• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

FADILLAH MAHRAINI

110200547

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukan “PEMBATASAN

TRANSAKSI TUNAI SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK

PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI

INDONESIA” disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Skripsi ini membahas tentang apa yang menjadi urgensi pembatasan transaksi tunai di Indonesia dan bagaimana pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran, dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini.

(3)

rasa kasih sayang, selalu senantiasa membimbing Penulis, memotivasi penulis, memberikan kepercayaan yang penuh kepada Penulis, serta mendukung dan mengarahkan setiap perbuatan Penulis dalam menjalankan hidup ini. Semoga Allah SWT selalu melindungi mereka dan selalu menyelimuti mereka dengan Rahmat dan Karunia-NYA, Amin..”

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H M. Hum ., DMF., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H,. M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I penulis dalam skripsi ini.

8. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis dalam skripsi ini.

(4)

10. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Sahabat-sahabat penulis yang luar biasa, para “gadis-gadis”, yang selalu ada disaat suka maupun duka, yang menghapus tangis menjadi tawa, dan yang merubah tawa menjadi kebahagiaan. Syafitri Ditami, Yuliana Siregar, Nur Fairuz Diba Nasution, Hamimi Masturah dan Elmas Yuliantri. Terima kasih atas motivasi dan doanya teman-teman.

12. Organisasi BTM ALADDINSYAH SH, yang sangat banyak memberikan pelajaran bagi penulis untuk menjadi seorang yang lebih baik lagi dalam bidang agama maupun akademik. Dan terima kasih kepada kakak, abang, teman-teman dan adik-adik BTM ALADDINSYAH SH yang telah memberikan semangat, motivasi dan doanya kepada penulis.

13. Teman-temanku Devid Juhendri, Masmur Purba, Juantha D.P Barus, S.H., Ezra Lasrayani Sipayung, Reni Anggraini, Michael, dan Richard TGS, terima kasih telah memberikan semangat kepada penulis.

14. Teman-teman angkatan 2011 (Grup G dan E) serta IMADANA (Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana) yang telah memberikan pelajaran tentang arti pertemanan dan menjadikan penulis menjadi mahasiswa yang baik.

15. Abangda Muhammad Ihsan An Auwali S.H yang telah memberikan perhatian, semangat, motivasi, doa, dan yang selalu mendukung Penulis menyelesaikan skripsi ini .

(5)

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyajian skiripsi ini, untuk itu Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena sesungguhnya manusia adalah insan yang tidak luput dari kesalahan dan khilaf, namun kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan, atas perhatian saudara/i penulis ucapakan terima kasih.

Medan, Maret 2015

(6)

PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

FADILLAH MAHRAINI

NIM : 110200547

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. Muhammad Hamdan, SH., M.H

NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I DosenPembimbing II

Prof.Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. Nurmalawaty, S.H., M.Hum.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Transaksi Tunai ... 9

2. Pengertian Pembatasan Transaksi Tunai ... 11

3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 13

4. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 24

G. Metode Penulisan ... 32

H. Sistematika Penulisan ... 35

BAB II : URGENSI PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI DI INDONESIA ... 37

A. Latar Belakang Lahirnya Transaksi Tunai di Indonesia ... 37

B. Tujuan Penerapan Pembatasan Transaksi Tunai ... 42

C. Manfaat Pembatasan Transaksi Tunai ... 44

D. Peluang dan tantangan pembatasan transaksi tunai pada masyarakat di Indonesia ... 48

BAB III : PEMBATASAN TRANSAKSI KEUANGAN TUNAI DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG... 54

A. Transaksi Keuangan di Indonesia ... 54

1. Sistem Pembayaran ... 55

2. Instrumen / Alat Pembayaran ... 59

(8)

B. Transaksi Tunai Sebagai Sarana Tindak Pidana Korupsi dan

Pencucian Uang. ... 64

1. Transaksi tunai Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 66

2. Transaksi Tunai Dalam Tindak Pidana Tindak Pidana Pencucian uang ... 72

C. Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 83

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92

(9)

ABSTRAK

PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG DI INDONESIA

*Fadillah Mahraini **Syafruddin Kalo ***Nurmalawaty

Seiring dengan meningkatnya pengawasan transaksi keuangan yang dilakukan oleh PPATK, KPK dan institusi penegak hukum lainnya, para koruptor seperti tidak habis akal untuk menyiasatinya dengan berbagai cara dan modus operasi. Terdapat indikasi kuat bahwa telah terjadi perubahan pola transaksi keuangan yang dilakukan para koruptor. Saat ini ada kecenderungan semua perbuatan korupsi dilakukan dengan tunai, tanpa jejak, dan tanpa bukti. Kemudian uang tunai hasil korupsi tersebut digunakan untuk pembelian barang-barang mewah secara tunai. Tidak adanya pembatasan transaksi tunai menjadi lahan subur bagi pelaku korupsi dan pencucian uang karena tidak bisa terdeteksi. Maka kebijakan pembatasan transaksi tunai sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan pencucian uang menjadi penting karena akan mempersempit ruang gerak para koruptor. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini untuk mengetahui urgensi pembatasan transaksi tunai dan pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian normatif (yuridis normatif) karena penelitian ini dilakukan dengan cara hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan hukum atau bahan rujukan dalam bidang hukum.

