1
NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH
DALAM NOVEL
LALITA
KARYA AYU UTAMI
SKRIPSI
OLEH:
INDIRA GINANTI
100701051
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH
DALAM NOVEL
LALITA
KARYA AYU UTAMI
OLEH
INDIRA GINANTI 100701051
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. NIP 19620419 198703 2 001 NIP 19500411 198102 2 001
Departemen Sastra Indonesia Ketua,
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan skripsi saya ini bukanlah karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi oleh orang lain
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan dicantumkan
dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia
menerima sanksi.
Medan, April 2015 Penulis,
iii
NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH
DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI
SKRIPSI
Karya sastra merupakan bentuk ekspresi jiwa seorang pengarang dalam mengungkapkan isi hati dan pikirannya sesuai dengan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Isi karya sastra sangat beragam, salah satu contoh dari karya sastra adalah mengenai nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual merupakan dasar bagi seorang manusia dalam pembentukan moral, tingkah laku, serta gaya hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam novel Lalita karya Ayu Utami. Untuk menemukan hasil tersebut digunakan teori psikologi sastra dengan penerapan pendekatan berdasarkan unsur tokoh-tokoh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasikan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Analisis tersebut dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan nilai-nilai spiritual terhadap tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa komponen nilai-nilai spiritual menurut Elkins dkk adalah dimensi transenden dialami oleh Anshel, Parang Jati, dan Marja; makna dan tujuan dalam hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Parang Jati; misi hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Marja; kesakralan dalam hidup dialami oleh Yuda, Jataka/Janaka, Anshel, dan Parang Jati; nilai-nilai material dialami oleh Anshel, dan Lalita; altruisme dialami oleh Parang Jati, idealisme dialami oleh Anshel, dan Parang Jati; kesadaran akan peristiwa tragis dialami oleh Anshel; buah dari spiritual dialami oleh Jataka/Janaka, Yuda, dan Anshel.
Kata-kata Kunci:
iv PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Swt atas berkat, rahmat, dan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada penulis hingga tulisan ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam penulis hadiahkan kepada Nabi besar Rasulullah Saw. atas suri teladannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu mewujudkan impian penulis menyelesaikan setudi dengan baik, yaitu:
1. Orangtua tercinta Ayahanda Ismaya Suhono dan Ibunda Siti Hajjah, Adinda M.
Rifky Hidayat, Dimas Firdansyah, M. Taufan, dan Siti Zalista Rahmah, serta
almarhum kakek dan almarhumah jidah (yang belum sempat melihat cucunya
menyandang gelar sarjana) yang dengan luar biasa telah mencurahkan segala
semangat, dorongan moril dan materil demi mewujudkan cita-cita penulis.
2. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara yang telah memimpin dan membina Fakultas Ilmu Budaya.
3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., selaku ketua Departemen Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. Drs. Haris Sutan Lubis, M. SP. selaku sekertaris Departemen Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
5. Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang senantiasa
membantu, memberi saran, dan bersabar dalam memberikan ilmu kepada
penulis.
6. Dra. Yulizar Yunas, M. Hum., selaku dosen pembimbing II yang senantiasa
memberi saran dan ilmu kepada penulis.
7. Drs. Pertampilan Brahmana Sembiring, M. Hum. selaku dosen pembimbing
akademik.
8. Staf Pengajar dan Administrasi di Departemen Sastra Indonesia dan umumnya
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
9. Sahabat-sahabat 2010 saya di KBSI. Terima kasih atas cerita suka dan duka
yang kita bangun selama ini untuk menuju strata satu.
10.Kakanda dan Abangnda alumni stambuk 2006-2009 dan Adinda-adinda
2011-2014.
11.Kakanda, Abangnda, dan teman-teman Teater ‘O’ USU yang mendukung
v
12.Teman-teman TEMU TEMAN (Temu Teater Mahasiswa se-Nusantara).
Kepada pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga bantuan dan dukungannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah Swt. Namun penulis mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif demi perbaikan.
Medan, April 2015 Penulis,
vi DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
PRAKATA ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Batasan Masalah ... 4
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 4
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KONSEP LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Konsep ... 6
2.1.1 Nilai-nilai Spiritual ... 6
2.1.2 Tokoh-tokoh ... 7
2.2 Landasan Teori ... 8
2.3 Tinjauan Pustaka ... 12
BAB III METODE PENELITIAN ... 14
3.1 Metode Penelitian ... 14
vii
3.3 Teknik Analisis Data ... 16
BAB IV TOKOH-TOKOH DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI ... 17
4.1 Tokoh-tokoh ... 17
4.1.1 Tokoh Utama ... 17
4.1.2 Tokoh Pendukung ... 28
BAB V NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH ... 23
5.1 Nilai-nilai Spiritual ... 23
5.2 Komponen Nilai-nilai Spiritual Dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami ... 24
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 57
6.1 Simpulan ... 57
6.2 Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA
iii
NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH
DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI
SKRIPSI
Karya sastra merupakan bentuk ekspresi jiwa seorang pengarang dalam mengungkapkan isi hati dan pikirannya sesuai dengan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Isi karya sastra sangat beragam, salah satu contoh dari karya sastra adalah mengenai nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual merupakan dasar bagi seorang manusia dalam pembentukan moral, tingkah laku, serta gaya hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam novel Lalita karya Ayu Utami. Untuk menemukan hasil tersebut digunakan teori psikologi sastra dengan penerapan pendekatan berdasarkan unsur tokoh-tokoh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasikan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Analisis tersebut dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan nilai-nilai spiritual terhadap tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa komponen nilai-nilai spiritual menurut Elkins dkk adalah dimensi transenden dialami oleh Anshel, Parang Jati, dan Marja; makna dan tujuan dalam hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Parang Jati; misi hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Marja; kesakralan dalam hidup dialami oleh Yuda, Jataka/Janaka, Anshel, dan Parang Jati; nilai-nilai material dialami oleh Anshel, dan Lalita; altruisme dialami oleh Parang Jati, idealisme dialami oleh Anshel, dan Parang Jati; kesadaran akan peristiwa tragis dialami oleh Anshel; buah dari spiritual dialami oleh Jataka/Janaka, Yuda, dan Anshel.
Kata-kata Kunci:
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sastra merupakan karya seni tulis yang diciptakan seorang pengarang sebagai
bentuk aspirasi, apresiasi, dan pandangannya terhadap suatu peristiwa dan perasaan
yang dirasakannya. Jabrohim (2001:167) mengatakan bahwa:
Karya sastra adalah hasil pikiran pengarang yang menceritakan segala permasalahan yang ada di masyarakat pada kehidupan sehari-hari. Pengarang mengungkapkan permasalahan itu karena pengarang berada dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu tersebut pengarang senantiasa terlibat dengan beraneka ragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata di dalamnya berinteraksi.
Karya sastra merupakan bentuk ekspresi jiwa seorang pengarang dalam
mengungkapkan isi hatinya. Sesuai dengan pendapat Endraswara (2008:102) yang
mengatakan, “Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, yang
menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman
yang telah dimasak dalam jiwanya”. Oleh sebab itu, karya sastra merupakan sesuatu
yang pengarang rasakan, hayati, dan pikirkan terhadap segala sesuatu yang ada di
sekitarnya.
Banyak jenis yang termasuk dalam karya sastra. Novel merupakan sebuah
contoh karya sastra. Dalam sebuah novel, terdapat beberapa bahasan atau tema yang
diungkapkan. Salah satunya ialah tentang nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual
2
menceritakan nilai-nilai spiritual ialah novel Lalita karya Ayu Utami. Tokoh-tokohnya
banyak mengalami nilai-nilai spiritual dalam ceritanya.
Dalam novel Lalita karya Ayu Utami tersebut banyak nilai-nilai spiritual yang
disiratkan di dalamnya dan juga mengandung nilai-nilai filosofis kehidupan spiritual.
Novel tersebut juga menceritakan sejarah yang diceritakan secara fiksi. Selain itu, alur
yang digunakan adalah alur campuran, serta latar yang berbeda-beda yang
mengharuskan peneliti membaca berulang-ulang novel tersebut.
