• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intelektualisme Pendidikan

BAGAN 1: DASAR-DASAR FILOSOFIS BAGI IDEOLOGI PENDIDIKAN

2. Intelektualisme Pendidikan

Intelektualisme lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme politik yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian. Secara umum, konservatisme filosofis ingin mengubah praktik-praktik politik yang ada (termasuk praktik-praktik pendidikan), demi menyesuaikannya secara lebih sempurna

dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi. Dalam pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan diri sebagai intelektualisme pendidikan, di mana ada dua variasi mendasar: intelektualisme pendidikan, yang pada intinya bersifat sekular dan dapat diamati dalam pemikiran beberapa orang teoretisi pendidikan kontemporer seperti misalnya Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler. Dan Intelektualisme teologis, yang memiliki orientasi sebagaimana terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan Katolik Roma kontemporer seperti William McGucken dan John Donahue.

Ideologi dasar intelektualisme pendidikan dirangkum O’neill (2002:287-290) berikut ini.

Tujuan Pendidikan Secara Meneyeluruh

Tujuan utama pendidikan adalah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan dan menyalurkan Kebenaran (yakni pengetahuan tentang makna dan nilai penting kehidupan secara mendasar).

Sasaran-sasaran Sekolah

Sekolah diadakan karena dua alasan mendasar: 1) Untuk mengajar siswa tentang bagaimana cara menalar (bagaimana cara berpikir secara jernih dan tertata), dan 2) Untuk menyalurkan kebijaksanaan yang tahan lama dari masa silam.

Ciri-ciri Umum Intelektualisme Pendidikan

1) Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan dalam dirinya sendiri, bahwa ‘tahu’ bukanlah sekadar cara meningkatkan keefektifan perilaku praktis semata.

2) Menekankan manusia sebagai manusia, yakni bahwa manusia memiliki hakikat universal yang melampaui keadaan-keadaan tertentu di suatu saat/tempat.

3) Menekankan nilai-nilai intelektualisme tradisional, yakni pemupukan nalar serta penerusan kebijaksanaan spekulatif (filosofis).

4) Memandang pendidikan sebagai sebuah orientasi ke arah kehidupan secara umum, bukan sebagai hal penyesuaian situasional.

5) Berpusat pada sejarah intelektual manusia sebagaimana dirumuskan dengan tradisi intelektual Barat yang dominan (klasikisme).

6) Menekankan stabilitas filosofis sebagai prioritas yang lebih tinggi ketimbang kebutuhan akan perubahan, menekankan stabilitas intelektual dan keberlanjutan (kontinuitas), apa yang biasa disebut ‘kebenaran-kebenaran kekal’ (perenial) yang melampaui ruang dan waktu.

7) Berdasarkan pada sistem ideologis tertutup yang berisi kemutlakan- kemutlakan filosofis.

8) Berdiri di atas landasan kebenaran-kebenaran yang terbukti dengan sendirinya, yang inheren di dalam nalar dan/atau kenyataan itu sendiri.

9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi terletak pada kecerdasan (intelek) itu sendiri, bahwa kebenaran dapat dipahami lewat cara penalaran murni.

Anak-anak sebagai Pelajar

Seorang anak condong ke arah kebijaksanaan dan kebaikan, karena secara hakiki ia adalah mahluk yang rasional dan sosial.

Kesamaan-kesamaan individual lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan individual, dan kesamaan-kesamaan itu secara tetap bersifat menentukan (determinatif) dalam memapankan program-program pendidikan yang layak. Anak-anak secara moral setara di dalam sebuah dunia ketidaksetaraan kesempatan-kesempatan objektif; mereka harus memperoleh kesempatan yang setara untuk mencapai keunggulan intelektual, meskipun kemampuan untuk mencapai keunggulan intelektual tersebut tidaklah tersebar secara merata ke seluruh populasi.

Seorang anak pada dasarnya bersifat menentukan nasib sendiri; ia memiliki kehendak bebas yang personal dalam arti tradisional.

Administrasi dan Kontrol

Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan elit intelektual yang berpendidikan tinggi.

Wewenang guru harus didasarkan kepada kebijaksanaan sang guru yang lebih tinggi dibanding para siswa.

