• Tidak ada hasil yang ditemukan

50336800 03 Makalah Mr Amin Filsafat Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "50336800 03 Makalah Mr Amin Filsafat Pendidikan"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk yang memiliki akal pikiran, tentunya akan selalu berupaya menjadikan hidup dan kehidupannya menjadi lebih baik, lebih beradab, dan lebih sejahtera dari sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu bentuk kekuatan pikir manusia dalam menghadapi alam (lingkungan) di mana ia berada, manusia bertindak/berbuat bukan sekadar untuk survive (bertahan hidup) tetapi manusia terlahir sebagai sosok pembaharu bagi lingkungannya. Hal inilah yang membedakan antara manusia dan mahluk lain di muka bumi ini, betapapun hebatnya seekor Anjing dalam mengendus jejak kejahatan sebagaimana dilakukan oleh anjing pelacak, ternyata ia tidak mampu menjadikan hidupnya lebih baik atau dalam kasus yang lebih sederhana, tidak ada seekor anjing pun yang sadar mau berbagi dan bertukar makanan dengan kawannya, anjing tetaplah anjing yang tidak memiliki pikiran dan perasaan sebagaimana yang dimiliki manusia.

Dengan akal pikiran yang dimilikinya, manusia mampu melangsungkan dan mengembangkan kehidupannya sesuai dengan waktu dan ruang yang ia tempati (hidup di segala zaman). Dalam hal ini manusia secara kolektif meyakini adanya nilai-nilai, budaya, doktrin dan kebenaran yang mesti dilestarikan dengan cara ditransfer kepada generasi berikutya. Pada generasi yang lahir kemudian akan melakukan verifikasi dan pengembangan ke arah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman, tentunya dilakukan oleh sebuah kelompok atau lembaga yang bernama pendidikan.

(2)

sebagai manifest organisasi politik juga menginginkan pendidikan atau kurikulum yang dapat menopang dan mendukung ideology-ideologi politiknya.

Oleh karena itu, karakter pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan dari kondisi Negara (karakter-karakter manusia yang ada di dalamnya) yang menggambarkan ambisi-ambisi para pemimpin dan kekuatan-kekuatan social-politik yang sedang berkuasa. Dengan sendirinya pendidikan juga merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada. Contohnya, dalam Negara yang bercorak demokratis yang warga negaranya menghargai sifat-sifat unik dari setiap person, akan Nampak system pendidikannya yang sangat memperhatikan dan mengembangkan keunikan masing-masing pribadi dan kebebasannya. Di sisi lain, di Negara totaliter dengan pemerintahan yang menguasai segala-galanya lewat kekuasaan absolutnya, pemerintah membatasi kebebasan individu dengan memberikan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik. System pendidikannya Cuma satu, yaitu mencerminkan ide-ide politik untuk mendominir rakyat. Kartini Kartono (1977:77-82).

Di samping itu, wujud pendidikan dapat dipahami sebagai lembaga atau institusi, system, administrasi dan birokrasi, perilaku dan proses belajar-mengajar, bangunan keilmuan, dan lain sebagainya. Ini semua mengindikasikan bahwa pendidikan itu tidak dapat berdiri sendiri, dan mengandung makna yang bias secara fenomenal.

Pencarian terhadap esensi pendidikan seperti apa, bagaimana dan untuk apa pendidikan itu sebenarnya diselenggarakan telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu, sampai saat ini, para ahli pendidikan memberikan kesimpulan terhadap unsure-unsur dasar dalam pendidikan yaitu: 1) adanya pemberi, 2) penerima, 3) tujuan baik, 4) cara yang baik dan 5) konteks yang positif. Dengan adanya lima unsure dasar ini, pendidikan dapat dirumuskan sebagai aktivitas interaktif antara pemberi dan penerima untuk mencapai tujuan dengan cara yang baik dalam konteks yang positif (Muhadjir, 2000: 1-8)

B. Rumusan Masalah

Dari rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat Pendidikan? 2. Bagaimana perkembangan Filsafat Pendidikan?

(3)

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Filsafat Pendidikan. 2. Untuk mengetahui perkembangan Filsafat Pendidikan.

D. Manfaat

Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat meningkatkan pemahaman tentang Filsafat pendidikan.

2. Dapat mengembangkan pemikiran tentang perkembangan Filsafat Pendidikan. 3. Dapat dapat merilai dan menguji kebenaran tentang filsafat dan filsafat pendidikan.

(4)

A. Pengertian Pendidikan

Pendidikan atau pedagogi itu adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju kepada kedewasaan dan kemandirian (Langeveld, dalam Widodo, 2007:15). Sementara Kingsley mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses yang memungkinkan kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa (Kingsley, 1965:4)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232), pendidikan berasal dari kata “didik’, lalu diberikan awalan kata “me” sehinggan menjadi “mendidik” yang artinya memelihara dan memberi latihan. dalam memeliahara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran. Beberapa definisi pendidikan yang lain, diantaranya adalah sebagai berikut.

1. John Dewey.

Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual, emosional ke arah alam dan sesama manusia

2. M.J. Longeveled

Pendidikan adalah usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anaka agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

3. Thompson

Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya.

4. Frederick J. Mc Donald

Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia.

5. H. Horne

Pendidikan adalah proses yang terus-menerus dari penyesuaian yang berkembang secara fisik dan mental yang sadar dan bebas kepada Tuhan.

(5)

Pendidikan adalah pembekalan yang tidak ada pada pada saat anak-anak, akan tetapi dibutuhkan pada saat dewasa.

7. Ki Hajar Dewantara

Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

8. Ahmad D. Marimba

Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

9. Insan Kamil

Pendidikan adalah usaha sadar yang sistematis dalam mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia untuk menjadi manusia yang seutuhnya.

10. Ivan Illc

Pendidikan adalah pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.

11. Edgar Dalle

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.

12. Hartoto

Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis, dan terus-menerus dalam upaya memanusiakan manusia.

13. Ngalim Purwanto

Pendidikan adalah segala urusan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.

(6)

Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia.

15. W.P. Napitulu

Pendidikan adalah kegiatan yang secara sadar, teratur, dan terencana dalam tujuan mengubah tingkah laku ke arah yang diinginkan. Definisi Pendidikan menurut undang-undang dan GBHN 16. UU No. 2 tahun 1989 Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

17. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional

Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

18. GBHN

Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Dari beberapa definisi pendidikan di atas, pada dasarnya pengertian pendidikan yang dikemukakan memiliki kesamaan yaitu usaha sadar, terencana, sistematis, berlangsung terus-menerus, dan menuju kedewasaan.

B. Tujuan Pendidikan

Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Dibawah ini dikemukakan beberapa batasan tentang pendidikan yang bebeda berdasarkan fungsinya.

1. Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya

(7)

rasa tanggungjawab dan lain-lain, yang kurang cocok diperbaiki misalnya tata cara perkawinan, dan tidak cocok diganti misalnya pendidikan seks yang dahulu ditabukan diganti dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal.

Disini tampak bahwa,proses pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas kenyiapkan peserta didik untuk hari esok.

2. Sebagai Proses Pembentukan Pribadi

Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai sutu kegiatan yang sistematis dan sitemik dan terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.

Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang belum dewasa, dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri. Yang terakhir disebut pendidikan diri sendiri.

3. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan warga Negara

Pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.

4. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja

Pendidkan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memilki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran.

5. Definisi Pendidikan Menurut GBHN

GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990:105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: Pensisikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

(8)

Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.