Berbicara tentang nilai-nilai spiritual, tentu saja kita juga mengalaminya dalam
kehidupan sehari-hari. Seseorang yang mengutamakan nilai spiritualnya biasanya
merasa dekat dan takut pada Sang Pencipta, dekat dengan alam, dan merasa dekat
dengan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan atau sosok transenden (di luar akal manusia).
Doe dan Walch (2001:15) mengungkapkan:
Spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu struktur kejiwaan yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral.
Dalam novel Lalita karya Ayu Utami, nilai-nilai spiritual tersebut dapat
dianalisis melalui kehidupan tokoh-tokohnya yang berkaitan dengan psikologi sastra.
Endraswara (2008:96) mengatakan bahwa “Psikologi sastra adalah kajian yang
memandang sastra sebagai aktifitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa,
dan karsa dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis,
akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks
3
Lalita karya Ayu Utami adalah novel seri dari Bilangan Fu yang menceritakan
kisah spiritual tokoh-tokoh yang bernama Sandi Prayuda (Yuda), Lalitavistara (Lalita),
Anshel Eibenschütz (Anshel), Parang Jati (Jati), dan Marja Manjali (Marja). Cerita
dalam novel Lalita berawal dari Yuda yang bertemu dengan wanita awal empat puluhan
tahun yang bernama Lalita sebagai relasi. Kisah mereka juga diiringi dengan peristiwa
dan kisah cinta yang mengandung nilai-nilai spiritual. Misteri kehidupan Lalita yang
mengaku indigo, mengaku pernah hidup beberapa abad yang lalu, obsesinya terhadap
Candi Borobudur (ini memang kisah tentang Borobudur, di negeri pada masa
penduduknya tidak terlalu menghargai kebudayaan, tentang bagan mandala yang
menjadi pusat dunia, dan tentang Buddha Gautama), pengakuan tentang dirinya
keturunan drakula, dan kecintaannya terhadap buku Indigo yang ditulis oleh kakeknya,
Anshel, yang keturunan Austria. Buku Indigo berisi tentang penelitian Anshel yang
bermula dari benua Eropa, kemudian hijrah ke Tibet, berakhir di Hindia-Belanda
tepatnya di Jawa Tengah untuk mempelajari Candi Borobudur dan juga mendalami
nilai-nilai spiritual Buddha. Lalita percaya bahwa dirinya pernah hidup di empat zaman,
yang pertama adalah abad ke-5 dengan setting Nepal dan Sriwijaya, abad ke-10 di Jawa
Tengah seputar Magelang, Yogyakarta, dan Muntilan, abad ke-15 sebagai drakula di
Transylvania, dan abad ke-20 di Nusantara. Hilangnya buku Indigo juga
mengikutsertakan Jati dan Marja untuk mencari keberadaan kitab tersebut dan apa
hubungannya dengan Yuda dan Lalita sehingga mengikutsertakan mereka ke dalam
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang akan diteliti
dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam novel
Lalita karya Ayu Utami dengan teori psikologi sastra.
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti membatasi pengkajian pada unsur intrinsik berupa
tokoh-tokoh yang dideskripsikan dan juga mendeskripsikan nilai-nilai spiritual yang
dialami tokoh-tokoh dengan teori psikologi sastra sesuai dengan isi novel.
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai spiritual
yang dialami tokoh-tokohnya dan menjelaskan nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam
novel Lalita.
1.4.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu Sastra
Indonesia terutama dalam pengkajian novel Indonesia modern dengan pendekatan
5 b. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini dapat membuat pembaca memahami nilai-nilai spiritual,
dilihat dari psikologi tokoh dan hubungan setiap tokoh yang satu dengan yang lain
6
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah
pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(2008:725), “Konsep merupakan (1) rancangan atau buram surat, dsb; (2) ide atau
pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) gambaran mental dari objek,
proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain”. Dengan kata lain, konsep digunakan sebagai kerangka atau
pijakan untuk menjelaskan, mengungkapkan, menggambarkan, atau pun memaparkan
suatu objek atau topik bahasan.
Sesuai dengan judul penelitian ini, Nilai-nilai Spiritual Tokoh-tokoh dalam
Novel Lalita Karya Ayu Utami, konsep yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut.
2.1.1 Nilai-nilai Spiritual
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Suyitno (1986:3), menyatakan “Sastra sebagai produk
kehidupan, mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya baik yang
bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempunyai penyodoran konsep
baru”. Nilai terbentuk dari apa yang benar, pantas, dan luhur untuk dikerjakan dan
7
Spiritual adalah suatu keadaan manusia yang merasa adanya kekuatan yang lebih
besar dari kekuatan manusia, dan merasa bahwa manusia haruslah hidup untuk sesama.
Spiritual menurut Tischler (dalam Desiana, 2011:12) adalah kebutuhan bawaan manusia
untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah
“sesuatu yang lebih besar dari diri manusia” adalah sesuatu yang di luar diri manusia
dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Jadi, nilai-nilai spiritual adalah hal-hal
yang baik dalam suatu keadaan manusia yang merasakan adanya kekuatan yang lebih
besar daripada diri manusia tersebut, dan merasa adanya tujuan dari hidup.
2.1.2 Tokoh-tokoh
Tokoh adalah unsur intrinsik yang terpenting dalam sebuah karya sastra. Dalam
Kamus Bahasa IndonesiaUntuk Pelajar (2011: 563) pengertian tokoh adalah pemegang
peran dalam roman atau drama. Nurgiyantoro (1998:179) membedakan tokoh menjadi
tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh bawahan. Beliau
mengatakan:
Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh sentral bukanlah frekuensi kemunculan tokoh dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatannya di dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Tokoh sentral dan tokoh bawahan terdiri dari tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Ketika membaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri, memberi simpati dan empati, atau melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tertentu. Tokoh yang disikapi demikian disebut tokoh protagonis. Tokoh protagonis merupakan pengejawantahan dari norma-norma atau nilai-nilai yang ideal bagi pembaca.
Sebuah cerita rekaan atau fiksi haruslah memiliki konflik dan ketegangan,
terutama yang dialami oleh tokoh protagonis. Menurut Nurgiyantoro (1998:179),
8
disebut sebagai tokoh antagonis. Tokoh antagonis ialah tokoh yang menjadi penentang
utama atau yang beroposisi dengan protagonis”.
2.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini digunakan teori psikologi sastra. Menurut Endraswara,
(2008:96), “Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai
aktifitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya.
Karya sastra dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek
kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa”.
Menurut Ratna (2011:16):
Psikologi sastra adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kejiwaannya. Sebagai hasil rekonstruksi proses mental karya sastra diduga mengandung berbagai masalah berkaitan dengan gejala-gejala kejiwaan. Gejala-gejala yang dimaksudkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, melalui unsur-unsurnya termanifestasikan dalam karya. Sesuai dengan ciri-ciri kejiwaan tersebut pada umumnya unsur-unsur penokohanlah yang paling banyak menarik minat para peneliti.
Roekhan (dalam Endraswara, 2008:97) mengatakan bahwa “Pada dasarnya,
psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan tekstual, (2)
pendekatan reseptif-pragmatik, (3) pendekatan ekspresif”. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual maksudnya yaitu mengkaji
aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Demikian pula dalam penelitian ini
menganalisis sebuah novel yang ceritanya membahas bagaimana nilai-nilai spiritual
tokoh-tokohnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam novel Lalita karya Ayu Utami tersebut terdapat sejumlah
9
tokoh-tokoh. Lingkungan dan keadaan memang dapat membuat seseorang mengalami
nilai spiritual. Adapun komponen nilai-nilai spiritual tersebut menurut Elkins dkk
(dalam Desiana, 2011:14-17) adalah sebagai berikut:
a. Dimensi transenden, yaitu individu spiritual percaya akan adanya dimensi
transenden dari kehidupan. Inti yang mendasar dari komponen ini bisa berupa
kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang dipersepsikan individu sebagai
sosok transeden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan
istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora.
b. Makna dan tujuan dalam hidup, yaitu individu yang spiritual memahami
proses pencarian akan makna dan proses pencarian hidup. Dari proses pencarian
ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan
bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing.
c. Misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat
memecah misi hidupnya dalam target-target konkret dan tergerak untuk
memenuhi misi tersebut.
