Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh:
FARKHAN BASYIRUDIN 104070002346
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya Farkhan Basyirudin, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini adalah hasil karya asli sendiri, guna mendapatkan gelar sarjana Strata 1 (S 1) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tanpa meniru karya lainnya baik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atau Universitas lainnya.
2. Semua sumber penulisan yang tercantum sudah sesuai dengan kebijakan atau aturan yang sudah di tentukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti melanggar aturan yang ada, penulis siap mengikuti aturan atau kebijakan yang telah di tetapkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2010
HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK
PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN
Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh: FARKHAN BASYIRUDIN
104070002346
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Diana Mutiah, M.Si Gazi Saloom, M.Si. NIP 196710291996032001 NIP 19711214 2007011 014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 9 Desember 2010 Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 552 NIP. 195612231983032001
Anggota :
Penguji II
Gazi Saloom, M.Si NIP. 19711214 2007011 014
Pembimbing I
MOTTO
Hadiah kecil ini aku persembahkan untuk
Bapak dan Ibu serta kakak-kakakku tercinta
Semoga Tuhan selalu mendampingi setiap
ABSTRAK (A) Fakultas Psikologi
(B) Desember, 2010 (C) Farkhan Basyirudin
(D) Hubungan Antara Penalaran Moral Dengan Perilaku Bullying Para Santri Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah Serang Banten
(E) Halaman xviii + 73
Nilai-nilai keagamaan yang di ajarkan di pesantren bertujuan membentuk kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat. Ternyata hal itu tidak mempengaruhi dan menekan perilaku
bullying di kalangan santri. Ini disebabkan adanya kegagalan dalam pembentukan kode moral benar atau salah, dan kegagalan dalam merubah konsep moral khusus ke umum. Moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja. Tapi dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan perilaku bullying.
Perilaku bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Jenis penindasan (bullying): verbal, fisik, dan relasional/psikologis yang melibatkan pelaku bullying, korban
bullying, dan penonton/saksi. Penalaran moral adalah suatu bentuk pertimbangan atau pemikiran yang digunakan dalam menilai dan mengambil keputusan apakah tindakan yang dilakukan tersebut benar atau salah yang didasari oleh prinsip moral yang dimilikinya. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari secara empirik hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasi. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 100 orang santri pondok pesantren Assa’adah, Serang, Banten. Dari jumlah tersebut dipilih 80 orang responden sebagai sampel penelitian dengan menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen pengumpulan data adalah Skala model Likert. Bentuk pengolahan dan analisa data menggunakan analisa statistika dengan menggunakan program SPSS 18.00, pada uji validitas menggunakan korelasi Product Moment
dari Pearson dan untuk menguji reliabilitas instrument dengan Alpha Cronbach. Sedangkan untuk menguji hipotesis penelitian digunakan
Korelasi Product Moment. Jumlah item yang valid untuk skala penalaran moral 25 item dan 11 item yang tidak valid. Reliabilitas skala penalaran moral adalah 0.923. sedangkan pada skala perilaku bullying terdapat 29 item yang valid dan 7 ietm yang tidak valid. Reliabilitas perilaku bullying
adalah 0.908. Berdasarkan analisa korelasi Product Moment dari Pearson
terhadap hipotesis yang diajukan, diperoleh hasil bahwa terdapat
perilaku bullying. Karena r hitung (- 0.298) p < 0.01 yang berarti jika penalaran moralnya rendah maka perilaku bullyingnya tinggi.
Disarankan agar pembina pondok pesantren lebih meningkatkan penalaran moral santri sehingga dapat menekan perilaku bullying. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan menguji faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying seperti situasi sosial, pola asuh, dan tipe kepribadian. (F) Daftar Pustaka : 26 buku (1980-2009) + 1 jurnal + 5 website
ABSTRACT
(A) Faculty of Psychology (B) December, 2010 (C) Farkhan Basyirudin
(D) The correlation Between Moral Reasoning With Bullying behavior in students.
(E) Pages xviii + 73
(F) Religious values that induced in the boarding school students aimed at creating a personality that fit with the prevailing moral standards in society. Apparently it did not affect and reduce bullying behavior among students. This is due to the failure in forming a moral code of right or wrong, and failure to change the moral concepts specific to the general. Post-conventional morality should be achieved during adolescence. But with still there are teenagers at the pre-conventional or pre-conventional, it would not be surprised if among adolescents are still many who do the bullying behavior.
Bullying behavior is a negative action, that is aggressive or manipulative in a series of actions taken by one or more persons against another person during a specified time period based on the imbalance of power. Type of persecution (bullying): verbal, physical, and relational / psychological bullying involving the perpetrator, victim of bullying, and spectators / witnesses. Moral reasoning is a form of consideration or thought that is used to evaluate and make a decision whether the action taken is right or wrong based on moral principles he had. Stages of development of moral reasoning is pre-conventional, conventional, and post-conventional.
This research was conducted to study empirically the correlation between moral reasoning with bullying behavior. This type of research used in this study is the quantitative approach with correlation research method. The population in this study were 100 people boarding school students Assa'adah, Serang, Banten. Of these respondents 80 people selected as the study sample using random sampling
technique. Data collection instruments are Likert Scale model. Forms processing and data analysis using statistical analysis using SPSS 18.00, on the validity test using the correlation Product Moment from Pearson and to test the reliability of the instrument with Cronbach Alpha. Meanwhile, to test the research hypothesis using the Product Moment. The number of valid items for the scale of moral reasoning are 25 items and 11 items that are not valid. Reliability scale of moral reasoning is 0923. Whereas on the scale of bullying behavior there are 29 valid items and 7 items invalid. Reliability of bullying behavior is 0908. Based on the correlation analysis of Product Moment from Pearson to the hypothesis proposed, results showed there is a negative and significant relationship between moral reasoning with bullying behavior. Because the count r (- 0298) <r table (p <0.01) which means that if the low moral reasoning, the behavior of high its bullying.
bullying behavior. For further research is expected to examine other factors that influence bullying behavior such as social situation, parenting, and personality type.
