan antarkelompok sosial. Perbedaan

tersebut menunjukkan adanya sebuah konflik, yang sewaktu–waktu dapat

berkembang menjadi sebuah konflik yang besar. Melihat formasi konflik muncul

dari perubahan sosial, kemudian membawanya menuju proses tranformasi konflik

kekerasan atau konflik tanpa kekerasan, dan melahirkan perubahan sosial yang lebih

extrim dalam posisi tertekan suatu kelompok akan melakukan apapun untuk

(23)

Setiap skala memiliki latarbelakang dan arah perkembangannya, masyarakat

manusia di dunia pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala antara

perorangan sampai antarnegara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana

akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruksi bagi perubahan sosial

masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan.

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa Konflik dari semenjak dulu telah

ada dalam masyarakat. Konflik dapat diklasifakasikan dalam berbagai tingkatan dan

skala yang berbeda. Jadi menurut penulis konflik adalah pertikaian sebagai gejala

ketidaksesuaian yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan sosial masyarakat

dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses yang tidak mungkin

terpisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.

2. Latar Belakang Konflik

Latar belakang konflik ialah awal mula penyebab sebuah gesekan–gesekan yang

melahirkan sebuah ketidakesesuaian dan berkembang menjadi sebuah konflik.

Latarbelakang sebuah konflik melahirkan intensitas konflik yang juga berbeda. Latar

belakang konflik adalah suber seberapa besarkah konflik yang akan muncul, bisa

kecil, sedang, dan besar.

Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam masyarakat.

Konflik terjadi antarindividu atau antarkelompok yang memperebutkan hal yang

sama, tetapi konflik akan slalu menuju kearah kesepakatan (consensus). Selain itu,

masyarakat tak mungkin terintregrasi secara permanen dengan mngandalkan

kekuasaan paksaan dari kelompok yang dominan. Sebaliknya, masyarakat yang

terintregrasi atas dasar consensus sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen

dengan tanpa adanya paksaan, konflik dan consensus merupakan gejala-gejala yang

(24)

Pada dasarnya konflik didasarkan oleh dua hal. Konflik mencakup kemajemukan

horizontal dan kemajemukan vertikal, yang dimaksud dengan kemajemukan

Horizontal adalah Struktur masyarakat yang majemuk secara kultural seperti suku

bangsa, daerah, agama, dan ras, dan juga majemuk secara sosial dalam arti

perbedaan pekerjaan dan provesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha,

pegawai negri sipil, militer, wartawan, dokter, alim ulama, cendikiawan, dan dalam

arti perbadaan karakteristik tempat tinggal seperti kota dan desa.

Kemajemukan horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena

masing-masing unsur kultur berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik

budayanya dari ancaman kultur lain dalam masyarakat yang berciri demikian ini,

apabila belum ada suatu konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik

karena benturan budaya akan menimbulkan perang saudara, ataupun gerakan

separatisme. Kemajemukan vertikal adalah struktur masyarakat yang terpolarisasi

menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan

vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak

memiliki kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang

bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber

pengaruh tersebut. Jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan yang

pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik.

Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalam rumusan lain dapat

dikemukakan konflik dapat terjadi jika ada pihak yang diperlakukan tidak adil

manakala titik kemarahan sudah melampaui batas. Potensi Konflik terjadi manakala

terjadi kontak antarmanusia. Sebagai individu yang terorganisasi dalam kelompok,

individu ingin mencari jalan untuk memenuhi tujuannya. Peluang untuk memenuhi

(25)

dibutuhkan, atau terpaksa terlibat dalam konflik dengan pihak lain. Berarti, dalam

setiap masyarakat, selalu ada peluang sangat besar bagi terjadinya kompetisi dan

konflik. Karena acap kali hasil konflik itu buruk, maka persepsi kita tentang konflik

cenderung negatif. Harus diingat, semua konflik tidak sama, kita berhadapan dengan

konflik yang berbeda menurut level. Kita mungkin tidak sepakat dengan beberapa

isu dalam keluarga, teman, dan rekan sekerja, disini konflik seperti itu lebih mudah

dipecahkan (Prasangka dan Koflik; Alo Liliweri, M.S;256).

Ketika mempelajari dan meneliti konflik, kita harus dapat membuat deskripsi yang

jelas mengenai sumber atau sebab yang memicu terjadinya konflik. Ada 2 hal umum

yang patut diperhatikan dalam membahas sumber atau sebab konflik, yakni

(1)konteks terjadinya konflik dan (2)sumber–sumber konflik. Mengenai konteks

terjadinya konflik dapat dikatakan bahwa konflik terjadi dalam beragam konteks,

mulai dari konteks antarpribadi, komunitas, komunal, regional, dalam negara sendiri

hingga antarnegara. Dari beragam konteks itulah bersumber konflik karena

ketidaksetaraan atau perbedaan disposisi, persepsi, orientasi nilai, sikap, dan

tindakan dalam merespon situasi sosial, historis, kesadaran sosial, ekonomi, idiologi,

politik, bahkan situasi yang berkaitan dengan kejadian–kejadian mutakhir konflik.

