• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan hak dan hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz ( analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat perkara nomor 228/pdt.g/2009/pa.jb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penetapan hak dan hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz ( analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat perkara nomor 228/pdt.g/2009/pa.jb)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI ANAK BELUM MUMAYIZ

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

NOVA ANDRIANI

NIM: 107044200445

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

ANAK BELUM MUMAYIZ

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

NOVA ANDRIANI

NIM: 107044200445

Dibawah Bimbingan: Pembimbing

Dr. Abdurrahman Dahlan, MA NIP: 19581110 198803 1001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI ANAK BELUM MUMAYIZ (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat

Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)”, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam.

Jakarta, 24 Mei 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH.,MA.,MM NIP. 19550505 198203 1012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH.,MA

NIP. 19500306 197603 1001 : (...)

Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA

NIP. 19690610 200312 2001 : (...)

Pembimbing : Dr. Abdurrahman Dahlan, MA

NIP. 19581110 198803 1001 : (...)

Penguji I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA NIP. 19760807 200312 1001 : (...)

Penguji II : Mu’min Rouf, M.Ag

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2011

Nova Andriani

(5)

i

KATA PENGANTAR





Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan

kita baginda Rasul yang mulia, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan

seluruh umat Islam yang selalu menjaga sunnah dan mengamalkannya semoga kita

mendapat syafa’atnya di akhirat kelak.

Atas berkah dan rahmat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang

diharapkan, patutlah rasa syukur penulis panjatkan kepada-Nya serta rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan perkuliahan di fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat rampung tanpa adanya

bantuan orang lain yang begitu berharga dan bermakna bagi penulis, dengan

demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis menghaturkan rasa hormat dan

ucapan terima kasih kepada:

(6)

ii

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin

Hidayat, MA.

2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM beserta segenap pimpinan, karyawan,

dan staf yang berdedikasi tinggi dan sepenuh hati memberikan nasihat-nasihat

yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada

Mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil,

SH., MA., Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Ibu Hj. Rosdiana,

MA, serta Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA

yang tiada henti memberikan dukungan, motivasi, serta bimbingan demi

kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Pembimbing skripsi, Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA yang senantiasa ikhlas

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau selalu dalam lindungan dan

rahmat Allah SWT.

5. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat, Bapak Drs. H. Musfizal Musa, SH., MH

berserta seluruh staf jajarannya baik Panitera, Panitera Muda Hukum yang telah

memberikan penulis izin untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama

penulis mengadakan penelitian. Para hakim, khususnya kepada Ibu Dra. Ida

(7)

iii

membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam

penyusunan skripsi ini.

6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan selama penulis belajar di kampus tercinta, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang banyak membuka cakrawala dan wacana berpikir penulis. Tidak lupa

juga teruntuk Habib Zein Ali Al-Jupri, Umi Syifa, para guru penulis dari masa

kecil sampai sekarang yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Serta para

Asatidz/Asatidzah MAKN Surakarta. Terima kasih atas segala keiklasan dalam

mencurahkan ilmunya kepada penulis. Serta pihak-pihak terkait, para pimpinan

dan staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum,

Perpustakaan Fakultas Dirasat Islamiyah, dan Perpustakaan Lentera Hati yang

telah memberikan fasilitas dan membantu penulis mencari data demi

terselesaikannya skripsi ini.

7. Rasa Ta’zhim dan terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Sukirno dan Ibunda tercinta Waginah yang telah memberikan motivasi, dukungan moril dan

materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, kasih sayang serta doa munajatnya yang

tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan

kesuksesan dalam penyelesaian studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah

mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.

8. Mbak-mbkku tercinta, Susilowati, SE, Dwi Hartini, ST, dan Tri Priyantini,

S.Kom, yang telah banyak berkorban demi membantu finansial penulis dalam

(8)

iv

serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga Ananda

dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh

jasamu tiada tara dan semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat

ganda. Dan juga adik-adikku tercinta, Agung Rahmadi dan Kiki Rizki Alfarizi

yang telah memberikan support dan keceriaan dalam setiap kehidupan penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2007 yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang dalam

menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah Dan

Hukum tercinta, semoga ukhuwah islamiyah diantara kita tetap terjaga selamanya.