Di dalam praktek pendidikan khususnya pada sistem persekolahan, di dalam rentangan antara tujuan umum dan tujuan yang sangat khusus terdapat sejumlah tujuan antara. Tujuan antara berfungsi untuk menjembatani pencapaian tujuan umum dari sejumlah tujuan rincian khusus. Umumnya ada 4 jenjang tujuan di dalamnya terdapat tujuan antara , yaitu tujuan umum, tujuan instruksional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.

 Tujuan umum pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila.

 Tujuan institusional yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga pendidikan tertentu untuk mencapainya.

 Tujuan kurikuler, yaitu tujuan bidang studi atau tujuan mata pelajaran.

 Tujuan instruksional , tujuan pokok bahasan dan sub pokok bahasan disebut tujuan instruksional, yaitu penguasaan materi pokok bahasan/sub pokok bahasan.

C. Fungsi Pendidikan

Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.

Dilihat dari segi anak didik, tampak bahwa anak didik secara tetap hidup di dalam lingkungan masyarakat tertentu tempat ia mengalami pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara lingkungan tersebut meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah an lingkungan masyarakat, yang disebut tripusat pendidikan.

1. Keluarga

(9)

kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik.

Pendidikan keluarga berfungsi:

Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak Menjamin kehidupan emosional anak

Menanamkan dasar pendidikan moral Memberikan dasar pendidikan sosial.

Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak.

2. Sekolah

Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah.

Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut;

 Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.

 Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.

 Sekolah melaqtih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.

 Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya.

3. Masyarakat

(10)

berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.

Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertia-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.

D. Pendidikan Sebagai Suatu Sistem 1. Pengertian Sistem

a. Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh.

b. Sistem meruapakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.

c. Sistem merupakan sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

d. (Tatang Amirin, 1992:11)

2. Komponen dan Saling Hubungan antara Komponen dalam Sistem Pendidikan.

Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum), environmental input(budaya, kependudukan, politik dan keamanan).

3. Hubungan Sistem Pendidikan dengan Sitem Lain dan Perubahan Kedudukan dari Sistem

(11)

4. Pemecahan masalah pendidikan secara sistematik.

a. Cara memandang sistem

Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan.

b. Masalah berjenjang

Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.

c. Analisis sitem pendidikan

Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama dari penggunaan analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secra sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam maslah pendidikan yang akan dipecahkan.

d. Saling hubungan antarkomponen

Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.

e. Hubungan sitem dengan suprasistem

(12)

5. Keterkaitan antara pengajaran dan pendidikan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari persoalan pengajaran dan pendidikan adalah: a. pengajaran dan pendidikan dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu

sama lain. Masing-masing saling mengisi

b. Pembedaan dilakukan hanya untuk kepentingan analisis agar masing-masing dapat dipahami lebih baik.

c. Pendidikan modern lebih cenderung mengutamakan pendidikan, sebab pendidikan membentuk wadah, sedangkan pengajaran mengusahakan isinya. Wadah harus menetap meskipun isi bervariasi dan berubah.

6. Pendidikan prajabatan (preservice education) dan pendidikan dalam jabatan (inservice education) sebagai sebuah sistem.

Pendidikan prajabatan berfungsi memberikan bekal secara formal kepada calon pekerja dalam bidang tertentu dalam periode waktu tertentu. Sedangkan pendidikan dalam jabatan bermaksud memberikan bekal tambahan kepada oramg-orang yang telah bekerja berupa penataran, kursus-kursus, dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan prajabatan hanya memberikan bekal dasar, sedangkan bekal praktis yang siap pakai diberikan oleh pendidikan dalam jabatan.

7. Pendidikan formal, non-formal, dan informal sebagai sebuah sistem.

Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal.

(13)

BAB II

FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Filsafat Pendidikan

Bila dirujuk dari akar kata pembentuknya, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan demikian, filsafat dapat diartikan sebagai “cinta kepada kebijaksanaan”. Berfilsafat dengan demikian juga bertujuan hanya untuk mencari, mempertahankan dan melaksanakan kebenaran/kebijaksanaan atau ditujukan untuk kebenaran itu sendiri, berfilsafat tidak bertujuan untuk ketenaran, pujian, kekayaan, atau yang lainnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan tradisi pemikiran filosofis Yunani yaitu suatu pemahaman atas “kebenaran-kebenaran pertama” (first truth), seperti baik, adil dan kebenaran itu sendiri, serta penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini dalam problema-problema kehidupan. Namun dalam perkembangannya, pengertian ini banyak ditolak oleh filosof-filosof yang lainnya dengan lebih meyakini filsafat sebagai pemikiran “teoretik” secara keseluruhan daripada sekadar perhatian kepada petunjuk moral atau tingkah laku.

Untuk lebih membenantu memahami filsafat, tentunya dapat dilihat dari tugas filsafat yang paling mendasar yaitu untuk menemukan konsep-konsep yang biasa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ilmu pengetahuan, lalu menganalisisnya dan menentukan makna-makna yang tepat dan saling berhubungan. Artinya, pengetahuan yang jelas dan akurat tentang sesuatu didahulukan atas hal-hal yang secara umum masih kabur. Ketiadaan pengetahuan yang jelas tentang arti dan hubungan-hubungan dari konsep-konsep yang kita gunakan, akan menjerumuskan kita kepada kekeliruan yang fatal dalam menghadapi persoalan-persoalan (masalah) tertentu. Selain itu, filsafat juga bertugas untuk membongkar secara kritis segala bentuk keyakinan-keyakinan yang kita miliki secara radikal, universal, konseptual, sistematik, bebas dan bertanggung jawab.

Beberapa definisi filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf berikut ini, mungkin akan lebih membantu untuk menafsirkan dan menjelaskan mengapa filsafat pendidikan dipelajari:

(14)

informal tentang filsafat. Filsafat dianggap sebagai sikap atau kepercayaan yang ia miliki.

2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Pengertian filsafat ini merefleksikan bentuk atau tugas dari filsafat kritik, khususnya dalam mengkritisi keyakinan-keyakinan dalam kehidupan kita sehari-hari.

3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Inilah yang menjadi tugas dari filsafat spekulatif dalam usahanya mentransendensikan pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam visi atau gambaran yang komprehensif.

4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan konsep. Pengertian ini termasuk dalam kategori kerja filsafat kritik sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa filsafat mempunyai tugas menganalisis konsep-konsep seperti substansi, gerak, waktu, dan sebagainya. 5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat

perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. Pengertian ini pada prinsipnya berada dalam pemikiran para filsuf dalam rangka menjawab berbagai problematika kehidupan dan tentunya terus berlangsung tanpa mengenal titik lelah (Widodo, 2007: 9)

Cabang-Cabang Filsafat 1) Ontologi

Ontologi atau sering juga disebut metafisika (meta = melampaui, fisik = dunia nyata/fisik) adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda atau realitas yang berada di belakang pengalaman yang langsung (immediate experience).

(15)

2) Epistemologi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode, dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar adalah: Apakah mengetahui itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimana cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan lain sebagainya. Dengan demikian, epistemologi membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan

3) Aksiologi

Aksiologi berbicara tentang nilai dan kegunaan dari segala sesuatu terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoretis dan praktis ilmu pendidikan

4) Logika

Logika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat diambil kesimpulan yang benar. Dengan kata lain logika adalah pengkajian yang sistematis tentang aturan-aturan untuk menguatkan premis-premis atau sebab-sebab mengenai konklusi aturan-aturan itu, sehingga dapat kita pakai untuk membedakan argument yang baik dan yang tidak baik.

