• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi)"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TATANIAGA BUAH JERNANG ROTAN (STUDI

KASUS: HUTAN DESA LAMBAN SIGATAL, KECAMATAN

PAUH, KABUPATEN SOROLANGUN, PROVINSI JAMBI)

BAGAS WICAKSONO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus : Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi) benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

BAGAS WICAKSONO. Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi) Dibimbing oleh ANDRIYONO KILAT ADHI.

Jernang rotan merupakan buah rotan yang berasal dari genus rotan Daemonorops. Daerah penghasil buah jernang rotan di provinsi Jambi adalah Desa Lamban Sigatal Kecamatan Pauh Kabuapaten Sorolangun. Pencari jernang berperan dalam memanen dan mengumpulkan buah jernang yang terdapat di hutan desa Lamban Sigatal dan kawasan sekitar. Perolehan hasil panen akan dijual kepada pedagang pengumpul (tauke), mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Permasalahan yang dihadapi dalam rantai tataniaga buah jernang rotan adalah ketersediaan buah yang terbatas sehingga membuat fluktuasi harga yang cukup tinggi. Hal ini tidak terlepas dari deforestasi hutan yang disebabkan konversi lahan dan illegal loging. Harga jernang rotan yang tinggi tidak dirasakan manfaatnya oleh pencari, namun sebaliknya dimana umumnya yang merasakan penerimaan lebih besar adalah para pedagang. Penelitiaan ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi tataniaga buah jernang rotan berdasarkan analisis margin tataniaga, farmer’s sharedan rasio keuntungan terhadap biaya.

Kata kunci: deforestasi hutan, efisiensi rantai tataniaga, jernang, farmer’s share

ABSTRACT

BAGAS WICAKSONO .Analysis of business administration Jernang Rattan Fruit (Case Study: Lamban Sigatal Forest Village, District Pauh, Sorolangun District, Province Jambi) Supervised by ANDRIYONO KILAT ADHI.

Jernang rattan cane is a fruit which comes from the rattan Daemonorops genus. Jernang rattan fruit producing area in the Jambi province is Lamban Sigtal village, Pauh district, Sorolangun regency. Jernang Searcher has role in harvesting and collecting fruit jernang contained in Lamban Sigatal village forest and surrounding area. The result of the crop will be sold to a collector (tauke), start from the village level, district to regency. The Problem faced in trading system chain of jernang rattan fruit is fruit availability which limited so make a high price fluctuations. It has relation with deforestation which caused by illegal logging and land conversion. High price of Jernang rattan does not give the benefit for searcher, but instead where the general sense is a greater acceptance of the traders. The purpose of this study is to analyze the efficiency trading system level of jernang rattan fruit based on margin trading system analysis, the farmer's share and the ratio of benefit to cost.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS TATANIAGA BUAH JERNANG ROTAN (STUDI

KASUS: HUTAN DESA LAMBAN SIGATAL, KECAMATAN

PAUH, KABUPATEN SOROLANGUN, PROVINSI JAMBI)

BAGAS WICAKSONO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi)

Nama : Bagas Wicaksono NIM : H34100051

Disetujui oleh

Dr Ir Andriyono Kilat Adhi Dosen Pembimbing

Diketahui oleh,

Dr Ir Dwi Rachmina. MSi Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah pemasaran, dengan judul Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolongun, Provinsi Jambi).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Andriyono Kilat Adhi selaku dosen pembimbing. Penghargaan penulis juga ditujukkan kepada International Centre For Research in Agroforestry (ICRAF) atas kesempatan yang diberikan berupa bantuan dana penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. Suyanto dan Ibu Dr. Ratna Winandi Asmarantaka atas arahan dan bimbingannya. Disamping itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak H. Luqman Hakim selaku Kepada Desa Lamban Sigatal, Hamdi serta Yayasan Gita Buana yang telah memberikan bantuan selama penulis berada di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman Agribisnis 47 (Suhartini, Fairus Maulida, Novita Permatasari, Andina Aditya, Resti Yanuar Akhir, Luqman addinirwan, Ivan Noor Setyo, Yanuar Yoga Kartika, dan Miken Desvi), serta Novia Trisnawulan yang senantiasa memberikan doa serta dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Gambaran Umum Jernang Rotan 5