3. Tipe – tipe Konflik. 1. Konflik Sederhana

Konflik tipe ini masih pada taraf emosi dan muncul dari perasaan berbeda yang

dimiliki oleh individu. Ada empat tipe konflik sederhana:

(1) Konflik personal versus diri sendiri adalah konflik yang terjadi karena apa

yang dipikirkan atau yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

(2) Konflik personal versus personal adalah konflik antarpersonal yang

(26)

(3) Konflik personal versus Masyarakat adalah konflik yang terjadi antara

individu dan Masyarakat yang bersumber dari perbedaan keyakinan suatu

kelompok atau keyakinan Masyarakat atau perbedaan hukum.

(4) Konflik personal versus alam adalah konflik yang terjadi antara keberadaan

personal dan tekanan alam.

2. Konflik berdasarkan Sifat

Tipologi konflik dapat dilihat dari sifat gerak-dinamika konflik. Dari segi

dinamika , konflik berproses dari:

1). Adanya keyakinan bahwa setiap konflik mempunyai struktur tertentu, dan

struktur itu umumnya bersifat laten yang mempunyai karakteristik, sifat, atau

modus operandi yang relatif hampir sama dan berulang-ulang.

2). Konflik yang bersifat manifes, konflik laten yang menjadi konflik yang nyata

(manifes).

3). Kadang–kadang sifat konflik itu tidak laten juga tidak manifes. Melainkan

datang sebagai sebuah paristiwa yang luar biasa karena tidak ada catatan modus

operandi sebelumnya.

Ketiga sifat tersebut mendorong prilaku konflik dan setiap prilaku konflik

diselesaikan dengan manajemen konflik sesuai sifatnya. Hasil penyelesaian itu

dapat menjadi sumber informasi kepada kita tentang struktur sebuah konflik.

3. Konflik Berdasarkan Jenis Peristiwa dan Proses

Kita dapat membedakan konflik berdasarkan jenis peristiwa dan proses. Sebagai

(27)

1. Konflik biasa adalah konflik yang terjadi karena hanya karena adanya

kesalahfahaman akibat distorsi informasi. Melibatkan hubungan antarpersonal

yang sejawat, awalnya didorong oleh faktor emosi.

2. Konflik luar biasa adalah konflik yang tidak berstruktur karena sebelumnya

kita tidak mempunyai catatan mengenai modus operandinya.

3. Konflik Zero-Sum (game) adalah bentuk konflik yang hasilnya adalah satu

pihak menang dan pihak lain kalah (win-lose)

4. Konflik merusak adalah konflik yang dari proses sampai hasilnya merusak

sistem relasi sosial.

5. Konflik yang dapat dipecahkan adalah konflik subtantif karena dapat

dipecahkan melalui sebuah keputusan bersama.

Kita juga dapat membedakan konflik dari segi proses yang terdiri atas:

a. Konflik yang sedang terjadi.

b. Konflik dengan sifat khusus, yang modus operandinya tidak berstruktur

sehingga menampilkan proses yang berbeda dengan jenis konflik yang sama.

c. Konflik Produktif, yakni jenis konflik yang dapat diselesaikan dan hasilnya

akan mendorong peningkatan relasi dari dua belah pihak yang terlibat konflik.

d. Konflik yang dapat dikelola adalah konflik yang karena sifatnya dapat

dikelola bagi keuntungan dua belah pihak.

4. Konflik Berdasarkan Faktor Pendorong

Konflik terjadi karena berbagai faktor pendorong, yang secara psikologis

dilakukan karena para pelaku konflik merubah respon terhadap perubahan

stimulus. Misalkan, satu pihak merubah atau membuat klarifikasi baru berupa

(28)

yang memungkinkan kita menentukan tipe konflik berdasarkan (1)Konflik

Internal (2)konflik Eksternal (3)Konflik Realistik (4)Konflik Tidak Realistik.

4. Manajemen Konflik

John Burton dalam Conflict : Resolution and Provention (1990) menyebut konflik

bersumber dari basic human needs (kebutuhan dasar manusia). Setiap kepentingan

memiliki tujuan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar, baik yang tersedia secara

sosial maupun lingkungan alam. Semakin sederhana dimensi kebutuhan dasar yang

diperjuangkan oleh beberapa kepentingan berkonflik, proses pemecahan masalah bisa

lebih sederhana dan cepat tercapai. Kebutuhan terhadap kekayaan bisa berkembang

menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas sumber konflik

ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus diciptakan dan

dijalankan.

Strategi konflik pada prakteknya muncul dalam bentuk–bentuk prilaku tertentu. Pluit

dan Rubin mengkategorikan lima strategi konflik kelompok–kelompok kepentingan,

yaitu strategi contending (keras), withdrawing (menarik diri), yielding (menyerahkan

keputusan), compromy , dan problem solving (pemecahan masalah). Kelima strategi

tersebut digunakan oleh pihak–pihak yang berkonflik dalam kaitannya dengan usaha

pencapaian tujuan. Setiap strategi akan diterjemahkan dalam bentuk tindakan–

tindakan tertentu baik secara individual maupun kolektif.

