• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

i

INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR

PERTANIAN DAN OPSI MITIGASINYA DENGAN

PENDEKATAN

MARGINAL ABATEMENT COST

MIRANTI ARIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal

Abatement Cost adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Miranti Ariani

(4)

ii

RINGKASAN

MIRANTI ARIANI. Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan PRIHASTO SETYANTO.

Eugenia polyantha yang dikenal dengan nama salam adalah tanaman obat

yang baSektor Pertanian menyumbang sebesar 5% dari total emisi Gas Rumah

Kaca (GRK) nasional pada tahun 2000 dan meningkat menjadi sebesar 7% pada tahun 2005. Emisi ini diperkirakan akan terus meningkat apabila tidak ada kegiatan penurunan emisi yang dilakukan. Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK dan Peraturan Presiden No 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, mewajibkan setiap kementrian/lembaga dan pemerintah daerah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara nasional. Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan keikutsertaan pemerintah daerah secara aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah daerah diharuskan menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional. Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui secara pasti besaran emisi dan serapan GRK. Sektor pertanian dalam Lampiran Perpres No 61/2011 harus menurunkan tingkat emisinya sebesar 8 Gg CO2e. Berbagai

perencanaan ditingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi partisipasi daerahlah, khususnya pemerintah kabupaten, yang akan sangat menentukan.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci

(Key Categories Analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan

perhitungannya serta menyusun BAU Baseline dan (2) menganalisis opsi-opsi mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin dilakukan dengan pendekatan Marginal Abatement Cost.

Inventarisasi GRK membutuhkan masukan data aktivitas yang sangat komplek dan detail, untuk menghasilkan data status emisi GRK yang tepat. Pembangkitan data aktivitas bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan melakukan wawancara langsung dengan para ahli, survey lapangan maupun membangun asumsi. Status emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur berbeda, meski sumber emisi utama adalah gas CH4 dari

pengelolaan lahan sawah yang mencapai 50%. Total emisi GRK Kabupaten Grobogan dengan metode IPCC 2006 adalah sekitar 678-758 Gg CO2e dan

diperkirakan akan terus meningkat mencapai angka 898 Gg CO2e di tahun 2020

jika tidak ada aksi mitigasi, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sekitar 543-659 Gg CO2e dan mencapai angka 820 Gg CO2e tahun 2020. Total

emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dengan modifikasi metode IPCC 2006 adalah sebesar 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. Hasil

perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di kedua kabupaten

(5)

iii

Penentuan teknologi mitigasi dapat dilakukan melalui studi literature terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sementara penentuan luasan area yang berpotensi untuk penerapan teknologi mitigasi, dilakukan dengan membangun asumsi-asumsi. Besaran biaya dapat ditentukan berdasarkan pada biaya yang berlaku setempat. Potensi pengurangan emisi pada kurva biaya pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan mencapai 212.822 tCO2e/th atau

sekitar 24% dapat diturunkan sampai tahun 2020 dengan tambahan biaya dibawah Rp 1.000,-/tCO2e, sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 66.317

tCO2e/th atau sekitar 8,1% dapat diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp

1.000,-/tCO2e. Teknologi mitigasi yang berpotensi besar menurunkan emisi GRK

dengan biaya rendah di Kabupaten Grobogan adalah penerapan teknik budidaya padi dengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan penggantian varietas padi dengan varietas padi yang rendah emisi GRK. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, teknologi ameliorasi dengan kompos, pupuk kandang dan penerapan teknologi tanpa olah tanah+tanam benih langsung merupakan teknologi mitigasi yang memiliki potensi besar menurunkan emisi dengan biaya yang rendah.

Kata kunci : biaya pengurangan emisi, gas rumah kaca, inventarisasi, mitigasi, pertanian

nyak digunakan dalam mengobati berbagai penyakit, termasuk diabetes, Tujuan penelitian ini adalah memperoleh fraksi teraktif penghambat aktivitas

α-amilase dari ekstrak etanol daun salam serta mengidentifikasi kandungan

fitokimianya, Ekstrak etanol kasar difraksinasi menggunakan ekstraksi cair-cair memperoleh 3 fraksi, yaitu fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi air, Uji

aktivitas inhibisi α-amilase menunjukkan bahwa semua fraksi aktif menghambat

α-amilase, dengan fraksi air menunjukkan aktivitas tertinggi sebesar 22,52%,

Fraksinasi lanjutan fraksi air menggunakan kromatografi kolom silika gel dengan elusi gradien menghasilkan 4 fraksi, Semua fraksi menunjukkan aktivitas hambat

α-amilase; fraksi 2 menunjukkan aktivitas tertinggi, yaitu 57,57%, Berdasarkan

uji fitokimia, komponen kimia yang terkandung dalam fraksi teraktif adalah golongan alkaloid, flavonoid, dan saponin,

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, Mauris ultrices tellus vel risus tempus non consequat massa sollicitudin, Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Proin eget interdum velit, Vestibulum quis justo eu arcu elementum bibendum, Proin venenatis eleifend fermentum, Vivamus ullamcorper dictum quam non mollis, Morbi cursus dolor ut tellus faucibus rutrum, Duis nibh nibh, rutrum nec congue sed, iaculis eget velit, Vivamus tempus, dolor et eleifend interdum, ipsum purus tristique risus, id aliquam libero nunc non neque, Praesent vel massa purus, sed gravida ligula,

(6)

iv

SUMMARY

MIRANTI ARIANI. Green House Gases Emission Inventory from agriculture sector and it’s mitigation option with marginal abatement cost curve approach. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and PRIHASTO SETYANTO.

Agriculture sector accounts for 5 % of the total national GHG emissions in 2000 and increased to 7% in 2005. Emissions are predicted to continue rising if no emission reduction activities undertaken. Government through Presidential Decree (Decree) No. 61 of 2011 on National Action Plan for Reducing Greenhouse Gases Emissions and Presidential Decree No. 71 of 2011 on the Implementation of the National Greenhouse Gas Inventory, requires each sector to reduce GHG emissions by 26 % nationally. Implementation of Presidential Decree 61/2011, involve active participation of the region, which each are required to prepare the Regional Action Plan for Greenhouse Gas Emission Reduction. Each region is obliged to contribute to the national emission reduction. The amount of GHG emission from each sources need to presented, in regard to determine actions planning for GHG emission reduction. Agricultural sector in the appendix of Presidential Decree No. 61/2011 mentioned should reduce the level of emissions by 8 Gg CO2e. Various national level planning has been done to achieve these

targets, but participation from each region will greatly determine.

This study has two main objectives that include the following (1) to analyze the status of GHG emissions of Agricultural Sector in Grobogan, Central Java and East Tanjung Jabung, Jambi through the identification of key categories (Key Categories Analysis) to sources of GHG emissions and constract BAU baseline and, (2) to analyze mitigation options that could be done in paddy fields managements with the Marginal Abatement Cost approach.

Greenhouse gas inventory requires a very complex and detailed activity data input. Activity data generation can be done in various ways, i.e direct interviews with expert, conduct field surveys and build some assumptions. The results showed that CH4 emissions (rice cultivation, enteric fermentation and manure

management) was the main contributor to overall GHG emissions in the two districts with the amount of > 50 % (in CO2e). Overall Grobogan and East

Tanjung Jabung GHG emissions from years 2006 to 2011 using IPCC 2006 was 678-758 Gg CO2e and 543-659 Gg CO2 e respectively and overall GHG emissions

using modified IPCC 2006 was 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. This

emission in Grobogan and East Tanjung Jabung was predicted to continue rising and reach the figure of 898 Gg CO2 e and 820 Gg CO2 e in 2020 if no mitigation

actions implemented. The result of IPCC 2006 and its modification method was only 4% different in direct N2O emission at two region. The modification method

to direct N2O emission from flooded rice could be used because it is simplier and

easier both in gathering activity data and the calculation itself.

(7)

v

tCO2e/yr or about 24 % up to 2020 can be derived with the additional cost of less

than Rp 1,000,-/tCO2e, while in East Tanjung Jabung 66,317 tCO2e/yr, or about

8.1 % by 2020 can be derived at an additional cost of less than Rp 1,000, -/tCO2e.

Mitigation activity such as low methane rice varieties and Integrated Crop Management could be applied at Grobogan with low cost, while using amelioration such as compost or manure and non tillage+direct seeded could be applied at East Tanjung Jabung with low cost as well.

