DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Arivia, Gadis. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Jakarta: Ford Foundation, 2005.
Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi. Medan : PT. Sofmedia, 2015.
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Bandung: PT. Refika Aditama, 2013
Hamzah, Andi Terminologi Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial jilid 1, Jakarta:PT. Raja Grapindo Persada, 2005
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice), Bandung: Aditama, 2012.
Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta:Bina Aksara, 2001.
Nasir, Djamil M, Anak Bukan untuk Dihukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2013.
Rahardjo, Satjipto Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000
Savitri, Primautama Dyah. Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Jakarta: Yayasan Obor, 2006
Soesilo,R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta
Komentar-Komentarnya, Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politea, 1995.
Sosio, Dirdjosisworo. Krimonologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan. Bandung: Sinar Baru, 1984.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan Undnag-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : KPAI, 2002.
Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
C. Artikel / Jurnal
Muh.Sudirman Albone, Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pencabulan di Kota Parepare, jurnal hukum diktum , Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hal77-95.
D. Internet
Seto Mulyadi, Perlindungan Anak dari Kekerasan, www. Tulisan Perempuan. worpress.com (diakses tanggal 28 Februari 2016)
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-setiap-bulan-129-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual/diakses tanggal 1 Maret 2016.
www.Google.com,Pornografi di media massa dan pengaruhnya pada remaja, 21 Januari 2016
E. Wawancara
Hasil wawancara dengan Liansah Rangkuti, selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Tanjung Balai, tanggal 29 Februari 2016.
F. Putusan
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Arivia, Gadis. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Jakarta: Ford Foundation, 2005.
Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi. Medan : PT. Sofmedia, 2015.
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Bandung: PT. Refika Aditama, 2013
Hamzah, Andi Terminologi Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial jilid 1, Jakarta:PT. Raja Grapindo Persada, 2005
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice), Bandung: Aditama, 2012.
Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta:Bina Aksara, 2001.
Nasir, Djamil M, Anak Bukan untuk Dihukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2013.
Rahardjo, Satjipto Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000
Savitri, Primautama Dyah. Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Jakarta: Yayasan Obor, 2006
Soesilo,R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta
Komentar-Komentarnya, Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politea, 1995.
Sosio, Dirdjosisworo. Krimonologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan. Bandung: Sinar Baru, 1984.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan Undnag-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : KPAI, 2002.
Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
C. Artikel / Jurnal
Muh.Sudirman Albone, Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pencabulan di Kota Parepare, jurnal hukum diktum , Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hal77-95.
D. Internet
Seto Mulyadi, Perlindungan Anak dari Kekerasan, www. Tulisan Perempuan. worpress.com (diakses tanggal 28 Februari 2016)
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-setiap-bulan-129-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual/diakses tanggal 1 Maret 2016.
www.Google.com,Pornografi di media massa dan pengaruhnya pada remaja, 21 Januari 2016
E. Wawancara
Hasil wawancara dengan Liansah Rangkuti, selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Tanjung Balai, tanggal 29 Februari 2016.
F. Putusan
Kejahatan sebagai fenomena sosial dipengaruhi oleh berbagai aspek
kehidupan dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan hal-hal
yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara. Adapun
prespektif kriminologi bersifat dinamis dan mengalami pergeseran dari perubahan
sosial dan pembangunan yang berkesinambungan. Memperhatikan perspektif
kriminologi tentang kejahatan dan permasalahannya.
Objek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan
antaramasyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungan
tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok,
sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.29
Secara umum dapat dikatakan setiap masyarakat memiliki tipe kejahatan
dan penjahat sesuai dengan budayanya, moralnya, kepercayaannya serta
kondisi-kondisi sosisl, politik, ekonomi, hukum dan hankam serta struktu-struktur yang
ada.
Mempelajari tindak penyimpangan sosial (kejahatan), dapat melalui 2 cara
pendekatan yaitu:30
1) Melihat penyimpangan sebagai kenyataan objektif
2) Penyimpangan sebagai problematika subjekti
29 I.S, Susanto, Kriminologi, Yogyakarta:Genta Publishing, 2011, halaman. 72
Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek sosial sudah dimulai
jauhsebelum lahirnya kriminologi, sedangkan usaha mencari sebab-sebab
kejahatan (secara ilmiah) dari aspek sosial dipelopori oleh mazhab lingkungan
yang muncul di Prancis pada abad 19, yang merupakan reaksi terhadap ajaran
Lombroso. Mannheim membedakan teori-teori sosiologi kriminal ke dalam:31
1) Teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang mencari sebab
kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial, perbedaan di antara kelas-kelas sosial yang
ada. Termasuk dalam teori ini adalah teori anomie dan teori-teori sub-budaya
delinkuen. Teori kelas dapat dipandang sebagai “pendewasaan” teori- teori
sosiologi kriminal. Berbeda dengan teori-teori sebelumnyayang mencari
sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri yang terdapat atau yang melekat pada
orang atau pelakunya, teori kelas mencari “di luar” pelakunya, khususnya
pada struktur sosial yang ada.
2) Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teori-teori yang
membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial, tetapi dari aspek
yang lain seperti lingkungan, kependudukan, kemiskinan, dan sebagainya,
termasuk dalam teori ini adalah teori-teori ekologis, teori konflik kebudayaan,
teori faktor ekonomi, dan differential association
Dalam mengajukan teorinya tersebut, Sutherland ingin menjadikan
teorinya tersebut sebagai teori yang dapat menjelaskan semua sebab-sebab
kejahatan. Maka peneliti menggali sebab musabab kejahatan dengan
menggunakan teori dari Sutherland yang menjelaskan semua sebab-sebab
kejahatan.sebagai berikut:
D. Faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi
Rendahnya tingkat pendidikan formal dalam diri seseorang dapat
menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan yang bersangkutan mudah
terpengaruh melakukan suatu kejahatan tanpa memikirkan akibat dari
perbuatannya. Salah satu delik yang berhubungan karena pelakunya memiliki
pendidikan formal yang rendah adalah tindak pidana kesusilaan terutama
pencabulan yang terjadi di Tanjung Balai.32
Bahwa pada umumnya mempunyai pendidikan yang rendah. Tingkat
pendidikan yang rendah para pelaku tidak berpikir bahwa dengan melakukan
perbuatan tersebut dapat merusak keluarga dari pelaku tersebut dan watak anak
yang menjadi korban. Karena pendidikan yang rendah maka berhubungan dengan
taraf ekonomi, dimana ekonomi juga merupakan salah satu penyebab seseorang
melakukan suatu perbuatan yang melanggar norma hukum.
“Kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan. Dan kejahatan
yang besar itu tidak diperbuat orang untuk memdapatkan kebutuhan-kebutuhab
hidup yang vital, akan tetapi lebih banyak didorong oleh keserakahan manusia
mengejar kemawahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan.33
Ekonomi merupakan suatu penunjang kehidupan setiap manusia, ekonomi
atau keuangan dapat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu
32 Hasil wawancara dengan Liansah Rangkuti, selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak
Tanjung Balai, tanggal 29 Februari 2016.
