• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penerapan Sanksi Pidana Wajib Latihan Kerja Sosial Dalam Perkara Anak (Studi Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN.Bwi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Penerapan Sanksi Pidana Wajib Latihan Kerja Sosial Dalam Perkara Anak (Studi Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN.Bwi)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ANALYSIS OF THE CRIMINAL SANCTIONS SHOULD EXERCISE SOCIAL AND EMPLOYMENT IN THE NUMBER OF CHILDREN

(The Study Of 237 / Pid-Sus-Anak / 2014 / Pn.Bwi)

By

GARDA ARIAN GUNAWAN

Unmannerly deviating caused in the growth of mental attitude children not yet stable , and also not in spite of environmental factors. Children a criminal offense must face with law enforcement officials to be responsible for his actions. punishment is not in accordance with the provisions of article 81 paragraph ( 2 ) of act number 23 year 2002 regarding the protection of children. The problem is whether the basic considerations in dropping criminal justice must exercise social work for the children? and how they exercise power law implementation of the labor social these kids?.

Approach the problem is the approach used normative and juridical juridical empirical. Data collection is done with the literature study and field studies. Data that have been acquired next analyzed qualitatively,to get a conclusion in accordance with issues discussed.

Research result indicates that consideration and discussion of the judge in his ruling against dropping cases done by a child is dropping criminal imprisonment and fines subsidair must exercise work, however in the first verdict judge not mention institutions which must exercise should carry out the work. The judge dropped the children in his ruling on cases that done by children,judicial decisions as the criminal cases over which is dropping subsidair prison and fine with mandatory exercise work , the judge in his decision and to determine the place of education,guidance and exercise work will be implemented. In accordance with article 3 of the act no. 32 / 1997 about the children.

Suggestion in research is there should have been a further discussion about criminal social work ini.penanganan the process of a child who were in conflict with the law shall be done with care so the stigmatization does not cause for children , hence from the perspective of a ius constiuendum there is a need to use of non-penal policy.

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA WAJIB LATIHAN KERJA SOSIAL DALAM PERKARA ANAK

( Studi Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN. Bwi) Oleh

Garda Arian Gunawan

Prilaku menyimpang disebabkan dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan. Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan dengan aparat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemidanaan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana wajib latihan kerja sosial terhadap terdakwa anak? dan Bagaimana kekuatan hukum penerapan sanksi latihan kerja sosial perkara anak?.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif, untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertimbangan Hakim Anak dalam menjatuhkan putusannya terhadap kasus yang dilakukan oleh anak adalah menjatuhkan pidana penjara dan denda dengan subsidair wajib latihan kerja, akan tetapi di dalam Diktum Putusan Hakim tidak mencantumkan lembaga mana yang harus melaksanakan wajib latihan kerja tersebut. Hakim Anak dalam menjatuhkan putusannya terhadap kasus yang dilakukan oleh anak, putusan hakim seperti halnya perkara-perkara diatas yaitu menjatuhkan pidana penjara dan denda dengan subsidair wajib latihan kerja, hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan dan latihan kerja tersebut dilaksanakan. Sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Saran dalam penelitian adalah perlu adanya suatu pembahasan lebih lanjut mengenai pidana kerja sosial ini.Penanganan proses anak yang berkonflik dengan hukum haruslah dilakukan dengan hati-hati sehinga tidak menimbulkan stigmatisasi bagi anak, oleh karena itu dari perspektif ius constiuendum diperlukan pula pengunan kebijakan non-penal.

(3)

Dalam Perkara Anak

(Studi Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN.Bwi)

Oleh

Garda Arian Gunawan

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKUKTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA WAJIB LATIHAN KERJA SOSIAL DALAM PERKARA ANAK

( Studi Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN. Bwi) (Tesis)

Oleh

Garda Arian Gunawan

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 10

D. Kerangka Pemikiran ... 12

E. Metode Penelitian... 26

F. Sistematika Penulisan... 31

II. TINJAUAN PUSTAKA... 32

A. Pertanggungjawaban Pidana... 32

B. Sanksi Pidana... 37

C. Tujuan Pemidanaan... 41

D. Sistem Pemidanaan... 45

E. Pidana wajib Latihan Kerja Sosial... 55

(6)

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Wajib Latihan Kerja Sosial terhadap Terdakwa Anak dalam Perkara

Nomor: 237/Pid-Sus-Anak/2014/Pn Bwi... 60

B. Kekuatan Hukum Penerapan Sanksi Latihan Kerja Sosial Perkara Anak Nomor: 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN Bwi... 74

IV. PENUTUP...,,,... 91

A.Simpulan... 91

B. Saran... 93 DAFTAR PUSTAKA

(7)
(8)
(9)
(10)

PERSEMBAHAN

Sujud syukurku sebagai hamba yang lemah kepada Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bakti yang tulus, kupersembahkan karya tesis ini kepada:

Kedua orang tuaku tercinta yang terus berjuang tanpa kenal lelah, menyayangi dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa berdoa untuk

kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya.