Deforestasi Hutan 7

KERANGKA PEMIKIRAN 8

Kerangka Pemikiran Teoritis 8

Kerangka Pemikiran Operasional 13

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Jenis dan Sumber Data 15

Metode Analisis 15

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 17

Karakteristik Pencari Buah Jernang Rotan Responden 19

Karakteristik Pedagang Pengumpul (Tauke) 21

Gambaran Umum Usahatani Jernang 21

HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) 25

Analisis Saluran dan Fungsi Tataniaga 28

Analisis Stuktur, Perilaku dan Keragaan Pasar 33

Analisis Margin dan Efisiensi Pemasaran 35

Farmer’s Share Antara Pencari Buah Jernang Rotan Dengan Tauke Kabupaten 37

Rasio Keuntungan terhadap biaya 37

(10)

SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 44

(11)

DAFTAR TABEL

1 Prediksi hasil perkebunan getah (lulun) tahun 2009 2

2 Karakteristik struktur pasar 10

3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin 18

4 Tingkat pendidikan penduduk 18

5 Jenis tanaman yang ditanam pada rumah tangga 19

6 Jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan 19

7 Karakteristik pencari responden berdasarkan usia 20 8 Karakteristik pencari responden berdasarkan pendidikan 20 9 Karakteristik pencari responden berdasarkan pengalaman pencari

responden 20

10 Perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan upah rata-rata buruh sadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013 26 11 Perbandingan return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan

tahun 2013 27

12 Jumlah Produksi Jernang Pada Panen Besar (Juli-Agustus) dan Panen

Sela (November-Desember) 2013 30

13 Fungsi yang dijalankan pada masing-masing lembaga tataniaga 31

14 Margin tataniaga jernang rotan 35

15 Farmer’s share 37

16 Rasio Keuntungan terhadap biaya 38

17 Efisiensi pemasaran 39

DAFTAR GAMBAR

1 Margin tataniaga 11

2 Kerangka Operasional 14

3 Tahap pembersihan benih 21

4 Tahap pemberian zat perangsang tumbuh 22

5 Perendaman biji 22

6 Bibit yang telah dipindahkan ke polybag 22

7 Pemeliharan bibit yang telah dipindahkan ke lahan tanam 22 8 Grafik perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan

penyadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013 26 9 Perbandingan Return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan

tahun 2013 27

10 Saluran tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produksi pencari jernang rotan Desa Lamban Sigatal 43 2 harga rata-rata hasil produksi jernang rotan tahun 2013 44

3 Kisaran kebutuhan pencari jernang 45

4 Dokumentasi 46

5 Kuesioner pencari jernang rotan 47

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kondisi kehutanan Indonesia hingga saat ini terus mengalami kerusakan. Salah satu faktor yang yang mengakibatkan kondisi tersebut adalah penyusutan tutupan hutan (deforestasi) akibat pembalakan liar (illegal logging), perambahan dan berbagai alih fungsi hutan lainnya. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementrian Kehutanan mencatat bahwa deforestasi di Indonesia mencapai 1.17 juta hektar per tahun. Dari data laju tersebut, penebangan liar memberikan kontribusi yang signifikan bagi terjadinya deforestasi secara nasional. Dalam periode waktu 2004-2009, diperkirakan penebangan kayu secara ilegal mencapai 23.32 juta meter kubik per tahun dan kerugian negara mencapai 27 trilyun rupiah per tahun.

Pada dasarnya deforestasi terjadi sebagai akibat pemenuhan kebutuhan manusia. Sektor industri hasil hutan skala besar dalam memenuhi kebutuhan pasar tidak bisa terlepas dari kegiatan penebangan hutan, karena kebutuhan bahan baku yang diharapkan tersedia setiap saat dan dalam jumlah besar. Bagi pihak terkait seperti pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan tersebut mendapatkan keuntungan ekonomi yakni mendapatkan pajak dari kompensasi pemanfatan hasil hutan. Namun disisi lain, bagi masyarakat pedalaman yang telah menempati kawasan hutan secara turun-temurun memberikan dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidup dan adat-istiadat setempat, ekonomi masyarakat, serta terganggunya habitat flora dan fauna pada kawasan hutan tersebut.