Dan tidak lupa teruntuk kakak kelasku yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu yang telah banyak memberikan sumbangsih saran dan motivasi dalam

penyelesaian skripsi ini.

10. Teman-teman Pengurus dan Anggota Moot Court Community (MCC) Fakultas

Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, BEM Jurusan Administrasi

Keperdataan Islam, serta kawan-kawan KKN_SCC 2010 yang senantiasa berbagi

cerita, pengalaman, dan wawasan.

11. Teman-teman IKAMAKSUTA RAYA (Ikatan Alumni Madrasah Aliyah

Keagamaan Negeri Surakarta-Jakarta Raya), khususnya yang kuliah di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu siap untuk

berbagi, saling mengingatkan, saling mendoakan, saling support serta saling

(9)

v

Penulis menyadari bahwa masih banyak nama-nama yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, kepada semua pihak yang telah memotivasi dan memberi

inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita dan telah membantu baik

secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima

kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal

ibadah di sisi Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak akan diterima

dengan baik. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Amin.

Jakarta, 6 Mei 2011

Penulis,

(10)

vi

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian... 6

E. Review Studi Terdahulu ... 9

F. Analisis Data ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II HADHANAH ANAK DALAM FIKIH DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Hadhanah ... 15

1. Menurut Fikih ... 15

2. Menurut Hukum Perdata ... 19

3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI... 22

B. Dasar Hukum Hadhanah... 28

C. Syarat-syarat Hadhanah ... 31

D. Pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah ... 34

(11)

vii

2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI... 38

E. Pendapat Ulama Tentang Masa Hadhanah ... 39

BAB III HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat... 44

1. Sejarah Singkat... 44

2. Letak Geografis ... 49

3. Struktur Organisasi... 53

B. Deskripsi/Duduk Perkara... 55

C. Profil Dan Pihak Yang Terlibat... 58

D. Pertimbangan Hukum Hakim... 60

BAB IV TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT TENTANG HAK HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK A. Peranan Hakim Dalam Penyelesaian Perkara Hadhanah Anak.. 65

B. Segi-Segi Persamaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif... 67

C. Segi-Segi Perbedaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 77

B. Saran-Saran... 79

(12)

viii

1. Pedoman Wawancara... 81

2. Hasil Wawancara... 84

3. Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat... 90

4. Keterangan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat... 91

5. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi... 92

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan

berpasang-pasangan agar mereka cenderung satu sama lain, saling menyayangi dan

saling mencintai. Bagi umat Islam terdapat aturan untuk hidup bersama yaitu seperti

yang dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.1

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, menegaskan bahwa perkawinan

adalah akad yang sangat kuat (mitsaqanghalizhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2 Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam

ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah.

Dalam Islam, pernikahan bukanlah semata-mata sebagai kontak keperdataan

biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah Al-Qur‟an sendiri menggambarkan tali

1

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7. 2

(14)

perkawinan itu sebagai tali yang kokoh (mitsaqan ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.3

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah

dalam rangka membina keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Selain itu

juga untuk menghasilkan serta melestarikan keturunan.

Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah hidup rukun, bahagia, dan

tentram. Namun, sebuah kehidupan rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan

baik, ada kalanya keadaan itu tidak baik dan terlebih lagi bisa ke arah pada

perceraian. Walaupun perceraian sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah tetapi

apabila semua cara sudah dilakukan, ternyata tidak bisa dipertahankan maka

perceraian adalah jalan keluarnya.

Berbagai permasalahan timbul akibat terjadinya perceraian, baik

permasalahan harta bersama sampai permasalahan siapa yang lebih berhak mengasuh

anaknya (hadhanah) termasuk mengenai nafkah yang akan diberikan kepada anak tersebut.

Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa Fikih disebut

hadhanah. Dalam Islam, hak mengasuh anak adalah menjadi tanggung jawab yang besar yang harus dijalankan oleh pihak-pihak yang terkait yaitu baik ibu maupun

bapak karena anak adalah titipan sang Khalik yang harus kita rawat, apabila kita tidak

melaksanakan semua itu dengan baik maka kita akan dikenai hukum Allah.