Berdasarkan hasil penelitian normatif (yuridis normatif) tersebut diketahui bahwa urgensi pembatasan transaksi di Indonesia adalah meningkatnya frekuensi transaksi keuangan tunai ditengah masyarakat berbanding lurus dengan maraknya kasus-kasus korupsi dan pencucian uang yang terungkap menggunakan uang tunai. Pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang terlihat dari transaksi tunai dijadikan sarana bagi para pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam melakukan kejahatannya. Alasan seseorang terlibat kejahatan menggunakan uang tunai dalam aktivitas transaksi keuangan adalah untuk memutus pelacakan aliran dana hasil kejahatannya kepada pihak penerima dana. Sehingga PPATK akan mengalami kesulitan dalam melakukan analisis transaksi keuangan mencurigakan. Dengan adanya pembatasan transaksi tunai dapat lebih mudah untuk dilakukan pelacakan terhadap uang tersebut dan mempermudah penegak hukum dalam menjerat dan merampas harta hasil tindak pidana dari pelaku korupsi dan pencucian uang.

*Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

ABSTRAK

PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG DI INDONESIA

*Fadillah Mahraini **Syafruddin Kalo ***Nurmalawaty

Seiring dengan meningkatnya pengawasan transaksi keuangan yang dilakukan oleh PPATK, KPK dan institusi penegak hukum lainnya, para koruptor seperti tidak habis akal untuk menyiasatinya dengan berbagai cara dan modus operasi. Terdapat indikasi kuat bahwa telah terjadi perubahan pola transaksi keuangan yang dilakukan para koruptor. Saat ini ada kecenderungan semua perbuatan korupsi dilakukan dengan tunai, tanpa jejak, dan tanpa bukti. Kemudian uang tunai hasil korupsi tersebut digunakan untuk pembelian barang-barang mewah secara tunai. Tidak adanya pembatasan transaksi tunai menjadi lahan subur bagi pelaku korupsi dan pencucian uang karena tidak bisa terdeteksi. Maka kebijakan pembatasan transaksi tunai sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan pencucian uang menjadi penting karena akan mempersempit ruang gerak para koruptor. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini untuk mengetahui urgensi pembatasan transaksi tunai dan pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian normatif (yuridis normatif) karena penelitian ini dilakukan dengan cara hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan hukum atau bahan rujukan dalam bidang hukum.

Berdasarkan hasil penelitian normatif (yuridis normatif) tersebut diketahui bahwa urgensi pembatasan transaksi di Indonesia adalah meningkatnya frekuensi transaksi keuangan tunai ditengah masyarakat berbanding lurus dengan maraknya kasus-kasus korupsi dan pencucian uang yang terungkap menggunakan uang tunai. Pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang terlihat dari transaksi tunai dijadikan sarana bagi para pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam melakukan kejahatannya. Alasan seseorang terlibat kejahatan menggunakan uang tunai dalam aktivitas transaksi keuangan adalah untuk memutus pelacakan aliran dana hasil kejahatannya kepada pihak penerima dana. Sehingga PPATK akan mengalami kesulitan dalam melakukan analisis transaksi keuangan mencurigakan. Dengan adanya pembatasan transaksi tunai dapat lebih mudah untuk dilakukan pelacakan terhadap uang tersebut dan mempermudah penegak hukum dalam menjerat dan merampas harta hasil tindak pidana dari pelaku korupsi dan pencucian uang.

*Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 1970-an di Indonesia telah berkembang pemikiran bahwa peranan hukum dalam masyarakat tidak hanya mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, akan tetapi bahwa hukum dapat juga berperan sebagai sarana pembangunan masyarakat kearah yang kita kehendaki.1 Pendapat tersebut menunjukkan bahwa hukum harus diarahkan untuk menampung kebutuhan hukum negara dan rakyat kearah kemajuan pembangunan sehingga tercapai tingkat ketertiban dan kepastian hukum secara seimbang yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia menerapkan pendekatan baru dalam upaya mencegah dan memberantas kejahatan, melengkapi pendekatan konvensional yang telah lama dilakukan. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan Anti Pencucian uang atau pendekatan follow the money yang berusaha untuk mencegah dan memberantas kejahatan dengan menelusuri harta kekayaan hasil kejahatan khususnya yang terdapat pada industri keuangan.

Dalam dunia modern, transaksi keuangan berkembang sangat pesat seiring dengan perubahan perdagangan dunia yang semakin mengglobal. Perkembangan transaksi keuangan tersebut terjadi, baik pada transaksi keuangan tunai maupun non tunai. Transaksi pada masa yang akan datang memerlukan kecepatan dan keakuratan tinggi, karena transaksi tidak saja dilakukan dalam

1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengembangan Filsafat Hukum

(12)

lingkup domestik tetapi juga dengan intensitas bisnis di manca negara. Transaksi bisnis tradisional secara tunai akan semakin ditinggalkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih akan memudahkan transaksi non tunai melalui sarana elektronik atau perbankan. Pada prinsipnya, terjadinya transaksi non tunai bertujuan untuk meminimalisasi resiko, mempermudah komunikasi atau melanggengkan hubungan bisnis antar para pihak yang telah terjalin cukup baik dan berlangsung lama.2

Harus diakui bahwa bagi masyarakat pada umumnya, transaksi dengan uang tunai memiliki beberapa kelebihan dan sampai sekarang dianggap lebih menarik untuk digunakan dibandingkan dengan melakukan transaksi secara non tunai (electronic money). Beberapa kelebihan tersebut antara lain: kepastian diterima (certainty of acceptance); penyelesaian segera (immediate settlement); tidak memerlukan infrastruktur (no infrastructure requirement); kemudahan penggunaan (ease of use); kemudahan pemantauan (ease of monitoring); anonimitas (anonymity); dan dijamin negara (state-underpinning).3

