• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model konseptual pengembangan lanskap wisata budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model konseptual pengembangan lanskap wisata budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KONSEPTUAL

PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA

DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA

Lis Noer Aini

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

LIS NOER AINI. Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta. Dibimbing oleh SITI NURISJAH, LILIK BUDI PRASETYO dan INDUNG SITTI FATIMAH.

Pembangunan dan perkembangan kota-kota besar telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan ini cenderung berorientasi hanya terhadap manfaat ekonomi serta kurang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam penumpunya, bahkan aspek budaya yang terkait dengan lahan tersebut. Hal ini juga berlaku bagi kota Yogyakarta.

Sungai Code merupakan salah satu sumberdaya alam yang terletak di tengah kota Yogyakarta, selain mempunyai makna fisik dan ekologis juga mempunyai makna budaya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan kawasan sungai Code sebagai salah satu kawasan wisata budaya di kota Yogyakarta. Rencana pengembangan kawasan sungai Code ini sebagai kawaasan wisata budaya berkelanjutan diharapkan dapat mendukung kelestarian kawasan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian budaya lokal.

Lanskap sungai Code terbentuk sesuai dengan kondisi fisik lingkungan dan sosial budaya serta ekonomi penduduknya. Kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi di kawasan ini mempunyai peluang wisata yang potensial di beberapa beberapa wilayah. Penataan kondisi fisik dilakukan untuk mendukung terbentuknya kawasan wisata budaya dan ekonomi dengan meminimalisir kerusakan yang terjadi.

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta, adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(4)

Hak cipta milik Lis Noer Aini, tahun 2005 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya

(5)

Judul Tesis : Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta

Nama : Lis Noer Aini

NIM : A.352020021

Diset ujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. Ketua

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota

Ir. Indung Sitti Fatimah, M.Si. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(6)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta” pada Program Studi Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor. Tesis ini membahas tentang peluang pengembangan lanskap wisata budaya di kawasan sungai Code, kota Yogyakarta dan rencana pengembangan lanskapnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA; Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Ibu Ir. Indung Sitti Fatimah, Msi.; selaku pembimbing atas arahan, perhatian dan bimbingannya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi yang telah memberikan biaya pendidikan pascasarjana melalui BPPS, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta atas kesempatan, ijin dan bantuan biaya pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Ketua Departemen Arsitektur Lanskap dan seluruh staf pengajar atas bantuan, bimbingan dan perhatiannya selama ini.

Kepada keluargaku, suamiku Dudy Setianugraha, ST, anakku Hanif Abyan Dzaki Nugraha, Bapak – Ibu Fathol Arifin, Bapak – Mamah Sulman, Mbak Ina, Mase, Fifi, Nuris, Ita, Anton, Mas Ony, Andree, Ai’, Hafez, Fafa, terima kasih atas segala pengertian, do’a dan kasih sayang yang telah diberikan dengan tulus. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pengairan, Kepala Tata Kota, Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta dan pegawainya, atas penyediaan data. Demikian juga kepada Camat dan Lurah wilayah bantaran sungai Code beserta staf, terima kasih atas ijin dan bantuannya. Kepada Bapak Totok Pratopo, Ketua Forum Komunikasi Code Utara (FKCU), dan masyarakat bantaran sungai Code terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan atas segala informasi dan bantuan selama penelitian.

(7)

pengertiannya. Bu Pangesti, Isti, Merry, Awiek, Atha dan teman-teman ARL terutama angkatan 2002, terima kasih atas dorongan, do’a dan kebersamaannya selama ini. Kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan atas segala bantuan dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amien.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 24 Juli 1973 dari pasangan Bapak Fathol Arifin dan Ibu Hamisurah. Penulis merupakan putri ke tiga dari enam bersaudara. Pernikahan penulis dengan Dudy Setianugraha, ST dikaruniai seorang putra Hanif Abyan Dzaki Nugraha.

Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yoigyakarta (UMY), lulus pada tahun 1997. Kesempatan melanjutkan program Magister Sains diperoleh pada tahun 2002 pada Program Studi Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi melalui BPPS dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ...

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Sasaran Penelitian ... Kerangka Pikir ...

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Budaya ... Lanskap Sungai ... Pemukiman Tepian Sungai ... Pelestarian Lanskap Budaya ... Pariwisata ... Wisata Budaya ... Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata ...

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian ... Jenis Data Penelitian ... Metode dan Analisis Data ... Perencanaan Model Konseptual Pengembangan Kawasan ... Batasan istilah ...

KEADAAN UMUM KOTA YOGYAKARTA

Kondisi Geografis dan Administrasi ... Kondisi Iklim ... Kondisi Penduduk ... Kondisi Ekonomi Wilayah ... Kondisi Pariwisata ... Obyek Wisata ...

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik Kawasan Sungai Code ... Topografi ... Hidrologi ... Zona Perlindungan Kawasan ... Kondisi Kehidupan Masyarakat sebagai Aset Wisata Budaya ...

Keragaman Sosial Budaya sebagai Sumber Obyek dan

(10)

Kondisi Sosial Ekonomi sebagai Faktor Pendukung Kegiatan Wisata Budaya ... Zona Wisata Budaya ... Peluang Pengembangan Kawasan Sungai Code sebagai

Kawasan Wisata Budaya ... Keinginan Penduduk terhadap Pariwisata ... Arahan Pengembangan Kota ... Pengembangan Kawasan Wisata Budaya ... Model Konseptual Lanskap Wisata Budaya ... Konsep Pengembangan Sistem Wisata Budaya ... Konsep Pengembangan Lanskap Wisata Budaya ...

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ... 56 63 74 76 79 82 83 83 89

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Lokasi Penelitian ... 2. Jenis Data dalam Penelitian ... 3. Kriteria Penilaian Kawasan Wisata ... 4. Kriteria Penilaian Wisata Ekonomi Berbasis Budaya ... 5. Kriteria Penilaian Atraksi Wisata... 6. Pembagian Wilayah Kota Yogyakarta ... 7. Kondisi Iklim di Kota Yogyakarta ... 8. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan

Tahun 1990 – 2001... 9. Karakteristik Kemiskinan Kota Yogyakarta ... 10. Kegiatan Penduduk menurut Umur ... 11. Komposisi Perumahan di Kota Yogyakarta ... 12. Kepadatan Penduduk di Kota Yogyakarta menurut Kecamatan

Tahun 1990 dan 2001 ... 13. Pendapatan Regional per Kapita dan Laju Pertumbuhan

Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan ... 14. Jumlah Kunjungan wisata ke Kota Yogyakarta ... 15. Persentase Tingkat Hunian Kamar dan Pemakaian Tempat Tidur

Hotel di DIY ... 16. Perkembangan Lama Menginap Tamu di DIY ... 17. Kondisi Kemiringan Wilayah Studi ... 18. Kedalaman dan Kelulusan Air di Kawasan Studi ... 19. Kepadatan Penduduk di Wilayah Studi ... . 20. Karakteristik Kemiskinan di Wilayah Studi ... 21. Kondisi Sosial Masyarakat Bantaran Sungai Code ... 22. Jumlah Kunjungan Wisata ke Kota Yogyakarta ... 23. Nilai Hasil Skoring terhadap Potensi Pengembangan Wisata Budaya

Di Kawasan Sungai Code ... 24. Nilai Hasil Skoring terhadap Potensi Atraksi Budaya Di Kawasan

Sungai Code ... 25. Nilai Hasil Skoring terhadap Potensi Pengembangan Wisata Ekonomi

Di Kawasan Sungai Code ... 26. Pendapat dan Harapan R esponden terhadap Wisata Sungai Code ... 27. Keinginan masyarakat tidap wilayah untuk menjadikan wilayahnya

sebagai kawasan wisata (dalam %) ... 28. Fasilitas Pendukung Wisata di Kawasan Sungai Code ...