(16)

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Tahapan Ontologi (hakikat ilmu pendidikan)

 Obyek apa yang telah ditelaah ilmu pendidikan?  Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?  Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya

tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?

 Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan?

 Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?

 Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?  Apa kriterianya?

 Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan? Aksiologi

(Guna Pengetahuan)

 Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?

 Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?

 Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?

 Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

diadopsi dari Suryasumantri, 1993

(17)

pendidikan. Begitu juga dengan pendidikan Indonesia yang tidak bisa terlepas dari filsafat Pancasila yang notabenenya merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Mudyahardjo (2004:5) membedakan pendidikan dalam dua macam, yaitu (1) praktek pendidikan dan (2) ilmu pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan. Yang selanjutnya, juga membedakan filsafat pendidikan ke dalam dua macam, yaitu (1) filsafat praktek pendidikan, dan (2) filsafat ilmu pendidikan. Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: (1) filsafat proses pendidikan (biasanya disebut filsafat pendidikan) dan (2) filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya; dan (3) dengan cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai. (Henderson, 1959, sebagaimana dikutip Mudyahardjo, 2004:5).

(18)

Filsafat Umum

FILSAFAT

Filsafat Khusus

Metafisika

Epistemologi

Logika

Aksiologi

Filsafat Pendidikan

Ontologi

Induksi Kosmologi

Humanologi

Teologi

Deduksi

Etika

Estetika

Filsafat Hukum

Filsafat Sejarah

Dan lain-lainnya

Filsafat Praktek Pendidikan

Filsafat Ilmu Pendidikan

Filsafat Proses Pendidikan

Filsafat Sosial Pendidikan

Ontologi Ilmu Pendidikan

Epistemologi Ilmu Pendidikan

Metodologi Ilmu Pendidikan

Aksiologi Ilmu Pendidikan Sumber: Mudyahardjo (2004:7)

Bagan 01

(19)

B. Epistemologi Ilmu Pendidikan 1) Objek Formal Ilmu Pendidikan

Objek formal ilmu pendidikan berkenaan dengan bidang yang menjadi keseluruhan ruang lingkup garapan ilmu pendidikan. Sedangkan objek material ilmu pendidikan berkenaan dengan aspek-aspek yang menjadi garapan penelidikan langsung ilmu pendidikan.

Objek formal ilmu pendidikan menurut Mudyahardjo (2004:45) adalah pendidikan, yang dapat diartikan secara maha luas, sempit dan luas terbatas. Pendidikan dalam artian yang maha luas adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar, yang oleh karenanya pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya.

Sedangkan dalam pengertian pendidikan dalam arti sempit adalah sekolah atau persekolahan (schooling). Sekolah adalah lembaga pendidikan formal sebagai salah satu hasil rekaya dari peradaban manusia, di samping keluarga, dunia kerja, negara dan lembaga keagamaan. Oleh karena itu, pendidikan dalam arti sempit adalah pengaruh yang diupayakan dan direkayasa sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mereka mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka.

(20)

pada bentuk kegiatan pendidikannya yang dilaksanakan secara terprogram dan sistematis.

Tabel 01: Perbandingan Konsep Pendidikan dalam arti Maha Luas, Sempit, dan Luas Terbatas

Tertium

Komparison Maha Luas Sempit Luas Terbatas

Definisi Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan hidup dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar

terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan. Tujuan Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta latihan) dan satuan-satuan pendidikan (sekolah/luar khusus diciptakan untuk kepentingan pendidikan

Pendidikan terentang dari kegiatan yang mistis atau tidak sengaja sampai dengan kegiatan

(21)

pendidikan yang berorientasi pada peserta didik terjadwal dalam tenggang waktu tertentu.

Pendidikan Pendidikan berlangsungseumur hidup dalam setiap saat selama ada pengaruh pendidikan terbatas pada kegiatan bersekolah.

Pendukung Kaum humanis, kaum humanis radikal cenderung perpaduan yang harmonis antara pendidikan sekolah dan pendidikan luar menyelidiki keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan nasional, dan 2) ilmu pendidikan mikro, atau ilmu pendidikan yang menyelidiki satuan pendidikan atau kegiatan pendidikan secara keseluruhan atau hanya satu satuan atau satu bentuk kegiatan pendidikan.

(22)

Ilmu Pendidikan Administratif

Ilmu Pendidikan Makro

ILMU PENDIDIKAN

Ilmu Pendidikan Komparatif

Ilmu Pendidikan Historis

Ilmu Pendidikan Kependudukan

Ilmu Pendidikan Mikro

Ilmu Mendidik Umum

Ilmu Mendidik Khusus

Pedagogik Teoretis

Ilmu Pendidikan Psikologis

Ilmu Pendidikan Sosiologis

Ilmu Pendidikan Antropologis

Ilmu Pendidikan Ekonomik

Ilmu Persekolah

Ilmu Pendidikan Luar Sekolah

Ilmu Pendidikan Luar Biasa (Orthopedagogik

Mudyahardjo (2004: 87) Bagan 02

Klasifikasi Cabang-cabang Ilmu Pendidikan

C. Aksiologi Ilmu Pendidikan

(23)

Meskipun status ilmiahnya masih belum sejajar dengan ilmu-ilmu yang sudah mapan, ilmu pendidikan dapat memberikan sumbangan teoretis terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial (Social Sciences) atau ilmu-ilmu tingkah laku (Behavioral Sciences). Sumbangan tersebut, antara lain berupa memperluas konsep-konsep ilmiah yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau pada tingkah laku manusia. Ilmu pendidikan menghasilkan konsep-konsep ilmiah tentang pola tingkah laku dalam proses belajar mengajar yang berlangsung di lingkungan hidup manusia. Konsep tersebut menambah rekanan konsep-konsep aspek sosial-budaya dalam kehidupan manusia.

2) Aksiologi Ilmu Pendidikan (Nilai Kegunaan Praktis)

Konsep-konsep yang dihasilkan oleh ilmu pendidikan dapat memberi pedoman dasar kerja pendidikan/pengelola pendidikan dalam melaksanakan tugasnya. Konsep-konsep yang dikembangkan ilmu pendidikan, berkenaan dengan bagaimana proses pengelolaan dan pelaksanaan praktek pendidikan terselenggara. Dengan demikian konsep-konsep tersebut merupakan prinsip-prinsip tentang praktek-praktek pengelolaan dan kegiatan pendidikan (mendidik).

Hasil penelitian Arora Kamla sebagaimana dikutip Mudyahardjo (2004:196) menyatakan bahwa karakteristik profesional yang sangat mempengaruhi efektivitas guru mengajar adalah berkenaan dengan kemampuan-kemampuan: 1) menerangkan dengan jelas topik-topik yang menjadi bahan ajaran, 2) menyajikan dengan jelas tentang mata pelajaran, 3) mengorganisasikan secara sistematis tentang mata pelajaran, 4) berekspresi, 5) membangkitkan minat dan dorongan siswa untuk belajar, dan 6) menyusun rencana dan persiapan mengajar. Penguasaan keenam kemampuan tersebut merupakan awal dan sangat mempengaruhi efektivitas guru mengajar.

D. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan

(24)

penafsiran yang keliru mengenai pendidikan sebagai sebuah sistem dan sebagai manifes dari kehidupan manusia itu sendiri.