Berbeda dengan penelitian PRIDE Indonesia dan Majalah Info bank terdapat tiga alasan utama masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas dalam memilih lembaga perbankan untuk transaksi keuangannya, yaitu faktor lokasi atau dekat dengan tempat tinggal/kantor (23,5%), transaksi lebih mudah karena jaringan automated teller machine (ATM) dan kantor cabangnya banyak (22,9%), dan lebih aman karena bank pemerintah (20,5%). Alasan lain yang melatarbelakangi keputusan memilih lembaga perbankan adalah citra baik dan

2

Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Kajian Pembatasan Transaksi Tunai, September 2012, Hlm. 3.

3

(13)

terpercaya (8,5%), fasilitas kantor (7,0%), bunga tinggi (4,8%), pelayanan baik (3,2%), dan alasan-alasan lain, seperti rekomendasi keluarga, fasilitas bagus, dan banyak yang menggunakan (9,6%).4

Sejalan dengan itu, laporan PPATK yang menemukan bahwa terdapat laporan transaksi tunai yang mencurigakan sebanyak 54% yang dilakukan pada kisaran nilai di bawah Rp. 4 miliar per sekali transaksi dan 46% sisanya dilakukan di atas Rp. 4 miliar per sekali transaksi. Jika dilihat dari kategori pekerjaannya, ditemukan pula bahwa sekitar 50% terlapor berprofesi sebagai PNS.5

Hasil analisis Transaksi Keuangan mencurigakan yang dilakukan PPATK mengindikasikan bahwa sumber dari transaksi mencurigakan itu terutama berasal dari transaksi Korupsi. Selain merupakan porsi paling besar, jumlahnya pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari 4.050 jumlah kumulatif kasus tindak pidana berdasarkan Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan (LTKM), 1.771 kasus di antaranya diindikasikan sebagai kasus korupsi, dengan jumlah yang meningkat pesat dari 144 kasus di tahun 2008 menjadi 493 kasus di tahun 2011. Selain jumlah transaksi yang meningkat jumlah pembawaan uang tunai yang keluar ataupun masuk ke Indonesia ternyata meningkat pula dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan ke PPATK, pembawaan uang tunai melebihi jumlah Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau setara, paling banyak terjadi di Jakarta yang diikuti dengan Batam.6

4

Agus Herta Sumarto, Kenapa Orang Kaya Lebih Memilih Bank dalam Bertransaksi, http://www.infobanknews.com diakses, 5 desember 2014

5

Batasi Suap,PPATK Usul Transaksi di Atas Rp.100 Juta Lewat Transfer”http://www.Infobanknews.com/2011/06/batasi-suap-ppatk-usul-transaksi-di-atas rp100-juta-lewat-transfer/,diakses 1 Desember 2014.

6

(14)

Berangkat dari hal demikian, dapat dimengerti bahwa besarnya peredaran uang dan transaksi tunai inilah yang kemudian menjadi salah satu modus kegiatan korupsi dan pencucian uang. Penggunaan uang tunai dalam transaksi tindak pidana korupsi dan pencucian uang kerap dilakukan karena aliran dana tunai tersebut sulit untuk dilacak darimana uang tersebut berasal dan kemana alirannya, karena tidak tercatat secara resmi melalui sistem keuangan.

Transaksi tunai adalah sebab dari segala persoalan yang kita hadapi termasuk korupsi yang masih sangat sistemik dan merajalela. Namun tidak semua transaksi tunai itu pertanda korupsi. Karena masih banyak masyarakat Indonesia seperti, para petani yang baru panen sering mempunyai uang tunai dalam jumlah yang tidak sedikit dan menyimpan uangnya sendiri dirumah. Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki rekening bank, maka semua transaksi dilakukan dengan cara tunai. Disini kita dihadapkan kepada kesadaran dan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai lembaga perbankan yang seharusnya menjadi lembaga tempat transaksi dan penyimpanan uang. Para petani, nelayan, atau buruh adalah warga Negara yang harus menjadi sasaran perbaikan ekonomi agar kelak bisa mengerti dengan hukum, politik dan ekonomi. Mereka harus di naikkan kualitas kehidupannya,pendidikan,kesehatan dan sebagainya7

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai institusi yang mempunyai tugas menganalisis transaksi keuangan mengusulkan transaksi tunai dibatasi sampai jumlah tertentu. Pembatasan ini diperlukan agar upaya penyuapan yang mengarah pada tindak pidana khususnya korupsi dapat dicegah lebih dini, dapat mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam

7

(15)

bertransaksi. Selain itu, aturan mengenai pembatasan transaksi tunai akan memberikan manfaat untuk Pemerintah, antara lain menghemat jumlah uang yang harus dicetak, menghemat bahan baku uang, menghemat biaya penyimpanan (fisik) uang di Bank Indonesia, mengurangi peredaran uang palsu, mendidik dan mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan dalam bertransaksi.8.

Pembatasan transaksi tunai akan mendorong penggunaan transaksi non-tunai. Penggunaan transaksi non-tunai menciptakan efisiensi berupa penurunan biaya transaksi bagi konsumen dan produsen serta meningkatnya kepuasan masyarakat karena terpenuhinya kebutuhan akan alat pembayaran yang lebih praktis. Pembatasan transaksi tunai juga akan mendorong masyarakat untuk beralih dari transaksi tradisional dengan barter atau tunai, kearah transaksi melalui sistem pembayaran yang lebih cepat, efisien, akurat dan modern melalui perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.