(G) References: 26 books (1980-2009) + 1 journal + 5 websites
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, karena keterbatasan penulis dalam hal pengetahuan, kemampuan, pengalaman, dan juga waktu. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dorongan serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Jahja Umar,Ph.D Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si dosen pembimbing I dan Bapak Gazi Saloom, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing II serta sebagai dosen penasehat akademik,
bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen, staf administrasi dan keluarga besar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendukung dan membantu penulis selama penulis mengikuti perkuliahan.
4. Pimpinan Pondok pesantren Assa’adah Ust. Mujib, para staf ustadz/ustadzah, dan para santriwan/i yang telah memberikan bantuan pada penulis dalam pengumpulan informasi dan data penelitian ini. Segenap pengurus dan santri pondok pesantren Bina Tahfiz Al Qur’an yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan Try Out penelitian.
5. Penulis secara khusus menyampaikan terimakasih yang sangat pribadi kepada kedua orang tua penulis, Bapak Nasikin, Ibu Harsunah, kakak-kakaku Mas Yazid, Mba Khusnul, Mas Badruz, Bang Saiman, Mba Lasmi, Nur, Iis, Keponakanku Najma, Najah, dan Yasmine serta saudara-saudara yang selalu memberikan doa, dorongan, kepercayaan dan dukungan baik secara moril maupun materil serta kasih sayang yang tiada terkira.
6. Kawan-kawan seperjuangan di KPA. Arkadia, FP2I, Alumni MWI ’04, teman-teman kelas C ’04. Teruslah berkarya dalam bendera keilmuan, semoga persahabatan kita tidak terputus oleh ruang dan waktu.
yang setimpal dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan, kekurangan atau kekeliruan dalam menyusun skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amin ya Robbal’alamin.
Jakarta, Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………. viii
DAFTAR SKEMA……… x
DAFTAR TABEL ………. xi
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR LAMPIRAN………. xiii
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1. Latar Belakang Masalah………..……….. 1
1.2. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah……….……. 10
1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……….………... 12
1.4. Sistematika Penulisan ………..………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….………. 14
2.1. Bullying……….…….. 14
2.5. Pengertia Penalaran Moral………..………. 26
2.8. Kerangka Berpikir………...……… 43
2.9. Hipotesis ………. 43
BAB III METODE PENELITIAN ……..………. 44
3.1. Jenis dan Tipe Penelitian ……….……….……. 44
3.2. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel……… 45
3.3. Definisi konseptual dan operasional variabel.………... 45
3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel……… 46
3.6. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian……….……….. 50
3.7. Teknik Uji Instrumen Penelitian………..……… 53
3.8. Teknik Analisa Data………. 53
3.9. Prosedur Penelitian……….……… 54
BAB IV HASIL PENELITIAN ……… 56
4.1. Gambaran Umum Sample Penelitian... ………. 56
4.2. Uji Persyaratan………..………….. 58
4.3. Distribusi Penyebaran Skor Responden..………. 63
4.4. Hasil Utama Penelitian atau Uji Hipotesis…………..…… 66
BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN ………….………….. 70
5.1. Kesimpulan ...……….….……… 70
5.2. Diskusi ……….……...……… 70
5.3. Saran…………...……….………... 72
DAFTAR PUSTAKA……… 75
DAFTAR SKEMA
Halaman SKEMA 1 Tahap Perkembangan Moral Kohlberg ………..….. 34 SKEMA 2 Kerangka berpikir ………..……….. 42
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Rasio populasi dan sample………. 45
Tabel 3.2. Bobot Nilai Skala………... 47
Tabel 3.3.. Blue Print Skala Perilaku Bullying... 48
Tabel 3.4 Blue Print Skala Perilaku Moral... 48
Tabel 3.5 Kisi-kisi Skala Perilaku Bullying... 49
Tabel 3.6. Kisi-kisi Skala Penalaran Moral... 50
Tabel 3.7 Klasifikasi Reliabilitas... 51
Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin … 55 Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ……… 56
Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jurusan …… 56
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Skala Penalaran Moral 58 Tabel 4.5. Hasil Uji Normalitas Skala Perilaku Bullying 59 Tabel 4.6. Hasil Uji Homogenitas Penalaran Moral……….. 61
Tabel 4.7. Hasil Uji Homogenitas Perilaku Bullying...... 61
Tabel 4.8 Statistik Deskriptif... 62
Tabel 4.9 Norma Penalaran Moral... 63
Tabel 4.10 Norma Perilaku Bullying... 63
Tabel 4.11 Kategorisasi Skor Penalaran Moral Berdasarkan Usia... 64
Tabel 4.12 Kategorisasi Skor Perilaku Bullying Berdasarkan Usia... 65
Tabel 4.13 Hasil Uji Hubungan Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying.. 66
Tabel 4.14 Regresi Sederhana... 67
Tabel 4.15 Uji Beda Penalaran Moral Berdasarkan Jenis Kelamin... 67
Tabel 4.16 Uji Beda Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin... 68
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 4.1 Skatterplot skala Penalaran Moral……… 58 Gambar 4.2 Skatterplot skala Perilaku Bullying……… 59
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Try Out skala Penalaran Moral Lampiran 2 Hasil Try Out skala Prilaku Bullying
Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas skala Penalaran Moral Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas skala Prilaku Bullying
Lampiran 5 Hasil penelitian skala Penalaran Moral Lampiran 6 Hasil penelitian skala Prilaku Bullying
Lampiran 7 Kategori skor Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 8 Frekuensi Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 9 Normalitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 10 Homogenitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 11 Korelasi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying Lampiran 12 Regresi Sederhana
Lampiran 13 Uji Beda
Lampiran 14 Skala try out Penelitian Lampiran 15 Skala Penelitian
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang paling penting dalam penentuan masa depan
suatu bangsa dimana pendidikan adalah sebagai alat atau metode untuk
membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Sukses tidaknya dunia pendidikan
bergantung pada peserta didik, tenaga pendidik dan pemerintah sebagai regulasi
pendidikan.
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam memperhatikan dunia pendidikan
dengan meningkatkan mutu pendidikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab II Pasal 4 menjelaskan
bahwa standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat (LeKDiS, 2005),
Namun, dewasa ini banyak beredar berita baik di media cetak maupun
elektronik mengenai kasus tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh para pelajar.
Mulai dari kasus tawuran antar sekolah, geng, sampai tindak kekerasan dan
penindasan siswa sekolah yang dilakukan para senior kepada juniornya.