Keywords: agriculture, greenhouse gases, inventory, mitigation, marginal abatement cost

Eugenia polya

edicinal plant to treat various diseases, including diabetes, The objectives of this research are to obtain the active fraction of ethanolic salam leaves extract,

which is inhibitory against α-amylase activity, and to identify phytochemical

constituents of the fractions, Crude ethanolic extract fractionated by liquid-liquid extraction gave 3 fractions, namely n-hexane, ethyl acetate, and water fractions,

All fractions showed inhibitory activity against α-amylase and water fraction

showed the highest activity with the inhibition of 22,52%, Subsequent fractionation of the water fraction using silica gel column chromatography with gradient elution produced 4 fractions, All fractions showed inhibitory activity

against α-amylase; fraction 2 showed the highest activity with the inhibition of

57,57%, Phytochemical screening showed that alkaloids, flavonoids, and saponins were the chemical constituents of the active fraction,

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, Mauris ultrices tellus vel risus tempus non consequat massa sollicitudin, Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Proin eget interdum velit, Vestibulum quis justo eu arcu elementum bibendum, Proin venenatis eleifend fermentum, Vivamus ullamcorper dictum quam non mollis, Morbi cursus dolor ut tellus faucibus rutrum, Duis nibh nibh, rutrum nec congue sed, iaculis eget velit, Vivamus tempus, dolor et eleifend interdum, ipsum purus tristique risus, id aliquam libero nunc non neque, Praesent vel massa purus, sed gravida ligula,

Etiam vel suscipit erat, Aliquam erat volutpat, Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Sed vulputate neque sit amet nibh gravida scelerisque, Nam mattis euismod facilisis, Ut sit amet nunc sem, vel imperdiet risus, Pellentesque iaculis tempus nunc accumsan porttitor, Sed eget odio nec enim ornare feugiat, Quisque viverra sapien a felis m

(8)

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(9)

i

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan sumberdaya Alam dan Lingkungan

INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR

PERTANIAN DAN OPSI MITIGASINYA DENGAN

PENDEKATAN

MARGINAL ABATEMENT COST

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

ii

Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tesis : Jumat 30 Mei 2014 Pukul 08.30 WIB Dr. M. Yani, M.Eng

(11)

iii

Judul Tesis : Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost

Nama : Miranti Ariani NIM : P052110181

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Muhammad Ardiansyah Ketua

Dr. Prihasto Setyanto, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 30 Mei 2014

(12)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2013 ini ialah perubahan iklim, dengan judul Inventarisasi Emisi GRK Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan MarginalAbatement Cost.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Muhammad Ardiansyah dan Bapak Dr. Prihasto Setyanto selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh Kelompok Peneliti Emisi dan Absorbsi GRK Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, yang telah membantu selama pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

(13)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 STATUS EMISI GRK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN

GROBOGAN DAN TANJUNG JABUNG TIMUR 6

Pendahuluan 6

Bahan dan Metode 8

Hasil 16

Pembahasan 30

Simpulan 35

3 BIAYA PENGURANGAN (MARGINAL ABATEMENT COST)

EMISI GRK 36

Pendahuluan 36

Bahan dan Metode 38

Hasil 39

Pembahasan 43

Simpulan 46

4 PEMBAHASAN UMUM 48

5 SIMPULAN DAN SARAN 51

Simpulan 51

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 59

(14)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar data aktivitas dan sumber data 8 Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan

sawah 10

Tabel 2.3 Faktor koreksi jenis tanah pengelolaan lahan sawah 10 Tabel 2.4 Faktor koreksi berbagai varietas padi di Indonesia 11 Tabel 2.5 Faktor emisi N2O langsung dari tanah dikelola (Default direct

N2O emission factor from managed soil) 13

Tabel 2.6 Faktor emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola (Default

indirect N2O emission factor from managed soil) 13

Tabel 2.7 Faktor emisi CH4 dari fermentasi enterik hewan 14

Tabel 2.8 Faktor emisi CH4 dari pengelolaan kotoran ternak 15

Tabel 2.9 Data aktivitas sub sektor pertanian 18 Tabel 2.10 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Grobogan 19 Tabel 2.11 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Tanjung

Jabung Timur 19

Tabel 2.12 Faktor emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan

Tanjung Jabung Timur 20

Tabel 2.13 Emisi GRK total Kabupaten Grobogan (Gg CO2e/tahun) 27

Tabel 2.14 Emisi GRK total Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Gg

CO2e/tahun) 27

Tabel 2.15 Perbandingan emisi N2O langsung metode IPCC 2006 dan

modifikasi 30

Tabel 2.16 Perbandingan total emisi GRK metode IPCC 2006 dan

modifikasi 30

Tabel 3.1 Teknologi mitigasi GRK dari beberapa sumber publikasi 39 Tabel 3.2 Potensi pengurangan emisi (abatement rate) dan biaya

tambahan untuk pengurangan emisi (abatement cost) 40 Tabel 3.3 Abatement potensial dan kemungkinan adopsi teknologi

mitigasi 41

Tabel 3.4 Potensi penurunan hingga tahun 2020 terhadap proyeksi emisi

(15)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema Non-Binding Commitment Indonesia (Badan Litbang

Pertanian, 2011) ... 2 Gambar 1.2 Skema ruang lingkup penelitian ... 5 Gambar 2.1 Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di (Gg CH4/tahun):

a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung

Timur ... 21 Gambar 2.3 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di (Gg

N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten

Tanjung Jabung Timur ... 23 Gambar 2.5 Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik dan Pengelolaan kotoran di

(Gg CH4/tahun) a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten

Tanjung Jabung Timur ... 25 Gambar 2.6 Emisi N2O dari Pengelolaan kotoran di (a) Kabupaten

Grobogan dan (b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ... 26 Gambar 2.7 Kontribusi tiap jenis gas terhadap total emisi GRK a)

Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ... 28 Gambar 2.8 Kontribusi masing-masing sumber emisi terhadap total emisi

GRK a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung

Timur ... 28 Gambar 2.9 BAU Baseline emisi GRK a) Kabupaten Grobogan dan

b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ... 29 Gambar 3.1 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Grobogan ... 42 Gambar 3.2 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Tanjung

(16)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak 2 abad terakhir, kegiatan manusia (antropogenik) telah meningkat dengan sangat berarti, khususnya setelah era pra-industri. Peningkatan penggunaan energi dari bahan bakar fosil untuk berbagai kegiatan manusia terutama dalam proses-proses industri dan transportasi, kegiatan pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan, dan intensifikasi budi daya tanaman serta produksi limbah, telah menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) meningkat dengan laju yang semakin cepat. Menurut Petit et al (1999) dan Siegenthaler et al (2005) rata-rata konsentrasi CO2 global di atmosfer pada awal revolusi industri

(sekitar tahun 1750an) hanya 280 ppm dan pada tahun 2006 sudah meningkat menjadi 381 ppm. Konsentrasi CO2 (karbondioksida) saat ini diperkirakan

tertinggi dalam 650.000 tahun terakhir. Lebih lanjut menurut Pearson dan Palmer (2000) konsentrasi tersebut bahkan yang tertinggi selama 20 juta tahun terakhir. Laju pertumbuhan konsentrasi CO2 dalam tahun 2000-2006 mencapai 1,93 ppm

per tahun. Laju ini merupakan laju tertinggi sejak adanya pengukuran secara kontinyu GRK sejak tahun 1959 dan peningkatannya juga sangat signifikan dibanding dengan laju emisi di awal tahun 1980an sebesar1,58 ppm per tahun dan 1990an sebesar 1,49 ppm per tahun (Canadell et al, 2007).

Menurut Canadell et al (2007) dilihat dari sisi sumber, dalam periode 1959-2006 jumlah emisi terbesar berasal dari penggunaan bahan bakar fosil yaitu mencapai 80%, sedangkan dari perubahan penggunaan lahan sekitar 20%. Emisi yang dilepaskan ini sebagian diserap kembali oleh lautan dan daratan. Namun demikian kemampaun lautan dan daratan dalam menyerap kembali CO2 tidak

banyak mengalami perubahan. Dengan demikian, terjadinya peningkatan laju emisi menyebabkan konsentrasi CO2 di atmosfer menjadi meningkat dari waktu

ke waktu.

Hal ini menyebabkan timbulnya masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk mengatasi masalah ini, pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi di Rio tahun 1992, dilahirkan konvensi perubahan iklim dengan tujuan untuk menstabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi yang dimaksud harus dapat dicapai dalam satu kerangka waktu tertentu sehingga memberikan waktu yang cukup kepada ekosistem untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim dan dapat menjamin produksi pangan tidak terancam dan pembangunan ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan.

Indonesia telah menandatangani Protokol Kyoto sejak tahun 1997 yang sebelumnya telah meratifikasi pembentukan UNFCCC melalui UU No 6 tahun 1994. Sejak saat itu, Indonesia menjadi salah satu pihak yang terikat dalam hak dan kewajiban sebagaimana tercakup dalam United Nations Framework

Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Kerangka Kerja PBB untuk

Konvensi Perubahan Iklim.