Berkaca pada hal demikian, pada tahun 2011, pemerintah Indonesia dalam Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Instrusksi tersebut mencakup; strategi bidang pencegahan; strategi bidang penindakan; strategi bidang harmonisasi peraturan perundang-undangan; strategi bidang penyelamatan asset korupsi; strategi bidang kerja sama internasional; dan strategi bidang mekanisme pelaporan. Dalam bagian strategi harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan nomor 93 Inpres tersebut, diamanatkan sebuah aksi dalam implementasi UU Transfer Dana ( UU No. 3 Tahun 2011 ). Adapun keluaran (out

8

(16)

put) yang di inginkan dari bagian tersebut adalah terbentuknya sebuah kajian perihal pembatasan transaksi tunai oleh BI dan Kementerian Keuangan pada bulan Desember 2012.9

Pembatasan pembawaan uang tunai di Indonesia bukanlah hal baru karena Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikeluarkan telah jauh menetapkan suatu ketentuan mengenai kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan pembawaan uang tunai rupiah sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau lebih, atau dalam mata uang asing yang nilainya setara Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)untuk melaporkannya kepada Ditjen Bea dan Cukai berikut dengan sanksinya.10 Dari keseluruhan pengaturan pembawaan uang tunai, ketentuan mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana pencucian uang secara tegas diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, mengatur “bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri , mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.”

Secara yuridis pengaturan mengenai pembatasan transaksi tunai pernah diberlakukan di Indonesia melalui UU No.18 tahun 1946 tentang kewajiban Menyimpan Uang Dalam Bank. Ketentuan tersebut memang secara tidak

9

Andri Gunawan dkk, Op Cit,hlm 5.

10

(17)

langsung membatasi transaksi tunai, tetapi dalam ketentuannya memberikan batasan uang yang boleh digunakan dalam transaksi tunai. Di samping itu Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan (ad interim) Mohammad Hatta pada 30 Oktober 1948 menetapkan UU No 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank.

Dengan adanya pembatasan transaksi tunai, dimana setiap transaksi dalam jumlah besar harus melalui lembaga keuangan, diharapkan semua transaksi akan tercatat dalam pembukuan. Pembatasan ini termasuk juga didalamnya transaksi yang menggunakan e-money, baik berupa kartu debit maupun kredit. Selain memberikan dampak atau pengaruh pada pemberantasan praktik korupsi dan pencucian uang dengan signifikan,adanya pembatasan transaksi tunai juga diarahkan untuk mewujudkan cita-cita menuju masyarakat non-tunai atau less-cash society dan juga efisiensi sistem pembayaran. Hal ini diharapkan dapat mengurangi budaya menggunakan uang tunai dalam kegiatan ekonomi di masa mendatang.11

Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut mengenai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, sehingga penulis mengangkat judul “Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.”

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah :

11

(18)

1. Apa yang menjadi urgensi pembatasan transaksi tunai di Indonesia ?

2. Bagaimana pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang ?

C. Tujuan penulisan

Adapun tujuan utama penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana hukum. Namun berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan lain yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui urgensi pembatasan transaksi tunai di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

D. Manfaat penulisan

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan,khususnya ilmu hukum.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pembaca dan penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka skripsi yang berjudul “Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya

(19)

diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat di pertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian transaksi tunai.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ialah Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.12

Transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan tunai merupakan transaksi keuangan secara tunai yang dilakukan oleh nasabah atau pengguna jasa keuangan dengan Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.13

Transaksi keuangan tunai yang wajib dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan kepada PPATK adalah transaksi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:14

1. Merupakan penarikan/penerimaan atau penyetoran/pembayaran dengan menggunakan uang tunai (uang kertas dan atau uang logam);

2. Dalam jumlah kumulatif Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau dalam mata uang asing nilainya setara dan:

3. Dilakukan dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja pada satu atau beberapa kantor dari satu Penyedia Jasa Keuangan.

12

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

13

Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Pedoman Laporan Transaksi Keuangan Tunai dan Tata Cara Pelaporanya Bagi Penyedia Jasa Keuangan,(Jakarta:PPATK,2004)hlm.3.

14

(20)

Berikut adalah beberapa contoh transaksi keuangan tunai yang wajib dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan, adalah sebagai berikut :

a. Seorang nasabah pemegang rekening dalam 1(satu) hari kerja melakukan satu atau beberapa kali transaksi penarikan tunai dari rekeningnya dengan nilai kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih pada satu kantor Penyedia Jasa Keuangan yang sama atau di beberapa kantor dari Penyedia Jasa Keuangan yang sama.

b. Seorang nasabah pemegang rekening dalam 1(satu) hari kerja melakukan satu atau beberapa kali transaksi penyetoran tunai dengan nilai kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih pada satu kantor Penyedia Jasa Keuangan yang sama atau di beberapa kantor dari Penyedia Jasa Keuangan yang sama ke rekeningnya atau kerekening orang lain.

c. Seorang walk-in customer menggunakan/memanfaatkan jasa Penyedia Jasa Keuangan dengan melakukan transaksi yang menggunakan uang tunai sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 hari kerja.

d. Seorang walk-in customer melakukan pengiriman uang (remittance) kepada penerima dengan melakukan penyetoran tunai sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 hari kerja. e. Seorang walk-in customer menerima transfer dana atau kiriman uang