3

(15)

3

Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.4 Sedangkan menurut KHI, anak adalah orang

yang belum genap 21 tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu

untuk berdiri sendiri. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa

depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas

perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Dalam hal pendidikan, orang tua sangat bertanggung jawab dalam hal ini,

karena undang-undang mengamanahkan terhadap orang tua berkewajiban dan

bertanggung jawab terhadap anak. Sebagaimana terdapat pada Pasal 26 ayat (1) huruf

(a) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: “Orang tua berkewajiban

dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi

anak”.5

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf (a), menyebutkan bahwa

dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian, dalam Pasal 156 huruf (a), akibat

putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya.6

4

UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: PT. Citra Umbara, 2003), h.4.

5

Ibid., h. 4. 6

(16)

Dari ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa peranan ibu sangatlah penting

terhadap anak yang belum mumayiz apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian. Adapun siapa yang lebih berhak mengasuh anak yang belum mumayiz, bila kita melihat argumen di atas, maka yang berhak mengasuh anak yang belum mumayiz

adalah pihak ibu.

Pada poin yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya anak yang belum

mumayiz jatuh ke tangan ibu, tapi tidak demikian adanya yang terjadi di Pengadilan Agama. Banyak pihak yang mengajukan perkara tentang hak hadhanah anak setelah terjadinya perceraian, dimana anak merupakan hasil dari perkawinan yang selama ini

mereka jalani bersama serta harus melepaskan ikatan perkawinan dikarenakan

alasan-alasan yang memicu retaknya hubungan perkawinan.

Kemudian, bagaimana majelis hakim yang menangani perkara hak hadhanah

anak sehingga terjadi penetapan hak tersebut, jika anak yang diperebutkan, masih di

bawah umur tidak jatuh ke tangan ibu, melainkan kepada bapak. Tentunya majelis

hakim mempunyai pertimbangan hukum hakim terhadap putusan yang ditetapkan.

Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk diteliti, putusan majelis

hakim, dasar hukum, alasan-alasan serta implikasi lain dalam putusan yang

berkekuatan hukum tetap yang disepakati oleh majelis hakim. Inilah yang menjadikan

(17)

5

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Menyadari karena luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka

penulis membatasi masalah pada Penetapan hak asuh anak (hadhanah) terhadap anak belum mumayiz.

2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya Islam, baik dari nash maupun fikih, pengasuhan anak yang

belum mumayiz berada pada ibu, demikian juga diatur dalam hukum materiil atau undang-undang. Pada kenyataannya anak yang belum mumayiz diputus oleh hakim, bahwa hadhanah anak bisa jatuh kepada bapak. Hal ini yang ingin penulis teliti mengenai putusan hakim terhadap hadhanah anak yang belum mumayiz

yang jatuh kepada bapak terhadap perkara hadhanah di Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

Untuk memecahkan masalah yang ada, maka penulis merumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana metode ijtihad majelis hakim dalam memutuskan perkara hak

hadhanah anak kepada bapak dalam putusan perkara nomor

228/Pdt.G/2009/PA.JB?

2. Apa dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui metode majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan

dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

2. Untuk mengetahui dasar hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara

hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz. Adapun manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan

metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan suatu keputusan.

2. Untuk memperkaya khazanah keilmuan di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum.

D. Metode Penelitian

Metode dalam sebuah penelitian merupakan hal yang penting dan harus

dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur

sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.

Dalam penyusunan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah sebagai

(19)

7

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam

praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus lalu dipelajari

untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu

aturan hukum dalam praktik hukum.7

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian

dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan kualitas sesuai

dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang

berkenaan dengan penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum

mumayiz yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Sedangkan

jenis data yang digunakan yaitu data kualitatif.8

2. Metode Pengumpulan Data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitian berupa data primer dan data sekunder.9 Adapun sumber data yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah:

7

Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur: Baymedia Publising,2006), h. 321.