Rasionalisme menganggap bahwa kecerdasan yang terlatih adalah penyedia cara terbaik untuk hidup, pemikiran ini cenderung kearah pemerintahan yang terbuka dan liberal, serta ke arah corak yang serupa dengan (dan mendukung) system-sistem pemerintahan yang liberal. Sebaliknya, non-rasional menganggap bahwa kebanyakan kebenaran yang punya arti penting hanya bisa diakses melalui cara-cara non-rasional; misalnya lewat wahyu, iman, atau intuisi mistis, atau menganggap bahwa penalaran aktif, kurang dapat dipercaya ketimbang pola-pola keyakinan dan perilaku social yang konvensional. Orientasi-orientasi semacam itu hampir pasti memilih pula ‘pendidikan yang keras’

Konservatisme pendidikan menganggap bahwa nalar adalah baik, namun nalar mesti tetap menjadi subordinat atau bawahan dari pola-pola keyakinan dan perilaku social yang lebih dulu dinalar (atau yang memiliki potensi kenalaran), yang muncul dari penyesuaian-penyesuaian budaya terhadap keadaan-keadaan yang muncul sepanjang sejarah sebuah masyarakat yang sebelumnya tidak dinalat (namun yang diprakirakan berkualitas nalar).

Liberalisme, Liberasionisme dan Anarkisme (ketiga-tiganya) menganggap bahwa kebaikan tertinggi adalah untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan pengungkapan sepenuh-penuhnya dari kecerdasan terlatih, yakni pemikiran kritis yang dipandang sebagai penerapan praktis dari proses-proses penyelesaian masalah personal maupun social secara ilmiah. Ketiganya berbeda dalam hal bagaimana mereka memandang kondisi-kondisi yang diperlukan bagi terjadinya pemikiran kritis semacam itu.

(25)

prasyarat bagi kecerdasan umum yang sepenuhnya berkembang. Sebaliknya juga, seorang anarkis merasa bahwa, bias dikatakan semua system politik dan pendidikan pasti merupakan kekuatan yang mengasingkan dan menindas, dan berada di antara kecenderungan alamiah individu ke arah perwujudan diri, dengan kecenderungan yang juga sama alamiahnya untuk menjadi terlibat secara budaya (namun tidak secara social) dalam semua corak pemikiran kritis yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kehidupan social yang dihidupkan oleh kecerdasan dan kerjasama.

Satu dari sekian problem yang berat dalam berbicara mengenai keterkaitan yang ada antara pendidikan dengan sudut pandang filosofis yang melandasinya adalah persoalan melacak pola yang relative jelas dan langsung mencerminkan hubungan antara berbagai perbedaan fundamental di wailayah etika serta filosofi politik di satu sisi dan berbagai perbedaan ideology pendidikan di sisi yang lain.

Secara umum, O’neill (2002:125-126) menguraikan adanya tiga pola keterkaitan yang berlangsung antara posisi-posisi dasar dalam etika social serta teori pendidikan.

1. Keteraitan logis, yang terjadi di mana ada hubungan yang relative jelas dan perlu, yang tersimpul di antara posisi-posisi moral dan politis; atau keterkaitan yang jelas antara posisi-posisi itu (yang secara umum dipandang dalam perpaduan, sebagai etika social) dengan ideology pendidikan. Ada umpamanya, sebuah hubungan logis yang cukup jelas antara rasionalisme filosofis atau teologis di ranah moral dengan sebuah komitmen politis dalam salah satu bentuk meritokrasi, seperti juga ada hubungan yang cukup terbuka antara meritokrasi politis dengan pemakaian sekolah-sekolah untuk mengembangkan sebuah elit intelektual atau elit moral.

(26)

3. Keterkaitan sosial adalah asosiasi yang nampak jelas yang ada di antara posisi moral dan filosofis di dalam budaya tertentu di suatu saat tertentu dalam sejarah. Posisi-posisi konservatif tertentu (seperti fundamentalisme secular dan jenis-jenis konservatisme secular) khususnya merumuskan diri sendiri dalam peristilahan ‘tradisi-tradisi budaya’ atau ‘pola-pola keyakinan dan perilaku yang lestari’. Keduanya terkenal sulit dirumuskan dengan ketepatan dan ketegasan, dan keduanya jelas sekali sangat dikondisikan oleh wajah budaya tertentu di suatu saat tertentu. Sudut pandang semacam itu hanya bias didiskusikan secara cerdas di dalam kerangka kerja batasan-batasan budaya dan sejarah yang dirumuskan lebih dulu dengan tegas. Jadi, program tertentu yang diajukan oleh banyak konservatifis social, dalam kaitannya dengan politik pendidikan, cenderung untuk jauh berbeda dalam budaya yang berbeda dan dalam era yang berbeda meski budaya pokoknya sama. Misalnya, seorang Amerika yang berpandangan politik konservatif di tahun 1783 akan menjadi seorang individu yang berlainan dengan seorang Amerika yang berpandangan konservatif di tahun 1876 atau 1978.

Untuk itu kita perlu kembali kepada persoalan mendasar tentang pendidikan dan manusia. Pendidikan tidak lain (kalau boleh dikatakan demikian) menurut pandangan di atas, sebenarnya adalah proses perwujudan diri individu manusia untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki melalui garis intelektualitas dan moralitas yang dimilikinya.

Ada tiga dalil pokok mengenai nilai sebagai perwujudan diri manusia, yaitu:

1) Petunjuk-petunjuk moral hanya berlaku tentang hal-hal yang bagi manusia adalah mungkin (untuk dilakukan atau tidak dilakukan, untuk menjadi atau untuk tidak menjadi);

2) Seluruh kemungkinan merujuk pada potensi-potensi tertentu dalam diri manusia, yang bisa dikenali, untuk bertindak atau untuk menjadi.

(27)

Dari tiga dalil pokok ini, kita dapat membedakan mana perilaku yang termasuk mewujud (bermoral) yang dilakukan oleh seseorang dan mana yang tidak bermoral (potensi-potensi pada diri individu tidak mewujud-imoral).

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin manusia menjalani hidup yang baik, atau hidup di mana dirinya mewujud. Secara umum, ada enam sudut pandang fundamental tentang bagaimana caranya hidup secara baik, dan keenam sudut pandang ini juga merupakan dasar dari pandangan filosofis bagi munculnya aliran-aliran filsafat pendidikan (hal ini mendominasi kebudayaan Barat kontemporer), O’neill (2002:94-95):

1. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap berbagai tolok ukur (standar) intuitif dan/atau yang terungkap pada keyakinan dan perilaku.

2. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari pencerahan filosofis dan/atau keagamaan yang didasarkan pada penalaran spekulatif serta kebijaksanaan metafisis.

3. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap berbagai tolok ukur yang mapan (konvensional) tentang keyakinan dan perilaku. 4. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari kecerdasan praktis

(yakni pemecahan masalah secara efektif)

5. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari pengembangan lembaga-lembaga sosial yang baru dan lebih manusiawi (humanistik).

6. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari penghapusan pembatasan-pembatasan kelembagaan, sebagai sebuah cara untuk memajukan perwujudan kebebasan personal yang sepenuh-penuhnya.

Keenam filosofi moral di atas, kemudian dibagi lagi ke dalam ranah filosofi politik dasar, tiga diantaranya merupakan ungkapan politis mendasar dari sudut pandang Konservatif.

