• Tidak ada hasil yang ditemukan

Forest Fire Danger Rating System on Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, OKI District, South Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Forest Fire Danger Rating System on Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, OKI District, South Sumatra"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DI HTI PT SEBANGUN BUMI ANDALAS WOOD INDUSTRIES

KABUPATEN OKI, SUMATERA SELATAN

MUH TAUFIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

   

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran

Hutan di HTI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industires Kabupaten OKI,

Sumatera Selatan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Muh Taufik NRP. F152080031

(3)

MUH TAUFIK. Forest Fire Danger Rating System on Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, OKI District, South Sumatra. Under supervison of BUDI I. SETIAWAN, LILIK B. PRASETYO, and NORA H. PANDJAITAN.

KBDI could be used as a tool for early fire detection as it is capable of providing daily fire danger information. However, KBDI is not a good indicator of fire danger for region with climate and soil conditions different from Florida, USA where it was firstly developed. This study aimed to: (a) determine the optimum model parameters of KBDI for SBAWI, South Sumatra, (b) develop FDRS information systems based on Geographic Information System, and (c) apply KBDI model for other locations in the SBAWI. Several data were observed during period of 1 April 2009 – 11 May 2010 including rainfall, air temperature, water table depth, and soil water content in hourly basis. The data were used to obtain new, optimum KBDI parameter values for wetland in the region through optimization process. The process was done using Solver to obtain minimum of root mean square error (RMSE) between measured dryness index and KBDI calculation. The process produced several equations for calculating KBDI in the region. Water table depth was very critical for forest fire as it influences soil water content in upper soil layer. By maintaining water table depth at least 0,659 m, the fire danger in the region would be reduced. The results showed that if water table depth was more than 0.659 m, the KBDI would increase rapidly. The study developed FDRS information system that provided several facilities among others for: (a) calculating KBDI at other stations in the region, (b) providing information about spatial distribution of fire danger at 1 km resolution, (c) updating daily observed data, and (d) providing information of daily charts of rainfall, KBDI, air temperature and water table depth. Overall the FDRS information system was able to detect fire danger level throughout the SBAWI region.

(4)

MUH TAUFIK. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan di HTI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Dibimbing oleh BUDI I. SETIAWAN, LILIK B. PRASETYO, dan NORA H. PANDJAITAN.

Kelembaban tanah sangat berpengaruh terhadap kekeringan bahan bakar di hutan. Secara ilmiah sangat menarik untuk mengetahui bagaimana kandungan air tanah dapat mempengaruhi kejadian kebakaran hutan, bagaimana mengembangkan metode peringkat kebakaran hutan yang efektif untuk deteksi potensi kebakaran hutan di lahan basah, dan dengan cara bagaimana teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diintegrasikan dalam mengembangkan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan. KBDI adalah indeks kekeringan yang dikembangkan untuk pengendalian kebakaran hutan. KBDI dapat digunakan sebagai alat untuk deteksi dini kebakaran karena informasi yang dihasilkan berupa informasi harian bahaya kebakaran hutan. Nilai KBDI ditentukan oleh faktor kekeringan, nilai KBDI hari sebelumnya dan faktor curah hujan. Pada kondisi iklim dan tanah yang berbeda, KBDI tidak bisa menjadi indikator kebakaran hutan yang akurat. Penelitian ini dilakukan di lahan basah di kawasan HTI Sebangun Bumi Andalas dengan tujuan untuk: (a) menentukan parameter model KBDI yang optimum untuk kawasan HTI – SBAWI, Sumatra Selatan, (b) menyusun sistem informasi FDRS di HTI – SBAWI berbasis Sistem Informasi Geografis, dan (c) menerapkan model KBDI di lokasi lain di kawasan HTI – SBAWI.

Penelitian ini menggunakan data pengamatan jam-jaman yang meliputi data: curah hujan, suhu udara maskimum, kedalaman muka air tanah (MAT) dan kadar air tanah (KAT) pada periode pengamatan 1 April 2009 – 11 Mei 2010. Data tersebut diolah untuk mendapatkan data harian yang digunakan untuk mengembangkan model KBDI di lahan basah. Parameter KBDI yang optimum diperoleh melalui proses optimisasi dengan Solver untuk memperoleh nilai error

yang minimum dari data indeks kekeringan pengukuran ( ) dan data model KBDI . Nilai Indeks kekeringan diperoleh dari pengukuran KAT yang dinyatakan dalam kisaran nilai 0 – 2000. Nilai 0 berarti KAT pada titik layu permanen sedangkan 2000 berarti KAT pada kondisi jenuh. Proses kalibrasi hasil model KBDI dilakukan untuk mendapatkan nilai KBDI untuk Stasiun HQ Baung yang selanjutnya dinyatakan dalam empat kelas kriteria bahaya kebakaran.

Informasi bahaya kebakaran di HTI – SBAWI lebih menarik disajikan secara spasial dengan integrasi SIG ke dalam sistem informasi FDRS. Sebanyak sembilan titik stasiun digunakan untuk mendapatkan informasi spasial bahaya kebakaran di kawasan dengan teknik inverse distance weight. Perhitungan KBDI di stasiun lain menggunakan persamaan KBDI yang dihasilkan dari proses optimisasi parameter untuk Stasiun HQ Baung dengan input data pengamatan harian curah hujan, suhu udara maksimum, dan MAT yang diamati secara manual. Sistem informasi FDRS dikembangkan dengan program Ms. Visual Basic 6 dan

(5)

Curah hujan selama periode pengamatan lapang (406 hari) di Stasiun HQ Baung sebesar 2854 mm dengan curah hujan harian tertinggi sebesar 107 mm. Pola curah hujan mengikuti tipe monsun dengan musim penghujan jatuh pada bulan November – April, dan musim kemarau pada bulan Mei – Oktober. Pola suhu udara maksimum mengikuti pola curah hujan dimana pada musim hujan, suhu udara cenderung lebih rendah. Kisaran suhu udara maksimum yang tercatat yaitu antara 26,6 – 34,9 0C. Fluktuasi KAT dan kedalaman MAT di Stasiun HQ Baung muka air tanah mengikuti pola curah hujan. KAT pada kisaran 0,289 m3/m3 hingga 0,627 m3/m3. Pada musim kemarau antara bulan Juli – September, MAT turun hingga mendekati kedalaman 1 m.

Proses optimisasi parameter menghasilkan persamaan baru untuk menghitung faktor kekeringan, faktor curah hujan dan faktor muka air tanah. Persamaan untuk menghitung faktor kekeringan (dQ) dan KBDI ( di Stasiun HQ Baung yaitu:

, , , ,

, ,

,

Persamaan tersebut kemudian digunakan untuk menghitung KBDI di stasiun lain di HTI SBAWI.

Penelitian ini mendapatkan kedalaman MAT yang efektif dalam mengurangi nilai KBDI yaitu pada kedalaman MAT di atas 0,659 m. Pada kedalaman di atas 0,659 m menyebabkan faktor MAT ( ) bernilai negatif sehingga meningkatkan nilai KBDI. Nilai maksimum sebesar 102 angka sama dengan nilai faktor hujan maksimum. Kedalaman muka air tanah merupakan variabel yang dapat dikelola dalam pengelolaan hutan. Dengan mampu mempertahankan kedalaman MAT hutan pada level di atas 0,659 m maka bahaya kebakaran dapat ditekan.

Informasi penting dari dinamika KBDI harian yaitu laju peningkatan KBDI yang diperoleh dengan analisis kurva intensitas waktu (time intensity curve). Laju peningkatan KBDI yaitu sebesar 12/hari. Dengan informasi ini pengelola hutan dapat merencanakan kegiatan untuk mengantisipasi dan atau mengurangi laju peningkatan KBDI. Pengelolaan air merupakan kegiatan yang bisa dilakukan seperti dengan: teknik pembendungan air di kanal untuk mengurangi hilangnya air lahan pada musim kemarau, dan meningkatkan tinggi dari muka air di kanal di sekitar lahan.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

KABUPATEN OKI, SUMATERA SELATAN

 

               

MUH TAUFIK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

di HTI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Indutries,

Kabupaten OKI, Sumatera Selatan

Nama : Muh Taufik

NIM : F152080031

Program Studi : Teknik Sipil dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Budi I. Setiawan, MAgr.

Ketua

Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, MSc.

Anggota

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(10)

Kebakaran hutan merupakan problem tahunan yang terjadi di wilayah

ekuator dengan perbedaan musim kemarau dan musim hujan yang jelas. Sistem

informasi tentang potensi kebakaran hutan dalam bentuk informasi spasial sangat

diperlukan dalam mengantisipasi kejadian kebakaran. Dalam penelitian ini,

disusun sistem peringkat bahaya kebakaran hutan untuk kondisi lahan basah.

Diharapkan, hasil penelitian ini dapat menyediakan sistem informasi spasial

tentang peringkat bahaya kebakaran hutan di HTI SBAWI, Kabupaten Ogan

Komering Ilir, Sumatra Selatan.

Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Budi I.

Setiawan sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Lilik B. Prasetyo dan Dr.

Nora H. Pandjaitan sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan,

masukan dan saran dalam penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan

untuk I Putu Santikayasa, M.Sc. yang banyak memberikan pengajaran dalam

penyusunan sistem informasi FDRS. Kepada PT SBA terutama rekan-rekan di

Research and Development Department (RDD) yaitu Mas Andrean, Efra, Ali,

Slamet, dan Safiq, disampaikan penghargaan atas kerjasama dan bantuan yang

diberikan. Untuk sahabat di SBAWI, Bapak Miran di Bagian Fire Protection

Department, terima kasih atas kerjasama yang telah diberikan, juga kepada

rekan-rekan lain di SBAWI yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu.