Pada dasarnya perilaku-perilaku yang mengandung unsur tindakan
agresivitas yang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak dengan pihak
berulang selama periode waktu tertentu baik berupa kekerasan fisik maupun
psikologis, merupakan karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah bullying
(Sullivan, 2001).
Masih menurut Sullivan (2005) Bullying adalah tindakan negatif, yang
bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh
satu orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu
yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan.
Sedangkan menurut Coloroso (2007), bullying adalah tindakan intimidasi
yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Tindakan
penindasan inidapatdiartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk
menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan
tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar, dan
memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek, serta
psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan
mendiskriminasi. Kekerasan dan perilaku negatif ini dapat terjadi di luar maupun
di dalam sekolah.
Coloroso (2007) menambahkan, perilaku bullying/bullies tidak
memperhitungkan alasan mengapa mereka melakukan bullying tersebut.
Terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia
lakukan, misalnya melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau
korban. Tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan
Menurut Lipkins (2008), kebanyakan mereka menjadi pelaku karena
terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah menjadi
korban penindasan. Mereka pernah di tindas, menyaksikan penindasan, dan pada
akhirnya sampai tiba giliran mereka untuk menindas. Mereka itulah para anggota
senior yang mempunyai kedudukan penting, kemampuan yang lebih, atau
kepribadiannya yang disegani.
Biasanya siswa-siswa senior bergerak dalam satu angkatan. Mereka
melakukan bullying terhadap siswa-siswa juniornya karena mereka merasa
mendapatkan kesempatan melakukannya lantaran pernah menjadi korban bullying
saat menjadi siswa junior. Sementara siswa-siswa korban mereka pun dibina
untuk menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan mereka lampiaskan saat
mereka menjadi siswa senior pada angkatan yang akan datang (SEJIWA, 2008).
Seperti halnya kasus yang menyita banyak perhatian masyarakat terjadi di
SMAN 82 (3/11/2009). Korban adalah Ade Fauzan, siswa kelas I yang menjadi
korban kekerasan dari siswa kelas III. terpaksa dirawat di RS Pusat Pertamina
(RSPP), Jakarta Selatan karena di pukul dan dikeroyok oleh siswa kelas III hingga
pingsan selama 3 jam. (www.detiknews.com).
Pada kenyataannya, tindak kekerasan pada remaja tidak hanya berlaku
pada institusi pendidikan SMA saja, melainkan sudah merambah ke dunia
pesantren. Sebagai contoh kasus, dua santri Pondok Pesantren (Ponpes) Assalaam
di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, masuk RS Panti Waluyo dipukuli seniornya
santri-santri Takhassus belajar malam. Sebab siswa Assalaam berasal dari berbagai suku
di Indonesia (www.suaramerdeka.com).
Setidaknya berdasarkan data yang dikumpulkan Komnas Perlindungan
Anak (KPA) angka kekerasan di sekolah pada tahun 2009 meningkat hinga 20%
dibanding pada tahun 2008. Menurut Sekjen KPA, Sirait (2009) telah terjadi aksi
bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari
tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus. (www.detiknews.com)
Di Indonesia belum ada data memadai karena penelitian tentang fenomena
bullying masih baru. Akan tetapi dari hasil studi yang dilakukan ahli intervensi
bullying asal Amerika, Huneck (2006) mengungkapkan bahwa 10-16 persen siswa
Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan,
tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu.
(http://run18.multiply.com)
Dijkstra dkk, (2008) menyebutkan bahwa, dari 3.312 subjek laki-laki dan
perempuan, yang terbagi antara kelompok remaja populer dan non-populer
menunjukkan perilaku bullying oleh remaja populer berhubungan pada alasan
perbedaan status sosial yang melekat pada mereka.
Menurut penelitian dari Yayasan Sejiwa sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang peduli dengan masalah kekerasan di sekolah, melakukan survey
pada workshop antibullying pada 28 April 2006. hasil survey yang di hadiri oleh
memang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Namun jenis-jenis tindakan
bullying yang mereka laporkan dalam workshop tersebut amat beragam (SEJIWA,
2008).
Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan
dan penindasan atau bisa disebut dengan perilaku bullying, menimbulkan
pertanyaan mengenai penalaran dan nilai-nilai moral yang mereka anut sehingga
muncul perilaku tersebut.
Menurut Kohlberg perkembangan penalaran moral manusia terdiri dari
tiga tingkat, yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan
moral (Santrock, 2002).
Kohlberg menambahkan bahwa moralitas pasca-konvensional seharusnya
dicapai selama masa remaja dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan
moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan
dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain (Hurlock, 1980).
Akan tetapi Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya menyebutkan
bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya
minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan
kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat
jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai
Senada dengan hal tersebut, Hurlock (1980) menjelaskan bahwa remaja
yang tidak berhasil melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka
tugas tersebut di selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk
kode moral berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial
belum tentu dapat di terima.
Artinya, sesuai yang dikatakan oleh Yusuf (2002), dengan masih adanya
remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran
apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk
didalamnya perilaku bullying.
Hal ini dikarenakan masa remaja sebagai periode badai dan tekanan. Suatu
masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena masa remaja berada
dibawah tekanan sosial menghadapi kondisi baru, sedangkan saat masa
kanak-kanak kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu (Hurlock,
1980).
Pada dasarnya remaja diharapkan sudah mampu menggali konsep-konsep
yang berlaku khusus di masa kanak-kanak, dengan prinsip moral yang berlaku
umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai
pedoman bagi perilakunya. Sekarang ia akan membentuk kode moral sendiri
berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar
dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orangtua dan
gurunya (Hurlock, 1980).
Oleh karena itu, remaja diharapkan mampu mengendalikan perilakunya
sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua atau guru. Namun
terkadang remaja mudah dipengaruhi oleh stimuli yang bersifat negatif dari
lingkungannya tanpa berfikir panjang terhadap akibat yang akan ditimbulkannya.
Apabila ia mengalami ketidakmatangan dalam proses perkembangan perilaku
sosialnya.
