• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian mutu lingkungan di kawasan usaha peternakan sapi perah Cibungbulang Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengendalian mutu lingkungan di kawasan usaha peternakan sapi perah Cibungbulang Bogor"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PENGENDALLAN MUTU LINGKUNGAN

DI KAWASAN USAHA PETERNAKAN SAP1 PERAH

CIBUNGBULANG BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PENGENDALLAN MUTU LINGKUNGAN

DI KAWASAN USAHA PETERNAKAN SAP1 PERAH

CIBUNGBULANG BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

SURAT

PERNYATAAN

Karya tulis ini disusun berdasarkan suatu pemikim orginal dan merupakan

hak

pribadi, dengan ini saya :

Nama : Akhmad Nugraha.

NRP

: PO52020201

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Menyatakan bahwa tesis ini yang berjudul Pengendalian Mutu Lingkungan di

Kawasan Usaha Perternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor addah merupakan karya ilmiah saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalarn Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2005

(7)

ABSTRAK

AKHMAD

NUGRAHA.

Pengendalian Mutu Lingkungan di Kawasan Usaha

Peternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor. Dibawah bimbiugau SURYAHADI dan YULI RETNANI. Suatu penelitian telah dilakukan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah di kecamatan Cibungbuiang kabupaten Bogor sejak bulan Mei sampai dengan Oktober 2005 dengan tujuan : (1) mengeiahui respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK, (2) mengetahui proses pengolahan limbah peternakan sapi perah terhadap kualitas air sungai Cigamea yang melintasi KUNAK dan (3) mengetahui kulitas air sungai Cigamea sebagai landasan pengendalian mutu lingkungan. Data penelitian terdiri data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap masyarakat yang berdomisisli di sekitar sungai Cigamea baik yang berada sebelum dan sesudah KUNAK. Wawancara juga dilakukan terhadap para peternak KUNAK. Data sekunder bempa peta lokasilwilayah, data iklim. Kondisi sosial masyarakat secara umum dan kondisi kesehatan masyarakat diperoleh dari kantor kecamatan setempat, Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor, Kantor Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) dan Puskesmas Desa Pamijahan. Analisis air sungai Cigamea dilakukan pada musim kemarau (Agustus). Contoh air diambii di daerah sebelum dan sesudah sungai melintasi KUNAK masing-masing 3 (tiga) kali berturut-tumt pada hari yang bebeda. Analisis fisika-kimiawi dan mikrobiologis air terdiri atas : suhu, pH,. kelembaban, kekeruhan, oksigen terlamt, padatan tersuspensi, amoniak, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan bakteri E. Coli. Selanjutnya ditentukan Indeks Mutu Kualitas Air Sungai (IMKAS). Respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK secara umum tetap positip dan dirasakan bermanfaat karena membuka lapangan pekerjaan dan terjadi perbaikan sarana prasarana di wilayah KUNAK. Peternak telah melakukan pengendaliankontrol terhadap lingkungan peternakan, melalui pengelolaan lilnbah ternak. Tidak terdapat pembuangan limbah ternak secara langsung ke sungai. Sebagian besar (90.8%) peternak memanfaatkan kembali limbah (feses, urin dan sisa pakan) untuk pemupukan mmput di sekitar kandang. Sebagian kecil saja yang merintis pengolahan limbah menjadi gasbio dan produksi kompos komersial. Baku mutu air sungai Cigamea, baik sebelum dan sesudah KUNAK masih memenuhi standar PP no 82 tahun 2001. Tidak terjadi peningkatan mencolok nilai-nilai : padatan tersuspensi, COD, BOD, E. coli setelah sungai melintasi KUNAK. Pembahan-perubahan tidak menyolok, sehingga nilai IMKAS sebelum dan sesudah KUNAK adalah masing-masing berturut turut adalah 31,96 dan 36.48. Disimpulkan, bahwa pengelolaan limbah ternak, walaupun telah dilakukan, namun belum secara maksimal. Produksi gasbio dan pupuk organik merupakan altenatif pengolahan limbah yang prospektif.

(8)

ABSTRACT

AKHMAD NUGRAHA. Environmental Quality Control at The Ranch Area

of Dairy Cattle at Cibungbnlang Bogor. Supervised by SURYAHADI and YULI RETNANI. A research was conducted at area of The Ranch ( KUNAK) of Dairy Cattle at sub-district of Cibungbulang of Bogor regency since May up to October 2005 with objectives to : ( 1) knowing response of society to existence of KUNAK, ( 2) knowing process of waste processing of dairy cattle to the quality water Cigamea river which passing by KUNAK and ( 3) knowing quality of water of Cigamea river as basic for environmental quality control. Research composed by primary data obtained through interview based on questioner to society around the river of Cigamea at both before and after KUNAK. Interview is also conducted to all breeder of KUNAK. Secondary data such as map of location and climate are needed. Social condition in general and health condition was obtained from office of local sub district, Co-operation Produce Milk (KPS). Bogor, Office of Meteorology and Geophysics ( BMG) and Centre of Public Health (Puskesmas) of Pamijahan Village. Water river analyze was conducted at dry season (August). Samples of water were took in area of before and after the river get through KUNAK areas of each three times respectively on different days.

Physic-chemical analyses and microbiological analyses of water consisted of :

temperature, pH, relative humidity (RH), crud content suspense, dissolve oxygen, ammonia, Biological Oxygen Demand ( BOD), Chemical Oxygen Demand (

COD) and bacterium Eschercia coli. In addition, it was determined to Quality Indices of River Water Quality (Indeks Mutu Kualitas Air Sunga = IMKAS). The

result shows that in general, society responses to existence of KUNAK remain positive and felt useful due to opening field of work (job opportunity) and repairing to several facilities in region of KUNAK. Breeder have conducted controlled ranch environment through management of livestock waste. There is no dismissal of waste of livestock directly to river. Most of (90.8%) breeder exploited to return waste (fesses, urine and rest of grasses) for the fertilization grass around the cage. Only few of breeder used to processing of waste as bio-gas and produce commercial compost. Quality of water of river Cigamea both of before and after KUNAK still fulfill standard of PP no 82 year 2001. There, was no significant increasing values of crud content suspense, COD, BOD, Eschercia coli after river passed through KUNAK. This change not significant, so that value of IMKAS at before and after KUNAK are 31,96 and 36.48 respectively, then can be distinguished there is degradation on the quality of water river of Cigamea. As conclusion, that management of livestock waste, although have been conducted, but not yet maximally

.

Produce organic biogas and manure are good alternative and prospective for processing of waste.
(9)

@

Hak cipta Milik Akhmad Nugraha. Tahun

2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun

(10)

PENGENDALIAN MUTU LINGKUNGAN

DI KAWASAN USAHA PETERNAKAN SAP1 PERAH

CIBUNGBULANG BOGOR

oleh

AKHMAD

NUGRAHA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Judo1 Tesis : Pengendalian Xutu Lingkungan di Kawasar~ Usaha Petemaka1

Sapi Perah C~bungb~rnglang Bogor.

Nania . AKHMAD NUGRAHA

NIM . P052020201.

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, kerena atas rahrnat dan karuniaNya jualah penulisan tesis ini dengan judul Pengendaiian Mutu Lingkungan di Kawasan Usaha Perternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan trimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr.Ir.H.Suryahadi, DEA selaku ketua komisi pembimbing . 2. Ibu Dr.Ir.Yuli Retnani, M.Sc, selaku angota komisi pembimbing. 3. Bapak Dr.Ir.Surjono H.Sutjahjo, MS, selaku ketua Program PSL 4. Bapak Dr.Ir.Muladno, staf dosen program studi PSL. Pascasarjana IPB

atas kesediaan sebagai penguji dan memberi saran-saran atas perbaikan tesis.

5. Pimpinan dan Staf Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Industri Agro Departemen Perindustrian RI..

6. Rekan-rekan sejawat PSL-IPB angkatan 2002.

Tak lupa rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Drs.H.Akma1 Indra, kakak-kakak dan adii-adik serta istri yang telah membantu serta mendoakan, semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat imbalan yang setimpal, amin.

Akhimya penulis berharap, mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1959 di Bandung, Jawa Barat. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari ayahanda H.Unin Sastramihardja (Almarhum) dan Ibunda Hj Mindarsih Wangsadikusumah (almarhumah). Tahun 1974 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri 2 (SDN 2) Banjar. Pada tahun 1976 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 (SMPN 1) Banjar dan lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Banjar tahun 1980 Penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Pendidikan Jurusan Biologi Universitas Siliwangi (UNSIL) Tasikmalaya pada tahun 1980. dan mendapatkan gelar Sarjana muda pada tahun 1983. Pada tahun 1985 melanjutkan pendidikan sampai Sarjana penuh dan tamat tahun 1988 pada universitas yang sama dan pada tahun 1993 tugas belajar di IKIP Bandung S1 ke dua dalam Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tamat tahun 1995 dengan biaya dari Bank Dunia.

Sejak tahun 1986 diangkat sebagai guru di SPG Negeri Kuningan Jawa Barat. Pada tahun 1990 sampai sekarang mejadi staf pengajar di Institut Keguruaan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Pada tahun 2002 memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan S2 pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPS dan Universitas Pendidikan Indonesia.