(18)

2

2

metodologi yang dapat diperbandingkan dan disetujui oleh para pihak (Boer, 2009).

Para pihak berkomitmen untuk menyusun dokumen Komunikasi Nasional yang berisikan informasi Inventarisasi GRK Nasional, deskripsi tentang langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan konvensi meliputi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan informasi lainnya yang relevan dengan tujuan konvensi.

Peran serta Indonesia terkait upaya-upaya mitigasi perubahan iklim, salah satunya adalah pernyataan Non-Binding Commitment yang dikemukakan oleh Presiden RI pada pertemuan G-20 di Pittsburgh – USA, 25 September 2009 yang lalu. Komitmen yang tidak mengikat ini mencakup upaya-upaya Indonesia mengurangi tingkat emisi GRK sebesar 26% di tahun 2020 dengan sumber-sumber pendanaan dari dalam negeri dan lebih jauh sampai dengan 41% di tahun 2020 apabila ada bantuan donor internasional (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Skema Non-Binding Commitment Indonesia (Badan Litbang Pertanian, 2011)

Menindaklanjuti komitmen tersebut, disusunlah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 yang berisi tentang dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK nasional sesuai dengan target pembangunan nasional. Dalam pasal 6 Perpres 61/2011, disebutkan bahwa untuk menurunkan emisi GRK di masing- masing wilayah provinsi, gubernur harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK. Sebelum menyusun rencana aksi, maka penting untuk mengetahui status emisi maupun serapan GRK dari sumber-sumber potensial yang ada di daerah. Hal ini kemudian dituangkan dalam Perpres No 71 tahun 2011 mengenai Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional.

(19)

3

3 dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menjadi pedoman bagi stakeholder di daerah dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi GRK. Fokus penelitian ini hanya pada sektor pertanian, hal ini lebih karena sektor pertanian mempunyai fungsi multidimensi terhadap perubahan iklim, yaitu berperan sebagai korban karena sifatnya yang rentan terhadap perubahan iklim, sebagai sumber penyumbang emisi GRK dan sekaligus juga sebagai solusi untuk penurunan emisi GRK. Dalam RAN (Rencana Aksi Nasional) GRK, sektor pertanian mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi sebesar 8 Gg CO2e. Untuk bisa mencapai

target tersebut, berbagai kegiatan mitigasi, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap penurunan emisi sektor pertanian harus dilakukan. Kegiatan mitigasi bisa berupa kegiatan yang baru maupun kegiatan yang sudah ada yang mempunyai potensi menurunkan emisi GRK.

Penelitian ini dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah mewakili ekosistem dengan tanah mineral dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mewakili ekosistem dengan tanah gambut. Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jambi adalah propinsi yang sampai dengan awal tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Gubernur mengenai RAD GRK, yaitu Pergub Jambi No. 36 tahun 2012 dan Pergub Jateng No. 43 tahun 2012. Kabupaten Grobogan dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan kajian awal merupakan kabupaten yang berperan sebagai lumbung padi Jawa Tengah, kegiatan pertanian sangat bervariasi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan), areal lahan sawah terluas kedua di Jawa Tengah dan beberapa data sekunder terkait pertanian tersedia pada website resmi masing-masing SKPD dan BPS. Sementara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah kabupaten di Propinsi Jambi yang juga merupakan lumbung padi Propinsi Jambi, dengan karakteristik lahan pertanian sebagian besar merupakan lahan marjinal (lahan gambut, rawa dan lebak), kegiatan pertaniannya juga bervariasi, dimana kebanyakan adalah pertanian kebun campur (karet dengan hortikultura atau buah-buahan di sela-selanya).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi dan serapan GRK dari lahan pertanian di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi) serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan. Terkait hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah yang dituangkan dalam beberapa tujuan khusus, yaitu :

1. Menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi melalui inventarisasi dan identifikasi kategori kunci (key categories analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan perhitungannya serta menyusun BAU baseline,

(20)

4

4

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Tersedianya data status emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur serta langkah-langkah dalam pembangkitan data aktivitas yang diperlukan

2. Tersedianya informasi opsi-opsi mitigasi yang sesuai sebagai bahan masukan terhadap pemerintah kabupaten/kota untuk penyusunan RAD-GRK

Ruang Lingkup Penelitian

Perpres No 61/2011 yang berisi tentang rencana kerja untuk penurunan emisi GRK terdiri dari 5 sektor sebagai sasaran utama, hampir 90% sasaran penurunan emisi yang direncanakan berasal dari sektor berbasis lahan, salah satunya pertanian. Oleh karena itu, inventarisasi tingkat dan status emisi sektor pertanian perlu dilakukan. Sektor pertanian menjadi korban, penyebab, dan solusi bagi dampak perubahan iklim itu sendiri. Di satu sisi, pertanian berperan penting terhadap ketahanan pangan, kesejahteraan masyarakat, dan sumber mata pencaharian jutaan petani dengan berbagai keterbatasan. Di sisi lain, pertanian rentan (vurnerable) terhadap perubahan iklim, penghasil emisi GRK meski relatif kecil dan juga berpotensi mengurangi emisi GRK melalui upaya-upaya mitigasi. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian tidak hanya memprioritaskan upaya adaptasi perubahan iklim, tetapi juga perlu berkontribusi dalam program mitigasi melalui penerapan teknologi untuk meningkatkan penyerapan GRK (Indonesian

Climate Change Sectoral Roadmap, 2011). Berikut adalah tahapan dan tata cara

penyelenggaraan inventarisasi GRK nasional yang dikembangkan sesuai dengan

Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines,

1. Evaluasi inventarisasi GRK tahun sebelumnya (termasuk identifikasi sumber-sumber GRK potensial). Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus diperbaiki dalam pelaksanan inventarisasi GRK tahun sebelumnya. 2. Identifikasi ketersediaan data dan analisis gap. Tahapan ini bertujuan untuk menetapkan metodologi, termasuk menyiapkan template worksheet, form data aktivitas dan faktor emisi.

3. Melakukan analisis kategori kunci, yaitu mengidentifikasi sumber/searapan utama yang diperkirakan memberikan sumbangan yang besar terhadap total emisi atau serapan GRK. Analisis ini diperlukan untuk menentukan skala prioritas data apa yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses pengumpulannya sehingga menghasilkan inventarisasi GRK yang baik.

4. Pengumpulan data dilengkapi dengan form data aktivitas dan faktor emisi. 5. Penghitungan tingkat emisi GRK.

6. Melakukan analisis ketidakpastian.

Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan tingkat ketidakpastian untuk data aktivitas dan faktor emisi serta serapan GRK.

(21)

5

5 Berikut adalah gambaran atau skema dari alur pemikiran yang dilaksanakan dalam penelitian ini

Ket : AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) BAU (Business as Usual)

Rencana Pembangunan

Perubahan Iklim

Konsentrasi GRK

Adaptasi Mitigasi

Limbah Industri

Energi AFOLU (90%) INDONESIA

Perpres 61/2011 RANGRK Perpres 71/2011 INVENTORI

Penentuan Metode Key Category Analisys

Data Aktivitas

Perhitungan Emisi GRK

Opsi Mitigasi

Penyusunan BAU Baseline

(22)

6

6

2

STATUS EMISI GRK SEKTOR PERTANIAN DI

KABUPATEN GROBOGAN DAN TANJUNG JABUNG

TIMUR

Pendahuluan

Lahan pertanian menyumbangkan emisi GRK melalui beberapa proses. Proses-proses tersebut menurut IPCC 2006 adalah (i) emisi CH4 dari fermentasi

enterik pada ternak, (ii) emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak, (iii)

emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah, (iv) emisi CO2 akibat penggunaan pupuk

urea dan (v) emisi N2O langsung dan tidak langsung dari lahan yang dikelola

sebagai akibat dari input N. Dalam laporan Komunikasi Nasional Indonesia ke-2 hasil inventarisasi, disebutkan bahwa sektor pertanian secara keseluruhan menyumbangkan sekitar 5% dari total emisi nasional pada tahun 2000.