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 2. Tipe umum sungai dan penentuan lebar daerah sempadan sungai ... 3. Kecenderungan pembangunan perumahan di sempadan sungai ... 4. Skema Time-Budget ... 5. Komponen Fungsi dan Sisi Persediaan Wisata ... 6. Lokasi Penelitian ... 7. Peta Administratif Kota Yogyakarta ... 8. Kondisi Bantaran Sungai Code ... 9. Kondisi Bantaran Sungai Code ... 10. Posisi Kota Yogyakarta terhadap Gunung Merapi ... 11. Peta Topografi ... 12. Ilustrasi penanaman vegetasi di permukiman penduduk ... 13. Ilustrasi penanaman vegetasi untuk mempertahankan

keberadaan air tanah ... 14. Longsornya talud sungai Code ... 15. Ilustrasi penanaman vegetasi pada terasering ... 16. Peta Perlindungan Kawasan ... 17. Orientasi kehidupan masyarakat terhadap sungai Code ... 18. Peta Kepadatan Penduduk ... 19. Kepadatan Perumahan di Bantaran Sungai Code ... 20. Rumah Susun Sewa di Bantaran Sungai Code ... 21. Penataan kawasan di Code Utara oleh

Romo JB Mangunwijaya ... 22. Pemukiman Penduduk di Bantaran Sungai Code Utara ... 23. Upacara Merti Code ... 24. Kompleks Pakualaman ... 25. Peta Potensi Wilayah Pengembangan Wisata Budaya ... 26. Peta Potensi Atraksi Wisata Budaya ... 27. Peta Potensi Wilayah Pengembangan Wisata Ekonomi berbasis

budaya ... 28. Peta Potensi Pengembangan Wisata di Kawasan Sungai Code ... 29. Peta Rencana Tata Ruang Kota Yogyakarta ... 30. Konsep kawasan Wisata Sungai Code ... 31. Posisi kawasan sungai Code terhadap tempat wisata lain di sekitar

kota Yogyakarta ... 32. Potensi dan akses Wisata Budaya Kawasan Sungai Code ... 33. Konsep Jalur Wisata Kawasan Sungai Code ... 34. Konsep pengembangan lanskap wisata budaya di kawasan

sungai Code ... 35. Ilustrasi pengembangan wisata di kawasan sungai Code ... 36. Ilustrasi pengembangan wisata di kawasan sungai Code ...

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Yogyakarta, merupakan salah satu kota budaya di Indonesia yang menjadi tujuan wisata yang potensial. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara yang datang ke kota ini setiap tahunnya. Kondisi dan peninggalan budaya yang terdapat di sekitar kota Yogyakarta menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan wisata budaya.

Berkembangnya kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata kedua setelah Bali berpengaruh terhadap perekonomian, kondisi lingkungan, kependudukan dan sosial budaya kota ini. Akan tetapi perkembangan penduduk dan peningkatan urbanisasi telah memberikan konsekuensi terjadinya alih fungsi lahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti perumahan, perdagangan /tempat usaha dan prasarana lainnya. Gejala yang muncul kemudian adalah terjadinya perebutan/persaingan lahan untuk mendapatkan lokasi di sekitar pusat-pusat kegiatan untuk memperoleh berbagai kemudahan (Nasution 1992).

Perkembangan penduduk telah menjadikan kebutuhan akan tempat tinggal yang dekat dengan tempat mencari nafkah/pekerjaan semakin mendesak. Akibatnya, bantaran sungai menjadi salah satu alternatif tempat tinggal karena bantaran sungai merupakan daerah yang mempunyai nilai lahan rendah walaupun resikonya tinggi. Kondisi ini juga terjadi di kota Yogyakarta. Sungai Code, sungai yang terletak di tengah kota Yogyakarta dan berdekatan dengan jalur wisata seperti Kraton, Malioboro, Tugu, Monumen Jogja Kembali dan Kaliurang ini juga mengalami hal yang sama. Keadaan yang demikian telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Puspar UGM 2003)

Penggunaan daerah bantaran sungai menjadi daerah pemukiman penduduk telah memunculkan masalah tersendiri. Selain kondisi bantaran sungai menjadi terkesan kumuh juga penataan lingkungan tidak diperhatikan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di daerah bantaran sungai. Di samping itu, penggunaan lahan di bantaran sungai sebagai tempat hunian lebih banyak dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah yang mempunyai penghasilan relatif rendah. Akibatnya kondisi lingkungan di bantaran sungai tidak diperhatikan.

Beragamnya penghasilan dan perbedaan pendapatan masyarakat di daerah bantaran sungai dapat menimbulkan konflik sosial dan lingkungan. Selain itu, latar belakang masyarakat, aktivitas manusia dan nilai budaya juga dapat menjadi pemicunya (Mooney et al 2002). Kondisi ini juga terjadi di daerah bantaran sungai yang telah mengalami degradasi kondisi lingkungan, budaya dan sosial masyarakatnya.

(14)

tersebut sebagai kawasan wisata. Selain akan meningkatkan penghasilan masyarakat, dibuatnya kawasan tersebut sebagai kawasan wisata dapat menjadikan kawasan yang sebelumnya berkesan kumuh, dan tidak mendukung arsitektur dan makna kota menjadi lebih tertata dan degradasi lingkungan yang terjadi pun akan dapat diminimalisir. Disamping itu, pengembangan wisata di wilayah sungai ini juga akan mendukung pengembangan ekonomi kota.

Pengembangan wisata pada suatu kawasan harus memperhatikan hubungan timbal balik antara pengunjung dan aset wisata, termasuk komunitas yang ada disekitarnya (Gunn 1994). Salah satu bentuk kawasan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata adalah permukiman di sepanjang sungai Code, kota Yogyakarta. Kampung Code yang terletak di tengah kota Yogyakarta dapat dijadikan sebagai kawasan wisata alternatif di Yogyakarta. Disamping letaknya yang sangat strategis dengan aksesibilitas yang mudah, adanya potensi wisata di wilayah tersebut, juga karena telah terjadinya degradasi lingkungan di kawasan bantaran sungai Code akibat pertambahan penduduk yang akhirnya membuat wilayah ini menjadi wilayah permukiman penduduk yang tidak tertata. Selain itu, titik-titik kawasan wisata di Yogyakarta sudah terlalu penuh dan jenuh.

Lingkup wilayah Code yang saat ini bisa dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya adalah kawasan Code bagian Utara meliputi Kelurahan Cokrodiningratan dan Kelurahan Terban yang dikaitkan dengan kawasan disekitarnya (Harian Kedaulatan Rakyat 2003).

Penataan kawasan permukiman Code menjadi daerah permukiman yang layak telah diawali oleh Romo JB. Mangunwijaya pada tahun 1990-an. Penataan perumahan dilakukan dengan desain sederhana, murah tetapi mempunyai nilai estetika yang tinggi. Hal ini memberikan daya tarik tersendiri di samping juga menjadi atraksi wisata yang potensial.

Studi ini dilakukan untuk mendukung terbentuknya kawasan wisata alternatif di kota Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu dilakukan perencanaan penataan kawasan Code sebagai salah satu alternatif wisata di Yogyakarta sehingga dapat meminimalkan kerusakan dan penghilangan unsur-unsur alam dan budaya di kawasan tersebut sehingga mampu memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara langsung kepada masyarakat.

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan kawasan sungai Code untuk pengembangan kawasan wisata budaya di kota Yogyakarta.

2. Mengembangkan lanskap sungai Code sebagai kawasan wisata budaya berkelanjutan yang secara ekologis mendukung kelestarian sungai Code, secara ekonomi berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara sosial budaya dapat melestarikan kebudayaan lokal masyarakat setempat.

(15)

1. Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah kota Yogyakarta melalui penataan lanskap untuk pengembangan wisata budaya sungai Code.

2. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah kota Yogyakarta dalam penataan kawasan fungsional dan kultural masyarakat.

3. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan.

Sasaran Penelitian

Sasaran dari penelitian ini adalah sebagai salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan masyarakat lokal, meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan sungai Code.

Kerangka Pikir

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota budaya di Indonesia yang menjadi daerah tujuan wisata (DTW) kedua setelah Bali. Kondisi kota tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial masyarakat dan kondisi alamnya. Demikian juga kota Yogyakarta yang mempunyai nilaI budaya cukup tinggi. Salah satu kawasan di kota Yogyakarta yang mempunyai pola lanskap yang spesifik adalah daerah bantaran sungai. Kehidupan masyarakat dan pemukiman yang terbentuk di daerah bantaran sungai mempunyai pola tersendiri dan umumnya berorientasi terhadap bentukan fisik sungai tersebut. (Malanson 1995)

Bantaran sungai Code merupakan salah satu bantaran sungai yang berada di tengah-tengah kota budaya. Lanskap bantaran sungai ini mempunyai dua elemen utama, yaitu kondisi fisik dan pola kehidupan masyarakatnya. Meningkatnya jumlah penduduk telah menyebabkan perubahan kondisi lingkungan yang ada di wilayah bantaran sungai Code dan perubahan ini cenderung menuju kepada perubahan negatif. Kondisi ini terutama disebabkan penggunaan daerah bantaran sungai sebagai daerah permukiman penduduk yang intensif dan tanpa mengikuti kaidah lingkungan bantaran sungai. Hal ini disebabkan oleh nilai lahan yang rendah sehingga kawasan ini lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat menengah ke bawah. Dari hal tersebut, maka perlu dilakukan penataan di kawasan ini sehingga degradasi lingkungan dapat diminimalisir.