(14)

DAFTAR

IS1

Halaman

DAFTAR IS1

...

iv

DAFTAR TABEL

...

v

DAFTAR GAMBAR

...

vi

...

DAFTAR LAMPIRAN vii I

.

PENDAHULUAN

...

1

1

.

1. Latar Belakang

...

1

1.2. Tujuan Penelitian

...

3

1.3. Kerangka Pemikiran

...

3

1.4. Perurnusan Masalah

...

4

1.5. Hipotesis

...

5

1.6. Manfaat Penelitian

...

5

ILTINJAUAN PUSTAKA

...

2.1. Pertemakan Sapi Perah Rakyat

...

2.2. Limbah Temak

...

2.2.1. Produk dan Limbah Temak Sapi Per ah

...

2.2.2. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Sapi Perah

...

2.3. Pencemaran Air

...

2.4. Paranleter Kualitas Air Sungai

...

2.4.1. Suhu

...

2.4.2. Nilai pH

...

2.4.3. Kekeruhan

...

2.4.4. Padatan Tersuspensi

...

...

2.4.5. Nitrogen Amoniak (NH3)2 Nitrit ( N o d dan Nitrat (NO<)

2.4.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand)

...

2.4.7. Kebutuhan Oksigen kiiniawai (Chemical Oxygen Demand) 2.4.8. Colifrom

...

2.5. Indeks Mutu Kualitas Air Sungai (IMKAS)

...

2.6. Baku Mutu Air

...

2.7. Aspek Sosial Ekonomi

...

111

.

METODE PENELITIAN

...

..

3.1 Tempat dan Waktu

...

3.2. BahandanAlat

...

3.3. Metode Pengumpulan Data

...

3.3.1. Pengambilan Sarnpel Air

...

3.3.2. Wawancara tersetruktur

...

...

3.3.3. Data Sekunder

3.4. Analisis Data

...

IV

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

(15)

4.1.2. Sejarah KUNAK

...

4.2. Respon Masyarakat Sekitar Teihadap KUNAK

...

4.2.1. Dampak Terhadap Mobilitas Penduduk

...

4.2.2. Dampak Terhadap Pemukiman Baru

...

4.2.3. Dampak Terhadap Tata Guna Tanah

...

4.2.4. Dampak Terhadap Surnber Pekejaan Baru

...

4.3. Karaktertistik Petemak

...

4.4. Pengelolaan Usaha Temak Sapi Perah

...

4.4.1. Stmktur Populasi

...

...

4.4.2. Tenaga Kerja dan Alokasi Waktu Kerja

4.4.3. Pemberian Pakan Temak

...

4.4.4. Produktivitas Temak

...

...

4.4.5. Reproduksi dan Pengobatan

4.4.6. Perakandangan

...

4.5. Manajemen Limbah Temak

...

...

4.6. Keadaan Kualitas Air Sungai Cigamea

4.7. Arah Pengendalian Lingungan KUNAK Sapi Perah

Cibungbulang

...

4.7.1. Pemenfaatan Limbah Temak Sebagai Pupuk Organik

...

4.7.2. Penggunaan Limbah Temak Sebagai Media Tumbuh

...

Cacing Tanah

4.7.3. Pemanfaatan Limbah Temak Untuk Produsi Gas Bio

...

KESIMPULAN DAN SARAN

...

...

Kesimpulan

...

Saran

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Halarnan

Patokan Kebutuhan akan Bahan Kering Sapi Perah ... 7

Perkiraan Perhitungan Limbah yang Dikeluarkan Ternak

...

8

Peubah Kualitas Air dan Metoda Analisis yang Digunakan ... 2

Populasi dan J m l a h Sampel yang Diambil Peternak Sapi perah di KUNAKCibungbulang dalam Satuan Temak (ST) ... 23

Matriks untuk Identifikasi dan Evaluasi Dampak

...

23

Jenis Dampak. ParameterAndikator Dampak dan Cara Mengukumya

...

24

Karakteristik Masyarakat Non Petemak di Sekitar KUNAK ... 29

Kondisi Permahan. Penggunaan Sumber Air dan Kesehatan Masyarakat Nan Peternak KUNAK

...

31

Respon Masyarakat Non Petemak Terhadap Keberadaan KUNAK

...

32

Kardderistik Peternak di KUNAK

...

36

Struktur Pemilikan Sapi Petemak KUNAK

...

37

Struktur Populasi Sapi di KUNAK

...

38

Jumlah Waktu dalam Kegiatan Usaha Temak Sapi Perah pada KUNAK Cibungbulang

...

39

Penanganan Limbah Ternak di KUNAK Sapi Perah

...

Cibungbulang 44 Analisis Kualitas Air Pada Stasiun Pengamatan di Sungai Cigamea Berdasarkan Parameter Fisika,Kimia dan Biologi ... 47
(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1 Diagram Alur Kerangka Pemikiran

...

4

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

...

27

Gambar 3 Instalasi Gasbio

...

43

Gambar 4 Penyaluran Limbah Sapi Perah

...

44

...

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Usaha petemakan sapi perah di Indonesia urnumnya mempakan usaha tradisional yang didominasi oleh petemak rakyat dengan skala yang relatif kecil. Namun demikian, usaha temak sapi perah berskala kecil ini dirasakan cukup berarti bagi peternak karena dapat menambah pendapatan mereka. Usaha peternakan sapi perah ini dilihat dari kebutuhan masih jauh dari yang diharapkan hasil produksi susunya.

Produksi susu sapi perah dalam negeri ini belurn dapat memenuhi kebutuhan. Sebagai contoh produksi dalam negeri tahun 1997-2001 baru mencapai 2,110.2 ribu ton, sedangkan kebutuhan mencapai 7,111.7 ribu ton sehingga kekurangannya 5,001.5 ribu ton atau sebesar 70.33% dari total kebutuhan mempakan impor (Ditjen Petemakan, 2001). Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan petemak untuk mengupayakan bagaimana meningkatkan produksi susu dengan meningkatkan produktivitas usaha temak sapi perah di Indonesia.

Dalam menghadapi tantangan tersebut berbagai cara dilakukan oleh pemerintah, salah satu cara yang ditempuh adalah pembangunan kawasan usaha petemakan (KUNAK) sapi perah. Dengan adanya KUNAK sapi perah diharapkan akan meningkatkan produksi dalam negeri sekaligus meningkatkan populasi sapi perah dan meningkatkan pendapatan petemakan. Kecamatan Cibungbulang mempakan salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai KUNAK peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor.

(19)

Pengembangan usaha petemakan sapi perah mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari pengembangan usaha petemakan sapi perah terhadap pembangunan peternakan di Indonesia adalah karena dapat : (1) menghemat devisa negara, (2) menciptakan lapangan pekerjaan, (3) meningkatkan pendapatan petemak dan (4) perbaikan gizi nasional. Adapun dampak negatif yang mungkin dapat timbul dari kegiatan usaha peternakan sapi perah ini adalah dapat menimbulkan pencemaran, hal ini terjadi karena terdapatnya limbah dari temak peliharaan. Limbah cair, limbah padat dan limbah gas adalah limbah yang dihasilkan dari ternak sapi perah tersebut. Hal ini terjadi temtama jika limbah tidak ditangani dengm baik atau jika limbah langsung dialirkan begitu saja ke sungai atau ditimbun di tempat terbuka.

Sungai Cigamea yang melintasi desa Situ Udik Kecanlatan Cibungbulang Kabupaten Bogor merupakan salah satu air sungai yang mungkin dapat tercemar oleh limbah dari usaha petemakan sapi perah yang lokasinya dekat dengan sungai Cigamea. Dengan adanya usaha petemakan sapi perah tersebut yang secara langsung dan tidak langsung &pat menurunkan kualitas air sungai akibat pembuangan limbah. Limbah petemakan dalam jurnlah besar dapat menimbulkan permasalahan terutama terhadap kualitas air sungai yang sering dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari diantaranya untuk MCK (Mandi Cuci Kakus) bagi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Cigamea.

(20)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui respon masyarakat terhadap kawasan usaha temak (KUNAK) sapi perah.

2. Mengetahui proses pengelolaan limbah dari kegiatan KUNAK sapi perah terhadap kualitas air sungai Cigamea.

3. .Mengetahui kualitas air sungai Cigamea sebagai landasan pengendalian mutu lingkungan.

1.3.

Kerangka Pemikiran

Usaha petemakan sapi perah disamping memberikan keuntungan yang baik juga berpeluang mencemari lingkungan karena adanya limbah sebagai hasil ikutan. Keadaan tersebut sering menimbulkan masalah di kalangan masyarakat, terlebih lagi jika penanganan limbahnya kurang baik.

Perbedaan penanganan limbah umumnya terkait dengan sistem usaha petemakan sapi perah yang diterapkan peternak, selungga menyebabkan perbedaan tingkat pencemaran. Pengolahan limbah untuk menekan pencemaran dapat dilakukan mulai sistem yang paling sederhana sampai sistem berteknologi tinggi. Pemantauan terhadap pengelolaan limbah petemakan sapi perah hams dilakukan, sehingga dapat diketahui sejauh mana limbah tersebut mencemari lingkungan, selanjutnya dapat diambil langkah-langkah untuk mengantisipasi darnpak negatif yang tejadi.