1) Sekolah musti menekankan disiplin intelektual, melatih siswa supaya mampu menalarkan secara jelas dan tertata.

2) Sekolah harus memusatkan diri pada penalaran serta kebijaksanaan spekulatif. 3) Penekanan harus memusatkan pada gagasan-gagasan serta teori-teori abstrak. 4) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus menjadi hampir sepenuhnya

diarahkan atau mengikuti garis-garis yang telah ditetapkan.

5) Yang harus ditekankan adalah yang intelektual, (yakni yang bersifat ideasional, berkaitan dengan teori penafsiran yang luas). Ketimbang yang praktis, (yang segera berguna bagi siswa), ataupun yang akademis, (belajar tentang bagaimana caranya belajar, dan menguasai jenis pengetahuan teknis secara tidak langsung dengan persoalan-persoalan manusia yang nyata). 6) Sekolah harus menekankan filosofi dan/atau teologi, kesusastraan (khususnya

sastra dan inetelektual klasik yang sudah mapan di dunia Barat), serta tafsir sejarah yang luas cakupannya, dalam tradisi Edward Gibbon, Oswald Spengler, dan Arnold Toynbee.

Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar

Tekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara ruang kelas tradisional, seperti misalnya ceramah, hapalan, tes-tes Sokratik (diarahkan oleh guru), dan diskusi kelompok yang sangat terstruktur.

Ulangan/latihan berdasarkan hapalan adalah cara terbaik untuk membiasakan kebiasaan yang tepat di tingkat pendidikan yang lebih rendah, namun mesti dikembangkan ke arah pendekatan-pendekatan yang lebih terbuka dan bersifat intelektual, menampilkan penalaran formal (deduktif/dari yang umum menuju khusus), selama tahap-tahap pendidikan lanjutan.

Pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru adalah yang terbaik, namun sang guru musti selalu berusaha untuk bekerjasama dengan sifat-sifat yang hakiki siswa yang secara alamiah rasional, daripada menuntun kepatuhan membuta melalui tatacara-tatacara indoktrinasi.

Guru harus dipandang sebagai sosok panutan keunggulan intelektual serta seorang ‘wasit atau juru penengah’ kebenaran.

Tes-tes yang ditujukan untuk mengukur ketajaman intelektual (seperti ujian-ujian bercorak esai) lebih disukai ketimbang yang menekankan isi faktual (seperti dalam ujian-ujian yang bercorak ‘pilihan objektif’).

Lantaran kemampuan intelektual tersebar secara tidak merata, dan keunggulan intelektual adalah sesuatu yang sulit dicapai, maka persaingan antar pribadi hingga taraf tertentu bisa dikatakan tersirat dalam situasi akademis manapun yang baik, dan persaingan dalam mengejar keunggulan intelektual dapat dimanfaatkan untuk memajukan sasaran-sasaran intelektual yang absah.

Penekanan harus diletakkan pada yang kognitif, melebihi yang afektif dan yang bersifat antarpribadi.

Penekanan harus pula diletakkan pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip dan praktik-praktik pendidikan yang dikenali dan dirumuskan oleh para pemikir besar dari tradisi intelektual Barat.

Bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi kejiwaan bukanlah hal-hal yang diperhatikan oleh sekolah, dan seharusnya ditangani oleh agen-agen sosial lain yang lebih cocok untuk menyediakan tuntunan serta terapi semacam itu.

Kendali RuangKelas

Siswa-siswi harus menjadi warganegara yang baik dalam ranah berbagai tolok ukur moral tertentu yang bersifat mutlak, dan mereka musti dianggap mampu secara moral untuk bertanggungjawab atas perilaku mereka sendiri.

Para guru harus secara umum tidak bersikap ‘serba membolehkan’, (permisif), dalam tatacara-tatacara memegang kendali ruang kelas, namun wewenang harus selalu diabsahkan dan/atau bisa dibenarkan oleh nalar.

Pendidikan moral (pelatihan watak) adalah aspek yang penting dan terelakkan dari persekolahan, namun sekolah musti memusatkan perhatiannya pada penjelasan dan pembuktian landasan intelektual dari prinsip-prinsip moral yang pokok.

Dokumen terkait