33 Kartini kartono, Patologi Sosial jilid 1, (Jakarta:PT. Raja Grapindo Persada, 2005),
pencabualan terhadap anak di bawah umur. Dalam hal yang dimaksud tersebut
ialah apabila seseorang mengalami himpitan atau kesusahan dalam bidang
perekonomian, hal tersebut dapat menganggu akal pikirannya dan dapat
mengakibatkan orang tersebut akan mengalami stres berat, sehingga dapat
membuat orang tersebut dapat melakukan sesuatu hal yang tak bisa dikontrol oleh
dirinya sendiri. Hal ini cenderung di kehidupan berkeluarga dan pengangguran
yang dapat melakukan tindakan apa saja yang tak bisa dikontrol oleh dirinya
sendiri akibat dari kemerosotan perekonomian dalam kehidupannya.34
Timbulnya kejahatan disebabkan oleh kemiskinan. Kemelaratan itu
mendorong oranguntuk berbuat jahat dan tidak susila”. Pendapat para ahli di atas
dilihat bahwa faktor ekonomi juga ikut berpengaruh terjadinya kejahatan termasuk
tindak pidana pencabulan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa factor pendidikan yang rendah dan
ekonomi mempengaruhi keadaan jiwa, tingkah laku terutama intelegensinya
sehingga mereka dapat melakukan kejahatan dalam hal ini tindak pidana
pencabulan pada anak di Tanjung Balai.
Menurut Aristoteles menyatakan bahwa:35“Kemiskinan menimbulkan
pemberontakan dan kejahatan. Dan kejahatan yang besar itu tidak diperbuat orang
untuk memdapatkan kebutuhan-kebutuhab hidup yang vital, akan tetapi lebih
banyak didorong oleh keserakahan manusia mengejar kemawahan dan
kesenangan yang berlebih-lebihan”.
34 Hasil wawancara dengan Liansah Rangkuti, selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak
E. Faktor lingkungan atau tempat tinggal
Kejahatan asusila adalah merupakan tindak manusia terhadap manusia
lainnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu manusia adalah anggota dari
masyarakat, maka kejahatan asusila tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
setempat. Lingkungan sosial tempat hidup seseorang banyak berpengaruh dalam
membentuk tingkah laku kriminal, sebab pengaruh sosialisasi seseorang tidak
akan lepas dari pengaruh lingkungan.
Faktor lingkungan menjadi salah satu faktor, karena di lingkungan
manapun seseorang bertumbuh itu akan mempengaruhi kehidupan sosialnya. Dan
ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang kurang baik kemungkinan besar
peluang untuk menjadi korban kerjahatan semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan situasi dan keadaan dari lingkungan tempat tinggal yang mendukung
dan memberi kesempatan untuk melakukan suatu tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur, yang antara lain sebagai berikut :36
1. Pergaulan di lingkungan masyarakat sekitar yang terkadang sering kali
melanggar norma-norma yang berlaku seperti perkumpulan atau tongkrongan
yang seringkali berperilaku yang tidak sopan seperti mengganggu wanita,
minum-minuman beralkohol dan lain sebagainya.
2. Lingkungan tempat tinggal yang cenderung mendukung terjadinya kejahatan,
seperti lampu penerangan jalanan yang tidak memadai sehingga menimbulkan
daerah tersebut menjadi gelap, dan sepi yang dimana hal tersebut dapat
mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan.
36 Hasil wawancara dengan, Liansah Rangkuti, selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak
3. Kurang efisiennya sistem pengamanan dari suatu daerah oleh masyarakat
maupun aparat kemananan setempat sehingga menyebabkan daerah tersebut
rawan dan sering timbul kejahatan.
4. Keadaan di lingkungan keluarga yaitu kurang efisiennya antisipasi keluarga
terhadap anak seperti seorang anak dibiarkan bermain atau berpergian
sendirian tanpa pendampingan dan pengawasan secara intensif sehingga anak
dapat diawasi dengan baik, dengan siapa anak bermain ataupun dengan siapa
teman yang baru anak kenal dan ketahui.
5. Keadaan di lingkungan keluarga dalam hal hubungan seksual suami istri dapat
mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan seperti seorang ayah
mencabuli anaknya (incest) yang disebabkan hasrat seksual ayah tidak dapat
dipenuhi oleh sang ibu dan menyebabkan ayah lepas kontrol dan mencabuli
anaknya sendiri, hal tersebut lebih cenderung pelakunya ialah ayah tiri tapi
dapat juga dilakukan oleh ayah kandung atau saudara-saudara dari anak
tersebut.
6. Keadaan di lingkungan pendidikan dapat juga mempengaruhi dikarenakan di
lingkungan pendidikan juga harus di waspadai sebab banyak kasus pencabulan
yang dilakukan oleh seorang pengajar ataupun teman sekolahnya yang
disebabkan oleh kurangnya moralitas dan mentalitas dari pelaku sehingga
membuat moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik,
membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
7. Keadaan lingkungan di jalanan bagi anak-anak yang berkehidupan di jalanan
bawah umur, dikarenakan kehidupan jalanan dapat dikatakan kehidupan yang
sangat keras dan memiliki potensi yang relevan bagi suatu tindak pidana
pencabulan, kebanyakan korbannya anak-anak jalanan yang berkehidupan
sebagai pengamen dan pengemis, tidak selayaknya anak-anak berada dalam
lingkungan tersebut.
Bahwa bukan hanya pengaruh faktor lingkungan sosial yang ikut berperan
akan timbulnya kejehatan tetapi faktor tempat tinggal pun ikut juga
mempengaruhi kejahatan seperti tindak pidana asusila terutama tindak pidana
Pencabulan, contohnya: Keluarga yang hancur/broken home tentunya
menyebabkan luka batin terhadap anak-anaknya. Dan kesibukan orang tua dengan
pekerjaan menjadikan anak terlantar dan tidak mendapat asuhan dari orang tua
dengan maksimal. Menjadikan Pantauan orang tua dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan anaknya kurang, maka banyak anak-anak yang terjerumus kepada
hal-hal yang negatif diantaranya tindak pidana pencabulan (sodomi).
F. Faktor kurangnya pemahaman terhadap agama
Penyebab terjadinya suatu kejahatan ditentukan pada persoalan
keharmonisan, agama atau hubungan antara manusia dengan Tuhan. Menurut teori
ini semakin jauh hubungan seseorang dengan tuhannya melalui perantara agama
yang dianutnya maka semakin dekat pula maksud seseorang untuk melakukan
imannya menjadi lemah. Kalau sudah demikian keadaannya, maka seseorang
mudah sekali untuk melakukan hal yang buruk.37
Salah satu penyebab terjadinya tindak pidana Pencabulan (Sodomi)
terhadap anak di Tanjungbalai karena kurangnya pemahaman pelaku terhadap
agama. Mereka mengaku beragam islam akan tetapi jarang melaksanakan shalat
lima waktu, puasa. Mereka beralasan karena jarak rumah dan rumah ibadah yang
cukup jauh. Karena kurangnya pemahaman mereka terhadap agama maka anak
mengakibatkan dia tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk, serta
mana yang halal dan haram, jadi kurangnya pemahaman seseorang terhadap
agama akan mengakibatkan kontrol sosialnya tidak kuat sehingga mudah
melakukan kejahatan.
37 Hasil wawancara dengan Liansah Rangkuti selaku Komisi Perlindungan Anak Tanjung
A. Kebijakan Penal
Kebijakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai dua
tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum
pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam KUHPidana, dan secara
khusus banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan
ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia, diatur
secara umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dan secara khusus ada yang diatur di undang-undang yang mencantumkan
ketentuan pidana. Penegakan hukum pidana di Indonesia menganut dua sistem
yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara
penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum
acara pidana secara instansional dan sistem peradilan pidana yang mengatur
bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan (Intregated Criminal Justices
system). Mengapa demikian, karena pada strukturnya, penegakan hukum pidana
Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah
dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-masing.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.38
Dalam menegakkan hukum, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu Satjipto Rahardjo mengatakan
bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses
perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.