Selain itu pada sisi kognitif, remaja mempunyai persepsi untuk bersikap
dan mencari nilai ideal dengan berbagai perangkat untuk meraihnya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Piaget bahwa, semakin orang terbuka dengan banyak
pengalaman di dunia luar, maka ia akan semakin dibantu untuk mengembangkan
pengetahuan dan cara berfikirnya (Suparno, 2001).
Selanjutnya menurut Gunarsa (1989), remaja hendaknya mampu bersikap
kritis terhadap tata cara yang pernah diterimanya, dan menyadari penilaian baik
dan buruk yang telah dianutnya. Akan tetapi jika remaja belum memperoleh
azas-azas baru yang lebih bersifat umum dan belum terikat pada sistem penilaian yang
pasti, maka ia masih akan mengalami kebimbangan dan keraguan. Sehingga ia
akan melakukan segala sesuatunya dengan semaunya. Ini menandakan bahwa
moralitas pada masa ini masih dipengaruhi oleh dirinya sendiri, dan belum
Hal ini menunjukkan bahwa proses perkembangan tidak selalu berjalan
dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai
yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Faktor penghambat ini
bisa bersifat internal maupun eksternal (Yusuf, 2002).
Adapun Usia remaja ditandai dengan terjadinya perubahan yang besar
dalam aspek biologis, perubahan kognitif, maupun perubahan sosio-emosional
(Santrock, 2003). Remaja pada umumnya berada pada tingkat Sekolah Menengah
Atas (SMA ), atau setara dengan santri pada tingkat Aliyah.
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok
pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan agama yang
kurikulumnya lebih banyak ilmu-ilmu keagamaan dibanding ilmu-ilmu umum.
Selanjutnya, tujuan Pondok pesantren adalah membentuk kepribadian Muslim
yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat
bagi agama, masyarakat dan Negara (Qomar, 2005).
Pada kenyataannya, kebanyakan alasan para orang tua menyekolahkan
anaknya di pesantren, mereka ingin membina atau memperbaiki akhlak anaknya.
Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang
bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Anak-anak dari keluarga broken
home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf.
Akibatnya, anak-anak yang “bermasalah” ini kerap kali mempengaruhi
Sebagaimana dari pengamatan dan observasi penulis pada salah satu
pondok pesantren, di Pondok Pesantren Assa’adah di daerah Serang, Banten,
terkait dengan hal tersebut di atas, ada beberapa tindak kekerasan dan penindasan
yang sering terjadi pada sebagian santri. Perilaku negatif tersebut berupa
pemalakan yang biasa dilakukan para senior kepada juniornya. Sebagaimana
pengakuan salah seorang santri yang bernama SH (nama samaran), siswa kelas 1
Takhassus atau sederajat tingkat kelas satu SMA bahwa sering kali setiap baru
mendapat kiriman uang, beberapa dari santri senior meminta uang. Biasanya
diikuti dengan intimidasi, pengucilan, bahkan kekerasan fisik jika kemauan para
seniornya tidak terpenuhi. Santri baru atau junior seringkali tidak mampu berbuat
apapun selain membentuk kelompok sendiri untuk menghindari penindasan dari
para senior.
Selain kasus tersebut, masih banyak kasus-kasus lain yang lebih kompleks
mengenai penindasan senior dengan alasan demi mendisiplinkan juniornya. Pada
akhirnya mereka tidak memandang aturan-aturan atau nilai-nilai yang berlaku di
sekolah maupun masyarakat sehingga para santripun dapat melakukan tindakan
demikian.
Sebagaimana dikatakan Kohlberg bahwa perkembangan moral
bersangkutan dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap
aturan-aturan dalam masyarakatnya. Seseorang telah memperkembangkan aspek
aturan-aturan kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku
yang terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997).
Maka jelaslah bahwa, ternyata banyaknya nilai-nilai keagamaan yang di
tanamkan di pesantren untuk menciptakan kepribadian-kepribadian santri yang
sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat, tidak mempengaruhi dan
menekan perilaku bullying di kalangan santri.
Melihat fenomena tersebut diatas, terjadinya perilaku bullying pada santri
merupakan salah satu topik yang menarik untuk dibahas, apalagi jika hal tersebut
dikaitkan dengan dengan penalaran moral. Oleh karena itu, timbullah persoalan
yang menarik untuk diteliti yaitu tentang hubungan antara penalaran moral dengan
perilaku Bullying para santri Aliyah
1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah
A. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka perumusan
masalah pada penelitian ini adalah:
”Apakah ada hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying
B. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak meluas maka perlu adanya pembatasan masalah sebagai
berikut :
a. Perilaku Bullying disini merupakan perilaku kekerasan yang terjadi di
pesantren, yang dilakukan oleh santri senior terhadap juniornya dilakukan
secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari
perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non
verbal, atau gabungan dari keduanya (Coloroso, 2007).
b. Penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk
suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang
diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif
(Kohlberg, 1995).
c. Santri yang dimaksud, adalah Santri yang meliputi santri laki-laki dan
perempuan kelas 3 pada jenjang Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah,
Serang, Banten. Menurut Gunarsa (1989), pada jenjang ini merupakan
masa remaja, yang meliputi adanya perubahan fisik dan psikis, seperti
halnya pelepasan diri dari ikatan emosionil dengan orang tua dan
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian A. Tujuan
Penelitan ini mempunyai tujuan untuk mencari hubungan antara penalaran moral
dengan perilaku Bullying para santri Aliyah pondok pesantren Assa’adah Serang
Banten.
B. Manfaat
Praktis.
Penelitian ini diharapkan memberi maanfaat secara pragmatis secara khusus
kepada para santri, pembina pondok pesantren, dan bagi masyarakat luas pada
umumnya. Hal tersebut supaya dapat dijadikan suatu bahan pengetahuan tentang
hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri.
Teoritis
Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
pengetahuan ilmu Psikologi yang mengkaji tentang penalaran moral dan perilaku
bullying santri, serta keterkaitan antara keduanya.
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini, yang berjudul “Hubungan antara penalaran
moral dengan perilaku Bullying pada santri” yang terdiri dari lima bab
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya mencakup pembahasan dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika
penulisan.