Penulis sangat berterima kasih untuk istriku tercinta Hermi dan putri kecilku

Hana yang telah meluangkan waktu bersama. Untuk waktu bersama keluarga yang

banyak tersita dalam penyusunan laporan ini, saya sampaikan permohonan maaf

yang tulus. Untuk teman-teman angkatan I SIL: Tusi, Dona, Titin, Suci dan

Wakhid, terima kasih banyak atas kerjasamanya selama ini. Akhirnya Penulis

sampaikan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa atas selesainya laporan

penelitian ini.

Bogor, Agustus 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 3 Maret 1981 sebagai anak ke-4

dari enam bersaudara dari Ayah Asrodi dan Ibu Sudarmi. Tahun 1998 penulis

lulus dari SMU Negeri I Bae Kudus dan pada tahun yang sama lulus seleksi

masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program

studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan IPA, dan menyelesaikan studi

S1 pada tahun 2003. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan ke program

magister pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan – FATETA IPB pada

tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIKTI Departemen

Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Selama mengikuti program S2, penulis pernah mengikuti short course

tentang GeonetCast ToolBox yang diselenggarakan oleh LabMath Indonesia dan

ITC-UTWENTE. Penulis juga mengikuti research workshop tentang Satellite

Based Water Balance Computation and Modeling yang diselenggarakan oleh

lembaga yang sama.

Penulis bekerja sebagai Asisten Peneliti pada Laboratorium

Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi – IPB sejak lulus

program S1. Minat penelitian pada bidang sumberdaya air, fungsi hidrologi DAS

dan perubahan iklim terkait dengan sumberdaya air. Saat ini Penulis bekerja

sebagai Dosen pada Departemen Geofisika dan Meteorologi – IPB. Sejak tahun

2009, Penulis aktif sebagai anggota Tim Redaksi Jurnal Agrometeorologi yang

diterbitkan oleh Himpunan Profesi Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia

(12)

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR ISTILAH DAN SIMBOL ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Kekeringan... 4

2.2. Kebakaran Hutan ... 5

2.3. KBDI ... 7

2.4. Perkembangan Model KBDI ... 9

2.5. Integrasi SIG untuk Monitoring Kekeringan ... 12

III. METODE PENELITIAN ... 13

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 13

3.2. Bahan dan Alat ... 14

3.3. Monitoring Data Cuaca, Kandungan Air Tanah dan Water ... 14

3.4. Pengembangan Model Modified-KBDI ... 15

3.5. Pengembangan Sistem Informasi FDRS ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 21

4.2. Pengaruh Hujan terhadap Dinamika KAT dan MAT ... 23

(13)

4.6. Sistem Informasi FDRS ... 34

V. KESIMPULAN ... 40

5.1. Kesimpulan ... 40

5.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 46

(14)

Halaman 

1. Rincian kebakaran pada tahun 1997 di Sumatera Selatan ... 7 

2. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan ... 10 

3. Perkembangan nilai faktor hujan dalam KBDI ... 11 

4. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan KBDI ... 16 

5. Metode untuk menghitung faktor hujan dan muka air tanah ... 17 

6. Kelas Indeks Bahaya Kebakaran ... 18 

7. Hasil optimasi parameter KBDI ... 26 

8. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 1 ... 29 

9. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 2. ... 29 

10. Jumlah kelas bahaya kebakaran Model 1 dan Model 2. ... 29 

(15)

1. Peta lokasi HTI-SBAWI di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. ... 13

2. Curah hujan bulanan di Stasiun HQ Baung, HTI - SBAWI, OKI – Sumsel. (untuk bulan Mei 2010 hanya 11 hari pengamatan) ... 21

3. Dinamika harian (a) curah hujan, (b) suhu udara maksimum, (c) KAT, dan (d) MAT di Stasiun HQ Baung, HTI-SBAWI. ... 22

4. Grafik hubungan antara dengan curah hujan untuk Model 1 dan Model 2. ... 27

5. Pengaruh MAT terhadap Indeks KBDI pada Model 1 dan Model 2. ... 27

6. Curah hujan dan KBDI harian di Sungai Baung. ... 28

7. Kurva intensitas waktu KBDI harian di Sungai Baung untuk Model 1 ... 32

8. Modul Utama sistem Informasi FDRS ... 35

9. Sebaran spasial KBDI pada tanggal 1 Januari 2010 di HTI-SBAWI. ... 36

10. Tampilan modul update data untuk lokasi Stasiun S. Beyuku ... 37

11. Grafik harian KBDI untuk Lokasi Stasiun Bagan Rame. ... 38

12. Tabulasi perhitungan KBDI untuk lokasi Sungai Riding ... 39

(16)

Halaman

1 Penggunaan model KBDI dari berbagai sumber ... 47 

2 Contoh format data dalam Ms. Excel ... 50 

3 Tabulasi perhitungan KBDI di Stasiun HQ Baung untuk Model 1 ... 51 

(17)

DAFTAR ISTILAH

FDRS Fire Danger Rating System

HTI Hutan Tanaman Industri

IDW Inverse Distance Weight

KAT Kadar Air Tanah

KBDI Keetch Byram Drought Index

MAT Muka Air Tanah

SBAWI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries

SIG Sistem Informasi Geografis

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Dimensi

Nilai KBDI pada saat t -

Kadar air tanah residu, dihitung sebagai titik layu permanen

m3/m3

Kadar air tanah jenuh m3/m3

Hisapan matriks dalam hal ini kedalaman muka air tanah

m

, n, m Parameter Genucthen berturutan besarnya adalah 0,122; 1,811; 0,153

-

Indeks kekeringan hasil pengukuran kadar air tanah -

Nilai maksimum KBDI sebesar 2000 -

, , , Parameter suhu udara maksimum dalam perhitungan faktor kekeringan

-

, Parameter curah hujan tahunan dalam perhitungan faktor kekeringan

(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kandungan air pada tanah lapisan atas sangat penting dalam menekan

terjadinya kebakaran hutan. Permukaan tanah hutan kaya akan serasah dan kayu

yang rentan terhadap kebakaran pada kondisi kering. Pada musim kemarau

dimana tanah hutan lapisan atas mengandung sedikit air menjadikan kawasan

hutan sangat rentan terhadap kebakaran. Kondisi tersebut semakin parah dan

rentan pada kondisi fisiografis tanah gambut. Keadaan tersebut secara nyata selalu

terjadi di hutan hujan tropis P. Sumatera yang bertanah gambut. Pada periode

musim kemarau dimana curah hujan rendah, potensi kemunculan titik api pada

kawasan hutan ini sangat tinggi yang menyebabkan frekuensi kebakaran hutan

meningkat. Secara ilmiah sangat menarik untuk mengetahui bagaimana

kandungan air tanah dapat mempengaruhi kejadian kebakaran hutan, bagaimana

mengembangkan metode peringkat kebakaran hutan yang efektif untuk deteksi

potensi kebakaran hutan di lahan basah, dan dengan cara bagaimana teknologi

SIG dapat diintegrasikan dalam mengembangkan sistem peringkat bahaya

kebakaran hutan.

Kebakaran hutan memberikan dampak yang luar biasa terhadap lingkungan

yang dapat memicu terjadinya degradasi hutan. Pada musim kemarau, Indonesia

dikenal sebagai negara pengekspor asap karena seringnya kejadian kebakaran

hutan di P. Sumatera dan P. Kalimantan. Schweithhelm dan Glover (2002)

mengemukakan potensi kebakaran hutan tergantung pada tingkat bahaya api (fire

danger) dan resiko api (fire risk). Bahaya api adalah suatu ukuran tentang jumlah,

jenis, dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Sedangkan resiko

api adalah ukuran kemungkinan tersulutnya api yang secara umum berhubungan

dengan tindakan manusia. Kawasan hutan tanaman industri yang berkembang

pesat di P. Sumatera sangat rentan dengan kejadian kebakaran hutan mengingat

fisiografi tanah didominasi oleh gambut. Gambut merupakan jenis tanah yang

terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Dengan

(19)

Dampak kebakaran lahan gambut lebih mengerikan daripada lahan kering yang

lain karena menciptakan asap tebal dan emisi karbon yang tinggi

Untuk mengetahui potensi kekeringan pada lahan hutan, Keetch dan Byram

(1968) di Amerika mengembangkan indeks kekeringan (drought index) yaitu angka yang mewakili pengaruh evapotranspirasi dan presipitasi terhadap

defisiensi kelembaban kumulatif pada lapisan atas tanah untuk mengontrol

kebakaran hutan. Untuk penggunaan di Indonesia, Keetch Byram Drought Index

(KBDI) sebagai sistem peringkat kebakaran hutan perlu dimodifikasi mengingat

adanya perbedaan jenis iklim, tanah dan kondisi fisiografis kawasan hutan di

Indonesia dengan di Amerika Serikta.

Pada periode el-nino 1997, bencana kebakaran hutan tropis gambut yang

melanda kawasan hutan di Sumatera Selatan telah menyebabkan degradasi hutan

yang parah dengan akumulasi bahan bakar yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan

tingkat bahaya api yang tinggi dan menyebabkan kerentanan kebakaran hutan

meskipun pada musim kering yang normal. Untuk mengetahui tingkat bahaya

kebakaran hutan perlu dikembangkan suatu sistem peringatan dini bahaya

kebakaran dengan tujuan dapat menumbuhkan kesadaran yang lebih besar bagi

masyarakat, pengelola HTI dan instansi terkait, tentang potensi kebakaran hutan

dan agar respon untuk mencegah, mengurangi dan menanggulangi kebakaran

lebih baik di masa yang akan datang. Sistem peringatan dini dapat diaplikasikan

dalam bentuk sistem peringkat bahaya kebakaran hutan (Fire Danger Rating

System, FDRS).