d. Kesakralan hidup, individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk
melihat kesakralan dalam semua hal hidup. Pandangan hidup mereka tidak lagi
dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan sekuler, atau yang suci dan
yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya
dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal yang bersifat
keduniaan.
e. Nilai-nilai material, individu yang spiritual akan menyadari banyaknya sumber
10
kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai
materi seperti kebendaan atau uang, namun tidak mencari kepuasan sejati dari
hal-hal material tersebut.
f. Altruisme, individu yang spiritual akan menyadari adanya tanggung jawab
bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya (our
brother’s keeper). Mereka meyakini tidak ada manusia yang berdiri sendiri,
bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas
sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan
orang lain.
g. Idealisme, individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat terhadap potensi
baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang, namun juga
pada hal baik yang mungkin diinginkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang
mungkin dicapai.
h. Kesadaran akan peristiwa tragis, individu yang spiritual menyadari perlu
terjadinya tragedi dalam hidup seperti adanya rasa sakit, penderitaan atau
kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka lebih dapat menghargai hidup
itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin
dituju.
i. Buah dari spiritualitas, komponen terakhir merupakan cerminan atas
kedelapan komponen sebelumnya seperti halnya dengan individu mengolah
manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang
11
biasanya dikaitkan hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam,
kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai transenden.
Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti akan mengaitkan nilai-nilai spiritual
yang dialami tokoh-tokoh dalam novel Lalita karya Ayu Utami dengan
komponen-komponen pembentuk nilai-nilai spiritual menurut Elkins dkk yang telah disebutkan.
2.3Tinjauan Pustaka
Novel Lalita karya Ayu Utami merupakan novel yang menceritakan tentang
pengalaman tokoh-tokoh dalam mengalami nilai-nilai spiritual. Sepanjang pengetahuan
dan penelitian yang dilakukan, novel tersebut belum pernah diteliti dengan objek kajian
yang sama oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera
Utara, maupun di universitas lain di Indonesia.
Penelitian tentang spiritual dengan objek kajian berbeda telah dibahas oleh Adil
Sastrawan (UIN Sunan Kalijaga, 2011) dengan judul “Spiritualitas Dalam Novel
Bilangan Fu” (http://digilib.uin-suka.ac.id/). Penelitian tersebut mendeskripsikan nilai
spiritual yang dialami tokoh, dan juga menjelaskan kecenderungan spiritualitas ke arah
primitif. Kepercayaan terhadap mitos-mitos, legenda rakyat, dan makhluk-makhluk
halus yang dipercayai sebagai spiritualitas. Hasil analisis tersebut mengemukakan kritik
terhadap cara pandang modern yang cenderung antroposentris dan anti-ekologi.
Kajian dengan judul ”Pendidikan Emosional dan Spiritual (ESQ) dalam Novel
Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi” yang dilakukan oleh Tsurayya Syarif Zain
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, tahun
12
ESQ dan memahami tolak ukur ESQ. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan memberi kesimpulan bahwa pendidikan ESQ dapat ditelaah melalui pesan
moral yang mencakup kemampuan dalam mengolah emosi. Hal ini dapat memotivasi
diri, memberi kemampuan dalam mengolah emosi, mampu menghadapi persoalan
makna atau nilai (value), dan dapat menempatkan perilaku hidup dalam konteks yang
lebih baik. Selain itu pendidikan ESQ dapat dipelajari melalui tolak ukur ESQ yang
mencakup pengendalian diri, pengaturan diri, motivasi, simpati, empati, keterampilan
sosial, keteguhan pendirian, berserah diri kepada Allah, menghambakan diri secara
total, meyakinkan segala urusan rezeki hanya kepada Allah semata dengan segala usaha
dan doa, dan mengintegritaskan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian tentang nilai spiritual juga pernah dilakukan, namun pada objek yang
berbeda. Penelitian dengan judul “Representasi Nilai Spiritual dalam Novel Dzikir dan
Fikir Karya Reza Nurul Fajri” oleh Hidayatul Mustakim mahasiswa magister di bidang
Pendidikan Bahasa Indonesia, ta
penelitian tersebut membicarakan tentang mengungkapkan nilai spiritual dalam novel
tersebut dan implikasinya pada pembelajaran Bahasa Indonesia. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa novel tersebut mengandung nilai-nilai spiritual.
Nilai-nilai spiritual yang ditemukan antara lain adalah religius, jujur, tanggung jawab, berpikir
logis, kritis, kreatif, inovatif, cerdas, tangguh, ingin tahu, peduli, santun, demokratis,
dan peduli lingkungan. Nilai spiritual yang paling banyak ditemukan adalah spiritual
religius, sedangkan nilai spiritual yang paling sedikit ditemukan adalah spiritual peduli
13
perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran bahasa, serta penentuan tema
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah data yang dianalisis dan hasil analisisnya
berbentuk deskripsi dan tidak berupa angka-angka. Menurut Semi (2012:28), “Metode
penelitian kualitatif ialah metode penelitian yang dilakukan dengan tidak
mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap
interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris.
Metode kualitatif tersebut dideskripsikan secara deskriptif. Whitney (dalam
Kaelan, 2005:58) mengatakan:
Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan sistematis. Misalnya dalam hubungannya dengan penelitian masyarakat, penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu”. Uraian tersebut disimpulkan bahwa penelitian ini bertujuan mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal individu atau kelompok.
Adapun hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi data,
sumber data, dan teknik pengumpulan data.
1. Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat-kalimat,
dan bukan angka-angka. Dalam penelitian kualitatif, sebagai data formal adalah
15 2. Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data yang dianalisis adalah:
Judul : Lalita
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal Buku : 251 hal. + x
Cetakan : Pertama
Tahun Terbit : 2012
Warna Sampul : Putih gading, beragam warna hijau, beragam warna merah
Gambar Sampul : Terdapat cukil-cukil ranting kayu dengan daun-daun,
bunga-bunga, dan buah-buah, di tengah-tengah terdapat gambar buah
yang besar yang terbelah sehingga terlihat isi dan getahnya
Sumber data tersebut merupakan data primer yang dianalisis sebagai sumber
data utama. Selain data primer, terdapat juga data sekunder yang juga diperlukan oleh
peneliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku sastra, artikel,
skripsi, jurnal dari internet, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik pustaka,
menyimak, dan mencatat. Teknik pustaka dilakukan dengan menggunakan
sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan catat dilakukan dengan
menyimak secara teliti dan cermat terhadap sumber data primer yang objeknya berupa
16
digunakan dalam penyusunan laporan penelitian sesuai dengan maksud dan tujuan yang
hendak dicapai.
Dalam data yang dicatat itu, disertakan pula kode sumber datanya untuk
melakukan pengecekan ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka
analisis data (Subroto, 1992:41-42).
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam meneliti novel Lalita karya Ayu
Utami ini adalah teknik deskriptif analisis. Dalam deskriptif analisis, data yang telah
diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Cara kerjanya
ialah dengan mendeskripsikan data yang diperoleh dengan membaca berulang-ulang.
Hal itu dapat dilakukan dengan meneliti nilai-nilai spiritual yang dialami oleh tokoh
17 BAB IV
TOKOH-TOKOH DALAM NOVEL LALITA
KARYA AYU UTAMI
4.1 Tokoh-tokoh
Tokoh merupakan bagian terpenting dalam karya sastra. Tokoh memainkan
peran sebagai salah satu unsur yang membangun cerita dalam karya sastra. Adanya
tokoh dalam karya sastra sangat memengaruhi jalan cerita, konflik, dan klimaks dalam
suatu karya sastra. Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 1998: 165) bahwa “Penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita”. Dalam karya sastra, tokoh memiliki peranan masing-masing. Tokoh
dapat berupa tokoh sederhana dan tokoh bulat. Nurgiyantoro (1998: 181-183)
mengatakan bahwa, tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan
jati dirinya yang memiliki berbagai sikap dan tindakan. Adapun nama lain dalam
penyebutan tokoh adalah tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam novel yang diteliti
juga pasti memiliki tokoh utama dan tokoh pendukung, berikut ini adalah
penjelasannya.
4.1.1 Tokoh Utama
Tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan dalam cerita karya sastra.