Penegakan hukum harus berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, karena hukum
diciptakan semata-mata untuk kepetingan masyarakat. Sehingga dengan adanya
penegakan hukum diharapkan masyarakat dapat hidup aman, damai, adil, dan
sejahtera.39
Aparat penegak hukum, mencakup pengertian mengenai institusi penegak
hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Aparat penegak hukum yang
terlibat dalam penegakan hukum antara lain:
Usaha penanggulangan suatu kejahatan, apakah itu menyangkut
kepentingan hukum seseorang, masyarakat maupun kepentingan hukum negara.,
tidaklah mudah seperti yang dibayangkan karena hampir tidak mungkin
menghilangkannya. Tindak kejahatan atau kriminalitas akan tetap ada selama
manusia masih ada dipermukaan bumi ini, kriminaitas akan hadir pada segala
bentuk tingkat kehidupan masyarakat. Kejahatan amatlah kompleks sifatnya,
karena tingkah laku dari penjahat itu banyak bentuknya serta sesuai pula dengan
perkembangan yang semakin canggih dan dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
dan berpengaruh terhadap meningkatnya tindak pidana pencabulan (sodomi),
dimana semakin meluasnya informasi melalui media elektronik maupun media
cetak dari seluruh belahan dunia yang tidak melalui tahap penyaringan terhadap
adegan-adegan yang berbau negatif.
Dampak yang ditimbulkan akibat dari tayangan yang berbau pornografi
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang berkaitan dengan tindak
pidana kesusilaan antara lain pencabulan, perkosaan dan perzinahan. Oleh sebab
itu, diperlukan upaya menanggulanginya baik secara jalur hukum atau tindakan
represif dan secara jalur non hukum atau tindaka preventif.
Penanggulangan jalur penal, usaha pemberantasan pelaku kejahatan
seksual dalam hal ini ditujukan kepada pelaku sodomi. Artinya pemberantasan
kejahatan sodomi langsung kepada pelaku, hal ini dilakukan agar kejahatan
langsung diberantas pada akarnya. Supaya pelaku kejahatan seksual berupa
sodomi menjadi jera perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :40
1. Tindakan preventif
a. Individu
Harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk terus mencoba
agar tidak menjadi korban kejahatannya khususnya pencabulan (sodomi),
salah satunya adalah tidak memberikan kesempatan atau ruang kepada
setiap orang atau setiap pelaku untuk melakukan kejahatan. Salah satunya
yaitu dengan jalan :
1) Menghindari pakaian yang dapat menimbulkan rangsangan seksual
terhadap lawan jenis.
2) Tidak tidur bersama dengan anggota keluarga yang berlainan jenis
yang telah dewasa
b. Masyarakat
Kehidupan masyarakat adalah suatu komunitas manusia yang memiliki
watak yang berbeda-beda satu sama lainnya, sehingga kehidupan
masyarakat merupakan salah satu hal yang penting dimana menentukan
dapat atau tidaknya suatu kejahatan dilakukan. Dalam kehidupan
bermasyarakat perlu adanya poa hidup yang aman dan tentram sehingga
tidak terdapat ruang atau untuk terjadinya kejahatan, khususnya kejahatan
dibidang asusila terutama pencabulan (sodomi) terhadap anak.
Pencegahan terhadap kejahatan asusia yang merupaka suatu usaha
bersama yang harus dimulai sedini mungkin pada setiap anggota
masyarakat. Upaya yang dilakukan agar mencegah terjadinya tindak
pidana kesusilaan yaitu menciptakan suasana yang tidak menyimpang
dengan tata nilai yang dianut oleh masyarakat. Adapun usaha-usaha yang
dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah yaitu dengan jalan
mengadakan acara silaturahi antara anggota masyarakat yang diisi dengan
ceramah-ceramah yang dibawakan oleh tokoh masyarakat dilingkungan
tempat tinggal.
c. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah
Usaha penanggulangan kejahatan, pemerintah juga tidak lepas dari hal ini,
menginggat pemerintah merupakan perpanjangan tangan dari Negara maka
masyarakat dan bertanggungjawab atas kehidupan berbangsa dan
bernegara yang aman dan tentram
d. Kepolisian
Kepolisian sebagai salah satu instansi penegak hukum, juga memandang
peranan yang sangat penting demi terwujudnya kehidupan yang aman dan
tentram. Usaha yang dilakukan polisi dalam upaya penanggulangan
kejahatan diantaranya adalah melakukan patrol rutin untuk meningkatkan
suasana kamtibmas dalam kehidupan masyarakat, selain itu kepolisian
juga secara rutin memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat.
Selain itu kepolisian juga secara rutin memberikan penyuluhan hukum
terhadap masyrakat. Selain itu aparat kepolisian dalam melakukan patroli
diharapkan mampu membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat
sehingga tercipta hubungan yang harmonis anntara polisi dengan
masyarakat yang nantinya akan melahirkan kerjasama yang baik diantara
keduanya.
2. Upaya represif
Selain upaya preventif di atas, juga diperlukan upaya represif sebagai bentuk
dari upaya penanggulangan kejahatan asusila termasuk pencabulan (sodomi).
Penanggulangan yang dilakukan secara represif adalah upaya yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum, berupa penjatuhan atau pemberian sanksi pidana kepada
pelaku kejahatan, dalam hal ini dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan
Meningkatnya kasus kejahatan seksual berupa pencabulan (sodomi) di
karenakan kesalahan semua pihak baik penegak Hukum seperti Polisi, Jaksa dan
Hakim yang memberikan hukuman ringan kepada pelaku kejahatan seksual
berupa sodomi sampai masyarakat yang kurang mengawasi lingkungannya,
namun semua pihak harus peduli dan ada rasa tanggung jawab bersama untuk
mencegah perbuatan seksual yang menyimpang seperti sodomi tersebut.Kejahatan
Seksual diatur didalam Pasal 281, 289 sampai 296 KUHP yang mana rentang
waktu hukumannya antara 9 bulan sampai 12 tahun dan hukuman tersebut masih
ringan dibandingkan kerugian yang dialami oleh korban kejahatan seksual seperti
sodomi, karena hal tersebut akan terbawa sampai korban mati atau selama
hidupnya merupakan memori yang terburuk dalam kehidupannya, dalam kasus
kejahatan seksual seperti sodomi harus ada semacam kebijakan kriminal (criminal
policy) dari para petinggi hukum di negeri ini yang mana para pelaku dihukum
berat atau perlu diberlakukan hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati agar
terdapat efek jera dari pelaku kejahatan seksual seperti sodomi ini.
Korban kejahatan seksual berupasodomi harus berani melaporkan
kasusnya kepada pihak yang berkompeten dengan kasus kejahatan seksual seperti
Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM), serta khususnya kepada Polisi. Selain
Criminal Policy (kebijakan kriminal) terdapat hal yang penting lainnya ialah
victim center (pusat korban) yang berguna untuk membantu melalui konsultasi
serta rehabilitasi baik secara fisik maupun mental korban kejahatan seksual.41
Selain tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh kepolisian, kepolisian juga
41 www.Google.com,Pornografi di media massa dan pengaruhnya pada remaja, diakses
dapat melakukan tindakan-tindakan represif. Tindakan represif yang dilakukan
harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan atas perintah atasan
tertinggi kepolisian tersebut. Tindakan tersebut harus mendapat perintah dari
atasan dikarenakan jika terjadi kesalahan prosuder dan lain sebagainya yang
mengakibatkan kerugian bagi pelaku ataupun masyarakat, hal tersebut menjadi
tanggung jawab atasan, sehingga aparat yang bekerja dilapangan dalam
melakukan tindakan tidak sewenang-wenang. Tindakan tersebut dapat berupa
pelumpuhan terhadap pelaku, melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan
dan lain sebagainya. Sementara bagi pihak kejaksaan adalah meneruskan
penyidikan dari kepolisian dan melakukan penuntutan dihadapan majelis hakim
pengadilan negeri. Sementara di pihak hakim adalah pemberian pidana maksimal
kepada pelaku diharapkan agar pelaku dan calon pelaku mempertimbangkan
kembali untuk melakukan dan menjadi takut dan jera untuk mengulangi kembali.