1) Konservatisme reaksioner (otoritarianisme anti-intelektual) 2) Konservatisme filosofis (otoritarianisme intelektual) 3) Konservatisme sosial (konvensionalisme otoritarian)

(28)

Ketaatan Terhadap Tolok

Dapat dicapai dengan mengikuti sebuah filosofi moral yang didasarkan pada

Pencerahan filosofis

Yang mengungkapkan diri dalam tingkat politis sebagai 2) Liberasionisme politis

3) Anarkisme politis

Dasar-dasar filosofis bagi landasan pendidikan sebagaimana diungkap di atas, dapat diringkas ke dalam bentuk bagan sebagaimana berikut.

(29)

Konservatisme Reaksioner ditentukan dan hak milik di dalam sebuah ekonomi yang

(30)

LIBERALISME

Fundamentalisme meliputi semua corak konservatisme politik yang pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan/atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah mapan (yang biasanya diabsahkan sebagai ‘akal sehat’)

Dalam ungkapan politisnya, konservatisme reaksioner gagasan untuk kembali kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan atau kebijakan-kebijakan masa silam, baik yang benar-benar pernah ada ataupun yang sekadar dikhayalkan. Ada dua variasi dari sudut pandang semacam itu jika diterapkan dalam pendidikan. Variasi pertama, fundamentalisme pendidikan religius, yang tampak dalam pondok pesantren. Variasi kedua fundamentalisme pendidikan sekular, berciri mengembangkan komitmen yang sama tidak luwesnya dibanding yang disepakati, yang umumnya menjadi pandangan dunia ‘orang biasa’.

(31)

Tujuan pendidikan secara menyeluruh

Tujuan utama pendidikan adalah untuk membangkitkan dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik, untuk memapankan kembali tolok ukur keyakinan dan perilaku tradisional.

Tujuan-tujuan sekolah

Sekolah ada karena dua alasan mendasar: 1) untuk membantu membangun kembali masyarakat dengan cara mendorong langkah kembali ke tujuan-tujuan aslinya dan agar tetap konsisten dengan tujuan itu; 2) untuk menyalurkan informasi dan keterampilan-keterampilan yang perlu agar berhasil dalam tatanan sosial yang ada sekarang.

Ciri-ciri umum

Fundamentalisme pendidikan dapat dikarakteristisasikan sebagai berikut.

1) Ia yakin bahwa pengetahuan terutama merupakan alat untuk membangun kembali masyarakat dalam mengejar pola kesempurnaan moral yang pernah ada di masa silam.

2) Ia menekankan bahwa manusia adalah agen moral, menekankan ketaatan terhadap aturan moral yang jelas dan lengkap, dan menekankan nilai patriotisme yang dirumuskan secara sempit.

3) Secara diam-diam ataupun terang-terangan anti-intelektual, menentang pengujian kritis terhadap pola-pola keyakinan dan perilaku yang mereka pilih. 4) Pendidikan pertama-tama dipandang sebagai proses regenerasi moral.

5) Memusatkan perhatian pada tujuan asli tradisi-tradisi serta lembaga-lembaga sosial yang ada, menekankan ‘kembali ke masa silam’ sebagai sebuah orientasi-ulang yang bersifat korektif terhadap pandangan modern yang terlalu menekankan masa kini dan masa depan.

6) Menekankan pengenalan kembali cara-cara lama yang sudah teruji oleh waktu, kebutuhan untuk kembali kepada kebaikan-kebaikan nyata atau yang dikhayalkan ada di era yang lalu.

(32)

8) Berlandaskan prakiraan-prakiraan yang tersirat dan/atau yang tidak pernah diuji kebenarannya tentang hakikat kenyataan, yang umumnya didasarkan pada ‘akal sehat’ atau kepastian intuitif atau iman keagamaan.

9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi berada di tangan komunitas orang-orang yang memiliki iman sejati (the true believers), bahwa kebenaran ditentukan melalui sebuah kesepakatan di antara orang-orang yang telah mencapai pencerahan moral.

Anak-anak sebagai pelajar

Anak-anak condong ke arah kekeliruan dan kejahatan jika tidak ada bimbingan yang kuat dan pengajaran yang baik.

Kesamaan-kesamaan individual lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan di antara mereka, dan kesamaan-kesamaan ini secara tepat bersifat menentukan dalam memapankan program-program pendidikan yang baik.

Anak-anak secara moral setara di sebuah jagat ketidaksetaraan kesempatan objektif. Mereka musti memiliki kesempatan-kesempatan setara supaya bisa berjuang untuk mendapatkan ganjaran yang terbatas yang tersedia, namun keberhasilan musti dikondisikan pada prestasi personal dalam dunia yang bercirikan persaingan keras bagi keberhasilan moral dan material.

Seorang anak pada intinya mampu menentukan nasibnya sendiri; ia memiliki kehendak bebas yang personal, dalam arti tradisional dari istilah itu.

Administrasi dan kontrol

Wewenang di bidang pendidikan harus diletakkan di tangan para manajer akademik terlatih, yang tidak musti merupakan kaum intelek ataupun pendidikan profesional.

Wewenang guru harus didasarkan pada profil moral yang lebih tinggi dalam diri guru tersebut.

Hakikat kurikulum

(33)

2) Sekolah mesti memusatkan perhatian pada pembaharuan pola-pola budaya lama; ia harus membantu siswa untuk menemukan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi-tradisi budaya mendasar.

3) Penekanan harus diberikan pada regenerasi moral, dalam hal membangun kembali masyarakat menurut jalur-jalur pendekatan tradisional terhadap keyakinan dan perilaku.

4) Lapangan studi harus dipilih untuk mengarahkan siswa.

5) Tekanan mesti diletakkan di penyesuaian moral (indoktrinasi moral) melebihi pengetahuan akademik (yakni belajar tentang bagaimana caranya belajar, serta menguasai jenis pengetahuan dan keterampilan teknis yang hanya secara tidak langsung terkait dengan persoalan-persoalan manusia yang utama). Indoktrinasi moral juga harus lebih dipentingkan ketimbang penyesuaian praktis, yakni belajar tentang hal-hal yang segera berguna. Sekaligus meminimalkan penyesuaian intelektual (yakni yang ideasional, berurusan dengan teori penafsiran yang luas).

6) Sekolah musti menekankan latihan moral dan jenis keterampilan-keterampilan akademik serta praktis yang diperlukan untuk membantu siswa untuk menjadi anggota yang aktif dalam tatanan sosial yang diregenerasikan secara tepat: keterampilan-keterampilan belajar yang mendasar, pelatihan pembentukan karakter, pendidikan fisik (termasuk pelajaran kesehatan), sejarah nasional, kesusasteraan nasional, pelajaran agama, dan seterusnya.

Metode pengajaran dan penilaian hasil belajar

1) Penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara pengajaran di dalam kelas yang tradisional, seperti misalnya ceramah, hapalan, belajar dengan diawasi dan dituntun, serta diskusi kelompok yang terstruktur secara ketat.

(34)

3) Yang terbaik adalah pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru. Sebab, siswa tidak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses perkembangan intelektualnya sendiri.

4) Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal kesempurnaan moral dan akademik.

5) Tes-tes untuk mengukur keterampilan dan informasi yang dimiliki siswa lebih baik daripada tes-tes yang menekankan kemampuan analitis dan spekulasi abstrak siswa.

6) Persaingan antar-personal untuk mendapatkan nilai terbaik (dalam ujian, tes, kelakuan, dan sebagainya) dan peringkat nilai tertinggi di kelas antara para siswa adalah hal yang dikehendaki dan perlu diadakan demi memupuk kesempurnaan.