Pengembangan FDRS pada lahan gambut tropis merupakan suatu tantangan.

Dinamika kekeringan dalam skala ruang dan waktu perlu dipertimbangkan dalam

prediksi dan monitoring dampak kekeringan di suatu wilayah. Oleh karena itu

perlu memperbaiki alat dan ketersediaan data untuk pemetaan dan monitoring

fenomena tersebut. Integrasi teknologi SIG ke dalam sistem peringkat bahaya

kebakaran hutan diperlukan untuk melihat penyebaran kekeringan pada lahan

hutan secara spasial. Penelitian ini berupaya untuk mencoba menjawab

permasalahan tersebut dengan studi kasus di HTI-SBAWI yang berlokasi di

(20)

1.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk:

a. Menentukan parameter model KBDI yang optimum untuk kawasan HTI –

SBAWI, Sumatra Selatan.

b. Menyusun sistem informasi FDRS di HTI – SBAWI berbasis Sistem

Informasi Geografis

(21)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekeringan

Kekeringan adalah suatu periode dalam kurun bulan atau tahun dimana

suatu daerah kekurangan air. Sumber utama dari ketersediaan air yaitu curah

hujan. Jika curah hujan yang diterima suatu wilayah secara konsisten lebih rendah

dari jumlah evapotranspirasi maka akan terjadi kekeringan dan dalam jangka

panjang akan terbentuk pola iklim kering/arid. Kekeringan berdampak pada

sendi-sendi kehidupan masyarakat terutama terkait dengan ketahanan pangan,

ketersediaan air bersih dan dapat menjadi pemicu migrasi. Kegiatan manusia

dapat menjadi faktor pemicu terjadinya kekeringan seperti pemberian irigasi yang

berlebihan dan kegiatan deforestasi. Kekeringan merupakan fenomena alam yang

bervariasi dalam skala ruang dan waktu sesuai dengan variabilitas iklim. Pada

kondisi lahan hutan yang kaya akan serasah, bahan organik dan kayu bakar,

kekeringan dapat menimbulkan masalah yang serius berupa kebakaran hutan.

Kekeringan pada lapisan atas tanah menyebabkan peningkatan jumlah bahan

bakar potensial yang rentan terhadap sulutan api.

Secara konseptual, Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional University of

Nebraska mendefiniskan tiga tipe kekeringan (Gutzler 2003): (a) kekeringan

meteorologi, yaitu kondisi dengan periode yang panjang curah hujan lebih rendah

dari curah hujan normal; (b) kekeringan pertanian, yaitu terjadi stress air pada

tanaman; dan (c) kekeringan hidrologi, yaitu kekurangan suplai air permukaan.

Selain definisi konseptual, terdapat definisi operasional yang menggunakan indeks

kekeringan sehingga lebih mudah dan bersifat aplikabel. Definisi operasional

lebih penting karena berguna untuk menentukan awal, keparahan, sebaran spasial,

dan akhir dari keadaan kekeringan. Indeks kekeringan yang dikenal antara lain:

the Palmer Drought Severity Index (PDSI), Crop Moisture Index (CMI), dan

Standardized Precipitation Index (SPI). Indeks menggabungkan informasi hujan,

kelembaban tanah, atau pasokan air di suatu wilayah.

Kekeringan terkait dengan kandungan air dalam tanah. Berdasarkan

kandungan air tanah, regim evapotranspirasi dapat digolongkan menjadi tiga

(22)

 Regim kelembaban tanah basah ( ). Pada regim ini,

evapotranspirasi tidak sensitif terhadap kelembaban tanah.

Sebaliknya limpasan permukaan sangat terpengaruh meskipun

dengan variasi curah hujan rendah.

 Regim kelembaban tanah transisional ( ). Pada

regim ini evapotranspirasi sensitif terhadap kelembaban tanah.

 Regim kelembaban tanah kering ( ). Pada regim ini

evapotranspirasi sangat sensitif terhadap kelembaban tanah

meskipun sangat terbatas karena kondisi kering.

2.2. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dapat terjadi karena tersedianya bahan bakar yang cukup

di dalam hutan. Ketersediaan bahan bakar dipengaruhi faktor iklim berupa curah

hujan dan suhu udara dengan pengaruh berbeda. Adanya hujan akan

meningkatkan kelembaban tanah sehingga jumlah bahan bakar berkurang,

sedangkan peningkatan suhu udara akan meningkatkan kekeringan tanah bagian

atas sehingga jumlah bahan bakar meningkat. Fenomena ini terjadi di kawasan

hutan hujan tropis basah Sumatera Selatan. Kawasan hutan basah yang sebagian

merupakan lahan gambut selalu mengalami penurunan muka air yang signifikan

sehingga mengakibatkan kekeringan pada musim kemarau. Kondisi ini ideal

untuk terjadinya kebakaran mengingat bahan bakar yang tersedia melimpah.

Kandungan air pada bahan bakar merupakan faktor utama yang menentukan

berapa banyak bahan bakar yang akan terbakar. Pada lahan gambut, kekeringan

menyebabkan gambut tercerai berai dan rentan terhadap sulutan api.

Fenomena kekeringan pada lahan basah yang berpotensi menimbulkan

kebakaran mendapatkan tekanan tambahan berupa pembakaran hutan karena

alasan ekonomi dan kebutuhan hidup rumah tangga. Masyarakat lokal

menggunakan pembakaran sebagai alat untuk mendapatkan akses sumberdaya

alam (Chokkalingam et al. 2004) seperti; untuk mendapatkan kayu komersial, untuk keperluan mencari ikan yang terjebak dalam rawa yang kering, dan untuk

(23)

terkontrol sehingga menyebar ke berbagai kawasan hutan. Setijono (2004)

menguraikan kegiatan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir

terkait dengan pembakaran lahan sebagai berikut:

 Budaya pembakaran ladang di darat

Dilakukan dengan cara pembakaran terkendali untuk pembukaan atau

peremajaan pada kebun karet. Kegiatan ini dilakukan di Kecamatan

Tulung Selapan dan Pampangan. Tradisi pembakaran terkendali

berlangsung pada desa-desa yang telah berkembang khususnya di daerah

darat yang memiliki tata kepemilikan lahan dengan batas yang jelas. Pada

sistem ini diberlakukan sistem sanksi jika pembakaran lahan menyebabkan

kebakaran di lahan orang lain. Sanksi dapat berupa denda uang dan

memelihara lahan.

 Budaya pembakaran lahan rawa gambut untuk sawah sonor

Musim kemarau menyebabkan penurunan air pada lahan rawa secara

drastis. Dengan sistem pembakaran, lahan rawa yang kering siap ditanami

untuk lahan pertanian. Masyarakat lokal biasanya menanam padi dengan

cara ditugal agar padi memiliki perakaran yang dalam. Untuk

mempercepat pengeringan rawa, masyarakat biasanya membangun

kanal-kanal drainase. Pembakaran dapat meningkatkan pH lahan gambut, dan

membunuh hama dan penyakit.

 Budaya pembakaran lahan rawa gambut untuk mencari ikan

Pembakaran dilakukan pada musim kemarau ketika akses terhadap ikan

sulit karena air sungai yang surut. Dengan pembakaran, nelayan dapat

menemukan lebak/cekungan rawa yang masih ada air tempat ikan terjebak.

Penggunaan api yang tidak terkontrol telah menimbulkan kebakaran yang

parah di lahan basah Sumatera Selatan. Kebakaran yang berulang-ulang telah

menjadi ancaman besar bagi konservasi lahan basah, pemanfaatan yang lestari dan

pemulihan areal yang rusak. Kebakaran pada lahan gambut menimbulkan masalah

asap, kesehatan dan jarak pandang di wilayah Asean. Tacconi (2003)

(24)

Selatan seluas 2,798 jt ha dengan prosentasi kebakaran pada lahan non-hutan dan

hutan berturut-turut sebesar 75% dan 25% (Tabel 1).

Tabel 1. Rincian kebakaran pada tahun 1997 di Sumatera Selatan

Status lahan dan tataguna lahan Kawasan yang terbakar Ha %

Lahan non-hutan

 Kebakaran yang dikendalikan

 Kebakaran yang tidak dikendalikan

2.097.050

 Kebakaran yang dikendalikan

 Kebakaran yang tidak dikendalikan

700.988

Total kebakaran yang dikendalikan

Total kebakaran yang tidak dikendalikan

1.571.000

1.227.038

56

44

Total kebakaran 2.798.038 100

Sumber: Tacconi (2003)

Untuk mengatasi kebakaran dapat dilakukan prediksi daerah kekeringan

yang rawan kebakaran. Untuk mengurangi dampak dari kekeringan diperlukan

pengembangan kemampuan untuk meramal karakteristik dari kekeringan yang

meliputi: durasi kekeringan, intensitas kekeringan (tingkat keparahan) dan periode

ulang dari kekeringan tersebut.