8

Ibid., h. 45. 9

(20)

a. Data Primer : 1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat perkara

Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

2. Wawancara mendalam (indept interview) terhadap hakim untuk mendapatkan informasi tentang

bagaimana pertimbangan hakim dalam

menetapkan perkara.

b. Data sekunder : 1. Buku-buku dan kitab-kitab yang berkenaan dengan

Hadhanah.

2. Artikel-artikel yang berkaitan baik dari surat kabar

maupun elektronik.

Adapun metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

 Putusan perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB, yaitu teknik pengumpul data

dengan cara meng-copy putusan tersebut kemudian dianalisis oleh penulis.

 Wawancara mendalam (indept interview), yaitu teknik pengumpul data untuk mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan

kepada hakim yang memutus perkara tersebut.10

 Kajian kepustakaan, untuk memahami teori-teori dan konsep yang berkenaan

dengan metode ijtihad hakim melalui berbagai buku dan literatur yang dipandang

mewakili (representative) dan berkaitan dengan obyek penelitian.

10

(21)

9

Obyek dalam penelitian ini adalah putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh

Pengadilan Agama Jakarta Barat yaitu putusan perkara Nomor

228/Pdt.G/2009/PA.JB.

3. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan cara

penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada,

lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun pedoman

yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2007. Serta penulisan ayat Al-Qur‟an dan Hadits ditulis satu spasi, termasuk

terjemahan Al-Quran dan Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi meskipun

kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang

disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar pustaka ditulis di awal.11

E. Review Studi Terdahulu

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam

penelitian antara lain:

1. Skripsi oleh Aditya Nur Pratama, Tahun 2009 Program Studi Ahwal

Al-Syakhshiyah, Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Judul “Pencabutan Hak Asuh Anak Dari Ibu (Studi Analisis Putusan Pengadilan

11

(22)

Agama Depok No. 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk)”. Berisi tentang landasan teori

seputar hak asuh (hadhanah) anak meliputi pengertian hadhanah, dasar hukum

hadhanah, syarat-syarat hadhinah dan hadhin, masa hadhanah serta analisa terhadap putusan Pengadilan Agama tentang pencabutan hak asuh anak dari ibu.

Secara umum, skripsi tersebut membahas tentang pencabutan hak asuh

(hadhanah) anak dari ibu, sedangkan penelitian penulis tentang hak asuh (hadhanah) anak belum mumayiz kepada bapak.

2. Skripsi oleh Firman Sulaeman, Tahun 2005, Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, UIN

Jakarta. Judul “Hak Pemeliharaan Anak yang Belum Mumayiz Akibat Perceraian

(Studi Kritis terhadap Pasal 105 Point A KHI)”. Berisi tentang pembahasan

mengenai efektifitas penerapan pasal 105 point A KHI sebagai sumber hukum

dalam menyelesaikan sengketa hadhanah di lingkungan Pengadilan Agama. Dari segi isi skripsi, skripsi tersebut membahas tentang efektifitas penerapan pasal 105

point A KHI dalam menyelesaikan sengketa hadhanah di Peradilan Agama, dengan melakukan studi kritis terhadap Pasal 105 point A KHI, sedangkan

penelitian penulis dengan menganalisis putusan hakim tentang hadhanah anak dan juga menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.

3. Skripsi oleh Sabarudin, Tahun 2008, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah,

Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Jakarta. Judul “Hadhanah Perspektif Mazhab

Hanafi dan Mazhab Syafi‟i dan Prakteknya Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

(Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PA.JS

(23)

11

murtad di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PA.JS serta

ditinjau menurut mazhab Imam Hanafi dan Syafi‟i. Secara umum, skripsi tersebut

berisi tentang hak asuh (hadhanah) anak bagi orang tua yang murtad dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan juga

membandingkan antara dua perspektif yaitu mazhab Imam Hanafi dan Mazhab

Imam Syafi‟i mengenai hadhanah, sedangkan penelitian penulis tidak membandingkan keduanya tetapi hanya menganalisis pertimbangan hakim dalam

memutuskan perkara.