Kegiatan inventarisasi di negara China bahkan sudah dimulai sejak tahun 1990an, hal ini sesuai yang dilaporkan oleh komunikasi Nasional terkait Perubahan Iklim di China ( Initial National Communication on Climate Change of

China/INCCCC 2004 dalam Cao et al, 1995 dan Chen dan Bo Zhang, 2010)

bahwa tahun 1994 besaran emisi gas rumah kaca di China hasil inventarisasi adalah 3650 Gg CO2e. Hasil penelitian Chen dan Bo Zhang 2007 (Chen dan Bo

Zhang, 2010), total gas rumah kaca di China tahun 2007 adalah sebesar 7456,12 Gg CO2e dengan emisi CH4 dari lahan padi sawah dan peternakan sebesar 831,45

Gg CO2e (atau sekitar 9% dari total). Emisi tersebut jauh lebih tinggi dari emisi

sektor terkait energi dari beberapa negara maju pada tahun inventori yang sama, yaitu Inggris yang hanya sebesar 523 Gg CO2e, Kanada 572,9 Gg CO2e dan

Jerman 798,4 Gg CO2e. Hal ini menunjukkan bahwa di beberapa negara,

kontribusi sektor pertanian terhadap emisi GRK, patut diperhitungkan.

Hasil studi inventarisasi gas rumah kaca di negara Eropa, oleh Freibauer tahun 2003 menyebutkan bahwa pada tahun 1995 besarnya emisi GRK kegiatan pertanian di Eropa adalah sebesar 840±190 Gg N2O; 810±200 Gg CH4 dan

39.000±2.500 Gg CO2 dengan jumlah sumbangan sebesar 470.000±8.000 Gg

CO2e atau 11% dari emisi GRK secara keseluruhan. Hasil penelitian Neufeldt et al, 2006 di German menunjukkan bahwa total emisi GRK dari lahan sawah adalah lebih rendah ( 0,026 – 0,034 Gg CO2e/ha) dibandingkan dengan emisi dari

peternakan (0,052 – 0,053 Gg CO2e/ha ). Hal ini selaras dengan hasil penelitian

Weiss dan Leip, 2012 besarnya emisi GRK dari sektor pertanian, di antara negara negara Uni Eropa tahun 2010, 80% adalah berasal dari kegiatan peternakan (enterik fermentation, pengelolaan kotoran, produksi daging) yaitu sebesar 623.000 – 852.000 Gg CO2e.

Kegiatan inventarisasi GRK di Amerika Serikat tahun 1990-2008 seperti dilaporkan dalam oleh USDA (United States Department of Agriculture) tahun 2011 menunjukkan hasil bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap emisi GRK total di AS adalah sebesar 6% atau setara dengan 462.000 Gg CO2e yang berasal

dari peternakan, padang rumput dan lahan sawah. Kontributor emisi GRK pertanian adalah emisi gas N2O dari pertanian tanaman pangan dan padang

(23)

7

7 emisi CO2 dari penggunaan energi untuk kegiatan pertanian (72.000 Gg CO2e) dan

emisi CH4 dari pengelolaan kotoran (45.000 Gg CO2e).

Beberapa negara dengan tingkat konsumsi daging yang tinggi (seperti Uni Eropa dan AS) cenderung memberikan sumbangan emisi GRK dari peternakan yang tinggi. Sementara negara-negara Asia, seperti China dan Indonesia dengan tingkat konsumsi beras yang tinggi, sumbangan emisi GRK dari lahan sawah akan cenderung lebih tinggi.

Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK-nya sebesar 26% sampai tahun 2020 telah menjadi kegiatan wajib dengan disyahkannya Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 (Perpres 61, 2011) dan Peraturan Presiden No 71 tahun 2011 (Perpres 71, 2011). Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan keikutsertaan daerah secara aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah daerah diharuskan menyusun RAD Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional. Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui secara pasti besaran emisi dan serapan GRK, Berbagai perencanaan ditingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi partisipasi daerahlah yang akan sangat menentukan.

Dalam skala global dan nasional, perhitungan besaran emisi telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk studi ilmiah maupun laporan nasional terkait status emisi di suatu negara (Chen dan Bo Zhang, 2010). Kegiatan inventarisasi dalam skala wilayah yang lebih sempit, diharapkan dapat memudahkan kompilasi dalam skala wilayah yang lebih luas (Neufeldt et al, 2006), sehingga perencanaan penurunan emisi dapat lebih tepat. Hal yang masih menjadi kendala utama dalam inventarisasi GRK di Indonesia adalah ketersediaan data aktivitas. Pembangkitan data aktivitas dalam skala kabupaten akan menjadi kunci dalam penyusunan basis data di tingkat nasional untuk menghasilkan inventarisasi yang berkualitas. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi daerah dalam melakukan kegiatan inventarisasi, dimulai dari pembangkitan data aktivitas, melakukan perhitungan serta membandingkan estimasi emisi antara metode IPCC 2006 dan modifikasi IPCC 2006 untuk Sektor Pertanian tahun 2006-2011. Metode IPCC 2006 adalah metode yang telah disepakati secara internasional untuk perhitungan emisi GRK. Hasil perhitungan akan sangat berguna sebagai acuan dalam penentuan aksi mitigasi yang akan dilakukan. Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten dengan luas lahan pertanian yang besar di Propinsi Jawa Tengah, begitu juga Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Propinsi Jambi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci

(key categories analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan pendugaan

emisi N2O langsung dari tanah yang di kelola dengan metode IPCC 2006 dan

modifikasinya serta menyusun BAU baseline.

Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola memerlukan

(24)

8

8

langsung dari tanah yang dikelola, dilakukan untuk menyederhanakan dalam pengumpulan data aktivitas dan juga perhitungannya.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah mewakili ekosistem dengan tanah mineral dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mewakili ekosistem dengan tanah gambut. Kedua kabupaten ini mempunyai areal pertanian terluas di Propinsi Jawa Tengah dan Jambi. Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jambi adalah 2 propinsi yang pada awal tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Gubernur mengenai RAD GRK yaitu Pergub Jambi No. 36 tahun 2012 dan Pergub Jateng No. 43 tahun 2012. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2013.

Pengumpulan Data Aktivitas

Data aktivitas adalah besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK. Tahapan ini dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari hasil-hasil penelitian, data statistik dari BPS dan laporan tahunan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah terutama data aktivitas yang berhubungan dengan inventarisasi GRK sektor pertanian dan upaya-upaya mitigasinya. Apabila data aktivitas tidak tersedia, maka survey dan wawancara langsung untuk mendapatkan expert judgement bisa dilakukan. Data aktivitas dan sumber-sumber emisi yang telah diperoleh kemudian ditabulasi. Sektor pertanian mencakup beberapa sub-sektor yaitu pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Berikut adalah data aktivitas sektor pertanian dan sumber datanya.

Tabel 2.1 Daftar data aktivitas dan sumber data

Data Aktivitas Sumber data

Luas panen sawah BPS (2006-2011), Dinas Pertanian Jenis pengairan BPS (2006-2011), Dinas Pertanian Jenis Varietas BPS (2006-2011), Dinas Pertanian Jenis tanah Dinas Pertanian, hasil penelitian Jumlah penggunaan bahan

organik

Dinas Pertanian, Perkebunan, expert judgement

Jumlah/dosis pupuk Dinas Pertanian, Perkebunan, expert judgement

Jenis Pupuk Dinas Pertanian, Perkebunan

Jumlah ternak BPS (2006-211), Dinas Pertanian, Peternakan

Jenis ternak BPS (2006-2011), Dinas Pertanian, Peternakan

Cara pengelolaan kotoran ternak

(25)

9

9

Metode Perhitungan

Penelitian ini menggunakan metode IPCC Guidelines 2006 dengan pendekatan tier 1 dan 2. Tier 1 adalah penghitungan emisi GRK dengan menggunakan persamaan dasar (basic equation) dan default EF (emission factor) yang disediakan dalam IPCC Guidelines, sedangkan tier 2 merupakan metoda yang lebih detail, persamaan yang sedikit kompleks, faktor emisi lebih spesifik lokasi berdasarkan hasil-hasil penelitian.

Perhitungan emisi GRK meliputi emisi CH4 dari budidaya padi sawah, emisi

N2O dan CO2 dari pemupukan, emisi N2O dari pengelolaan tanah. Subsektor

peternakan yang dihitung adalah emisi CH4 dari sendawa ternak (enteric

fermentation) dan kotoran ternak serta emisi N2O dari pengelolaan kotoran. Emisi

N2O langsung dari tanah sawah irigasi selain dihitung dengan menggunakan

metode perhitungan IPCC 2006, juga menggunakan metode modifikasi IPCC 2006.