Dalam upaya menekan laju deforestasi di Indonesia, Kemenhut menerbitkan SK Menhut dalam Renstra tahun 2010 hingga 2014 yang memuat Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Desa (HD) sebagai solusi dalam pengelolaan hutan negara secara lestari. Pendekatan Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa tertuang dalam UU tahun 1999 pasal 5 ayat 41 tentang Kehutanan. Penyelenggaraan hutan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Produk hasil hutan terbagi menjadi dua jenis, yaitu hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Hasil hutan bukan kayu diantaranya madu, tanaman obat, dammar, hewan buruan, dan buah jernang rotan.

Salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HBBK) yang belum banyak dimanfaatkan adalah buah jernang rotan. Buah jernang rotan berbeda dengan rotan pada umumnya, baik dari segi bentuk tanaman dan pemanfaatannya. Pada buah jernang rotan, hanya hasil getah pada kulit buah yang disebut lulun meson atau getah (lulun) yang dapat dimanfaatkan sedangkan pada bagian batang maupun akar hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan. Jernang rotan diketahui terdapat di tiga negara dunia yaitu Indonesia, Malaysia dan India, tetapi penghasil jernang terbesar berada di Indonesia, khususnya di daerah Jambi, Aceh dan Kalimantan (Arifin 2005).

(14)

2

27 ton per tahun (Soemarna 2009). Menurut Soemarna (2009), getah jernang memberikan devisa negara sebesar US$ 10 125 000 per tahun.

Penjualan getah (lulun) dalam perkembangannya mengalami perubahan kualitas. Periode tahun 1990-1997 getah (lulun) yang dijual kualitasnya sangat baik, karena hasil ekstrasi jernang menjadi getah (lulun) tidak menggunakan bahan campuran seperti damar, serbuk kayu maupun biji buah jernang. Akan tetapi sejak tahun 1997, terjadi kebakaran besar di provinsi Jambi termasuk wilayah Lamban Sigatal sehingga jumlah tanaman jernang mengalami penurunan jumlah populasi yang signifikan. Periode tahun 2000-2010, kualitas penjualan mengalami perubahan yaitu kualitas 1 yang dianggap paling baik dan kualitas 2 yang dianggap kurang baik, dimana terdapat perbedaan dalam segi kemurnian getah (lulun) (Ardi 2011).

Harga jernang di desa Sungai Telang Kecamatan Rantau Pandan di Provinsi Jambi dapat mencapai sebesar Rp 70 000 -75 000/Kg. Tahun 2007 melalui website Health Vision diperoleh informasi harga jual jernang mencapai Rp 1 200 000/Kg (Aliadi danDjatmiko 1998).

Sejak tahun 2012 hingga kini penjualan buah jernang rotan terbagi kedalam kualitas dan bentuk yaitu getah (lulun) meson, getah (lulun) campuran, dan buah jernang, hal ini tidak terlepas dari segi permintaan yang semakin besar namun jumlah ketersediaan getah (lulun) yang terbatas. Adapun di bawah ini disajikan prediksi hasil produksi perkebunan getah (lulun) buah jernang rotan per hektar. Tabel 1 Prediksi hasil perkebunan getah (lulun) tahun 2009

Umur

Sumber : Yayasan Gita Buana (2009)

Dalam satu tahun, buah jernang rotan dipanen 2 kali yaitu panen raya pada bulan Juli hingga Agustus dan panen selang pada bulan Desember. Pada panen raya getah (lulun) yang diproduksi mencapai 30 kg saat umur tanaman 6 – 11 tahun dan terus meningkat tiga kali lipat seiring bertambahnya umur tanaman, sedangkan panen selang hanya menghasilkan setengah jumlah dari panen raya (YGB, 2009).