18
lainnya. Nurgiyantoro (1998: 177) memperjelas bahwa tokoh utama selalu hadir sebagai
pelaku, atau yang dikenai kejadian atau konflik, penting yang memengaruhi
perkembangan plot. Dalam penceritaannya, tokoh utama menjadi inti dari suatu ide
cerita yang disampaikan. Dalam novel Lalita karya Ayu Utami memiliki tokoh utama
dalam penceritaannya, yaitu sebagai berikut:
a. Lalita Vistara (Lalita)
Tokoh Lalita muncul pada bab pertama novel, yaitu bab Indigo. Lalita
merupakan tokoh utama yang penting dalam novel ini. Lalita pula yang membangun
dan mengubungkan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya. Lalita adalah seorang
wanita modern, cantik, pintar, dan kaya. Lalita adalah wanita dengan usia di awal empat
puluhan tahun. Namun, berparas seperti wanita pertengahan tiga puluhan tahun. Lalita
sangat suka membubuhkan make-up pada wajahnya karena ia ingin menyembunyikan
siapa dirinya sebenarnya dan juga ingin menyembunyikan wajahnya pada dunia.
Lalita sangat menyukai warna ungu, hingga ia dijuluki wanita indigo. Ia
menganggap ia juga indigo bukan karena ia menyukai warna ungu, tetapi karena ia
sering melihat potongan-potongan kehidupan masa lalunya sebelum ia bereinkarnasi
menjadi Lalita yang sekarang. Ia percaya bahwa dia adalah orang yang bertanggung
jawab dalam pembangunan Borobudur pada masanya, dan ia juga beranggapan bahwa
dirinya adalah keturunan drakula dan pernah hidup di Transylvania.
Lalita merupakan pemilik galeri seni di Jakarta. Salah satu pameran seninya
adalah mengenai Candi Borobudur beserta bagan-bagan dan mandalanya. Obsesinya
terhadap kuil Buddha terbesar ini adalah karena kecintaannya terhadap kakeknya orang
19
padanya. Kecintaannya terhadap sang kakek dan buku indigo membuatnya ingin
memgenalkan sang kakek pada dunia. Wujud cintanya pada sang kakek ialah ia menjadi
orang yang spiritual dan memiliki jalan pemikiran yang bijak dalam hidupnya.
Lalita memiliki trauma masa lalu atas kehilangan anaknya yang diculik
kakaknya. Lalita memiliki saudara kembar menurut dirinya, dan menurut saudaranya
tersebut mereka adalah kakak-adik dan Lalita adiknya. Lalita memiliki hubungan yang
tidak harmonis dengan saudaranya.
4.1.2 Tokoh Pendukung
Tokoh tambahan atau tokoh pendukung merupakan tokoh yang menjadi
pelengkap yang memperkuat sebuah cerita. Tokoh pendukung juga merupakan bagian
yang cukup penting dalam membangun cerita. Tokoh pendukung memainkan peran
yang sedikit dibandingkan tokoh utama. Namun, perannya sangat mendukung tokoh
utama. Nurgiyantoro (1998:177) mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh tambahan dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan
tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.
Dalam novel Lalita karya Ayu Utami juga memiliki tokoh tambahan dalam
penceritaannya. Tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Anshel Eibenizcust (Anshel)
Tokoh Anshel muncul pada bab kedua, yaitu Hitam. Tokoh Anshel juga
merupakan tokoh utama. Walaupun tidak berhubungan langsung dengan tokoh lainnya,
tetapi, tokoh Anshel inilah yang banyak memberikan pengaruh nilai-nilai spiritual
20
Anshel adalah seorang Austria dan beragama Yahudi pada masa kecilnya. Keluarga
Anshel bukanlah keluarga yang taat. Sedari kecil, Anshel diajarkan untuk tidak terlalu
dekat dengan agama. Walaupun begitu, kedekatannya dengan dunia spiritual sudah
tampak ketika ia kecil.
Anshel memiliki trauma yang menyebabkannya kehilangan kepercayaan pada
akal budi manusia. Ia kemudian menumbuhkan kembali rasa percayanya pada akal budi
manusia ketika ia bertemu dengan guru psikoanalisa, Sigmund Freud. Namun, karena
gagasannya tentang alam tidak sadar manusia berhubungan dengan spiritual, ia diusir
dari kumpulan dan kehilangan lagi kepercayaan tentang akal budi. Anshel akhirnya
pergi dari benua Eropa yang meninggalkan luka baginya. Hingga akhirnya ia berkelana
ke Tibet dan akhirnya ke Nusantara tempat beradanya Candi Buddha terbesar berada. Ia
akhirnya tertarik pada Buddhisme. Ia menghubungkan Buddhisme dengan psikoanalisa.
Dan menemukan gagasan tentang struktur mandala Borobudur. Dari
gagasan-gagasannya tentang candi Borobudur, ia menemukan struktur alam semesta.
b. Sandi Prayuda (Yuda)
Yuda muncul pertama kali dalam penceritaan novel sebagai sudut pandang
orang ketiga. Yuda muncul pada bab satu, Indigo. Yuda adalah seorang pemuda yang
berusia dua puluh. Yuda adalah salah satu mahasiswa ITB yang sangat mencintai alam.
Liar, bengal, dan cekatan adalah kesan pertama orang-orang meilhat sosok Yuda. Yuda
adalah tokoh yang berhubungan langsung dengan tokoh Lalita. Yuda menyebut Lalita
dengan wanita indigo. Karena kecekatan yang dimiliki Yuda, ia mendapat hadiah
21
berhubungan dengan Lalita. Yuda merasa berterima kasih pada sosok Lalita, karena ia
telah diberi pengalaman dan ilmu yang tidak pernah diduga sebelumnya.
c. Parang Jati (Jati)
Parang Jati merupakan sahabat dari Yuda. Tokoh Jati muncul pada bab Indigo.
Jati memiliki sifat yang berkebalikan dari Yuda. Jati juga mencintai kekasih Yuda,
Marja. Parang Jati adalah sosok yang lembut dan pemaaf. Jati memahami jenis-jenis
perdewataan dalam Buddhisme, karena ayah angkatnya adalah seorang suhubudi. Jati
juga sangat dekat dunia spiritualisme. Kedekatannya dengan dunia spiritual,
menjadikannya menjadi sosok yang berbeda dari sahabatnya yang liar.
d. Marja Manjali (Marja)
Marja mulai muncul pada bab Indigo. Marja merupakan kekasih Yuda sekaligus
sahabat Jati. Marja adalah mahasiswi seni ITB. Marja merupakan gadis yang periang
dan manja yang dicintai oleh Yuda dan Jati. Marja mencintai Yuda, tetapi ia juga
mencintai Jati. Ia menginginkan kedua lelaki yang berbeda sifat itu sekaligus. Marja
adalah orang menemukan buku indigo yang telah dicuri. Dari buku itu, ia mempelajari
nilai-nilai spiritual dan ilmu-ilmu yang telah digagas oleh Anshel. Marja adalah sosok
yang mau belajar memperbaiki dirinya. Marja tidak takut mengakui dosa-dosanya.
e. Jataka/Janaka
Dalam novel Lalita, tokoh Jataka/Janaka disebutkan bahwa ia mengaku bernama
Jataka sebagai kakak lelaki Lalita. Bagi tokoh Lalita, ia bernama Janaka dan bersaudara
kembar dengannya. Jataka/Janaka adalah ketua organisasi pemuda, atau yang lebih
sering disebut dengan organisasi preman. Tokoh inilah yang menginginkan buku indigo
22
ini terkenal licik dan jahat. Ialah yang menculik bayi Lalita dan membunuhnya,
membantai Lalita, dan menculik Yuda demi buku indigo. Tokoh ini tidak dekat dengan
spiritual, tetapi ia memahaminya.
Adapun tokoh-tokoh pendukung lain yang diceritakan dalam novel tersebut yang
belum disebutkan adalah Oscar dan Jisheng. Oscar dan Jisheng berhubungan dengan
tokoh Lalita dan Yuda. Namun, karena pengaruhnya terhadap penelitian yang dilakukan
23 BAB V
NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH
DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI
5.1 Nilai-nilai Spiritual
Nilai-nilai spiritual adalah hal-hal yang baik dalam suatu keadaan manusia yang
merasakan adanya kekuatan yang lebih besar daripada diri manusia tersebut, dan
merasakan adanya tujuan dari hidup. Tischler (dalam Desiana, 2011:12) mengatakan
bahwa spiritualitas mirip dengan suatu cara yang berhubungan dengan emosi atau
perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti
menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.