Sementara bagi pihak Lembaga Permasyarakatan memberikan pembinaan
terhadap narapidana yang berada di Lembaga Permasyarakatan berupa pembinaan
mental agama, penyuluhan hukum serta berbagai macam keterampilan.
Usaha penanggulangan suatu kejahatan tidaklah mudah seperti yang
dibayangkan, karena tidak akan mungkin untuk menghilangkannya. Sebab tindak
kejahatan atau criminal akan tetap ada selama manusia masih ada dimuka bumi.
Kriminalitas akan hadir pada segala bentuk tingkat kehidupan dalam masyarakat,
karena tingkah laku dan penjahat tersebut banyak variasinya sesuai dengan
perkembangan zaman yang semakin modern. Dalam hal penanggulangan delik
dalam konvensi tersebut terdapat prinsip umum yang harus diberlakukan kepada
anak, dengan adanya prinsip tersebut maka anak akan terlindungi hak dan
kewajibannya.
Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,
yakni sejak anak masih dalam kandungan sampai anak belum mencapai 18 tahun,
sesuai dalam pasal 1ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 2002 jo 2014 Tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi bahwa perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Setiap anak yang menjadi korban kejahatan dalam hal ini kejahatan
pencabulan dapat menimbulkan trauma yang mendalam pada anak. Tidak hanya
anak perempuan tapi juga anak laki-laki, dimana mereka bisa mencontoh perilaku
tersebut ketika beranjak dewasa, mereka juga tidak bisa menikmati masa
kanak-kanak dan remaja mereka karena mereka merasa malu bergaul dengan teman
sebayanya dan masyarakat di sekitarnya, oleh karena itu perlindungan terhadap
anak sangat dibutuhkan
Untuk mencegah terjadinya delik pencabulan terhadap anak dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu preventif dan refresif.
1. Upaya preventif ( pencegahan sebelum terjadi )
Upaya kejahatan dengan melalui upaya preventif tidak memakai sarana
masyarakat secara terpadu dan upaya penanggulangan ini lebih bersifat sebagai
upaya pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu
antara lain berpusat pada maslah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung dapat menimbulkan kejahatan. Pencegahan kejahatan menurut upaya ini
didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang
menimbulkan kejahatan.Masalah pencabulan yang dilakukan terhadap anak
laki-laki perlu mendapatkan perhatian yang sangat khusus dalam pencegahannya, oleh
karena dampak yang sangat besar, baik terhadap korban sendiri maupun terhadap
masyarakat.
Pencabulan yang dialami oleh anak-anak akan berdampak buruk bagi
perkembangan masa depan anak-anak tidak hanya untuk anak perempuan tetapi
juga untuk anak laki-laki, karena secara psikologis dampak yang ditimbulkan
sangat besar terutama bagi korban, bagi anak yang menjadi korban pencabulan
secara psikis akan mengalami trauma yang berkepanjangan terutama bagi anak
perempuan sedangkan bagi anak laki-laki yang menjadi korban sodomi akan
menimbulkan efek jangka panjang karena perilaku tersebut akan tertular kepada
korban dan korban akan meniru perilaku tersebut ketika beranjak dewasa selain
itu, anak-anak laki-laki yang pernah terlibat aktivitas seksual dengan orang
diberikan sanksi hukum semaksimal mungkin agar jerah dan tidak mengulangi
lagi perbuatannya. 42
Oleh karena itu peran serta aparat penegak hukum terutama pihak
kepolisian, kejaksaan, pengadilan diharapkan dapat memberikan hukuman
hukuman yang berat kepada si pelaku sehingga menimbulakan efek jerah bagi
pelaku kejahatan. Anak memang menjadi sasaran empuk bagi para pelaku
pencabulan karena secara sosial kedudukan anak lemah, mudah diperdaya dan
secara psikologis anak mudah ditipu oleh si pelaku hanya sekedar
diiming-imingngi uang, dijanjikan akan dibelikan sesuatu atau bujukan-bujukan yang lain.
Maka dari itu orang tua harus lebih pekah terhadap anak dan harus sering
berkomunikasi dengan anak mengenai kegiatan anak seharian ketika berada di
luar rumah dan sebaiknya sejak dari dini anak harus diberitahu mengenai bagian
mana saja dari tubuhnya yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Yang paling
penting juga ialah seorang ibu jangan mempercayakan anak kepada siapapun
termasuk keluarga sendiri.
Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk
mencegah terjadinya kasus pencabulan terhadap anak-anak, yaitu : 43
a. Usaha yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga
Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak , untuk itu orang tua
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga dan mendidik anak.
Keluarga juga harus memberikan pengawasan dan perhatian kepada anak,
sehingga anak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang.
42 Hasil wawancara Liansah Rangkuti, selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Tanjung
b. Usaha dari masyarakat
Meningkatkan pengetahuan tentang hukum dalam hal ini undang-undang
mengenai kesusilaan agar terhindar dari kejahatan kesusilaan seperti
pencabulan.
c. Usaha yang dilakukan oleh anak agar tidak menjadi korban pencabulan
Sebaiknya seorang anak menghindari berpaikaian terbuka ( seksi ) yang dapat
menimbulkan rangsangan bagi orang yang melihat, sekalipun di dalam rumah.
Serta menghindari sikap bermanja-manja terhadap lawan jenis yang telah
dewasa.
d. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah / aparat penegak hukum.
Upaya penanggulangan delik pencabulan terhadap anak merupakan usaha
bersama yang harus dilakukan demi kepentingan bersama, maka dari
usaha/upaya yang dilakukan untuk menanggulangi delik pencabulan ialah :
1) Mengadakan penyuluhan atau sosialisasi hukum. Penyuluhan hukum ini
diharapkan agar anggota masyarakat dapat memahami tentang hukum,
serta mengetahui akibat-akibat yang dapat ditimbul apabila melanggar
hukum. Melalui penyuluhan ini, maka kesadaran hukum dapat lebih
ditingkatkan dan dapat menyadari serta mengerti tentang hak dan
kewajibannya dalam masyarakat dan bernegara.
2) Aparat penegak hukum melakukan razia, penyitaan dan pelarangan
peredaran peredaran vcd dan majalah-majalah porno dan sekaligus
3) Mengadakan penyuluhan keagamaan / moral yaitu melakukan pembinaan
mental spiritual yang mengarah pada pembentukan moral yang baik bagi
masyarakat luas secara langsung.
2. Upaya refresif (penindakan)
Pananggulangan secara refresif adalah upaya yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum, berupa penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan.
Adapun upaya-upaya refresif yang dilakukan pihak kepolisian ialah menerima
laporan pengaduan dari masyarkat mengenai terjadinya delik pencabulan terhadap
anak setelah itu melakukan penyelidikan untuk mencari keterangan dan alat bukti
terkait kasus pencabulan pada anak lalu melakukan penangkapan terhadap
tersangka untuk kepentingan penyidikan kemudian melakukan pemerikasaan
terhadap tersangka, korban dan saksi untuk kepentingan penyidikan.