Kakak dan adik-adikku tersayang yang memberi motivasi dan semangat dalam hidupku.

Teman-teman dan sahabat-sahabatku yang telah memberi semangat serta dukungan moril, doa, perhatian dan kesabaran selama ini.

(11)

MOTO

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang

perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat

mengambil pengajaran"

(Q.S. An-Nahl: 90)

“Hendaklah Keadilan Ditegakkan Walaupun Langit Akan Runtuh (Flat Justicia Ruat Caleum)”

(12)
(13)

SANWACANA

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Penerapan Sanksi Pidana Wajib Latihan Kerja Sosial Dalam Perkara Anak (Studi Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN.Banyuwangi” adalah sebagai aplikasi pengetahuan yang didapat penulis selama mengikuti perkulihan dan juga merupakan salah satu syarat untuk penyelesaian pendidikan pada program Studi Magister Hukum Universitas Lampung (PPS MH-UNILA) Bandar Lampung. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang memberikan bantuan,bimbingan,dorongan semangat serta sumbangan saran dan pikiran.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(14)

Penulis.

5. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H. Selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.

6. Seluruh dosen, staf dan karyawan Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas bantuannya selama ini. 7. Bapak Yudi dan Ibu As terima kasih atas bantuannya selama ini.

8. Bapak Mardison S.H Selaku Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Bandar lampung, yang telah yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian 9. Bapak Tapianus Barus selaku Kabid Pembinaan pada Lembaga

Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung, yang telah yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian.

10.Teristimewa untuk kedua orangtuaku, Ayah Ir. H. Bambang G. Sumady, M.S dan mamaku Hj. Mazna B. Gunawan senantiasa mendoakanku, memberi dukungan, kesabaran dan motivasi dan pengorbanan baik moril maupun materil yang tidak ada habisnya demi keberhasilanku..

(15)

terimakasih atas dukungan masukan dan sarannya.

13.Teman-teman Magister Hukum Unila Angkatan 2013 Regular B tercinta.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa serta bagi para pembaca.

Bandar Lampung, 26 Februari 2015 Penulis,

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

(17)

aparat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya1. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya

tindak pidana yang dilakukan anak adalah dengan diterapkannya sanksi hukum pidana bagi anak yang melakukan kejahatan. Dalam hal ini peranan hakim yang menangani perkara pidana anak sangatlah penting. Hakim mempunyai wewenang untuk melaksanakan peradilan. Hakim wajib menggali dan memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab seorang anak melakukan tindak pidana. Hakim sebagai aparat pemerintah, mempunyai tugas memeriksa, menyelesaikan, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim harus dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan masyarakat. Hakim tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana itu. Pengenaan pidana itu harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif.2 Salah satu perubahan sanksi hukum pidana yaitu terdapat di dalam keputusan hakim mengenai kasus perkara anak. Kasus perkara anak sangatlah kompleks dan rumit, situasi penuh ancaman dari kehidupan, serta berbagai bentuk depresi sosio-ekonomi, kultural dan psikologikal, semua faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan pola perilaku dan kematangan mental emosional seorang anak. Sampai saat ini khususnya anak korban asusila,

1

Gatot Supramono. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta:Djambatan,2000. Hlm 44

2

(18)

penangannya belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Hal ini dengan masih banyaknya pemberitaan di media massa mengenai pelangaran-pelangaran terhadap hak-hak anak tersebut. Bahkan seringkali masalah-masalah sosial menjadi urusan kedua setelah masalah-masalah ekonomi serta menghadapi permasalahan sosial, kiprah pemerintah seringkali cenderung terlambat penanganannya. Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, baru disadari pemerintah pada sekitar Tahun 1997 dengan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 81/Hukum/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis.3

Perkembangan hukum di Indonesia, khususnya pelaksanaan Pasal 23 tentang Sanksi Pidana dan Pasal 24 tentang Tindakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam praktek di Pengadilan yang berkaitan dengan perbuatan yang melanggar hukum pasti dikenakan sanksi sesuai dengan perbuatan yang di lakukannya. Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yakni:

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

3

(19)

Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak harus dilihat dan dipahami sebagai suatu gejala sosial, artinya kita tidak boleh memberikan suatu stigma atau tanda yang jelek bahwa anak itu jahat karena melakukan tindak pidana melainkan kita harus memahami dan memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Oleh karena, itu pendekatan yuridis kepada anak yang melakukan tindak pidana hendaknya lebih mendekatkan pada pendekatan persuasive, edukatif, psikologis, yang berarti sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, menjatuhkan mental dan dapat pula berdampak menghambat perkembangan dan kedewasaan yang wajar dari anak. Seorang anak seharusnya menikmati kehidupan atau menikmati masa kanak-kanaknya. Anak harus selalu dikelilingi oleh rasa yang menggembirakan dan kebahagiaan baik dalam lingkup keluarga maupun di luar keluarga. Dalam perkembangan pertumbuhan kedewasaan anak peran orang tualah yang terutama diperlukan.