2.3. KBDI

Potensi kebakaran lahan hutan dapat dinilai dengan menggunakan data

jangka panjang (statis) dan data jangka pendek (dinamis) atau dengan integrasi

keduanya yang menghasilkan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan. Indeks

kebakaran yang dinamis dibangun berdasarkan variabel meteorologi dan kondisi

aktual vegetasi (Snyder et al. 2006) yaitu kondisi kelembaban tanah dan struktur

vegetasi yang berpengaruh terhadap kemunculan dan penyebaran api. KBDI

merupakan indeks kekeringan meteorologi untuk menilai defisiensi kelembaban

(25)

Florida untuk menentukan potensi kebakaran hutan. Nilai indeks kekeringan

berkisar pada angka 0-800, dimana indeks 0 berarti tidak ada defesiensi

kelembaban dan indeks 800 menunjukkan tanah dalam kondisi kering. Indeks

dihitung harian berdasarkan data pengukuran suhu udara maksimum dan curah

hujan harian. KBDI mampu menggambarkan ketersediaan bahan bakar dan juga

menggambarkan defisit air pada tanaman hidup (Xanthopoulos et al. 2008). Dalam pengembangan indeks, Keetch dan Byram (1968) menggunakan beberapa

asumsi:

a. Tingkat kehilangan kelembaban tanah di area berhutan akan bergantung

pada kerapatan tutupan vegetasi. Kerapatan vegetasi merupakan fungsi

curah hujan tahunan rata-rata.

b. Hubungan curah hujan-vegetasi diduga dengan kurva eksponensial dimana

tingkat hilangnya kelembaban adalah fungsi curah hujan tahunan rata-rata,

sehingga penurunan curah hujan tahunan rata-rata menyebabkan

penurunan kerapatan vegetasi.

c. Tingkat kehilangan kelembaban dari tanah ditentukan oleh

evapotranspirasi.

d. Pengurangan kelembaban tanah terhadap waktu didekati dengan kurva

eksponensial dimana titik layu permanen merupakan level kelembaban

terendah.

e. Kedalaman lapisan tanah dimana kejadian kekeringan berlangsung adalah

kondisi tanah dengan kapasitas lapang sebesar 200 mm.

Indeks kekeringan KBDI dihitung dengan rumus berikut:

………Pers. 1

adalah faktor kekeringan (drought factor) yang tergantung pada suhu udara

maksimum dan curah hujan tahunan, dihitung dengan Persamaan (2).

. . .

(26)

dimana adalah suhu udara maksimum harian (0F) dan adalah curah

hujan rerata tahunan (dalam inci). Persamaan (2) menunjukkan bahwa

kelembaban tanah akan berkurang dengan peningkatan suhu udara dan bertambah

dengan adanya hujan. Faktor kekeringan merupakan penduga evapotranspirasi

potensial sebagai rasio antara fungsi eksponensial suhu udara harian dengan

fungsi eksponensial curah hujan tahunan (Brolley et al. 2007). merupakan pengurang nilai KBDI yang diperhitungkan jika curah hujan melebihi 0,2 inch

(Persamaan 3).

,

, , ……… Pers. 3

2.4. Perkembangan Model KBDI

Model KBDI dikembangkan oleh Keetch dan Byram (1968) untuk

pengendalian kebakaran hutan di Florida, Amerika dengan kondisi iklim dan

tanah setempat. Model ini telah digunakan secara luas di Amerika dan Australia

(lihat Lampiran 1) mengingat input data yang dibutuhkan sedikit dan relatif

mudah untuk diperoleh. Burgan (1988) mengintroduksi KBDI sebagai penduga

ketersediaan bahan bakar dalam National Fire Danger Rating System (NFDRS) untuk Amerika. Di Australia, McArthur mengintroduksi model KBDI untuk

perhitungan drought factor pada Forest Fire Danger Index (Sullivan 2001).

Koreksi terhadap model KBDI dikemukakan oleh Crane (1982, dalam

Alexander 1990) yaitu adanya typographical error pada persamaan yang digunakan untuk menghitung faktor kekeringan indeks. Alexander (1992) juga

mengemukakan hal yang sama. Untuk mempermudah bahasan tentang

perkembangan model KBDI, Persamaan (2) selanjutnya ditulis dalam bentuk yang

lebih umum (Persamaan 4). Selain menyebutkan typographical error pada model

KBDI, Crane (1982, dalam Alexander 1990) mengkonversi KBDI ke dalam unit

metrik dengan nilai maksimum indeks sebesar 203,2. Perubahan unit KBDI ini

(27)

……… Pers. 4

Perkembangan nilai parameter dirangkum dalam Tabel 2. Di Indonesia, KBDI

telah digunakan oleh Buchholz dan Weidemenn (2000) untuk menilai potensi

kebakaran hutan di Kalimantan Timur, dengan memodifikasi nilai maksimum

indeks menjadi 2000 (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan

Parameter

0,8300 8,3000 8,2990

- 1,5552 1,5552

10,8800 10,8800 10,8800

, 0,0017 0,0017

Faktor kekeringan mencerminkan defisiensi kelembaban tanah melalui

proses evapotranspirasi. Keetch dan Byram (1968) menggunakan asumsi besarnya

evapotranspirasi tergantung pada suhu udara maksimum dan curah hujan tahunan

untuk daerah Florida, Amerika. Liu et al. (2010a, 2010b) mengindikasikan formulasi dalam menghitung perlu dikaji untuk daerah dengan kondisi iklim

berbeda mengingat tingkat kekeringan (drying rate) sebagai fungsi dari curah hujan tahunan berbeda-beda untuk tiap lokasi. Snyder et al. (2006) melakukan perbaikan terhadap perhitungan faktor kekeringan dengan menggunakan model

evapotranspirasi Hargreaves–Samani.

Perbedaan iklim dan tanah menyebabkan model KBDI harus dimodifikasi

untuk dapat diterapkan di lokasi dengan iklim dan tanah yang berbeda dengan

daerah Florida, Amerika. Reardon et al. (2009) yang melakukan penelitian di lahan basah North Carolina, menyebutkan perbedaan properti tanah menyebabkan

(28)

dilaporkan oleh Cooke et al. (2007) dan Choi et al. (2009) untuk daerah Mississippi, Chan et al. (2004) untuk daerah Georgia, Amerika dan Sparks et al. (2002) untuk daerah Arkansas, Amerika. Sparks et al. (2002) menyebutkan KBDI

bukan indikator yang tepat untuk potensi kebakaran daerah iklim Arkansas

dengan tipe tanah berpasir, dan Reardon et al. (2009) menyarankan perbaikan untuk model KBDI dengan mengintroduksi faktor hidrologi yang mencerminkan

simpanan dan pergerakan air (water storage and movement) dalam tanah.

Terlepas dari kritik terhadap kelemahan KBDI dalam prediksi kebakaran

hutan untuk lokasi yang berbeda, KBDI banyak digunakan untuk menduga

potensi kebakaran hutan di Amerika (terutama untuk daerah tenggara Amerika),

dan Australia (lihat Lampiran 1). KBDI banyak digunakan karena mudah dalam

proses perhitunganya (Dimitrakopoulos dan Bemmerzouk 2003). Banyak peneliti

yang menggunakan KBDI dalam mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap

potensi kebakaran hutan di masa depan. Groisman et al. (2007) mengkaji perubahan KBDI pada abad 20 di Northern Eurasia, dan terakhir Liu et al.

(2010a) dan Liu et al. (2010b) melakukan prediksi KBDI akibat perubahan iklim secara berturutan dengan Regional Climate Model (RegCM) dan Global Climate

Model (GCM).

Tabel 3. Perkembangan nilai faktor hujan dalam KBDI

Peneliti Unit Nilai faktor hujan ( )

(29)

Faktor hujan dalam KBDI juga mengalami perkembangan sesuai dengan

kebutuhan. Dalam model Keetch dan Byram (1968), faktor hujan diperhitungkan

jika melebihi 0,2 inch (dalam unit SI setara 5,1 mm). Besarnya pengurangan

disajikan dalam Tabel 3.

Brolley

et al

. (2007) melakukan modifikasi untuk

perhitungan faktor hujan dengan mempertimbangkan curah hujan hari ini

dan curah hujan hari kemarin (

antecedent precipitation

).

2.5. Integrasi SIG untuk Monitoring Kekeringan

KBDI

dikembangkan berbasis data stasiun iklim. Defesiensi kelembaban

tanah yang dihasilkan dari perhitungan tidak mengungkap detil spasial dari nilai

indeks tersebut (satu angka biasanya menggambarkan kondisi satu wilayah).

Karena berbasis pada stasiun iklim yang berada pada lokasi tertentu, maka

informasi yang dihasilkan secara spasial bersifat diskontinu dan hanya valid untuk

lokasi tertentu. Sebagai informasi tambahan, indeks meteorologi bergantung pada

data harian yang dikumpulkan di stasiun cuaca yang keberadaannya tidak merata

di setiap wilayah sehingga akan berpengaruh terhadap konsistensi indeks

kekeringan. Dengan realita tersebut, perlu dikembangkan sistem peringkat

kebakaran yang memperhitungkan sebaran spasial. Janis et al. (2002) menyusun peta KBDI untuk daerah tenggara Amerika. Dengan penyusunan peta KBDI tersebut KBDI menjadi alat monitoring yang menarik untuk pemantauan potensi

kebakaran hutan (Janis et al. 2002). Pembangunan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan berbasis spasial sangat berguna bagi pengelolaan kebakaran

hutan dalam hal antisipasi dan pencegahan kebakaran (Carlson dan Burgan 2003).