(16)

Pola kehidupan masyarakat bantaran sungai, mencerminkan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial budaya masyarakat dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan juga budaya yang telah diyakininya selama turun temurun. Sedangkan kondisi sosial ekonominya tercermin dari pekerjaan yang dilakukan dan penghasilan yang diperoleh setiap bulannya.

Pola kehidupan masyarakat tersebut dapat membentuk zona wisata yang selanjutnya berpeluang tinggi kedepannya dapat dijadikan sebagai kawasan wisata. Zona wisata yang terbentuk tersebut merupakan zona wisata budaya yang menggambarkan pola dan kegiatan kehidupan masyarakat sehari-hari dan budaya yang dipercayai secara turun menurun. Sedangkan zona wisata ekonomi dapat terbentuk dari penggalian potensi ekonomi yang bisa dikembangkan dan dibentuk sebagai wisata belanja dan pendukungnya.

Perpaduan antara zona perlindungan kawasan secara fisik dan zona wisata budaya masyarakat lokal akan menghasilkan suatu potensi pengembangan sebagai kawasan wisata. Adanya keinginan masyarakat bagi pengembangan kawasan menjadi kawasan wisata dan didukung dengan teori konsep wisata budaya akan membentuk suatu model konseptual pengembangan wisata budaya di bantaran sungai Code.

(17)

KAWASAN SUNGAI CODE

KONDISI FISIK POLA KEHIDUPAN

MASYARAKAT

ZONA PERLINDUNGAN KAWASAN

ZONA PERUNTUKAN WISATA KOND. HIDROLOGIS

TANAH, IKLIM,

KEMIRINGAN SOSIAL BUDAYA

SOSIAL EKONOMI

LINDUNG

PENYANGGA

BUDIDAYA

SOSIAL – BUDAYA

SOSIAL – EKONOMI KOTA BUDAYA YOGYAKARTA

(18)

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian PELUANG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BUDAYA SUNGAI CODE

KEINGINAN MASYARAKAT KONSEP WISATA

BUDAYA

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA SUNGAI CODE

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Budaya

Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit untuk diubah, sedangkan unsur penunjang atau minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds 1983). Menurut Forman dan Godron (1986) lanskap dapat didefinisikan sebagai suatu area yang heterogen yang tersusun dari kelompok ekosistem yang saling berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Sedangkan Porteous (1996) menyatakan bahwa lanskap adalah bagian dari alam yang membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasikannya. Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan, alam bebas, pedesaan, taman dan lanskap perkotaan.

Budaya dapat diartikan kedalam beberapa hal, terutama bila dikaitkan dengan peninggalan kebudayaan dan wisata (Jamieson 2000), yaitu:

1. Budaya dapat berupa bangunan atau benda peninggalan sejarah, nilai, kebiasaan dan pola kehidupan masyarakat yang didalamnya termasuk bentuk bangunan, kesenian, adat-istiadat, kebiasaan hidup dan kerajinan masyarakat lokal.

2. Budaya juga dapat berupa bentukan fisik atau geografi suatu wilayah.

3. Digunakannya kembali budaya baik yang berbentuk bangunan maupun kebudayaan masyarakat lokal.

Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Menurut definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia (Lewis 1978 dalam Melnick 1983). Selain itu juga berarti istilah yang menunjukkan suatu kawasan lanskap yang tersusun oleh budaya manusia. Budaya adalah cipta, karya dan karsa manusia yang mempengaruhi kehidupannya. Dengan demikian lanskap budaya adalah segala bagian dari muka bumi yang sudah mengalami campur tangan atau diubah oleh manusia.

(20)

signifikan dengan kegiatan manusia, merefleksikan jejak penting kebudayaan manusia, menyediakan informasi penting mengenai nenek moyang.

Lanskap budaya menurut Sauers (1978) dalam Tishler (1982) adalah suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami sebagai medianya dan lanskap budaya sebagai hasilnya.

Lanskap Sungai

Lanskap sungai adalah suatu kawasan yang berada di sepanjang aliran sungai dengan segala kehidupan dan elemen yang ada, termasuk struktur dan fungsi yang ada di dalam lingkungan tersebut (Malanson 1995). Artinya, lanskap sungai merupakan semua bagian yang ada di daerah sungai termasuk juga berbagai sendi kehidupan yang ada yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sungai itu sendiri.

Lanskap sungai tidak terlepas dengan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi induknya. Daerah Aliran Sungai (DAS) oleh Syahril (1996) diartikan sebagai suatu ruang wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh topografi pemisah (punggung bukit) yang berfungsi sebagai daerah resapan air hujan atau daerah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah melalui suatu system jaringan sungai dan bermuara ke danau atau lautan. Syahril juga menyatakan bahwa DAS pada dasarnya merupakan satu kesatuan ruang wilayah (meliputi: wilayah hulu, tengah, hilir) dan sumberdaya yang terdiri dari unsur abiotik (tanah, air, udara) dan biotik (vegetasi, binatang dan organisme lainnya) yang saling berinteraksi dan saling bergantung satu sama lain sehingga membentuk satu kesatuan sistem yang disebut ekosistem DAS.

(21)

umumnya, terjadinya kerusakan vegetasi disebabkan oleh: (1) tekanan penduduk, (2) tekanan sosial dan (3) tekanan pembangunan.

Menurut Sugandy (1984), suatu wilayah dalam DAS dari kemiringan lahannya dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kawasan sesuai dengan klasifikasi berikut:

1. Kemiringan lahan 0 – 8 % digunakan untuk kegiatan perkotaan, baik untuk permukiman maupun perkantoran dan kegiatan industri yang keseluruhannya mempunyai sifat kawasan budidaya perkotaan.

2. Kemiringan lahan 8 – 15 % diperuntukkan bagi kegiatan pedesaan baik untuk permukiman atau pertanian yang secara keseluruhan berfungsi sebagai kawasan budidaya wilayah pedesaan.

3. Kemiringan lahan 15 – 25 % diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan kawasan penyangga.

4. Kemiringan lahan 25 – 45 % diperuntukkan sebagai kawasan penyangga. 5. Kemiringan lahan di atas 45 % diperuntukkan sebagai kawasan lindung.

Lanskap tergantung pada preferensi budaya dan keinginan manusia yang relatif nyata dengan proses lingkungan yang alami dan pengaruh kebudayaan. Jika daerah bantaran sungai merupakan lanskap, artinya ekologinya juga seperti kebudayaan yang ada dan keberadaannya dibuat untuk perubahan yang dramatis, dimana ahli ekologi dapat terlibat dalam pengelolaannya (Décamps 2001). Berbicara tentang lanskap bantaran sungai tidak terlepas dari ekologi sungai yang ada dan pola kehidupan yang ada di sepanjang sungai tersebut.

(22)

Gambar 2 Tipe umum sungai dan penentuan lebar daerah sempadan sungai (Maryono 2003)

Menurut Maryono (2003), sempadan sungai sering disebut sebagai bantaran sungai. Namun sebenarnya ada perbedaan karena bantaran sungai merupakan daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir sehingga bantaran sungai disebut juga bantaran banjir. Sedangkan sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang mungkin terjadi, lebar bantaran ekologis, dan lebar keamanan yang diperlukan terkait dengan letak sungai seperti areal permukiman dan non permukiman).

Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan sekaligus hidrologis sungai yang penting. Sempadan sungai tidak dapat dipisahkan dengan badan sungai (alur sungai) karena secara hidrolis dan ekologis merupakan satu kesatuan.

Secara hidrolis, sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir yang berfungsi memberikan kemungkinan luapan air banjir ke samping kiri dan kanan sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi, energi air dapat diredam di sepanjang sungai, serta erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat dikurangi secara simultan. Disamping itu sempadan sungai merupakan daerah tata air sungai yang padanya terdapat mekanisme inflow ke sungai dan outflow ke air tanah. Proses inflow – outflow tersebut merupakan proses konservasi hidrolis sungai dan air tanah pada umumnya.

(23)

sempadan sungai yang subur, maka system konservasi air di sepanjang sungai dapat terjaga. Lebih jauh, komponen vegetasi sungai secara hidrolis berfungsi sebagai retensi alamiah sungai. Dengan demikian, air sungai dapat secara proporsional dihambat lajunya ke hilir. Dampaknya dapat mengurangi banjir dan erosi di sepanjang sungai. Jika sistem ekologi dan hidrolis sempadan sungai ini terganggu, misalnya dengan adanya bangunan diatasnya, proyek pentalutan sungai, pelurudan, dan sudetan yang mengubah areal sempadan, serta adanya penanggulan, maka fungsi ekologis dan hidrolis yang sangat vital tersebut akan rusak.