BAB II : Adalah bab yang membahas kajian pustaka mengenai Definisi
penalaran moral, Tahapan-tahapan penalaran moral, faktor-faktor
yang mempengaruhi penalaran moral, definisi perilaku bullying,
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, definisi
santri, pondok pesantren, kerangka berpikir dan keterkaitan antara
ketiganya, serta hipotesis.
BAB III : Adalah bab metodologi penelitian yang didalamnya mencakup
jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengambilan sample,
metode dan instrument penelitian, prosedur penelitian, teknik
pengolahan dan analisa data.
BAB IV : Berisi tentang hasil penelitian, yaitu gambaran umum subjek
penelitian, pelaksanaan penelitian, dan analisis data.
BAB V : Berisi kesimpulan yang mengemukakan uraian tentang
pernyataan mengenai hasil penelitian sebagai jawaban atas
tujuan dan masalah penelitian. Kemudian dilanjutkan diskusi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Bullying
Kamus Marriem Webster menjelaskan bully sebagai to treat abusively (perlakuan
secara tidak sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi
dengan paksaan dan kekuatan).
(www.e-psikologi.com).
Sullivan (2005) memberikan definisi bullying sebagai berikut: Bullying is
a negative and often aggressive or manipulative act or series of acts by one or
more people against another person or people usually over a period of time. it is
abusive and is based on imbalance of power.
Bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif
dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap
orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada
ketidakseimbangan kekuatan.
Menurut Coloroso (2007) Penindasan atau Bullying adalah aktivitas sadar,
disengaja, dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan
melalui ancaman agreasi lebih lanjut, dan menciptakan teror. Apakah penindasan
ini direncanakan lebih dulu atau terjadi tiba-tiba saja, nyata atau tersembunyi,
terselubung dibalik pertemanan yang tampak, dilakukan oleh seorang anak atau
sekelompok anak.
Sedangkan menurut Lipkins (2008) bullying atau penindasan adalah
tindakan penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik
atau psikologis, atau keduanya.
Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti
“banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku bullying biasa disebut bully.
Sedangkan pengertian Bullying itu sendiri adalah sebuah situasi dimana terjadinya
penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/kelompok
(SEJIWA, 2008).
Menurut Sullivan (2001), bullying mengandung unsur-unsur berikut :
1. Dimaksudkan untuk merugikan
2. Ketidakseimbangan kekuatan
3. Terorganisasi dan sistematis
4. Dilakukan berulang, terjadi selama periode waktu tertentu
5. Kekerasan yang dialami oleh korban bullying dapat bersifat eksternal (fisik)
dan internal (psikologis).
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa perilaku Bullying merupakan
perilaku kekerasan yang sistematis dilakukan oleh senior terhadap juniornya
dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari
perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal,
Selanjutnya Coloroso (2007) menambahkan ada empat tanda-tanda
penindasan :
1.Ketidak seimbangan kekuatan: penindas bisa saja orang yang lebih tua, lebih
besar, lebih kuat, lebih mahie secara verbal, lebih tinggi dalam status sosial,
berasal dari ras yang berbeda, atau tidak berjenis kelamin sama. Sejumlah
besar anak yang berkumpul bersama-sama untuk menindas dapat menciptakan
ketidakseimbangan. Penindasan bukan persaingan antar saudara kandung dan
bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang setara.
2.Niat untuk mencederai: penindasan berarti menyebabkan kepedihan emosional
dan/atau luka fisik, memerlukan tindakanuntuk dapat melukai, dan
menimbulkan rasa senang di hati sang penindas saat menyaksikan luka
tersebut. Tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada keseleo lidah atau
godaan yang main-main, tidak ada kaki yang salah tempat, tidak ada
ketidaksengajaan dalam pengucilan.
3.Ancaman agresi lebih lanjut: baik pihak penindas maupun pihak yang
tertindas mengetahui bahwa penindasan dapat dan kemungkinan akan terjadi
kembali. Penindasan tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi
sekali saja.
Ketika eskalasi penindasan meningkat tanpa henti, elemen keempat muncul:
4.Teror: penindasan adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk
mengintimidasi dan memelihara dominasi. Terror yang menusuk tepat
dijantung korban penindasan bukan hanya merupakan sebuah cara untuk
bukanlah suatu insiden agresi sekali saja yang dikeluarkan oleh kmarahan
karena sebuah isu tertentu, bukan pula tanggapan impulsive atas suatu celaan.
Para penindas (bullies) biasanya bertindak sendirian atau dalam kelompok
kecil dan memilih orang-orang yang mereka anggap rentan untuk mereka jadikan
korban. Dan biasanya menginginkan sesuatu bisa berupa uang, bekal makan
seorang siswa, jawaban pekerjaan rumah, atau mungkin cuma perhatian. Atau
mungkin penindas bertingkah hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka lebih
kuat, dengan demikian mereka menandaskan status sebagai “jagoan” (Lipkins,
2008). Pihak yang kuat di sini bukan saja kuat secara fisik, tapi juga kuat secara
mental (SEJIWA, 2008).
Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena adanya
kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Coloroso (2007), disebutnya
dengan istilah tiga mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada
pihak yang menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah
karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap
lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru
atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman). Atas
kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh
anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Dari penjelasan sejumlah
pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri "ter",
Abraham Maslow (1970, dalam Sullivan, 2001) mengembangkan teori
bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum mencapai
tahapan kebutuhan selanjutnya. Teori Maslow berguna untuk menjelaskan
beberapa kemungkinan efek bullying. Jika anak-anak diintimidasi, kebutuhan rasa
aman mereka belum dipenuhi. Sebaliknya, mereka berusaha untuk menghindari
perilaku bullying atau melarikan diri dengan mencari tempat aman di sekolah dan
masyarakat. jika mereka secara emosional mendapat intimidasi, dikucilkan atau
terisolasi, maka mereka sulit untuk mendapatkan teman di sekolah.
2.2. Jenis-jenis Perilaku Bullying
Coloroso (2007) menyebutkan terdapat tiga jenis penindasan: verbal, fisik, dan
relasional. Pada dasarnya secara substansi, masing-masing dapat menimbulkan
masalah sendiri-sendiri. Namun ketiganya kerap membentuk kombinasi untuk
menciptakan tekanan yang lebih kuat.