Dari beberapa judul skripsi di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya

dengan skripsi yang akan dibahas penulis. Adapun penelitian ini memfokuskan pada

analisis yurisprudensi putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz dengan perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

F. Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis mengenai

alasan dan dasar hukum yang dijadikan pegangan hakim dalam menetapkan

keputusan terhadap kasus yang dibahas. Analisis data yang digunakan dalam

(24)

Dalam melakukan identifikasi ini proses yang akan penulis lakukan antara

lain:

1. proses kategorisasi, yaitu proses menyusun kembali catatan dari hasil

observasi atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis.

2. proses prioritas, yaitu dengan memilih mana yang kategori yang dapat

ditampilkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan.

3. proses penentuan kelengkapan, yaitu untuk mengetahui kategori yang

dihasilkan sudah cukup atau belum.12

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan agar penulisan skripsi ini lebih

terfokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam

beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama, sebagai penelitian ilmiah maka pada bab ini diawali dengan

pendahuluan merupakan penjelasan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas

dalam bab tertentu yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh

tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang latar belakang masalah yang

menjelaskan alasan mengapa masalah yang diangkat perlu diteliti. Menurut penulis,

masalah penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz perlu diteliti karena dalam ketentuan fikih maupun hukum positif (dalam hal ini ketentuan

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.135.

(25)

13

hukum yang termuat dalam KHI) menyatakan bahwa hak hadhanah bagi anak belum

mumayiz adalah hak ibunya. Namun, hal ini berbeda dengan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang menetapkan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz. Pembatasan dan perumusan masalah yang diteliti, yaitu membatasi pada masalah penetapan hak hadhanah bagi anak belum mumayiz dengan

rumusan masalah “penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum

mumayiz”. Pertanyaan yang dirumuskan yaitu bagaimana metode ijtihad hakim dan dasar pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara tersebut.

Pada bab ini juga berisi tentang metode penelitian yang digunakan oleh penulis,

review studi terdahulu dengan mendata dan mengevaluasi seluruh studi, terutama

skripsi yang lebih membahas fokus yang berkaitan dengan penelitian yang penulis

teliti sehingga terlihat perbedaannya dengan skripsi yang telah ada. Analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan content analysis (analisis isi) dan mengidentifikasi concerns penulis terhadap putusan hakim yang berkenaan dengan hadhanah anak di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Sistematika penulisan ini

berisi tentang deskripsi daftar isi dari penelitian ilmiah bab per bab dalam bentuk esai

yang menggambarkan alur logis dan struktur dari bahasan skripsi.

Bab kedua, untuk memudahkan pembaca memahami inti dari permasalahan

yang penulis teliti, maka terlebih dahulu penulis menyajikan kajian kepustakaan

terkait mengenai landasan (kerangka) teori yang didasarkan pada teori-teori yang

relevan dengan tema penelitian penulis dengan memaparkan gambaran umum

(26)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum

Islam).

Bab ketiga, tidak semua hak hadhanah anak merupakan hak bapak, maka penulis memfokuskan objek penelitian ini pada kasus putusan yang dikeluarkan oleh

Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB. Penulis

menyajikan data hasil penelitian, berupa deskripsi data berkenaan dengan variabel

yang diteliti secara objektif dalam arti tidak dicampur dengan opini penulis. Pada bab

ini, penulis menjelaskan sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat meliputi:

sejarah singkat, letak geografis dan struktur organisasi. Selain itu, menjelaskan

deskripsi/duduk perkara serta pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan

perkara tersebut.

Bab keempat, pada bab ini, penulis menganalisis permasalahan yang diteliti

dengan melihat dari segi-segi persamaan dan perbedaan dengan fikih dan hukum

positif terhadap penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz

serta menjelaskan hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam

memutuskan perkara tersebut.

Bab kelima, pada bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas

masalah yang dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh serta saran-saran dan

(27)

15

BAB II

HADHANAH ANAK DALAM FIKIH DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Hadhanah

1. Menurut Fikih

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,

hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan (mengempit)

telurnya itu ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya.1 Demikian pula sebutan

hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya.2

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan.3 Hadhanah juga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.

Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang

1

Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 296.

2

Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan: Dar al-Fikr, 1973), h. 339. 3

(28)

yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.4

Dalam kajian fikih, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi

pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan

maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.5

Para ulama Fikih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar

tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya

agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.6

Dalam kitab Subulus salam disebutkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya serta

pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang

membahayakannya.7

Dalam literatur fikih, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologis, diantaranya:

4

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.293.