7) Penekanan harus diberikan pada yang kognitif (khususnya yang informasional) dengan tekanan kedua pada yang afektif dan interpersonal. 8) Penekanan harus diletakkan pada pemulihan kembali prinsip-prinsip dan

praktik-praktik pendidikan tradisional (nasional dan/atau etnis).

9) Bimbingan dan penyuluhan pribadi serta terapi kejiwaan adalah fungsi-fungsi keluarga dan/atau gereja, bukan sekolah.

Pengendalian ruang kelas

Para siswa mesti menjadi warganegara yang baik dalam penyesuaian diri dengan cita-cita masyarakat yang melakukan regenerasi moral.

Para guru secara umum harus bersikap ketat, non-permisif, dalam tatacara-tatacara pengendalian situasi di ruang kelas, sedangkan para siswa diharapkan menyesuaikan diri dengan wewenang yang telah ditetapkan.

Pendidikan moral (latihan pembentukan watak) adalah dasar dan tujuan persekolahan.

2. Intelektualisme Pendidikan

(35)

dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi. Dalam pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan diri sebagai intelektualisme pendidikan, di mana ada dua variasi mendasar: intelektualisme pendidikan, yang pada intinya bersifat sekular dan dapat diamati dalam pemikiran beberapa orang teoretisi pendidikan kontemporer seperti misalnya Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler. Dan Intelektualisme teologis, yang memiliki orientasi sebagaimana terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan Katolik Roma kontemporer seperti William McGucken dan John Donahue.

Ideologi dasar intelektualisme pendidikan dirangkum O’neill (2002:287-290) berikut ini.

Tujuan Pendidikan Secara Meneyeluruh

Tujuan utama pendidikan adalah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan dan menyalurkan Kebenaran (yakni pengetahuan tentang makna dan nilai penting kehidupan secara mendasar).

Sasaran-sasaran Sekolah

Sekolah diadakan karena dua alasan mendasar: 1) Untuk mengajar siswa tentang bagaimana cara menalar (bagaimana cara berpikir secara jernih dan tertata), dan 2) Untuk menyalurkan kebijaksanaan yang tahan lama dari masa silam.

Ciri-ciri Umum Intelektualisme Pendidikan

1) Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan dalam dirinya sendiri, bahwa ‘tahu’ bukanlah sekadar cara meningkatkan keefektifan perilaku praktis semata.

2) Menekankan manusia sebagai manusia, yakni bahwa manusia memiliki hakikat universal yang melampaui keadaan-keadaan tertentu di suatu saat/tempat.

3) Menekankan nilai-nilai intelektualisme tradisional, yakni pemupukan nalar serta penerusan kebijaksanaan spekulatif (filosofis).

4) Memandang pendidikan sebagai sebuah orientasi ke arah kehidupan secara umum, bukan sebagai hal penyesuaian situasional.

(36)

6) Menekankan stabilitas filosofis sebagai prioritas yang lebih tinggi ketimbang kebutuhan akan perubahan, menekankan stabilitas intelektual dan keberlanjutan (kontinuitas), apa yang biasa disebut ‘kebenaran-kebenaran kekal’ (perenial) yang melampaui ruang dan waktu.

7) Berdasarkan pada sistem ideologis tertutup yang berisi kemutlakan-kemutlakan filosofis.

8) Berdiri di atas landasan kebenaran-kebenaran yang terbukti dengan sendirinya, yang inheren di dalam nalar dan/atau kenyataan itu sendiri.

9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi terletak pada kecerdasan (intelek) itu sendiri, bahwa kebenaran dapat dipahami lewat cara penalaran murni.

Anak-anak sebagai Pelajar

Seorang anak condong ke arah kebijaksanaan dan kebaikan, karena secara hakiki ia adalah mahluk yang rasional dan sosial.

Kesamaan-kesamaan individual lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan individual, dan kesamaan-kesamaan itu secara tetap bersifat menentukan (determinatif) dalam memapankan program-program pendidikan yang layak. Anak-anak secara moral setara di dalam sebuah dunia ketidaksetaraan kesempatan-kesempatan objektif; mereka harus memperoleh kesempatan yang setara untuk mencapai keunggulan intelektual, meskipun kemampuan untuk mencapai keunggulan intelektual tersebut tidaklah tersebar secara merata ke seluruh populasi.

Seorang anak pada dasarnya bersifat menentukan nasib sendiri; ia memiliki kehendak bebas yang personal dalam arti tradisional.

Administrasi dan Kontrol

Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan elit intelektual yang berpendidikan tinggi.

Wewenang guru harus didasarkan kepada kebijaksanaan sang guru yang lebih tinggi dibanding para siswa.

(37)

1) Sekolah musti menekankan disiplin intelektual, melatih siswa supaya mampu menalarkan secara jelas dan tertata.

2) Sekolah harus memusatkan diri pada penalaran serta kebijaksanaan spekulatif. 3) Penekanan harus memusatkan pada gagasan-gagasan serta teori-teori abstrak. 4) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus menjadi hampir sepenuhnya

diarahkan atau mengikuti garis-garis yang telah ditetapkan.

5) Yang harus ditekankan adalah yang intelektual, (yakni yang bersifat ideasional, berkaitan dengan teori penafsiran yang luas). Ketimbang yang praktis, (yang segera berguna bagi siswa), ataupun yang akademis, (belajar tentang bagaimana caranya belajar, dan menguasai jenis pengetahuan teknis secara tidak langsung dengan persoalan-persoalan manusia yang nyata). 6) Sekolah harus menekankan filosofi dan/atau teologi, kesusastraan (khususnya

sastra dan inetelektual klasik yang sudah mapan di dunia Barat), serta tafsir sejarah yang luas cakupannya, dalam tradisi Edward Gibbon, Oswald Spengler, dan Arnold Toynbee.

Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar

Tekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara ruang kelas tradisional, seperti misalnya ceramah, hapalan, tes-tes Sokratik (diarahkan oleh guru), dan diskusi kelompok yang sangat terstruktur.

Ulangan/latihan berdasarkan hapalan adalah cara terbaik untuk membiasakan kebiasaan yang tepat di tingkat pendidikan yang lebih rendah, namun mesti dikembangkan ke arah pendekatan-pendekatan yang lebih terbuka dan bersifat intelektual, menampilkan penalaran formal (deduktif/dari yang umum menuju khusus), selama tahap-tahap pendidikan lanjutan.

Pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru adalah yang terbaik, namun sang guru musti selalu berusaha untuk bekerjasama dengan sifat-sifat yang hakiki siswa yang secara alamiah rasional, daripada menuntun kepatuhan membuta melalui tatacara-tatacara indoktrinasi.

(38)

Tes-tes yang ditujukan untuk mengukur ketajaman intelektual (seperti ujian-ujian bercorak esai) lebih disukai ketimbang yang menekankan isi faktual (seperti dalam ujian-ujian yang bercorak ‘pilihan objektif’).

Lantaran kemampuan intelektual tersebar secara tidak merata, dan keunggulan intelektual adalah sesuatu yang sulit dicapai, maka persaingan antar pribadi hingga taraf tertentu bisa dikatakan tersirat dalam situasi akademis manapun yang baik, dan persaingan dalam mengejar keunggulan intelektual dapat dimanfaatkan untuk memajukan sasaran-sasaran intelektual yang absah.

Penekanan harus diletakkan pada yang kognitif, melebihi yang afektif dan yang bersifat antarpribadi.