(21)

Kawasan Usaha Ternak

Susu dan Daging Limbah (Padat, Cair dan Gas)

Masyarakat Meningkat dengan Baik saluran Sungai

I I

Kemungkinan Terjadi

Respon Pencemaran Air Sungai

Masyarakat (Fisik, Kimia dan Biologi)

Gambar 1. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Pengendalian Mutu Lingkungan di Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor

1.4. Perumusan Masalah

Limbah peternakan seperti urine dan feces bila tidak ditangani secara tepat dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan, namun sebaliknya bila manajemen peternakan dan penanganan limbah dapat ditangani secara benar maka limbah tersebut akan dapat berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat meningkatkan produksi rumput di sekitar peternakan. Bila disertai sentuhan teknologi, feaces tesebut dapat dijadikan kompos/pupuk organik yang bemilai ekonomis. Mengingat lokasi peternakan dilintasi oleh sungai Cigamea, maka akan ada peluang terjadiiya pencemaran air sungai tersebut. Namun seberapa jauh tingkat pencemaran tersebut sangat ditentukan oleh manajemen petemakan, penanganan limbah dan kondisi fisik (topogrfi, vegetasi, d i m air) di sekitar peternakan.

(22)

1.5.

Hipotesis

Usaha petemakan sapi perah di lingkungan pemukirnan penduduk diduga mernpunyai dampak terhadap masyarakat, antara lain:

1. Kawasan usaha petemakan di Kecamatan Cibungbulang akan rnempengaruhi kualitas air sungai Cigamea desa Situ Udik,

2. Respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK tergantung dari dampak yang ditimbulkan,

3. Lirnbah ternak berpengaruh terhadap kualitas air sungai Ciganea.

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah diperoleh :

1. Informasi bagi petemak tentang cara penanganan limbah yang bermanfaat untuk rneningkatkan efisiensi usaha petemakan

(23)

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peternakan Sapi Perah Rakyat

Petemakan rakyat di Indonesia menurut Atmadilaga (1970) merupakan usaha keluarga yang belum menggunakan kaedah ekonomi secara ketat, sedangkan manifestasinya berbeda-beda di berbagai daerah sesuai dengan pola pertanian atau pola tanamnya. Mubyarto (1982) menyatakan bahwa petemakan rakyat dengan cara pemeliharaan yang tradisional, keterampilan yang dimiliki sangat sederhana dan hanya menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu yang relatif terbatas. Umumnya biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli bibit, pembuatan kandang dan peralatan-peralatan lainnya.

Skala pemilikan temak sapi perah untuk petemakan rakyat ini berkisar 2-10 ekor sapi laktasi dan cara betemak sapi perah di Indonesia masih berdasarkan atas pengalaman-pengalaman orang tuanya, yang diturunkan dari generasi ke generasi (Sudono,1985).

Menurut Sutardi (1 98 1) jumlah pemberian ransum (hijauan dan konsentrat) dapat diperkirakan berdasarkan kebutuhan akan bahan kering (BK). Tabel 1 menunjukkan kebutuhan akan BK khusus untuk sapi perah betina yang tumbuh, sedangkan kebutuhan sapi jantan yang sedang tumbuh sampai bobot 250 kg atau umur sekitar satu tahun sama dengan sapi betina. Setelah diberi makan kira-kira

10% lebih banyak dari jatah pemberian makanan pada sapi betina.

2.2. Limbah Ternak

(24)

alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi.

Tabel 1. Patokan Kebutuhan akan Bahan Kering Sapi Perah

llmur Ternak (bulan) Bobot Hidup (Kg) Kebu~uhan BK (Kg)

Priode Menyusui

0-1 1 -2 2-3 3-4

Disapih - 1 tahun

4-6 6-8 8-10 1-3 tahun

12-38 18-24 24-30 30-36

Sumber : Sutardi (1998)

Menurut Jenie dan Rahayu (1993) limbah dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Walaupun tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit, namun kandungan bahan organik yang tinggi dapat merupakan sumber makanan yang baik bagi perkembangan organisme. Limbah yang dibuang ke aliran harus memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan, karena dapat membahayakan kehidupan dan dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Pembuangan berbagai jenis zat ke badan perairan penerima akan menyebabkan terjadinya degradasi kualitas air penerima, sehingga pemanfaatannya merugikan (Hardjo dkk, 1989).

2.2.1. Produk dan Limbah Ternak Sapi Perah

(25)

Limbah padat adalah semua lirnbah yang berbentuk padatan berupa kotoran temak, sisa makanan temak, temak yang mati, isi m e n dan isi usus hasil pemotongan. Limbah cair adalah semua limbah berbentuk cairan atau berada dalam cair. Limbah cair dalam usaha petemakan berasal dari urine, air pencucian alat pada nunah potong hewan, air pembersih ruangan dan darah (Soehadji, 1992).

Sapi laktasi yang mempunyai bobot badan 450 kg membutuhkan m p u t kurang lebih 30 kg, konsentrat 6 kg, air 50 liter untuk memproduksi susu 13 liter per hari serta menghasilkan urine dan feaces kurang kurang lebih sebanyak 25 kg

per ekor per hari. Menurut Taiganides (1 977) limbah padat sapi perah dihitung 9,4% bobot hidup dan menyatakan jumlah kuantitatif limbah yang dihasilkan temak pada suatu petemakan akan memberikan sumbangan bagi tingkat

pencemaran lingkungan. Limbah yang dihasilkan temak diasumsikan berdasarkan bobot hidup temak tersebut seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkiraan Perhitungan Limbah yang Dikeluarkan Temak

Limbah Simbul Unit Ayam

Babi Petelur Kerbau Domba Sapi Perah Limbah Basah JKS %BB/hari 5.10 6.60 4.60 3.60 9.40 Total Padatan TTS % BBhari 13.50 25.30 17.20 29.70 9.30 Total Volatil TVS %BBhari 0.69 1.68 0.70 1.07 0.89

% 'ITS 31.80 21.40 16.20 8.80 20.40

% TVS 38.60 29.40 19.60 10.40 25.40 Sumber: Taiganides (1977)

Keterangan : JKS : Jumlah Kotoran Segar TVS : Jumlah Padatan Menguap TTS : Jumlah Padatan BB : Bobot Hidup

2.2.2. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Sapi Perah

(26)

2.3.

Pencemaran Air

Pencemaran air menumt Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001 adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak behngsi sesuai dengan peruntukannya. Menurut Fardiaz (1992) bahwa pencemaran air merupakan penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal dan bukan dari kemurniannya Selanjutnya dijelaskan, bahwa ciri-ciri air yang mengandung senyawa pencemar sangat bervariasi tergantung jenis air dan senyawa pencemarnya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. Kehidupan hewan air berkurang pada air yang tercemar berat, air akan nampak kemh dan berbau menyengat. Todd (1980) menyatakan pencemaran air disebabkan oleh bahan-bahan organik, anorganik, biologi, fisik dan radioaktif. Penyebab pencemaran sangat erat kaitannya dengan pemakaian air oleh manusia dan aktivitas manusia yang terlibat dalam siklus air tersebut.

Fardiaz (1992) mengelompokkan zat pencemar air menjadi 9 kelompok antara lain : ( 1 ) padatan, (2) bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen (oxyigen demanding wastes), (3) mikroorganisme, (4) komponen organik sintetik, (5) hara tanaman, ( 6 ) minyak, (7) senyawa anorganik dan mineral, (8) bahan radio aktif, dan (9) panas. Pengelompokan tersebut bukanlah pengelompokan yang baky karena satu jenis pencemar dapat masuk ke dalam lebih dari satu kelompok, seperti bakteri dapat dimasukkan ke dalam kelompok mikroorganisme maupun kelompok padatan, karena bakteri mempakan padatan tersuspensi.

Untuk mengetahui adanya pencemaran air, diperlukan pengujian sifat-sifat

(27)

2.4. Parameter Kualitas Air Sungai

2.4.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu indikator yang cukup penting dalam menentukan kualitas air. Suhu memiliki hubungan yang erat dengan indikator kualitas air lainnya, seperti: (1) jumlah oksigen terlarut (DO) dalanl air, (2) kecepatan reaksi kimia, (3) kehidupan ikan dan hewan lainnya dalam air (Fardiaz, 1992). Wardoyo (1982) menyatakan kebutuhan ikan bass akan oksigen pada suhu 2 5 ' ~ mencapai dua kali lebih tinggi dibandingkan pada suhu 1 5 ' ~ atau 1,5 kali dibandingkan dengan suhu 20°C, karena suhu air mempengaruhi sifat fisik-kimia perairan maupun fisiologi ikan.