5

Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 67. 6

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 287. 7

Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-Turas Al-Araby, 1960), h. 227.

(29)

17

a. Menurut Muhammad Ibnu Ismail Al-Shan‟ani:8

.

Artinya: “Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakan”.

b. Menurut Sayyid Sabiq:9

.

Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan

kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”. c. Menurut Qalyubi Dan Umairah:10

.

Artinya: “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya

dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.

8

Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-Turas Al-Araby, 1960), h. 227.

9

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289. 10

(30)

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz

supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan tanggung jawab. Hadhanah

diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Yang dimaksud mendidik dam

memelihara disini adalah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang

anak-anak itu belum sanggup mengatur sendiri.11

Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam

hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.12

Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang

tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran

hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap

anak yang telah digariskan dalam islam, yakni

,

memelihara anak sebagai

amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.13

Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak

mempunyai hak-hak sebagai berikut:14

1. Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan.

11

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391. 12

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.279.

13

Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49. 14

(31)

19

2. Hak anak dalam kesucian keturunannya.

3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik.

4. Hak anak dalam menerima susuan.

5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.

6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan

hidupnya.

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara khusus tentang

pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih

menggunakan kitab-kitab fikih. Barulah setelah diberlakukannya UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan

KHI, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama

diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya.15

2. Menurut Hukum Perdata

Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV. Pada pasal 289 bab XIV Tentang

Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap

Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap

anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang

tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai siapa yang paling berhak

15

(32)

memelihara atau mengasuh anak yang masih di bawah umur, akibat dari perceraian

suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan

mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang

tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi

tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan

pendidikan anak-anak mereka itu.16

Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang

Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya,

setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh

kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali

jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai

pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak

berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali

dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak

berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal

359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian

1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.17

16

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 72.

17

(33)

21

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua

untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang

terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak.18

Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam pasal

229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan perceraian, dan

setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah

atau semenda dari anak-anak yang di bawah umur, Pengadilan Negeri akan

menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak,

kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua,

dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau

melepas mereka dari kekuasaan orang tua”.19

Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua atau

para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah dipecat dari

kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau berperilaku tidak baik.

Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara atau mengasuh anak yang

masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang tua baik dari ibu maupun ayah.

18

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 211.

19

(34)

Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran

Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”.

Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun

orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan syarat

anak tersebut adalah anak yang dilahirkan atas perkawinan yang sah.20

3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah

disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian

dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh

karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih

mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fikih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1

Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah

20

(35)

23

menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk

menjadi dan menyelesaikannya.21

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal

42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang

belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau

dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang

tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi

untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar

pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga

keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih

sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder

sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini

sama dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan

sebaik-baiknya.22

Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang

bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana dikemukakan

dalam pasal 104 yaitu:

21

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 428- 429.

22

(36)

(1) semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya;

(2) penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.23

Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui

anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang

ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan dengan hal yang terdapat

dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41,

dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang

bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih

memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban

suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan

Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.24 Dalam kaitan ini,

Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami

istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz

diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang

hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.25

23

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.

24

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 149. 25

(37)

25

Pada pasal 45 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan

Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan pada ayat

1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1

pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, yang mana

kewajiban tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.26

Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai Hak dan Kewajiban

antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari

kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.27

Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan

Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan orang tua

juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap

yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.28

26

Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14.

27

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 14-15.

28

(38)

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat:

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. 29

Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayiz

dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan

kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini

sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi

dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah

tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi

beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum

bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui

hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.30

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak

mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka

29

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.

30

(39)

27

kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alas

an pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban

terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap (1975:

216) menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu

meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin

melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman

penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu

jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk

meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang

seharusnya memberikan contoh yang baik.31

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas,

maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada

anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka

dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik

anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan.32

Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak

tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.

Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

31

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.