2.2.1. Penindasan Verbal
Kekerasan secara verbal mungkin adalah bentuk penindasan yang paling umum
digunakan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Penindasan verbal
dapat diteriakan di sekolah dan bercampur dengan hingar-bingar yang terdengar
oleh para guru, diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan
tidak simpatik diantara rekan sebaya. Ketika seorang anak menjadi sasaran
lelucon, ia kerap diabaikan oleh yang lain, terutama dalam aktivitas sosial,
menjadi yang terakhir dipilih dan menjadi yang pertama dieliminasi (untuk
Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam,
penghinaan baik bersifat pribadi maupun rasial, dan pernyataan berupa
ajakan-ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu penindasan verbal dapat berupa
perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang
mengintimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan
yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, serta gosip bisa menjadi
bentuk penindasan.
2.2.2. Penindasan Fisik
Yang termasuk jenis penindasan ini adalah memukul, mencekik, menyikut,
meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, meludahi, menekuk
anggota tubuh anak yang ditindas hingga posisi yang menyakitkan, dan merusak
serta menghancurkan pakaian dan barang-barang milik anak yang tertindas.
Semakin kuat dan dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis penindasan ini,
bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk menciderai secara serius.
2.2.3. Penindasan Relasional/Psikologis
Jenis penindasan ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah
pelemahan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian,
pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran suatu tindakan
penyingkiran adala alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan
mungkin tidak mengetahui gosip tersebut, namun tetap akan mengalami efeknya.
Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak
seorang teman atau secara sengaja untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat
helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang
kasar.
Menurut Smith (1999, dalam Sullivan, 2001) perilaku bullying anak
laki-laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki-laki-laki lebih cenderung melakukan secara
langsung yaitu bullying secara fisik, dan anak perempuan lebih cenderung
melakukan secara tidak langsung, seperti menyebarkan gosip tentang korban.
2.3. Komponen-komponen dalam Perilaku Bullying
Pada dasarnya perilaku bullying merupakan sebuah situasi yang tercipta ketika
tiga komponen atau karakter bertemu di satu tempat, yaitu pelaku bullying,
korban bullying, dan penonton/saksi (Coloroso, 2007). Situasi ini bagaikan sebuah
pertunjukan dengan tiga aktor yang memainkan perannya masing-masing.
2.3.1. Pelaku Bullying
Inilah aktor utama perilaku bullying. Dialah sang agresor, provokator, sekaligus
inisiator situasi bullying. Si pelaku bullying umumnya seorang anak atau murid
yang berfisik besar dan kuat, namun tidak jarang juga ia bertubuh kecil atau
sedang namun memiliki dominasi psikologis yang besar di kalangan
teman-temannya. Selain itu pelaku bullying umumnya temperamental. Mereka
melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan kekesalan dan
kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa tidak punya teman, sehingga
menciptakan situasi bullying supaya memiliki pengikut dan kelompok sendiri.
Atau mereka takut menjadi korban bullying, sehigga menggambil inisiatif sebagai
Menurut Sullivan (2005), karakteristik dari pelaku bullying adalah mereka
tahu bagaimana menggunakan kekuasaan, dan menggunakan kepemimpinan yang
dimiliki sebagai kekuatan untuk menindas.
Menurut Lipkins (2008), mereka adalah para anggota senior kelompok
atau anggota-anggota yang punya kedudukan penting karena besar badan,
kedudukan, kemampuan, atau kepribadian. Kebanyakan dari mereka menjadi
pelaku karena terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah
menjadi korban.
2.3.2. Korban Bullying
Korban bullying bukanlah sekedar pelaku pasif dari situsi bullying. Ia turut
berperan serta memelihara dan melestarikan situasi bullying dengan bersikap
diam. Sang korban umumnya tidak berbuat apa-apa dan membiarkan saja perilaku
bullying berlangsung padanya, karena ia tidak memiliki kekuatan diri untuk
membela diri atau melawan. Sikap diam sang korban ini tentunya beralasan.
Alasan yang utama, mereka berpikir bila melaporkan kegiatan bullying yang
menimpanya tidak akan menyelesaikan masalah. Karena jika guru menindak
pelaku bullying, hasilnya justru akan memperparah situasi bullying pada sang
korban.
Selain itu, anak-anak bisa jadi telah mempunyai sistem nilai bahwa dengan
mengadukan orang lain adalah wujud sifat kekanak-kanakan, manja, lemah dan
sama sekali tidak dewasa. Bagi sang korban, lebih baik menanggung beban
penderitaan ini daripada harus melanggar tata nilai di kalangan anak-anak dan
Akibatnya, para korban bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh
kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan
mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah
diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan
cenderung sulit untuk hidup secara normal (Sullivan, 2001).
2.3.3. Saksi Bullying/Penonton
Menurut Lipkins (2008), Penonton adalah orang-orang yang diterima kelompok
dan sudah dilantik menjadi anggota. Dalam beberapa kasus, mereka yang juga
baru bergabung dalam kelompok bisa menjadi penonton, atau beberapa anggota
senior bisa menjadi penonton dengan tipe yang beraneka ragam.
Lipkins (2008) menambahkan, pada dasarnya ada dua jenis penonton,
yakni aktif dan pasif. Saksi aktif biasanya ikut berseru dan turut menertawakan
korban bullying yang tengah dianiaya, atau bisa jadi telah menjadi anggota
kelompok yang di pimpin oleh pelaku bullying. Atau hanya sekedar ikut-ikutan
untuk menyelamatkan dirinya daripada menjadi korban atau nalurinya untuk
bergabung dengan pelaku bullying.
Saksi pasif yang juga berada di arena bullying lebih memilih diam karena
alasan yang wajar yaitu takut. Jika ia melakukan intervensi, atau melaporkan
kepada orang dewasa, ia tidak mau mengambil resiko sebagai korban pelaku
bullying selanjutnya. Situasi seperti ini biasanya menumpulkan empati para saksi
demi keselamatan dirinya.
Ada banyak alasan mengapa beberapa anak menggunakan kecakapan dan
sebagai penindas, tapi temperamen sejak lahir merupakan sebuah faktor. Namun
ada faktor lain, yaitu apa yang dikatakan oleh Bronfenbrenner (dalam Coloroso,
2007), seorang ilmuwan sosial, sebagai pengaruh lingkungan: kehidupan di rumah
si penindas, kehidupan di sekolah, masyarakat, serta budaya (termasuk media)
yang mengizinkan atau mendorong perilaku semacam itu. Satu hal yang perlu
diketahui adalah bahwa para penindas diajari untuk menindas. Penindasan
bukanlah tentang kemarahan, tetapi juga bukan konflik. Penindasan adalah sebuah
penghinaan, yaitu sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang
dianggap tidak berharga, lemah, atau tidak layak, mendapatkan penghargaan.
Dengan kata lain, penindasan adalah arogansi yang terwujud dalam
tindakan. Anak-anak yang menindas memiliki semacam hawa superioritas yang
kerap merupakan sebuah topeng untuk menutupi luka yang dalam dan
ketidakmampuannya. Mereka berdalih bahwa superioritas yang dimilikinya
membolehkan mereka melukai seseorang yang mereka anggap hina, padahal ini
merupakan dalih untuki merendahkan seseorang sehingga mereka dapat merasa
lebih unggul (Coloroso, 2007).
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang
kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying.
2.4.1. Faktor Internal
Secara internal pada dasarnya perilaku bullying muncul dari penalaran
moral anak yang rendah. Anak yang melakukan bullying pada temannya karena
anak ingin mendapatkan penghargaan diri dari orang lain dan anak belum
memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral.
Sebagaimana pendapat Budiningsih (2004) mengatakan bahwa penalaran moral
menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan apakah tindakan
tersebut baik atau buruk. Penalaran moral ini yang menjadi indikator dari tahapan
kematangan moral seseorang.
Adanya penalaran moral anak tersebut dapat mengakibatkan anak
memiliki kemampuan untuk menilai tindakan bullying yang menyakiti orang lain
sebagai perbuatan yang tidak boleh di lakukan, sehingga anak dengan penalaran
moral yang tinggi tidak melakukan perilaku bullying. Akan tetapi bagi anak yang
kurang memiliki penalaran moral, tidak memikirkan setiap tindakannya apakah
mengandung nilai-nilai yang baik atau buruk. Anak tersebut tidak mau tahu
apakah perbuatannya akan melukai temannya atau tidak. Sebagaimana yang di
katakan Bukhim (2008) bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan anak
disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif.
Akibatnya anak tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku
2.4.2. Faktor Eksternal a. Faktor Keluarga
Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan
mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif
berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan
harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka
cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang.
Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari
lingkungan yang mengancam.
b. Faktor Sekolah
Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak
sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka
untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang
dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang
negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun
sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama
anggota sekolah.
c. Faktor Kelompok Sebaya
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman sekitar rumah
kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak
melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan
bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri
2.5. Pengertian Penalaran Moral
Moral berasal dari kata latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat
istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986 dalam Ali, Asrori, 2009).
Sedangkan menurut Hurlock (1981) moral berasal dari bahasa latin
“Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan cara kebiasaan rakyat.
Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas dengan suatu tata cara
moral kelompok sosial.
Menurut Yusuf (2002), Istilah moral dari bahasa Latin “mos” (Moris),
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Seseorang dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Moral menurut Rogers (1986, dalam Ali, Asrori, 2009) merupakan kaidah
norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan
kelompok sosial dan masyarakat. moral merupakan standar baik dan buruk yang
ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai
anggota sosial.
Kohlberg menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran.
Maka ia pun menamakannya penalaran moral. Dengan demikian orang yang
bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas
Menurut Kohlberg perkembangan moral bersangkut-paut dengan
bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau
kaidah-kaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya atau dalam masyarakatnya.
Seseorang telah memperkembangkan aspek moral, bilamana ia telah
menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-aturan atau kaidah-kaidah
kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku yang
terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997)
Penalaran moral berhubungan dengan peraturan dan nilai-nilai mengenai
apa yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengn orang lain, yang diteliti
dalam 3 domain (Santrock : 2003) :
1. Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan
melakukan tingkah laku etis.
2. Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya?
3. Bagaimana perasaan remaja mengenai perasaan moral?
Dari beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang
dimaksud penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan
buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang
diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif.
2.5.1. Teori Penalaran Moral Piaget
Piaget membagi perkembangan penalaran moral menjadi dua tahap, yaitu:
1. Heteronomousmorality ialah tahap pertama perkembangan moral Piaget, yang
sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh diubah, yang lepas dari kendali
manusia.
2. Autonomous morality ialah tahap kedua perkembangan moral Piaget, yang
diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun dan
lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan
oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus
mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak
usia 7 -10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap,
menunjukkan ciri dari keduanya.
Pemikir heteronomous juga yakin akan keadilan yang immanen (immanent
justice), yakni suatu konsep bila aturan dilanggar, maka hukuman akan dikenakan
segera. Anak-anak kecil yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis
dengan hukuman. Oleh karena itu, anak-anak kecil seringkali melihat disekitar
dengan kuatir setelah melakukan suatu pelanggaran, sambil mengharapkan
hukuman yang tidak terelakkan. Anak-anak yang lebih tua yakni pemikir yang
otonomous, menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi
bila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa, hukuman tidak
terelakkan (Santrock, 2002).
Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga menjadi
lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, khususnya
tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin
bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya yang saling
memiliki kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan di
kordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan sehingga pada akhirnya
disepakati. Relasi orang tua–anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan
sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral,
karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. (Santrock, 2002).
2.5.2. Teori Psikoanalisa Freud
Freud menyebutkan bahwa struktur kepribadian seseorang terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu id, ego, dan super ego. Super ego merupakan cabang moral dan salah
satu dari tiga struktur utama kepribadian. Terbentuk ketika anak mengatasi konflik
Oedipus dan mengidentifikasi dirinya dengan orang tua yang berjenis kelamin
sama di awal masa kanak-kanak. Melalui identifikasi anak-anak dan remaja
memasukan standar orang tua mereka terhadap apa yang benar dan apa yang
salah. Individu menyesuaikan diri mereka dengan standar masyarakat untuk
menghindari rasa bersalah.