Pertumbuhan embryo ikan mas (Cyprinus carpio) pada suhu 3 0 ' ~ setengah kali dari pertumbuhannya pada suhu 2 0 ' ~ dan nafsu makan ikan mas nyata menurun dengan meningkatnya suhu air. Ikan mas yang dipijahkan di kolam secara alami, memijah setelah suhu air berkisar 20-22'~ (Wardoyo, 1982). Hal ini sejalan dengan dengan anjuran Pescod (1973) yang menyatakan perubahan suhu air yang mengalir karena limbah bersuhu tinggi tidak melebihi 2,8Oc dan untuk perairan tergenang tidak lebih dari 1 , 7 ' ~ dari suhu normal, sedangkan PP No 20 tahun 1990 memberikan batas toleransi + 3 ' ~ dari suhu setempat (Soeratmo, 1998 dan Wardana, 1999). Suhu yang relatif tinggi menurunkan DO di dalam air, sehingga ikan dan hewan lain mati karena kekurangan oksigen. Suhu air kalilsungai yang relatif tinggi ditandai dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lain ke permukaan untuk mencari oksigen (Fardiaz, 1992).

2.4.2. Nilai pH

(28)

bersifat sangat korosif terhadap baja dan sering menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992).

Pengukuran pH adalah uji parameter yang sangat penting dan praktis, karena banyak reaksi kimia dan biokimia penting te jadi pada tingkat pH tertentu. Wardoyo (1982) menyatakan untuk mendukung kehidupan ikan secara wajar diperlukan perairan dengan pH berkisar 5,O - 9,O. Beberapa jenis ikan ada yang tahan terhadap suasana asam dan basa, sehingga mempunyai batas toleransi pH berkisar antara 4,O (acid death point) sampai 11,O (basic death point). Batas toleransi organisme perairan terhadap pH dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, DO, alkalinitas dan adanya berbagai anion dan kation serta stadia organisme tersebut. Namun beberapa jenis organisme makanan ikan seperti Daphnia magna, tidak dapat hidup layak pada perairan dengan pH h a n g dari 6,O. Pescod (1973) menyatakan pH perairan yang ideal untuk perikanan berkisar 6,5-8,5. Selanjutnya Sastrawijaya (1991) menyatakan air dengan pH 6,7-8,6 mendukung populasi ikan dalam kolam, karena jangkauan pH tersebut pertumbuhan dan pembiakan ikan tidak terganggu.

2.4.3. Kekeruhan

Kekeruhan (turbidity) suatu pengairan sangat dipengaruhi oleh partikel koloid, liat (clay), lempung (silt), buangan industri, mikroorganisme dan partikel tersuspensi dari pencemar dan bahan organik yang terkandung dalam perairan @and et al, 1975; Saeni, 1991; Mahida, 1992). Peavy et al, (1986) menyatakan padatan tersuspensi b e r p e n g d terhadap kekeruhan dan kecerahan air, sehingga menghambat proses fotosintesis, karena terhambatnya transmisi cahaya di dalam perairan. Kekeruhan merupakan indikasi kualitas air buangan dan air alami yang mengandung koloid (Saeni, 1991).

..

(29)

2.4.4. Padatan Tersuspensi

Air tercemar mengandung padatan, seperti : padatan terendap (sedimen), padatan tersuspensi dan koloid seperti tanah dan kwarsa, serta padatan terlarut seperti garam dan molekul organik (Sastrawijaya, 1991). Alaerts dan Santika (1987) menyatakan analisis zat padat dalam air sangat penting untuk menentukan komponen air secara lengkap, untuk perencanaan serta pengawasan proses pengolahan air minum maupun air buangan.

Padatan tersuspensi dan koloid merupakan padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap langsung. Padatan tersuspensi dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan dan limbah industri (Sastrawijaya, 1991). Padatan tersuspensi total suatu contoh air adalah jumlah bobot bahan tersuspensi dalam suatu volume air tertentu yang biasanya dinyatakan dalam mg/l atau ppm. Padatan tersebut memiliki ukuran partikel dan bobot yang lebih kecil dibandingkan padatan sedimen.

Air buangan umumnya mengandung padatan tersuspensi dan koloid seperti protein. Hal ini dapat mengurangi penetrasi sinar ke dalam air, sehingga proses fotosintesis tanaman air terganggu. Hasil analisis padatan tersuspensi sangat berguna dalam penentuan tingkat pencemaran air sungai dan buangan, serta evaluasi besarnya buangan domestik (Saeni, 1991).

2.4.5. Nitrogen Amonia (NHs), Nitrit (NO23 dan Nitrat (NO<)

Nitrogen sebagai salah satu hara yang terdapat dalam protein nierupakan komposisi utarna plankton, dasar semua jaringan makanan yang terkait dengan air dan kehidupan (Henry dan Heinke, 1989). Nitrogen dalam air ada dalam bentuk gas Nz dan segera menjadi niQit (Nod, nitrat (NO<) dan amonia (NH3), yang sumber utamanya adalah limbah berupa bahan organik-protein dan senyawa anorganik (Wardoyo, 1982).

(30)

sedangkan dalam air nitrogen diikat oleh bakteri dan ganggang. Nitrogen dalam feaces dan urine hewan berakhir menjadi amonia yang baunya tidak sedap (Wiguna, 1999).

Amonia sulit digunakan oleh mikroorganisme, sehingga terlebih dahulu diubah oleh bakteri menjadi nitrit dan kemudian menjadi nitrat oleh bakteri lainnya. Sebagian nitrit diubah manjedi nitrogen bebas di udara oleh jamur. Sebagai indikator pencemaran yang umum digunakan adalah nitrogen anorganik seperti nitrit, nitrat dan amonia. Amonia merupakan hasil tambahan penguraian protein tanaman maupun hewan atau feacesnya. Jadi jika ada amonia dalam air, maka ada kemungkinan air tersebut tercemar feaces hewan. Disamping itu amonia juga dapat terbentuk jika urea dan asam urat dalam urine mengurai. Siklus nitrogen menunjukkan peran penting amonia yang dapat bereaksi dengan klor sehingga dapat mengurai kemampuan klor untuk membunub bakteri.

Jika manusia membuang kotoran ke dalam air, maka amonia dalam air meningkat sehingga tingginya konsentrasi amonia dalam air dapat memberikan petunjuk terjadinya pencemaran limbah. Disamping itu nitrat juga terdapat dalam pupuk buatan, maka konsentrasi nitrat yang tinggi dalam air juga disebabkan adanya pengotoran lahan pertanian seperti penggunaan pupuk yang berlebihan. Kemungkinan lain sebagai penyebab konsentrasi nitrat yang tinggi dalam air adalah pembusukan sisa tanaman dan hewan serta kotorannya. Pengotoran oleh 1.000 ekor ternak hampir sama dengan pengotoran oleh 5.000 jiwa penduduk (Sastrawijaya, 1991).

(31)

2.4.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biochenrical Oxygen Demand)

Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Di perairan proses dekomposisi tersebut tidak sekaligus tetapi secara bertahap tergantung pada jumlah bahan organik yang ada (Haryadi, 1995). BOD juga menggambarkan jumlah bahan organik di perairan yang mudah teruraikan (biodegradable organic muter). Uji BOD membutuhkan waktu yang cukup lama antara 20-25 hari untuk lnencapai 96% bahan organik terdekomposisi (Haryadi, 1995). Kelemahan lainnya adalah ikut terhitungnya oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahan-bahan tereduksi lainnya, yang disebut dengan intermediate o*ygen demand (Fardiaz, 1992). Namun cara tersebut merupakan cara yang paling berguna dan sensitif untuk mendeteksi dan mengukur pencemaran organik dalam perairan (Mahida, 1992). Hal ini disebabkan untuk keperluan pengamatan dan dapat diambil waktu standar 5 hari pada temperatur 20°c, yang diperkirakan sekitar 75% bahan organik terdekomposisi dan cukup memadai sebagai gambaran nilai BOD yang disebut dengan BODs (Haryadi, 1995).

Nilai BOD dapat pula disebabkan adanya proses oksidasi maupun nitrifikasi yang membutuhkan 0 2 , sehingga BOD perairan meningkat. Sejalan dengan

pendapat Mahida (1992) yang menyatakan uji coba BOD tidak membedakan antara kebutuhan oksigen karena oksidasi dan kebutuhan karena proses nitrifikasi. Alaerts dan Santika (1987) menyatakan BOD menunjukkan jumlah DO yang dibutuhkan organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Konsurnsi oksigen yang tinggi ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa DO, berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Dengan dernikian efek penting daripada limbah yang dibuang ke dalam sungai adalah oksigen yang diambil oleh bakteri, sebagai usaha untuk merobak bahan organik yang ada di dalam air.

(32)

keadaan menjadi anaerob. Kondisi ini mengakibatkan kematian ikan dalam air, sehingga menimbulkan bau busuk pada air. Beberapa zat organik dan anorganik seperti sianida dan tembaga, bersifat racun bagi bakteri, derajat keracunan ini dapat dapat diperkirakan melalui analisis BOD. Air yang hampir mumi mempunyai nilai BOD sekitar 1 ppm dan nilai BOD 3 ppm juga masih dinggap cukup murni, serta kemumian air diragukan apabila nilai BOD sudah mencapai 5 ppm atau lebih (Sastrawijaya, 1992).

Nilai BOD juga didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik di bawah kondisi aerobik (Alaerts dan Santika, 1987). Bahan organik yang digunakan bakteri untuk makanan dan energi diperoleh dari proses oksidasi. Nilai BOD menentukan pula jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menstabilkan bahan organik secara biologis, sehingga uji ini sering digunakan untuk mengevaluasi efisiensi alat pengolah limbah (Jackson et al., 1989).