Selanjutnya jika berita acara pemeriksaan sudah lengkap ( P-21 ) segera
dilimpahkan ke kejaksaan. Aparat kepolisian bekerja sama dengan pihak
kejaksaan dan pengadilan mengambil tindakan berupa penjatuhan hukuman
kepada pelaku pencabulan. hakim dalam menjatuhkan hukuman
mempertimbangkan hukuman yang dijatuhkan berfungsi sebagai pendidikan yang
dapat mengubah sikap dan mental pelaku, serta berfungsi seagai pembalasan
terhadap pelaku atas apa yang diperbuatnya, agar pelaku menjadi jera dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya. Sistem sanksi dan upaya refresif adalah double
track system (sistem dua jalur). Artinya, sanksi pidana yang dijatuhkan dapat
dimana pihak yang melanggar norma undang-undang pidana diancam dengan
seperangkat pidana dan bervariasi dari bentuk pidana pokok dan pidana tambahan.
Sistem tindakan ialah suatu sistem perlindungan dalam masyarakat
terhadap bentuk-bentuk perbuatan yang dilakukan seseorang yang bersifat asosial
dan pelakunya memiliki sifat-sifat atau kondisi khusus, yang tidak memungkinkan
digunakan sistem pidana. Sebaiknya dalam kasus ini, hendaknya penyidik
menghadirkan seorang saksi ahli untuk memastikan apakah pelaku mengalami
ganguan jiwa atau tidak, mengingat pelaku adalah seorang recidive, jika memang
tidak ada gejala sakit jiwa, minimal bisa diketahui masa lalu tersangka, hingga
pelaku memiliki kelainan seksual.
Dari uraian di atas, maka diharapkan agar upaya-upaya yang dilakukan
dalam rangka menanggulangi dan mengatasi delik pencabulan pada anak di kota
Tanjung Balai terlaksana dengan baik sehingga memberikan perlindungan kepada
anak agar tidak menjadi korban kejahatan khususnya kejahatan pencabulan.
B. Kebijakan Non Penal
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “represif”
(penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur non-penal lebih menitikberatkan pada tindakan preventif (pencegahan/
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi, namun dalam tindakan represif juga di
dalamnya terkandung tindakan preventif dalam arti luas.44
Penanggulangan non penal, baik dengan pencegahan tanpa pidana
(prevention without punishment) maupun mempengaruhi pandangan masyarakat
mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of
society on crime and punishment/mass media) sebenarnya mempunyai peranan
strategis agar orang tidak berbuat sodomi karena penanggulangan non Penal
sifatnya mencegah, maka penanggulangan non penal juga harus memperhatikan
berbagai aspek Sosial Psikologi sebagai faktor yang menjadikan situasi menjadi
kondusif sehingga orang tidak melakukan perbuatan sodomi. Oleh sebab itu agar
orang tidak melakukan kejahatan seksual seperti pencabulan (sodomi), maka
diperlukan pendidikan maupun pengajaran Seksual melalui berbagai cara antara
lain:45
a. Memberikan pengenalan pendidikan seks sejak dini kepada anak pendidikan
seks secara baik dan benar sebaiknya diperkenalkan ke dalam kurikulum
sekolah secara nasional, hal ini dilakukan agar anak mulai dari sekarang
mengetahui tentang seks itu sendiri serta berbahayanya jika perbuatan itu
dilakukan, salah satu akibat yang ditimbulkan dari perbuatan seks itu adalah
hamil diluar nikah dan timbulnya. Penyakit menular seksual pada anak. Pihak
yang berkompeten dalam memasukkan kurikulum ini adalah Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan seks bukanlah hal yang tabu,
kebijakan pendidikan seks dalam lingkungan sekolah harus diapresiasi
dikarenakan dengan memahami pendidikan seks siswa menjadi waspada
dalam pergaulan baik sesama teman maupun orang yang tidak dikenal dan
45 Hasil wawancara dengan Liansah Rangkuti, selaku Ketua Komsisi Perlindungan Anak
sebaiknya kurikulum ini mulai dimasukkan serta diajarkan dibangku SMP
karena pada usia pelajar tingkat SMP merupakanmasa pubertas, masalah
pengenalan pendidikan seks tidak hanya di serahkan kepada sekolah tetapi
juga peranan orang tua juga sangat dibutuhkan. Untuk itulah diharapkan peran
berbagai pihak dalam memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan
seks ini agar nantinya dapat mengantisipasi terjadinya kejahatan seksual
seperti pencabulan (sodomi)
b. Pemberantasan DVD porno dan pengawasan media cetak serta elektronik yang
mengandung 66nflue pornografi pencegahan terjadinya kejahatan seksual
berupa pencabulan (sodomi) dapat dilakukan salah satunya adalah
pemberantasan peredaran VCD porno, DVD porno merupakan gambar yang
didalamnya memperlihatkan adegan hubungan seks yang dilakukan oleh orang
dewasa hal ini tentu dapat mengganggu dan merusak pikiran manusia
sehingga sangat berbahaya apalagi jika hal ini dilihat oleh anak-anak yang
masih kecil. Hal yang ditakutkan apa yang dilihat di VCD Porno tersebut akan
dipraktekkan ke orang lain dalam hal ini seperti teman-temannya atau bahkan
keluarganya seperti saudaranya sendiri. Demikian juga media cetak dan
Elektronik yang saat ini begitu mudah didapat, diakses dan disebarkan kepada
pengguna yang lain seperti Majalah dewasa, komik porno, internet serta
melalui Handphone. Pemberantasan DVD Porno yang dilakukan oleh Polisi
akan di dukung oleh masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan Sejenisnya karena pengaruh DVD Porno yang sangat meresahkan dan
Porno apabila iman dan ketakwaanya sangat kurang baik yang dilakukan oleh
anak kecil sampai orang dewasa bahkan 67nfl juga orangtua yang sudah
berumur lanjutpun dapat melakukan hal yang tercela dengan menonton DVD
Porno. Peran polisi serta pemerintah dan semua pihak baik keluarga,
masyarakat dan Ormas 67nflue maupun Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
pemberantasan DVD Porno adalah sangat penting dimana pemberantasan
DVD Porno dan media yang sejenisnya dapat mencegah rusaknya generasi
muda sebagai 67nflu bangsa.
c. Dukungan dari Lingkungan Sosial dan Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam mendukung korban kasus kejahatan seksual
kepada Polisi, di mana masyarakat memiliki peranan melaporkan kepada
polisi apabila melihat dan atau mengetahui adanya kejahatan seksual seperti
sodomi yang terjadi dilingkungan tempat tinggal mereka. Selanjutnya
Pemerintah harus mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan
dan pemidanaan lewat mass media (67nfluencing views of society on crime
and punishment / mass media) bahwa kejahatan harus dilaporkan bukan untuk
ditutupi atau dibiarkan begitu saja. Pemerintah wajib melindungi warganya
dengan cara memberikan keamanan serta kesejahteraan, dengan begitu
kehidupan masyarakat akan tenangdan nyaman dimana kejahatan yang terjadi
apalagi kejahatan seksual seperti sodomi selalu mengintai korbannya
kapanpun dan dimanapun, keadaan ini menyebabkan hidup masyarakat
menjadi resah dan takut karena kejahatan seksual seperti sodomi yang menjadi
memberikan rasa aman denganmelakukan tindakan pencegahan berupa
disebarkannya melalui media massa baik cetak maupun elektronik bahwa
kejahatan sodomi akan dihukum dengan sangat berat sehingga pelaku sodomi
menjadi takut dan tidak berani melakukan aksinya
C. Penegakan Hukum terhadap dalam Kasus Tindak Pidana Pencabulan (Sodomi)
Penegakan hukum tidak akan ber jalan dengan baik, apabila tidak
didukung oleh para penegak hukumnya yang khususnya bergerak di dalam bidang
hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengacara, kehakiman dan lembaga
pemasyarakatan. Lemah kuatnya suatu penegakan hukum berasal dari para
penegak hukumnya, jika para penegak hukumnya lemah, maka masyarakat akan
mempersepsikan bahwa hukum diling-kungannya tidak ada atau seolah
masyara-kat berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan satu pun yang mengaturnya.46
Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada
pranata hukum ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks.
Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar Masalah-masalah teknis prosedural untuk
menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat, akan tetapi, masalah hukum yang menjadi
polemik adalah seputar bagaimana mempersiapkan yang belum ada dan
46Muh.Sudirman Albone, Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
menyesuaikan yang tidak lagi cocok dalam rangka proses transplantasi hukum
secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses partumbuhan tatanan baru
globalisasi. Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya
persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak dari segelintir
orang, yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadap-kannya kenyataan
bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan setiap orang. Di sisi lain,
proses transplantasi tersebut juga menuntut negara dan masyakarat untuk
menanggulangi distorsi yang ada agar tidak terus-menerus menjalar dan
menggerogoti seluruh institusi dan infrastruktur pendukung sistem hukum
Indonesia. Perlu diperhatikan ialah mengenai kebutuhan akan etika, standar dan
tanggung jawab sebagai nilai-nilai pokok para penegak hukum yang akan
men-dukung dan menjamin keberlanjutan terselenggaranya proses pencarian keadilan
yang sehat.
Faktor yang ikut menuntut mencuatnya debat tersebut berada di sisi
masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin tergantung kepada keahlian dan
keterampilan dari sekelompok orang yang disebut kaum profesional. Kondisi
ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika profesi sebagai salah
satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang dalam hal tertentu masih
dapat di nilai melalui parameter etika umum yang ada di dalam masyarakat.
Dengan begitu, telah lebih lanjut mengenai dimensi moral dari profesi penegak
hukum dan berkaitan erat dengan makna, fungsi dan peranan penegak hukum
Sudah sejak dahulu profesi para penegak hukum dianggap sebagai profesi
mulia, oleh karena itu seorang para penegak hukum dalam bersikap haruslah
menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan aparat penegak
hukum tersebut sebagai the officer of the criminal. Sudah merupakan suatu
keharusan bagi para penegak hukum memahami kode etik profesi dalam
menjalankan tugasnya masing-masing. Kode etik profesi ini bertujuan agar ada
pedoman moral bagi para penegak hukum dalam bertindak menjalankan tugas
dan kewajibannya. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali dan
tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya tidak
maju bahkan tidak tegak.
1. Kasus Posisi
Pengadilan Negeri Tanjungbalai yang mengadili perkara pidana dengan
acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai
berikut dalam perkara Terdakwa :
a. Nama lengkap : Edi Syahputra Panjaitan als Dedek
b. Tempat lahir : Tanjungbalai
c. Umur/Tanggal lahir : 41 Tahun/03 April 1973
d. Jenis kelamin : Laki-laki
e. Kebangsaan : Indonesia
f. Tempat tinggal : Jalan Patimura Gang Pemilu Lk. III, Kelurahan
Pantai Burung, Kecamatan Tanjungbalai Selatan,
Kota Tanjungbalai
h. Pekerjaan : Wiraswasta
Terdakwa Edi Syahputra Panjaitan als Dedek pada hari dan tanggal yang
tidak dapat ditentukan lagi bulan Oktober 2014 sekira pukul 16.00 Wib atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2014 bertempat di dapur rumah
anak korban Bukhori Sitorus yang terletak di Jalan Sei Barito Lk. VII Kelurahan
Sumber Sari Kecamatan Sei Tualang Raso Kota Tanjungbalai atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum
Pengadilan Negeri Tanjungbalai yang berwenang untuk mengadilinya, dilarang
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yakni terhadap anak
korban Bukhori Sitorus, perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa.
Bermula pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan lagi bulan
Oktober 2014 sekira pukul 16.00 Wib terdakwa Edi Syahputra Panjaitan als
Dedek mengatakan kepada anak korban Bukhori Sitorus dengan berkata “Bukhori,
ayo kita gitu yuk (sodomi)” dan anak korban Bukhori Sitorus hanya diam saja lalu
terdakwa memegang tangan sebelah kanan dan kaki bagian paha sebelah kanan
anak korban Bukhori Sitorus lalu terdakwa mencium pipi serta leher anak korban
Bukhori Sitorus lalu terdakwa membuka celana dan celana dalam yang dipakai
oleh anak korban Bukhori Sitorus dan setelah itu menghisap kemaluan anak
korban Bukhori Sitorus lalu terdakwa menyuruh anak korban Bukhori Sitorus
untuk menghisap kemaluan terdakwa dan setelah itu terdakwa menempelkan
lalu di gesek-gesekkan sehingga pada kemaluan mengeluarkan sperma (air mani)
lalu terdakwa berkata “jangan kau kasih tau sama ayah kau, nanti ku cokik kau”
dan perbuatan terdakwa tersebut sudah 3 (tiga) kali dilakukan dan terakhir pada
hari Minggu tanggal 9 Februari 2015 sekira pukul 22.00 Wib anak korban
Bukhori Sitorus baru pulang mengaji dan melihat ayah anak korban Bukhori
Sitorus yakni saksi Budi sedang bercerita dengan terdakwa dibelakang rumah dan
setelah itu anak korban Bukhori Sitorus masuk kedalam kamar untuk tidur.
Kemudian tidak berapa lama saksi Budi pergi untuk menjemput ibu anak korban
Bukhori Sitorus yang selesai berjualan bakso di Selat Lancang dan Setelah itu
terdakwa memanggil anak korban Bukhori Sitorus untuk mengobati boat dengan
cara menyiram-nyiram boatnya yang bersandar di sungai belakang rumah lalu
anak korban Bukhori Sitorus keluar dengan membawa timba berisi air dan setelah
itu terdakwa menyuruh anak korban Bukhori Sitorus untuk mengganti celana yang
dipakai dengan kain sarung agar celana tersebut tidak basah dan setelah itu anak
korban Bukhori Sitorus turun ke boat lalu menyiram sampai bagian mesin dan
setelah itu terdakwa mendekati anak korban Bukhori Sitorus dengan nada marah
mengatakan “Bukhori kau buka dulu kain uwak ini, kalau tak mau uwak cokik
kau nanti” sehingga anak korban Bukhori Sitorus menjadi ketakutan dan setelah
itu anak korban Bukhori Sitorus membuka kain sarung serta celana dalam yang
dipakai oleh terdakwa lalu terdakwa menyodorkan kemaluannya kedalam mulut
anak korban Bukhori Sitorus lalu memaju mundurkan pinggulnya hingga dari
kemaluan terdakwa mengeluarkan sperma didalam mulut anak korban Bukhori
anak korban Bukhori Sitorus menjadi ketakutan dan trauma serta bagian anusnya
terasa sakit. Hal ini diperkuat oleh Hasil Visum Et Repertum Nomor:
007/1105/RSUD/II/2015 tanggal 11 Februari 2015 yang dibuat dan ditanda
tangani dengan mengingat sumpah jabatannya oleh dr. Isma Ninda Ningsih
Dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tanjungbalai telah melakukan
pemeriksaan terhadap seorang bernama: Bukhori, Jenis Kelamin : Laki-laki, Umur
: 13 Tahun, Alamat : Jalan Sein Barito Lk. VII Kelurahan Sumber Sari Kecamatan
Sei Tualang Raso Kota Tanjungbalai.