Ada tiga alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana penjara,yaitu kontrak atau perjanjian untuk pembinaan (contract treatment), pencabutan dan pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tertentu (deprivation and interdicts concerning rights or licencies), pidana wajib latihan kerja sosial .4 Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, kajian yang dilakukan tersebut merupakan sumbangan yang sangat berharga. Pidana wajib latihan kerja sosial dimaksudkan agar terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang telah terbukti sangat merugikan baik

4

(20)

terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek pencegahan (detterence effect) cukup andal.5

Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, maka unsur pidana meliputi

“hukuman”. dikaitkan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

yang berbunyi :

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

a. Pidana penjara. b. Pidana kurungan. c. Pidana denda, atau d. Pidana pengawasan.

Selain pidana pokok sebagaimana dalam Ayat 2 terhadap Anak dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa :

a. Perampasan barang-barang tertentu dan atau

b. Pembayaran ganti rugi, ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi di atur lebih lanjut dengan peraturan Pemerintah.

Dampak pengenaan hukuman terhadap anak akan sangat mampengaruhi perilaku anak dan ataupun perkembangan fisik, mental yang akan menjatuhkan anak itu

5

(21)

sendiri sebagai generasi penerus bangsa. Lain halnya dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang berbunyi :

1. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, dan orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

2. Tindakan sebagaimana dalam Ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

(22)

Pasal 1 Ayat (2) sub a, b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan begitu pula dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Sanksi Tindakan yang mengutamakan kesejahteraan anak, untuk mengikuti pendidikan, pembinaan yang melihat masa depan anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa.

Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 Ayat (1) menyatakan “bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”.

Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur tentang perbuatan cabul terhadap anak yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Unsur-unsur Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 adalah: 1) Setiap Orang

(23)

3) Melakukan kekerasan/ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Hal semacam ini perlu mendapat perhatian khusus dari pihak keluarga dan masyarakat sekitar agar anak tersebut juga tidak merasa sendiri. Dan permasalahan yang semakin berkembang ini perlu segera ditanggulangi dan diselesaikan yang bukan hanya menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat.

(24)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian berupa tesis yang berjudul: Analisis Penerapan Sanksi Pidana Kerja Sosial Dalam Perkara Anak (Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN. Bwi).

B. Permasalahan dan ruang lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Wajib Latihan Kerja Sosial Terhadap Terdakwa Anak Dalam Perkara Nomor: 237/Pid-Sus-Anak/2014/Pn Bwi?

(25)

2. Ruang lingkup Penelitian

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah kajian hukum pidana, yang dibatasi pada kajian mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa anak yang melakukan tipu muslihat dalam kejahatan asusila dalam (Perkara Putusan Nomor: 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN Banyuwangi) dan pidana wajib latihan kerja sosial dalam pemidanaan (Perkara Putusan Pomor: 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN Banyuwangi). Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2014.

C. Tujuan dan kegunaan penelitian

a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk memahami dan menganalisa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana wajib latihan kerja sosial terhadap terdakwa anak.

b. Untuk memahami dan menganalisa kekuatan hukum sanksi pidana wajib latihan kerja sosial perkara anak dalam Putusan Nomor 237/Pid-Sus-Anak/2014/PN. Banyuwangi

b. Kegunaan Penelitian

(26)

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pembaharuan sistem pemidanaan dengan putusan hakim terhadap pelaku anak.

b. Secara praktis

(27)

D. Kerangka Pemikiran

1. Alur Pikir

Gambar 1 Skema alur pikir

Tindak Pidana (Pelaku Anak)

Pengadilan Anak

Bentuk Sanksi Dasar Pertimbangan Hakim

Undang-Undang kekuasaan kehakiman No 48

Tahun 2009

Putusan Hakim

Pidana Penjara 2 tahun 6 bulan

Denda sebesar Rp 60.000.000, Subsider selama 3 bulan wajib latihan kerja sosial

(28)

Penjelasan uraian bagan gambar diatas yakni

- Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 Ayat (1) menyatakan “bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”. Kemudian dalam Ayat (2) ditegaskan

“bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana Ayat (1)”.

- Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah:

1. Anak yang melakukan tindak pidana; atau

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

(29)

Hanya saja, anak di sidangkan di pengadilan anak, yang disebut dengan Sidang Anak dan mendapat perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan dan dengan pertimbangan yang matang, hakim akan menjatuhkan sanksi atau pidana ke anak dengan tujuan memberikan bimbingan yang bersifat edukatif kepada anak dengan tetap memperhatikan rasa keadilan. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus memperhatikan atau mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya bobot atau berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang telah dilakukan oleh anak, keadaan anak dan keadaan keluarganya, keadaan lingkungan dimana si anak tinggal, serta laporan atau case study yang telah dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan. Hal-hal tersebut akan membantu hakim dalam mempertimbangkan hukuman atau sanksi apa yang pantas diberikan untuk anak nakal. Peran keluarga, terutama orang tua dalam hal membimbing anak merupakan hal yang sangat penting karena keluarga adalah tempat dimana anak dibesarkan dan dididik. Dengan bimbingan dari orang tua, anak dapat menuju ke arah yang lebih baik dan dapat meneruskan cita-citanya.

a. Kerangka Teoritis

Kerangka teori yang relevan dengan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Kewenangan hakim

Dalam mempersoalkan “Apakah hakim bebas mutlak”, Prof. Sudarto, SH

(30)

Ayat (1).Mahkamah Agung sebagai puncak semua peradilan memberi pimpinan kepada pengadilan-pengadilan,(2).Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan dalam semua lingkungan pengadilan dan menjaga supaya peradilan diselenggarakan dengan seksama dan seyogyanya. (3).Untuk kepentingan negara dan keadilan, maka Mahkamah Agung memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang dipandang, perlu baik dengan surat tersendiri maupun dengan Surat Edaran Mahkamah Agung. Dengan demikian, ada pembatasan tentang kebebasan Hakim dalam melaksanakan tugas peradilan dipandang dari segi lain, bahwa dalam suatu pelaksanaan tugas/wewenang yudisialnya, sifat kebebasan hakim ini juga tidak mutlak.6

1. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamh Agung dan peradilan di bawahnya yaitu : (1) Lingkungan Peradilan Umum, (2) Lingkungan Peradilan Agama, 3) Lingkungan Peradilan Militer, (4) Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, serta oleh Mahkamh Konstitusi (Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 2 UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

6

(31)

2. Hakim dan Kewajibannya a. Hakim

Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah. Hakim juga berarti Pengadilan. Berhakim artinya minta diadili perkaranya, mengahikimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang, kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, ada kalanya istilah hakim dipakai oleh orang budiman, ahli dan orang bijaksana.7Dengan demikian fungsi seorang Dengan demikian fungsi seorang hakim adalah seorang yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan,

b. Kewajiban Hakim

Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini Pasal 1 Ayat (9) KUHAP, ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui hukum Curialus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum., jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya. Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum

7

(32)

wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memeprtimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seoarng hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 Ayat (1) UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009).Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam praktek ada kalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan si hakim.Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.8

b. Pengertian Tentang Anak

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi

8

(33)

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan atas perlindunagn dari tindakan kekerasan, diskriminasi serta kebebasan Adapun beberapa pandangan yang mengatakan tentang kedewasaan anak di lihat dari segi umur, antara lain pengertian anak menurut UU No. 3 Tahun 1997, KUH Perdata, KUH Pidana, dan anak menurut hukum perburuan UU No. 12 Tahun 1998.

Dari beberapa pandangan tersebut mengatakan kedewasaan anak berbeda. Adapun pengertiannya sebagai berikut yakni pengertian anak sebagaimana dimaksud yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 ialah :

1. Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.

2. Anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

(34)

Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 330 Kitab Undan-gundang Hukum Perdata (KUH Perdata) yakni Ayat (1) memuat batas antara belum dewasa dengan telah dewasa yaitu umur 21 (dua puluh satu) tahun, kecuali a. Anak yang sudah kawin sebelum umur 21 (dua puluh satu) tahun

b. Pendewasaan dalam Pasal 419 KUH Perdata Ayat (2) : menyebutkan bahwa perbuatan perkawinan yang terjadi pada seseorang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, tidak mempunyai pengaruh status kedewasaannya. Jadi, menurut Hukum Perdata yang dinamakan anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) adalah : Anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila anak yang masih dibawah umur terjerat perkara pidana hakim dapat menentukan supaya anak yang terjerat perkara pidana tersebut dapat dikembalikan kepada orang tua, atau wali, atau orang tua asuh dengan tidak dikenakan pidana, atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sanksi pidana.

(35)

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi yakni Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun (delapan belas) termasuk anak yang masi dalam kandungan. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Beberapa pandangan di atas yang telah di uraikan secara terperinci, dapat menyimpulkan bahwa anak dikatakan masih di bawah umur atau belum dewasa yaitu anak yang masih berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Maksud dari kata belum kawin adalah anak yang tidak terikat dalam perkawinana atau pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila anak terikat dalam suatu perkawinan, atau perkawinannya putus karena perceraian maka anak tersebut dianggap sudah dewasa meskipun umurnya belum 18 (delapan belas) tahun.