32

(40)

Perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun

kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.33

B. Dasar Hukum Hadhanah

Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah

mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Oleh

karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang

masih di bawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak

mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak

sampai membahayakan. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan

dari segala hal yang dapat merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu: a. Al-Qur‟an

Sebagaimana firman Allah SWT :













































































































































33
(41)

29

































.

)

رق لا

:

/

.(

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara

anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan bapak

berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan mengadakan penyapihan

(menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun apabila ada kesepakatan antara kedua

orang tua dan mereka boleh mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak

tersebut dengan syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak

itu sendiri.34







































































.

(

ميرحتلا

:

٦٦

/

٦

)

.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah

34

(42)

terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara

keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu

melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk

anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih

kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan

saja, namun juga berlanjut setelah perceraian.35

b. As-Sunnah

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :36

:

:

)

.(

Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata kepada

Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah

menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya

dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah”.

35

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 328.

36

(43)

31

Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak daripada bapak selama ibunya

belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena mempunyai kelayakan mengasuh

dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran

ibu dalam hal ini lebih besar daripada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang

daripada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak.

Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah menjadi hilang.37

C. Syarat-Syarat Hadhanah

Seorang hadhinah atau hadhin yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang

memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi satu saja

maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah. Adapun syarat-syarat hadhanah, antara lain:

1. Baligh dan berakal sehat; hak hadhanah anak diberikan kepada orang yang berakal sehat dan tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang

mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas

hadhanah. Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan

hadhanah tidak mengidap penyakit menular.38

37

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 528. 38

(44)

2. Dewasa; anak kecil, meskipun tergolong mumayiz, tetap bergantung pada orang lain yang mengurus dan mengasuhnya. Sehingga tidak layak mengasuh orang

lain.39

3. Mampu mendidik.

4. Amanah dan berakhlak; sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya untuk

menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si

anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.40

5. Islam; anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim

(non muslim), sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah SWT tidak membolehkan seorang mukmin di bawah perwalian orang

kafir.

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 141:



...















...

.

)

ءاسنلا

:

/

)

Artinya: “... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang-orang-orang yang beriman.

Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh, karena tentu

akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya berdasarkan

ajaran agamanya. Akibatnya, di kemudian hari anak akan sulit melepaskan diri

darinya. Inilah bahaya terbesar yang mengancam anak.41

39

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 533. 40

Ibid., h. 531. 41

(45)

33

6. Ibunya belum menikah lagi, jika si ibu telah menikah lagi dengan laki-laki lain,

maka hak hadhanah menjadi hilang.

7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan

tuannya, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.42

Menurut Imamiyah, pengasuh harus terhindar dari penyakit-penyakit menular.

Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pengasuh harus terbebas dari penyakit

lepra dan belang dan yang terpenting dia tidak membahayakan kesehatan si anak.43

Peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti terlihat jelas dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa.

Namun, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun

KHI tidak membahas mengenai syarat-syarat pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini

berbeda dengan aturan fikih yang menetapkan bahwa seorang pengasuh harus

memenuhi beberapa kriteria jika ingin mendapatkan hak asuhnya.44

42Ali Abdulloh, “Hadhanah”, artikel diakses pada 11 Januari 2011 dari http://aliabdulloh.blogspot.com.

43

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 418. 44

(46)

D. Pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah

1. Menurut Fikih

Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama

menyimpulkan, kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah.45 Karenanya,

urutan orang-orang yang berhak mengasuh anak, sebagai berikut: Ibu, tetapi jika ada

faktor yang membuatnya tidak layak didahulukan, maka hak pengasuhan dialihkan

kepada ibunya (nenek) dan seterusnya. Lalu, jika ada faktor yang menghalangi

mereka didahulukan maka dialihkan kepada ibu ayah (nenek). Berikutnya adalah

saudara perempuan kandung, saudara perempuan dari ibu, saudara perempuan dari

ayah, putri saudara perempuan kandung, putri saudara perempuan dari ibu, bibi

kandung dari ibu (al-khalah asy-syaqiqah), bibi dari ibu (al-khalah li-umm),bibi dari ayah (al-khalah li-ab), putri saudara perempuan dari ayah, putri saudara laki-laki kandung, putri saudara laki-laki dari ibu, putri saudara laki-laki dari ayah, bibi

kandung dari ayah (al-„ammah asy-syaqiqah), bibi dari ibu (al-„ammah li-umm), bibi dari ayah (al-„ammah li-ab), saudara perempuan nenek dari ibu (khalah al-umm), saudara perempuan nenek dari ayah (khalah li-ab), saudara perempuan kakek dari ibu

