• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA

PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia.

Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen

(3)

RINGKASAN

ERMITA ARUMSARI. Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Di bawah bimbingan Dodik Briawan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Tujuan khusus dari penelitian adalah : (1) mengkaji kadar hemoglobin dan status anemia remaja putri, (2) mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri, (3) mengkaji pola menstruasi remaja putri, (4) mengkaji riwayat penyakit remaja putri, (5) mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri, (6) mengkaji aktivitas fisik remaja putri, (7) mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri, (8) menganalisis faktor risiko anemia remaja putri.

Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu data baseline dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB). Lokasi penelitian dilaksanakan di SMP VII dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan didasarkan kesediaan sekolah mengikuti program serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi sekolah untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin. Waktu pengambilan data dilakukan pada November 2007-Februari 2008. Contoh sejumlah 400 orang terdiri dari 200 orang siswi SMP VII dan 200 orang siswi SMK Teratai Putih Global 2. Usia contoh berkisar 10-18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan siswi mengikuti program dan adanya izin dari orangtua.

Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Data dikumpulkan melalui tiga cara (wawancara, pengukuran langsung, pemeriksaan laboratorium). Wawancara langsung saat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran berat dan tinggi badan. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis dengan metode Cyanmethemoglobin. Analisis korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Regresi Logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia.

Rata-rata kadar hemoglobin adalah 12.4 g/dl (7.2-16.0 g/dl). Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 6.0 persen contoh mengalami anemia sedang. Secara keseluruhan 38.3 persen contoh mengalami anemia.

Rata-rata usia adalah 13.7 tahun (10-18 tahun). Proporsi terbesar contoh berusia 10-12 tahun dan hampir separuh contoh tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Lebih dari separuh contoh anemia berusia 13-15 tahun dan baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami. Rata-rata IMT adalah 19.3 kg/m2 (11.9 kg/m2-7.5 kg/m2). Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus.

(4)

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia.

Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen

(5)

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA

PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Nama : Ermita Arumsari NRP : A54104076

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP. 131 879 330

Diketahui,

Dekan Fakultas Pertanian IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 3 November 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Pramudyanto dan Erina Hasniah.

Penulis menempuh pendidikan di SDN Semayap 2 Kotabaru Kalimantan Selatan pada tahun 1992-1996 dilanjutkan di SDN Klegen 5 Madiun dan lulus tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Madiun tahun 1998-2001. Tahun 2001, penulis diterima di SMU Negeri 2 Madiun dilanjutkan di SMU Negeri 1 Jember dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan, masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini

2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen penguji, yang telah berkenan memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini

3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar atas saran yang diberikan

4. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik serta seluruh dosen GMSK atas ilmu dan nasehat yang telah diberikan

5. Ibu, bapak, kakak Niken, dan seluruh keluarga besar atas segala kasih sayang, doa, nasehat, dan semangat yang diberikan selama ini

6. Pihak Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr. Pusporini, Pak Agus, Bu Nining, dan Bu Titik atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat pengambilan data

7. Para pembahas seminar (Friska Amelia, Ahmawati Prapti, dan Eka Septiani) atas saran dan masukan yang diberikan

8. Sahabatku Yesa, Dewi Mei, Henny, Friska, Lola, Ari, Ima, Dewi K, Rizka, dan Marissa serta teman-teman GMSK 41 NRP 01-92, terimakasih atas segala bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan cerita indah selama empat tahun 9. Teman-teman 345’ers, Yustika Muharastri, Indah Primadianti, dan Nidia

Roosita, terimakasih atas kenangan indah setahun awal bersama di IPB. Semoga persahabatan ini tidak akan pernah putus

(9)

11. Teman-teman di PNS dan ACC, Nadia, Astiari, Cindy, Chanti, Pujik, Mira, Ellyta, Lia, Teztiana, Dila, Ita, dan Dini yang selalu mewarnai hari-hari yang takkan terlupakan

12. Teman-teman di Lautan Indonesia, Abel, Mer, Ale, Mizz-min-u, dan semuanya atas semangat, dukungan, dan keceriaan yang diberikan selama penyusunan skripsi

13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi

Bogor, Juli 2008

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 4

Hipotesis ... 4

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Remaja Putri ... 5

Anemia dan Faktor Penyebabnya ... 6

Faktor Risiko Anemia ... 8

Menstruasi ... 8

Faktor Risiko Anemia Lainnya ... 15

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada Remaja Putri ... 16

KERANGKA PEMIKIRAN... 18

METODE PENELITIAN ... 21

Desain, Tempat, dan Waktu ... 21

Penarikan Contoh ... 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 21

Pengolahan dan Analisis Data... 22

Definisi Operasional... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

Status Anemia ... 26

Usia dan Status Gizi Antropometri ... 27

Usia... 27

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 35

Aktivitas Fisik ... 36

(11)

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA

PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia.

Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen

(13)

RINGKASAN

ERMITA ARUMSARI. Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Di bawah bimbingan Dodik Briawan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Tujuan khusus dari penelitian adalah : (1) mengkaji kadar hemoglobin dan status anemia remaja putri, (2) mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri, (3) mengkaji pola menstruasi remaja putri, (4) mengkaji riwayat penyakit remaja putri, (5) mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri, (6) mengkaji aktivitas fisik remaja putri, (7) mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri, (8) menganalisis faktor risiko anemia remaja putri.

Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu data baseline dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB). Lokasi penelitian dilaksanakan di SMP VII dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan didasarkan kesediaan sekolah mengikuti program serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi sekolah untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin. Waktu pengambilan data dilakukan pada November 2007-Februari 2008. Contoh sejumlah 400 orang terdiri dari 200 orang siswi SMP VII dan 200 orang siswi SMK Teratai Putih Global 2. Usia contoh berkisar 10-18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan siswi mengikuti program dan adanya izin dari orangtua.

Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Data dikumpulkan melalui tiga cara (wawancara, pengukuran langsung, pemeriksaan laboratorium). Wawancara langsung saat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran berat dan tinggi badan. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis dengan metode Cyanmethemoglobin. Analisis korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Regresi Logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia.

Rata-rata kadar hemoglobin adalah 12.4 g/dl (7.2-16.0 g/dl). Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 6.0 persen contoh mengalami anemia sedang. Secara keseluruhan 38.3 persen contoh mengalami anemia.

Rata-rata usia adalah 13.7 tahun (10-18 tahun). Proporsi terbesar contoh berusia 10-12 tahun dan hampir separuh contoh tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Lebih dari separuh contoh anemia berusia 13-15 tahun dan baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami. Rata-rata IMT adalah 19.3 kg/m2 (11.9 kg/m2-7.5 kg/m2). Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus.

(14)

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia.

Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen

(15)

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA

PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Skripsi : Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Nama : Ermita Arumsari NRP : A54104076

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP. 131 879 330

Diketahui,

Dekan Fakultas Pertanian IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 3 November 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Pramudyanto dan Erina Hasniah.

Penulis menempuh pendidikan di SDN Semayap 2 Kotabaru Kalimantan Selatan pada tahun 1992-1996 dilanjutkan di SDN Klegen 5 Madiun dan lulus tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Madiun tahun 1998-2001. Tahun 2001, penulis diterima di SMU Negeri 2 Madiun dilanjutkan di SMU Negeri 1 Jember dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

(18)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan, masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini

2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen penguji, yang telah berkenan memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini

3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar atas saran yang diberikan

4. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik serta seluruh dosen GMSK atas ilmu dan nasehat yang telah diberikan

5. Ibu, bapak, kakak Niken, dan seluruh keluarga besar atas segala kasih sayang, doa, nasehat, dan semangat yang diberikan selama ini

6. Pihak Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr. Pusporini, Pak Agus, Bu Nining, dan Bu Titik atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat pengambilan data

7. Para pembahas seminar (Friska Amelia, Ahmawati Prapti, dan Eka Septiani) atas saran dan masukan yang diberikan

8. Sahabatku Yesa, Dewi Mei, Henny, Friska, Lola, Ari, Ima, Dewi K, Rizka, dan Marissa serta teman-teman GMSK 41 NRP 01-92, terimakasih atas segala bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan cerita indah selama empat tahun 9. Teman-teman 345’ers, Yustika Muharastri, Indah Primadianti, dan Nidia

Roosita, terimakasih atas kenangan indah setahun awal bersama di IPB. Semoga persahabatan ini tidak akan pernah putus

(19)

11. Teman-teman di PNS dan ACC, Nadia, Astiari, Cindy, Chanti, Pujik, Mira, Ellyta, Lia, Teztiana, Dila, Ita, dan Dini yang selalu mewarnai hari-hari yang takkan terlupakan

12. Teman-teman di Lautan Indonesia, Abel, Mer, Ale, Mizz-min-u, dan semuanya atas semangat, dukungan, dan keceriaan yang diberikan selama penyusunan skripsi

13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi

Bogor, Juli 2008

(20)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 4

Hipotesis ... 4

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Remaja Putri ... 5

Anemia dan Faktor Penyebabnya ... 6

Faktor Risiko Anemia ... 8

Menstruasi ... 8

Faktor Risiko Anemia Lainnya ... 15

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada Remaja Putri ... 16

KERANGKA PEMIKIRAN... 18

METODE PENELITIAN ... 21

Desain, Tempat, dan Waktu ... 21

Penarikan Contoh ... 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 21

Pengolahan dan Analisis Data... 22

Definisi Operasional... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

Status Anemia ... 26

Usia dan Status Gizi Antropometri ... 27

Usia... 27

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 35

Aktivitas Fisik ... 36

(21)

Frekuensi Konsumsi Lauk Hewani ... 38

Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati ... 40

Frekuensi Konsumsi Sayuran ... 41

Frekuensi Konsumsi Buah-buahan ... 43

Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan ... 45

Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen ... 46

Analisis Faktor Risiko Anemia ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Penggolongan anemia menurut kadar hemoglobin ... 7 2. Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia ... 9 3. Sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia ... 27 4. Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia ... 29 5. Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status

anemia ... 30 6. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status

anemia ... 31 7. Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status

anemia ... 32 8. Sebaran contoh berdasarkan lamanya menstruasi dan status

anemia ... 33 9. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia .. 34 10. Sebaran contoh berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat

dan status anemia ... 35 11. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia ... 36 12. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk hewani

dan status anemia ... 38 13. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk nabati dan

status anemia ... 41 14. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran

dan status anemia ... 42 15. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah-buahan dan status anemia ... 44 16. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan jajanan

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh banyak faktor yang saling berhubungan, berkaitan, dan saling bergantung, diantaranya adalah faktor pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan prasyarat yang diperlukan agar upaya pendidikan berhasil, selanjutnya pendidikan yang diperoleh akan sangat mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan seseorang. Untuk membentuk kualitas manusia yang mempunyai kemampuan kerja fisik yang baik, tentunya harus didukung oleh tingkat keadaan gizi yang baik pula. Keadaan gizi yang baik akan meningkatkan kualitas hidup seseorang; kualitas hidup yang tinggi akan mendukung hasil kerja yang efisien dan optimal. Sebaliknya keadaan gizi yang tidak baik akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi serta produktivitas kerja yang rendah (Depkes 2006). Keadaan gizi yang tidak baik seperti kekurangan zat gizi mikro masih merupakan masalah di negara berkembang (Ruel 2001).

Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi zat besi disebut dengan anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini diperkirakan lebih kurang 2.1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi termasuk pada tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi anemia pada remaja putri sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa 30 persen remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia (konsentrasi hemoglobin<120 g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil studi lainnya, yang mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di Indonesia (Permaesih dan Herman 2005).

(26)

dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi makro dan mikro pada usia remaja baik early adolescence maupun middle adolescence dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual (Beard 2000).

Pertumbuhan yang cepat pada remaja memberikan konsekuensi terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi sebagai upaya mengimbangi pertumbuhan tersebut. Namun data menunjukkan bahwa asupan makanan para remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan mereka dan lebih dari lima puluh persen kasus anemia yang tersebar di seluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi (Dillon 2005). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan hewani. Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati misalnya sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998). Namun pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002).

Kebutuhan zat besi juga akan meningkat pada remaja putri sehubungan dengan terjadinya menstruasi. Remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi (Dillon 2005). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar dan kehilangan tersebut dapat memicu timbulnya anemia (Wirakusumah 1998). Wanita pada umumnya cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal itu membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat intake zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007).

(27)

cacing dan malaria karena hemolisis dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Trauma dapat pula menyebabkan defisiensi zat besi. Infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, walaupun sedikit tetapi terjadi terus menerus dan hal itu dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi zat besi (WHO 2001)

Defisiensi zat besi dapat terjadi pada tingkatan umur manapun terutama pada wanita usia reproduktif dan anak-anak. Defisiensi zat besi dapat mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur. Pada anak usia sekolah dapat mempengaruhi prestasi belajar; pada usia dewasa dapat menimbulkan kelelahan dan mengurangi kapasitas kerja, dan pada ibu hamil dapat menyebabkan bayi lahir prematur (Ruel 2001). Menurut Soekirman (2000), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik dan prestasi belajar. Disamping itu remaja yang menderita anemia mengalami penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan produktivitas. Kekurangan zat gizi mikro pada masa remaja dapat berdampak negatif pada proses pertumbuhan dan kematangan organ-organ reproduksi (Dillon 2005).

(28)

Tujuan

Tujuan Umum :

Mengetahui faktor risiko anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Tujuan Khusus :

1. Mengkaji status besi (kadar hemoglobin dan status anemia) remaja putri peserta program PPAGB

2. Mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri peserta program PPAGB

3. Mengkaji menstruasi remaja putri peserta program PPAGB 4. Mengkaji riwayat penyakit remaja putri peserta program PPAGB

5. Mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri peserta program PPAGB

6. Mengkaji aktivitas fisik remaja putri peserta program PPAGB

7. Mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri peserta program PPAGB

8. Menganalisis faktor risiko anemia remaja putri peserta program PPAGB

Hipotesis

Usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan tidak mempengaruhi status anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Kegunaan

(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja Putri

WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO 2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan pengeluaran energi (UNS-SCN 2006). Massa tulang meningkat sebesar 45 persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio 2000).

Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun (ADB/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). Selama periode remaja, kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja putri (Beard 2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman 2002). Secara keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg Fe/hari atau mungkin lebih saat menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan pria (Beard 2000).

(30)

berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007).

Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif, sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain itu hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu.

Anemia dan Faktor Penyebabnya

Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi bervariasi pada tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan (bayi, remaja, kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat besi (menstruasi dan kelahiran), terjadi proses yang diatur tubuh dalam meningkatkan absorpsi zat besi sejalan dengan penggunaan zat besi dan menurunkan absorpsi zat besi yang disimpan di dalam tubuh sejalan dengan adanya asupan makanan (Gleason & Scrimshaw 2007).

Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel darah merah, bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Zat besi mempunyai peranan penting dalam tubuh, selain membantu hemoglobin mengangkut oksigen dan mioglobin menyimpan oksigen, zat besi juga membantu berbagai macam enzim dalam mengikat oksigen untuk proses pembakaran (Brody 1994). Anemia gizi adalah suatu keadaan kekurangan kadar hemoglobin dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Depkes 1998).

(31)

pelaksanaan pengobatan dan mensukseskan program lapangan, menurut ACC/SCN (1991), anemia dapat digolongkan menjadi tiga :

Tabel 1 Penggolongan anemia menurut kadar Hb

Anemia Hb (g/dl)

Ringan 10.0 – 11.9

Sedang 7.0 – 9.9

Berat < 7.0

Sumber : ACC/SCN (1991)

Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin dan hemosiderin menurun dan absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya zat besi dalam plasma. Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah (sistem eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun (hypocromic) dan eritrosit mengecil (microcytic) dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 1998).

Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Depkes (1998), anemia terjadi karena : (1) kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, dan (3) meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh. Penyebab utama anemia yang paling umum diketahui adalah : (1) kurangnya kandungan zat besi dalam makanan, (2) penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, (3) adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan (4) adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi (Biesalski dan Erhardt 2007).

(32)

Faktor Risiko Anemia

Menstruasi

Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari. Beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor stres, perubahan berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi. Panjang daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat yang berbeda dalam hidupnya (Affandi 1990).

Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi lamanya menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap periode kurang lebih tetap (Affandi 1990).

Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes 1998). Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan besi hingga dua kali jumlah kehilangan besi laki-laki (Brody 1994). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Setiap orang mengalami kehilangan darah dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh (Affandi 1990).

(33)

menstruasi dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang masih mendapat menstruasi. Kebanyakan wanita dengan tingkat menstruasi yang berat sangat mungkin terkena anemia ringan (Wiseman 2002).

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001). Pengukuran antropometri terdiri dari dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh (pengukuran komponen lemak dan komponen bukan lemak).

Menurut Riyadi (2001), indikator antropometri yang dipakai di lapangan adalah berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi badan untuk mengetahui dimensi berat linear dan indikator tersebut sangat tergantung pada umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik dan popular untuk menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter. Berikut adalah rata-rata berat badan dan tinggi badan wanita berdasarkan usia menurut WNPG 2004.

Tabel 2 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia

Usia Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)

Rata-rata SD Rata-rata SD

10-12 tahun 38.4 9.2 145.4 8.8

13-15 tahun 44.6 6.7 152.3 4.6

16-18 tahun 46.3 4.6 149.1 4.9

Sumber : Jahari & Jus’at (2004) dalam WNPG (2004)

(34)

(ABD/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson 2007). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia.

Riwayat penyakit

Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes 2007). Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (WHO 2001).

Adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Infeksi cacing merupakan kontributor utama terjadinya anemia dan defisiensi besi. Cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan usus yang memicu kehilangan darah akibat beban cacing dalam usus. Intensitas infeksi cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut spesies dan status zat besi populasi. Cacing tambang yang menyebabkan kehilangan darah terbesar adalah A. duodenale (Dreyfuss et al 2000).

(35)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2000).

Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang peranan penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut terlihat dalam studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria parah, sedang, asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan malaria asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel darah merah yang terinfeksi malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul akibat blokade penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti hematopoiesis (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).

Aktivitas Fisik

Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang. Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman 2005). Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif bagi kesehatan badan.

Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas remaja dapat dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang-ulang (Kartono 1992 diacu dalam Ratnayani 2005). Menurut Framingham Study diacu dalam Ratnayani (2005), aktivitas fisik selama 24 jam dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging, sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan (kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya).

(36)

zat besi. Zat besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim dapat mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard dan Tobin 2000).

Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi zat besi terkait aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan kehilangan darah yang dialami setiap bulan. Pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan urine, atau hemolisis intravaskular. Studi yang dilakukan pada atlet wanita menunjukkan bahwa kehilangan zat besi melalui keringat menurun sejalan dengan waktu. Konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30 menit pertama olahraga dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada lingkungan yang panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai kasus zat gizi mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang, dan defisiensi memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik (Akabas dan Dolins 2005).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998).

(37)

keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2001).

Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO 2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi diantaranya :

- Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood - Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan - Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap

Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi :

- Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan - Makanan dengan kandungan inositol tinggi

- Protein di dalam kedelai

- Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu (seperti oregano)

- Kalsium, terutama dari susu dan produk susu

(38)

dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).

Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier 2001).

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik (per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Menurut Depkes (2004), perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya dengan higiene perorangan (personal hygiene). Yang termasuk dalam higiene perorangan adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun dan air bersih mampu mencegah risiko terkena diare (Anonim 2003 diacu dalam Nurwulan 2003). Selain itu kebersihan pribadi mencakup : kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan kecil (Depkes 2004).

(39)

tangan sebelum makan diharapkan kuman-kuman tersebut tidak turut masuk ke dalam mulut, selanjutnya akan menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut sebagai pemicu terjadinya anemia. Anak yang rutin mencuci tangan ternyata mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terkena anemia (Irawati et al 2000).

Faktor Risiko Anemia Lainnya

Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh tubuh. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005). Hasil penelitian Maharani (2003) menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria.

Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah. Pilihan konsumsi makanan seseorang selain dipengaruhi oleh pengetahuan gizi, juga dipengaruhi oleh wilayah seseorang tinggal dalam hal ketersediaan pangan (Permaesih dan Herman 2005).

Keadaan Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus mempunyai kecenderungan untuk terkena anemia (Permaesih dan Herman 2005). Menurut Thompson, pertumbuhan yang terganggu berhubungan dengan anemia defisiensi besi dan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara positif berhubungan dengan konsentrasi hemoglobin seseorang. Namun hasil tersebut berbeda dengan kelompok wanita usia subur di Lebanon, yang menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan IMT dengan status anemia (Khatib et al 2006 diacu dalam Briawan 2008).

(40)

Foundation menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al 2005). Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang rendah dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah dan pola makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang pola makan beragam dan pentingnya pangan sumber zat gizi mikro yang dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh (Thompson 2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan sumber zat besi yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al 2005).

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)

pada Remaja Putri

Menurut Dinkes Kota Bekasi (2007), anemia sangat berkaitan dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu setiap 100.000 kelahiran hidup terdapat 307 orang ibu yang meninggal. AKI adalah indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang kini sedang gencar dibangun oleh Jawa Barat. Data tahun 2003 menunjukkan prevalensi anemia ibu hamil di Jawa Barat sebesar 51.7 persen dan prevalensi pada remaja putri sebesar 39 persen. Di Kota Bekasi pada tahun 2006 terdapat 24 kasus kematian ibu dan 40 persen penyebabnya adalah perdarahan karena anemia.

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat untuk menurunkan prevalensi anemia yang masih tinggi pada remaja putri yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil. Kegiatan ini berupa pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan kepada remaja putri. Beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat seperti Cirebon, Subang, Cianjur, dan Bandung telah melaksanakan program tersebut pada tahun 2006 dan secara signifikan menunjukkan adanya penurunan prevalensi anemia pada remaja putri baik pada siswa SMP maupun SMA yang diberikan tablet tambah darah tersebut.

(41)

pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan. Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri ini berlangsung dalam beberapa tahap diantaranya pemeriksaan kadar Hb darah dan recall pola makan remaja putri yang dilakukan sebelum dan setelah pemberian tablet tambah darah, pemberian tablet tambah darah kepada remaja putri dan kegiatan konseling gizi yang bertujuan untuk memantapkan kemauan dan kemampuan remaja putri melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar agar tidak terjadi anemia, pemantauan kepatuhan minum tablet tambah darah, dan evaluasi kegiatan. Tablet tambah darah yang diberikan mengandung 250 mg Fe elemental dan 0.25 mg asam folat ditambah vitamin dan mineral. Tablet tambah darah diberikan 1 tablet setiap minggu dan 10 tablet pada waktu menstruasi sehingga total tablet yang diminum selama 4 bulan kegiatan adalah 52 tablet.

(42)

KERANGKA PEMIKIRAN

Defisiensi zat besi dapat mempengaruhi kapasitas kerja fisik remaja. Selain itu, defisiensi zat besi dapat mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur. Defisiensi zat besi menurunkan kekuatan fisik yang berakibat pada penurunan kapasitas fisik dan kerja. Anemia mempunyai dampak negatif yang serius pada pertumbuhan dan perkembangan selama remaja. Sebuah studi yang dilakukan pada remaja putri menunjukkan bahwa anemia berhubungan dengan menurunnya ketahanan fisik dan kemampuan berkonsentrasi (Thompson 2007). Selama masa remaja, tubuh mengalami perkembangan dan persiapan untuk proses kehamilan di masa mendatang. Rendahnya simpanan zat besi dalam tubuh remaja dan wanita usia reproduktif membuat mereka mudah terkena anemia defisiensi zat besi karena intake zat besi dari makanan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi selama masa kehamilan (Beard 2000).

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi yang merupakan program suplementasi zat besi Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Tujuan jangka panjang dari program tersebut adalah menurunkan prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri. Salah satu usaha yang dapat membantu hal tersebut adalah dengan mengetahui faktor risiko anemia. Pada penelitian kali ini digunakan beberapa variabel yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia, seperti usia, status gizi, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan.

Secara garis besar, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh tubuh. Variabel infeksi dipengaruhi oleh riwayat penyakit individu dan kebiasaan hidup sehat yang diterapkan. Riwayat penyakit seperti pernah tidaknya menderita penyakit tuberculosis, malaria, dan cacing dapat menyebabkan anemia akibat terjadinya kehilangan darah. Kebiasaan hidup sehat yang diterapkan seperti kebiasaan mencuci tangan berhubungan dengan kebiasaan menjaga personal hygiene. Kebiasaan mencuci tangan dapat menurunkan risiko terkena anemia karena dengan mencuci tangan, diharapkan kuman penyebab kecacingan dapat dihindarkan.

(43)

besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya serap yang lebih rendah dibanding zat besi yang berasal dari hewan. Bentuk zat besi yang terdapat di dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan besi oleh tubuh. Zat besi hem yang berasal dari hewan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi nonhem.

Keadaan fisiologi seseorang seperti usia dan status gizi juga dapat menjadi faktor risiko anemia. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence (Beard 2000). Keadaan status gizi atau IMT yang kurang dapat berpotensi menimbulkan kejadian anemia (Permaesih dan Herman 2005).

(44)

Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia pada remaja putri peserta program

Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota

Bekasi

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

Status Anemia

Konsumsi Pangan sumber Fe

Status Gizi Riwayat

Penyakit

Perilaku hidup

bersih dan sehat Usia

Menstruasi Aktivitas Fisik Faktor

penghambat penyerapan Fe : - Teh

- Kopi - Sayuran

Faktor pemicu penyerapan Fe : - Pangan

(45)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu baseline data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi. Lokasi penelitian dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP VII Kota Bekasi dan SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi. Pemilihan SMP dan SMK tersebut didasarkan pada kesediaan pihak sekolah untuk mengikuti program Dinas Kesehatan Kota Bekasi serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi SMP dan SMK untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin peserta program. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan November 2007 sampai Februari 2008.

Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian ini terdiri dari 200 orang siswi SMP VII Kota Bekasi dan 200 orang SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi kelas 1 dan kelas 2 sehingga diperoleh jumlah total contoh sejumlah 400 orang. Usia contoh berkisar antara 10-18 tahun. Tujuan dari program PPAGB adalah untuk menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri sehingga dipilih siswi SMP dan SMK yang sebagian besar berada pada kisaran usia remaja putri (10-19 tahun menurut WHO 2006). Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan para siswi mengikuti program dan adanya izin dari orangtua siswi.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(46)

Wawancara langsung dengan siswi dilakukan pada saat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), perilaku makan, dan frekuensi konsumsi pangan. Data frekuensi konsumsi pangan diperoleh dengan metode Food Frequency Questionnaires (FFQ) selama satu minggu terhadap pangan sumber heme dan pangan sumber non heme.

Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran langsung berat badan dan tinggi badan dengan alat ukur timbangan dan microtoise. Selanjutnya hasil berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengetahui status gizi antropometri siswi.

Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dan selanjutnya diukur dengan metode Cyanmethemoglobin. Metode Cyanmethemoglobin untuk menentukan konsentrasi hemoglobin adalah metode laboratorium terbaik dalam penentuan kuantitatif hemoglobin. Sampel darah yang dikumpulkan dibawa ke puskesmas untuk selanjutnya dilakukan analisis.

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis data. Data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan statistika menggunakan program Microsoft Excel 2003 dan SPSS 11.5for Windows.

Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Status anemia contoh ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin yaitu menjadi anemia (kadar Hb < 12 g/dl) dan tidak anemia (kadar Hb ≥ 12 g/dl). Dari data kadar hemoglobin tersebut dapat ditentukan penggolongan jenis anemia contoh menjadi ringan (10-11.9 g/dl), sedang (7-9.9 g/dl), dan berat (kadar Hb < 7 g/dl).

WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun (WHO 2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan (UNS-SCN 2006). Contoh penelitian ini berusia antara 10-18 tahun dan dikategorikan menjadi tiga yaitu siswi yang berusia 10-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun (Jahari dan Jus’at 2004).

(47)

lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001). Data status gizi contoh diperoleh menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihitung berdasarkan data antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan siswi dengan rumus:

Berat Badan (kg) IMT =

Tinggi Badan (m2)

Status gizi kemudian dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9).

Menstruasi didefinisikan sebagai suatu proses fisiologis contoh yang ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik. Status menstruasi merupakan sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi. Contoh yang sudah mengalami menstruasi diberi skor 1 dan 0 jika belum menstruasi. Frekuensi menstruasi dikategorikan menjadi menjadi rendah (2-3 bulan sekali), normal (sebulan sekali), dan tinggi (dua kali sebulan). Banyaknya menstruasi dikategorikan berdasarkan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari yaitu ganti 1-2 kali, 3-4 kali, 5-6 kali, dan lebih dari enam kali. Lama menstruasi dikategorikan menjadi rendah (kurang dari tiga hari), normal (3-7 hari), dan tinggi (lebih dari tujuh hari).

Riwayat penyakit dikategorikan sebagai ada tidaknya penyakit yang pernah diderita selama sebulan terakhir yang berhubungan dengan anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan. Skor yang diberikan adalah 1 jika memiliki riwayat penyakit dan 0 jika tidak memiliki riwayat penyakit.

Aktivitas fisik merupakan kegiatan sehari-hari contoh selain belajar. Aktivitas fisik dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) Olahraga ringan seperti jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan, (2) Olahraga sedang seperti basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dan (3) Olahraga berat seperti sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high impact.

(48)

Analisis data dilakukan dalam tiga tahap yaitu univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel yang dianalisis menggunakan crosstab. Melalui uji deksriptif dapat diketahui nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai rata-rata dari setiap variabel, serta frekuensi. Analisis bivariat dengan teknik analisis korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, dalam hal ini variabel dependen adalah status anemia. Analisis multivariat dengan teknik analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia. Pada analisis multivariat dimasukkan seluruh variabel yang pada analisis bivariat berhubungan secara signifikan dengan status anemia, ini bertujuan untuk mengetahui interaksi seluruh variabel yang diduga menjadi faktor risiko anemia. Keeratan hubungan dipelajari pada taraf nyata 10 persen.

Definisi Operasional

Remaja Putri adalah siswi SMP dan SMK berusia antara 10-18 tahun yang merupakan peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi

Status gizi antropometri adalah keadaan remaja putri yang diakibatkan konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan yang diukur berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9)

Status anemia adalah jumlah hemoglobin dalam darah yang dinyatakan dalam satuan g/dl dan dikatakan anemia apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl.

Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik yang digambarkan oleh status menstruasi (sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi), frekuensi menstruasi, banyaknya menstruasi, dan lama menstruasi

(49)

Banyaknya menstruasi adalah gambaran darah yang dikeluarkan remaja putri yang digambarkan dengan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari

Lama menstruasi adalah lamanya menstruasi remaja putri yang berlangsung setiap periode menstruasi dan dinyatakan rendah apabila kurang dari tiga hari, normal apabila antara 3-7 hari, dan tinggi apabila lebih dari delapan hari

Aktivitas Fisik adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja putri yang dikategorikan menjadi tiga yaitu olahraga ringan, olahraga sedang, dan olahraga berat

Riwayat Penyakit adalah penyakit yang pernah diderita remaja putri yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan dalam jangka waktu sebulan terakhir

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah perilaku proaktif remaja putri dalam memelihara kesehatan dan mencegah risiko penyakit yaitu berupa kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan atau tanpa sabun dan air bersih

(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Anemia

Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi sampai anemia defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007). Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Pada penelitian ini, status anemia ditentukan menggunakan indikator hemoglobin. Penggunaan konsentrasi hemoglobin dalam darah merupakan pengukuran anemia defisiensi besi yang paling luas. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin disajikan pada Gambar 2.

0%

61.7% 32.3%

6.0%

Normal ≥ 12.0 g/dl Ringan 10.0-11.9 g/dl Sedang 7.0- 9.9 g/dl Berat < 7.0 g/dl

Gambar 2. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin

Konsentrasi hemoglobin contoh berkisar antara 7.2 hingga 16.0 g/dl dengan rata-rata kadar hemoglobin 12.4 ± 1.5 g/dl. Pada penelitian ini lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 32.3 persen contoh yang mengalami anemia ringan dan 6.0 persen contoh yang mengalami anemia sedang (kadar Hb antara 7.0-9.9 g/dl).

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia pada remaja putri peserta program
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk hewani dan status anemia
Tabel 12 menunjukkan bahwa dari sembilan lauk hewani atau sumber
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status anemia
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi asupan zat inhibitor dengan kejadian anemia gizi besi pada remaja putri di SMPN 9

Hasil penelitian tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian anemia gizi besi pada remaja putri di Desa Wonoyoso Kecamatan Buaran Kabupaten

Penelitian ini bertujuan menganalisis pertambahan berat badan, dan status gizi ibu hamil sebagai faktor risiko kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di Puskesmas Gayamsari

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga skripsi yang berjudul Hubungan Tingkat Asupan Mineral (Kalsium, Besi, Seng) dan Status Gizi Terhadap

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan tingkat pengetahuan dan status gizi terhadap kejadian anemia remaja putri pada siswi kelas III

I GAMBARAN PENGETAHUAN GIZI, ASUPAN PROTEIN, ASUPAN ZAT BESI DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 8 KENDARI Tugas Akhir Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

59 Lampiran 7 MASTER TABEL PENGOLAHAN DATA PENGETAHUAN GIZI, ASUPAN PROTEIN, ASUPAN ZAT BESI DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 8 KENDARI No nama Umur tahun Kelas

Konsumsi Inhibitor Sebagai Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri Inhibitor merupakan jenis makanan yang dapat menyebabkan penyerapan Zat besi.. Makanan yang termasuk inhibitor