(15)

3 Pada sisi lain, sistem tataniaga jernang sejak dahulu menimbulkan permasalahan yang tak kunjung usai, yaitu sistem tataniaga yang masih tertutup. Pedagang yang terlibat, enggan memberikan informasi berkaitan seputar alur transaksi penjualan, harga, maupun jumlah produksi penjualan. Hal ini diduga karena sistem tataniaga jernang belum sepenuhnya diatur oleh pemerintah sedangkan jernang rotan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Disamping itu, adanya oknum yang disinyalir mengeluarkan pernyataan bahwa perdagangan jernang merupakan perbuatan ilegal yang dapat menimbulkan konsekuensi kesalahan dimata hukum (YGB, 2008).

Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melihat bagaimana rantai tataniaga buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diterima dari pemasaran buah jernang rotan. Dalam peranan meningkatkan kesejahteraan pencari buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal, diperlukan analisis efisiensi tataniaga buah jernang rotan, baik dimulai dari tingkat pencari hingga pedagang besar.

Perumusan Masalah

Sistem tataniaga agribisnis yang efisien berpengaruh pada penerimaan tingkat pendapatan yang lebih baik, begitu juga sebaliknya dimana sistem tataniaga yang tidak efisien akan mengakibatkan terciptanya margin tataniaga yang cukup besar sehingga menimbulkan kesenjangan harga antar lembaga tataniaga. Disamping itu, dalam pemanfaatan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia seringkali tidak diimbangi dengan menjaga kelestarian hutan seperti pembukaan area hutan untuk perkebunan dengan melakukan penebangan liar. Hutan Desa Lamban Sigatal berperan berperan penting dalam menunjang perekonomian masyarakat desa dimana jernang rotan sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi sehingga memberikan pendapatan bagi masyarakat desa. Untuk mendapatkan jernang rotan masyarakat desa harus mencari di hutan desa ataupun wilayah sekitar yang saat ini sulit ditemukan. Harga yang diterima pencari jernang rotan sangat penting untuk keberlanjutan kegiatan pencarian. Selain harga, produksi berpengaruh pada kegiatan pencarian jernang, dimana produksi akan mempengaruhi tingkat pendapatan pencari. Semakin banyak produksi yang dihasilkan oleh pencari, maka semakin banyak pendapatan yang diterima pencari.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi penyebab deforestasi hutan dan upaya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa jernang rotan serta mengetahui analisis return to labor kegiatan pencarian jernang rotan di Desa Lamban Sigatal? 2. Bagaimana karakteristik, struktur, dan perilaku pasar buah jernang rotan

(16)

4

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efisiensi sistem tataniaga buah jernang rotan yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hutan desa. Disamping itu juga untuk mengetahui pemanfaatan HHBK berupa jernang rotan di Desa Lamban Sigatal. Adapun tujuan umum yang hendak dicapai yaitu :

1. Mengidentifikasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagai upaya menanggulangi deforestasi hutan Desa Lamban Sigatal serta mengetahui analasis return to labor kegiatan pencari jernang rotan.

2. Mengidentifikasi fungsi-fungsi, struktur dan perilaku pasar serta mengkaji efisiensi tataniaga buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan pendekatan margin tataniaga, farmer’s share, rasio biaya dan keuntungan.

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholder yang berkepentingan.

2. Sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga bagi masyarakat pembudidaya buah jernang rotan sehingga kesejahteraan meningkat.