Pertama strategi konflik contending dicirikan oleh penolakan terhadap aspirasi pihak

lain, dan semua proses penyelesaian konflik harus menguntungkan tujuan dalam

konflik. Akibat dari strategi konflik ini adalah munculnya komunitas dan praktek

kekerasan sehingga menyebabkan hubungan–hubungan ketegangan, ancaman, dan

saling meniadakan. Hubungan yang tercipta dalam konflik ini adalah zero-sum game

(29)

satu pihak dan kalah dipihak lain, atau keduanya kalah dan hancur. Kedua adalah

strategi konflik Withdrawing yang mana salah satu atau kedua belah pihak

mengundurkan diri atau mencabut semua tuntutan, dan hubungan konflik berhenti

tanpa resolusi apapun. Strategi ini bisa muncul ketika satu atau dua pihak merasa

eksistensi atau keselamatannya terancam. Ketiga strategi konflik Yielding, yaitu

tindakan menyerahkan apapun keputusan dan bentuk resolusi yang diberikan oleh

pihak lawan. Keempat strategi konflik compromy yang berarti masing–masing pihak

hanya mentargetkan memperoleh sebagian dari tuntutan mereka.

Proses mencapai pemecahan akar masalah dalam relasi konflik, menurut Johan

Galtung (2007) secara ideal perlu menggunakan transcend approach atau pendekatan

transidental yang berarti adanya kesadaran dan keahlian dalam pihak berkonflik

untuk menemukan bentuk tujuan baru yang bisa menguntungkan seluruh pihak.

Setiap strategi konflik akan muncul dalam bentuk tindakan individu maupun kolektif

yang bervariasi dan memiliki konsekwansi masing–masing. Konflik dapat

diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau bertentangan,

benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat, pergesekan,

perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang. Konflik menjadi fenomena yang

paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang

bersosial dan berpolitik dan pendorong dalam dinamika dan perubahan social politik

(Kornblurn, 2003;294).

Secara pendekatan Psikososial atas konflik, ada pendekatan yang akan digunakan

didalam penelitian ini yaitu pendekatan historis. Pendekatan Historis merupakan

pendekatan yang lebih mengandalkan catatan sejarah warisan suatu kelompok.

Setiap kelompok seolah–olah merasa bebas menginterpretasikan diri sebagai yang

(30)

status dan peran dalam bidang sosial politik dan ekonomi. Akibatnya, kelompok

superior menciptakan kondisi untuk mendominasi status dan peran dan menjadikan

kelompok lain secara inferior. seperti ditunjukkan oleh penelitian Lohman dan

Reitzes (1951).

5. Tahap Konflik

Analisis dasar tahapan konflik ada lima tahap, yang umumnya disajikan secara

berurutan. Tahapan ini adalah:

1. Prakonflik

Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidak sesuaian sasaran diantara

dua belah pihak atau lebih, sehingga timbullah sebuah konflik. Konflik

tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mengetahui

potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara

beberapa pihak atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada

tahap ini.

2. Konfrotasi

Pada tahap ini konflik terjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang

merasa ada masalah. Mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi

demonstrasi atau prilaku konfrontatif. Pertikayan atau kekerasan pada tingkat

rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak. Masing–masing pihak

mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu dengan

harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara

kedua belah pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi antara para

pendukung dimasing–masing pihak.

(31)

Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling

hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika kedua

belah pihak jatuh korban dan saling membunuh. Komunikasi normal diantara

kedua belah pihak kemungkinan terputus. Pernyataan–pernyataan umum

cenderung menuduh dan menentang pihak–pihak lainnya.

4. Akibat

Suatu konflik pasti akan meninggalkan akibat. Satu pihak mungkin

menakhlukan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata. Satu pihak

mungkin menyarah dengan sendirinya, atau menyerah atas desakan pihak lain.

Keduabelah pihak mungkin setuju untuk bernegosiasi dengan atau tanpa

perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang

mungkin lebih berkuasa memaksa duabelah pihak untuk menghentikan

pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan

pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

5. Pasca konflik

Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai macam konfrontasi

kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah pada situasi normal

diantara kedua belah pihak. Namun isu–isu dan masalah–masalah yang timbul

karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap

ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

6. Akar Kekerasan konflik

Ada dua perspektif teoritis yang menjelaskan kekerasan dalam konflik. Pertama

adalah prilaku kekerasan menjadi bagian dari pola hubungan–hubungan konflik dari

masyarakat yang rentan konflik seperti masyarakat indonesia. Masyarakat rentan

(32)

masyarakat pada berbagai kelompok identitas. Kondisi social ini akan muncul dalam

bentuk reciprocal antagonisem (permusuhan timbal balik), (Coser, 1957) dan

coercive behavior (prilaku kekerasan), (Bartos dan Weher, 2003) takkala masing–

masing kelompok harus saling bersaing untuk meraih sumberdaya yang terbatas.