Penekanan harus pula diletakkan pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip dan praktik-praktik pendidikan yang dikenali dan dirumuskan oleh para pemikir besar dari tradisi intelektual Barat.

Bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi kejiwaan bukanlah hal-hal yang diperhatikan oleh sekolah, dan seharusnya ditangani oleh agen-agen sosial lain yang lebih cocok untuk menyediakan tuntunan serta terapi semacam itu.

Kendali RuangKelas

Siswa-siswi harus menjadi warganegara yang baik dalam ranah berbagai tolok ukur moral tertentu yang bersifat mutlak, dan mereka musti dianggap mampu secara moral untuk bertanggungjawab atas perilaku mereka sendiri.

Para guru harus secara umum tidak bersikap ‘serba membolehkan’, (permisif), dalam tatacara-tatacara memegang kendali ruang kelas, namun wewenang harus selalu diabsahkan dan/atau bisa dibenarkan oleh nalar.

Pendidikan moral (pelatihan watak) adalah aspek yang penting dan terelakkan dari persekolahan, namun sekolah musti memusatkan perhatiannya pada penjelasan dan pembuktian landasan intelektual dari prinsip-prinsip moral yang pokok.

3. Konservatisme Pendidikan

(39)

tatanan, sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif. Sejalan dengan itu, di tingkat politis, orang-orang konservatif cukup mewakili dalam tulisan-tulisan para tokoh seperti Edmund Burke, James Madison, dan para penulis The Federalis Paper.

Dalam dunia pendidikan seorang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua ungkapan dasar konservatif dalam pendidikan. Yang pertama adalah konservatisme pendidikan religius, yang menekankan peran sentral pelatihan rohaniah sebagai landasan pembangunan karakter moral yang tepat. Yang kedua adalah konservatisme pendidikan sekular, yang memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meneruskan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada, sebagai cara untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektivitas secara kuat oleh orientasi pendidikan yang bersifat lebih Al-kitabiah dan Evangelis (mendakwahkan agama) yang secara teologis jelas-jelas kurang liberal jika dibandingkan dengan berbagai aliran utama.

Ideologi mendasar konservatisme pendidikan adalah (dengan tanpa membedakan antara konservatisme sekular dan teologis):

Tujuan Pendidikan Secara Keseluruhan

Tujuan utama pendidikan adalah untuk melestarikan dan menyalurkan pola-pola perilaku sosial konvensional.

Sasaran-sasaran Sekolah

Sekolah diadakan karena dua alasan:

1) Untuk mendorong tentang pemahaman dan penghargaan terhadap lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, proses-proses budaya yang telah teruji oleh waktu, termasuk rasa hormat yang mendalam terhadap hukum dan tatanan.

2) Untuk menyalur dan menanamkan informasi serta keperluan informasi yang diperlukan supaya berhasil di dalam tatanan sosial yang ada.

Ciri-ciri umum Konservatisme Pendidikan

(40)

2) Menekankan peran manusia sebagai warganegara; manusia dalam perannya sebagai anggota sebuah negara yang mapan.

3) Menekankan penyesuaian diri yang bernalar; menyandarkan diri pada jawaban-jawaban terbaik dari masa silam sebagai tuntunan yang paling bisa dipercaya untuk memandu tindakan di masa kini.

4) Memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialisasi) nilai-nilai sistem yang mapan.

5) Memusatkan perhatian kepada tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga sosial yang ada, menekankan situasi sekarang (yang dipandang melalui sudut pandang kesejarahan yang relatif dangkaldan berpusat pada etnisnya sendiri (etnosentris).

6) Menekankan stabilitas budaya, melebihi kebutuhan akan pembaharuan/perombakan budaya, hanya menerima perubahan-perubahan yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah mapan.

7) Berdasarkan sebuah sistem budaya tertutup (etnosentrisme), menekankan tradisi-tradisi sosial yang dominan, dan menekankan perubahan secara bertahap di dalam situasi sosial yang secara umum stabil.

8) Mengakar pada kepastian-kepastian yang sudah teruji oleh waktu, dan meyakini bahwa gagasan-gagasan serta praktik-praktik kemapanan lebih sahih dan berhasil ketimbang gagasan-gagasan serta praktik-praktik yang lahir dari spekulasi yang relatif tak terkendalikan.

9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya dominan dengan segenap sistem keyakinan dan perilakunya yang mapan

Anak sebagai Pelajar

Siswa memerlukan bimbingan yang ketat serta pengarahan yang jelas sebelum ia menjadi terbelajarkan (tersosialisasikan) secara efektif sebagai seorang warga negara yang bertanggung jawab.

(41)

Anak-anak secara moral setara di dalam sebuah dunia kesempatan-kesempatan di dalam dunia objektif yang tak setara; mereka harus memiliki kesempatan setara untuk mengejar sejumlah ganjaran terbatas yang tersedia. Namun keberhasilan musti dikondisikan berdasarkan prestasi kebaikan personal.

Seorang anak pada intinya menentukan nasibnya sendiri; ia memiliki kehendak bebas personal dalam arti yang tradisional.

Administrasi dan Pengendalian

Wewenang pendidikan musti ditanamkan dalam diri para pendidikan profesional yang matang serta bertanggung jawab yang memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap proses yang telah ditetapkan dalam yang cukup bijaksana untuk menghindari perubahan-perubahan yang berlebih-lebihan dalam menanggapi tuntutan masyarakat luas.

Wewenang guru mesti didasarkan pada peran dan status sosial yang dimilikinya.  Hakikat Kurikulum

a) Sekolah mesti melakukan pembelajaran politis, melatih siswa untuk menjadi warga negara yang baik.

b) Sekolah harus memperhatikan pada pengkondisian sosial membantu siswa untuk mencapai pemenuhan nilai-nilai budaya konvensional.

c) Penekanan harus diletakkan pada keterampilan-keterampilan dasar, pengetahuan praktis dan pelatihan watak.

d) Mata pelajaran apa saja yang akan diajarkan harus diarahkan sepenuhnya.

e) Penekanan mesti diletakkan pada yang akademik melebihi yang praktis dan yang intelek.

(42)

Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar

1) Harus ada penyesuaian praktis antara tatacara-tatacara di ruang kelas yang tradisional dengan yang progresif, sang guru mesti menggunakan metode apapun yang paling efektif dalam meningkatkan kegiatan belajar, namun ia harus lebih cenderung ke arah menyesuaikan tatacara-tatacara taradisional dengan cara-cara baru seperti misalnya peragaan, studi lapangan, penelitian di laboratorium, dan sejenisnya. Ketimbang condong ke arah yang menjauhi praktik-praktik pengajaran yang mapan (umpamanya sistem ‘sekolah bebas’, pengajaran tanpa diarahkan ataupun pengajaran indivdiual).

2) Pendisiplinan jasmani dan mental (lewat baris-berbaris, berhitung di luar kepala, menghapal, dan sebagainya) adalah cara terbaik untuk memapankan kebiasaan yang tepat di tingkat-tingkat pendidikan yang lebih rendah; namun harus dikembangkan ke arah pendekatan-pendekatan yang lebih terbuka dan lebih intelektual (misalnya ceramah dan diskusi terarah) di tahap-tahap pendidikan lanjut; hapalan dan belajar secara otomatis adalah perlu.

3) Yang terbaik adalah belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru. Namun para siswa mesti diijinkan berperans serta dalam aspek-aspek yang kurang penting dalam perencanaan pendidikan.