(21)

2. Pengertian Pembatasan Transaksi Tunai.

Pembatasan Transaksi Tunai adalah suatu mekanisme atau sistem untuk membatasi transaksi dengan uang tunai, dimana semua transaksi diatas batas yang ditentukan harus dilakukan melalui sistem perbankan. Misalnya transaksi tunai dibatasi Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) hari, dimana transaksi diatas batas tersebut, harus dilakukan melalui sistem perbankan. Sebenarnya makin kecil pembatasan transaksi tunai itu semakin baik, namun karena mempertimbangkan kesiapan masyarakat dan perbankan, maka pembatasan transaksi tunai maksimal Rp. 100.000.000,- dan dapat diperkecil secara bertahap sesuai dengan kesiapan masyarakat dan perbankan di Indonesia.15

Peraturan mengenai batas transaksi keuangan tunai yang dapat dilakukan dalam satu kali transaksi, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terdapat didalam pasal 23 UU Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan , Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.00,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara,yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi,dan transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK.

Transaksi yang perlu dilakukan pembatasan adalah yang berkaitan dengan transaksi: Transfer dana yang sumbernya dari setoran tunai, setoran tunai untuk

15

(22)

pihak ketiga, transaksi untuk non nasabah dengan tarikan tunai, dan transaksi transfer debet (cek).16

Pada dasarnya transaksi keuangan mencurigakan diawali dari transaksi antara lain:17

1. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas.

2. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran.

3. Aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.

Menurut Yunus Husein, faktor yang mendasari perlunya pembatasan transaksi tunai yaitu :

a. Pergeseran kebiasaan transaksi perbankan oleh sebagian masyarakat menjadi transaksi tunai berupa setor tunai dan tarik tunai.

b. Trend transaksi tunai semakin meningkat yang antara lain dilakukan dengan maksud untuk meyulitkan upaya pentrasiran/pelacakan asal usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).

c. Peningkatan trend ini diduga dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana pencucian uang.

d. Transaksi secara tunai mempersulit penegak hukum dalam melakukan penelusuran harta kekayaan hasil kejahatan.

e. Tidak sejalan dengan tujuan “less cash society” karena dilakukan dalam jumlah besar (biasanya diatas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah),

16

Ibid.

17

(23)

kurang aman, mempersulit pelacakan transaksi, serta mengarah kepada “non

bank channel”.

f. Pengaturan pembatasan transaksi tunai mendorong masyarakat mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya.

g. Selain untuk kebutuhan penegakan hukum, pengaturan mengenai pembatasan transaksi tunai sejalan dengan pengaturan dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran.

Dengan penerapan pembatasan transaksi tunai (restrictions on cash transactions/limitations on cash transactions) atau pembatasan pembayaran tunai (restrictions on cash payments/limitations on cash payments) akan mendorong

less cash society (minimalisasi penggunaan uang tunai) atau transaksi non tunai (non cash transaction). Dimana dengan penerapan pembatasan transaksi tunai tersebut, seluruh bank dan lembaga keuangan lainnya ikut berperan aktif dalam pencegahan korupsi dan money laundering (pencucian uang) lainnya, disamping menjalankan fungsi dan tugas utamanya.18

3. Pengertian tindak pidana korupsi .

Pengertian atau asal kata korupsi menurut Focke Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus (

Webster Student Dictionary ; 1960 ), yang selanjutnya disebutkan bahwa

corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropaseperti

18 “Pembatasan Transaksi Tunai Solusi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang

(24)

Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu

corruptie ( Korruptie ), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa

Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.19

Ensiklopedi Indonesia mengartikan korupsi sebagai gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Secara harfiah, korupsi memiliki arti yang sangat luas, antara lain sebagai berikut:20

a) Korupsi adalah penyelewengan atau pengelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

b) Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasannya untuk kepentingan pribadi).

Pengertian tindak pidana korupsi harus merujuk pada undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud atau digolongkan dalam tindak pidana korupsi itu karena pada dasarnya setiap perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu.

Dengan demikian undang-undang tersebut haruslah merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang bersangkutan. Jika tidak ada defenisi yang tegas dalam undang-undang tersebut maka harus melihat rumusannya dari unsur-unsur yang disebutkan dalam redaksi pasal yang mengatur mengenai suatu tindak pidana.21

19

Andi Hamzah, ,Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: (PT. Rajagrafindo Persada 2006), hlm 4-6.

20

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika,2005),hlm. 8

21

(25)

Dalam hukum positif anti korupsi khususnya dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi :

“Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan aras Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Berdasarkan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :22

1. Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara.

2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap,yaitu menyuap pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya; pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; hakim dan advokat yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokat yang menerima suap. 3. Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai negeri yang

menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri

22

(26)

memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai negeri merusakkan bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti; pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti.

4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain.

5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNI/POLRI berbuat curang; pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; penerima barang TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain.

6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.

7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan Korupsi.

(27)

Pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ialah berdasarkan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”, yaitu orang perseorangan ataupun korporasi.

Pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih diperluas dibanding dengan pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang mana pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi itu adalah siapa saja atau orang perorangan saja.23

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan “korporasi” adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yan

terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Bentuk dari badan-badan hukum di Indonesia terdiri dari; Perseroan Terbatas (PT).

Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa(ordinary-crimes) melainkan telah menjadi

23

(28)

kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. (extra-ordinary enforcement).

Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan :24

1. Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkt dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan.

Centre For International Crime Prevention (CICP) salah satu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara luas

mendefenisikan korupsi ”misuse of (public) power for private gain”. Berbagai

wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap (bribery); penggelapan (embezzlement); penipuan (freu); pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (extortion); penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion); pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest, insider trading); nepotisme (nepotism); komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commission); dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik.

24

(29)

2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.

3. Kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30% telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian terbesar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan Negara Republik Indonesia.

4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa.

5. Korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti Corruption (ICAC), di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN/ BUMD atau penyertaan modal pemerintah kepada sektor swasta, sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari Hongkong, Australia dan negara-negara lain.

(30)

pengalaman setidaknya ada 8 (delapan) penyebab terjadinya korupsi di Indonesia yakni :25

1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang keliru.

Sebagai negara yang baru merdeka atau negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi, selama puluhan tahun, mulai dari orde lama,orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan di fokuskan di bidang ekonomi. Padahal setiap negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen dan teknologi konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua.

2. Kompensasi PNS yang rendah.

Wajar saja negara yang baru merdeka tidak memiliki uang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggu kepada pegawainya. Tetapi disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi sehingga secara fisik dan cultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga sekitar 90% PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungutan liar maupun mark up kecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga.

3. Pejabat yang serakah

Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh system pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Lahirlah sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenag dan jabatannya, melakukan mark up proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan

25Abu Fida’ Abdur Rafi

(31)

pengusaha, baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun sebagai salah seorang share holder dari perusahaan tersebut.

4. Law Enforcement tidak berjalan.

Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hamper di seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan plesetan kata-kaat seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), dan sebagainya. 5. Hukuman yang ringan terhadap Koruptor

Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegakan hukum bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN.

6. Pengawasan yang tidak efektif.

Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrument yang disebut

(32)

perubahan, sehingga Irjen dan Bawasda pun turut bergotong royong dalam menyuburkan KKN.

7. Tidak ada keteladanan pemimpin.

Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun , pemimpin di Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relatif singkat, Thailand telah mengalami recovery

ekonominya. Di Indonesia, tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran. 8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN.

Dalam negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistik. Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari. Mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain. Karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah.

Berdasarkan hal di atas, dibentuklah Institusi yang berwenang memberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, diatur dalam beberapa hukum positif,yaitu :26

26

(33)

1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi, dan nepotisme.

Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu:

”Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah

membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 43 ayat (1)

“Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai

berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2

“Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”.

(34)

pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaanya diatur dengan undang-undang.

4. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang.

Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Problematika pencucian uang yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan impikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut, terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalu lintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. 27

Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian di ubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.28 Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 1 angka 1, Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya

”uang haram” atau “uang kotor” (dirty money). Uang dapat menjadi kotor dengan

dua cara, pertama, melalui penggelapan pajak (tax evasion), yang dimaksud

27

Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,2008), hlm 1

28

(35)

dengan ”pengelakan pajak” ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah

yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh, kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum.29

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefenisikan pencucian uang atau

money laundering sebagai:30

“Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.”

Dari beberapa definisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yatu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan (financial system)

sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah.31

Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan

29

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,Likuiditas dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.22.

30

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme,(Jakarta:Pustaka Utama, Grafiti, 2007),hlm.5.

31

(36)

organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotik, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money laundering

atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang legal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal daari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.32

Setidak-tidaknya terdapat tiga alasan mengapa money laundering perlu diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu :33

1. Karena pengaruh money laundering pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering, maka sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Di samping itu, dana-dana yang relatif besar itu kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya dengan melakukan “sterile investment” dalam bentuk properti atau perhiasan yang mahal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan pada negara-negara yang dimungkinkan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah.

2. Dengan ditetapkannya money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparatur penegak hukum untuk menyita hasil pencucian uang yang kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau yang sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara

32

Ibid

33

(37)

menyita hasil pencucian uang ini, maka pelarian uang hasil tindak pidana pencucian uang dapat dicegah. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah beralih orientasinya dari “menindak pelakunya” ke arah menyita

”hasil tindak pidana”. Dibanyak negara dengan menyatakan money

laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.

3. Dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana tersebut.

(38)

atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat ketat.

Kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan transnasional, tanpa mengenal batas negara, maka caara penanggulangannya disamping dengan penegakan hukum di tingkat nasional, maka diperlukan juga kerjasma internasional, ini dapat dilihat bahwa mencegah kegiatan pencucian dana hasil kegiatan melalui sistem keuangan, telah mendapat perhatian yang makin besar dari badan-badan pembentuk perundang-undangan, lembaga penegak hukum dan bank-bank sentral disejumlah negara.34

Berikut adalah beberapa cara-cara modus operandi kejahatan pencucian uang pada umumnya, antara lain :35

1. Melalui kerja sama modal.

Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luar neeri. Uang tersebut masuk kembali dalam bentuk kerja sama modal (join venture project). Keuntungan investasi tersebut diinvestasikan lagi dalam berbagai usaha lain. Keuntungan usaha lain dinikmati sebagi uang yang sudah bersih karena tampaknya secara legal, bahkan sudah dikenakan pajak.

2. Melalui agunan kredit.

Uang tunai diseludupkan ke luar negeri. Lalu disimpan di bank negara tertentu yang prosedur perbankannya termasuk lunak. Dari bank tersebut ditransfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito. Kemudian, dilakukan peminjaman ke suatu bank di Eropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang hasil kredit ditanamkan kembali ke negara asal uang haram tadi.