Untuk mengembangkan indeks berbasis spasial, integrasi dengan teknik SIG

mutlak diperlukan. Nantinya monitoring dalam skala regional dapat dilakukan

(30)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan –

FATETA IPB dimulai bulan Februari hingga bulan Juli 2010. Data pengamatan

lapang yang digunakan yaitu periode 1 April 2009 – 11 Mei 2010 diperoleh dari

Stasiun Head Quarter (HQ) Baung, di kawasan HTI SBAWI, Kabupaten OKI –

Sumatra Selatan. HQ Baung merupakan kantor pusat PT SBAWI terletak pada

koordinat geografis 105,30BT dan 2,740LS. SBAWI memperoleh lisensi untuk

mengelola hutan tanaman industri pada lahan basah di Kabupaten OKI pada tahun

2004. Tanaman HTI yang diusahakan yaitu Acacia crassicarpa.

Untuk lokasi lain di HTI menggunakan data pengamatan periode 1 Januari –

30 April 2010 yang meliputi Stasiun Air Sugihan, Sungai Beyuku, Bagan Rame,

Sungai Penyabungan, Lebong Hitam, Sungai Riding, Teluk Pulai, dan Teluk

Daun. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1 dan lokasi terletak sekitar

dua jam perjalanan melalui sungai dari Kota Palembang

(31)

3.2. Bahan dan Alat

Penelitian ini menggunakan seperangkat alat (software dan hardware) sebagai berikut:

e. Logger HIOKI 3641

f. Logger Decagon Em50

g. TD Diver

h. Meteran

Untuk membangun sistem berbasis spasial, peta yang dibutuhkan yaitu: peta batas

HTI, peta distrik HTI dan peta lokasi stasiun pengamatan. Logger Hioki

digunakan untuk monitoring suhu udara maksimum. Logger Decagon Em50

digunakan untuk mengukur curah hujan dan kadar air tanah, sedangkan TD Diver

digunakan untuk mengukur kedalaman muka air tanah.

3.3. Monitoring Data Cuaca, Kandungan Air Tanah dan Water

Pengembangan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan di HTI-SBAWI

memerlukan seperangkat alat yang telah dijelaskan pada Sub Bab 3.2. Alat-alat

tersebut dilengkapi dengan sensor dan logger yang mampu memonitor data pengamatan dengan resolusi satu jam. Data pengamatan tersebut diunduh setiap

bulan untuk diolah dalam MS. Excel agar mendapatkan format data yang

diinginkan. Data pengamatan diolah berdasarkan bulan pengamatan. Data curah

hujan diakumulasikan selama periode 24 jam (00.00 – 23.00) untuk mendapatkan

data curah hujan harian pada hari tersebut. Suhu udara maksimum pada hari

tersebut digunakan sebagai input model KBDI yang diperoleh dengan mencari

suhu tertinggi yang terjadi selama periode 24 jam. Data ketinggian muka air

tanah dan kadar air tanah yang digunakan yaitu data pada pengamatan pukul 23.00

sebagai data input model untuk hari tersebut. Data tersebut diolah dalam MS.

(32)

Untuk lokasi pengamatan di distrik lain dalam HTI-SBAWI menggunakan

peralatan manual. Data curah hujan diamati dengan ombrometer dengan waktu

pencatatan pada pukul 07.00 waktu setempat. Data kedalaman muka air tanah

diukur dengan meteran pada pukul 07.00 waktu setempat. Sedangkan suhu udara

maksimum diukur dengan termometer pada pukul 13.30 waktu setempat.

3.4. Pengembangan Model Modified-KBDI

a. Model KBDI Lahan Basah

KBDI dikembangkan dengan asumsi defesiensi kelembaban tanah

tergantung pada evapotranspirasi (Keetch dan Byram 1968). Besarnya

kelembaban tanah tergantung pada dua variabel yaitu suhu udara maksimum dan

curah hujan tahunan. KBDI dapat menjadi prediktor kebakaran hutan yang tidak

akurat pada kondisi iklim dan tanah yang berbeda dari Florida. Liu et al. (2010a,

2010b) mengindikasikan formulasi dalam penghitungan perlu dikaji untuk

daerah dengan kondisi iklim berbeda mengingat tingkat kekeringan (drying rate) sebagai fungsi dari curah hujan tahunan berbeda-beda untuk tiap lokasi. Reardon

et al. (2009) memberikan argumen keterbatasan model KBDI yaitu hanya

bergantung pada parameter meteorologi semata, sehingga sensitifitas KBDI

terhadap tanah dan pengaruh hidrologi menjadi terbatas. Pada kasus lahan basah

di North Carolina, Reardon et al. (2009) menyebutkan kelembaban tanah dan muka air tanah inkonsisten dengan potensi kebakaran hutan.

Penelitian ini dilakukan di lahan basah dimana posisi muka air tanah dekat

dengan permukaan tanah. Adanya pengaruh kenaikan air kapiler menyebabkan

kelembaban tanah akan meningkat apabila posisi muka air tanah dekat dengan

permukaan. Sebaliknya kelembaban tanah berkurang dengan penurunan muka air

tanah. Melihat fenomena tersebut, Setiawan et al. (2009) menambahkan faktor

kedalaman muka air tanah (variable ) sebagai pengaruh muka air tanah

terhadap kelembaban tanah. Faktor berperilaku seperti curah hujan yang

(33)

……… Pers. 5

Faktor muka air tanah dihitung dengan Persamaan 6 - 8.

……… Pers. 6

. ……… Pers. 7

……… Pers. 8

Dimana, adalah kadar air tanah basis volume (m3/m3). Paramaeter dan

adalah parameter baru untuk faktor .

Tabel 4 menampilkan perkembangan nilai dari parameter . Untuk

penelitian ini, parameter-parameter tersebut diperoleh melalui proses optimasi.

Selanjutnya dihitung menggunakan Persamaan (4). Faktor curah hujan ( )

dihitung dengan dua cara (Tabel 5) yaitu menggunakan metode Crane (1982) dan

metode yang dikembangkan oleh Setiawan et al. (2009).

Tabel 4. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan KBDI

Parameter

Unit: British Metric Metric Metric

800 203,2 2000 2000

0,9680 0,9680 0,9680 Optimasi

0,0486 0,0875 0,0875 Optimasi

0,8300 8,3000 8,2990 Optimasi

- 1,5552 1,5552 Optimasi

10,8800 10,8800 10,8800 Optimasi

0,0441 0,001736 0,001736 Optimasi

(34)

Tabel 5. Metode untuk menghitung faktor hujan dan muka air tanah

Catatan: parameter , , dan diperoleh melalui proses optimisasi.

b. Optimisasi Parameter dan Kalibrasi Model KBDI

Penghitungan KBDI menggunakan parameter-parameter model yang

dirangkum dalm Tabel 4 dan 5. Dalam proses perhitungan, nilai parameter model

Buchholz dan Weidemenn (2000, Tabel 4) digunakan sebagai nilai default model untuk proses optimisasi parameter. Sedangkan untuk nilai parameter muka air

tanah

(

, ), menggunakan pendekatan trial error untuk mendapatkan angka

yang mendekati curah hujan maksimum selama tahun tersebut. Nilai indeks yang

diperoleh dari Persamaan (5) perlu diverifikasi dengan data pengukuran

kandungan air tanah. Hubungan antara kadar air tanah dengan indeks kekeringan

dinyatakan dengan Persamaan (9).

. ……… Pers. 9

dimana adalah kadar air tanah (m3/m3), kadar air residual (didekati dengan

titik layu permanen, besarnya= 0.3205 m3/m3), kadar air pada kondisi jenuh

(besarnya 0.634 m3/m3), adalah nilai maksimum indeks sebesar 2000.

Optimasi parameter dengan menggunakan Solver dalam Ms. Excel 2003

dilakukan untuk memperoleh yang memberikan beda nilai terkecil atau Root

Mean Squared Error (RMSE) dengan . Proses kalibrasi nilai indeks dilakukan

dengan mencari hubungan linear antara dan sehingga diperoleh nilai

intersepsi (a) dan slope (b) yang digunakan untuk menghitung KBDI kalibrasi

(Persamaan 10).

(35)

merupakan nilai KBDI di lokasi penelitian HTI-SBAWI yang diklasifikasikan

menjadi empat kriteria tingkat bahaya kebakaran seperti yang dijelaskan oleh

Buchholz dan Weidemenn (2000) pada Tabel 6. Nilai indeks maksimum sebesar

2000 yang menunjukkan tanah dalam keadaan kering.

Tabel 6. Kelas Indeks Bahaya Kebakaran

Kelas Minimum Maksimum Kriteria

1 0 999 Rendah

2 1000 1499 Sedang

3 1500 1749 Tinggi

4 1750 2000 Ekstrim

3.5. Pengembangan Sistem Informasi FDRS

a. Desain Sistem Informasi FDRS

Pengembangan sistem informasi FDRS untuk lokasi di HTI-SBAWI,

Kabupaten OKI menggunakan indeks kekeringan KBDI. KBDI yang digunakan

telah dimodifikasi oleh Setiawan et al. (2009) untuk lokasi lahan basah. Aspek penting dalam desain sistem FDRS yaitu interaksi dengan pengguna yang akan

memanfaatkan sistem tersebut. Informasi yang ada dalam sistem harus relevan

dengan keperluan pengguna dan format yang disusun sesuai dengan yang

dibutuhkan (Fraisse et al. 2006). Tidak semua proses pengembangan sistem FDRS

melibatkan pengguna seperti dalam proses optimisasi parameter model KBDI.

Pengembangan sistem informasi FDRS didesain untuk menyediakan informasi

sebagai berikut:

 Basisdata cuaca dan hidrologi tiap stasiun

 Informasi spasial bahaya kebakaran, curah hujan, suhu udara maksimum dan kedalaman MAT.

 Informasi grafik harian KBDI, curah hujan, suhu udara maksimum dan

kedalaman MAT.