Banyak hal menurut ilmu pengetahuan atau Undang-Undang mendefinisikan pengertian anak berbeda-beda yang menurut kebutuhannya masing-masing sesuai apa yang diperlukan dan batasanbatasan yang ada di dalamnya masing-masing disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

c. Pidana Wajib latihan Kerja Sosial

(36)

Undang-Undang No.11 Tahun 2012). Wajib latihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang pengadilan anak sebagaimana diubah pengertiannya menjadi pelatihan kerja dalam Undang-Undang sistem peradilan pidana anak merupakan suatu proses pembelajaran. Untuk menerima, mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat akan kemampuan sendiri. Sedangkan yang dimaksud pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin sikap, dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan (Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah 31 tahun 2006 tentang sistem pelatihan kerja nasional). Wajib menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah harus melakukan atau hal yang tidak boleh tidak dilaksanakan. Wajib berarti tindakan atau perbuatan demikian merupakan perintah dari hati nurani, moral, agama, ataupun suatu peraturan hukum,yang bilamana tidak dilaksanakan akan menimbulkan kesalahan. Kewajiban anak adalah melaksanakan pidana subsider latihan kerja. Dengan demikian seharusnya kewajiban dilaksanakan dahulu, baru kemudian menuntut hak.

(37)

secara umum merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu lain dalam mencapai kemandirian dan usaha mentalnya sehingga dapat survive kehidupannya. Sedangkan menurut Soekidjo Notoatmodjo mengatakan pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu,kelompok atau masyarakat sehingga mereka dapat apa yang diharapkan dari pelaku pendidikan.

d. Kekuatan Mengikat Putusan Hakim

Kekuatan Putusan HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Jika pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak- pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah pihak (ps.1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.9

9

(38)

a. Teori hukum materiil

Menurut teori ini maka kekuatan mengikat daripada putusan yang

lazimnya disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil

oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan:

menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat.

b. Teori hukum acara

Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada wewenang proses. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban proses.

c. Teori hukum pembuktian

Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan terikatnya para pihak pada putusan.

(39)

diputus oleh hakim harus dianggap benar atau res judicato pro veriate habetur. Sedangkan dalam arti negatif yaitu hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama (nebis in idem). Kecuali

didasarkan pada asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan

tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, maksudnya yaitu apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.

e. Kekuatan hukum yang pasti

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan, banding, dan kasasi . Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civildan perlawanan oleh pihak ketiga. Pasal 1917 Ayat (1) BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis). Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengconstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.

(40)

bukanlah hanya penggugat dan tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa antara penggugat dan tergugat, baik dengan jalan interventie maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam proses. Terhadap pihak ketiga putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi pihak ketiga ini dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (Pasal.378 Rv). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa hanya pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itulah yang dapat mengajukan perlawanan.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian. Sesuai dengan definisi tersebut maka peneliti akan melakukan analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan judul yaitu:

a. Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.10

b. Pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana.11

10

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1

11

(41)

c. Pidana wajib kerja sosial adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin sikap, dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.12

d. Pembaharuan hukum pidana adalah suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik, sosial filosofis, dan sosial kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.13

e. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana.14

E. Metode Penelitian

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum yakni menganalisa asas-asas hukum pidana materill dan formil dalam penerapan sanksi pidana wajib latihan kerja sosial dalam perkara anak, serta pelaksanaan pidana

12

Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah 31 tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.

13

Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm.20-21

14

(42)

wajib latihan kerja sosial dikaitkan dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat sedangkan pendekatan yuridis empiris sebagai data pendukung dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan, narasumber, tesis ini cukup menggunakan pendekatan normatif namun menggunakan narasumber kemudian dikaitkan dengan penerapan sanksi pidana wajib latihan kerja sosial serta dasar pertimbangan hakim dan kekuatan hukum putusan perkara anak dalam pengaturan undang-undang pengadilan anak serta pandangan narasumber.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

1. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(43)

3. Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

4. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. 7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Pidana Anak 8. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perUndang-Undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang hukum pidana ( RUU KUHP) Tahun 2012.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Pelatihan Kerja Nasional.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori atau pendapat para ahli dalam berbagai literatur atau bukum hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet serta meliputi:

1. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( RUU KUHAP) Tahun 2012.

(44)

C. Penentuan Narasumber

Dalam menganalisa data diperlukan pendapat narasumber penelitian, oleh karena itu ditentukan narasumber dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang 2. Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Bandar Lampung : 1 Orang 3. Lembaga Pemasyarakatan di Bandar Lampung : 1 Orang 4. Akademisi Fakultas Hukum : 1 Orang +

Jumlah : 4 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perUndang-Undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

(45)

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengelolaan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengelolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

2. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

3. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan suatu kesatuan yang bulat dan terpadu pada sub pokok bahasan sehingga mempermudah interprestasi data.

e. Analisis Data

(46)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini disusun untuk memudahkan pemahaman terhadap isi tesis, dengan urutan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran sistematika penulisan dan metode penelitian yang berisi pendekatan masalah, jenis dan sumber data, penentuan populasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengelolahan data serta analisis data. Kegunaannya adalah sebagai panduan teknis pelaksanaan penelitian ilmiah mulai dan pengumpulan, penyajian sampai dengan analisis data.