34

Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi , (Jakarta: Total Media,2013), hlm. 15

35

(39)

3. Melalui perjalanan luar negeri.

Uang tunai ditransfer ke luar negeri melalui bank asing yang ada di negaranya. Lalu, uang tersebut dicairkan kembali dan dibawa kebali ke negara asalnya oleh orang tertentu. Seolah-olah uang tersebut berasal dari luar negeri.

4. Melalui penyamaran usaha dalam negeri.

Dengan uang tersebut maka didirikanlah perusahaan samaran, tidak dipermasalahkan apakah uang tersebut berhasil atau tidak,tetapi kesannya usaha tersebut telah menghasilkan uang “bersih”.

5. Melalui penyamaran perjudian.

Dengan uang tersebut didirikanlah usaha perjudian. Tidak menjadi masalah apakah menang atau kalah. Akan tetapi, akan dibuat kesan menang sehingga ada alasan asal usul uang tersebut. Seandainya di Indonesia masih ada SDSB, nalo, lotre, dan lain-lain yang sejenisnya kepada pemilik uang haram dapat ditawarkan nomor yang menang dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian, uang tersebut memberikan kesan kepada yang bersangkutan sebagai hasil kemenangan kegiatan perjudian tersebut.

6. Melalui penyamaran dokumen.

Uang tersebut secara fisik tidak kemana-mana, tetapi keberadaannya didukung oleh berbagai dokumen palsu atau dokumen yang diadakan, seperti membuat

double invoice dalam jual beli dan ekspor impor. Agar ada kesan uang itu sebagai hasil kegiatan luar negeri.

(40)

Uang tunai dibawa ke luar negeri dengan berbagai cara, lalu uang tersebut dimasukkan kembali sebagi pinjaman luar negri. Hal ini seakan-akan memberikan kesan bahwa pelaku memperoleh bantuan kredit dari luar negeri. 8. Melalui rekayasa pinjaman luar negeri.

Uang secara fisik tidak kemana-mana, tetapi kemudian dibuat suatu dokumen seakan-akan ada bantuan atau pinjaman luar negeri. Jadi pada kasus ini sama sekali tidak ada pihak pemberi pinjaman. Yang ada hanya dokumen pinjaman, yang kemungkinan besar adalah dokumen palsu.

Terkait perbankan merupakan suatu bentuk usaha yang memliki keleluasaan dalan menghimpun dan meyalurkan dana sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang. Baik melalui placement, layering, maupun intergration.36 Ketiga bentuk tindak pidana pencucian uang tersebut (placement, layering, dan integration) pada dasarnya merupakan perbuatan yang terpisah atau berdiri sendiri. Namun dalam praktik, sering kali pelaku pencucian uang melakukan semua jenis tingkatan tersebut, yang mana terhadap pelaku dapat dikenakan dakwaan komulatif karena melanggar beberapa tindak pidana (concursus realis). Jika dilihat pasal-pasal tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, akan terlihat jenis atau tingkatan perbuatan pencucian uang, yakni sebagai berikut :37

a. Pasal 3 , merupakan tahapan, Placement, Layering, dan Intergration.

“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke

36

Juni Sjahfrien Jahja, Melawan Money Laundering,(Jakarta: Visi media,2012),hlm.7

37

(41)

luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

b. Pasal 4, merupakan tahapan Layering dan Integration.

“ Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,

lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

c. Pasal 5 Ayat (1), merupakan tahapan Layering dan Integration (Pencuci uang pasif).

“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

(42)

Perbankan juga sangat rentan bagi tindak pidana yang terorganisasi sehingga sangat strategis untuk dimanfaatkan. Tindak pidana yang terorganisasi biasanya bersembunyi dibalik suatu perusahaan atau nama lain (nominees) dengan melakukan perdagangan internasional palsu dan berskala besar dengan maksud untuk memindahkan uang yang tidak sah dari suatu negara ke negara lain. Perusahaan yang digunakan untuk menyembunyikan kegiatan tindak pidana tersebut biasanya meninta kredit/pembiayaan dari bank untuk menyamarkan aktivitas pencucian uang. Modus operandi lainnya,antara lain, dengan menggunakan faktur (invoice) palsu yang di mark up atau L/C palsu sebagai upaya untuk meyulitkan pengusutan di kemudian hari. Oleh karena itu, perbankan harus berhati-hati terhadap kemungkinan dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang.38

G. Metode Penulisan

Untuk membahas permasalahan yang ada di dalam skripsi ini, diperlukan Suatu metode pengumpulan data yang sesuai dengan objek pembahasannya agar mendapatkan data-data yang relevan dengan skripsi ini. Adapun metode pengumpulan data yang diterapkan dalam skripsi ini yaitu sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

38

(43)

2. Data dan Sumber Data

Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi :39

1) Bahan hukum primer, yakni bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dalam penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

e. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.

f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 Tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal Dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal.

39

(44)

g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah Dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank.

h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 tanggal 23 Oktober 2003 tentang Transaksi Keuangan Tunai Yang Mencurigakan.