Perhitungan emisi dengan metode IPCC 2006 adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan lahan sawah (Rice cultivation)

Dekomposisi bahan organik secara anaerob di lahan sawah menimbulkan emisi CH4 yang terlepas ke atmosfer melalui jaringan tanaman. Emisi CH4

tahunan dari sejumlah luas lahan tertentu di suatu wilayah merupakan fungsi dari masa tanam dan umur tanaman padi. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap emisi CH4 dari lahan sawah adalah jenis tanah, pengairan dan juga varietas padi

(IPCC, 2006). Persamaan untuk menduga emisi CH4 dari pengelolaan lahan

sawah di suatu wilayah adalah sebagai berikut :

Emisi CH4 = Σ (EF * t * A * 10^-6)*CF*SF

Dimana :

Emisi CH4 = emisi metan dari pengelolaan lahan sawah (Gg CH4/tahun)

EF rice = Faktor emisi metana dari lahan sawah (nilai lokal Indonesia adalah

1,61 kg CH4/ha/hari)

A = Luas panen (ha) t = umur tanam padi (hari)

CF = faktor koreksi untuk jenis tanah dan varietas padi (jika tersedia) SF = faktor skala untuk rejim pengairan (jika tersedia)

(26)

10

10

Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan sawah

Kategori Sub-kategori

1

SF (faktor skala) (berdasarkan IPCC Guidelines

1996)

SF (berdasarkan

riset di Indonesia)*

Kisaran**

Dataran

tinggi Tidak ada 0

Dataran rendah

Irigasi

Tergenang terus

menerus 1 1

Pengairan berselang

Single

Aeration 0,5 (0,2-0,7)

0,46 0,38-0,53 Multiple

Aeration 0,2 (0,1-0,3)

Tadah hujan Rawan banjir 0,8 (0,5-1,0) 0,49 0,19-0,75 Rawan kekeringan 0,4 (0-0,5)

Air dalam

Kedalaman air 50-100

cm 0,8 (0,6-1,0)

Kedalaman air < 50 cm 0,6 (0,5-0,8)

Sumber : *Setyanto et al, 2011 dan 1 IPCC 2006

**angka kisaran merupakan nilai dari standart deviasinya

Tabel 2.3 Faktor koreksi jenis tanah pengelolaan lahan sawah

Kategori Sub-kategori

CF (faktor koreksi) dari jenis tanah di Indonesia*

Kisaran

Jenis tanah Inceptisol 1,12 1,0-1,23 Oksisol 0,29 0,1-0,47 Entisol 1,02 0,94-1,09 Vertisol 1,02 0,46-1,99 Alfisol 0,84 0,32-1,59 Histosol 2,39 0,92-3,86

Mollisol -

-Andisol 1,02 1,02

Ultisol 0,29 0,29

(27)

11

11 Tabel 2.4 Faktor koreksi berbagai varietas padi di Indonesia

No Varietas Rata-rata emisi

(kg CH4/ha/musim)

Faktor koreksi

1 Gilirang 496,9 2,46

2 Fatmawati 365,9 1,81

3 Aromatic 273,6 1,35

4 Tukad Unda 244,2 1,21

5 IR 72 223,2 1,10

6 Cisadane 204,6 1,01

7 IR 64* 202,3 1,00

8 Margasari 187,2 0,93

9 Cisantana 186,7 0,92

10 Tukad Petanu 157,8 0,78

11 Batang Anai 153,5 0,76

12 IR 36 147,5 0,73

13 Memberamo 146,2 0,72

14 Dodokan 145,6 0,72

15 Way Apoburu 145,5 0,72

16 Muncul 127,0 0,63

17 Tukad Balian 115,6 0,57

18 Cisanggarung 115,2 0,57

19 Ciherang 114,8 0,57

20 Limboto 99,2 0,49

21 Wayrarem 91,6 0,45

22 Maros 73,9 0,37

23 Mendawak 255 1,26

24 Mekongga 234 1,16

25 Memberamo 286 1,41

26 IR42 269 1,33

27 Fatmawati 245 1,21

28 BP360 215 1,06

29 BP205 196 0,97

30 Hipa4 197 0,98

31 Hipa6 219 1,08

32 Rokan 308 1,52

33 Hipa 5 Ceva 323 1,60

34 Hipa 6 Jete 301 1,49

35 Inpari 1 271 1,34

36 Inpari 6 Jete 272 1,34

37 Inpari 9 Elo 359 1,77

(28)

12

12

2. Pemupukan urea

Penambahan urea pada lahan pertanian, menyebabkan terlepasnya CO2 yang

digunakan selama proses pembuatan urea tersebut di pabrik dan emisi ini dihitung sebagai rosot di sektor industri. Urea (CO(NH)2)2) terlepas menjadi ammonium

(NH4+), ion hidroksil (OH-), dan bikarbonat (HCO3-) dengan adanya air dan enzim urease. Pendekatan perhitungan emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea di

suatu wilayah harus mengetahui terlebih dulu jumlah penggunaan urea pertahunnya (data aktivitas) yang kemudian dikalikan dengan faktor emisi. Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut :

Emisi CO2 = (M x EF) x 44/12

Dimana :

Emisi CO2 = emisi karbondioksida dari penggunaan urea (tCO2/ha)

M = jumlah penggunaan urea (t/th) EF = faktor emisi, tC/t urea

3. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola (Direct N2O from managed

soil)

Penambahan input N ke dalam tanah, akan menyebabkan peningkatan proses nitrifikasi-denitrifikasi yang kemudian meningkatkan pula emisi N2O.

Pendekatan perhitungan N2O langsung dari tanah yang dikelola, memerlukan

masukan data aktivitas jumlah seluruh pupuk N baik organik maupun anorganik yang diaplikasikan di tanah pertanian, dan harus dibedakan antara penggunaan untuk lahan kering dan lahan basah atau lahan sawah, hal ini dilakukan karena faktor emisi N2O sebagai hasil proses nitrifikasi dan denitrifikasi, berbeda

besarannya antara yang dihasilkan di tanah dalam kondisi kering dan basah. Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut :

Direct N2O = (((FSN + FON)MS x EF1MS ) + ((FSN + FON)FRx EFFR)))x 44/28

Keterangan :

N2O langsung = emisi N2O langsung dari pupuk N anorganik yang diberikan pada

tanah dikelola dan lahan sawah irigasi (kg N2O/th)

FSNMS = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah dikelola (kg

N/th)

FONMS = jumlah pupuk organik N yang digunakan pada tanah dikelola (kg

N/th)

FSNFR = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah sawah irigasi

(kg N/th)

FONFR = jumlah pupuk N organik yang digunakan pada tanah sawah irigasi

(kg N/th)

EF1MS = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah dikelola (kg

N2O-N/kg N input)

EF1FR = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah sawah irigasi

(29)

13

13 Tabel 2.5 Faktor emisi N2O langsung dari tanah dikelola (Default direct N2O

emission factor from managed soil)

Faktor emisi Satuan Nilai Kisaran

Input N untuk lahan kering kg N2O-N per N input 0,01 0,003-0,03

Input N untuk sawah irigasi kg N2O-N per N input 0,003 0,000-0,006

Sumber : IPCC 2006 (angka kisaran adalah nilai standart deviasi)

4. Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola (Indirect N2O from

managed soil)

Perhitungan emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola, tidak perlu

membedakan penggunaannya di lahan kering maupun lahan sawah, karena besarnya fraksi deposisi N yang tervolatilisasi hanya berbeda pada jenis pupuk N, yaitu N anorganik dan organik. Pemberian pupuk N dalam tanah, selain secara langsung menghasilkan N2O pada tanah yang ditambahkan pupuk N, juga

menghasilkan emisi N2O tidak langsung dari volatilisasi NH3 dan NOx dari tanah

yang kemudian gas-gas ini dan produknya yang berupa nitrat dan nitrit diendapkan kembali ke dalam tanah dan air. Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut :

Emisi N2O = ((FSN x FracGASF) + (FON x FracGASM)) x EF4 x 44/28

Keterangan :

Emisi N2O = emisi N2O dari deposisi N yang divolatilisasi dari tanah (kg N2O/th)

FSN = jumlah pupuk N anorganik yang diberikan ke tanah ( kg N/th)

FracGASF = Fraksi pupuk N anorganik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx

FON = jumlah pupuk kandang yang diberikan ke tanah (kg N/th)

FracGASM = Fraksi pupuk N organik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx

EF4 = faktor emisi N2O dari N atmosferik tanah dan permukaan air

FracGASF = 0,10 dan FracGASM = 0,20

Tabel 2.6 Faktor emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola (Default

indirect N2O emission factor from managed soil)

Faktor emisi Satuan Nilai Kisaran

Dari deposit N pada tanah dan permukaan air

kg N2O-N per NH3-N

+ NOX-N

tervolaltilisasi

0,01 0,002-0,05

FracGasF volatilisasi dari pupuk

sintetis

kg N2O-N per NH3-N

+ NOX-N per kg N

yang digunakan

0,1 0,03-0,3

FracGasF volatilisasi dari semua

pupuk N organic

kg N2O-N per NH3-N

+ NOX-N per kg N

yang digunakan

0,2 0,05-0,5

(30)

14

14

5. Emisi GRK dari kegiatan peternakan

Emisi GRK dari kegiatan peternakan berasala dari 3 sumber yaitu emisi CH4 dari fermentasi enterik, emisi CH4 dari pengelolaan kotoran serta emisi N2O

dari pengelolaan kotoran. Perhitungan emisi dari peternakan tentu saja yang paling utama adalah harus mengetahui jenis dan jumlah populasi ternak yang kemudian dikalikan dengan faktor emisi masing-masing sumber.