Kekerasan menjadi prilaku kolektif dengan mengikuti pola dan karakter modal sosial

(social capital) (Putnam, 2000) atau sumber konflik (conflict resource) (Bartos dan

Weher, 2003) yang menjadi mesin pergerakan sosial dan mobilisasi massa. Kedua

adalah lemahnya pelembagaan tatakelola konflik dalam masyarakat yang

berkompetisi memperebutkan sumber–sumber daya terbatas.

Pelacakan prilaku kekerasa dalam konflik–konflik secara teoritis bisa dilacak secara

teoritis melalui teori akar kekerasan (Rule, 1988), tindakan konflik dari John Bartos

dan Paul Wehr (2003), dan modal sosial (Putnam 2000; Bourdieu; 1991).

Selanjutnya bagaimana kwalitas pelembagaan tatakelola konflik produktif melalui

teori John Burton (1998), pendekatan transendental dari Johan Galtung (2004). Rule

memilah akar prilaku kekerasan menjadi dua, yaitu kekerasan sebagai kalkulasi

rasional dan kekerasan irasional. Menurutnya kekerasan sebagai kalkulasi rasional

merupakan bagian dari upaya manusia mencapai tujuan. Dengan mengutib Thomas

Hobbes, Rule menjelaskan bahwa manusia menyadari dunia adalah tempat yang

penuh dengan persaingan dari berbagai manusia yang memperjuangkan tujuan

masing–masing. Hobbes menggunakan istilah lain (homo homini lupus) (Rule,1988).

Sedangkan kekerasan sebagai produk irasional adalah kondisi tercerabutnya prilaku

dari tatanan normatif yang sering terjadi dalam situasi kerumunan. Situasi

kerumunan melahirkan mentalitas kerumunan (crowd mentality) yang mendorong

para individu di dalamnya berprilaku liar tanpa terkendali, dan merebabnya isu–isu

(33)

Menurut Bardos dan Wehr tindakan koersif adalah tindakan sosial yang memaksa

pihak lawan untuk melakukan sesuatu. Terdapat dua dimensi tindakan koersif, yaitu

actual coercion (koersi nyata) dan threat coercion (koersi ancaman). Koersi nyata

adalah tindakan melukai ataupun menghancurkan lawan. Tindakan ini bisa muncul

pula dalam bentuk kekerasan psikologis yang menghasilkan luka simbolis (symbolic

injury). Tujuan utama dari koersi nyata adalah menghilangkan kapasitas pihak lawan

untuk melanjutkan konflik. Sedangkan koersi ancaman bertujuan menekan agar

lawan menurunkan keinginan mencapai tujuan pada tingkat tertentu. Bentuk koersi

ini muncul dalam bentuk intimidasi dan negosiasi sekaligus. Non coercive action

adalah upaya mencari jalan keluar dan pemecahan masalah konflik, Bartos dan

Wehr, 2003. (Susan Novri, 2012;24).

7. Kerangka Teori Konflik

Dahrendorf melihat konflik pada dasarnya memiliki dua makna. Pertama, konflik

adalah konsekuensi atau akibat dari tidak tuntasnya proses integrasi di dalam suatu

masyarakat. Dalam konteks kegagalan integrasi seperti ini, konflik menjadi sebuah

gejala penyakit (syndrom) yang dapat merusak persatuan dan kesatuan suatu

masyarakat dalam sebuah bangsa. Kedua, konflik dapat pula dipahami sebagai

sebuah proses alamiah dalam rangka proyek rekonstruksi sosial. Dalam konteks ini

konflik dilihat secara “fungsional” sebagai suatu strategi untuk menghilangkan

unsur-unsur disintegratif di dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara

sempurna. Konflik dalam perspektif ini diyakini sebagai sebuah media yang bila

terselesaikan dengan baik, justru akan memperkuat proses integrasi dalam

(34)

Melalui teori dari Dahrendorf dapat dipelajari bahwa konflik dapat dilihat dari dua

kacamata berbeda positif dan negatif. Kedua tipe ini meliputi konflik positif dan

konflik negatif. Yang dimaksud dengan Konflik Positif ialah Konflik yang tidak

mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme

penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang

dimaksud adalah lembaga–lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan–badan

perwakilan rakwat, pengadilan, pemerintahan, pers, dan forum–forum terbuka yang

lain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat

melalui lembaga–lembaga itu merupakan contoh konflik positif. Sebaliknya Konflik

Negatif ialah Konflik yang mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya

disalurkan melalui cara–cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme,

terorisme, dan revolusi.

Menurut Taquiri, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku

dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,

kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris, terjadi hanya satu pihak yang

sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak

mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif

(Robbins, 1993; Mengelola Konflik).

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,

kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,

pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang

diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249. Manajemen Konflik).

Konflik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan

(35)

karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai atau

kebutuhan. Sering kali konflik dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua

atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran–

sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, perbuatan, yang tidak sejalan.