2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan objek yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

3) Bahan hukum tersier yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus umum, majalah, jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

(45)

4. Analisis Data

Analisis data yakni dengan analisis kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skrpsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun secara sistematis dan dibagi dalam empat (4) bab yang secara garis besarnya akan digambarkkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang,perumusan masalah, tujuan penulisan,manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II URGENSI PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI DI

INDONESIA

Di dalam bab ini dibahas mengenai Latar belakang lahirnya pembatasan transaksi tunai di Indonesia, tujuan penerapan pembatasan transaksi tunai, manfaat pembatasan transaksi tunai, dan peluang dan tantangan pembatasan transaksi tunai pada masyarakat di Indonesia.

BAB III PEMBATASAN TRANSAKSI KEUANGAN TUNAI DAN

RELEVANSINYA DENGAN PEMBATASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

(46)

upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

(47)

BAB II

URGENSI PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI DI INDONESIA

A. Latar Belakang Lahirnya Pembatasan Transaksi Tunai di Indonesia.

Pembatasan transaksi tunai pada saat ini sudah masuk pada situasi yang mendesak untuk segera diberlakukan. Urgensi ini di latarbelakangi oleh beberapa kondisi yang secara garis besar terdiri dari:40

a. Eksploitasi pembayaran tunai dalam kejahatan termasuk skema pencucian uang menyebabkan hubungan antara pelaku kejahatan, kejahatan, dan perolehan hasil kejahatan menjadi terputus karena tidak dapat dilacak dalam sistem perbankan;

b. Meningkatnya frekuensi transaksi keuangan tunai di tengah masyarakat berbanding lurus dengan maraknya kasus-kasus korupsi dan pencucian uang yang terungkap menggunakan uang tunai;

c. Langkah penegakan hukum terbukti belum mampu mengikis korupsi dan pencucian uang sampai ke akar. Perlu upaya yang lebih strategis untuk mengurangi perilaku korupsi dan pencucian uang di Indonesia.

Pada tahun 2011, hasil survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparansi Internasional masih menempatkan Indonesia dalam kisaran angka 3 (tiga) dari angka 10 sebagai nilai terbaik. Hasil itu tentu saja tidak menggembirakan, jika dibandingkan dengan negara-negara yang dipersepsikan bersih dari praktik korupsi, seperti: New Zealand (9,5), Denmark (9,4), dan Finlandia (9,4). Bahkan

40

(48)

jika dibandingkan dengan negara tetangga serumpun seperti Malaysia (4,3) dan Brunei Darussalam (5,2), posisi Indonesia masih jauh tertinggal.41

Meskipun kita juga tidak menutup mata bahwa IPK Indonesia mengalami peningkatan 0,2 poin dari tahun sebelumnya, namun sebenarnya fenomena korupsi di Indonesia tidak banyak berubah. Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) mungkin dapat dijadikan data pembanding dalam melihat hal tersebut. Menurut survei PERC yang dilakukan pada tahun 2010 tersebut, Indonesia ditempatkan sebagai negara yang terkorup dari 16 negara tujuan investasi di wilayah Asia Pasifik dengan angka 9,27 dari angka 10 adalah yang paling terkorup.42

Terlepas dari fenomena demikian, ada satu hal yang penting untuk ditelaah lebih jauh dari tingkat korupsi Indonesia yang tak kunjung berubah tersebut, yaitu praktik korupsi di Indonesia yang seringkali dilakukan dengan pembayaran atau transaksi keuangan tunai dalam jumlah jumbo/besar. Pelaku yang memperoleh uang hasil kejahatan atau tindak pidana tersebut kemudian melakukan pembelian barang-barang mewah dengan menggunakan uang tunai.

Fenomena transaksi tunai itu juga sejalan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) yang menemukan bahwa saat ini terdapat peningkatan kebiasaan transaksi perbankan non-tunai/nonbank sebagian masyarakat di Indonesia. Menurut PPATK, transaksi pemindahan dana yang umumnya dilakukan secara non-tunai, baik transfer dana antar bank atau antar penyelenggara transfer dana maupun pemindahbukuan antar rekening di suatu

41

Corruption Perceptions Index (CPI) 2011, http://cpi.transparency.org/cpi2011/results/, diakses pada 5 januari 2015.

42

(49)

bank, mulai bergeser menuju transaksi tunai. Lebih jauh, PPATK juga memberi penekanan bahwa dalam periode Januari-Juli 2011 terdapat 1.144.431 Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dan 595 Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT). Jika dikalkulasikan sejak PPATK berdiri, maka tak kurang dari 9.775.854 LTKT dan 6.306 LPUT yang ditemukan. Dilihat dari sisi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari perancangan ulang ini adalah mengubah desain identitas visual Zangrandi Ice Cream menjadi berciri khas yang menunjukan konsep Zangrandi Ice Cream sebagai kedai es krim

Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya untuk mengajarkan kepada siswa bagaimanakah cara berpikir yang efektif (secara rasional dan ilmiah), melainkan

Peserta didik dapat mengidentifikasi dan menganalisa, menjelaskan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan beberapa teks deskriptif lisan dan tulis dengan

satnp;~i k(!l>i~d;~ ;ill-crti;~tif l)rrrii yarlg rr~~rrlgkir~.. Narnun dcrnikiw~, kctiga unit waktu yang dipcckcnalkan. 13r:11ttlrl tli atas safip,at rrlrvan clalarn

Hal ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama

Karena berkat rahmat dan kehendak-Nya , peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Analisis Pengaruh Relativisme, Idealisme, Opportunity, Pressure , Dan

Tentang pemenuhan hak politik, Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentunya wajib menjalankan dan melindungi hak-hak politik

Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur pada Pemilu Legislatif tahun 2014 di wilayah kabupaten Kotawaringin