Penentuan sempadan sungai didasarkan pada pertimbangan kontur geografis – morfologis masing-masing penggal sungai, pertimbangan hidrologis seperti muka air banjir, longsoran tebing sungai serta factor ekologis dan keamanan. Menurut Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 1997, penetapan lebar sempadan pada sungai besar diluar permukiman minimal 100 m dan pada anak sungai besar minimal 50 m di kedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup untuk jalan inspeksi 10 – 15 m. PP No. 47 tahun 1997 juga menetapkan bahwa lebar sempadan sungai bertanggul diluar daerah permukiman adalah lebih dari 5 m sepanjang kaki tanggul. Sedang lebar sempadan sungai yang tidak bertanggul diluar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak bertanggul di daerah permukiman, ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat berwenang.

Pemukiman Tepian Sungai

(24)

Ditinjau dari segi sosial, Jayadinata (1992) menyatakan bahwa pilihan tempat tinggal dilakukan untuk berdekatan dengan tetangga dan dapat hidup bergotong-royong. Sedangkan bila ditinjau dari segi ekonomi, maka tempat tinggal dipilih karena kedekatan dengan tempat kerja dan kemudahan dalam mencapai prasarana sosial dan atau ekonomi, berdekatan dengan jalan, sekolah, pasar, tempat ibadah dan lainnya.

Berkaitan dengan pemilihan lokasi, Luhst (1997) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan, keamanan dari suatu rumah tinggal sangat ditentukan oleh lokasinya, dalam arti daya tarik suatu lokasi ditentukan oleh dua hal, yaitu:

1. Aksesibilitas yaitu daya tarik dari suatu lokasi dikarenakan akan memperoleh kemudahan dalam hal pencapaian ke berbagai pusat kegiatan seperti perdagangan, pendidikan, industri dan jasa pelayanan, rekreasi, pelayanan pemerintahan atau bahkan perpaduan semua kegiatan tersebut.

2. Kenyamanan lingkungan yaitu berkaitan dengan kualitas hunian seperti keamanan, udara yang sejuk dan jauh dari kebisingan.

Perumahan di pinggiran sungai merupakan cerminan adanya keterbatasan lahan kota sehingga tidak semua masyarakat dapat menikmati fasilitas yang memadai dan dapat tinggal di lahan yang sesuai (Evers 1982). Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar tepian sungai merupakan masyarakat yang secara struktural sudah tidak dapat lagi diwadahi sehingga walaupun lahan yang mereka tempati kondisinya tidak landai, area tepi sungai tersebut tetap dihuni (Guinness 1986).

Bila dilihat dari proses terbentuknya permukiman tersebut diatas, maka masyarakat yang memanfaatkan lahan tepian sungai secara hierarkhis dari sisi pekerjaan / kegiatannya berada pada tingkat bawah (Nareswari 1998). Kondisi fisik bangunannya relatif sederhana dan terbentuk secara spontan. Permukiman di bantaran sungai ini secara fisik merupakan sebuah kampung dengan posisi yang terendah dibanding dengan kawasan lainnya (Guinness 1986).

(25)

migran, kehidupan mereka merupakan transisi antara lingkungan kota dan desa serta dalam memenuhi kebutuhan rumahnya diperoleh dari bahan dan teknologi yang murah (Dharoko 1996 dalam Zaim 2004).

Menurut Pramono (2003) dalam Zaim (2004), bila dilihat berdasarkan bentuknya, permukiman dapat digolongkan menurut beberapa pendekatan, yaitu: 1. Permukiman formal yaitu kompleks perumahan yang dibangun oleh

perusahaan swasta / pengembang perumahan.

2. Permukiman kampung baru yaitu kompleks perumahan yang dibangun dan dikembangkan sendiri oleh kebanyakan warga pendatang setelah membeli tanah dari warga / penduduk asli.

3. Permukiman kampung lama yaitu kompleks perumahan yang tetap dipertahankan dan dikembangkan sendiri oleh sebagian besar penduduk asli atau penduduk lama.

Perumahan tepian sungai sebagai salah satu permukiman spontan terbentuk dari kondisi awal fisik bangunan yang terlihat relatif sangat sederhana (Nareswari 1998). Kondisi awal terbentuknya permukiman spontan cenderung merupakan suatu lingkungan hunian yang kumuh. Judohusodo dalam Hidayati (1997) mengemukakan ciri perkampungan kumuh sebagai bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola, minim atau tidak tersedianya fasilitas umum, sarana dan prasarana permukiman yang kurang baik serta bentuk fisik/ lingkungan yang tidak layak untuk dihuni (seperti secara berkala terkena banjir). Gambar 3 menunjukkan kecenderungan pembangunan perumahan di sempadan sungai.

(26)

(Maryono 2003)

Bagi kelompok miskin di kota-kota yang tidak terancam oleh aksi-aksi penggusuran, terdapat bukti bahwa ternyata mereka mampu memperbaiki kondisi perumahan mereka sendiri (Gilbert dan Gugler 1996). Beberapa lokasi permukiman yang awalnya merupakan kumpulan gubug di kaki bukit, tepian sungai atau lainnya berangsur-angsur dapat mencapai status perumahan biasa. Secara bertahap gubug-gubug tersebut berubah menjadi bagian-bagian permukiman yang mapan.

Menurut Turner (1967) dalam Gilbert dan Gugler (1996), ada beberapa faktor yang menentukan kemampuan kelompok miskin untuk dapat membangun dan mengkonsolidasikan permukiman spontan, yaitu:

1. Faktor jaminan waktu dalam proses konsolidasi. Tanpa keyakinan yang tinggi bahwa penduduk pada perumahan spontan akan mendapat ijin terhadap suatu lahan, maka tidak ada keluarga yang mau menginvestasikan waktu dan uangnya untuk proses konsolidasi perumahan. Jaminan tersebut merupakan sikap dari otoritas pemerintah bersama sejumlah tekanan politik.

2. Faktor ketersediaan tanah, yaitu keadaan pasaran tanah dan kebijakan pemerintah. Jika invasi ditolerir oleh pemerintah, maka akan lebih banyak keluarga yang mendapatkan tanah dengan menginvasi daerah-daerah terlarang.

3. Tingkat penyediaan infrastruktur dan pelayanan untuk berbagai komunitas spontan. Dalam hal ini peran dari agen-agen masyarakat seperti perusahaan listrik, telepon, air dan lainnya sangat menentukan proses dari konsolidasi.

Pelestarian Lanskap Budaya

Kegiatan pelestarian adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (Sidharta dan Budihardjo 1989). Motif pelestarian adalah melindungi warisan budaya kita yang mempunyai nilai budaya. Bila peninggalan masa lalu tidak dilindungi dengan peraturan-peraturan, maka proses-proses perubahan alami akan mengubah atau bahkan melenyapkannya, ditambah lagi pembangunan yang semakin pesat.

(27)

arsitektur lanskap, arkeologi, antropologi budaya, geografi budaya dan arsitektur sejarah.

Menurut Jamieson (2000) kebudayaan harus dipelihara dan dilestarikan. Motivasi pemeliharaan dan pelestarian budaya meliputi: pembaharuan, revitalisasi dan pengembangan komunitas, pendidikan, keberlanjutan, rekreasi, patriotisme, nostalgia, keragaman/wisata, identitas, kualitas hidup, pendapatan, dan pengembangan ekonomi. Wisata dan pengembangan ekonomi merupakan hal yang paling penting dari semua motivasi pemeliharaan dan pelestarian budaya.

Pariwisata

Pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan turisme. Pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan. Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan pariwisata pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan rekreasi (Soemarwoto 1996). Suyitno (2001) menyatakan bahwa wisata merupakan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang yang bersifat sementara untuk menikmati obyek dan atraksi di tempat tujuan, namun tidak semua perjalanan dapat dikatakan sebagai wisata. Untuk membedakannya, wisata pada umumnya mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Bersifat sementara, bahwa dalam jangka waktu pendek pelaku wisata akan kembali ke tempat asalnya.

2. Melibatkan beberapa komponen wisata, misalnya sarana transportasi, akomodasi, restoran, obyek wisata, toko cinderamata, dan lain-lain.

3. Umumnya dilakukan dengan mengunjungi obyek dan atraksi wisata, daerah atau bahkan Negara secara berkesinambungan.

4. Memiliki tujuan tertentu yang intinya untuk mendapatkan kesenangan.

5. Tidak untuk mencari nafkah di tempat tujuan, bahkan keberadaannya dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi masyarakat atau daerah yang dikunjungi, karena uang yang dibelanjakannya dibawa dari tempat asal.