2.4.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demattd)

Sastrawijaya (1991) mengatakan yang terkait erat dengan nilai BOD adalah Chemical Oxygen Demand (COD). Alaerts dan Santika (1987) juga mengatakan bahwa angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya DO dalam air. Sejalan dengan pemyataan Haryadi (1995), bahwa peningkatan nilai COD suatu perairan sejalan dengan peningkatan jumlah bahan organik di perairan tersebut. Hal ini disebabkan karena COD memberikan gambaran jumlah total bahan organik yang ada, baik yang mudah maupun yang sulit terurai (non biodegradable).

(33)

atau adanya bahan toksik bagi mikroorganisme, sehingga menghambat hasil BOD (Alaerts dan Santika, 1987).

2.4.8. Coliform

Mikroorganisme yang terdapat dalam air berasal dari berbagai sumber seperti udara, tanah, sampah, lumpur, tanaman hidup maupun mati, hewan hidup atau mati, tinja manusia dan hewan serta bahan organik lainnya (Fardiaz, 1992). Bakteri patogen yang dieksresikan manusia melalui tinja atau urine terbawa air dan lalat, sehingga menular pada manusia laimya (Jackson et al., 1989). Setiap orang melepaskan antara 100000-400000 bakteri coliform per hari, namun sebagian besar diantaranya kurang berbahaya, sehingga bakteri ini agak sulit terdeteksi.

Untuk mengetahui bakteri tersebut digunakan organisme indikator (indicator organism). Bakteri indikator dapat menunjukkan adanya pencemaran oleh tinja manusia atau hewan berdarah panas dan ha1 ini mudah dideteksi (Vanderzant dan Splittsoesser, 1992). Coliform dapat digunakan sebagai indikator karena keberadaannya dapat menunjukkan bahwa kuman patogen lainnya juga ada. Tidak semua coliform berasal dari kotoran manusia, sebaliknya bila air tidak mengandung bakteri indikator, berarti air tersebut tidak tercemar tinja dan tidak mengandung bakteri patogen (Alaerts dan Santika, 1987; Jackson et al., 1989).

(34)

2.5. Indeks Mutu Kualitas Air Sungai (TMKAS)

Indeks pencemaran air (Water pollution indices) merupakan indeks yang berguna untuk memantau dan menyampaikan status pencemaran air secara kuantitatif berdasarkan baku mutu kualitas air yang berlaku. Ott (1978) menyatakan, penentuan indeks diperlukan untuk menentukan tingkat pencemaran. Semakin tinggi nilai indeks contoh air, maka tingkat pencemaran juga semakin tinggi. Selanjutnya Ott (1978) mengelompokkan indeks kualitas air menjadi lima kelompok yaitu :

( 1 ) Indeks kualitas air bersifat urnurn;

(2) Indeks kualitas air untuk penggunaan khusus; (3) Indeks kualitas air untuk perencanaan;

(4) Indeks kualitas air dengan pendekatan statistk, (5) Indeks kualitas air dengan pendekatan biologi.

Penentuan indeks hanya ditujukan bagi parameter air yang telah melarnpaui batas baku mutu yang telah ditetapkan. Bila terjadi pencemaran, maka akan terdapat kontribusi yang jelas terhadap nilai indeks air. Sebaliknya apabila tidak terjadi pencemaran, maka kontribusinya nol.

Mutu lingkungan perairan, secara umum ditentukan dengan Indeks Mutu Kualitas Air Sungai (IMKAS). IMKAS didasarkan atas bobot (Wi) dan sub indeks (Ii) dari 8 parameter penting kualitas air. Hasil yang diperoleh dari perhitungan IMKAS selanjutnya dibandingkan dengan kriteria baku mutu lingkungan perairan menurut Brown et al., (1970) dalam Husin (1990).

2.6. Baku Mutu Air

(35)

Penggunaan air sebagai air minum bagi masyarakat menuntut persyaratan yang tinggi, karena menyangkut kehidupan manusia secara langsung tanpa adanya peluang untuk terjadinya penguraian atau pengurangan kadar bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Air yang tidak memenuhi syarat sebagai air minum menimbulkan akibat yang segera nampak (akut) dan akibat yang nampak secara perlahan-lahan atau dalam waktu yang lama (kronis). Memperhatikan ha1 tersebut maka diadakan peraturan yang menyangkut air, yang memberi batas aman untuk penggunaan air bagi peruntukan tertentu, misalnya

untuk meningkatkan populasi suatu jenis ikan dalam suatu perairan (Soeratmo, 1998; Wardana, 1999).

Baku mutu air dibagi menjadi empat kelas menurut peruntukannya, ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 82 Tahun 2001, tertanggal 14 Desember 2001 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004) adalah sebagai berikut : Kelas satu : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air

minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

Kelas dua : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasaranalsarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, petemakan, air untuk mengairi perianaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas tiga :

A

i

r

yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan

ikan air tawar, petemakan, air untuk mengairi tanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

(36)

2.7. Aspek Sosial Ekonomi

Hadimya usaha petemakan sapi perah di lokasi penelitian akan belpengaruh terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat di sekelilingnya, karena dapat menyerap tenaga k e j a yang berasal dari daerah sekitamya. Salah satu aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat adalah usahatani di lahan sawah yang produktivitasnya dipengaruhi oleh faktor seperti pengolahan lahan, bibit, pangairan, pemupukan dan sebagainya.

Limbah petemakan sapi perah yang dibuang ke perairan yang aimya digunakan sumber perairan, memberikan peluang adanya senyawa tertentu dalam air sungai tersebut. Senyawa tersebut di satu sisi menyebabkan pencemaran dan di sisi lain kemungkinan memberikan dampak positif terhadap tingkat kesuburan lahan pertanian. Dengan demikian petani akan memiliki pandangan tersendiri atas hadimya suatu usaha petemakan sapi perah di lingkungannya. Pandangari tersebut dapat dilihat dari persepsinya terhadap petemakan sapi perah yang diduga sebagai sumber pencemar.

(37)
(38)

111. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Usaha Petemakan (KUNAK) sapi perah Cibungbulang Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai September 2005. Analisis sifat fisik, kimia dan biologi air di Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro Depperin Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Alat yang digunakan antara lain: kuisioner, alat tulis dan Penggaris,

Anemometer, Barometer, DO meter, Termometer Hg, pH meter, Turbidimeter,

Spekfrofotomefer, Buret serta Timbangan Analitik. Peralatan yang digunakan

untuk pengambilan contoh air adalah botol gelas berukuran 500 mi.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengambilan data primer dilakukan dengan cara pengamatadpengukuran langsung dan melalui wawancara (dengan kuesioner terstruktur) baik pada lokasi sebelum KUNAK dan setelah KUNAK. Data primer yang dikumpulkan meliputi :

(1) kualitas fisik, kimia dan biologi air sungai, (2) tanggapan penduduk yang bermukii di sekitar sungai baik yang sebelum maupun setelah wilayah KUNAK tentang kualitas air dan manfaat keberadaan KUNAK, (3) manajemen petemakan dan penanganan limbah oleh petemak. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor pernerintah dan instansi yang terkait (KPS Bogor) serta diperkuat dengan studi pustaka.

3.3.1. Pengambilan SampeI Air.

(39)

laboratorium. Contoh air sungai diambil pada jarak 0,5 - 1 m dari tepi sungai pada ke dalaman 113 - !4 m dari atas permukaan air. Frekuensi pengambilan dan analisis contoh dilakukan sebanyak tiga kali.

Macam analisis kualitas air yang dilakukan disesuaikan dengan parameter kualitas air baku. Parameter yang dianalisis di laboratorium terdiri dari : (1) sifat fisik air yaitu suhu, keke'iuhan, dan Total padatan tersuspensi (Total Suspended SolidfTSS); (2) sifat kimia air yaitu pH, amonia, kebutuhan oksigen biologis/BOD, dan kebutuhan oksigen kimiawi1COD; dan (3) sifat biologis air yaitu coliforrn (Tabel 3). Analisis suhu dan pH (kebasaan dan keasaman) dilakukan dengan pengukuran secara langsung

Tabel 3. Peubah Kualitas Air dan Metode Analisis yang Digunakan

Parameter Satuan Metode Analisis Peralatan Sifat fisik

Suhu OC Pemuaian Termometer Hg

pH - Potensionitrik pH meter

Kekeruhan NTU Intensitas cahaya Turbidimeter

TSS m d l Gravimeter Timbangan analik,

kertas saring 0,45pm

Sifat kitnia

BOD5 m d l Titrimetrik BuretJTitrasi

COD m d l Titrimetrik BureVTitrasi

DO m d l Titrimetrik DO meter

Amoniak bebas mg/l Spektrometer Spektrometer

3.3.2. Wawancara Terstrukur :

Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner ini dilakukan kepada responden yang berada di sekitar KUNAK sapi perah baik sebagai petemak maupun masyarakat non petemak.

a) Wawancara dengan petemak sebanyak 10% dari jurnlah populasi seluruhnya. Jumlah populasi seluruhnya adalah 120 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 12 orang, penarikan sampel petemak dilakukan secara statifikasi acak berimbang yang dibagi dalam tiga strata yaitu : (1) Skala I, dengan pemilikan temak 1-5 ST (satuan ternak), (2) Skala

I1

dengan kriteria pemilikan temak 6-10 ST dan (3) Skala 111 dengan kriteria pemilikan. temak >
(40)

Tabel 4. Wawancara dengan petemak ini dilakukan untuk mengetahui jenis buangan dan penanganan limbah sebelum dibuang ke daerah badan sungai. Tabel 4. Populasi dan Jumlah Sampel yang Diambil Petemak Sapi Perah di

KUNAK Cibungbulang dalam Satuan Temak (ST)

Uraian Skala I Skala I1 Skala 111 Keseluruhan

Populasi 42 57 53 152

Sampel 4 6 5 15

b) Wawancara dengan masyarakat di sekitar daerah petemakan sebanyak 40 kepala keluarga masing-masing 20 KK yang bertempat tinggal di bantaran sungai yang berada sebelum dan sesudah sungai melintasi KUNAK. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari limbah terhadap sungai Cigamea dan keseharian masyarakat.