Bentuk pertentangan alamiah dihasilkan oleh individu atau kelompok etnik, baik

interaetnik maupun antaretnik, yang memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan,

nilai–nilai atau kebutuhan (Alo Liliweri, 2005;146).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu

konflik bersifat positif ataukah negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok

yang sedang terlibat dalam konflik. Dalam hal ini yang menjadi patokan positif atau

negatif sebuah konflik adalah respon masyarakat terhadap sistem yang berlaku, hal

ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat terhadap salah satu kelompok yang

berkonflik.

B. Politisasi dalam Konflik Balinuraga

Penulis menjelaskan konsepsi tentang politisasi. Praktek politis dalam konflik Balinuraga

tidak ada urgensinya apabila dijadikan tujuan akhir untuk kekuasaan kepentingan yang

tidak memihak rakyat. Politisasi adalah praktek politik yang menjadikan isu tertentu

sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kasus Balinuraga, isu tersebut

adalah sebuah konflik. Tujuan dari politisasi beranekaragam bentuknya, dari untuk

mendapatkan kekuasaan, mendapatkan kedudukan, mendapatkan sipati masyarakat,

sampai mendapatkan sebuah pengakuan. Dalam politisasi, sebuah fenomena bukanlah

merupakan suatu tujuan, melainkan sebuah fenomena adalah alat untuk mencapai sebuah

tujuan. Dalam hal ini fenomena tersebut adalah sebuah konflik yang terjadi di Desa

(36)

Konflik seringkali dikaitkan dengan kegiatan politik. Politisasi adalah sebuah cara

berfikir yang menjadikan peristiwa sebagai alat mencapai tujuan tertentu dan menjadikan

sebuah tujuan adalah sebuah hasil akhir. Tiap-tiap kelompok kepentingan diasumsikan

mempunyai tujuan yang berbeda-beda dan mempunyai cara untuk mendapatkan tujuan

yang berbeda pula. Tiap kelompok berpikir bahwa cara fikir dan tindak kelompoknya

adalah yang paling benar.

Politisasi juga dapat terjadi di dalam kelompok itu sendiri, pemimpin kelompok

menanamkan sifat antipati terhadap kelompok lain (antipathy toward outgroups),

kompensasi-kompensasi yang nyata (tangible rewards) dan manipulasi para pemimpin

kelompok yang berkonflik “Leader manipulation” ditandai oleh adanya pemimpin yang

seringkali melihat manfaat bagi diri sendiri atas sebuah konflik yang terjadi. Oleh

karenanya ia berusaha meningkatkan provokasi melalui eksploitasi rasa takut dan benci

terhadap kelompok lain (Pace & Faules, 1994:249. Manajemen Konflik).

Politisasi mengandung perilaku positif terhadap kelompoknya sendiri (ingroup) dan

perilaku atau penyikapan negatif terhadap kelompok lain (outgroups). Politisasi yang

bersifat positif dalam sebuah peristiwa dimaknai sebagai cara untuk mendapatkan tujuan

bersama, bukan hanya mencapai sebuah tujuan pribadi atau kelompok saja, melainkan

tujuan semua stageholder yang ada didalam peristiwa tersebut. Politisasi ditandai dengan

adanya suatu pemanfaatan oleh kelompok (ingroup) terhadap sebuah peristiwa.

Menurut Paul Wehr (2003) kompleksitas sumber konflik dapat mendorong kelompok–

kelompok kepentingan melakukan mobilisasi pemanfaatan sumber daya konflik dengan

kata lain mempolitisasi sebuah konflik. Sumber daya konflik merupakan modal–modal

yang dimiliki oleh satu kelompok kepentingan untuk mencapai suatu tujuan dalam relasi

(37)

dalam bentuk startegi konflik (conflict strategy) untuk menciptakan proses–proses dan

hasil yang menguntungkan satu kelompok kepentingan (Susan Novri, 2012;20).

Menurut Jacques Bertrand (2004), ada sekurangnya tiga pendekatan yang dapat

menjelaskan mengapa konflik seringkali menjadi saluran bagi arus politik dan

perjuangan kelompok atau individu dalam mencapai sebuah tujuan. Pendekatan

“konstruktivis” menekankan pada konteks historis dan sosial yang membentuk,

mengubah dan menegaskan batasan-batasan konflik dan akar-akar konflik. Pendekatan

“instrumentalis” fokus pada peran elit dalam memobilisasi kpentingan-kepentingan di

dalam kelompoknya. Pemimpin dan para aktor politik memakai kedekatan emosional

dalam kelompok untuk memobilisasi dukungan massa dalam usahanya bersaing dalam

memperebutkan kekuasaan, sumber daya dan kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.

Pendekatan “primordialis” menekankan pada warisan dalam keterikatan kelompok

berupa ketentuan yang tidak bisa berubah, nasib, dalam batasan-batasan sosial.