Dalam pandangan Freud, Super ego terdiri dari dua komponen utama yaitu
ego ideal dan concience (kata hati). Ego ideal merupakan persepsi manusia
mengenai sosok manusia yang didambakan. Seseorang akan memberikan reward
dengan memunculkan rasa bangga, dan nilai pribadi bila ia melakukan tindakan
yang sesuai dengan standar moral. Sementara concience (kata hati) akan
menghukum individu tersebut bila ia melakukan tindakan yang tidak bermoral,
dengan cara membuat dirinya merasa bersalah dan tidak berharga (Santrock,
2.5.3. Teori Erikson
Erikson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahap
perkembangan moral yaitu pembelajaran moral yang spesifik di masa anak-anak,
perhatian terhadap ideologi pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa
dewasa. Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian
identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang
mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa kehilangan tujuan dan
merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk sementara. Hal ini dapat membawa
remaja ke usaha mencari ideologi yang akan memberikan tujuan dalam hidup
mereka. Agar suatu ideologi dapat diterima harus ada bukti nyata dan haruslah
sesuai dengan kemampuan remaja untuk berpikir logis. Bila orang lain juga
memiliki ideologi yang sama maka perasaan sebagai bagian dari suatu kelompok
masyarakatpun terbentuk. Bagi Erikson ideologi berperan sebagai pelindung
identitas selama masa remaja karena ideologi memberikan perasaan adanya
tujuan, membantu menghubungkan masa kini dengan masa depan, dan memberi
arti bagi tingkah laku.
2.5.4. Teori Kohlberg
Menurut teori Kohlberg (dalam Santrock, 2002) telah menekankan bahwa
perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang
secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral
pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada
pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan
tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg
yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus.
Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut
adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di
kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker
menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut.
Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami
pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam
uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari
harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon
agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya
membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku
menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi
nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg
untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita,
anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema
moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau
salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri?. Dengan adanya cerita di atas
menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori
Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang
dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg
terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap pada
masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat satu : Penalaran Pra-konvensional
Penalaran Pra-konvensional (preconventional reasoning) adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak
tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) atau hukuman eksternal.
Tahap 1. Orientasi hukuman dan ketaatan (punishment and obedience
orientation) ialah tahap pertama dalam teori perkembangan Kohlberg. Pada
tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena
orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap 2. Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap
kedua dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral
didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila
mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat.
Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap
Tingkat dua: Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional (conventional reasoning) adalah tingkat kedua atau menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini
internalisasi individual ialah menengah. Seseorang mentaati standar-standar
(internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar orang lain
(eksternal), seperti orang tua atau aturan masyarakat.
Tahap 3. Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang
menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai
landasan pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar
moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh
orangtuanya sebagai “perempuan yang baik” atau seorang “laki-laki yang baik”.
Tahap 4. Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat
dari perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini pertimbangan-pertimbangan
didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan
kewajiban.
Tingkat Tiga: Penalaran Pasca-konvensional
Penalaran Pasca-Konvensional (postconventional reasoning) ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini moralitas
benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang
lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternaltif, menjajaki
Tahap 5. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights
versus individual rights) ialah tahap kelima dalam perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan
aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang
ke orang lain. Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi
juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa
nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum.
Tahap 6. Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap
keenam dan tertinggi dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini
seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada
hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara
hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin
melibatkan resiko pribadi.
Kohlberg percaya bahwa seluruh tingkatan dalam tahap perkembangannya
terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Sebelum mencapai usia 9 tahun
kebanyakan penalaran anak dalam menghadapi dilema moral dilakukan dengan
cara yang pra-konvensional. Pada awal masa remaja, penalaran mereka dilakukan
dengan cara yang lebih konvensional. Kebanyakan penalar remaja berada pada
tahap 3, dengan menunjukkan adanya ciri-ciri pada tahap 2 dan 4. pada awal masa
dewasa, sejumlah kecil individu berpikir dengan cara pasca konvensional
(Santrock, 2002).
Akan tetapi tahap pasca-konvensional tidak terjadi pada semua remaja,
mendasarkan penilaian terhadap aturan harapan masyarakat pada prinsip-prinsip
moral umum sesuai dengan tingkat 5 dan 6 (Sarwono, 2008).
Skema 2.1
Tahap Perkembangan Moral menurut Kohlberg (Gunarsa, 1997) :
Tingkat Tahap Ciri Khusus
Tingkat I : Pra-konvensional
Tahap 1. Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman.
Tahap 2. Relativistik hedonism
Harus patuh agar tidak di hukum.
Ada faktor pribadi yang relatif dan prinsip kesenangan.
Tingkat II : Konvensional
Tahap 3. Orientasi mengenai anak yang baik.
Tahap 4. Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas.
Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus diterima oleh masyarakat.
Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya ada norma-norma.
Tingkat III : Pasca-konvensional
Tahap 5. terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
Tahap 6. Prinsip universal.
Perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Berbuat baik agar diperlakukan baik.
Berkembangnya norma etik (kata hati) untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip uiversal.
Menurut Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya memperlihatkan
bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya
minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan
kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat
jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai
Kohlberg menambahkan, semua tahap-tahap perkembangan tidak
ditentukan oleh pendapat atau pertimbangan-pertimbangan khusus, melainkan
oleh cara berpikir mengenai soal-soal dan dasar-dasar moral untuk mengadakan
pilihan. Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal,
dilukiskan sebagai tahap “pra-moral” sebab semua putusan sebagian besar dibuat
atas dasar kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material. Tahap 3 dan
4 yang berorientasi pada kelompok merupakan tahap “konvensional”, pada tingkat
inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku. Dua tahap akhir yang mengacu
pada “prinsip” merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang
dewasa, dengan kemungkinan hingga 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.
2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral.
Menurut Kohlberg (1995) faktor-faktor utama yang didapat dari pengalaman bagi
perkembangan moral, tampaknya berupa jumlah dan keanekaragaman
pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk
berjumpa dengan sudut pandang yang lain.
Senada apa yang telah disebutkan Kohlberg, Gunarsa (1989) menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral erat kaitannya
dengan proses kemampuan menentukan sesuatu peran dalam pergaulan dan
menjalankan peran tersebut. Kemampuan berperan memungkinkan individu
menilai berbagai situasi sosial dari berbagai sudut pandangan. Dengan