Untuk mengetahui sejauh mana dampak usaha petemakan terhadap masyarakat setempat dilakukan analisis dampak dengan menggunakai matriks. Jenis dampak lingkungan bagi penduduk, peubahltolok u k u beserta cara pengukurannya dalam penelitian yang akan dilakukan diperlihatkan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Matriks untuk Identifikasi dan Evaluasi Dampak.

Komponen Lingkungan Dampak Lingkungan -

Estetika Kesehatan

(41)

3.3.3. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari:

a) Badan Metereologi dan Geofisika Balai Wilayah I1 Stasiun Klimatologi Kelas I Darmaga Bogor

b) Kantor Kelurahan Pamijahan Kabupaten Bogor

c) Puskesmas Kelurahan Pamijahan Kabupaten Bogor

d) Studi pustaka yang berhubungan dengan analisis dampak lingkungan dan

. .

.-

kualitas air -

Tabel 6. Jenis Dampak, ParameterIIndikator Dampak dan Cara Mengukumya

Jenis Dampak PararneterIIndikator

Dampak Cara Mengukumya

Perekonomian Penyerapan tenaga Mencatat jumlah masyarakat yang

Lokal kerja bekerja pada usaha peternakan sapi

perah serta upah yang diterima Mencatat besarnya penerimaan uang Keadaan pendapatan yang diperoleh setiap keluarga per

bulan dari petemakan

Kesehatan Frekuensi timbulnya Meccatat jenis penyakit yang sering Masyarakat suatu penyakit yang timbul atau diderila serta akibatnya

berhubungan dengan petemakan sapi perah

Estetika Kualitas surnber air Di laboratorium dengan metode

minum tertentu

Penampilan air dan Organoleptik oleh responden

3.4. Analisis Data

Analisis kualitas air sebelum dan setelah Kunak, dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan ~. data kualitas perairan y ~ g ada dengan peraturan

(42)

IMKAS = C (Wi x Ii)

Keterangan :

Wi : Bobot Parameter ke i untuk skala 0 -1 Ii : Nilai sub indeks parameter kualitas perairan IMKAS : Indeks Mutu Kualitas Air Sungai

Hasil perhitungan indeks mutu Kualitas Air Sungai kemudian dibandingkan dengan kriteria kualitas air menurut NSF

-

WQI, yaitu :

0

-

25 : Sangat Buruk 26 - 50 : Buruk

51 - 70 : Sedang 71 - 90 : Baik

91

-

100 : SangatBaik
(43)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Lokasi Penelitian

Kawasan usaha peternakan (KUNAK) sapi perah Cibungbulang terletak di

Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Lokasi KUNAK ini meliputi tiga desa,

yaitu Desa Situ Udik, Desa Pasarean dan Desa Pamijahan. Luas lahan secara keseluruhan sekitar 121.06 hektar yang terdiri dari 181 buah kapling, 181 buah

rumah tipe 21 m2, 3 buah rumah tipe 36 m2 dan satu kantor. Fasilitas lain meliputi jalan aspal, jembatan, sarana air, jaringan iistrik, pohon pelindung serta biogas

kapasitas 1500 m3. KUNAK terdiri atas tiga wilayah. yaitu : lokasi KUNAK I

terdiri dari 98 kapling terletak di Gunung Geulis, yang secara administratif termasuk wilayah Desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan; lokasi KUNAK I1 terdiri dari 83 kapling terletak di Desa Pamijahan Kecamatan Pamijahan dan sebagian di Desa Situ Udik Kecamatan

Cibungbulang; dan lokasi I11 terletak di Desa Ciasihan, tetapi sampai pada saat penelitian belum dimanfaatkan.

Secara geografis KUNAK terletak pada ketinggian 200-250 meter di atas permukaan laut, dengan temperatur berkisar antara 19' - 27' C dan curah hujan berkisar antara 2000-3000 mmttahun. Topografi kawasan KUNAK adalah

bergelombang sampai dengan berbukit-bukit. Sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh kegiatan berasal dari sumber air Sungai Cigamea melalui saluran irigasi Pasar Rebo yang digunakan untuk mengairi sawah sekitar KUNAK. Peta lokasi Kunak dan aliran sungai Cigamea yang melintasinya

diperlihatkan dalam Gambar 2

4.1.2. Sejarah KUNAK

Ide awal pembangunan KUNAK sapi perah telah dimulai sejak tahun 1988

dan mengalami proses yang cukup panjang hingga akbir pada tahun 1995 baru dapat diwujudkan awal pembangunannya dan selesai pada tahun 1996. Alasan yang melatarbelakangi dibentuknya Kawasan Usaha Perternakan KUNAK Sapi

(44)

u d - - I'ETILO1;LUll~EhCLIIWi

Gambar 2: Peta Lokasi Penelitian

yang ditandai dengan se~nakin meningkatnya jutnlah populasi sapi perah, produksi susu dan peternakan sapi perah; (2) penyebaran usaha sapi perah yang selama ini belutn terpola sesuai dengan tata ruang, telah memunculkan permasalahan bukan saja dari aspek teknis, sosial dan ekonomi; (3) lokasi-lokasi sapi perah saat ini banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan rancangan umuln tata ruang atau rancangan detail tata ruang (RUTNRDTR) dan keberadaannya sering terdesak oleh kepentingan lain termasuk pemukiman yang berkembang pesat; dan (4)

usaha sapi perah dewasa ini sudah harus bergerak dari usaha sambilan ke arah

usaha agribisnis yang bemawasan lingkungan dan petnanfaatan teknologi maju (KPS - Bogor, 1996).

Pembentukan kawasan ini bertujuan untuk : (1) meningkatkan produktifitas usaha sapi perah untuk meningkatkan pendapatan peternak, ( 2 ) relokasi usaha sapi perah dalam rangka penataan dan pelestarian usaha sapi perah di Kabupaten

(45)

perdagangan dan (6) pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (KPS - Bogor, 1996).

Rencana pembangunan KUNAK terealisasi setelah KPS Bogor mendapat pinjaman dana Bantuan Presiden (Banpres) melalui Kepres No. 064 / B / tahun 1994 untuk pembuatan 220 kandang ukuran 63 m2 dan Kepres No. 069 / B / 1994 untuk pembebasan lahan. Kegiatan pembebasan lahan dimulai bulan Januari 1995 dan berakhir pada pertengahan tahun 1996. Pembangunan fisik dimulai sejak bulan Agustus 1996 dan secara keseluruhan pembangunan KUNAK sapi perah selesai bulan Desember 1996. Kawasan Usaha Petemakan (KUNAK) Sapi Perah Kecamatan Cibungbulang diresmikan tanggal 7 Januari 1997 oleh Presiden Soeharto.

Pada awalnya KUNAK didirikan untuk peternak sapi perah yang merupakan anggota Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor dengan persyaratan minimal mempunyai sepuluh ekor sapi laktasi dan berdomisili di Wilayah Bogor, namun pada perkembangannya sebagaian besar peternak di KUNAK berada di luar wilayah Bogor seperti Depok, Tangerang dan Jakarta.

4.2. Respon Masyarakat Sekitar Terhadap KUNAK

(46)

Tabel 7. Karakteristik Masyarakat Non Peternak di Sekitar KUNAK.

Uraian Sebelum Lokasi KUNAK Setelah Lokasi KUNAK

Jumlah O h Jumlah YO

(Orang) (Orang)

1. Umur (tahun)

20 - 30 31 -40 41-50 51-60

>

60

2. Pendidikan Tidak Sekolah SD/MI/SR SMP/MTs SMA Sarjana 3. Pekerjaan Pedagang Pelani

Buruh

Wiraswasta PNS

4. Jml Augg. Keluarga

0

1 - 3

4 - 6 7 - 9

> I0

Berdasarkan Tabel 7 karakteristik masyarakat non peternak, baik yang bermukim sebelum dan sesudah KUNAK tidak jauh berbeda ditinjau berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan dan jumlah anggota keluarga. Sebagian besar

masyarakat berusia lebih dari 30 tahun. Berpendidikan kebanyakan sampai tamat SD dan sebagian besar bekerja sebagai non PNS (pedagang, petani, buruh, wiraswasta)

(47)

Jumlah anggota rumah tangga pada lokasi sebelum KUNAK sebagian besar (45%) terdiri dari 1 - 3 orang dan yang mewakili anggota rumah tangga 4 - 6 dan 7 - 9 orang masing-masing sebesar 30% dan .25%, sedangkan pada lokasi setelah KUNAK diketahui jumlah anggota keluarga responden adalah sebagian besar (40%) berjumlah 4 - 6 orang dan yang mewakili anggota rumah tangga I - 3

orang dan 7 - 9 orang masing-masing sebesar 35% dan 15%. Disini terlihat masih banyak penduduk yang mempunyai anak banyak dan masih menganut kepercayaan bahwa banyak anak banyak rejeki.