Nilai-nilai spiritual sering dialami oleh manusia, apabila manusia tersebut dapat
memahaminya. Bahkan nilai-nilai spiritual bisa juga dipahami dengan rasional apabila
manusia tersebut mau mencari tahu apa makna yang terkandung di balik setiap
nilai-nilai spiritual tersebut. Elkins dkk (dalam Desiana, 2011:12) mengartikan spiritualitas
sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan
dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi
terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai
24
5.2 Komponen Nilai-nilai Spiritual dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami
a. Dimensi Transenden
Dimensi transenden merupakan zat, sosok, wilayah, atau apa yang dianggap oleh
seorang spiritual sebagai sesuatu yang paling tinggi dan di luar dari kekuatan manusia
dan alam. Ada yang menyebutnya sebagai Tuhan, yang lainnya menganggap sebagai
sumber dari segala sesuatu, dan jenis-jenis metafora lain untuk menggambarkannya.
Dalam memahami dan berhubungan dengan sosok atau dimensi transenden ini
masing-masing individu dan keyakinannya memiliki perantara dan cara masing-masing-masing-masing. Seperti
umat Islam melalui shalat dan dzikir, umat Kristen melalui pujian-pujian dan nyanyian,
umat Buddha dan Hindu dengan bersemadi dan memberikan sesembahan, dan lain-lain
dengan cara masing-masing.
Dalam proses pemahaman dan berhubungan dengan dimensi atau sosok
transenden inilah individu yang spiritual mendapat nilai-nilai spiritual tersebut. Seperti
yang terjadi pada tokoh Anshel Eibenizcust (Anshel) dalam potongan cerita berikut:
Anshel bukan orang yang menjalankan agama. Tapi ia punya pandangan positif tentang spiritualitas. Ia, dan kelak Carl Jung, membayangkan jiwa manusia sebagai suatu bagan konsentris. Di tengahnya adalah alam nirsadar yang mempertemukan manusia dan semesta. Dalam alam nirsadar itu terdapat citra-dalam yang menghubungkan manusia dengan semesta. Struktur jiwa manusia mencerminkan struktur alam semesta. Religiositas memiliki dasar alami (Lalita, 2012: 130).
Dalam kehidupan manusia, perlu adanya pemahaman tentang sosok atau dimensi
transenden. Dimensi transenden diperlukan karena hal itulah yang menjadi dasar bagi
kehidupan manusia. Dalam hidup, religiositas atau keimanan memiliki dasar alami,
25
Alam semesta dianggap sebagai dimensi transenden bagi yang mempercayainya karena
alam semesta merupakan suatu dimensi yang luas, tidak berbatas, dan di luar dari
kekuatan dan pikiran manusia itu sendiri. Jadi, dalam hal ini dirasa perlu adanya proses
untuk memahaminya, yaitu dengan agama atau keimanan.
Tokoh Anshel menganggap dimensi transenden tersebut sebagai alam semesta.
Jadi, ia merasa perlu adanya pemikiran bahwa manusia berhubungan dengan alam
semesta (dimensi transenden) yang menurutnya hanya bisa dirasakan ketika manusia
berada di alam bawah sadarnya. Menurutnya, dengan manusia berada di alam bawah
sadarnya, manusia tersebut dapat memahami alam semesta raya ini karena alam semesta
luas dan tidak berbatas. Jadi, Anshel berpendapat bahwa alam semesta tersebut dapat
dirasakan ketika seseorang tersebut sedang berada di alam nir-sadarnya. Dimensi
transenden merupakan ukuran, ruang, dan waktu yang berada di luar batas kemampuan
manusia. Dalam memahaminya, perlu kerja alam tidak sadar manusia sebagai perantara
menurut Anshel. Anshel menganggap psikologi alam nir-sadar manusia berkaitan
dengan keimanan individu. Anshel menganggap struktur jiwa manusia seperti struktur
alam semesta. Anshel memahami dimensi transenden ini dengan alam nir-sadarnya.
Dalam memahami sosok transenden, masing-masing kepercayaan tentu memiliki
keyakinannya masing-masing. Pada Buddhisme, mereka meyakini bahwa dimensi
transenden bukan merupakan sosok seperti yang dipercaya oleh orang-orang
monoteisme. Buddhisme meyakini bahwa dimensi transenden adalah sebuah kekuatan
besar yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu yang ada pada alam semesta ini. Hal
tersebut diungkapkan dalam potongan cerita dalam novel dengan tokoh Anshel, Parang
26
Ia tidak melihat struktur tadi pada Buddhisme (setidaknya, pada saat itu dan di Tibet). Buddhisme tidak mengajarkan adanya Tuhan yang bersifat personal. Tak ada nama-nama bagi Tuhan. Tidak ada Tuhan pencemburu maupun yang penyayang. Mereka sama sekali tidak terobsesi pada Tuhan. Mereka juga tidak terobsesi pada setan atau seks. Obsesi adalah salah satu bentuk neurosis.
Buddhisme terbebaskan dari obsesi akan Tuhan. Buddhisme menawarkan paradigma yang lain sama sekali. Untuk paham, kaum monoteis harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari kerangka pikir monoteistik, atau mereka akan gagal mengerti. Buddhisme mengajarkan agar manusia memperoleh pencerahan dengan melepaskan diri dari keterlekatan pada benda-benda dan hal-hal yang sesungguhnya hanyalah ilusi (Lalita, 2012: 137-138).
…
“Mungkin…” sahut Parang Jati sambil setengah melamun, “Mungkin karena dalam Buddhisme, perdewataan ini sebetulnya sama sekali tidak sentral.”
“Jadi?”
“Yang sentral adalah mencapai kesadaran sejati. Kesadaran yang terlepas dari segala keterlekatan.” Parang Jati memandang Marja. Ada sedih di mata itu, seolah ia ingin melepaskan diri dari keterlekatannya pada gadis itu.
“Keterlekatan pada apa?”
“Pada apapun. Termasuk pada cinta.” (Lalita, 2012: 185).
Buddhisme mengajarkan tujuan akhir yang harus dicapai melalui daya upaya
yang dilakukan oleh diri sendiri. Tujuan akhir tersebut adalah pembebasan diri dari
keterlekatan, dan mencapai kesadaran diri. Hal inilah yang menjadi kekuatan besar
dalam Buddhisme. Dalam Buddhisme tidak mengenal konsep makhluk adikuasa yang
melimpahkan keselamatan bagi umat manusia. Bahkan seorang Buddha yang dipercaya
oleh umatnya tidak pernah mengatakan bahwa dialah yang menganugerahkan tujuan
akhir tersebut pada umatnya. Dia hanya mengaku bahwa dia adalah semata-mata guru
yang menunjukkan jalan bagi para pengikutnya. Seperti yang ada pada kitab
Dhammapada yang berbunyi: “Pembebasan perlu diusahakan oleh dirimu sendiri. Sang
Buddha hanya menunjukkan jalan.” (Taniputera, 2005:25). Jadi, dalam Buddhisme
sebenarnya untuk mencapai kesadaran sejati tersebut, manusia harus membebaskan dan
27
transenden adalah pembebasan bagi diri dari keterlekatan dan kembali pada kekuatan
alam yang paling besar.
Dari cerita tersebut, tokoh Anshel berpikir bahwa dimensi transenden yang
dipuja oleh umat Buddha berbeda dari dimensi transenden yang diyakini umat lain.
Sosok transenden yang ada dalam pikirannya bukanlah Tuhan yang memiliki sifat-sifat
tertentu. Ia beranggapan bahwa tidak ada Tuhan. Ia menganggap bahwa Buddhisme
membawa manusia pada pencerahan diri. Dimensi transenden yang dipercaya oleh
Anshel adalah dimensi yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri kepada pencerahan
yang merupakan sumber kekuatan yang ada pada alam semesta ini.