Menurut Wahab (1987), pengertian pariwisata mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Manusia (unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata)

(28)

3. Waktu (unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan itu sendiri selama berdiam di tempat tujuan)

MacKinnon et al (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung adalah:

1. Letak/jarak kawasan terhadap kota.

2. Aksesibilitas ke kawasan tersebut mudah dan nyaman. 3. Keaslian, keistimewaan/kekhasan kawasan.

4. Atraksi yang menonjol di kawasan tersebut misalnya atraksi yang berkaitan dengan kegiatan religi dan budaya. Atraksi tersebut dikembangkan dengan 7 unsur kebudayaan masyarakat (Kuntjaraningrat 1974). Tujuh unsur kebudayaan masyarakat tersebut adalah: 1) sistem religi, 2) sistem kemasyarakatan, 3) sistem mata pencaharian, 4) kesenian, 5) bahasa, 6) peralatan dan perlengkapan hidup, 7) sistem pengetahuan.

5. Daya tarik dan keunikan serta penampilan kawasan.

6. Fasilitas, sarana dan prasarana di lokasi yang mendukung bagi wisatawan. Wisatawan adalah individu atau kelompok yang mempertimbangkan dan merencanakan tenaga beli yang dimilikinya untuk melakukan perjalanan rekreasi berlibur. Pada umumnya wisatawan tertarik dengan mot ivasi perjalanan yang dilakukan, selain itu untuk menambah pengetahuan. Pelayanan yang didapatkan dari suatu tujuan wisata kemungkinan dapat menarik pengunjung dimasa yang akan datang.

Gunn (1994) menyatakan bentuk wisata dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal-hal berikut:

1. Kepemilikan atau pengelola areal wisata tersebut yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga sektor yaitu badan pemerintah, prganisasi nirlaba dan perusahaan komersial.

2. Sumberdaya, yaitu alam dan budaya. 3. Perjalanan wisata/lama tinggal.

4. Tempat kegiatan, di dalam ruangan atau di luar ruangan. 5. Wisata utama/wisata penunjang.

6. Daya dukung tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung, yaitu intensif, semi intensif dan ekstensif.

(29)

Wisata adalah perpindahan orang untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat dimana mereka biasa tinggal dan bekerja. Pelaku wisata atau wisatawan pergi ke suatu obyek wisata didasari motivasi yang bersifat rekreatif (motif tamasya dan rekreasi) dan non – rekreatif (motif kebudayaan, olahraga, bisnis, spiritual, kesehatan dan interpersonal) (Gunn 1994). Wisata budaya adalah wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata yang ditekankan pada aspek pendidikan dan pengalaman dengan menggabungkan kesenian dan warisan alam, sosial dan sejarah. Obyek wisata budaya merupakan tempat yang diwariskan dari kegiatan manusia di masa lalu dengan cara mengubah nilai-nilai alami yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga kawasan tersebut menjadi lebih harmonis, menyenangkan dan mempunyai nilai keindahan (Inskeep 1991).

Obyek wisata budaya merupakan tempat yang diwariskan dari kegiatan manusia di masa lalu dengan cara mengubah nilai-nilai alami yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga kawasan tersebut menjadi lebih harmonis, menyenangkan dan mempunyai keindahan (Haber 1995). Sedangkan Soekadijo (1996) menyatakan, suatu obyek dapat menjadi tujuan wisata budaya karena memiliki atraksi wisata yang terdiri dari sumberdaya kepariwisataan dalam bentuk budaya, yang dapat berupa peninggalan-peninggalan atau tempat-tempat bersejarah (artifact) maupun perikehidupan/adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat (kebudayaan hidup). Sedangkan Gunn (1994) menyatakan bahwa kategori sumberdaya budaya meliputi tapak pra sejarah; tapak sejarah; tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan; lokasi industri; pusat perbelanjaan dan pusat bisnis; tempat pementasan kesenian, museum dan galeri; tempat hiburan, kesehatan, olahraga dan keagamaan.

Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata

Perencanaan suatu lokasi rekreasi atau pariwisata dapat dilakukan dengan analisis terhadap permintaan dan penawaran pariwisata (Gold 1980). Tersedianya rekreasi merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan, sedangkan permintaan rekreasi merupakan gambaran tentang kegiatan dan perilaku rekreasi.

(30)

perencanaan tapak terdapat penyesuaian tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan dihubungkan satu dengan lainnya, disertai imajinasi serta kepekaan terhadap replikasi analisis tapak.

Perencanaan multidimensi onal bertujuan untuk mengintegrasikan semua aspek pendukung, meliputi aspek sosial, ekonomi, antropologi serta fisik yang terpusat pada masa lalu, sekarang dan yang akan datang (Gunn 1994).

Dalam peningkatan/pengembangan wisata yang harus diperhatikan adalah bagaimana menarik turis sekaligus dapat mempertahankan lingkungan. Oleh karena itu perencanaan bertujuan agar terdapat integritas/hubungan timbal balik antara pengunjung dan aset wisata termasuk yang dilindungi serta komunitas disekitarnya (Gunn 1994).

Lanskap budaya, seperti halnya lanskap yang lain tidak berdiri sendiri, tetapi secara estetis, ekologi dan fungsional berkaitan dengan lingkungan sekitarnya membentuk kesatuan organ yang luas. Sehingga dalam perencanaan lanskap budaya perlu dipertimbangkan nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya agar keberadaannya tetap lestari (Anagnostopoulos 1985).

Proses produksi wisata dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor makro dan faktor mikro (Suyitno 2001). Faktor makro meliputi:

1. Faktor ekonomi, mencakup seluruh aspek dalam sektor ekonomi seperti kondisi moneter, tingkat pendapatan rata-rata penduduk, tingkat daya beli masyarakat, fasilitas perbankan dan lain-lain.

2. Faktor sosial budaya, meliputi aspek-aspek yang menyangkut kondisi sosial masyarakat serta pola dan pandangan hidupnya.

3. Faktor geografi, merupakan faktor yang berkaitan dengan kondisi alam suatu daerah atau negara.

4. Faktor teknologi, termasuk didalamnya fasilitas informasi dan perkembangan teknologi sehingga dapat mempermudah perjalanan dan informasi wisata di suatu daerah atau negara.

5. Prasarana dan sarana wisata, seperti tempat wisatanya, jalur interpretasi, tempat parker, bandara, hotel dan sebagainya.

6. Sumberdaya Manusia, mencakup semua personal yang terlibat dalam perencanaan, penyelenggaraan dan tindak lanjut dari suatu wisata.

7. Pemerintah, terkait dengan kebijakan, keamanan, politik, birokrasi dan lain-lain.

(31)

1. Wisatawan. Wisatawan mempunyai peran ganda yaitu sebagi konsumen dan komponen produksi wisata. Sebagai konsumen wisata karena wisatawan yang menjadi obyek dari wisata. Sebagai komponen produksi wisata karena wisatawan terlibat langsung dalam proses pembentukan wisata.

2. Waktu. Waktu memberikan pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya sebuah wisata karena memungkinkan terselenggaranya sebuah wisata. 3. Harga. Berkaitan dengan kelas wisata yang dijual. Apakah kelas ekonomi,

deluxe, standar maupun budget class.

Perencanaan lanskap kawasan wisata harus memperhatikan berbagai aspek. Keberlanjutan wisata sangat dibutuhkan dalam pengembangan suatu kawasan wisata. Wisata merupakan multy sectoral in nature, yauti merupakan kombinasi berbagai komponen dan aspek pengetahuan yang harus diintegrasikan dalam suatu kesatuan dinamika. Determinan yang sangat signifikan mempengaruhi berbagai aspek dalam wisata adalah ruang (space) dan waktu (time). Waktu akan selalu mempengaruhi karakteristik setiap komponen dan aspek yang terlibat dalam wisata. Fokus analisa wisata dari variabel waktu adalah time-budget dari setiap individu atau populasi dalam memanfaatkan waktu, yang polanya dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) existence time, 2) subsistence time, dan 3) leisure time (Avenzora 2003). Gambar 4 menunjukkan skema time -budget dari fokus analisa wisata.

TIME on Duty Traveling

(32)

Gambar 4 Skema Time-Budget (Avenzora 2003)

Sustainable tourism dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan dan mempertahankan kondisi wilayah untuk keberlangsungan wisata itu sendiri. Menurut Inskeep (1991), sustainable tourism merupakan industri wisata yang mempertimbangkan berbagai aspek penting dalam pengelolaan seluruh sumberdaya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika untuk memelihara keutuhan budaya, ekologi, keragaman biologi dalam sistem kehidupan. Sedangkan Gunn (1994) menyatakan bahwa pengembangan sustainable tourism merupakan perubahan positif dari sosial ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat dan kehidupan sosialnya berada.