Kelompok-kelompok kepentingan menurut primordialis, secara inheren memang rawan

terhadap beragam bentuk kekerasan terhadap kelompok yang berbeda, dan rawan

menciptakan sebuah gesekan–gesekan yang berujung terjadinya konflik, hal itu sebagai

sesuatu yang dapat dipolitisasi oleh segelintir orang ataupun kelompok. Politisasi

dimaknai sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, bukan ditoleransi. Politisasi muncul

ketika melihat sebuah peristiwa atau sebuah isu yang berpotensi menimbulkan

keuntungan untuk individu atau kelompoknya.

Banyak terdapat aktor–aktor politik yang berani untuk mempolitisasi sebuah kejadian

agar dapat mengambil keuntungan dari hal tersebut. Dalam hal konflik balinuraga,

politisasi dijadikan alat untuk menambah tingkat intensitas faktor akselerator konflik

(38)

elite politik dalam sharing of power. Yang menjadi kursial untuk terus dipertanyakan

apakah aktor politik tadi benar–benar dipihak rakyat, atau hanya sekedar berpura–pura

untuk memenuhi kebutuhan politik untuk spekulasi dukungan saja, karena biasanya para

elit politik akan mengambil keuntungan dari terjadinya konflik itu sendiri.

Dalam konteks kepentingan politis untuk kepentingan pribadi atau merebut kekuasaan,

manufer–manufer memang sering dilakukan dengan memanfaatkan situasi yang sedang

terjadi, dalam hal ini adalah sebuah konflik yang terjadi di Balinuraga. Dengan adanya

konflik, aktor-aktor konflik termasuk para elit politik dapat mengambil keuntungan

dengan mempolitisasi sebuah konflik adalah sebuah tranformasi perilaku yang dapat

dijadikan penelitian, berawal dari konsepsi tadi maka akan memberikan nilai tersendiri

bagi para politisi karena suasana pertarungan politik dibangun atas dasar politisasi.

Pilihan yang diberikan kepada rakyat, tidak atas dasar sentimen dan diskriminasi

simbol–simbol semata tetapi dukungan yang diberikan karena kemunculan sosok politisi

yang diuntungkan yang dapat diterima oleh masyarakat manapun disebabkan oleh

kehandalannya menyelesaikan konflik, sikap para elit politik dan komitmennya untuk

terus membela rakyat dan bukan karena kepentingan yang melekat pada dirinya namun

karena adanya politisasi untuk mengambil keuntungan semata.

Politisasi menjadi ajang bagi para aktor politik untuk menciptakan sebuah penilaian

yang baik di dalam masyarakat. Proses politisasi didalam konflik tidak terlepas dari para

aktor–aktor yang terdapat daidalam konflik. Aktor-aktor konflik yang terdapat dalam

konflik dapat berasal dari kelompok yang berkonflik atau berasal dari luar kelompok

yang berkonflik. Aktor-aktor konflik yang berasal dari luar kelompok yang berkonflik

(39)

menjalankan politisasi tersebut. Kepentingan–kepentingan itulah yang melatarbelakangi

politisasi terjadi.

Politisasi dapat dilihat dari waktu terjadinya dalam sebuah konflik. Bilamana politisasi

terjadi sebelum terjadi konflik dan mengkibatkan konflik tersebut terjadi maka konflik

yang terjadi dapat dikatakan karena adanya politisasi atau dilatarbelakangi sebuah

politisasi. Namun jika politisasi dilihat setelah konflik terjadi dan mengakibatkan konflik

menjadi sedemikian besar maka politisasi bukan merupakan suatu latarbelakang dari

konflik yang terjadi.

Pemanfaatkan konflik dapat beragam tujuan dari yang untuk mencari nama baik dan

untuk pencitraan dalam kepentingan politiknya sampai dengan untuk mengambil sebuah

kekuasaan. Dalam fenomena konflik, konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam

bermasyarakat dan bernegara. Intensitas sebuah konflik didasarkan oleh faktor–faktor

yang mempengaruhi sebuah konflik. Konflik dapat berkembang menjadi besar apabila

sebuah konflik tidak dikelola dengan sebaik–baiknya dan ditunggangi oleh orang atau

kelompok yang ingin mengambil keuntungan. Konflik akan berujung pada tindak

kekerasan apabila terdapat aktor–aktor yang terlibat dalam konflik tersebut dan

mengambil keuntungan dengan adanya konflik tersebut.

Salah satu dimensi penting proses politisasi ialah penyelesaian konflik yang melibatkan

pemerintah. Dalam proses ini rentan adanya adu kepentingan antar aktor politik yang ada

dibelakang konflik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Proses “penyelesaian”

konflik yang tak bersifat kekerasan dibagi menjadi tiga tahap. Adapun ketiga tahapan ini

meliputi tahap politisasi atau koalisi, tahap pembuatan keputusan, dan tahap pelaksanaan

dan integrasi. Apabila dalam masyarakat terdapat konflik di antara dua kelompok

(40)

motifasi yang mendorong maka masing-masing pihak akan berupaya merumuskan dan

mengajukan ide-ide dan pokok pemikirannya agar diketahui dan dibenarkan oleh pihak

ketiga, yaitu masyarakat. Satu kebiasaan khas dalam suatu konflik adalah memberikan

prioritas yang tinggi guna mempertahankan pihaknya sendiri terutama dalam

kepentingan politik. Jika kepentingan lain bertentangan dengan kepentingan pihaknya,

maka akan cenderung mengabaikan kepentingan pihak lain tersebut.