Kondisi perumahan responden pada sebelum KUNAK maupun setelah

KUNAK (Tabel 8). Adapun responden yang memiliki rumah sudah bertembok adalah sebesar 40% pada lokasi sebelum KUNAK dan 45 % pada lokasi setelah KUNAK. Secara umum masyarakat di sekitar lokasi KUNAK adalah masyarakat menengah ke bawah.

Suinber air yang digunakan responden non petemak (10 dan 5%) berasal dari sumur sendiri. Keadaan air sumur relatif jenih dan jumlahnya pun cukup

banyak; rekatif tetap sepanjang tahun; hanya pada musim kemarau agak berkurang, sehingga hampir tidak pemah mengalami kesulitan.

Sebagian besar responden, menggunakan sungai Cigamea sebagai sumber air dan sedikit yang menggunakan air ledeng. Sebagian besar responden di luar KUNAK juga menggunakan sungai Cigamea sebagai tempat mandi, cuci dan tempat buang air besar, sehingga responden menjadi pelaku dan yang terkena

pencemaran sungai Cigamea. Kejadian penyakit di wilayah penelitian, inengikuti pola penyakit umum yang ada si wilayah Indonesia, yaitu : influenza, penyakit perut dan kulit. Penyakit perut dan kulit yang sering dikaitkan dengan pencemaran

(48)

Tabel 8. Kondisi Perurnahan, Penggunaan Sumber Air dan Kesehatan Masyarakat Non Peternak KUNAK.

Uraian Sebelum Kuuak Setelah Kunak

Jumlah O h Jumlah O h

(Orang) ora an^)

1. Kondisi Rumah

Tanah 0 0 0 0

Semi Permanen 12 60 11 55

Tembok 8 40 9 45

2. Masa Tinggal

< 3 tahun 3 15 2 10

3 - 10 tahun 15 75 14 70

> I0 tahun 2 10 4 20

3. J a r a k ke Suugai

< I00 6 30 8 40

100 - 275 I l 55 10 50

> 275 3 15 2 10

4. Sumber Air Minum

Sumur Sendiri 2 10 I 5

Sungai 14 70 16 80

Ledeng (KUNAK) 4 20 3 15

5. Mandi dan Cuci

Sumur Sendiri 1 5 1 5

Ixdeng (KUNAK) 2 10 1 5

Sumur Sendiri&Sungai 2 10 2 10

Sungai 15 75 16 80

6. Tempat Kskus

MCK Sendiri 4 20 7 35

Sungai 8 40 8 40

Kolam 8 40 5 25

7. Jenis Penyakit

1. Influenza, batuk, panas 16 80 12 60

2. Perut 2 10 3 15

3. Demam 1 5 2 10

4. Kulit I 5 3 15

(49)

Respon masyarakat non peternak terhadap keberadaan KUNAK dipaparkan pada Tabel 9. Secara umum, respon masyarakat terhadap keberadaan KUNAK masih positip, walaupun ada perbedaan sikap antara masyarakat di sepanjang sungai Cigamea yang bermukim sebelum dan sesudah KUNAK. Sedikit saja

(15%) yang merasa adanya gangguan pencemaran oleh adanya KUNAK, lebih dari 75% masyarakat merasakan kepuasan terhadap lingkungan KUNAK.

Keberadaan KUNAK ditanggapi beragam oleh masyarakat non peternak. Diakui oleh masyarakat, keberadaan KUNAK memberikan lapangan kerja baru seperti usaha warung, ojeg dan usaha kios-kios.

Tabel 9. Respon Masyarakat Non Peternak terhadap Keberadaan KUNAK.

Uraian Sehelum Kunak Setelah Kunak

Jumlah O h Jumlah YO

(Orang) (Orang)

1. Merasakan adanya gangguan pencemaran air

Y a Tidak

2. Merasakan mendapat manfaat

Mudah membeli susu Ada kesempatan kerja

3. Kepuasan terhadap lingkungan

Puas Biasa Belum puas

4. Kebemdaan Kunak

Setuju Tidak Setuju

5. Kegiatan Usaha

Wamng Ojek Kios-kios

6. Jenis Pekerjaan

Perawat Sapi Pemeras Susu Menanam Rumput Menyabit Rumput 7. Kenvamanan

Nyaman 12 60 16 80

(50)

4.2.1. Dampak Terhadap Mobilitas Penduduk

Kehadiran kawasan usaha peternakan sapi perah tidak hanya merubah hutan menjadi daerah peternakan dan daerah pemukiman baru, tetapi dampaknya ternyata lebih luas lagi. Hadimya KUNAK selain menumbuhkan kesempatan

kerja baru di sektor peternakan juga mampu menumbuhkan kesempatan ekonomi baru di bidang perdagangan dan jasa.

Kepadatan pendudukan di Desa Situ Udik dan Desa Pamijahan disebabkan

oleh adanya penduduk pendatang. Tujuan penduduk pendatang ke daerah ini selain untuk betemak, juga ada yang sekedar melihat-lihat saja serta ada juga yang bertujuan untuk berwisata sehingga daerah ini selalu didatangi terus, apalagi pada

hari minggu dan hari libur.

Dari hasil wawancara, responden menyatakan bahwa sebagian besar di KUNAK adalah dari luar kampung yaitu sebesar 90% dari total peternak yang ada

di lokasi KUNAK. Mereka ini ada yang sebagai pemilik sapi, perawat sapi, pemerah sapi, pembersih kandang. Walaupun sebagian besar pekerja diambil dari luar kampung, tetapi ada juga yang berasal dari daerah di sekitar kawasan

KUNAK yaitu sebesar 10% dari total peternak yang berada di lokasi KUNAK. Merekz ini selain sebagai pemilik ternak juga bekerja sebagai petnerah susu, penyakit rumput dan satpam.

4.2.2. Dampak Terhadap Pemukiman Baru

Adanya kawasan usaha peternakan sapi perah mempunyai pengaruh

terhadap timbulnya pemukiman baru, yaitu adanya bangunan pengkaplingan- pengkaplingan yang menjadi tempat tinggal peternak.

Disamping itu, dengan adanya kapling-kapling di KUNAK dikhawatirkan

akan terjadi isolasi, sehingga .

.

interaksi sosial dengan masyarakat lokal (sekitamya) kurang terjadi. Hal ini cukup beralasan, karena pada umutnnya jam kerja mereka
(51)

4.2.3. Dampak Terhadap Tataguna Tanah

Areal seluas sekitar 140 hektar yang digunakan untuk pengembangan

KUNAK, asalnya merupakan daerah hutan dan pertanian, sehingga tataguna tanahnya berubah, baik menjadi bangunan-bangunan perumahan maupun fasilitas lainnya. Hasil obsewasi lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat serta pejabat daerah setempat, ternyata adanya KUNAK dapat memberikan pengaruh

terhadap tata guna tanah di daerah tersebut. Seperti diungkapkan Koswara (1986), bahwa halnpir setiap bidang kegiatan serta kehidupan ada sangkutannya dengan tanah maupun tataguna tanah. Pembangunan gedung-gedung dan jalan-jalan akan mendesak tanah pertanian yang subur inenjadi kurang subur.

Dilain pihak, para peternak yang berada di KUNAK ini, membuang kotorannya langsung ke kebun rumput yang berada di sekitarnya sehingga

kotorannya bisa sebagai pupuk yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Ini sesuai dengan pendapat Koswara (1986) yang menyatakan bahwa ternak selain penghasil protein bagi manusia, juga kotorannya yang dikembalikan ke dalam tanah setelah melalui berbagai proses perombakan serta mineralisasi oleh jasad

renik akan merupakan sumber hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.

4.2.4. Dampak Terhadap S r ~ m b e r Pekerjaan Baru

Kegiatan dalam KUNAK lnelibatkan masyarakat yang berada di lokasil di sekitar kawasan KUNAK. Keterlibatan masyarakat berarti tersedianya kesempatan kerja. Kesempatan kerja tersebut dapat bersifat langsung dan tidak

langsung. Kesempatan kerja yang bersifat langsung melibatkan masyarakat yang bekerja sepanjang tahun dalam kegiatan KUNAK, dan merupakan pekerjaan pokok mereka. Sedangkan kesempatan ke j a yang tidak langsung dalam kegiatan KUNAK ini melibatkan orang-orang yang membutuhkan saran4 prasarana, fasilitas dan lain-lain untuk kesejahteraan hidupnya.

Dampak terhadap kegiatan perekonornian lokal umumnya hanya dibatasi

pada hal-ha1 yang menyangkut tentang sektor perdagangan dan jasa sefi? industri

(52)

sektor perdagangan dan jasa setempat (Adiwibowo, 1988). Pada hasil penelitian ini ternyata adanya KUNAK menyebabkan timbulnya perekonomian-

perekonomian baru di bidang perdagangan dan jasa seperti timbulnya warung- warung kebutuhan sehari-hari, kios dan ojek.