4) Sang guru harus dipandang sebagai seorang pakar ‘penyuntik’ pengetahuan serta keterampilan-keterampilan khusus.

5) Tes-tes untuk mengukur keterampilan serta informasi yang dikuasai siswa lebih baik ketimbang tes-tes yang diberikan untuk menguji kemampuan analitis atau spekulatif abstrak.

6) Persaingan antarpersonal untuk mengejar peringkat antara siswa-siswai adalah perlu sekaligus dikehendaki demi memupuk keunggulan.

7) Penekanan diletakkan kepada yang kognitif dengan penekanan kedua pada yang efektif serta yang bersifat antarpribadi.

8) Penekanan mesti diletakkan pada pelestarian prinsip-prinsip dan praktik-praktik pendidikan yang konvensional.

(43)

mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar dalam situasi persekolahan yang normal

Kendali di Ruang Kelas

Siswa-siswi harus menjadi warga negara yang baik dalam ranah pandangan budaya dominan mengenai kewarganegaraan yang baik dan perilaku yang baik.

Pada guru secara umum harus bersifat non-permisif, tidak membolehkan segala hal dalam tatacara-tatacara memegang kendali di ruang kelas. Namun wewenang guru mesti disisipi dengan penalaran.

Pendidikan moral (pelatihan watak) adalah satu dari aspek-aspek penting persekolahan.

4. Liberalisme Pendidikan

Bagi seorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Liberalisme pendidikan ini berbeda-beda dalam intensitasnya, dari yang relatif lunak, yakni liberalisme metodis yang diajukan oleh teoretisi seperti Maria Montessori, ke liberalisme direktif (liberalisme yang bersifat mengarahkan) yang barangkali paling sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non-direktif, atau ‘liberalisme laissez faire’ (liberalisme tanpa pengarahan) yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Carl Rogers.

Beberapa landasan pendidikan Liberal (O’neill, 2002:352-354) yaitu:

1) Seluruh kegiatan belajar bersifat relatif terhadap sifat-sifat dan isi pengalaman personal. Pengalaman personal melahirkan pengetahuan personal, dan seluruh pengetahuan personal dengan demikian merupakan keluaran dari pengalaman/perilaku personal sehubungan dengan sejumlah kondisi objektif tertentu. (inilah prinsip dasar relatifisme psikologis)

(44)

subjektif, dalam arti bahwa ia sebagian besar diatur oleh yang volisional, dan karenanya merupakan perhatian yang bersifat pilih-pilih atau selektif. (landasan subjektifisme).

3) Seluruh kegiatan belajar pada puncaknya mengakar pada keterlibatan dalam pengertian-inderawi yang aktif. (ini adalah landasan berbagai prinsip filosofis yang terkait dengan empirisme, behaviorisme, materialisme, dan empirisme biogis).

4) Seluruh kegiatan belajar pada dasarnya merupakan proses pengujian gagasan-gagasan, dalam situasi-situasi pemecahan masalah secara praktis. (prinsip dasar pragmatisme dan instrumentalisme).

5) Cara terbaik untuk mempelajari sesuatu – dan, sebagai implikasinya, juga cara terbaik untuk hidup, karena belajar secara efektif adalah kunci ke kehidupan yang efektif – adalah dengan cara melakukan penyelidikan kritis yang diatur oleh pengertian-pengertian eksperimental, yang mencirikan cara berpikir ilmiah. (Landasan eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme ilmiah).

6) Pengalaman kejiwaan yang paling dini – pengalaman yang dialami oleh orang yang belajar (the learner) pada waktu ia masih kanak-kanak, termasuk latihan-latihan emosional dan kognitif yang pertama-tama diterimanya – sangatlah penting karena pengalaman itu berlangsung lebih dulu ketimbang pengalaman-pengalaman logis dan psikologis lanjutannya. Pengalaman paling dini tadi menjadi landasan pembentukan kemapanan sistem-diri yang kemudian ada (dan pada gilirannya melahirkan subjektifitas), seperti juga menjadi dasar bagi proses-proses kepribadian yang lebih jauh lagi, yang muncul di usia yang lebih tua. (dasar sudut pandang psikologis developmentalisme).

(45)

demi perilaku bercorak lain yang memunculkan (atau menjanjikan munculnya) corak-corak pergaulan yang lebih positif. Prinsip kesenangan/kenikmatan mengatur seluruh pengalaman manusia. Dalam kegiatan belajar, jika hal-hal lain setara, pengalaman kenikmatan menentukan apa yang harus dipelajari selanjutnya, dan penyelidikan eksperimental menjadi cara belajar yang efektif, dan karena itu berguna untuk memaksimalkan pengalaman kenikmatan/kesenangan selama mungkin. (landasan hedonisme psikologis).

8) Karena manusia adalah mahluk sosial yang bersandar pada orang-orang lain untuk bertahan hidup selama masa bayi dan kanak-kanak, dan bergantung kepada kondisi-kondisi budaya yang menjamin perilaku yang berhasil baik dalam persaingan antar-spesies, maupun dalam persaingan antar-masyarakat dalam spesies (manusia) itu sendiri, ataupun persaingan antar-individu dalam sebuah masyarakat; maka kegiatan belajar secara personal selalu berlangsung dalam konteks pengalaman sosial, dan hakikat serta isi pengalaman sosial itu, secara logis maupun psikologis, mendahului pengalaman yang murni bersifat personal. Dengan begitu, maka seluruh pengalaman personal sejalan dengan (atau cocok dengan) rumusan sosial mengenai kenyataan (rumus itu sudah ada lebih dulu dan sudah mendominasi). (Inilah landasan relatifisme budaya).

(46)

wilayah kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, dan seterusnya. (Landasan cita-cita ‘demokrasi sosial’).

10) Berdasarkan kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas, seorang anak dengan potensi rata-rata dapat menjadi efektif secara personal sekaligus bertanggungjawab secara sosial. Kecerdasan praktis terlatih, yang dipandang sebagai tujuan sosial, dapat menjadi dasar bagi lingkaran sinergisme positif sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dan karena itu kecerdasan praktis yang terlatih mengabsahkan adanya sikap optimistis sehubungan dengan kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri secara cerdas.

Ideologi mendasar liberalisme pendidikan dengan demikian dapat diuraikan sebagai berikut.

Tujuan Pendidikan Secara Keseluruhan

Tujuan utama pendidikan adalah untuk mempromosikan perilaku personal yang efektif.

Sasaran-sasaran Sekolah

Sekolah ada lantaran dua alasan mendasar:

1) Menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh siswa untuk belajar secara efektif bagi dirinya sendiri.

2) Untuk mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan masalah praktis lewat penerapan tatacara-tatacara penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok yang didasarkan pada metode-metode ilmiah-rasional.  Ciri-ciri Umum Liberalisme Pendidikan

1) Menganggap bahwa pengetahuan terutama berfungsi sebagai sebuah alat untuk digunakan dalam pemecahan masalah secara praktis, bahwa pengetahuan adalah sebuah jalan ke arah tujuan berupa perilaku efektif dalam menangani situasi-situasi sehari-hari.

2) Menekankan kepribadian unik dalam diri tiap individu, atau ketunggalan (singularitas) setiap pribadi sebagai sebuah pribadi.

Gambar

Tabel 01: Perbandingan Konsep Pendidikan dalam arti Maha Luas, Sempit, dan LuasTerbatas

Referensi

Dokumen terkait