Dalam konflik yang terjadi di Balinuraga, etnis , kelompok kepentingan, dan konflik itu

sendiri dijadikan oleh segelintir orang atau kelompok untuk kepentingan pribadi atau

kelompoknya. Hal ini terlihat dari konflik yang terjadi sangat cepat menyebar dan

meluas, dan juga intensitas konflik cepat sekali membesar dan sampai memakan korban

nyawa. Kemasan politik dengan masih menggunakan simbol–simbol kelompok tidak

harus dipertahankan, karena kultur ini akan segera ditinggalkan seiring dengan

peningkatan kapasitas masyarakat yang menjadi pintar. Propaganda kelompok

sewajarnya ditinggalkan karena pada akhirnya dapat dijadikan politisasi oleh para aktor

politik agar konflik tersebut memberikan keuntungan kepada dirinya pribadi. Para warga

yang berasal dari kelompok sama merasa konflik sudah dipolitisasi. Konflik tidak akan

secara langsung dapat ditunggangi oleh aktor politik yang akan mengambil keuntungan

dengan terjadinya konflik tersebut. Konflik tentu saja tidak diperbolehkan ditunggangi

oleh aktor politik atau para elit politik dalam merebut kekuasaan. Demikian juga

seharusnya dengan para pemimpin yang sedang berkuasa manapun juga yang

(41)

Bagan kerangka pikir :

Konflik Balinuraga

Politisasi dalam

Konflik

Kerangka Teori

Konflik

Aktor Konflik

Peran Aktor

Latar Belakang

Konflik Proses Penyebab

Konflik

Faktor Konflik

(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Basrowi (2008:15), penelitian

merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang

dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis artinya sesuai

dengan metode tertentu, sistematis artinya berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti

tidak ada hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Tipe penelitian yang

digunakan adalah tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

menggambarkan atau mendeskripsikan secara terperinci bagaimana fenomena sosial

tertentu.

Menurut Mohammad Nazir (2008:63) yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah

penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis,

faktual, tajam dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena

yang sedang diteliti.

Menurut Suwandi (2008:17), tipe penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang

digunakan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi pada masa sekarang,

dilakukan dengan langkah-langkah pengumpulan data, membuat klasifikasi data dan

analisa atau pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama

untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam suatu

(43)

Hadari Nawawi (2011:63-64) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah metode

yang digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menjawab pertanyaan yang ada

dilapangan dengan menggunakan teori-teori, konsep-konsep, dan data hasil penelitian

yang diperoleh dari lapangan. Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka tipe penelitian

deskriptif adalah tipe penelitian untuk menggambarkan tentang suatu keadaan secara

obyektif terhadap situasi dalam hal ini yaitu karakteristik dalam suatu deskripsi,

gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang akan diteliti.

Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan ciri-ciri dari penelitian

deskriptif yang biasanya mempunyai dua tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu

aspek fenomena sosial tertentu.

2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu.

Penelitian deskripsi ini akan membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena

tertentu dengan mengambil studi komparatif atau dengan mengukur suatu dimensi

penelitian seperti dalam berbagai penelitian kualitatif, atau mengadakan penelitian

ataupun standar (normatif), menentukan hubungan kedudukan (status) satu unsur dengan

unsur lainnya.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif pasca prilaku. Penelitian jenis ini

dimaksudkan sebagai suatu cara yang tidak menggunakan prosedur statistik atau dengan

menggunakan alat kuantifikasi yang lain, melainkan melakukan pengamatan fenomena

(44)

data dan informasi. Penelitian kualitatif menunjuk pada suatu penelitian tentang

kehidupan seseorang, sejarah, perilaku aktor, proses dan juga tentang fungsi organisasi,

gerakan sosial atau hubungan interaksi untuk mencari makna. Karenanya, penelitian ini

dimaksudkan untuk menentukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh gambaran

(deskripsi) tentang politisasi yang terjadi dalam konflik Balinuraga Kecamatan Way Panji

Kabupaten Lampung Selatan.

Penelitian ini berbentuk studi kasus, karena peneliti berusaha mengumpulkan sejumlah

informasi hanya pada kasus tertentu secara mendalam (insight) dan menyeluruh (whole)

terhadap suatu lembaga atau fenomena tertentu. Penelitian jenis ini berupaya mencari

kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam, bukan banyaknya individu

dan juga bukan rerata yang menjadi dasar penarikan kesimpulan, melainkan dimaksudkan

untuk menemukan kecenderungan, pola, arah, interaksi banyak faktor, dan hal lain yang

memacu atau menghambat perubahan yang dapat digunakan untuk membuat

perkiraan-perkiraan perkembangan masa depan. Penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif ini

karena sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu menuturkan dan mendefinisikan data

tentang Konflik yang terjadi di Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji kabupaten

Lampung Selatan.