2. Dakwaan
Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang
berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta
hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan alternatif
Dakwaan Kesatu
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Setiap orang yang
melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dakwaan Kedua
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHPidana “Orang
jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut disangkanya hal belum
dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun͇.
3. Tuntutan
Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh
Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Edi Syahputra Panjaitan Als Dedek telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dilarang
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan perbuatan cabul”,
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (1) UU RI
No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
2. Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa Edi Syahputra Panjaitan als
Dedek dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam masa tahanan dan denda sebesar Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) Subsidar 6 (enam) bulan kurungan;
3. Menyatakan atau menetapkan barang bukti berupa :
NIHIL;
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-
4. Pertimbangan Hakim
Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang
berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta
hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan alternatif Kesatu sebagaimana
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul
Majelis akan mempertimbangkan unsur-unsur tersebut satu persatu;
ad.1. Unsur setiap orang.
Unsur “setiap orang” adalah orang sebagai subjek hukum yang dapat
melakukan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya yang diduga telah
melakukan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan;
Terdakwa yang diajukan ke persidangan, selain mempunyai identitas
sebagaimana dakwaan Penuntut Umum dan selama persidangan berlangsung
dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta tidak dalam keadaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 KUHPidana, sehingga dengan demikian terdakwa
Pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis berpendapat unsur kesatu “Setiap
Orang” telah terpenuhi;
ad.2. Unsur dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul.
Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesusilaan
(kesopanan) atau perbuatan yang keji yang semuannya itu dalam lingkungan nafsu
birahi kelamin. Berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa, didapatlah
fakta-fakta sebagai berikut:
a. Bahwa anak korban Bukhori Sitorus telah dicabuli oleh terdakwa pada hari
Minggu tanggal 8 Februari 2015 sekira pukul 22.00 W.I.B bertempat di
Sei Barito Lk. VII Kelurahan Sumber Sari Kecamatan Sei Tualang Raso
Kota Tanjungbalai tepatnya didalam kapal boat milik terdakwa yang
bersandar disungai dibelakang rumah saksi Budi, dengan cara sebagai
berikut:
Bermula pertama kali pada hari dan tanggal terdakwa tidak ingat sekitar
bulan Oktober 2014 sekira pukul 16.00 Wib terdakwa Edi Syahputra
Panjaitan als Dedek mengatakan kepada anak korban Bukhori Sitorus
dengan berkata “Bukhori, ayo kita gitu yuk (sodomi)” dan anak korban
Bukhori Sitorus hanya diam saja lalu terdakwa memegang tangan sebelah
kanan dan kaki bagian paha sebelah kanan anak korban Bukhori Sitorus
terdakwa membuka celana dan celana dalam yang dipakai oleh anak
korban Bukhori Sitorus dan setelah itu menghisap kemaluan anak korban
Bukhori Sitorus lalu terdakwa menyuruh anak korban Bukhori Sitorus
untuk menghisap kemaluan terdakwa dan setelah itu terdakwa
menempelkan kemaluan terdakwa kedalam anus (lubang pantat) anak
korban Bukhori Sitorus lalu di gesek-gesekkan sehingga pada kemaluan
mengeluarkan sperma (air mani) lalu terdakwa berkata “jangan kau kasih
tau sama ayah kau, nanti ku cokik kau” dan perbuatan terdakwa tersebut
sudah 3 (tiga) kali dilakukan dan terakhir pada hari Minggu tanggal 9
Februari 2015 sekira pukul 22.00 Wib anak korban Bukhori Sitorus baru
pulang mengaji dan melihat ayah anak korban Bukhori Sitorus yakni saksi
Budi sedang bercerita dengan terdakwa dibelakang rumah dan setelah itu
anak korban Bukhori Sitorus masuk kedalam kamar untuk tidur.
Kemudian tidak berapa lama saksi Budi pergi untuk menjemput ibu anak
korban Bukhori Sitorus yang selesai berjualan bakso di Selat Lancang dan
Setelah itu terdakwa memanggil anak korban Bukhori Sitorus untuk
mengobati boat dengan cara menyiram-nyiram boatnya yang bersandar di
sungai belakang rumah lalu anak korban Bukhori Sitorus keluar dengan
membawa timba berisi air dan setelah itu terdakwa menyuruh anak korban
Bukhori Sitorus untuk mengganti celana yang dipakai dengan kain sarung
agar celana tersebut tidak basah dan setelah itu anak korban Bukhori
Sitorus turun ke boat lalu menyiram sampai bagian mesin dan setelah itu
mengatakan “Bukhori kau buka dulu kain uwak ini, kalau tak mau uwak
cokik kau nanti” sehingga anak korban Bukhori Sitorus menjadi ketakutan
dan setelah itu anak korban Bukhori Sitorus membuka kain sarung serta
celana dalam yang dipakai oleh terdakwa lalu terdakwa menyodorkan
kemaluannya kedalam mulut anak korban Bukhori Sitorus lalu memaju
mundurkan pinggulnya hingga dari kemaluan terdakwa mengeluarkan
sperma didalam mulut anak korban Bukhori Sitorus dan setelah itu
terdakwa pergi.
- Bahwa terdakwa menempelkan kemaluan terdakwa kedalam lubang anus
anak korban Bukhori Sitorus sehingga dijumpai luka lecet pada anus anak
korban Bukhori Sitorus arah jam (6), hal ini sesuai dengan surat visum et
repertum Nomor 007/1105/RSUD/II/2015 tanggal 11 Februari 2015 yang
ditandatngani dr. Isma Ninda Ningsih Dokter pada Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Tanjungbalai;
- Bahwa anak korban Bukhori Sitorus berumur 13 (tiga belas) tahun
berdasarkan Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Nomor
1274-LT-10012014-0024 yang dikeluarkan Kantor Kependudukan dan Pencatatan
Sipil yang menerangkan bahwa anak korban Bukhori Sitorus lahir pada
tanggal 1 Januari 2001 dan Fotocopy Kartu Keluarga Nomor
1274030910120003 yang dikeluarkan Camat Sei Tualang Raso Kota
Tanjung Balai, anak korban Bukhori Sitorus berusia 14 (empat belas)
Bahwa dari fakta dan keadaan tersebut ternyata terdakwa telah melakukan
ancaman kekerasan terhadap anak korban Bukhori Sitorus dengan kata-kata
:jangan kau kasih tau ayah kau, nanti ku cokik kau” dan terdakwa juga memaksa
anak korban Bukhori Sitorus agar membuka kain yang dipakai terdakwa dan jika
anak korban Bukhori Sitorus tidak mau, terdakwa mencekik anak korban Bukhori
Sitorus;
Bahwa oleh karena anak korban Bukhori Sitorus baru berusia 14 (empat belas)
tahun namun pada waktu kejadian usia anak korban Bukhori Sitorus masih
berusia 13 (tiga belas) tahun, usia tersebut menurut UU Perlindungan Anak, masih
tergolong anak-anak, karena belum mencapai 18 tahun. Dari fakta ini menurut
Majelis Hukum yang memeriksa perkara ini terdakwa telah melakukan perbuatan
cabul dengan anak;
Bahwa kenyataannya terdakwa menghendaki perbuatan tersebut karena
dorongan nafsu birahinya, ancaman dan paksaan yang dilakukan terdakwa adalah
dengan tujuan dapat melaksanakan niat terdakwa untuk melakuikan ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan perbuatan cabul sehingga unsur ini telah
terpenuhi;
Bahwa dari fakta tersebut, perbuatan terdakwa yang mencabuli anak korban
Bukhori Sitorus adalah dilakukan dengan melalui suatu paksaan, oleh karenanya
unsur “melakukan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan perbuatan
cabul” telah terpenuhi dari perbuatan terdakwa;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas maka seluruh unsur
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah terpenuhi dari perbuatan Terdakwa;
Bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 82 ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi, maka
terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana sebgaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif Kesatu;
Bahwa dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah dikenakan penangkapan
dan penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan tersebut harus
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan Terdakwa;
Keadaan yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan nilai susila dalam masyarakat;
2. Terdakwa sudah pernah dihukum;
Keadaan yang meringankan:
1. Terdakwa berterus terang dan mengakui perbuatannya serta menyesali
perbuatannya;
2. Bersikap sopan dipersidangan;
5. Putusan
Memperhatikan, Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor
tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan;
1. Menyatakan Terdakwa Edi Syahputra Panjaitan als Dedek terebut di atas,
terbukti secraa sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Melakukan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan perbuatan cabul”
sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 6 (enam) tahun dan 8 (delapan) bulan serta denda sebesar Rp.