Gas CH4 diproduksi oleh herbivora sebagai hasil samping dari proses

fermentasi enterik yaitu proses memecah karbohidrat oleh mikro-organisme menjadi molekul yang lebih kecil agar mudah dicerna. Emisi CH4 yang

ditimbulkan terutama dipengaruhi oleh jenis alat pencernaan, umur dan jenis pakan. Persamaan untuk menghitung emisi CH4 dari fermentasi enterik adalah

sebagai berikut :

CH4 Enterik = EF (T) x N(T) x 10-3

CH4 Enterik = emisi metana dari fermentasi enterik (tCH4/th)

EF (T) = faktor emisi fermentasi enterik dari jenis ternak tertentu (kg

CH4/ekor/th)

N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah

Tabel 2.7 Faktor emisi CH4 dari fermentasi enterik hewan

No Jenis ternak Faktor emisi CH4

(kg/ekor/tahun)

1 Sapi pedaging 47

2 Sapi perah 61

3 Kerbau 55

4 Domba 5

5 Kambing 5

6 Babi 1

7 Kuda 18

Sumber : IPCC 2006

Penyimpanan kotoran hewan dalam kondisi anaerob akan menyebabkan timbulnya emisi CH4 dan sebaliknya, apabila penyimpana secara aerob akan

menimbulkan emisi N2O. Perhitungan emisi CH4 lebih mudah dibandingkan

perhitungan emisi N2O-nya, karena data yang diperlukan hanyalah jumlah

populasi ternak dan faktor emisinya (default IPCC), sedangkan untuk perhitungan emisi N2O, diperlukan juga data jumlah kotoran ternak dari jenis ternak tertentu di

suatu wilayah dan berapa fraksi kotoran yang disimpan dengan sistem penyimpanan tertentu. Berikut ini adalah persamaan untuk menghitung emisi CH4

dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak :

CH4 pengelolaan kotoran = EF (T) x N(T) x 10-3

(31)

15

15 EF (T) = faktor emisi pengelolaan kotoran dari jenis ternak tertentu (kg

CH4/ekor/th)

N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah

Tabel 2.8 Faktor emisi CH4 dari pengelolaan kotoran ternak

No Jenis ternak Faktor emisi CH4

(kg/ekor/tahun)

1 Sapi pedaging 1

2 Sapi perah 31

3 Kerbau 2

4 Domba 0,2

5 Kambing 0,22

6 Babi 7

7 Kuda 2,19

8 Ayam buras 0,02

9 Ayam ras 0,02

10 Ayam petelur 0,02

11 Bebek 0,02

Sumber : IPCC 2006

N2O Pengelolaan Kotoran = [ΣS [ΣT (N(T) xNex(T) x MS(T,S))] x EF3(S) ] x 44/28

N2O pengelolaan kotoran = emisi N2O dari pengelolaan kotoran di suatu wilayah

(kg N2O/th)

N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah

Nex(T) = jumlah kotoran ternak per jenis ternak di suatu wilayah (kg N/ekor/th)

MS(T,S) = fraksi dari kotoran ternak yang disimpan dengan cara tertentu di suatu

wilayah

EF = faktor emisi N2O dari cara pengelolaan kotoran tertentu (kg N2O-N/kg

N pada cara pengelolaan tertentu)

Perhitungan emisi dengan metode IPCC 2006 untuk emisi N2O langsung dari

tanah dikelola

Modifikasi metode IPCC 2006 digunakan untuk menduga besaran emisi N2O dari tanah sawah irigasi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah

pengumpulan data aktivitas dan proses perhitungannya. Asumsi perhitungan bisa didekati dengan cara yang sama seperti perhitungan emisi CH4 dari lahan sawah,

yaitu dengan menggunakan data aktivitas berupa luas lahan sawah, umur tanaman serta faktor emisinya. Dalam hal ini, faktor emisi N2O langsung diperoleh dengan

cara yang sama faktor emisi CH4 dari lahan sawah, yaitu dengan mengkompilasi

berbagai data hasil penelitian mengenai emisi N2O dari tanah sawah irigasi di

(32)

16

16

Hasil perhitungan dengan metode ini dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan IPCC 2006. Berikut adalah persamaan modifikasinya :

Emisi N2O langsung dari tanah dikelola = ((FSN + FON)MS x EF1MS x 44/28)+(A

x EFN2O)

A = luas panen sawah irigasi (ha),

EF N2O = faktor emisi N2O dari tanah sawah irigasi (0,0027 kg N2O/ha/hari

atau sama dengan 0,297 kg N2O/ha/musim (Setyanto et al, 2011) dengan asumsi

rerata umur tanam adalah 110 hari)

Setelah dipeoleh besaran emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan

metode IPCC 2006 dan modifikasinya, maka untuk melihat apakah ada perbedaan antara 2 metode perhitungan tersebut adalah dengan menggunakan uji t pada taraf kepercayaan p=0,05. Uji t ini biasa digunakan untuk menentukan perbedaan masing-masing nilai tengah dari hasil 2 pengukuran yang berbeda.

Tabel dibawah ini adalah beberapa istilah yang terdapat dalam metode perhitungan emisi GRK dengan IPCC 2006 :

Hasil

Karakteristik Wilayah

Kabupaten Grobogan

Kabupaten Grobogan secara geografis terletak di provinsi Jawa Tengah dengan posisi 110º15’ BT - 111º25’ BT dan 7º LS - 7º30’ LS dengan landform

berupa daerah pegunungan kapur, perbukitan dan dataran di bagian tengahnya. Wilayahnya terletak di antara dua Pegunungan Kendeng yang membujur dari arah barat ke timur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Demak, sebelah utara dengan Kabupaten Kudus, Pati dan Blora. Sebelah timur dengan Kabupaten Blora serta sebelah selatan dengan Kabupaten Ngawi, Sragen dan Boyolali. Secara administratif terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan yang tersebar di 19 kecamatan dengan ibu kota kabupaten di Purwodadi.

FSNMS : Synthetic N fertilizer applied to manage soil

FONMS : Organic N fertilizer applied to manage soil

FSNFR : Synthetic N fertilizer applied to flooded rice

FONFR : Organic N fertilizer applied to flooded rice

FracGASF : fraction of syinthetic fertilizer N that volatilizes as NH3 and NOx

FracGASM : fraction of applied organic N fertilizer material that volatilizes as NH3 and

(33)

17

17 Kabupaten Grobogan memilki luas wilayah 197.586 km² dengan bentang dari barat ke timur sejauh 83 km, sedangkan dari utara ke selatan sejauh 37 km. Wilayahnya merupakan pegunungan kapur dan perbukitan serta dataran rendah di bagian tengahnya:

1. Daerah dataran rendah berada pada ketinggian sampai 50 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan 0o-8o meliputi 6 kecamatan yaitu Kecamatan Gubug, Tegowanu, Godong, Purwodadi, Grobogan sebelah selatan dan Wirosari sebelah selatan.

2. Daerah perbukitan berada pada ketinggian antara 50-100 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan 8o-150o meliputi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Klambu, Brati, Grobogan sebelah utara dan Wirosari sebelah utara. 3. Daerah dataran tinggi berada pada ketinggian 100-500 meter di atas permukaan

air laut dengan kelerengan lebih dari 15o, meliputi wilayah kecamatan yang berada di sebelah selatan dari wilayah Kabupaten Grobogan.

Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten yang tiang penyangga perekonomiannya berada pada sektor pertanian dan merupakan daerah yang cenderung cukup sulit mendapatkan air bersih. Hasil laporan statistik tahunan (BPS, 2010) menyebutkan bahwa luas wilayah Kabupaten Grobogan seluruhnya adalah 197.586 ha yang terdiri dari sawah seluas 64.790 ha dimana 20.278 ha diantaranya atau 1/3 adalah sawah tadah hujan, perkebunan rakyat seluas 5.190 ha, hutan nasional seluas 68.633 ha dan sisanya adalah penggunaan lainnya (pemukiman, padang gembala, serta tambak/kolam).

Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 54 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 14 Tahun 2000 dengan luas 5.445 km2 atau 10,2 % dari luas wilayah Propinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk perairan dan 30 pulau kecil (termasuk pulau berhala, 11 diantaranya belum bernama) mencapai 13.102 km2 (BPS, 2010). Disamping itu, memiliki panjang pantai sekitar 191 km atau 90,5 % dari panjang pantai Propinsi Jambi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang terletak di pantai timur Pulau Sumatera ini berbatasan langsung dengan Propinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah

hinterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO).

Kabupaten ini di sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Muaro Jambi dan Prov. Sumatera Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kab. Tanjung Jabung Barat dan Kab. Muaro Jambi dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

(34)

18

18

Data Aktivitas dan Faktor Emisi

Pengumpulan data aktivitas adalah bagian terpenting dalam melakukan kegiatan inventarisasi GRK. Data aktivitas sektor pertanian adalah satuan kegiatan manusia di bidang pertanian yang diperkirakan menimbulkan emisi GRK, seperti : jumlah dan jenis ternak, pengelolaan kotoran ternak, luasan tanam padi sawah, jenis irigasi, pertanaman di lahan kering, penggunaan pupuk, dan lain sebagainya. Data seperti ini sebagian sudah tersedia dan tercatat di dinas terkait yaitu Dinas Pertanian maupun Badan Pusat Statistik. Akan tetapi, beberapa data seperti cara pengelolaan kotoran ternak, jumlah pupuk urea atau N dalam setahun baik pada lahan sawah maupun lahan kering, dan luas penggunaan varietas padi tertentu, kebanyakan belum tercatat dengan baik.

Pada kasus jumlah pupuk N, umumnya data yang tercatat adalah realisasi pupuk musiman dari distributor terutama untuk tanaman pangan, sementara untuk perkebunan tidak tersedia. Untuk mendapatkan jumlah pupuk N dalam setahun, diperoleh dengan mengalikan luas tanam masing-masing pertanaman dengan dosis rekomendasi. Data mengenai bentuk pengelolaan kotoran ternak dan luas varietas padi yang digunakan juga tidak tercatat, oleh karena itu dilakukan survei langsung ke lapang dan wawancara dengan petugas lapang ataupun petani.

Luas panen lahan sawah dihitung dengan mengalikan luas tanam dengan masa tanamnya. Masing-masing luas tanam sawah, sudah terbagi ke dalam beberapa jenis pengairan (irigasi teknis, setengah teknis, sederhana, tadah hujan maupun pasang surut (khusus di Tanjung Jabung Timur). Luas panen sawah Kabupaten Grobogan hampir 3 kali lipat Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tabel 2.9). Lebih dari 80% luas panen Tanjung Jabung Timur adalah di lahan pasang surut dengan jenis tanah gambut. Selain luas panen sawah dan jenis pengairan, data aktivitas yang dikumpulkan juga yaitu penggunaan varietas padi. Di Kabupaten Grobogan, tahun 2006 varietas padi yang dominan dibudidayakan yaitu IR64 (57%) dan ciherang (41%) dengan 2% adalah varietas lain. Mulai tahun 2010, ciherang menjadi yang paling dominan yaitu sebesar 87%, sedangkan IR 64 hanya 7% dan varietas lain 6%. Di Tanjung Jabung Timur tahun 2006, varietas yang dominan adalah IR 42 (hampir 80%) dan 20% adalah varietas lain. Mulai tahun 2010, varietas Batanghari menjadi yang paling dominan,

Data aktivitas dan faktor emisi yang digunakan dalam perhitungan dapat dilihat pada Tabel 2.9, 2.10 dan 2.11.

Tabel 2.9 Data aktivitas sub sektor pertanian

Tahun Luas panen sawah (ha)

Pupuk N di lahan sawah (t N/th)

Pupuk N di lahan

(35)

19

19 Tabel 2.10 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Grobogan

Jenis Ternak Populasi Ternak (Ekor)

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Sapi perah 388 332 335 335 336 426

Sapi potong 105.154 105.549 137.322 137.843 160.838 212.409

Kerbau 1.937 1.206 2.476 2.545 2.536 2.581

Kuda 722 589 488 494 489 484

Kambing 99.969 111.928 105.252 104.703 115.394 111.839

Babi 215 215 125 139

Domba 15.625 16.634 15.422 14.936 18.938 29.528 Ayam Buras 940.531 1.420.824 1.204.524 1.146.639 1.115.794 985.995 Ayam ras (petelur) 36.450 42.000 42.000 52.800 52.800 40.466 Ayam Ras

(pedaging) 1.064.800 300.000 264.500 278.000 297.097 200.965 Itik 94.872 102.102 64.617 103.041 102.945 83.412 Itik 84.489 92.697 64.617 92.650 92.650 83.412

Itik Manila 10.383 9.405 10.391 10.295

Angsa 2.312 5.317 4.785 5.331 5.462 2.775

Burung Puyuh 69.608 48.377 57.173 55.483 59.233 47.596 Kelinci 10.869 12.901 12.587 15.170 15.236 12.776

Tabel 2.11 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Jenis Ternak Populasi Ternak (Ekor)

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Sapi 8.746 9.742 10.225 11.458 13.327 13.627

Kerbau 449 451 458 530 178 197

Kambing 13.497 14.444 15.142 24.080 24.156 32.378

Domba 118 99 123 118 104 115

Ayam

kampung/buras 237.136 237.942 239.798 387.270 416.146 621.988 Ayam broiler 56.980 58.360 22.480 33.050 127.931 112.161 Itik 27.737 30.186 31.460 28.303 29.744 32.860

Faktor emisi untuk perhitungan emisi GRK dari pengelolaan lahan sawah, menggunakan angka hasil berbagai penelitian mengenai emisi CH4 di Indonesia

yaitu 160,9 kg CH4/ha/musim, angka ini merupakan nilai rata-rata dari berbagai

hasil-hasil penelitian di Indonesia terkait emisi CH4 dari lahan sawah, dan sudah

digunakan dalam perhitungan emisi untuk Second National Commmunication

(Second Natcom, 2009). Selain faktor emisi, pada perhitungan emisi ini juga

(36)

20

20

2002). Kabupaten Tanjung Jabung Timur, jenis tanah sawah termasuk dalam kategori histosol yaitu tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (tanah gambut) dengan faktor koreksi sebesar 2,39 (Setyanto et al, 2002). Faktor koreksi ini diperoleh berdasarkan emisi CH4 rata-rata yang dihasilkan oleh masing-masing

jenis tanah. Sementara faktor emisi untuk emisi N2O langsung maupun tidak

langsung dan faktor emisi dari kegiatan peternakan masih menggunakan angka

default dari IPCC 2006 karena faktor emisi lokal Indonesia belum tersedia.

Tabel 2.12 Faktor emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur

Variabel Faktor Emisi Faktor Skala Faktor Koreksi

CH4 lahan sawah 160,9 kg/ha/musim*

Varietas padi IR 64 = 1*

Ciherang = 0,57* Batanghari = 2,2* IR 42 = 1,33* Rejim air Irigasi terus menerus =1

Irigasi berselang = 0,46* Tadah hujan = 0,49* Pasang-surut = 0,6**

Jenis Tanah Entisol = 1,02*

Histosol = 2,39* Emisi N2O langsung

(lahan kering) 0,01 kg N2O-N** Emisi N2O langsung

(lahan sawah) IPCC 2006 0,003 kg N2O-N** Emisi N2O (lahan sawah)

modifikasi IPCC 2006 0,297 kg/ha/musim* Emisi N2O tidak langsung 0,01 kg N2O-N**

**Default value IPCC 2006

*hasil penelitian di Indonesia (Setyanto et al 2002;2011)

Emisi GRK

Emisi GRK dari sektor pertanian di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dihitung dengan menggunakan worksheet IPCC 2006 tier 1. Data aktivitas yang digunakan berasal dari data dinas terkait di daerah yang dikombinasikan dengan data dari BPS dan beberapa dari expert judgement.

Beberapa asumsi juga digunakan dalam pembangkitan data aktivitas karena keterbatasan data. Emisi dihitung secara detail dari tahun 2006-2011 yang kemudian diproyeksikan sampai tahun 2020 sebagai gambaran BAU (business as

usual) baseline. Emisi dinyatakan dalam satuan jenis gas (Gg CH4, Gg N2O, Gg

CO2 dan Gg CO2e per tahun). Konversi ke dalam CO2-equivalen (CO2e) dengan

menggunakan nilai Global Warming Potential (GWP) yaitu 21 untuk CH4 dan

310 untuk N2O sesuai dalam IPCC Second Assesment Report ( IPCC SAR, 1996)

(37)

21

21

1. Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah

Emisi GRK mempunyai variabilitas ruang dan waktu yang sangat tinggi, terutama dari lahan pertanian. Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah dihitung

dengan mengalikan luasan lahan sawah (ha) pada tahun 2006-2011 dengan faktor emisinya. Tambahan perkalian dengan faktor skala jenis tanah dan varietas padi serta faktor koreksi pengelolaan air dilakukan untuk mendapatkan data emisi yang lebih akurat.

Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di Kabupaten Grobogan dari tahun

2006-2011 menunjukkan kecenderungan menurun dengan nilai sebesar 11,23; 11,17; 11,28; 11,28; 10,95 dan 10,51 Gg CH4/tahun (Gambar 2.1), sedangkan di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan pola yang meningkat dan menurun dengan nilai sebesar sebesar 16,52; 17,21; 17,02; 16,43; 15,09 dan 15,65 Gg CH4/tahun (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di (Gg CH4/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

2. Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea

Perhitungan emisi CO2 menggunakan data aktivitas pemakaian pupuk urea

total pada lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Faktor emisi yang digunakan adalah default dari IPCC yaitu 0,2 CO2-C/kg Urea. Data penggunaan

urea di dapat dari Dinas Pertanian.

Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea di Kabupaten Grobogan dari tahun

2006-2011 menunjukkan kecenderungan yang relatif konstan yaitu sebesar 58,1; 57,1; 58,6; 61,6; 54,4 dan 57,5 Gg CO2/tahun (Gambar 2.2), sedangkan di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan kecenderungan meningkat secara signifikan yaitu sebesar 40,6; 45,7; 44,3; 54,1; 58,1 dan 66,8 Gg CO2/tahun

(Gambar 2.2).

2006 2007 2008 2009 2010 2011

(38)

22

22

Gambar 2.2 Emisi CO2 penggunaan pupuk urea (Gg CO2/tahun):di a) Kabupaten

Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

3. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola

Input N inorganik terutama adalah dari penggunaan pupuk N baik tunggal maupun majemuk (urea, ZA, NPK). Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah

yang dikelola, melibatkan semua jenis pertanaman, yaitu padi sawah dilahan basah/irigasi dan semua pertanaman di lahan kering (palawija, hortikultura dan perkebunan). Data aktivitas yang digunakan adalah konsumsi pupuk N. Dalam metodologi IPCC 2006, besarnya emisi N2O langsung dari tanah dibedakan antara

lahan basah dan kering, hal ini dikarenakan emisi N2O dari lahan basah jauh lebih

kecil daripada emisi N2O dari lahan kering yang selalu dalam kondisi aerob. Oleh

karena itu, dalam perhitungan ini konsumsi pupuk N antar lahan sawah dipisahkan dengan konsumsi N di lahan kering. Data penggunaan pupuk N (urea, ZA, NPK) pada pertanaman tanaman pangan, hortikultura dan palawija di Kabupaten Grobogan telah tersedia, akan tetapi untuk perkebunan tidak tersedia, karena itu kemudian dibangun asumsi dengan menggunakan data luas lahan dan dosis anjuran. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, data penggunaan pupuk hanya tersedia secara global, karena itu dibangun asumsi dengan menggunakan luas lahan masing-masing pertanaman dan dosis anjuran. Faktor emisi N2O dari

lahan kering menggunakan faktor emisi default dari IPCC yaitu 0,01 kg N2O-N/kg

N, sedangkan untuk lahan sawah irigasi menggunakan nilai 0,003 kg N2O-N/kg N.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa emisi N2O langsung dari tanah yang

dikelola di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola sesuai persamaan polynomial dengan nilai sebesar 0,55; 0,61; 0,69; 0,58 dan 0,56 Gg N2O/tahun (Gambar 2.3), sedangkan di Kabupaten Tanjung Timur menunjukkan

y = 5,0792x + 33,814

2006 2007 2008 2009 2010 2011

(39)

23

23 pola yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar 0,40; 0,47; 0,45; 0,55; 0,60 dan 0,69 Gg N2O/tahun (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di (Gg N2O/tahun): a)

Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur

4. Emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola

Perhitungan emisi N2O tidak langsung, berdasarkan pada data aktivitas yang

sama dengan emisi N2O langsung, yaitu penggunaan pupuk sintetis buatan. Hanya

saja pada perhitungannya tidak membedakan penggunaan di lahan basah dan kering. Fraksi N anorganik yang tervolatilisasi menggunakan nilai standar dalam IPCC 2006 yaitu sebesar 0,1 yang berarti bahwa untuk setiap aplikasi pupuk N anorganik 100% pada tanah, hanya 1% yang tervolatilisasi (Mosier, 1999) dan faktor emisi N karena penguapan dan redeposisi adalah 0,01. Hasil perhitungan menunjukkan emisi N2O tidak langsung di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011

menunjukkan pola polinomial dengan nilai 0,07; 0,08; 0,07; 0,08; 0,07 dan 0,08 Gg N2O/tahun (Gambar 2.4). Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

menunjukkan pola meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar 0,04; 0,05; 0,05; 0,06; 0,06 dan 0,07 Gg N2O/tahun (Gambar 2.4).

y = 0,0545x + 0,3344

2006 2007 2008 2009 2010 2011

(40)

24

24

Gambar 2.4 Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola di (Gg

N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung

Jabung Timur

5. Emisi CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran ternak

Kegiatan peternakan menyumbangkan emisi GRK dari 3 sumber yaitu gas CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran serta N2O dari pengelolaan

kotoran. Komposisi jenis ternak sangat menentukan jenis emisi yang dihasilkan. Wilayah dengan jumlah ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba, dll) yang besar akan menyumbangkan emisi CH4 dari fermentasi enterik yang besar. Hal ini

masih menjadi semacam dilematik, karena seiring dengan kenaikan kebutuhan daging yang terus meningkat, pengusahaan ternak-ternak besar menjadi sebuah keharusan. Perhitungan emisi CH4 dari fermentasi enterik dengan menggunakan

data jenis dan jumlah ternak di masing-masing kabupaten, berat badan rata-rata tiap jenis ternak dan faktor emisi CH4 untuk masing-masing jenis menggunakan

angka default dalam IPCC 2006. Kotoran ternak disini adalah termasuk urin dan padatan. Faktor yang mempengaruhi pembentukan CH4 dalam hal ini adalah

jumlah kotoran yang dihasilkan dan porsi dari kotoran tersebut yang terdekomposisi secara anaerob. Jumlah kotoran yang dihasilkan, tergantung dari produksi kotoran tiap ternak dan jumlah ternak itu sendiri, dan porsi kotoran yang terdekomposisi tergantung dari cara pengelolaan kotoran.

Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi CH4 dari fermentasi enterik

dan pengelolaan kotoran ternak di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar 6,69; 6,76; 6,80; 8,63; 8,67 dan 10,05 Gg CH4/tahun (Gambar 2.5 a),

demikian juga di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 0,60; 0,66; 0,69; 0,81; 0,90 dan 0,96 Gg CH4/tahun (Gambar 2.5 b).

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar

Gambar 1.2 Skema ruang  lingkup penelitian
Tabel 2.1 Daftar data aktivitas dan sumber data
Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan sawah
Tabel 2.4 Faktor koreksi berbagai varietas padi di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melalui Program Penataan daerah Otonomi Baru, dengan kegiatan Fasilitasi Percepatan Penyelesaian Batas Wilayah Administrasi Antar Daerah, Pemerintah Kabupaten Lombok

Manusia sebagai makhluk “mulia” tidak cukup hidup hanya dengan nalurinya, karena hidupnya bukan sekedar “terlempar ke dalam jurang nasib tak tertolak”, namun harus

Peran perpustakaan sebagai penyedia ruang (space ) yang nyaman, dengan berbagai fasilitas yang diperlukan, seperti akses internet, layar LCD, printer dan scanner

There were 30 provinces participated in those program and every provinces followed water quality monitoring rule and guidance which is prepared by EMC, including

LKPJ pada dasarnya merupakan laporan yang berupa informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan

Hasil yang diperoleh peneliti pada saat observasi di SMP Negeri 1 Colomadu, menyatakan bahwa siswa kelas IX F memiliki kemampuan pemecahan masalah yang masih rendah, hal ini

Subjek penelitian adalah barang, manusia atau tempat yang bisa memberikan informasi penelitian 5. Dalam penelitian ini subjek penelitian adalah guru pengampu mata

Bahkan di suatu negara yang telah maju, terutama di dalam penggunaan alat berhitung otomatis yang modern (komputer), tidak jarang di dalam menemukan model