Bab II Tinjauan Pustaka. Bab ini berisi berbagai teori mengenai pengertian pidana dan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, teori social defence, penegakan hukum, tindak pidana wajib kerja sosial dan dasar-dasar pertimbangan hakim.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi deskripsi dana anaisis hasil penelitian mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa pidana khusus anak di pengadilan negeri banyuwangi dan pembaharuan pemidanaan dalam konsep RUU tindak pidana kerja sosial dalam penerapannya dalam sisitem pidana indonesia.

(47)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana Anak

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpsbilitas), yang didasarkan pada kesimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti( vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (eror) baik kesesatan mengenai keadannya (error facti) atau kesesatan mengenai hukumanya sesuai konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.1 Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Hukum pidana digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki, penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dan institusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya.2

1

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.2001.hlm.23

2

(48)

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, mak suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu: kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). Sesuai teori hukum pidana indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berrati si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

2. Kesengajaan seacara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dan delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

(49)

merupakan bentuk dan kesalahan yang menghasilkan dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.3

Kelalaian (culpa) terletak anatara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasidelier) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.4

Terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakanpemidanaan Pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan seorang anak. Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat atau kurang berpikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya.

Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang.

3

Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.1993.hlm.46.

4

(50)

Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.

Undang-Undang No.3 tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 pidan ayng dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa (a).Pidana Penjara,(b)Pidana Kurungan (c).Pidana Denda (d).Pidana Pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan: (1) dikembalikan kepada orang tuanya, (2) ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada negara. Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.

(51)

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak

2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini 3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus

4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tebaik bagi anak 5. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak

yang berhadapan dengan hukum. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.

6. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dapat dilakukan penahanan. Undang-Undang nasional memberikan peluang dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana. Contohnya Pasal 43 Ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menyatakan bahwa “Penangkapan anak nakal dilakukan

guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari”. Dalam

Pasal 44 Ayat (2) menyebutkan bahwa “Penahanan hanya berlaku utuk paling lama 20 hari. Dalam Ayat 3 menyebutkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang

berwenang, untuk paling lama 10 hari”. Penjelasan Ayat (4) menyatakan

bahwa “Dalam jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana yang

(52)

harus berada ditempat khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

B. Sanksi Pidana

Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Mengenai sanksi hukumnya, Undang-Undang Pengadilan Anak telah mengaturnya sebagaimana ditetapkan dalam bab III dan secara garis besar sanksi tersebut ada 2 (dua) macam, dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak berupa Pidana dan Tindakan. Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak yang telah berlaku pada tanggal 3 Januari 1998, sanksi hukuman yang berupa pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok terdiri dari 4 (empat) macam sebagaimana telah ditetapkan Pasal 23 Ayat (2) dan sanksi pidana tambahan terdiri dari 2 (dua) macam dalam Pasal 23 Ayat (3)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu :

a. Pidana Pokok : 1. Pidana Penjara. 2. Pidana Kurungan. 3. Pidana Denda. 4. Pidana Pengawasan.

(53)

Pidana Penjara yang dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.ketentuan ini hanya berlaku terhadap terdakwa anak yang umurnya 12 Tahun sampai dengan berumur belum genap 18 Tahun yang tidak melakukan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, misalnya tindak pidana pencurian atau pemerasan, maka hukuman yang dapat dijatuhkan maksimal adalah setengah dari maksimal ancaman pidana yang telah ditetapkan oleh Pasal-Pasal tersebut. Ancaman maksimal tindak pidana pencurian sebagaimana Pasal 362 KUHP adalah 5 (lima) Tahun, dan tindak pidana pemerasan Pasal 368 KUHP maksimal 9 (sembilan) Tahun, masing-masing ancaman hukuman tersebut adalah untuk orang dewasa.

Untuk perkara anak sesuai Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, maka ancaman Pasal 362 KUHP maksimal pidana penjara selama 2 (dua) Tahun 6 (enam) Bulan, dan untuk Pasal 368 KUHP ancaman hukumnya maksimal pidananya selama 5 (lima) Tahun 6 (enam) bulan.6

- Pidana Kurungan

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyebutkan pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2nhuruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.5

5

(54)

- Pidana Denda

Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan, pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Undang-Undang Pengadilan Anak tidak mengenal hukuman pengganti dengan berupa kurungan, akan tetapi wajib latihan kerja sebagai pengganti pidana denda sekaligus untuk mendidik anak bersangkutan memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Namun dalam Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa wajib latihan kerja paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan lama latihan kerja tidak boleh lebih dari empat jam sehari serta tidak dilakukan malam hari.