 Fasilitas untuk updating data pengamatan yang dapat diperbarui setiap hari.

b. Sistem Informasi FDRS

Sistem ini dibangun dengan menggunakan bahasa pemograman Visual

(36)

Map Object 2.0. Sistem Informasi FDRS terdiri dari; (1) modul utama, (2) modul

update data, (2) modul grafik, (3) modul tabel data dan, (4) modul spasial. Modul

update data berisi tentang informasi stasiun pengamatan dan fasilitas pengisian

data curah hujan, suhu udara maksimum dan kedalaman muka air tanah harian.

Dalam modul ini, proses perhitungan KBDI dikerjakan untuk tiap stasiun. Modul

grafik menyajikan informasi visual grafik suhu udara, curah hujan, muka air tanah

dan KBDI time series harian. Modul tabel data menyajikan informasi tabulasi perhitungan KBDI. Terakhir, modul spasial digunakan untuk proses interpolasi

data. Interpolasi data dilakukan dengan menggunakan metode IDW. Dalam

membangun Dynamic Drought Index Tool untuk North Carolina dan South Carolina, Dow et al. (2009) mengemukakan metode IDW menghasilkan distribusi frekwensi kekeringan yang lebih konsisten daripada metode lain. Dow et al.

(2009) tidak merinci metode interpolasi yang digunakan dan diperbandingkan.

Prinsip dari sistem informasi FDRS yang dibangun sebagai berikut:

i. Pembangunan basisdata.

Data pengamatan tiap stasiun disusun dalam format text dengan susunan

urutan data sebagai berikut: tanggal, curah hujan, suhu udara maksimum,

dan kedalaman muka air tanah. Data ini disimpan dalam format text dengan

nama “data + nama stasiun”

ii. Penyiapan peta kerja.

Peta kerja menggunakan dua peta dasar yaitu peta batas HTI dan peta lokasi

stasiun. Peta kawasan HTI dalam format shapefile seluas 479400 Ha

disusun dalam format grid 1 km2. Proses ini menghasilkan 4794 grid yang

kemudian tiap grid diberi atribut koordinat grid (X,Y). Tiap lokasi stasiun

pada peta lokasi stasiun juga diberi atribut koordinat grid (X,Y).

iii. Pembangunan Sistem Informasi FDRS.

Sistem informasi FDRS dibangun dan dikembangkan dengan perangkat

(37)

iv. Perhitungan model KBDI di lahan basah.

Proses perhitungan dikerjakan dengan sistem informasi FDRS yang telah

dikembangkan. Model KBDI yang telah dihasilkan untuk lokasi Stasiun HQ

Baung digunakan dalam penghitungan KBDI di stasiun lain di seluruh

kawasan HTI-SBAWI. Sistem didesain secara otomatis untuk menghitung

KBDI jika ada input data baru. Tabulasi data perhitungan disimpan dalam

format text dengan nama stasiun yang bersangkutan. Data ini digunakan

dalam proses-proses selanjutnya termasuk dalam proses interpolasi.

v. Proses interpolasi data.

Prinsip proses interpolasi yang dibangun yaitu memanggil tabulasi

perhitungan KBDI kalibrasi (prinsip iv) untuk tiap stasiun berdasarkan

tanggal dan variabel yang dipilih. Setelah data terpilih, proses interpolasi

dikerjakan dengan metode IDW untuk menghasilkan peta KBDI, peta curah

hujan, peta suhu udara maksimum, dan peta kedalaman muka air tanah.

Hasil interpolasi disimpan dengan nama “variabel & tanggal.shp”.

vi. Tampilan data.

Modul KBDI menampilkan data dalam tiga format yaitu: peta, tabel, dan

grafik. Format peta menampilkan distribusi spasial tiap variabel. Format

tabel menampilkan tabulasi perhitungan KBDI, dan format grafik

menyajikan grafik harian tiap variabel. Untuk peta sebaran KBDI, legenda

peta dikelompokkan menjadi empat berdasarkan kelas indeks kebakaran

seperti pada Tabel 6.

(38)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

a. Curah Hujan

Hasil pengamatan curah hujan harian di Stasiun pengamatan HQ Baung

pada periode 1 April 2009 – 11 Mei 2010 diperoleh curah hujan yang tinggi. Total

curah hujan selama 406 hari pengamatan yaitu 2854 mm. Secara umum curah

hujan tinggi terjadi pada musim penghujan yaitu periode bulan November – April

mengikuti pola curah hujan monsunal di Indonesia (Gambar 2). Pada bulan-bulan

tersebut curah hujan bulanan melebihi 200 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada

bulan April 2010 sebesar 384 mm. Periode kering terjadi pada bulan Mei –

Oktober 2009 dengan curah hujan bulanan terendah pada bulan September 2009

sebesar 22,6 mm.

 

Gambar 2. Curah hujan bulanan di Stasiun HQ Baung, HTI - SBAWI, OKI – Sumsel. (untuk bulan Mei 2010 hanya 11 hari pengamatan)

Selama periode pengamatan tercatat jumlah hari hujan sebanyak 197 hari.

Sebaran jumlah hari hujan dengan hari hujan terbanyak berdasarkan bulan yaitu

Bulan Desember 2009 dengan 23 hari hujan, Bulan Januari 2010 dengan 21 hari

hujan, dan Bulan Maret 2010 dengan 20 hari hujan. Pada Bulan September 2009,

jumlah hari hujan hanya 3 hari. Curah hujan tertinggi selama pengamatan tercatat

sebesar 107 mm pada tanggal 12 April 2009. Gambar 3(a) menyajikan dinamika

curah hujan di Stasiun HQ Baung untuk periode pengamatan tersebut.

(39)
(40)

b. Suhu Udara Maksimum

Kisaran suhu udara maksimum di Stasiun HQ Baung selama pengamatan

yaitu antara 26.6– 34.90C dengan rata-rata Tmax sebesar 32,50C. Suhu udara

maksimum tertinggi sebesar 34.90C terjadi pada 21 September 2009 dan terendah

sebesar 26.60C pada 8 Januari 2010. Gambar 3(b) menyajikan dinamika suhu

udara maksimum harian di Stasiun HQ Baung.

c. Kadar Air Tanah (KAT)

KAT di Stasiun HQ Baung berfluktuasi pada kisaran 0,289 m3/m3 hingga

0,627 m3/m3. KAT tertinggi terjadi pada tanggal 9 April 2009 dan terendah pada

tanggal 3 Oktober 2009. Pada bulan-bulan basah KAT mendekati KAT jenuh

sebesar 0,634 m3/m3, sedangkan pada bulan-bulan kering KAT mendekati level

titik layu permanen. Bahkan, level KAT pernah di bawah titik layu permanen

seperti KAT pada tanggal 1 – 4 Oktober 2009. Dinamika KAT di HQ Baung

selama pengamatan disajikan pada Gambar 3(c).

d. Muka Air Tanah (MAT)

MAT di Stasiun HQ Baung berfluktuasi hingga kedalaman 1 m. Selama

periode pengamatan, ditemukan penyimpangan pada kedalaman MAT seperti

yang terjadi pada tanggal 4 Agustus 2009 dimana kedalaman MAT hingga lebih

dari 1 m. Disebut sebagai penyimpangan karena kedalaman MAT pada 3 Agustus

2009 yaitu 0,6 m dan kedalaman MAT pada 5 Agustus 2009 yaitu 0,63 m.

Perubahan drastis MAT untuk lokasi Baung dengan tekstus tanah liat sepertinya

sulit terjadi. Penyimpangan data MAT disebabkan alat ukur MAT berada di atas

permukaan tanah. Kondisi serupa untuk MAT tanggal 22 April 2009. Secara

umum MAT pada musim penghujan akan dekat permukaan tanah dan bahkan bisa

menggenangi tanah. Gambar 3(d) menyajikan dinamika MAT di lokasi HQ Baung

selama periode pengamatan.

4.2. Pengaruh Hujan terhadap Dinamika KAT dan MAT

Curah hujan sangat berpengaruh terhadap KAT dan MAT. Fluktuasi

keduanya sangat dipengaruhi oleh dinamika curah hujan yang turun dan

(41)

mendekati level jenuh hingga mencapai KAT 0,627 m3/m3,sedangkan MAT dekat

permukaan tanah hingga pada kedalaman 0,1 m. KAT mulai berkurang dengan

berakhirnya musim penghujan di bulan Mei 2009. Bahkan KAT mencapai titik

layu permanen pada tanggal 12 September 2009 sebesar 0,32 m3/m3. Selanjutnya

KAT meningkat menjadi 0,335 m3/m3 pada tanggal 15 September 2009 dengan

adanya hujan sebesar 10,2 mm. KAT kemudian mencapai titik terendah sebesar

0,289 m3/m3 pada tanggal 3 Oktober 2009. Dengan adanya hujan sebesar 2 mm (4

Oktober 2010), KAT naik menjadi 0,299 m3/m3. Selanjutnya hujan hari

berikutnya sebesar45,6 mm (5 Oktober 2009) menyebabkan KAT naik menjadi

0,415 m3/m3 dan MAT naik dari -0,744 m menjadi -0,125 m.

Dengan masuknya musim hujan, KAT selalu berada diatas 0,4 m3/m3.

Sedangkan pada musim hujan, MAT meningkat hingga terjadi genangan seperti

pada tanggal 31 Desember 2009 genangan mencapai 0,139 m.