Pada bagian cerita lainnya, tokoh Parang Jati menjelaskan kepada tokoh Marja
bahwa sebenarnya perdewataan dalam Buddhisme tidak terikat satu dengan yang
lainnya adalah karena bentuknya yang tidak sentral atau tidak memiliki poros. Dengan
kata lain, perdewataan ini bersifat universal. Perdewataan hanyalah pengantar manusia
untuk menuju kesadaran sejati. Inti dari Buddhisme itu sendiri adalah pencapaian
kesadaran. Dewa-dewa yang dipuja dalam Buddhisme bukanlah sosok transenden.
Dewa-dewa yang diyakini umat Buddha adalah pengantar manusia untuk mencapai
kesadaran dan pencerahan. Seperti itulah Parang Jati memaknai dimensi transenden
dalam ajaran Buddhisme.
Agar lebih mudah memahami dimensi transenden (pencerahan diri) dalam ajaran
Buddha, pada bagian ini akan dijelaskan pembagian dunia menurut Buddhisme.
Buddhisme memiliki tiga dunia yang diyakini oleh umat Buddha, yaitu kamadatu
28
rupa adalah dunia yang tertinggi menurut ajaran Buddhisme karena dunia inilah yang
membebaskan diri manusia dari keterlekatan. Jadi, untuk mencapai dunia ini manusia
harus terlebih dahulu melewati dunia hasrat dan dunia rupa ini. Seperti yang dijelaskan
tokoh Jati terhadap Marja sebagai berikut:
Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. “Nanti di candi Borobudur kamu akan lihat bahwa dewa-dewa ini tidak penting lagi, Marja. Mendut ini adalah candi pertama dalam peziarahan. Candi terluar. Kamu ingat, dalam candi Buddha, ada tiga tingkatan dunia: kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. A-rupa-datu, dunia tanpa rupa, itulah yang paling tinggi.”
Marja ingat. Dari wisata candi liburan lalu. Candi Hindu maupun Buddha membagi kuil dalam tiga tingkat perlambangan. Candi Hindu menamainya bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka. Dunia bawah, tengah, dan swarga atau surga. Candi Buddha menamainya kamadatu, dunia hasrat; rupadatu, dunia rupa; dan arupadatu, dunia tanpa rupa (Lalita, 2012: 185-186).
…
“Tidak semua orang kuat memahami tabel periodik. Tidak semua orang kuat untuk langsung mencapai kesadaran sejati. Sebagian besar manusia lemah, dan mereka membutuhkan alat bantu.”
“Dewa-dewa itu alat bantu?”
“Hm. Kira-kira begitu.” Parang Jati mengeratkan rengkuhannya. “Saya kira begitu. Segala yang rupa ini membantu kita mencapai yang tanpa rupa.” (Lalita, 2012: 187-188).
Buddhisme mengajarkan tingkatan dunia yang terbagi berdasarkan hal-hal yang
diyakini ada di dunia ini. Kamadatu atau dunia hasrat adalah dunia terendah menurut
Buddhisme. Pada dunia inilah manusia banyak terlena dan melupakan tujuan akhir
hidup ini. Manusia terlena dalam mengejar segala sesuatu yang sifatnya duniawi, seperti
kekayaan, kesehatan, kesuksesan, dan lainnya. Rupadatu merupakan dunia rupa, yang
menurut Buddhisme merupakan sifat-sifat manusia dan sifat-sifat yang ada dalam alam
semesta ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang tentu saja tidak terlihat
wujudnya. Sehingga, umat Buddha menggambarkannya dalam bentuk patung-patung
29
tersebut. Dunia rupa berisi segala sesuatu yang memiliki kebalikan,
kesenangan-penderitaan, kebahagiaan-kesengsaraan, kekayaan-kemiskinan, dan lain-lain. Untuk
mencapai kesadaran sejati menurut Buddhisme, manusia harus melepaskan
keterlekatannya dari hal-hal seperti ini. Untuk mendapatkan kesadaran sejati tersebut,
Buddhisme mengajarkan bahwa individu harus bisa memahami sifat-sifat tadi.
Dewa-dewa yang mereka gambarkan merupakan sebuah “jembatan” untuk mencapai
kesadaran sejati. Jadi, untuk mencapai kesadaran tersebut, manusia harus memahami
sifat-sifat tersebut dan melaluinya. Arupadatu atau dunia tanpa rupa adalah bagian akhir
atau hasil akhir dari proses pembebasan diri dari keterlekatan tadi. Saat manusia sudah
bisa mencapainya, maka saat itulah ia telah mencapai kesadarannya.
Bagian cerita yang lain menjelaskan tentang pengetahuan Parang Jati dan Marja
mengenai tingkatan dunia menurut kepercayaan Buddha. Mereka menjelaskan bahwa
dimensi tertinggi yang tidak mampu dipikirkan oleh manusia adalah arupadatu atau
dunia tanpa rupa menurut Buddhisme. Hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak
mampu dipikirkan atau pun dibayangkan oleh manusia karena ruang tersebut
merupakan dimensi transenden (tempat yang di luar batas kemampuan manusia). Dari
cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar umat manusia pada dasarnya
adalah lemah dan membutuhkan alat bantu. Dalam hal ini adalah dewa-dewa menurut
kepercayaan umat Buddha atau lainnya yang dianggap sebagai sosok-sosok yang dapat
mengantarkan pada dimensi transenden itu sendiri. Dewa-dewa merupakan sifat-sifat
yang ada di dunia ini yang dijadikan berbentuk atau berupa seperti yang terdapat pada
30
membantu manusia melewati dan memahami yang tanpa rupa, seperti kebahagiaan, rasa
puas diri, dan lain-lain.
Hal-hal yang memiliki rupa, dianggap Buddhisme sebagai jebakan karena yang
berupa tersebut memiliki bayang-bayang, pembalikan, dan pasangan. Hal serupa
ditunjukkan oleh tokoh Marja dalam potongan cerita novel berikut ini:
Sebab bentuk memiliki jebakan. Bentuk menciptakan ilusi. Bentuk memiliki bayang-bayang. Bentuk memiliki kebalikan dan perlawanan.
Marja menjerit mendapatkan penemuannya sendiri: ya ampun, karena itu mereka membuat kamadatu dan rupadatu dalam denah segi empat! Sedangkan arupadatu dalam denah lingkaran! Dunia rupa selalu berada dalam jebakan ilusi, jebakan bayang-bayang: yaitu pasangan yang berlawanan. Para arsitek Borobudur menggambarkannya dengan denah segi empat simetri. Sebab dalam bujur sangkar ada timur ada barat, ada utara ada selatan, ada kanan ada kiri, ada atas ada bawah. Dan orang harus menyadari perlawanan dan ketegangan itu sebelum bisa tiba ke dunia arupadatu, di mana tak ada lagi perlawanan dan pembalikan (Lalita, 2012: 234).
Hal-hal yang berupa memiliki pembalikan yang membuat manusia terjebak
dalam dunia ini. Agar manusia tidak dapat membebaskan diri mereka menuju kesadaran
sejati. Pada agama tertentu mereka menyebutnya sebagai “manusia yang lebih
mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat”. Pada Buddhisme hal ini juga disebut
sebagai ketersesatan karena untuk mencapai kebahagiaan dunia ini mereka menghindari
penderitaan, untuk mendapatkan kekayaan mereka meninggalkan kemiskinan, dan
lain-lain. Manusia lebih mementingkan apa yang ada pada saat ini. Sifat-sifat yang serupa
digambarkan menjadi sosok dewa. Agar mereka mendapatkan kebahagiaan, mereka
memuja dewa kebahagiaan, dan memohon pada dewa penderitaan untuk tidak
menghampiri mereka.
Dari potongan cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh Marja menemukan
31
Buddhisme berada pada denah segi empat, sebab dunia tersebut memiliki
bayang-bayang, pantulan, dan pembalikan, yang seluruhnya adalah pasangan yang berkebalikan
karena bentuk memiliki pasangan yang berlawanan. Sesuatu yang ada di kanan adalah
yang di kiri, sesuatu yang ada di atas adalah yang di bawah. Sedangkan dunia arupadatu
(dunia tanpa rupa) adalah dunia yang paling tinggi sebab tidak memiliki bayang-bayang,
pantulan, pembalikan, ataupun pasangan. Dunia tersebut adalah dunia tunggal, dan
untuk mencapainya manusia dalam kepercayaan Buddha harus bisa mencapai kesadaran
diri, dan harus melepas segala keterikatannya dengan yang ada di dunia ini.
b. Makna dan Tujuan dalam Hidup
Pada komponen ini, individu yang spiritual memahami proses pencarian makna
dan proses pencarian hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan
pandangan bahwa hidup memiliki makna, dan bahwa setiap eksistensi memiliki
tujuannya masing-masing. Dasar dan inti dari pencarian ini bervariasi, namun memiliki
kesamaan.
Pada komponen ini individu spiritual mampu menemukan makna dan tujuan
alam hidupnya. Misalnya, ketika seorang individu memiliki keinginan yang kuat untuk
mengajarkan suatu ilmu kepada orang lain, ia yakin akan ilmu yang ia berikan bukan
merupakan pengetahuan saja, tetapi juga ilmu dan makna yang harus diambil dalam
hidup. Hal tersebut terlihat pada tokoh Lalita dalam potongan cerita berikut:
32
Wahai. Anak-anak abad digital adalah anak-anak malang yang kehilangan satu misteri. Yaitu, bahwa dunia ini memiliki bayang-bayang. Apa yang kau lihat ini berasal dari kebalikannya. Apa yang di kanan adalah yang di kiri. Yang putih terbit dari yang hitam. Yang hijau adalah merah, dan kuning nyalang adalah indigo. Sungguh anak-anak digital tidak mengerti lagi itu. Tapi, kau… di kamar gelapku kau tahu rahasia itu. Sebab semua pembalikkan itu terjadi diam-diam, di tempat gelap (Lalita, 2012: 79-80).
Ilmu yang diberikan pada kita tidak hanya kegunaannya saja yang diberikan,
tetapi, ada juga makna yang terkandung dalam prosesnya dan kaitannya dengan hidup
kita. Dari cerita tersebut, tokoh Lalita menunjukkan pengetahuannya sebagai orang yang
memiliki nilai spiritual. Hal tersebut ia tunjukkan pada Sandi Prayuda (Yuda) untuk
mengetahui proses cuci-cetak foto yang di dalamnya terdapat pengetahuan bahwa di
dunia ini memiliki bayang-bayang. Setiap bayang-bayang tersebut pasti memiliki arti
dan tujuannya masing-masing. Seperti kita melihat pantulan diri di cermin atau
bayangan benda di bawah cahaya, dan warna yang dihasilkan negatif foto adalah warna
asli di dunia nyata. Ia menginginkan Yuda tidak buta akan hal tersebut seperti
anak-anak abad digital yang tidak mengerti lagi hal tersebut. Hal inilah yang dicita-citakan
Lalita, yaitu memperkenalkan apa yang telah dilupakan.
Pemahaman tujuan dari makna hidup tidak saja pada pemahaman ilmu yang
diberikan. Keimanan juga harus dipahami maknanya. Manusia yang spiritual
memahami makna adanya agama atau iman dalam hidup. Orang-orang yang memiliki
iman biasanya pola berpikirnya berbeda dari orang-orang yang tidak mempercayai
adanya konsep ketuhanan dan keagamaan. Tujuan kepercayaan beragama dalam hidup
diperlihatkan melalui tokoh Anshel dari potongan cerita novel berikut:
33
tingkat “kesadaran” Diri yang mempersatukan manusia dengan makrokosmos. Anshel lega bahwa ia bukan pengikut Freud lagi (Lalita, 2012: 138).
Cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh Anshel merasa senang karena ia
telah menemukan tujuan dan makna hidupnya dari ajaran Buddhisme yang membuatnya
berbeda dari gurunya yang tidak mempercayai agama. Sigmund Freud. Ia menemukan
tujuan dalam proses pencarian hidupnya, yaitu bahwa manusia dapat bersatu dengan
semesta dalam mencapai kesadaran dirinya sebagai manusia. Seperti yang diajarkan
Buddha pada buku Anatta-Lakkhana Sutta yang intinya adalah bahwa kesadaran
(vijnana) tidak melekat pada tubuh jasmaniah, perasaan, persepsi, dan bentuk-bentuk
mental (Taniputera, 2005).
Jika manusia belum bisa mencapai kesadarannya, maka manusia tersebut akan
mengalami reinkarnasi atau kelahiran kembali. Dalam kepercayaan umat Buddha
mengenal istilah reinkarnasi atau kelahiran kembali atau kamma. Kamma (Sanskrit:
karma) secara harfiah berarti tindakan atau perbuatan. Konsep kamma dalam
Buddhisme secara khusus mengacu pada tindakan yang disertai oleh kehendak
(centana) (Taniputera, 2005:37). Seperti yang dialami Anshel sebagai berikut:
Airmatanya retas lalu mengalir.
Bell mengira permainannya sangat menyentuh. Agvan tahu bahwa bukan permainan Bell yang mengharukan. Biksu Rusia itu mengelus-elus bahu Anshel.
“Kau telah tahu, Anshel. Orang di sini percaya reinkarnasi. Barangkali perjalananmu ke Jawa bukanlah kepergian, melainkan kepulangan.” (Lalita, 2012: 142).
Tokoh Anshel mendengarkan dan meresapi perkataan temannya yang seorang
biksu, bahwa Buddhisme mempercayai adanya reinkarnasi. Ia sedang mempelajari
Buddhisme dan merasakan bahwa ia hidup untuk mempelajari Buddhisme di Jawa. Ia
34
melainkan kepulangan. Dalam kepercayaan Buddha dipercaya bahwa ketika seseorang
mati, namun dalam hidupnya ia belum melakukan pembebasan bagi dirinya atau pada
kehidupan lalunya ia memiliki keinginan yang belum tercapai, maka manusia tersebut
akan dilahirkan kembali lagi dan lagi hingga pada kehidupan selanjutnya ia mencapai
keinginannya, atau melakukan pembebasan bagi dirinya dan mencapai kesadaran sejati.
Jadi, tujuan dalam hidupnya saat itu adalah pulang berdasarkan kepercayaan reinkarnasi
yang diyakininya, dan untuk melakukan pembebasan bagi dirinya di Jawa.
Komponen nilai spiritual makna dan tujuan dalam hidup ini juga bisa didapatkan
melalui pengalaman-pengalaman yang didapatkan. Apabila individu mampu mengolah
materi ilmu yang didapatkan dari pengalaman yang dialami, maka individu tersebut
dapat mengetahui makna dan tujuan dalam hidup ini. Biasanya hal-hal seperti ini akan
menjadi ide-ide atau gagasan-gagasan luar biasa. Hal tersebut dapat kita lihat dari tokoh
Anshel sebagai berikut:
Tapi rasa remang mengusap punggung keduanya setelah rasa terkejut penemuan. Mereka seperti terhubungkan kepada alam yang lain, yang tak berasal dari hidup nyata sebagai anak-anak. Lingga-yoni. Teater arena dalam mimpi Anshel, ruang bawah tanah dalam mimpi Carl, adalah yoni. Leher unggas yang memanjang dalam mimpi Anshel, pohon dalam mimpi Carl, adalah lingga.
Pelan-pelan Anshel merumuskannya sebagai citra-dalam, das innere Bild. Suatu model visual dari yang abstrak, yaitu persatuan antara yang tegak dan yang mendatar, yang tunggal dan yang universal, yang horizontal dan yang vertikal. Persatuan antara yang bertentangan. Itulah yang dinamai axis mundi
atau pusat jagad, konsep yang ada dalam semua peradaban (Lalita, 2012: 128).