Inskeep (1991) mengemukakan bahwa tujuan dari sustainable tourism adalah:

1. Untuk pengembangan pengetahuan dan pemahaman bahwa wisata dapat mengubah lingkungan dan ekonomi.

2. Untuk kemajuan pengembangan industri wisata. 3. Untuk perbaikan kualitas hidup suatu kawasan.

4. Untuk memberikan kualitas pengalaman pengunjung yang tinggi.

5. Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan. Menurut Low Choy dan Heillbronn (1996) dalam Lewaherilla (2002), ada 5 faktor batasan utama dalam penentuan prinsip utama wisata, yaitu:

1. Lingkungan. Wisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu.

2. Masyarakat. Wisata harus memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi langsung kepada masyarakat.

3. Pendidikan dan pengalaman. Wisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki. 4. Berkelanjutan. Wisata dapat memberikan sumbangan positif bagi lingkungan

baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

(33)

Perencanaan wisata harus memperhatikan sumberdaya alam, budaya dan lingkungan supaya tidak terjadi degradasi. Potensi wisata yang ada juga harus didukung oleh faktor-faktor lain yang terkait seperti transportasi, pelayanan, promosi, informasi dan atraksi. Atraksi yang bagus dan etnik apabila tidak didukung ole h keempat faktor yang lain akan tidak mempunyai arti. Gambar 5 menunjukkan keterkaitan masing-masing komponen fungsi dari sisi sediaan wisata (Gunn 1994).

Gambar 5 Komponen Fungsi dari Sisi Persediaan (Gunn 1994) Atraksi

Service

Promosi

Transportasi

(34)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kota Yogyakarta, meliputi 12 kelurahan dari 6 (enam) kecamatan. Lokasi penelitian merupakan suatu kawasan permukiman di wilayah sungai Code yang berada di tengah-tengah kota Yogyakarta. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelurahan, luas keseluruhan kelurahan dalam penelitian adalah 7,34 Km² (20,92%) dari 32,5 Km² (luas keseluruhan kota Yogyakarta). Sedangkan panjang sungai Code yang melintasi wilayah kota Yogyakarta 8,7 Km. Pengambilan data dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli 2004 sampai Desember 2004. Tabel 1 dan Gambar 6 menunjukkan wilayah yang dijadikan lokasi penelitian.

Tabel 1 Lokasi Penelitian

No. Kecamatan Kelurahan

1. Jetis 1. Cokrodiningratan

2. Gowongan

2. Gondokusuman 1. Terban

2. Kotabaru

3. Danurejan 1. Tegalpanggung

2. Suryatmajan

4. Gondomanan 1. Ngupasan

2. Prawirodirjan

5. Pakualaman 1. Purwokinanti

6. Mergangsan 1. Wirogunan

2. Keparakan 3. Brontokusuman

Jenis Data

(35)
(36)

36

Tabel 2 Jenis Data dalam Penelitian

No. Data / Informasi Sumber Jenis Data

1. Peta Rupa Bumi Lembar Yogyakarta Skala 1:25.000 ta hun 2000

BAKOSURTANAL Sekunder

2. Peta Penggunaan Lahan

4. Kondisi fisik wilayah sungai Code (jenis tanah, kemiringan lahan, iklim, hidrologi)

BAPPEDA Kota Yogyakarta

Sekunder

5. Sistem Kehidupan Masyarakat (jumlah penduduk, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan)

Kantor kelurahan di wilayah studi, Masyarakat

Primer Sekunder

6. Kondisi Sosial Masyarakat wilayah studi (karakteristik kemiskinan, kegiatan penduduk, kondisi perumahan, pendapatan perkapita, kepadatan penduduk)

Kantor kelurahan di wilayah studi, Masyarakat

Primer Sekunder

7. Kepariwisataan Daerah (jumlah kunjungan wisata, jenis kegiatan wisata, sistem pengelolaan, kebijakan)

BPS, Diparda Sekunder

8. Pengembangan Wisata (potensi obyek, atraksi, akses, fasilitas, masyarakat)

Masyarakat Primer

Metode dan Analisis Data

Metode diartikan sebagai jalan atau cara yang harus ditempuh guna memperoleh pengetahuan tentang suatu hal (sasaran kajian), baik yang lalu, kini maupun yang akan datang, yang dapat terjadi dan yang akan terjadi (Ndraha 1996). Sedangkan penelitian ini adalah suatu kajian yang merupakan perencanaan kawasan sungai Code untuk dijadikan kawasan wisata budaya.

Metode

(37)

37

menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan usaha mengemukakan hubungan satu dengan yang lain di dalam aspek yang diselidiki. Sedangkan Arikunto (1989) menyatakan riset deskriptif yang bersifat eksploratif bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan atau status fenomena. Metode penelitian ini digunakan untuk mendukung perencanaan lanskap yang dilakukan.

Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, dan analisis spasial.

1. Analisis deskriptif, dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menentukan kawasan lindung, penyangga dan budidaya berdasarkan kriteria Sugandy (1984) dan model lanskap yang dikembangkan. Sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan untuk menentukan obyek wisata dengan menggunakan skoring. Analisis penentuan obyek wisata yang dapat dikembangkan di kawasan sungai Code dilakukan dengan metode skoring berdasarkan kriteria MacKinnon et al. (1986) dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penelitian, yaitu: a. Letak/jarak kawasan terhadap pusat kota.

b. Aksesibilitas ke kawasan tersebut mudah dan nyaman. c. Keaslian, keistimewaan/kekhasan kawasan.

d. Atraksi, yang dikembangkan Koentjaraningrat (1990) dengan 7 unsur kebudayaan masyarakat, yaitu: 1) sistem religi, 2) sistem kemasyarakatan, 3) sistem mata pencaharian, 4) kesenian, 5) bahasa, 6) peralatan dan perlengkapan hidup dan 7) sistem pengetahuan.

e. Daya tarik dan keunikan serta penampilan kawasan.

f. Fasilitas, sarana dan prasarana di lokasi yang mendukung bagi wisatawan.

(38)

38

kriteria sangat baik. Dasar pemberian skor dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 3 Kriteria Penilaian Kawasan Wisata Nilai

2. Aksesibilitas Jalan tanah Jalan batu Jalan aspal, lebar < 3 m

Tabel 4 Kriteria Penilaian Wisata Ekonomi Berbasis Budaya Nilai

(39)

39

Tabel 5 Kriteria Penilaian Atraksi Budaya

Nilai

Selanjutnya dilakukan penjumlahan nilai skor pada masing-masing kriteria. Nilai skor dimasukkan ke dalam kriteria kesesuaian sebagai kawasan wisata mulai dari kawasan yang sangat potensial sampai ke kawasan yang tidak potensial. Penentuan kelas kesesuaian sebagai berikut:

∑ skor maksimal – ∑ skor minimal Selang kelas kesesuaian = ___________________________

∑ kriteria kesesuaian

Kriteria masing-masing kawasan wisata adalah sebagai berikut: - Kawasan Wisata Budaya

(40)

40

- Kawasan Wisata Ekonomi berbasis budaya

Skor maksimal 20, skor minimal 5, jumlah kriteria kesesuaian 4. Dari hasil tersebut maka skor 5 – 8 merupakan kawasan yang tidak potensial sebagai kawasan wisata ekonomi berbasis budaya; 9 – 12 kurang potensial; 13 – 16 potensial dan 17 – 20 sangat potensial.

- Atraksi Budaya

Skor maksimal 28, skor minimal 7, jumlah kriteria kesesuaian 4. Dari hasil tersebut maka skor 7 – 12 merupakan kawasan yang atraksi budayanya tidak potensial; 13 – 17kurang potensial; 18 – 22 potensial dan 23 – 28 sangat potensial.

2. Analisis spasial, dilakukan untuk menentukan tataruang lanskap dan tataruang wisata di kawasan studi menggunakan sistem informasi geografi dan secara manual berdasarkan konsep wisata Gunn (1994).

Proses analisis spasial dilakukan dengan cara:

- Membagi kawasan sungai Code ke dalam zonasi perlindungan kawasan berdasarkan kemiringan lahan sehingga diperoleh kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya.

- Memetakan hasil skoring kriteria kawasan wisata budaya sehingga diperoleh kawasan yang berpotensi dan kawasan yang kurang potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya.

- Memetakan hasil skoring kriteria kawasan wisata ekonomi berbasis budaya sehingga diperoleh kawasan yang berpotensi dan kawasan yang kurang potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata ekonomi berbasis budaya.

- Memetakan hasil skoring kriteria atraksi wisata budaya sehingga diperoleh kawasan yang mempunyai potensi dan kawasan yang kurang mempunyai potensi atraksi wisata budaya.

- Meng-overlay-kan kawasan wisata budaya, kawasan wisata ekonomi dan atraksi wisata budaya yang ada wilayah sungai Code sehingga diperoleh kawasan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya dan kawasan wisata ekonomi berbasis budaya.

(41)

41

Perencanaan Model Konseptual Pengembangan Kawasan

Metode perencanaan lanskap yang digunakan adalah metode perencanaan dengan pendekatan sisi sediaan wisata yang meliputi atraksi, servis, transportasi, informasi dan promosi (Gunn 1994). Rencana pengembangan lanskap wisata budaya dalam bentuk tata ruang wisata dan touring system (jalur wisata).