4.3. Parameter Model KBDI di Lahan Basah

Perhitungan KBDI dimulai pada KAT maksimum terukur yaitu pada tanggal

9 April 2010. Pada tanggal tersebut KAT sebesar 0.627 m3/m3 atau setara dengan

indeks kekeringan sebesar 43. Secara konseptual Keetch dan Byram (1968)

menyarankan perhitungan KBDI dimulai pada KBDI 0 yaitu pada kondisi curah

hujan mingguan lebih dari 150 mm. Penelitian ini memulai perhitungan KBDI

dengan KBDI awal sebesar 43 ( ) pada kondisi kadar air tanah maksimum

terukur. Angka tersebut diperoleh melalui Persamaan 9 (lihat Bab III, sub bahasan

Metode). Perhitungan KBDI selanjutnya menggunakan Persamaan 5.

Berdasarkan faktor hujan, pengembangan model KBDI menggunakan dua

metode:

a. Model 1 ( = R – 5,1)

Optimasi dengan Solver dalam Ms. EXCEL antara dengan

menghasilkan nilai RMSE sebesar 16 dengan R2 sebesar 0,694. Hasil

optimasi parameter model KBDI disajikan pada Tabel 7. Secara

umum, parameter untuk menghitung tidak banyak berubah seperti

parameter aT berubah dari 0,968 menajdi 1,1714. Hasil optimasi

(42)

( ) wilayah Baung, OKI (Persamaan 11). Persamaan (12) selanjutnya

digunakan untuk menghitung KBDI Model 1 di Sungai Baung. Data

untuk Model 1 disertakan pada Lampiran 2.

, , , ,

, , ……Pers. 11

, …..… Pers. 12

b. Model 2 [ = ]

Optimasi dengan Solver dalam Ms. EXCEL antara dengan

menghasilkan nilai RMSE sebesar 14 dengan R2 sebesar 0,7546 (lihat

Tabel 7). Hasil optimasi parameter model KBDI disajikan pada Tabel

7. Hasil optimasi menghasilkan persamaan baru untuk menghitung

faktor kekeringan ( ) wilayah Baung, OKI (Persamaan 13).

Persamaan (14) selanjutnya digunakan untuk menghitung KBDI model

2 di Sungai Baung. Data untuk Model 1 disertakan pada Lampiran 3.

, , , ,

, , …Pers. 13

, 6 …… Pers. 14

Optimasi parameter model KBDI memberikan nilai parameter yang

berbeda. Untuk Model 2, parameter (yaitu sebesar 0,001, Tabel 7) dalam

perhitungan (lihat Persamaan 13) cenderung meminimalkan peranan suhu

udara maksimum dibandingkan dengan parameter (0,0572) pada Model 1.

Nilai maksimum untuk Model 1 yaitu 80, sedangkan Model 2 yaitu 62. Angka

ini menunjukkan Model 1 lebih sensitif terhadap perubahan suhu udara

maksimum.

Pada penghitungan untuk Model 2, nilai maksimum dari yaitu 26 dan

nilai minimum yaitu 0. Nilai maksimum yaitu pada saat curah hujan

(43)

Model 1 yang memberikan sebagai curah hujan netto sebesa 101,9 pada saat curah hujan mencapai 107 mm. Dengan demikian Model 2 cenderung untuk

mengurangi pengaruh curah hujan terhadap kelembaban tanah. Gambar 4

menyajikan hubungan antara faktor curah hujan ( dengan curah hujan. Pada Model 1, nilai berbanding lurus dengan besarnya curah hujan. Sedangkan pada

Model 2 nilai cenderung bertambah secara eksponensial terhadap jumlah curah

hujan pada hari tersebut.

Tabel 7. Hasil optimasi parameter KBDI

Parameter Buchholz dan

Weidemenn (2000)

Penelitian ini

Variabel Model 1 Model 2

2000 2000 2000

0,9680 1,1714 0,6995

0,0875 0,0572 0,0010

8,3000 8,2750 8,2954

1,5552 1,7588 3,9932

10,8800 10,8804 10,8800

0,001736 0,0046 0,0079

  - - 106,9342

Hasil optimasi pada Model 1 memberikan nilai parameter baru untuk

variable dimana parameter dan berturutan bernilai 120 dan 0,216.

Faktor muka air tanah ( ) memberikan pengurangan maksimum sebesar 102

setara dengan pengurangan maksimum KBDI karena faktor hujan. Kondisi ini

terjadi pada tanggal 11 April 2010 dimana terjadi genangan setinggi 4,6 cm.

(44)

Model 2 memberikan nilai yang relatif setara dengan Model 1. Nilai maksimum

dan minimum dari yaitu 102 dan -21 untuk kedua Model. 

Gambar 4. Grafik hubungan antara dengan curah hujan untuk Model 1 dan Model 2.

Pada MAT dengan kedalaman lebih dari 0.659 m (lihat Gambar 5),

memberikan nilai negatif sehingga berdampak pada nilai KBDI semakin

meningkat. Nilai ini dapat memberikan jawaban bagaimana cara menjaga hutan

dari bahaya kebakaran. Jika dalam pengelolaan hutan mampu mempertahankan

kedalaman MAT di atas -0,659 m, maka kemungkinan bahaya kebakaran hutan

akan berkurang. Angka -0,659 m merupakan kedalaman kritis untuk pengelolaan

air pada lahan basah.

(45)

4.4. KBDI Harian S. Baung

Nilai KBDI untuk Model 1 meningkat secara alami dengan datangnya

musim kemarau dan turun dengan datangnya musim penghujan. Berdasarkan

kriteria bahaya kebakaran seperti pada Tabel 6, KBDI Baung terbagi menjadi 4

kelas (Lihat Gambar 6). Nilai KBDI mencapai maksimum 2000 pada tanggal 4

Oktober 2009 dimana kadar air tanah terendah kedua yaitu 0,299 m3/m3. Adanya

hujan deras sebesar 45,6 mm pada hari berikutnya mampu mengurangi KBDI

hingga turun menjadi 1892. Sejak 22 November 2009 nilai KBDI tergolong dalam

kelas bahaya kebakaran Rendah (lihat Tabel 9).

Gambar 6 menyajikan dinamika KBDI untuk daerah HQ Baung. Model 2

cenderung memberikan nilai KBDI yang lebih rendah dari Model 1. Hal ini dapat

disebabkan nilai pada Model 1 lebih besar dari Model 2. Dengan peningkatan

suhu udara maksimum harian, maka Model 1 akan lebih sensitif untuk merespon

perubahan tersebut dengan peningkatan nilai dibanding dengan Model 2.

Untuk mencapai kelas KBDI Sedang, Model 1 memerlukan waktu 96 hari

sedangkan Model 2 memerlukan waktu yang lebih panjang yaitu 106 hari (lihat

Tabel 9 dan 10). Model 1 hanya memerlukan waktu 147 hari untuk mencapai

kelas KBDI Ekstrim. Sedangkan Model 2 memerlukan waktu 151 hari.

(46)

KBDI mencapai kelas Ekstrim pada bulan September. Hal ini dapat

difahami mengingat curah hujan di bulan Agustus sangat rendah (lihat Gambar 3).

Total curah hujan di Bulan Agustus yaitu 30,4 mm. Total curah hujan di Bulan

September hanya 22.6 mm sehingga nilai KBDI terus meningkat ke kelas bahaya

kebakaran Ekstrim.

Tabel 8. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 1

Kelas KBDI Periode I (hari) Periode II (hari) Total

Rendah 9 Apr – 13 Jul 2009 (96) 22 Nov 2009 – 11 Mei 2010 (171) 267

Sedang 14 Jul – 13 Agu 2009 (31) 13 Okt – 21 Nov 2009 (40) 71

Tinggi 14 Agu – 2 Sep 2009 (20) 8 – 12 Okt 2009 (5) 25

Ekstrim 3 Sep – 7 Okt 2009 (35) 35

Tabel 9. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 2.

Kelas KBDI Periode I (hari) Periode II (hari) Tot

al

Rendah 9 Apr – 23 Jul 2009 (106) 22 Nov 2009 – 11 Mei 2010 (171) 277

Sedang 24 Jul – 20 Agu 2009 (28) 14 Okt – 21 Nov 2009 (39) 67

Tinggi 21 Agu – 6 Sep 2009 (17) 9 – 13 Okt 2009 (5) 22

Ekstrim 7 Sep – 7 Okt 2009 (32) 32

Tabel 10. Jumlah kelas bahaya kebakaran Model 1 dan Model 2.

Kelas KBDI Model 1 Model 2

Jumlah hari Prosentase (%) Jumlah hari Prosentase (%)

Rendah 267 67 277 70

Sedang 71 18 67 17

Tinggi 25 6 22 6

Ekstrim 35 9 32 8

Tabel 10 menyajikan proporsi kelas bahaya kebakaran. Secara umum, lokasi

penelitian di Sungai Baung tergolong ke dalam kelas KBDI Rendah yaitu

sebanyak 267 hari (Model 1) dan 277 hari (Model 2). Kondisi rentan terhadap

kebakaran hutan (Kelas KBDI Tinggi dan Ekstrim) hanya sebesar 15% (Model 1)

(47)

a. Pengaruh hujan terhadap KBDI

Hujan memberikan pengaruh pada penurunan nilai KBDI. Dalam periode

waktu, penurunan KBDI dapat berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin

hanya sesaat saja. Pada musim penghujan, pengaruh hujan menyebabkan tingkat

bahaya kebakaran KBDI di HQ Baung pada level yang aman (rendah). Sebaliknya

pada musim kemarau pengaruh hujan hanya bersifat sesaat (beberapa hari) dalam

menurunkan KBDI seperti pada kejadian hujan 5 Juli 2009 sebesar 46 mm tidak

mampu menahan laju KBDI ke tingkat selanjutnya. Kondisi serupa dengan

kejadian hujan pada tanggal 26 Juli 2009 yang tidak mampu menahan laju KBDI

untuk masuk ke kelas bahaya kebakaran Tinggi.