(„ammah al-umm), saudara perempuan kakek dari ayah („ammah li-ab), dengan megutamakan yang memiliki hubungan kandung di antara mereka.46

45

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.680.

46

(47)

35

Jika anak kecil tersebut tidak punya kerabat wanita di antara orang-orang di

atas, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada

kerabat laki-lakinya berdasarkan urutan hak menerima waris. Dengan demikian, hak

asuh beralih kepada ayah, kakek dari ayah, dan seterusnya. Berikutnya adalah saudara

laki-laki kandung, saudara laki-laki dari ayah, putra saudara laki-laki kandung, putra

saudara laki-laki dari ayah, putra saudara laki-laki kandung, putra saudara laki-laki

dari ayah, paman kandung dari ayah, paman dari ayah, saudara laki-laki kandung

kakek dari ayah („amm abihi asy-syaqiq), dan saudara laki-laki kakek dari ayah

(„amma abihi li’ab).47

Jika tidak terdapat kerabat laki-laki ashabah, atau sekalipun ada tapi tidak

layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada mahram kerabat laki-lakinya yang

bukan ashabah. Dengan demikian, hak asuh diberikan secara urut kepada kakek dari

ibu, saudara laki-laki dari ibu, putra saudara laki-laki dari ibu, saudara laki-laki kakek

dari ibu, saudara laki-laki kandung ibu, saudara laki-laki nenek dari ayah (al-khal li-ab), dan saudara laki-laki nenek dari ibu (al-khal li-umm).48

Jika anak kecil tersebut tidak punya kerabat sama sekali, maka hakim

menunjuk pengasuh wanita yang akan mendidiknya. Karena pengasuhan anak kecil

merupakan suatu keharusan, dan orang yang paling pantas yang mengasuhnya adalah

kerabatnya sendiri. Sementara ada kerabat yang hubungannya lebih dekat daripada

47

Ibid., h. 530. 48

(48)

yang lain. Karenanya, wali-wali anak tersebut didahulukan karena merekalah yang

memiliki wewenang dasar untuk memenuhi kemaslahatannya. Tapi jika mereka tidak

ada, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada

kerabat yang lebih dekat dan seterusnya. Jika tidak punya kerabat sama sekali, maka

hakim bertanggung jawab menunjuk orang yang layak mengasuhnya.49

Sebagaimana hak mengasuh anak pertama d

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dampak dari adanya klinik wirausaha yang dibentuk di UPBJJ-UT Bogor terhadap kualitas karya ilmiah dan pertumbuhan semangat

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua dengan segala keterbatasan yang

Hasil penelitian menunjukkan bah- wa terdapat hubungan antara keteram- pilan sosial dan kecanduan situs jejaring sosial pada masa dewasa awal dengan arah negatif,

Hasil penelitian ini didukung teori yang dikemukakan oleh Buchari (2000), dimana Buchari mengatakan bahwa dengan adanya strategi yang baik terhadap bauran pemasaran seperti

Meningkatkan Kualitas Pelayanan Internet Speedy dalam Memuaskan Pelanggan.. Penyediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas

Fenomena ini didukung oleh hasil pra-survei kepada 30 jumlah responden pelanggan Telkom speedy yang berada di daerah kota ambon. Dari jumlah responden 30 orang konsumen

Untuk itu dapat direkomendasikan bahwa telur asin hasil penelitian lebih sehat untuk dapat dikonsumsi ditinjau dari kadar lemak dan protein yang dihasilkan total

Adanya motivasi dalam bekerja merupakan kekuatan untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan serta dapat membantu meningkatkan produktifitas yang tinggi. Selain dimiliki