Pembuatan model konseptual dilakukan berdasarkan deskripsi kawasan dengan meng-overlay-kan zona perlindungan kawasan dan zona wisata sehingga akan diperoleh peta yang menunjukkan potensi pengembangan kawasan wisata di kawasan sungai Code. Pengembangan potensi yang ada diarahkan kepada pengembangan wisata budaya yang ada di kawasan tersebut.

Hasil penelitian yang akan diperoleh berupa model grafis/arsitektural dalam skala planning untuk penataan kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta.

Batasan Istilah

Lanskap Bantaran Sungai adalah suatu kawasan yang berada di sepanjang aliran sungai dengan segala kehidupan dan elemen yang ada, termasuk struktur dan fungsi yang ada di dalam lingkungan tersebut

Pariwisata adalah industri yang memanfaatkan lingkungan, budaya maupun aset wisata lainnya dengan tujuan agar wisatawan mendapatkan rekreasi.

Wisata Budaya adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya budaya, meliputi tapak (pra sejarah dan bersejarah), tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan, lokasi industri, pusat perbelanjaan, pusat bisnis, tempat pementasan seni, museum, galeri, tempat hiburan, kesehatan, olah raga dan keagamaan.

Obyek Wisata Budaya adalah tempat yang diwariskan dari kegiatan manusia di masa lalu dengan cara mengubah nilai-nilai alami yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga kawasan tersebut menjadi harmonis, menyenangkan dan mempunyai daya tarik tertentu.

Sistem Kehidupan masyarakat adalah suatu sistem yang terkait dengan nilai dan norma kehidupan sosial yang dianut dan dikembangkan oleh suatu masyarakat.

(42)

42

Lanskap Wisata Budaya adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu dan telah memiliki permintaan secara ekonomi terhadapnya untuk kebutuhan wisata budaya.

Zona Kawasan Lindung, yaitu zona perlindungan kawasan yang dilindungi, dalam artian tidak boleh diubah dan dibiarkan sesuai dengan kondisi aslinya.

Zona Kawasan Penyangga yaitu zona perlindungan kawasan yang bisa diperbaiki keadaannya sehingga bisa dikembalikan pada kondisi yang lebih baik,

digunakan sebagai batas antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Zona Kawasan Budidaya, yaitu zona perlindungan kawasan yang dapat

diubah dan dimanfaatkan oleh manusia.

Zona Wisata Sosial Budaya, yaitu zona wisata budaya yang didasarkan pada kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dan kebudayaan yang ada.

Zona Wisata Sosial Ekonomi , yaitu zona wisata berorientasi pada penghasilan yang lebih baik, tanpa ataupun dengan mempertimbangkan kondisi budaya yang ada

(43)

43

KEADAAN UMUM KOTA YOGYAKARTA

Kondisi Geografis dan Administratif

Kota Yogyakarta terletak pada 7o 49’ 26” – 7o 15’ 24” LS dan 110o 24’ 19” – 110o 28’ 53” BT pada ketinggian rata-rata 114 m dpl dengan suhu rata-rata sebesar 26,7oC, kelembaban rata-rata sebesar 78%, curah hujan sebesar 2.101 mm/th dengan 119 hari hujan dan kecepatan angin rata-rata sebesar 5 – 16 knot/jam.

Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu:

Utara : Kabupaten Sleman

Timur : Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman Selatan : Kabupaten Bantul

Barat : Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman

Secara umum, kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan yang relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut adalah 114 m dpl dimana sebagian wilayahnya (luas ± 1.657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m, dan sisanya (1.593 ha) berada pada ketinggian antara 100 – 199 m.

Terdapat 3 sungai yang melintasi kota Yogyakarta yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota.

Kondisi tanah kota Yogyakarta memungkinkan dan berpotensi untuk ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan. Hal ini disebabkan letak kota Yogyakarta yang berada di dataran lereng gunung Merapi yang didominasi oleh tanah regosol atau tanah vulkanis muda yang subur untuk tanah pertanian.

(44)

44

buah. Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Umbulharjo, kemudian diikuti oleh kecamatan Gondokusuman dan Kotagede. Pembagian wilayah di kota Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 6. Gambar 7 menunjukkan wilayah administratif kota Yogyakarta.

(45)

45

Tabel 6 Pembagian Wilayah Kota Yogyakarta

No. Kecamatan Kelurahan Luas Wilayah (Km2) Persentase (%)

1. Mantrijeron

a. Gedongkiwo b. Suryodiningratan c. Mantrijeron

6. Gondokusuman

a. Baciro

b. Tegalpanggung c. Bausasran

11. Wirobrajan

a. Patangpuluhan

12. Gedongtengen

a. Pringgokusuman

(46)

46

Kondisi Iklim

Wilayah kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio vulkanik Merapi, yang mempunyai air tanah dan permukaan yang cukup melimpah dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakan disebabkan praktek-praktek sanitasi yang buruk, baik pada lingkungan permukiman maupun non permukiman. Kondisi iklim di kota Yogyakarta juga menunjukkan cukup terjaminnya air di wilayah kota Yogyakarta. Tabel 7 menunjukkan kondisi iklim di kota Yogyakarta.

Tabel 7 Kondisi Iklim di Kota Yogyakarta

No. Bulan Curah Hujan

(mm) Suhu (

o

C) Kelembaban

(%)

1 Januari 385 26,7 83

2 Februari 324 27,0 83

3 Maret 316 26,7 83

4 April 152 27,2 80

5 Mei 131 27,0 79

6 Juni 57 26,4 76

7 Juli 54 25,9 75

8 Agustus 21 26,2 72

9 September 36 27,0 72

10 Oktober 114 27,0 76

11 November 224 27,0 79

12 Desember 287 27,0 80

Rata-rata 175,1 26,7 78

Sumber: BMG Kota Yogyakarta, 2000

Kondisi Penduduk

(47)

47

Tabel 8 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 1990 – 2001

Jumlah Penduduk (Jiwa)

No. Kecamatan

Sumber: Kota Yogyakarta dalam Angka, 2002

Dari jumlah penduduk seperti yang tertera pada Tabel 7, penduduk yang termasuk kategori penduduk miskin sebagian besar berada di wilayah yang dilalui oleh sungai. Proporsi orang miskin di kota Yogyakarta relatif besar bila dilihat dari jumlah penduduknya, yaitu sekitar 31% KK (1999) dan meningkat lebih kurang 14% dari tahun sebelumnya. Tabel 9 menggambarkan karakteristik kemiskinan di kota Yogyakarta.

Tabel 9 Karakteristik Kemiskinan Kota Yogyakarta

No. Kecamatan KK Miskin (KK) Orang Miskin (Jiwa)

Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, 2000

(48)

48

dengan peningkatan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial, terutama anak terlantar, anak jalanan dan jumlah lansia terlantar. Tabel 10 menggambarkan kegiatan penduduk berdasarkan umur.

Tabel 10 Kegiatan penduduk menurut umur

Umur (Tahun) Bekerja (Jiwa) Cari Kerja

(Jiwa)

Sekolah (Jiwa) Lainnya

(Jiwa)

Sumber: Sensus Penduduk 2000, BPS

Kondisi kemiskinan kota yang demikian juga berpengaruh terhadap pada kondisi perumahan yang ada di kota Yogyakarta. Sebagian dari rumah penduduk merupakan rumah semi permanen dan bahkan ada yang merupakan bangunan temporer, seperti pada Tabel 11.