1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga)
bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang di jatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan;
5. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.
2.000.00 (dua ribu rupiah).
6. Analisis hukum
Berdasarkan analisis penulis serta wawancara Liansah Rangkuti selaku
Ketua Komisi Perlindungan Anak Tanjung Balai dalam perkara ini, maka penulis
berkesimpulan bahwa dakwaan penuntut umum yang menggunakan dakwaan
alternatif yaitu dakwaan pertama Pasal 82 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 jo
1 KUHP atau dakwaan kedua Pasal 292 KUHP Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Namun
dalam putusan perkara hakim menerapkan Pasal 292 KUHP sehingga penjatuhan
pidana terhadap terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang di lakukan
terdakwa dan penjatuhan hukuman terhadap terdakwa lebih ringan dibandingkan
dengan sanksi pidana Pasal 82 Undang-undang No.23 Tahun 2002 dan penjatuhan
hukuman terhadap terdakwa lebih ringan dari tuntutan penuntut umum, dimana
tuntutan selama sepuluh tahun dan hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa
selama enam tahun delapan bulan. Seharusnya hakim memperhatikan alasan
pemberatan pidana pada Pasal 64 ayat (1) karena tindak pidana tersebut dikalukan
secara berlanjut dan dalam Pasal 64 ayat 1 dijelaskan bahwa jika antara beberapa
perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan
berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana, bila berbeda-beda maka
yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Meskipun pidananya stelsel absorpsi tapi setidaknya tidak dijatuhkan ancaman
pidana minimal dari Pasal 292 KUHP, yang menurut sistem stelsel absorpsi
bahwa hanya dijatuhkan satu pidana saja yaitu pidana yang terberat walaupun
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan masalah dalam penulisan hukum ini yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan
sebagai berikut :
1. Pengaturan hukum tentang tindak pidana pencabulan anak (sodomi) dibawah
umur, antara lain :
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295
dan 296
b. Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
2. Penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan anak (sodomi) sehingga
menyebabkan trauma pada anak, antara lain :
a. Faktor lingkungan atau tempat tinggal
b. Faktor lingkungan atau tempat tinggal
c. Faktor kurangnya pemahaman terhadap agama
3. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencabulan anak (sodomi),
a. Kebijakan Penal, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana
(penal) dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada
hakikatnya merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy)
b. Kebijakan Non Penal, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
penal lebih menitikberatkan pada sifat “represif” (penindasan/
pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur
non-penal lebih menitikberatkan pada tindakan preventif (pencegahan/
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi
B. Saran
Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubung dengan penulisan
skripsi ini adalah
1. Untuk menjerat pelaku tindak pidana Pencabulan (Sodomi) para penegak
hukum hendaknya mengutamakan penggunaan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dibandingkan
dengan KUHP, karena dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
perumusan dan sanksi bagi pelaku kejahatan kesusilaan terhadap anak
diatur lebih tegas sehingga anak korban pedofilia lebih terlindungi,
sedangkan perumusan dan sanksi hukuman bagi pelaku kejahatan
kesusilaan dalam KUHP tidak berpihak pada korban dan tidak sesuai
2. Dalam hal Perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur seharusnya
bukan hanya diberikan kepada Korban Pencabulan tetapi juga kepada
Terdakwa, Baik korban maupun terdakwa merupakan Anak yang masih
dibawah umur menurut undang Perlindungan Anak dan
Undang-undang Pengadilan Anak. Dan penjatuhan pidana perjara terhadap
terdakwa Pasal 82 UUPA jo. Pasal 55 (1) KUHP sudah memberikan
keadilan bagi pihak korban, tidak diskrminatif dan tentunya akan
memberikan efek jera kepada Pelaku dan Terjalinnya Kepastian Hukum.
3. Diharapkan Majelis hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa
dalam suatu perkara hendaknya memperhatikan secara cermat aspek
psikologis dari terdakwa sehingga ketika terdakwa kembali ke masyarakat
D. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296
Pasal 289 KUHP menentukan: 14
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul,
dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya
9 (sembilan) tahun”.
Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan
(kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan
nafsu birahi kelamin, misalnya meraba-raba anggota badan atau kemaluan, yang
dilarang dalam Pasal ini bukan saja sengaja memaksa orang untuk melakukan
perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada
dirinya perbuatan cabul.
Pasal 290 KUHP menentukan :
1. Pasal 290 ayat ( 2 ) KUHP
͆Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: barang siapa
melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak jelas, bahwa yang bersangkutan belum masanya dikawin͇.
Perbuatan yang dilarang disini adalah perbuatan sengaja memaksakan
kehendak dari orang dewasa yaitu melakukan tindakan-tindakan melanggar
kesusilaan terhadap anak dibawah umur (belum lima belas tahun) atau anak yang
tidak diketahui jelas umurnya dan belum saatnya dikawin.
2. Pasal 290 ayat ( 3 ) KUHP
͆Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: Barang siapa
membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus
disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau tidak
nyata berapa umurnya, bahwa ia belum mampu dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang
lain͇.
Menurut pasal ini dapat dihukum orang yang membujuk atau menggoda
seseorang (laki-laki atau perempuan) yang umurnya belum cukup lima belas tahun
atau belum waktunya dikawin untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar
kesusilaan dengan orang lain, membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan
melanggar kesusilaan oleh orang lain dan melakukan hubungan kelamin
(bersetubuh) diluar perkawinan dengan orang lain. Kata-kata membujuk disini
bisa dilakukan oleh pelaku dengan menghasut, memberikan janji-janji,
mengiming-imingi sesuatu, memberikan hadiah dan lain sebagainya kepada
Menurut R. Soesilo seorang wanita yang melakukan persetubuhan dengan
anak laki-laki yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun dapat dikenakan
Pasal ini15
Pasal 292 KUHP menentukan:
͆Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut
disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun͇.
Pasal ini mengatur mengenai perbuatan cabul yang dilakukan orang
dewasa terhadap anak yang belum dewasa yang berjenis kelamin sama dengan
pelaku. Dewasa berarti telah berumur dua puluh satu tahun atau belum berumur
dua puluh satu tahun tetapi sudah pernah kawin. Jenis kelamin yang sama berarti
laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.Perbuatan cabul
yang dimaksud sama dengan penjelasan Pasal 289KUHP yaitu segala perbuatan
yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu
termasuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Pasal 293 KUHP menentukan:
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan u