• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh Herudin NIM 109011000109

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Diajuakan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.l.)

Oleh:

Herudin

NIM: 109011000109

Pembimbing

NrP. 19680313 199903 1 006

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 M

rl

(3)

MISKAWAIH

DALAM

PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM

PADA

ANAK.

AI\AIC', disusun oleh Herudirq NIM. 109011000109, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah

melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.

Jakarta,2lMmet 2016

Yang mengesahkan,

(4)
(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

TempaliTgl.Lahir

NIM

Jurusan i Prodi

Judul Skripsi

. Herudin

: Jakarta, 31 Oktober 2016

'109011000109

: Pendidikan Agama Islam

: Perbandingan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu

Miskawaih tentang pendidikan agamalslam pada

anak-anak

: Dr. Muhammad Dahlan. M.Hum

Dosen Pembimbing

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri

dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, 21Maret20l6

Mahasiswa Ybs.

Herudin

(6)

i

dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penulis memilih judul tersebut karena masih sangat banyak orang tua zaman sekarang yang masih mengenyampingkan pendidikan agama Islam pada anak, kemudian masih banyak orang tua yang belum mengenal konsep pendidikan yang dijelaskan oleh tokoh-tokoh filsafat muslim. Pemilihan dua tokoh tersebut karena banyak melihat perbedaan pemikiran dalam bidang filsafat mereka.

Pendidikan agama Islam pada anak sangatlah penting, oleh karena itu tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui konsep pendidikan agama islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, dan mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran pendidikan agama Islam pada anak serta mengetahui pentingnya pendidikan agama Islam pada anak.

Metode yang digunakan untuk Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan dengan suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library

research). Karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini. Seperti

kitab Ihya Ulumuddin dan terjemahannya, serta kitab Tazibul Akhlak dan

terjemahannya.

Konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut Ibnu Miskawaih maupun al-Ghazali sama-sama menitik beratkan pada pendidikan akhlak yang dibentuk melalui pembiasan, latihan, dan teladan yang baik. Pendidikan akhlak yang mereka jelaskan sama-sama memulai dari melatih dan menekan nafsu yang tumbuh pada anak-anak dengan pendidikan akhlak melalui bimbingan, teladan, dan pembiasaan. Untuk membentuk akhlak hal penting yang harus dilakukan menurut mereka adalah menghindarkan anak-anak dari pergaulan yang kurang baik, serta menghidari meraka dari syair-syair yang membuai, musik-musik yang syairnya tentang percintaan yang saat ini banyak dikonsumsi oleh anak-anak jaman sekarang, serta manjauhakn mereka dari bersifat konsutif dan matrealistis, anak-anak harus diajarkan kesederhanaan hidup.

(7)

ii

Herudin, NIM 109011000109 "Comparative Thoughts Al-Ghazali and Ibn Miskawayh On Islamic Education in children". Thesis Department of Islamic Religious Education, Faculty of Science and Teaching Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

The author chose the title because there are still very many parents today who still disregard the Islamic religious education to children, then there are still many parents who are not familiar with the concept of education described by the leaders of Muslim philosophy. Selection of these two figures because many see the difference of thought in the field of their philosophy.

Islamic religious education of children is important, therefore the purpose of this paper is to investigate the concept of Islamic religious education according to al-Ghazali and Ibn Miskawayh, and find out the similarities and differences of thought of Islamic religious education to children and to know the importance of Islamic education in children.

The method used for this study used a qualitative approach. Qualitative research is research that aims to understand the phenomenon of what yangg experienced by research subjects eg, behavior, perception, motivation, action, and others. Holistically, and by way of description in the form of words and language, and with a special natural context and by utilizing a variety of natural methods. Supported by the data obtained through library research (library research). Because of the problems to be studied examines the history of the necessary amount of literature relevant to this thesis. As Ihya Ulumuddin and translation, as well as Tazibul book Morals and translation.

The concept of Islamic education to children according to Ibn al-Ghazali Miskawayh and equally focuses on moral education formed by refraction, exercise, and a good example. Moral education that they explain both start from the train and suppress appetite that grows in children with moral education through guidance, exemplary, and habituation. To form morals important things that must be done according to them was to avoid children from the association were not good, and avoid meraka of poetry cradles, music that poem about the romance that is currently widely consumed by children today, as well as those of nature konsutif manjauhakn and materialistic, children should be taught the simplicity of life.

(8)

iii

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU MISKAWAIH DALAM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM PADA ANAK-ANAK” ini merupakan salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.Pd.I.) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat

bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta,Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag,

dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Marhamah Saleh, Lc. M.A

serta seluruh staf Jurusan dan Laboratorium, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang

senantiasa sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi

ini.

4. Bapak Aminudin Yakub, M.Ag, selaku dosen penasihat akademik.

5. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Teman-teman Prodi Pendidikan Agama Islam yang baik hati, khususnya

prodi Pendidikan Agama Islam angkatan 2009 kelas C (Agus, Iqbal, Miftah,

Rasid, Sukri Gozali, Chairul, Sihab dan teman-teman lainnya yang tidak

dapat disebutkan satu persatu). Terimakasih banyak atas tawa-duka, suka

(9)

iv

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Terimakasih keluarga besar Pondok Pesantren Daarussalaam Depok

khususnya kaka kelas saya (Yusuf Qomarudin) dan adik kelas saya (Sadiah

Nurjanah) yang telah memberikan banyak bantuannya.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga

Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan

mereka semua, amien.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi

penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan

manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb.

Jakarta, 21 Maret 2016

(10)

v

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SURAT PERYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : KAJIAN TEORI A. Pendidikan Agama Islam ... 9

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 9

2. Ruang lingkup ... 11

3. Tujuan ... 15

B. Anak-Anak ... 17

1. Pengertian anak-anak ... 17

2. Klasifikasi pertumbuhan manusia ... 18

C. Pendidikan anak usia dini (kanak-kanak) ... 21

1. Pengertian ... 21

D. Kajian Penelitian yang Relevan ... 23

B AB III : METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

B. Metode Penelitian ... 25

C. Prosedur Pengumpulan dan pengolahan data ... 25

D. Pemeriksaan atau pengecekan keabsahan data ... 26

(11)

vi

C. Biografi Ibnu Miskawaih ... 47

D. Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Anak-anak

Menurut Ibnu Miskawaih ... 49

E. Pembahasan Analisis Hasil Penelitian ... 57

F. Analisis Persamaan dan Perbedaan ... 64

BAB V : PENUTUP

A.Kesimpulan ... 67

B.Saran ... 68

(12)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna,

dengan kemampuan berpikirnya berusaha untuk hidup lebih baik dan lebih maju.

Ketika manusia menghendaki kemajuan dalam hidupnya, maka sejak itu timbul

gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan

melalui pendidikan dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi

sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakatnya.1

Menurut ajaran Islam, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur ardli dan

unsur samawi. Unsur ardli adalah jasmaniyah, yang meliputi seluruh jasad

manusia baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dan semuanya terdiri

dari zat materi yang membutuhkan makanan. Sedang unsur samawi adalah

rohaniah yang juga membutuhkan makanan berupa santapan rohani seperti

pendidikan agama, bimbingan, penyuluhan, rekreasi, istirahat dan sebagainya.2

Dewasa ini makin terasa perlu manusia dibentengi dengan nilai-nilai luhur

agama, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap manusia. Keduanya (jasmani

dan rohani) dapat menyeret manusia pada kelalaian, kealpaan, dan lupa yang

disebabkan oleh kesibukan-kesibukan sehingga manusia butuh pendidikan.3

Dengan Pendidikan Agama Islam akan mengarahkan manusia kepada

pembentukan insan kamil, yakni khalifah Allah yang pada hakekatnya ialah

manusia shaleh, manusia yang dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.4

Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah

1

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 01

2

Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 136.

3

Ibid, h. 137

4

(13)

usaha untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat

hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari

masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman

hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang

bertujuan dan usaha mendewasakan anak.5

Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik)

terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang

positif.6 Pendidikan Agama Islam, sebagai upaya pengembangan, mendorong

serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai

yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan

terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan

potensi akal, perasaan maupun perbuatanya.7

Pendidikan Agama Islam harus diajarkan sejak kanak-kanak karena masa

kanak-kanak merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan manusia.

Sebab ia menjadi pijakan fase-fase selanjutnya dalam proses pendidikan dan

pembinaan pribadi.8 Anak-anak adalah generasi penentu masa depan,

sebagaimana ia juga akan menjadi pemimpin di masa yanga akan datang.9 Jadi

perkembangan agama seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan dan

pengalaman hidup sejak kecil, baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan

masyarakat.10

Agama bukanlah mata-pelajaran yang dipelajari untuk menumbuhkan

pengetahuan atau ketangkatasan, tetapi agama ialah roh dan pengaruh. sukses

5

Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1991), h. 2

6

Ahmad Tafsir, Ilmu dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 84

7

Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), cet. 2, h.31-32

8

Aan Wahyudin, Mendidik Anak Pertmpuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. ix

9

Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiaran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 82

10

(14)

guru tidak diukur dengan banyak muridnya yang menghafal ayat-ayat Al-Qur‟an,

hadis-hadis dan hukum-hukum agama, tetapi diukur dengan apa yang tercetak

dalam hati murid-murid yang berkelakuan baik, berakhlak mulia, berbudi luhur,

menunaikan kewajiban terhadap Tuhan, orang tua, keluarga, dan masyarakat.11

Peserta didik adalah indikator yang sangat diperhatikan karena merekalah

pelaku yang menerima pendidikan tersebut dan setiap perserta didik harus

diberikan pendidikan agama. Pendidikan agama harus diajarkan sejak dini kepada

peserta didik, karena agama akan membentuk akhlak peserta didik untuk

menjalani hidup dengan akhlak mulia. Masa kanak-kanak sangat baik untuk

menerima pendidikan, untuk menamkan dasar-dasar agama lebih baik pada masa

kanak-kanak.

Anak adalah penerus cita-cita bangsa. Selain amanah dari Allah SWT. Anak

juga merupakan cikal bakal yang akan memelihara, mempertahankan, dan

mengembangkan hasil pembangunan demi kebahagiaan dunia akhirat. Oleh

karena itu anak memerlukan perlindungan untuk menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental, serta sosialnya secara utuh dan seimbang.12

Firman Allah SWT :

































Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut

fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang

lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S Ar-Ruum:30)

Sabda Nabi Saw :

11

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), h. 18

12

(15)

Artinaya: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih dan suci); maka

kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani

ataupun Majusi. (HR. Muslim)

Fitrah artinya bersih tanpa dosa dan noda, baik dalam akal maupun

nafsunya. Dengan demikian, manusia yang fitrah adalah manusia yang bersih dari

dosa. Makna fitrah adalah suatu kemampuan dasar manusia yang berkembang

secara dinamis dan dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya dengan

mengandung komponen-komponen yang bersifat dinamis dan responsif terhadap

pengaruh lingkungan sekitar. Komponen-komponen yang dimaksud yaitu bakat,

insting, dorongan nafsu, karakter atau watak, dan intuisi.13

Dari ayat dan hadis di atas jelaslah bahwa pada dasarnya anak telah

membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya

dalam mengembangkan fitrah itu sesuai dengan tingkat usia anak dalam

pertumbuhan.14 Pendidikan yang tepat akan mengembangkan kemampuan anak

sesuai fitrahnya, yaitu dangan pedidikan agama kemampuan anak dalam memahai

fitrahnya sebagai manusia akan berkembang.

Kita sangat menyesalkan sekali bila kita terpaksa berkata bahwa pendidikan

akhlak atau Pendidikan Agama Islam kurang sekali mendapat perhatian, baik di

rumah-rumah atau di sekolah-sekolah dan dalam masyarakat, pada saat-saat kita

meneriakkan bahwa kebahagiaan suatu bangsa tidak tergantung pada banyaknya

penghasilan atau keindahan bangunan-bangunannya akan tetapi tergantung pada

putra-putrinya yang terpelajar. Bila kesempurnaan akhlak dan moral ada, maka

kebahagiaan, kekuatan dan keindahan suatu bangsa itu dapat tercapai.15

13

Hasan Basri, Beni Ahamad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 128.

14Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama ISIN “

Filsafat

Pendidikan Islam” Jakarta. Hal.168-169

15Muhammad „Athiyah Al

(16)

Bila kita ingin bangun dan menegakkan kembali keagungan Islam di masa

lalu, maka kewajiban kita untuk memikirkan masalah-masalah ilmu dan

penyebarannya, pendidikan dan perluasannya, moral dan pembentukannya. Suatu

bangsa tidak akan dapat bertambah tinggi hanya dengan uang dan benteng, tetapi

suatu bangsa bertambah tinggi dengan ilmu dan akhlak. Suatu bangsa tidak akan

makmur dengan gedung-gedungnya, sedangkan akhlaknya hancur-binasa.16

Maka dengan ilmu dan akhlak kita akan sanggup mengembalikan

keagungan kaum Muslimin di zaman keemasan dulu, zaman keagungan Islam,

dan kita akan sanggup menuntun dunia sekarang dan dunia yang akan datang

separti kita pernah memimpin di waktu-waktu yang lampau.17

Banyak ahli (pendidikan dan filsafat) yang telah membahas pentingnya

Pendidikan Agama Islam pada anak-anak. Filosof-filosof muslim tersebut antara

lain Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali. Mereka adalah filosof muslim yang banyak

berbicara tentang pendidikan. Sangatlah bijak kita mengkaji kembali

pemikiran-pemikiran pendidikan dari kedua filosof muslim tersebut terutama pendidikan

agama pada anak-anak, namun masih banyak orang tua zaman sekarang tidak

mengenal pemikiran mereka berdua tentang pendidikan akhlak pada anak. Dalam

sebuah tulisan di media sosial facebook saya mendapat kiriman tetang pendidikan yang diberikan orang tua zaman sekarang, “dulu saya susah maka anak saya tidak

boleh susah sekarng saya akan berikan apa saja untuk anak saya,” kata salah satu

teman di facebook. Kemudian orang tua itu pun membiasakan sang anak makan

nasi impor yang mahal dari kecil, namun apa yang terjadi ketika terjadi krisis

orang tuanya tidak mampu memberikan nasi impor yang mahal, anak tersebut

tidak dapat makan nasi selain nasi yang impor yang mahal itu. Anak yang dimaja

dan dibiasakan hidup mewah akan kesulitan hidup ketika keadaan memaksa harus

hidup susah. Dalam satu kasus lagi seorang anak selalu mandi dengan kamar

mandi mewah yang ada di rumahnya menggunakan air hangat, namun ketika dia

berlibur kerumah neneknya dan di rumah neneknya tidak terdapat kamar mandi

mewah dan tidak ada air hangat di sana sang anak mengamuk dan marah-marah

16

Ibid, h. 117

17

(17)

tidak mau mandi. Banyak konsep pendidikan orang tua saat ini sangatlah jauh

berbeda dengan pendidikan-pendidikan yang dikembangkan oleh para filosof

muslim. Seperti pendapat imam al-Ghazali tentang pendidikan anak di bawah ini.

Menurut imam al-Ghazali:

Ash-Shabiy atau anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih merupakan permata yang berharga, lugu dan bebas dari segala macam ukiran dan gambar. Ukiran berupa kebiasaan berbuat baik akan dapat tumbuh subur sehingga ia akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jika sang anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik kepadanya, ia akan tumbuh dengan baik dan akan memperoleh kebahagiaan, kemudian pahala yang dipetiknya turut dinikmati oleh kedua orang tuanya. Dan apa bila dibiasakan pada hal-hal buruk, dan ditelantarkan begitu saja bagaikan memperlakukan hewan ternak, maka niscaya sang anak akan tumbuh menjadi anak yang celaka dan binasa. Dan dosa yang ditanggung anak itu, akan menjadi beban bagi orang yang pernah mengajarinya dan yang menjadi walinya.

Anak adalah amanah yang harus didik dengan sebaik mungkin, pendidikan

yang diterima anak sejak dini akan membangun kebiasaan dan karakternya saat

dewasa. Kebiasaan saat dewasa adalah gambaran pendidikan saat sang anak didik

sejak kecil, jika dibiasakan baik maka baik pula hidupnya.

Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih terkenal sebagai tokoh Moralis. Tetapi

antara al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih mempunyai latar belakang kehidupan dan

pendidikan yang berbeda, dimana sejak dini al-Ghazali, hidup dalam

kesederhanaan dan diasuh oleh seorang sufi dan beliau termasuk orang yang

gemar menuntut ilmu agama, selalu tidak puas dengan hasil-hasil studi yang

18

(18)

dicapai. Sedangkan Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof yang telah banyak

mempelajari filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plato19. Pemikiran filsafat

mereka pun berbeda, al-Ghazali menolak pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih

tentan ketuhanan. Banyak bantahan-bantahan yang dilakukan oleh al-Ghazali

dalam bukunya Tahafut al Falasifah (kekacauan para filosof). Ini menarik untuk

diperhatikan adakah perbedaan yang signifikan antara mereka tentang konsep

Pendidikan Agama Islam pada anak-anak. oleh karena itu penulis merasa perlu

mengkaji kembali pemikiran mereka. Demikianlah yang melatarbelakangi penulis

membuat judul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU

MISKAWAIH DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah

sebagai berikut:

1. Banyak orang tua zaman sekarang yang mengeyampingkan Pendidikan

Agama Islam pada anak-anak.

2. Banyak orang tua zaman sekarang yang tidak mengenal dan mengetahui

konsep pendidikan agama Islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

3. Perbedaan al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih dalam latar belakang

pendidikan dan pemikiran filsafat.

C.

Pembatasan Masalah

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pemikiran

pendidikan al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih maka perlu diadakan pembatasan

masalah dalam penelitian agar persoalan penelitian dapat dikaji lebih mendalam,

yaitu hanya mengkaji perbandingan pemikiran pendidikan Agama Islam pada

anak-anak dalam bidang iman, dan akhlak saja menurut imam al-Ghazali dan Ibnu

Miskawaih.

19

(19)

D.

Perumusan Masalah

Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka di sini penulis

memberikan perumusan masalah, antara lain:

1. Bagaimana konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut

al-Ghazali Dan Ibnu Miskawaih?

2. Apa perbedaan dan persamaan pemikiran Pendidikan Agama Islam

antara al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih?

E.

Tujuan Penelitian

Dengan memahami latar belakang yang telah penulis sampaikan di atas,

maka dalam penelitian karya ini, tardapat beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep Pendidikan Agama Islam pada anak-anak

menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

2. Untuk mengetahui lebih dalam perbedaan dan persamaan pemikiran

Pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut imam al-Ghazali dan

Ibnu Miskawaih.

3. Untuk mengetahui pentingnya Pendidikan Agama Islam pada anak-anak.

F.

Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan dan pengalaman penulis khususnya tentang pengamalan

nilai-nilai Pendidikan Agama Islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

2. Mengingat kembali potensi sejarah pemikiran pendidikan al-Ghazali dan Ibnu

Miskawaih, dan menemukan hal-hal penting, yang masih tetap relevan dengan

pendidikan agama pada anak-anak saat ini.

3. Mengingat kembali peran penting pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

tentang pendidikan.

(20)

9 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Kata “pendidikan” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama paedagogos

yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi, dikenal dengan educare,

artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Dalam bahasa Belanda

menyebut istilah pendidikan dengan nama opvoeden, yang berarti membesarkan

atau mendewasakan, atau voden memberi makan. Dalam bahasa Inggris disebut

dengan istilah education, yang berarti to give moral and intellectual training

artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.1

Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah

usaha untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat

hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari

masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman

hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang

bertujuan dan usaha mendewasakan anak.2 Pendidikan adalah usaha

meningkatkan diri dalam segala aspeknya.3

Pendidikan agama di sekolah berarti suatu usaha yang secara sadar

dilakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka pembentukan manusia

beragama.4 Pendidikan Agama Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong

serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai

yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan

1

A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 16

2

Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1991), h. 2

3

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 6

4

(21)

10

Islam dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan Agama Islam, Pendidikan

Agama Islam sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “Agama Islam”

karena yang diajarkan adalah Agama Islam bukan Pendidikan Agama Islam.

Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan Agama Islam disebut

Pendidikan Agama Islam. Kata “pendidikan” ini ada pada dan mengikuti setiap

mata pelajaran. Dalam hal ini PAI sejajar atau sekatagori dengan pendidikan

Matematika (nama pelajarannya adalah Matematika), pendidikan Olahraga (nama

mata pelajarannya adalah Olahraga), pendidikan Biologi (nama mata pelajarannya

adalah Biologi) dan seterusnya. Sedang pendidikan Islam adalah nama sistem,

yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki komponen secara keseluruhan

mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah

pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.

Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan

Islam. Pendidikan Agama Islam yakni upaya mendidik agama Islam atau ajaran

Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup)

seseorang. Dalam pengertian ini dapat terwujud segenap kegiatan yang dilakukan

seorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam

menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk

dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan

dikembangkan dalam keterampilan hidupnya sehari-hari.6

Dalam Al Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan adanya perintah tersebut, antara lain:

5

Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), cet. 2, h. 31-32

6

(22)

Dalam Surat An-Nahl ayat 125, yang berbunyi:

























....



Artinya : “Ajaklah kepada agama Tuhanmu dengan cara yang bijaksana dan

dengan nasehat yang baik...” 7

Dalam Surat Ali Imron ayat 104, yang berbunyi :

















































Artinya : “Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang mengajak

kepada kebaikan, menyuruh perbuatan baik dan mencegah dari

perbuatan yang mungkar.” 8

Dalam Surat At- Tahrim ayat 6, yang berbunyi :























...







Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari siksa api neraka...”. 9

Ayat-ayat tersebut di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam

ajaran Islam memang ada perintah untuk mendidik agama, baik pada keluarganya

maupun pada orang lain sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Jadi

Pendidikan Agama Islam adalah upaya untuk menanamakan ajaran Islam dalam

kehidupan peserta didik dalam setiap perbuatannya.

2. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Pada Anak

Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya Pendidikan Agama Islam terdiri

dari sejumlah pelajaran di antaranya sebagai berikut ini:

a. Keimanan

7

Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 421.

8

Al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 104, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 93.

9

(23)

Iman berarti percaya. Menurut rumusan ulama tauhid, iman berarti

membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lidah akan wujud dan

keesaan Allah.10 Al-Ghazali mengatakan iman adalah mengucapkan dengan

lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota

tubuh.11 Sedangkan iman menurut syariat adalah membenarkan dan

mengetahui adanya Allah dan sifat-sifat-Nya disertai melaksanakan segala

yang diwajibkan dan disunahkan serta manjauhi segala larangan dan

kemaksiatan.12 Al-Qur’an telah memberikan gambaran yang jelas mengenai

pendidikan akhlak pada anak-anak yang tertuang dalam surat Lukman.



































Artinya : dan (ingatlah) ketika Luqman mengatakan kepada anak-anaknya

untuk memberikan pelajaran: hai anakku! janganlah engkau

menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah itu adalah

suatu kesalahan besar.

Ayat tersebut mengisyaratkan bagaimana seharusnya para orang tua

mendidik anaknya untuk mengesakan penciptanya dan memegang prinsip

tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya.

b. Akhlak

Akhlak diartikan sebagai budi pekerti; kelakuan sebenarnya kata akhlak

berasal dari bahasa Arab, dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa

berarti perangai, tabiat. Karakter (khuluq) merupakan keadaan jiwa. Keadaan

ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara

mendalam.

10

Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 63-64

11

Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 97

12

(24)

Ibnu Miskawaih memberi pengertian akhlak sebagai berikut: 13

Artinya, ”khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan

sebelumnya”.

Sedangkan Al-Ghazali memberikan pengertian akhlak sebagai berikut:

14

Artinya: “Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir

berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya

lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’,

maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut

Al-Ghazali mencakup dua syarat:

a. Perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang

sama sehingga dapat menjadi kebiasaan. Misalnya seseorang yang

memberikan sumbangan harta hanya sekali-sekali karena dorongan keinginan

saja, maka orang itu tidak dapat dikatakan sebagai pemurah selama sifat

13

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Terj. Helmi Hidayat) Bandung: Mizan, 1997, Cet. III. hal 56

14

(25)

demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa.

b. Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud

refleksif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena

adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain, atau

pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan indah dan sebagainya. Misalnya orang yang

memberikan harta benda karena tekanan moral dan pertimbangan. Maka

belum juga termasuk kelompok orang yang bersifat pemurah.15

Begitu pentingnya posisi akhlak dalam Islam. Hal ini dibuktikan dengan

tujuan yang ingin dicapai oleh Rasulullah SAW, seperti dalam haditsnya :16

Menceritakan kepada aku dari Malik bahwasannya benar-benar sampai kepadanya sesungguhnya Rasulallah Saw. bersabda (aku diutus untuk

memperbaiki kemuliaan akhlak).”(H.R. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).

Sedangkan sabda Rasulullah saw, yang berbunyi : 17

Artinya : “Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah dengan budi pekerti yang baik”. (HR. Ibnu Majah).

c. Ibadat

Dalam bahasa indonesia, kata ibadat sudah biasa digunakan orang, bila

disebut ibadat orang sudah mengerti berasal dari bahasa arab yang berarti

15

Zainudin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al –Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 102-103

16

Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwatha, Darul Ifaq Al-Jadidah, 1993, hal 789

17

(26)

penyembahan. Dalam pengertian yang luas, ibadat itu ialah segala bentuk

pengabdian yang ditujukan kepada Allah semata yang diawali oleh niat. Ada

bentuk pengabdian yang secara tegas digariskan oleh syari’at Islam, seperti

shalat, puasa, zakat, haji dan ada pula yang tidak digariskan secara

pelaksanaannya dengan tegas, tetapi diserahkan saja kepada yang

melakukannya, asal saja perinsip ibadatnya tidak tertinggal.18 Kemudian

anak-anak hendaklah diajarkan untuk mengerjakan shalat. Sehingga terbentuk

manusia yang senantiasa kontak dengan penciptanya. 19

Artinya : “Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan

yang baik dan mencegah (mereka) dari perbuatan yang munkar…”.

(Q.S. Luqman: 17)



















Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi (beribadah) kepada-Ku.

3. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Tujuan Pendidikan Agama Islam menurut al-Ghazali adalah untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT.20 Tujuan pendidikan agama membina,

berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan

baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh

kehidupannya, dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kejayaan hidup dunia

akhirat.21 Tujuan pendidikan Islam mencakup tujuan sementara dan tujuan akhir

pendidikan Islam. Untuk mencapai tujuan akhir pendidikan harus dilampaui

18

Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 72

19

Ibid,., hal. 655

20

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Permata, 2005), h.212

21

(27)

terlebih dahulu beberapa tujuan sementara. Tujuan akhir pendidikan Islam

terbentuknya kepribadian muslim.22 Tujuan Pendidikan Agama adalah meliputi

seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan,

kebiasaan, dan pandangan.23 secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam adalah

membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh,

beramal sholeh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama, dan

negara.24 Akhlak adalah bagian dari agama yang secara khusus memberi pedoman

bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama.25

Tujuan Pendidikan Islam yang disarankan Konperensi Internasional Pertama

tentang Pendidikan Islam di Mekah 8 April 1977, sebagai berikut:

Pendidikan harus diarahkan mencapai pertumbuhan keseimbangan

kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, rasio, perasaan,

dan penghayatan. Karena itu, pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia

dalam segala seginya: spiritual, intelektual, imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik,

baik individu maupun kolektif, dan semua itu didasari motivasi ibadah karana

tujuan akhir pendidikan muslim itu terletak pada (aktivitas) merealisasiakan

pengabdian dan kemanusiaan.26

Tujuan tertinggi dan terakhir adalah tujuan hidup manusia dan peranannya

sebagi ciptaan Allah, yaitu:

a. Menjadi hamba Allah yang bertaqwa

b. Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di

bumi) yang mampu memakmurkannya (membudayakan alam sekitar).

c. Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.27

22

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 30

23

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 30

24

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), 35.

25

Sutarjo Adisusilo, J.R. Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2012), h. 50

26

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 101

27

(28)

B. Anak-Anak

1. Pengertian Anak-Anak

Thifl dan thiflah berarti anak kecil, bentuk pluralnya adalah athfal.

Seseorang disebut thifl (anak) ketika ia lahir dari perut ibunya hingga ia

mengalami mimpi basah (sebagai pertanda baligh).28 Anak adalah amanat Allah

yang harus dibina, dipelihara, dan diurus secara seksama serta sempurna agar

kelak menjadi insan kamil.29

Ada sejumlah klasifikasi fase-fase pertumbuhan manusia yang dilansir

dalam berbagai literatur30 disiplin ilmu psikologi pertumbuhan. Dari sekian

banyak itu penulis memilih beberapa di antaranya:

a. Fase Pra-Natal

Fase pranatal (sebelum lahir) mulai masa konsepsi sampai proses

kelahiran yaitu sekitar 9 bulan 20 hari. Ibnu Mas`ud berkata bahwa

Rasulullah bersabda yang artinya :

Sesungguhnya seorang baru kalian dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari (asal sperma), selanjutnya menjadi segumpal darah

beku itupun selama 40 hari. Selanjutnya Allah Swt, mengutus malaikat, maka

ia pun meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Malaikat ini diperintah mencatat

(menetapkan) empat hal, yaitu mengenai rezekinya, amalnya, celakanya dan

bahagianya” (H.R Bukhari dan Muslim).

b. Fase Lahir

Fase lahir merupakan permulaan atau periode awal keberadaan sebagai

individu dan pada masa ini dimulai dari kelahiran dan berakhir pada saat bayi

28

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xiii

29

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terjemahan dari Tarbiyatul Awlad Fil Islam, oleh Jamaludin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. 3, Jilid I, h.7.

30

(29)

menjelang dua minggu dan periode ini juga bayi mulai menyesesuaikan

dirinya dengan kehidupan di luar rahim.

Fase ini terbagi menjadi dua periode, yaitu : periode pertunate (mulai

kelahiran sampai antara lima belas dan tiga puluh menit sesudah kelahiran),

sedangkan periode neonate (dari pemotongan dan pengikatan tali pusar

sampai sekitar akhir minggu kedua dari kehidupan paseamatur, yaitu

lingkungan di luar tubuh ibu).

c. Fase Dua Tahun Pertama

Pada fase 2 tahun pertama ini dapat dilihat dari khasnya yaitu anak mulai

memusarkan dirinya untuk mengenal lingkungannya, menguasai gerak-gerik

fisik dan belajar berbicara dan pada masa ini Rasulullah bersabda, yang

artinya :

Mulailah mendidik anak-anak kalian dengan kalimat pertama : Laa ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), bimbinglah mereka ketika mereka

berada dalam sekarat dengan Laa ilaha illallah,” (H.R Al-Baihaqi).

Kalau kita cermati hadits di atas adalah pendidikan pertama ditanamkan

kepada anak adalah meng-Esakan Allah dengan kalimat tauhid, dengan

kalimat Laa ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah).

d. Fase Kanak-kanak

Masa kanak-kanak ini berlangsung selama enam tahun, oleh pendidik

disebut pra sekolah. Awal masa kanak-kanak ini sering dianggap sebagai usia

kritis dalam penggolongan peran seks. Pada masa inilah anak paling peka dan

siap untuk belajar dan dapat memahami pengetahuan dan selalu ingin

bertanya dan memahami.

Perkembangan kembangan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh

lingkungan sosial dan kognitifnya. Hal ini membentuk persepsi anak

mengenai dirinya sendiri, dalam kompetensi sosialnya, dalam peran jenis

kelaminnya, dan dalam menegakkan pendapatnya mengenai apa yang benar

(30)

e. Fase Puber

Periode ini merupakan masa pertumbuhan dan perubahan yang pesat dan

masa ini terjadi pada usia yang berbeda bagi anak laki-laki dan anak

perempuan. Kriteria umum yang digunakan fase ini adalah bagi anak laki-laki

ditandai dengan mimpi basah, sedangkan pada anak perempuan ditandai

dengan masa haid pertama.

Adapun periode masa puber terbagi menjadi tiga masa, antara lain :

1) Masa pra pubertas : usia 12-14 tahun, masa ini merupakan peralihan dari

akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya yaitu :

a) Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi

b) Anak mulai bersikap kritis

2) Masa pubertas : masa remaja awal usia 14-16 tahun. Adapun cirinya,

antara lain sebagi berikut :

a) Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya

b) Memperhatikan penampilan

c) Sikapnya tidak menentu

d) Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib

3) Masa akhir pubertas : usia 17-18 tahun, masa ini meupakan peralihan

dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya, antara lain :

Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya

belum tercapai sepenuhnya. Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja

putri lebih awal dari remaja pria.

f. Fase Dewasa

Masa dewasa adalah pencarian kemantapan dan masa reproduktif, yaitu

suatu masa yang penuh masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi

sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai,

kreativitas dan penyesesuaian hidup yang baru.

Pada fase ini sebaiknya yang perlu ditanamkan pada diri sendiri adalah

menjalankan ketaatan, karena pada fase ini individu sudah menetukan sendiri

kemana mereka akan melangkah.

(31)

Pada fase ini memiliki ciri sebagai berikut : periode kemunduran,

perbedaan individual pada efek menua, usia tua dinilai dengan kriteria yang

berbeda. Masalah umum yang unik bagi orang-orang yang lanjut usia ini

adalah ditandai dengan keadaan fisik yang lemah dan tak berdaya, sehingga

tergantung pada orang lain.31

Selain itu ada juga fase pertubuhan antara lain:

Pertama, fase pra-kelahiran; dimulai saat terjadinya kehamilan barakhir

dengan kelahiran. Umumnya adalah sembilan bulan.

Kedua, fase menyusui (atau radha’ah menurut istilah kalangan ahli fikih);

a. Dua minggu pertama kehidupan bayi

b. Rentang masa menyusui dan berakhir pada usia dua tahun.

Ketiga, fase kanak-kanak dini (atau hadhanah menutut istilah kalangan ahli

fiqih); dimulai dari usia tiga tahun sampai akhir usia lima tahun.

Keempat, fase kanak-kanak pertengahan; dari usia enam hingga delapan

tahun. Itu setara dengan usia tiga kelas pertama sekolah dasar.

Kelima, fase kanak-kanak akhir; mulai usia sembilan hingga dua belas

tahun. Itu sebanding dengan tiga kelas terakhir sekolah dasar. Kalangan fiqih

menyebut fase keempat dan kelima ini dengan istilah tamyiz.

Keenam, fase remaja (murahaqah); biasanya mulai usia tiga belas sampai

delapan belas tahun. Rentang waktu fase ini setingkat dengan dua tinggkat

sekolah menengah (SMP dan SMA).

Ketujuh, fase muda; usia delapan belas hingga dua puluh empat tahun. Itu

merupakan fase yang memiliki ragam problematika yang terkait dengan orientasi

kerja dan pendidikan. Fase tersebut sejajar dengan rentang waktu pendidikan

tinggi.

Kedelapan, fase dewasa

31

(32)

Kesembilan, fase tua. Fase ini berbeda-beda antar orang, berkisar antara usia

enam puluh lima hingga tujuh puluh tahun. Fase tersebut ditandai dengan ciri khas

suka pikun dan kelemahan menyeluruh.

Perlu ditegaskan di sini, masalah periodisasi fase pertumbuhan dan

ciri-cirinya ini sebaiknya tidak dipahami sebagai patokan akhir dan mutlak. Sebab ia

hanya untuk mempermudah pembelajaran dan penelitian bagi kalangan yang

berminat menekuninya, tidak lebih. Proses pertumbuhan terus berkelanjutan dan

saling bereretan, dan pada hakikanya ia pun tidak menerima segala macam

pengklasifikasian ini.32

Sementara pembatasan usia anak-anak dan kanak-kanak menurut para

ulama berhenti di usia dua belas tahun, sehingga yang disebut anak adalah orang

yang belum mengalami mimpi basah.33

Al-Ghazali menggunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti

al-shobiy (kanak-kanak), al-Mutaallim (pelajar), dan thalibul ilmi (penuntut ilmu).

Oleh karena itu anak didik di sini dapat diartikan anak yang sedang mengalami

perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek

utama pendidikan (dalam arti yang luas).34

C. Pendidikan Anak untuk Usia Dini (Anak-Anak)

Berdasarkan UUSPN (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional) pengertian pendidikan anak usia dini adalah “suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan

melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.

Fase pendidikan agama ada tiga:

32

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xii

33

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan Di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xiv

34

(33)

1. Agama pada anak-anak adalah fitrah dan amalan

2. Agama pemuda/pemudi adalah rohani dan perasaan

3. Agama orang dewasa logika dan peraturan35

Sedangkan dasar al-Hadist adalah sabda Rasulullah saw, yang berbunyi: 36

Artinya : “Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah

saw bersabda: muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah dengan budi

pekerti yang baik”. (HR. Ibnu Majah).

Pendidikan agama untuk anak-anak mempunyai pemikiran yang terbatas

dan pengalaman yang sedikit dan percobaan yang kurang. Mereka hidup dalam

alam pikiran yang nyata, yang dapat mereka lakukan dengan salah satu panca

indra. Mereka belum memikirkan soal-soal maknawi, soal-soal abstrak dan

hukum-hukum yang umum. Bahkan mereka belum dapat memikirkan dalil-dalil

akal dan teori-teori yang mendalam.

Kalau dikatakan kepada anak-anak, bahwa nasi yang kita makan dan air

yang kita minum adalah pemberian Allah, maka ia percaya demikian itu tanpa

dalil-dalil akal yang tersebut dalam ilmu Al-Kalam. Maka keimanan anak-anak

adalah keimanan yang fitrah berdiri atas dasar perhubungan dengan alam yang

nyata.

Anak-anak sangat perasa, mempunyai perasaan halus, mudah terpengaruh,

hal ini dapat dipergunakan untuk memimpin anak-anak supaya mereka

berkelakuan baik dan berakhlak mulia dengan menggunakan perasaan halusnya.

Bukan dengan dalil akalnya. Begitu juga sifat anak-anak suka mencontoh dan

menurut. Ditirunya apa-apa yang dilihatnya, dicontohkannya kelakukan orang

tuanya atau teman sejawatnya.

35

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), cet. 17, h. 8

36

(34)

Oleh sebab itu pendidikan agama yang akan diberikan kepada anak-anak,

haruslah sesuai dengan keadaan mereka itu, sesuai dengan akal pikirannya, sesuai

dengan sifat-sifatnya, sebagaimana yang telah disebutkan itu. Berikanlah

pendidikan agama dalam bidang yang praktis, berupa amal perbuatan dan akhlak

yang mulia dan kelakuan yang baik, sekali-kali janganlah diberikan dalil-dalil

akal dan teori-teori yang mendalam yang belum dapat dipahami oleh anak-anak.37

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam proses pembuatan penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian

yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang

Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

Adapun skripsi yang relevan dengan kajian penulis yaitu, skripsi mahasiswi

UIN Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) jurusan Pendidikan

Agama Islam 2012 Siti Mulayanih yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak Pada

Anak Didik Menurut Al-Ghazali. Kesimpulan dari skripsinya adalah pembentukan

akhlak pada awal pertumbuhan dapat dilakukan dengan memberikan makanan

yang baik dan halal sebagai sumber darah daging, memberikan teladan yang baik

agar anak meniru perilaku yang baik, menanamkan rasa malu jika berbuat

kesalahan. Sedangkan untuk menanamkan, membentuk akhlak yang baik pada

anak didik dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, melawan dorongan

hawa nafsu, kedua mujahadah dan berusaha maksimal dengan mengerjakan

perbuatan tersebut. Artinya ia haus memaksakan dirinya untuk melakuan

perbuatan yang baik. Kemudian ia membiasakan perbuatan tersebut dalam

kehidupan sehari-hari, maka akhlak baik akan melekat pada dirinya.

Serta skripsi mahasiswi UIN Jakarta, Fakaultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan (FITK) jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 2012 Resnamia

Novianti yang berjudul Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam menurut

Ibnu Miskawaih dan Ibnu Khaldun. Yang berkesimpulan bahwa konsep

pendidikan Ibnu Miskawaih bertumpu pada terbentuknya etika dan moral yang

37

(35)

mencerminkan jiwa seorang manusia seutuhnya. Pendidikan anak-anak

disesuaikan dengan jenjang dan tingkat pendidikannya, yang dalam hal tujuan

pendidikan itu sendiri didesain sedemikian rupa agar batin mendapatkan

(36)

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Perbandingan Pemikiran Imam Al-Ghazali

dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak”. dilakasanakan dari bulan Desember 2014 sampai Mei 2015. digunakan untuk

pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari text book

yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian.

B.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yangg

dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan

lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa, dan dengan suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah.1 Ditunjang oleh data-data yang

diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan

yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya

literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini.

C.

Prosedur Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang

mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka

penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan

data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam

1

(37)

material yang terdapat di ruangan perpustakaan,2 misalnya berupa buku-buku,

naskah, catatan kisah sejarah, dan sumber lain, yang berhubungan dengan

pemikiran Imam Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang

ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data

melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku

sekunder atau sumber sekunder lainnya.

Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research).

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung

objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari Imam

Al-Ghazali Ihya Ulummuddin dan Terjemahan Ihya Ulumuddin, Ibnu

Miskawaih Tazibul Akhlak dan Terjemahan Tazibul Akhlak

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-data

tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi

dengan masalah yang dibahas.

2. Teknik Pengelolahan Data

Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan

adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi

data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis

analisis dalam satu pembahasan yang utuh.

D.

Pemeriksaan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data pada skripsi ini dapat dilakukan dengan empat

cara, yaitu:

1. Kredibilitas Data

2

(38)

Kriteria kredibilitas melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif adalah

kredibel atau dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian tersebut.

Strateginya meliputi perpanjangan pengamatan, ketekunan penelitian, triangulasi

(mengecek keabsahan data dengan memanfaatkan berbagai sumber dari luar data

sebagi bahan perbandingan), diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif.

2. Transferabilitas.

Dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada semua orang untuk

membaca laporan penelitian sementara yang telah dihasilkan oleh peneliti,

kemudian pembaca diminta untuk menilai substansi penelitian tersebut dalam

kaitannya dengan fokus penelitian. Peneliti dapat meningkatkan transferabilitas

dengan melakukan suatu pekerjaan mendeskripsikan konteks penelitian dan

asumsi yang menjadi sentral pada penelitian tersebut. Dengan kata lain apakah

hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.

3. Dependabilitas Data

Apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam

mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika

membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Artinya apakah peneliti akan

memperoleh hasil yang sama jika peneliti melakukan pengamatan yang sama

untuk kedua kalinya.3

4. Konfirmabilitas

Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya di mana hasil

penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan

lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang

yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar

hasil dapat lebih objektif.4

3

Emzir, Metodologi PenelitianKualitatif: AnalisisData (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 79-80.

4

(39)

E.

Analisis Data

Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan

transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah

terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi

tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah

ditemukannya kepada orang lain.5

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content

analysis) dalam bentuk deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang

menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara

rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek yang

diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan

mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian

dianalisis, dipadukan, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.6

5

Emzir, MetodologiPenelitianKualitatif: AnalisisData (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 85.

6

(40)

29 A. Biografi Imam Al-Ghazali

Nama lengkapnya abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Thusi ibn

Muhammad al-Ghazali lahir di Ghazaleh, suatu desa dekat Thusi di daerah

Khurasan (Persia) pada tahun 450 H (1059 M). Ia keturunan Persia dan

mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah

Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Orang tuanya sebagai pemintal

wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzal. Terdapat perbedaan pendapat

tentang nama sebenarnya dari al-Ghazali ini. Pada umumnya dikenal dengan nama

Al-Ghazali (satu z), nama ini berasal dari nama desa tempat ia lahir. Tetapi ia

dikenal pula dengan nama Al-Ghazzali (dua z), nama ini diambil dari profesi

orang tuanya sebegai ghazzal (tukang pintal benang wol).1

Ayahnya seorang sufi yang sangat war’a yang hanya makan dari usahanya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wol. Ia meninggal sewaktu anaknya itu

masih kecil.2 Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana sebagai pemintal

benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada

simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu

memberi nasehat kepada umat.3

Al-Ghazali memiliki saudara laki-laki yaitu Ahmad. Ia dan saudaranya, oleh

ayahnya dititipkan kepada seorang sahabatnya (seorang ahli tasawuf) agar

pendidikan dua saudara ini diteruskan setalah wafatnya nanti, sampai semua harta

yang ditinggalkannya habis semua. Kemudian, kepada keduanya diwasiatkan

ayahnya agar terus belajar semampu mungkin.4

1

Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 156-157

2

Ahamd Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta:PT Bulan Bintang, 1992), h. 97

3

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999), h. 77

4

(41)

Ketika sufi yang mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya tidak mampu lagi

memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke

sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, santunan kehidupan

sebagaimana lazimnya waktu itu, antara tahun 465-470 H, Al-Ghazali belajar fiqh

dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad al-Radzkani di Thus, dan dari Abu

Nash al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu Al-Ghazali kembali ke Thus dan selama tiga

tahun di tempat kelahirannya ini ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil

belajar tasawuf pada Yusuf al-Nassaj (wafat tahun 487 H).5

Pendidikan selanjutnya diperoleh Ghazali di bawah pimpinan Imam

al-Haramain di Madrasah al-Nizamiyah di Nasyapur. Di sinilah ia belajar teologi

atau ilmu kalam dan filsafat. Mata pelajaran yang lain yang diberikan di

universitas itu ialah hukum Islam, sufisme, logika dan ilmu-ilmu alam. Bahkan

al-Ghazali dapat bertukar pikiran dengan segala aliran dan agama, serta menulis

berbagai buku di berbagai cabang ilmu pengetahuan, sehingga keahliannya itu

diakui dapat mengimbangi gurunya. Dalam usianya yang baru mencapai 28 tahun,

al-Ghazali telah menggemparkan kaum sarjana dan ulama dengan kecakapannya

yang luar biasa.6 Kemudian pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi Guru

Besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia

laksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga

mengadakan bantahan-bantahan terhadap pemikiran golongan batin

Referensi

Dokumen terkait

kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar,. yaitu: “kompetensi pribadi, kompetensi sosial dan kompetensi profesional”. Kompetensi

Temuan dalam penelitian ini adalah (1) Konsep pendidikan Ibnu Khaldun adalah pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia,

Allah SWT telah menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai panutan dalam segala hal, maka seorang anak seharusnya menjadikan Nabi Muhammad sebagai contoh bagaimana ia

“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak

Dalam pelaksanaannya peneliti akan melakukan pengecekan data yang berasal dari hasil wawancara, kemudian hasil wawancara tersebut dicek dengan hasil pengamatan yang

Melakukan perbuatan yang mencerminkan ia beriman kepada malaikat - Malaikat yang berhubungan dengan alam dunia (umat manusia):...  Malaikat jibril : Ruhul amin (ruh yang