Tabel 11 Komposisi Perumahan di Kota Yogyakarta (Buah)

No. Kecamatan Permanen Semi

Permanen Temporer

1. Umbulharjo 11.430 520 0

Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, 2000

(49)

49

Tabel 12 Kepadatan Penduduk di Kota Yogyakarta Menurut Kecamatan Tahun 1990 dan 2001

Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2)

No. Kecamatan Luas (Km2)

Jumlah 32,5 12.679 15.473

Sumber : Kota Yogyakarta dalam angka, 2002

Kondisi Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan ekononomi kota Yogyakarta pertahun untuk periode 1993 – 1997 sebesar 8.10% dan periode 1998 – 2000 sebesar 6.44%.Turunnya pertumbuhan ekonomi ini diakibatkan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Struktur ekonomi Pendapatan Daerah Regional Bruto Kota Yogyakarta lebih banyak dipengaruhi oleh sektor jasa (termasuk pariwisata) sebesar 26.31%; sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 19.46%; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar 18.04% dan sektor pengangkutan dan transmigrasi sebesar 15.42%. Sedangkan sektor pertanian dalam skala luas, pertambangan dan penggalian serta listrik, air dan gas memberikan kontribusi yang kecil, yaitu kurang dari 1,2%. Kondisi pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi per tahun di kota Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Perdapatan regional per kapita dan laju pertumbuhan atas dasar harga berlaku dan konstan

Pendapatan Regional per Kapita (Rp) Tahun

Berlaku Konstan

Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

(50)

50

Kondisi Pariwisata

Potensi wisata kota Yogyakarta terutama berasal dari budaya masyarakat kota Yogyakarta sendiri. Segala sendi kehidupan kebudayaan masyarakat di kota Yogyakarta mempunyai daya jual yang cukup tinggi untuk wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara. Selain kebudayaan tradisional masyarakat, potensi wisata kota Yogyakarta juga mengandalkan wisata belanja, baik yang tradisional maupun modern. Keberadaan museum, bangunan bersejarah dan karakteristik masyarakatnya juga merupakan daya tarik tersendiri bagi kota Yogyakarta. Akan tetapi, dari 129 aset budaya fisik yang telah diinventarisasi, 8% diantaranya dibiarkan saja tanpa ada tindakan pelestarian disamping masih kurangnya sarana untuk mengekspresikan budaya Yogyakarta seperti galeri dan gedung pertunjukan (Yogyakarta dalam angka 2002).

Melihat jumlah wisatawan yang berkunjung ke kota Yogyakarta, juga menunjukkan bahwa kota Yogyakarta masih menjadi kota tujuan wisata baik bagi wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Pada tahun 1997, jumlah kunjungan wisatawan nusantara mencapai 1.016.742 jiwa dan wisatawan nusantara 204.938. Pada tahun tersebut merupakan tahun keemasan bagi kunjungan wisatawan ke Yogyakarta. Akibat adanya suksesi kepemimpinan dan krisis moneter yang berkepanjangan, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta menurun. Kondisi ini berlanjut sampai tahun 2001, dimana kunjungan wisatawan nusantara sebanyak 529.828 jiwa dan wisatawan mancanegara 46.997. Tahun 2002 kunjungan wisatawan ke Yogyakarta kembali meningkat. Tabel 14 menunjukkan jumlah kunjungan wisata ke kota Yogyakarta.

Tabel 14 Jumlah kunjungan wisata ke Kota Yogyakarta (Jiwa)

Jumlah Wisatawan Tahun Kunjungan

Wisata Nusantara Mancanegara Total

1997 1.016.742 204.938 1.221.680

1998 743.739 75.254 818.993

1999 803.910 84.386 888.296

2000 790.716 64.599 855.315

2001 529.828 46.997 576.825

2002 816.769 84.490 901.250

2003 1.306.253 64.624 1.370.877

Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, Diparda (1997-2003)

(51)

51

saat liburan menjadi salah satu tolok ukur ketersediaan fasilitas pendukung wisata. Sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke kota Yogyakarta akan meginap di pusat kota, terutama di sekitar kawasan Malioboro. Perkembangan persentase tingkat hunian hotel dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Persentase tingkat hunian kamar dan pemakaian tempat tidur hotel di DIY

Tahun Tingkat Hunian Kamar (%) Tingkat Pemakaian Tempat Tidur (%)

1997 38,06 40,02

Sumber: DIY dalam angka (1997 – 2003)

Tabel 15 menunjukkan, bahwa tingkat hunian kamar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami fluktuasi. Banyaknya tamu menginap di DIY paling tinggi pada tahun 2000 dengan tingkat hunian hotel sebesar 40,38% dan terendah pada tahun 1998 sebesar 30,52. Rendahnya tingkat hunian di tahun 1998 dikarenakan kondisi politik Indonesia yang tidak stabil akibat suksesi kepemimpinan yang terjadi. Hal tersebut sangat mempengaruhi kunjungan wisata ke DIY umumnya dan kota Yogyakarta khususnya. Disamping itu, juga terjadinya krisis moneter berkepanjangan yang menimpa Indonesia.

Kunjungan wisatawan ke kota Yogyakarta juga ditunjukkan dengan lamanya tamu menginap di Yogyakarta (Tabel 16).

Tabel 16 Perkembangan Lama Menginap Tamu di DIY

Jenis Wisatawan Tahun

Asing Domestik

Rata-rata Lama

Sumber: DIY dalam Angka (1997 – 2003)

(52)

52

menginap selama 1 – 2 hari. Rendahnya lama tinggal wisatawan disebabkan sedikitnya obyek wisata yang ada di kota Yogyakarta, selain juga jenuhnya wisatawan dengan obyek wisata yang telah ada. Selain itu, terutama untuk wisatawan domestik, kunjungan wisata umumnya hanya dilakukan di akhir pekan sehingga lama tinggalnya pun menjadi sebentar. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara, kunjungan wisata yang dilakukan umumnya untuk jangka waktu yang lebih lama, sehingga masa tinggalnya pun relatif lebih lama.

Obyek Wisata

(53)

53

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik Kawasan Sungai Code

Sungai Code yang melintas ditengah kota Yogyakarta melewati 12 kelurahan dari 6 kecamatan (Gambar 9). Sungai ini berhulu di kaki Gunung Merapi, yang merupakan tumpuan kehidupan bagi banyak penduduk kota. Sungai Code yang melintasi kota Yogyakarta sepanjang 8,7 Km dan sebagian besar bantaran sungainya sudah digunakan sebagai permukiman penduduk. Gambar 8 menunjukkan kondisi sungai Code.

a b

c d

Gambar 8 Kondisi bantaran sungai Code (a) Bantaran sungai Code

(54)

54

(55)

55

Topografi

Wilayah sungai Code mempunyai jenis tanah Regosol dengan kelandaian lereng / tebing sungai yang bervariasi mulai sangat tinggi di bagian utara dan menuju ke selatan semakin landai. Ketinggian kawasan sungai Code antara 100 – 199 m dengan beberapa lokasi yang mempunyai kemiringan cukup terjal. Kondisi kemiringan lahan dari wilayah sungai Code dapat dilihat dalam Tabel 17. Gambar 10 menunjukkan posisi kota Yogyakarta terhadap gunung Merapi.

Tabel 17 Kondisi kemiringan kawasan studi

Luas (Ha) No. Wilayah Studi

0 – 2 % 2 – 15 % 15 – 40 % >40 %

1. Kec. Jetis 111 55 7 1

2. Kec. Gondokusuman 340 66 4 -

3. Kec. Danurejan 96 13 2 -

4. Kec. Pakualaman 62 3 - -

5. Kec. Gondomanan 50 65 - -

6. Kec. Mergangsan 206 28 - -

Jumlah 865 230 13 1

Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, BPS (2002)

Gambar 10 Posisi kota Yogyakarta terhadap gunung Merapi

Tabel 17 menunjukkan bahwa wilayah Sungai Code yang mempunyai kelerengan paling tajam di daerah kecamatan Jetis dengan kelerengan lebih dari 40 % sebesar 1 hektar yang tersebar ke beberapa tempat, umumnya di daerah pinggir sungai. Daerah tersebut saat ini umumnya digunakan sebagai tempat permukiman penduduk. Sedangkan kelerengan yang cukup tajam, yaitu antara 15 – 40 % terdapat di 3 kecamatan, yaitu kecamatan Jetis , Gondokusuman dan Danurejan yang rata-rata juga tersebar ke beberapa bagian di daerah bantaran

Wilayah kota Yogyakarta Gunung

Gambar

Tabel 1  Lokasi Penelitian
Tabel 4  Kriteria Penilaian Wisata Ekonomi Berbasis Budaya
Tabel 5  Kriteria Penilaian Atraksi Budaya
Gambar 7  Peta Administrasi Kota Yogyakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Toader, On p,q-convex sequences , Itinerant seminar on functional equations, approximation and convexity, Cluj Napoca,

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelitian dan evaluasi terhadap berkas perusahaan dan penawaran yang mengikuti pelelangan Pekerjaan Belanja Modal

Using the partial fraction procedure described in the proof of Lemma 3.3 , it is straightforward (with the help of a computer algebra system) to evaluate as rational functions of C

11.739.900.000, ( Sebelas milyar tujuh Ratus tiga puluh Sembilan juta Sembilan ratus ribu rupiah) sudah termasuk Pajak-pajak sebagai Harga Kontrak. Adapun Perusahaan

Such problems of hedging and super-replication in financial market with a large investor were investigated by Cvitanic-Ma [10] in the case of a diffusion by the study

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus. © Leliana

Dalton menerangkan bahwa susunan yang tetap (dari) senyawa dengan teori bahwa atom unsur-unsur digabung untuk membuat partikel yang lebih kompleks yang disebut

Penelitian dalam penelitian ini memfokuskan kajian pada 4 pembahasan yaitu definisi arah menghadap kiblat dalam istilah fiqh, aplikasi teori mana yang sesuai