Ternyata sebesar 100% responden menyatakan bahwa dengan adanya KUNAK menyebabkan timbulnya ojek dan warung kebutuhan sehari-hari

,

sedang 72% responden masyarakat yang berjarak kurang dari 500 m dan 40%

responden masyarakat yang berjarak lebih dari 500 m menyebabkan timbulnya kios-kios. Dengan demikian adanya KUNAK mampu memberikan sumber

pekerjaan baru kepada masyarakat sekitar. Penyerapan tenaga kerja yang diakibatkan oleh adanya KUNAK secara langsung yailu sebagai penyabit rumput (40%), perawat sapi (26.67%), pemeras susu (26.67%), dan penanam rumput

(6.67). Ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang bekerja di KUNAK hanya sebagai buruh kasar saja. Ini disebabkan karena yang bekerja di KUNAK

merupakan orang bawaan pemilik ternak tersebut yang berasal dari luar lokasi KUNAK. Jumlah masyarakat lokal yang bekerja di KUNAK kurang dari 10

orang, dan keadaan ekonorninya tidak berubah, masih tetap seperti sebelumnya.

4.3. Karaktertistik Peternak

Karakteristik peternak sapi perah di KUNAK Cibungbulang dalam penelitian ini meliputi : (1) umur, (2) pendidikan, (3) mata pencaharian dan (4) pengalaman peternak (Tabel 10)

Hampir 50% petemak berumur 35-45 tahun, 30% berumur antara 46-55 tahun, sebanyak kurang lebih 3% berumur lebih dari 55 tahun, sedangkan yang

berumur kuarang dari 35 tahun (peternak muda) hanya sekitar 17%.

Tingkat pendidikan petemak di lokasi peternakan tergolong sedang. Diketahui bahwa secara keseluruhan pendidikan petemak di KUNAK baru berpendidikan tamatan dari tingkat SLTP/sederajatnya yaitu 50%. Pendidikan

(53)

Tabel 10. Karakteristik Peternak di KUNAK

Uraian Skala I Skala I1 Skala IIi Keseluruhan

Jumlah % Jumlah % Jumlah Oh jurnlah %

I. Umur

< 35 th 1 25 1 17 0 0 2 17

36-45th 2 50 3 50 1 50 6 50

46 - 55 th 1 25 2 33 1 50 4 33

> 55 th 0 0 0 0 0 0 0 0

2. Pendidikan

Tamat SDISederajat 1 25 2 33 0 0 3 25

Tamat SLTPlSederajat 2 50 3 50 1 50 6 50

Tamat SLTNSederajat 1 25 1 17 1 50 3 25

Tamat Perguruan Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0

3. Mata Pencaharian

Peternak Sapi Perah 4 100 5 83 2 100 11 92

Pegawai Swasta 0 0 1 17 0 0 1 8

Pegawai

NegeriIABRIlPensiunan 0 0 0 0 0 0 0 0

4. Pengalaman Beternak

< 5 th 1 25 1 17 0 0 2 17

5-10 th 3 75 4 67 2 1 9 75

> l o t h 0 0 1 17 0 0 1 8

Usaba ternak sapi perah secara umum menempati posisi sebagai pekerjaan utamalpekerjaan pokok, hasil pengamatan secara keseluruban diketabui bahwa lebih dari 90% responden menyatakan bahwa pekerjaan beternak merupakan

pekerjaan utamanya. Hanya sebagian kecil (8%) peternak memiliki pekerjaan lainnya dalam bidang swash.

Secara umum tingkat pengalaman beternak usaba ternak sapi perah pada

KUNAK relatif lama. Dari Tabel 10 diketahui bahwa, secara keseluruhan sebesar 75% responden berpengalarnan beternak antara 5 - 10 tahun, sedangkan sebesar

17% dan 8% baru berpengalaman < 5 tahun dan > 10 tahun.

Dalam perencanaan, KUNAK dibangun untuk anggota KPS Bogor dengan persyaratan mempunyai sapi laktasi minimal 10 ekor. Dengan demikian anggota KUNAK sudah mempunyai pengalaman beternak sapi perah, tetapi karena adanya berbagai kendala, maka sebagian besar anggota KUNAK menjual kapling mereka

(54)

4.4. Pengelolaan Usaha Teruak Sapi Perah

4.4.1. Struktur Populasi

Pada umumnya sapi induk yang dipelihara adalah bangsa Fries Ifollund dan

keturunannya, dengan kisaran bobot badan 350-450 kg. Jumlah temak yang dimiliki peternak adalah antara 1 - 18 ekor per petemak (Tabel I I)

Tabel 1 1. Struktur Pemilikan Sapi Peternak KUNAK.

Uraian Skala l(1-5) Skala ll (6-10) Skala 111 (>lo) Keseluruhan

Ekor % Ekor % Ekor % Ekor %

1 .Laktasi

Jumlahseluruhnya 15 41.63 39 41.99 27 21.78 81 32.12

Rataan I Peternak 3.8 6.5 13.5 23.8

2.Kering

Jumlah seluruhnya 1 3.27 11 11.76 23 18.74 35 13.97

Rataan I Peternak 0.3 1 .8 11.5 13.6

Jantan Dewasa

Jurnlah seluruhnya 1 3.27 3 3.36 3 2.81 8 3.02

Rataan I Peternak 0.3 0.5 1.5 2.3

3.Dara

Jumlahseluruhnya 9 26.12 19 20.16 33 26.93 61 24..28

Rataan I Peternak 2.3 3.2 16.5 21.9

4.Pedet

Jumlahseluruhnya 9 25.21 22 23.18 37 29.98 67 26.67

Rataan I Peternak 2.3 3.7 18.5 24.4

Rataan I Peternak 8.8 15.7 61.5 86.0

Slrukur Populasi ternak diperlihatkan dalam Tabel 12. Ditinjau dari struktur populasi terlihat ke~nampuan manajemen peternak masih kurang memadai. Seyogyanya persentase sapi laktasi lebih dari 60%. Rendahnya persentase sapi laktasi diduga karena manajemen pemeliharaan dan tatalaksana usahatemak yang kurang baik. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa penanganan usahaternak tidak dilakukan langsung oleh peternak tetapi diserahkan sepenuhnya

kepada pekerja kandang, sehingga diduga tatalaksana usaha ternak yang dilakukan pekerja kandang kurang baik, karena tingkat pengelolaan dan pengetahuan dalam pemeliharaan sapi perah masih terbatas. Melihat persentase pemilikan sapi laktasi

(55)

Tabel 12.. Struktur Populasi Sapi di KUNAK (2005)

2 Jantan Muda 1100

3 Jantan Dewasa 1,29

4 Betina Anak 6,87

5 Betina Muda 9,56

6 Betina Dewasa Laktasi 4535

7 Betina Dewasa Kering 12,44

8 Betina Dewasa Bunting 17,92

4.4.2. Tenaga Kerja dan Alokasi Waktu Kerja

Secara umum peternak sapi perah KUNAK Cibungbulang menggunakan pekerja luar keluarga untuk mengelola usahaternaknya. Segala kegiatan yang

menyangkut usahaternak sapi perah diserahkan kepada pekerja kandang, sedangkan peternak datang hanya satu kali dalam seminggu atau pada hari libur untuk mengawasi dan melihat perkembangan usahatemak mereka.

Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa jenis kegiatan yang

dilakukan oleh pekerja dalam mengelola usaha ternak sapi perah adalah

Gambar

Gambar  1.  Diagram Alur Kerangka Pemikiran Pengendalian Mutu Lingkungan di  Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah Cibungbulang Bogor
Tabel 1. Patokan Kebutuhan akan Bahan Kering Sapi Perah
Tabel 3. Peubah Kualitas Air dan Metode Analisis yang Digunakan
Tabel 4.  Wawancara  dengan petemak  ini  dilakukan untuk  mengetahui jenis  buangan dan penanganan limbah sebelum dibuang ke daerah badan sungai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberhentian adalah putusnya hubungan kerja seseorang dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting. Dalam proses pendidikan kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan pokok. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal untuk

Fokus penelitian ini pada kegiatan Musrenbang pada tingkat desa dan kelurahan sebagai forum komunikasi stakeholder yang mewakili masyarakat desa/kelurahan untuk mengaspirasikan

Untuk mengatasi kondisi yang demikian, maka di dalam pengelolaan pemberian kredit, pihak perusahaan mempertimbangkan informasi character (kharakter konsumen) berkaitan dengan

serbuk daun ungu, metode yang digunakan perkolasi dan pelarut yang. digunakan adalah etanol 70%. Ekstraksi adalah kegiatan

Dengan kunjungan yang dilakukan selama 13 kali dalam masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sibetan penulis sedikit banyak telah membantu beberapa permasalahan

Untuk melakukan pengenalan terhadap pola tanda tangan, input gambar scan tanda tangan akan dilakukan proses pengambangan (thresholding), untuk menghasilkan gambar biner (hitam

Metode penelitian: Penelitian penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran karakteristik masyarakat, yaitu umur, pendidikan,