- Pidana Pengawasan

Dari ke 4 (empat) macam pidana pokok dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, pidana pengawasan merupakan jenis pidana baru yang khusus untuk terpidana anak. Yang dimaksud dengan pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari dirumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.6

Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah menentukan maksimal dan minimal hukuman itu. Hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana pengawasan paling lama 2 (dua) Tahun dan paling

6

(55)

singkat 3 (tiga) bulan. Selama menjalani hukuman pidana pengawasan, jaksa harus mendatangi rumah terpidana untuk melakukan pengawasan, dengan demikian pula pembimbing kemasyarakatan yang bertugas melakukan bimbingan terhadap terpidana. Jadi, pidana pengawasan bukan berupa penjara atau pidana kurungan yang dilaksanakan dirumah terpidana selama beberapa waktu yang ditetapkan oleh putusan pengadilan.

Pidana Tambahan :

1. Perampasan barang-barang tertentu.

2. Pembayaran ganti rugi.

3. Perampasan barang-barang tertentu.

Demikin dengan pidana seumur hidup, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak menginginkannya sama sekali. Pidana mati adalah pidana yang paling berat, dalam Pasal 26 Ayat (2) Undangalam-undang Nomor 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa anak nakal yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Sedangkan pidana tambahan, terdiri dari :

1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu. 2. Pidana perampasan tertentu.

(56)

Mengenai hukuman Pidana Tambahan yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP sama halnya seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pidana pencabutan hak-hak tertentu yang dalam Undang-Undang hanya memberikan kepada negara wewenang (melalui alat atau lembaga) untuk melakukan pencabutan hak tertentu saja. Hukuman Pidana Tambahan yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP sama halnya seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Disini adanya perbandingan. Antara Undang-Undang Pengadilan Anak sama dengan yang ada di KUHP yaitu mengenai pidana mati, selebihnya tidak ada perbandingan lainnya.

Dengan adanya pembedaan-pembedaan sanksi pidana dalam Pasal 23 mengenai pidana pokok dan pidana tambahan menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, maka dibedakan pula antara sanksi-sanksi yang dikenakan setelah pada putusan pengadilan dengan sanksi-sanksi yang diluar peradilan. Sanksi-sanksi diluar peradilan sebagian didasarkan pada hukum walaupun tidak dianggap sanksisanksi, selain itu doktrin mengakui dikenakan sanksi-sanksi diluar peradilan bukan Undang-Undang, maka hal tersebut tidak melanggar hukum yang dapat dikenakan hanya apabila si pelaku menyetujuinya.

C. Tujuan Pemidanaan

(57)

a. Teori retributif

Teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.7

b. Teori Detterence

Teori detterence dapat dibagi menjadi teori special detterence dan teori general detterence. Dalam special detterence theory (pencegahan khusus), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan dilakukan (after the fact inhibition), sehingga terpidana tidak akan lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang. Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Teori ini disebut juga dengan teori penjeraan yang bermaksud agar pelanggar menjadi jera. Dan oleh H.L Packer disebut dengan intimidation theory. Sedangkan dalam general detterence (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan (before the fact inhibition). Pencegahan umum ini dilakukan melalui pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka atau diketahui umum sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama.8

7

Mahmud Mulyadi,Politik Hukum Pidana.Bahan Kuliah Ke 1,Medan. 2007.hlm.68-69

8

(58)

c. Teori Treatment

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).9

d. Teori Social Defence

Menurut F. Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. 10Menurut Marc Ancel, yang menamakan gerakannya dengan New Social Defence, atau perlindungan masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru ini adalah:

1. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang

9

Mahmud Mulyadi. op cit,hlm.79

10

(59)

harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

2. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan dimasukkan dalam perUndang-Undangan.

3. Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral ke arah timbulnya moralitas sosial.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa secara umum tujuan pemidanaan adalah :

1. Mencegah dilakukkannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

(60)

D. Sistem Pemidanaan

Sistem pemidanaan dalam arti sempit bila dikaji dari hukum pidana materill, mencangkup pengaturan tentang:

a. Jenis pidana (strafsoort)

b. Lamanya ancaman pidana (strafmaat)

c. Pelaksanaan pidana (strafmodus)

1. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (RUU KUHP 2012) diatur dalam Pasal 65 tentang jenis-jenis pidana:

1. Pidana pokok adalah:

a. Pidana Penjara b. Pidana Tutupan c. Pidana Kerja Nasional d. Pidana Pengawasan e. Pidana Denda

2. Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.

(61)

Pasal 67 Pidana tambahan terdiri atas:

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan c. Pengumuman putusan hakim

d. Pembayaran ganti kerugian e. Pemenuhan kewajiban adat.

Pasal 68 dalam ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 diatur tersendiri dengan Undang-Undang.

(62)

2. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)

Adapun mengenai jumlah ancaman pidana yang dianut oleh konsep akan digunakan pola maksimum dan minimum pidana sebagai berikut:

a. Untuk pidana penjara akan tetap dibedakan antara pidana penjara seumur hidup dan untuk waktu tertentu.

b. Pidana penjara untuk waktu tertentu, minimal (umum) satu hari kecuali ditentukan lain dan maksimal berturut-turut 15 Tahun yang dalam hal-hal tertentu dapat mencapai 20 tahun.

c. Pidana minimal untuk benda adalah Rp.100,00, (seratus ribu rupiah) kecuali ditentukan lain, dan denda paling banyak ditentukan berdasarkan kategori.

-Kategori Ke-1, maksimal Rp.6000.000 (enam juta rupiah) -Kategori Ke-2, maksimal Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah)

-Kategori Ke-3, maksimal Rp 120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) -Kategori Ke-4, maksimal Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

-Kategori Ke-5, maksimal Rp1.200.000.000 (satu milyar dua ratus juta rupiah) -Kategori Ke-6, maksimal Rp 12.000.000.000 ( dua belas milyar rupiah)

Pola maksimum dan minimum pidana di atur di dalam aturan umum (buku I), Pasal 81-85 untuk pidana penjara dan Pasal 69-75 untuk pidana. Adapun perumusananya dalam buku II (yang memuat perumusan tindak pidana) akan digunakan pola perumusan sebagai berikut:11

11

(63)

a. Apabila suatu tindak pidana akan digunakan dianggap tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan dengan tindak pidana “sangat ringan”. Golongan ini hanya diancam dengan pidana denda menurut kategori ke-1 sampai kategori ke-2.

b. Apabila suatu tindak pidana yang semula atau selama ini di ancam dengan pidana penjara atau kurungan kurang 1 tahun tetap dinilai patut untuk di ancam dengan pidana penjara, maka akan diancam dengan maksimum pidana paling rendah 1 tahun.

c. Semua tindak pidana yang menurut penilaian patut diancam dengan pidana penjara maksimum 1 tahun sampai dengan 7 tahun, selalu akan dialternatifkan dengan pidana denda dengan penggolongan sebagai berikut:

1. Untuk golongan “ringan” (maksimum penjara 1 sampai 2 tahun), diancam dengan maksimum denda kategori ke-3 (maksimum 120 juta rupiah)

2. Untuk golongan “sedang” (maksimum penjara 2 sampai 4 tahun) dan golongan

“berat” (maksimum penjara 4 sampai 7 tahun), diancam dengan maksimum denda

kategori ke-4 (maksimum Rp.300 juta).

(64)

Berdasarkan rapat-rapat tim pengkajian masih tetap dimungkinkan adanya

“penyimpangan” antara lain:

a. Untuk beberapa tindak pidana meresahkan masyarakat ancaman pidananya akan ditingkatkan secara khusus dan sebaliknya dengan alasan khusus dapat diturunkan ancaman pidananya.

b. Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan keuntungan ekonomis (yang cukup tinggi). Pidana penjara yang diancamkan dapat dialternatifkan dan dikomulatifkan dengan pidana denda ( sistem alternatif-kualitatif).

c. Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan

“disparitas pidana dan meresahkan masyarakat” akan di ancam dengan

pidana minimum khusus.

Ancaman pidana dan minimum khusus yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa perbedaan dengan kitab Undang-Undang hukum pidana yang saat ini berlaku, yakni:

a. Ancaman pidana maksimum khusus yang paling rendah untuk pidana penjara adalah 1 tahun, hal ini berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:

Gambar

Gambar 1 Skema alur pikir

Referensi

Dokumen terkait

b. Ada 243 pasangan bercerai yang telah memiliki anak. Ada 53 orang isteri yang tidak menuntut nafkah anak kepada suaminya baik nafkah lalu maupun nafkah untuk masa yang akan

mengalami ozonisasi ada kecendrungan mengalami penurunan nilai viskositas. Penurunan viskositas paling besar pada beras dengan perlakuan ozonisasi selam 60 menit. Akan

Puji syukur atas segala rahmat-Nya penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, Sang Pencipta, dan Penguasa, segala karya atas karunia dan pertolongan-Nya

Untuk semua sistem baru, proses rekayasa persyaratan harus dimulai studi kelayakan. Input dari studi kelayakan adalah deskripsi garis besar sistem dan bagaimana sistem akan

Caranya dengan facialkan putih telur pada wajah yang berjerawat untuk merawat jerawat yang sedang meradang sekaligus membuat kulit lebih lembut dan kencang.

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

Desa Kolongan Kecamatan Talawaan pada dasarnya Usaha tani buah lokal di desa kolongan kecamatan talawaan masih merupakan andalan bagi kontribusi peningkatan

Jumlah persalinan di Propinsi DIY berdasarkan data dari 5 Rumah Sakit Daerah Tingkat II Yogyakarta pada tahun 2010 sebanyak 11.005 persalinan dengan persentase perdarahan