Rendahnya curah hujan di Bulan Agustus yaitu sebesar 30,4 mm

menyebabkan nilai KBDI pada level Tinggi (> 1500) dan bahkan di akhir bulan,

kelas bahaya kebakaran termasuk kelas Ekstrim. Bulan September merupakan

puncak kekeringan yang ditunjukkan dengan nilai KBDI di atas 1750 sepanjang

hari. Nilai KBDI mencapai intensitas maksimum 2000 pada tanggal 4 Oktober

2009. Pada tanggal 5 Oktober 2009 nilai KBDI turun dengan adanya hujan

sebesar 46 mm. Pengaruh serupa ditunjukkan dengan adanya hujan sebesar 44

mm pada tanggal 8 Oktober 2009. Kedua curah hujan ini merupakan curah hujan

buatan yang sangat signifikan dalam menurunkan nilai KBDI ke level yang lebih

rendah. Dengan masuknya musim penghujan, nilai KBDI berada pada level yang

aman (rendah) mulai tanggal 22 November 2009.

b. Pengaruh Kedalaman MAT Terhadap KBDI

Dinamika KBDI di lahan basah sangat dipengaruhi oleh dinamika MAT

sepanjang tahun. Pada musim-musim penghujan dengan kondisi kedalaman MAT

yang dekat dengan permukaan, nilai KBDI pada posisi kelas bahaya kebakaran

Rendah. Sebaliknya pada musim kemarau dengan kondisi MAT jauh dari

permukaan menyebabkan nilai KBDI cenderung pada kelas bahaya kebakaran

Tinggi dan Ekstrim. Pengaruh kedalaman MAT terhadap KBDI dinyatakan

dengan faktor MAT ( ).

Nilai faktor MAT pada rentang angka -21 hingga 102 tergantung pada

(48)

MAT yang tidak berpengaruh terhadap nilai KBDI yaitu pada kedalaman MAT

0,659 m. Pada kedalaman ini nilai adalah 0. Jika MAT lebih dalam maka akan

menyebabkan peningkatan nilai KBDI sebaliknya jika MAT lebih dangkal maka

akan terjadi penurunan KBDI yang proporsional dengan nilai . Pada periode

pengamatan tanggal 10 Agustus 2009 hingga 4 Oktober 2009, kedalaman MAT

melebihi 0,695 m. Pada kondisi ini, faktor MAT bernilai negatif (-) sehingga

semakin meningkatkan nilai KBDI. Puncaknya Nilai KBDI mencapai indeks

2000 yaitu pada tanggal 4 Oktober 2009. Setelah periode ini MAT lebih dekat

dengan permukaan sehingga nilai KBDI pada akhir pengamatan pada level bahaya

kebakaran yang aman.

c. Kurva Intensitas waktu (time intensity curve)

Informasi penting dari dinamika KBDI sebagaimana tersaji pada Tabel 8

dan 9 dan yaitu kapan kriteria Tinggi dan Ekstrim akan tercapai setiap tahunnya.

Informasi tersebut sangat penting untuk perencanaan pengelolaan hutan yang

lesatari. Dinamika KBDI harian memberikan informasi laju peningkatan KBDI

per hari. Gambar 7 menjelaskan teknik untuk mendapatkan laju peningkatan

(onset rate) KBDI yaitu dengan metode kurva intensitas-waktu untuk Model 1.

Kurva ini memberikan informasi intensitas KBDI maksimum, waktu yang

diperlukan untuk mencapai intensitas KBDI maksimum (T-max), waktu yang

diperlukan untuk mencapai 50% dari intensitas KBDI maksimum (T50 inc), waktu

yang diperlukan untuk mencapai 75% dari intensitas KBDI maksimum (T75 inc),

dan waktu yang diperlukan untuk mencapai 25% dari intensitas KBDI maksimum

(T25 inc). Laju peningkatan KBDI dihitung dengan:

Laju peningkatan KBDI= KBDI max * 0,5/( T75 inc – T25 inc)

= 2000*0,5 (128-46) = 12/hari

Informasi laju peningkatan KBDI sebesar 12 /hari memberikan prediksi

waktu tempuh KBDI di setiap tingkatan bahaya kebakaran. Sebagai ilustrasi,

misalkan pada suatu hari nilai KBDI adalah 1000, maka untuk mencapai kriteria

bahaya kebakaran Tinggi memerlukan waktu tempuh 41 hari, dan untuk mencapai

(49)

tersebut, pihak pengelola hutan dapat menyiapkan logistik untuk menghadapi

kemungkinan kebakaran dalam waktu 41 hari ke depan.

 

Gambar 7. Kurva intensitas waktu KBDI harian di Sungai Baung untuk Model 1

4.5. Aspek Pengelolaan Air Terkait KBDI

Faktor yang berpengaruh terhadap KBDI lahan basah yaitu curah hujan,

suhu udara maksimum, dan kedalaman MAT. Dua peubah yang disebutkan lebih

dulu adalah bersifat pemberian (given) yang tidak bisa diubah dan dikelola. Sehingga dalam aplikasi di lapangan, pengelola hutan tidak bisa mengatur dan

merencanakan kegiatan antisipasi kebakaran dengan baik mengingat kedua

peubah tersebut tidak dapat dikelola. Dalam tataran praktis pengelola hutan selalu

berharap hujan akan segera turun untuk mengurangi bahaya kebakaran hutan yang

akan terjadi.

Kedalaman MAT merupakan peubah yang dapat dikelola oleh pengelola

hutan secara baik. Gambar 5 memberikan ilustrasi pengaruh MAT dalam

(50)

sebesar 0,659 m. Pada kedalaman lebih dari nilai kritis, maka nilai KBDI akan

meningkat dan sebaliknya.

Secara teoritis, MAT dapat dikendalikan melalui proses irigasi dan drainase

yang dirancang dengan benar dan tepat untuk mengendalikan kebakaran hutan di

HTI-SBAWI. Pada musim kemarau Mei - Oktober, curah hujan sangat sedikit

sehingga MAT lebih dalam. Aktivitas pengelolaan hutan ditinjau dari aspek

pengelolaan air disajikan pada Tabel 11. Pada musim penghujan, aktivitas

drainase diperlukan untuk mengurangi air di lahan agar pertumbuhan dan

perkembangan tanaman tetap terjaga. Bendung-bendung dibuka untuk

mengalirkan air ke sungai. Jika level KBDI meningkat ke kelas bahaya kebakaran

Sedang, maka tindakan yang harus dilakukan yaitu mengatur ketinggian water

level di kanal pada ketinggian tertentu yang tidak membahayakan perkembangan

tanaman misal pada kedalaman 0,5 m. Harapannya kedalaman MAT masih dekat

dengan permukaan. Kedalaman water level juga bisa lebih tinggi lagi untuk mengantisipasi peningkatan KBDI di musim kemarau yang berlangsung mulai

bulan Mei. Dengan laju peningkatan KBDI sebesar 12 /hari hanya memerlukan

waktu 41 haru untuk mencapai kelas Tinggi, maka pengaturan water level di kanal

sangat penting untuk mencegah aliran air bawah tanah dari lahan. Sehingga MAT

bisa dipertahankan di atas kedalaman kritis.

Pada musim kemarau, kegiatan pengelolaan air yang dapat dilakukan yaitu

dengan pembendungan kanal untuk mempertahankan water level di kanal yang mampu menahan laju aliran air bawah tanah dari lahan. Kegiatan lainnya yaitu

irigasi ke lahan dengan cara mengalirkan air dari Sungai-sungai di sekitar dan

kawasan HTI-SBAWI ke kanal-kanal yang telah di bendung. Kegiatan ini

diharapkan mampu meningkatkan muka air di kanal yang akan berdmpak pada

peningkatan MAT di lahan. Taknik terakhir yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan MAT yaitu di lahan sekaligus menurunkan nilai KBDI yaitu

dengan curah hujan buatan. Kegiatan ini dilakukan di HTI-SBAWI yaitu pada

tanggal 5 – 8 Oktober 2009 yang efektif menurunkan nilai KBDI dari kelas

Gambar

Tabel 2. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan
Tabel 3. Perkembangan nilai faktor hujan dalam KBDI
Gambar 1.  Peta lokasi HTI-SBAWI di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan.
Tabel 4. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan KBDI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa LKPD biotenologi konvensional Berbasis Ecopreneurship untuk melatihkan berpikir kreatif dan

"Tujuan kita adalah mendorong pelaksanaan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Moratorium Hutan Alam dan Gambut dapat ditindaklanjuti dengan peraturan teknis yang mengikat dan

Efek kenaikan tebal pelat dan interaksinya dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kenaikan distorsi sudut pada hasil lasan arah longitudinal dan transversal,

Persentase penurunan padat populasi Aedes aegypti hasil penangkapan nyamuk yang istirahat di dalam rumah di daerah perlakuan (Perumnas Mapagan) dan kontrol

Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM), selama 2014 OJK telah melakukan pengawasan terhadap kegiatan pasar modal berupa

kesetimbangan dalam larutan jenuh dari larutan elektrolit yang sukar larut dalam air dan hubungan antara kelarutan dengan hasil kali kelarutan  Guru bersama siswa membahas

Tujuan dari terwujudnya aplikasi ini adalah pengguna dapat mengevaluasi kegiatan olahraga bersepeda mereka dengan mengetahui hasil aktivitasnya selama bersepeda,

Menganalisis hubungan antara organ dengan fungsinya pada sistem gerak, sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan mengaitkan dengan bioprosesnya serta gangguan fungsi yang mungkin