Peneleti dalam menggali informasi menggunakan metode Teori Analisi Wacana Kritis.

Analisis wacana yang dimaksudkan dalam penelitian ini, adalah sebagai upaya

pengungkapan maksud tersembunyi dari objek(informan) yang mengemukakan suatu

pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi informan,

dengan mengikuti struktur makna dari informasi yang diberikan informan, sehingga

bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui.

Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan

(45)

Wacana menurut pandangan Foucoult tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau

proposisi dalam teks , tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan,

konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,

konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga

mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Dalam sebuah wacana terdapat

pernyataan (proposisi) yang bertujuan untuk menyatakan sesuatu (arti atau makna), akan

tetapi juga mengatakan sesuatu tentang sesuatu (referensi). Referensi inilah yang

memperluas dimensi makna bahasa dan memengaruhi sistem sosial budaya sampai

pikiran manusia. Oleh sebab itulah, maka wacana harus dilihat dalam satu kesatuan yang

utuh.

Dalam menentukan kebenaran, bagi Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang

datang begitu saja (konsep yang abstrak). Kebenaran menurut Foucault diproduksi oleh

setiap kekuasaan. “ Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan

secara langsung saling mempengaruhi tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada

konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya” (Michel Foucault, 1979;27).

C. Lokasi dan Waktu

Peneliti menetapkan lokasi penelitian pada Desa Balinuraga dan Desa Agom, penulis juga

akan melakukan penelitian pada kecamatan Way Panji. Waktu penelitian akan dilakukan

pada hari dan jam kerja warga kedua desa agar dapat memperoleh data dan informasi

yang tepat dan akurat.

D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu apa yang menjadi sasaran penelitian

dalam penelitiannya. Fokus penelitian merupakan hal yang penting jika kita melakukan

sebuah penelitian yang bersifat kualitatif. Melalui fokus penelitian, diharapkan dapat

(46)

mengarahkan suatu penelitian. Tanpa adanya fokus penelitian, maka seorang peneliti akan

mudah terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan.

Sesuai dengan teori di atas fokus penelitian pada penelitian ini adalah:

1. Penulis ingin mengetahui adakah politisasi dalam konflik Balinuraga Kecamata Way

Panji Kabupaten Lampung Selatan,

2. Mengetahui adakah aktor–aktor politik dalam konflik yang memanfaatkan konflik dan

bagaimana peran aktor–aktor politik dalam konflik yang terjadi di Desa Balinuraga

E. Sumber Data

Proses pengumpulan data atau informasi dilakukan secara purposive sampling, dimana

informan yang dipilih adalah yang memiliki data dan informasi guna memahami secara

utuh tentang Konflik yang terjadi. Klasifikasi jenis informan terdiri dari:

1. Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Pemerintahan Desa Balinuraga dan Desa

Agom, dan Pemerintah Kecamatan Way Panji.

a. Kepala Desa Balinuraga, Bapak Ketut Wardane.

b. Kepala Desa Agom, Bapak Muchsin Syukur.

c. Pemerintah Kecamatan Way Panji, Kepala Urusan Pemerintahan Kecamatan Way

Panji Bapak Mujiharto yang sekarang menjabat PJS Kepala Desa Balinuraga.

2. Pihak petinggi adat, tokoh–tokoh masyarakat dan tokoh–tokoh adat yang beresal dari

kedua Desa.

a. Tokoh Masyarakat Desa Balinuraga, Bapak Wayan Sudiartana.

b. Tokoh pemuda Desa Balinuraga, Bli Gede Wydiastike.

c. Tokoh Adat Desa Balinuraga, Bapak Wayan Gambar.

d. Tokoh Adat Lampung, Raden Permata. Beliau adalah pengurus MPAL

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa “Hasil belajar matematika siswa kelas VII MTs Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran 2014/2015

Analyst Vibiz Research Center memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak dalam potensi pelemahan menutup gap penguatan tajam yang ditinggalkan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama inkubasi yang berbeda terhadap karakteristik fisik (warna, kekentalan, kadar air), karakteristik fungsional

Pada saat film cerita masuk ke Hindia Belanda dengan menampilkan aktor serta serangkaian cerita menarik yang mampu membawa penonton ke dunia impian, maka hal tersebut

[r]

Yahudi Dalam Sunnah; Dasar Pijakan Umat Islam Membenci Zionis Israel.. WAMY, Lembaga Pengkajian dan

Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara abnormal return , periode Sebelum dan Sesudah Pemilu Presiden 9 Juli 2014 atas Saham

penyusunan rencana pemulihan pascabencana banjir bandang di Bima, diharapkan dalam penyusunan rencana pemulihan untuk memasukkan dokumen perencanaan penanggulangan bencana;.