Anshel dan Carl tercenung. Mereka tahu bahwa mereka tiba pada konsekuensi yang sama. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka dengan dunia di luar sana. Sesuatu yang terasa gaib. Kulit mereka meremang. Anshel semakin meyakini rumusan awalnya, bahwa di alam nir-sadar manusia terdapat citra-dalam. Citra-dalam itu adalah model-model visual yang mengenali struktur-struktur yang terdapat dalam alam semesta. Mandala dan axis mundi
35
…. Ia percaya bahwa citra-dalam ini ada dalam jiwa manusia, dalam alam nirsadarnya. Beberapa orang, seperti dukun ataupun psikoanalis yang peka, bisa mengakses beberapa citra-dalam, jika tak melalui mimpi atau trans. Kali itu ia menulis tentang ularnaga, yang dimaknai sebagai jahat di Barat tetapi sebaliknya di Timur. Setelah merinci panjang lebar, ia menyimpulkan: marilah kita beranjak dari yang citrawi. Sebab ada yang abstrak. Sungguh tak berwujud. Yaitu struktur tak terlihat. Relasi. Dalam hal ini ularnaga adalah perlawanan atau pembalikan. Semua citra bisa mengalami proses pembalikan. Ularnaga, satu dari banyak citra-dalam, bisa dimaknai secara berlawanan: positif maupun negatif (Lalita, 2012: 147).
Dari pemikiran tentang alam bawah sadar manusia tersebut, hal yang paling
mudah ditemukan adalah bahwa sebenarnya ilmu psikologi berhubungan dengan ilmu
spiritual. Dalam menggambarkan psikologisnya, tokoh Anshel memilih kajian mengenai
alam bawah sadar manusia. Menurut psikolog, citra-dalam atau gambaran dalam ini bisa
diakses melalui mimpi karena mimpi merupakan bagian dari alam bawah sadar
manusia. Anshel berpendapat bahwa setiap alam tidak sadar manusia memiliki
gambaran dalam yang berupa gambaran dari bentuk-bentuk alam semesta. Mandala dan
axis mundi yang dimaksud adalah sebuah ruang atau daerah yang memiliki titik pusat.
Hal tersebut dianggapnya merupakan bentuk-bentuk yang ada pada alam raya ini. Kita
tidak mengetahui pusat sesuatu sebelum ada hal yang vertikal yang menemukannya.
Itulah porosnya, tempat bertemunya dua titik. Begitulah Anshel memaknai apa yang
dipikirkannya mengenai alam tidak sadar manusia. Pertemuan titik tersebut adalah
pertemuan antara dua hal yang berbeda namun berpasangan. Seperti antara yang suci
dengan yang duniawi, lelaki dengan perempuan, hitam dengan yang putih, dan
sebagainya. Begitu pula manusia juga memiliki poros yang mungkin bisa berupa alam
prasadar yang memisahkan alam sadar dan alam tidak sadar manusia. Ia menyadari
36
Gagasan tentang ular naga yang dianggap memiliki sifat berkebalikan
merupakan gambaran dalam jiwa manusia dan gambaran tentang alam semesta karena
alam semesta sangat luas, sehingga manusia tidak sanggup memikirkannya. Seperti jiwa
manusia yang tidak dapat dilihat manusia. Ia menggambarkannya dengan ular naga
yang memiliki makna yang berkebalikan. Jadi, ia memahami gagasannya tersebut
sebagai sebuah penemuan tentang gambaran dalam manusia dengan alam semesta. Dari
gagasan tersebut ia menemukan makna eksistensi ular naga dalam hidup.
Dalam proses pencarian makna hidup bagi individu yang spiritual, ia tidak hanya
memahami makna tersebut ketika dirasakan dan dipikirkannya terhadap segala sesuatu
yang terjadi padanya. Tetapi, ia juga dapat merasakannya melalui benda-benda yang ada
di sekitarnya, ataupun benda yang dianggapnya sangat penting dan berharga. Sebagai
contoh adalah pada potongan cerita berikut melalui tokoh Anshel:
Ketika ia siuman, ia mengalami pewahyuan ambang sadar, yang terasa begitu jernih dan terang benderang. Yaitu bahwa mandala bukan hanya gambaran yang dikarang manusia oleh kesadarannya, atau bahkan setelah menyelam ke dalam nirsadar. Tidak. Tidak hanya itu. Lebih dari itu. Mandala adalah bagan yang digambar oleh alam semesta sendiri!
…
Dalam ambang sadarnya Anshel melihat gerakan pelan jutaan serbuk, memisahkan diri dan mempersatukan diri, membentuk suatu pola ke arah luar, dari sebuah pusat, seperti alam semesta mengembang, menyebarkan debu, lalu terciptalah pola-pola baru yang melingkar dan terbentuk dari garis-garis lurus… lalu ia melihat Mandala Borobudur (Lalita, 2012: 148).
Tokoh Anshel mendapatkan gambaran bahwa ia melihat makna mandala atau
tempat kekuasaan suatu agama adalah skema yang dianggapnya dibentuk oleh alam
semesta, seperti dibentuk oleh angin, getaran, ataupun suara. Begitupun pada bentuk
Borobudur. Ia melihat bahwa getaran-getaran gelombang tersebut akhirnya membentuk
37
sebuah mandala, yaitu bahwa bentuk sebuah mandala terbentuk dari getaran yang ada
pada alam semesta itu sendiri melalui getaran dan gelombang. Seperti yang dijelaskan
juga sebagai berikut:
Melalui getaran.
Seperti apa yang disebut “pelat Chaldni”, yang ia pelajari dulu dalam studinya. Getaran atau gelombang sesungguhnya memiliki gerak dan struktur yang menakjubkan. Kita bisa melihatnya dengan alat bantu. Alat bantu yang paling sederhana adalah tepung, serbuk, atau pasir. Lihatlah jejak angin pada pasir laut. Demikian pula gelombang bunyi dan gelombang lain bisa menciptakan hal yang sama. Taburkanlah serbuk atau tepung pada selempeng pelat dan paparkanlah lempengan itu pada getaran. Serbuk pada pelat itu akan menciptakan gambar-gambar menakjubkan: mandala dan pola-pola! Gambar-gambar itu akan berubah-ubah bersama pergerakan getaran (Lalita, 2012:149).
Makna yang dikutipnya dari hal tersebut adalah, bahwa segala sesuatu yang ada
di alam semesta ini terbentuk berdasarkan alam semesta itu sendiri. Manusia yang
spiritual memahaminya sebagai proses penciptaan. Hal ini dipelajari dari mandala yang
ada pada candi Borobudur sama dengan suatu bentuk yang diciptakan alam semesta
melalui getaran, gelombang, suara, maupun angin.
Individu yang spiritual memahami makna jika memang mereka mencarinya.
Individu seperti ini percaya pada apa yang dinamakan takdir. Jika manusia percaya pada
takdir, maka orang tersebut akan mencari tahu apa makna dan tujuan terjadinya sesuatu.
Dari potongan cerita berikut akan diungkapkan proses dari pencarian sebuah makna dari
tokoh Jati berikut:
38
Pada bagian ini, Parang Jati menyadari bahwa nama Lalita merupakan kebetulan
yang telah disengaja. Menurut Parang Jati, hal seperti ini dapat dilihat oleh orang-orang
yang mencari makna dalam hidupnya. Parang Jati telah menemukan makna nama Lalita
yang serupa dengan kitab terluar yang ada pada candi Borobudur. Makna tersebut
menyadarkannya bahwa adanya sinkronitas antara nama Lalita dan kitab tersebut.
Parang Jati menyadari bahwa nama Lalita berkaitan dengan kakeknya yang kemudian
akhirnya tertarik dengan Buddhisme. Lalita yang diketahuinya saat itu adalah seorang
wanita yang berbicara tentang bagan-bagan mandala Borobudur. Seperti yang dijelaskan
berikut:
…. Tidakkah perempuan itu bercerita tentang pelbagai mandala dari seluruh dunia, dan Borobudur sebagai salah satu yang utama? Tidakkah Lalita bercerita tentang seseorang –kalau tidak salah kakeknya– yang terobsesi pada mandala-mandala dan akhirnya datang ke Jawa, setelah berkelana dari Eropa hingga ke Tibet, untuk mendalami mandala Borobudur? (Lalita, 2012: 193).
Melalui hal ini, Jati menemukan dan memahami bahwa nama Lalita Vistara
bukanlah sebuah kebetulan belaka, melainkan kebetulan yang memang disengaja karena
namanya sama dengan kitab Lalitavistara yang terdapat pada bagian terluar Candi
Borobudur. Lalita merupakan nama yang diberikan kakeknya yang akhirnya menjadi
pengikut Buddha. Dalam ajaran Buddha sendiri ada yang disebut dengan hubungan
sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada/ Sanskrit:
pratyasamutpada).
c. Misi Hidup
Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab
pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasakan adanya