3. Bahan masukan dalam merumuskan kebijakan pasar yang mendukung pengembangan buah jernang rotan bagi pemerintah daerah.

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Jernang Rotan

Jernang rotan dimanfaatkan dari pengambilan resin yang merupakan hasil sekresi buah jernang rotan (Daemonorops draco BL.). Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, di mana untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi. Menurut Risna (2006), getah (lulun) dari buah jernang rotan berwarna merah bata dan berbentuk serbuk (seperti tepung) ketika diekstrasi kemudian akan mengeras (membatu) sekitar 30 – 60 menit jika dimasukkan kedalam plastik sehingga menjadi padatan. Komponen utama getah (lulun) adalah draco getah (lulun) olanol (56 persen ), draoresen (11 persen ), drao-alban (2.5persen ), asam benzoat dan asam bensolaktat. Kegunaan jernang rotan adalah sebagai bahan pewarna vernis, keramik, marmer, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas, cat dan sebagainya. Selain itu juga digunakan sebagai bahan obat-obatan seperti obat diare, disentri, obat luka, serbuk untuk gigi, asma, sipilis, berkhasiat aphrodisiac (meningkatkan libido) serta banyak kegunaan lainnya (Sumadiwangsa, 1973). Masyarakat sekitar hutan memanen jernang dari hutan alam, dengan cara berburu secara berkelompok maupun perorangan. Musim berburu jernang dilakukan pada bulan September–Desember (Elvidayanty dan Erwin 2006).

Untuk mendapatkan resin jernang dilakukan ekstraksi buah rotan jernang. Teknik ekstraksi buah jernang rotanmenurut Januminro (2000) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi atau pengolahan basah dan kering. Ekstraksi basah menggunakan media air sedangkan ekstraksi kering tanpa menggunakan air. Ekstraksi ini biasanya dilakukan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan seperti suku Anak Dalam, Melayu Jambi, Talang Mamak dan Melayu Tua. Pada mulanya jernang digunakan untuk keperluan mereka sendiri, tetapi akhir-akhir ini banyak diperjualbelikan di pasaran dengan harga cukup mahal yaitu Rp 700 000 sampai Rp 1 000 000/kg (Waluyo 2008).

Menurut Yayasan Gita Buana (2008) membudidayakan jernang rotan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pencangkokan dan biji jernang. Tumbuhan rotan di Indonesia tumbuh di hutan dataran rendah sampai ke daerah pegunungan yaitu antara 0 sampai 2 900 meter diatas permukaan laut. Menyenangi habitat dengan curah hujan antara 2 000 sampai 4 000 mm per tahun, untuk marga Daemonorops lebih banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian antara 800 sampai 1 500 meter diatas permukaan laut (Kalima 1996 dalam Sumarna 2004).

(18)

6

Hasil Penelitian YGB (2008) menunjukkan harga transaksi jernang yang terendah adalah Rp 320 000/Kg yakni harga yang dibayarkan oleh Pedagang Antara I kepada pencari pengolah jernang pada saluran tataniaga 3 dan harga tertinggi adalah Rp 490 000/Kg yakni harga jual jernang oleh petani pengolah langsung kepada pedagang akhir jernang. Harga tertinggi yang diterima petani pengolah jernang dibayarkan oleh pedagang besar/pedagang akhir produk pada Saluran tataniaga 1 dimana pedagang besar/pedagang akhir jernang membeli jernang kepada petani pengolah secara langsung. Rata-rata volume penjualan jernang oleh pedagang antara I sebanyak 25 Kg/Bulan dan oleh pedagang antara II sebanyak 50 Kg/Bulan. Sementara di sisi lain, rata-rata volume penjualan jernang oleh pedagang besar sebesar 150 Kg/Bulan, bahkan ada salah seorang pedagang akhir produk yang menjual jernang mencapai 1 200 Kg/Bulan.

Margin tataniaga jernang melalui dua saluran tataniaga yang melibatkan pedagang perantara bervariasi dari Rp125 000 per kilogram pada saluran tataniaga 2 hingga Rp 160 000 per kilogram pada saluran tataniaga 3. Margin tataniaga jernang pada saluran tataniaga 2 sebesar 26.32 persen dari harga pedagang akhir dan 33.33 persen dari harga pedagang akhir pada saluran tataniaga 3. Total biaya tataniaga jernang yang dikeluarkan oleh pedagang perantara berkisar antara Rp 25 000 pada saluran 2 hingga Rp 30 000 per kilogram pada saluran 3 atau 0.20 persen hingga 0.18 persen dari total margin tataniaga pada masing masing saluran. Perbandingan biaya dan margin tataniaga jernang hampir sama dengan perbandingan biaya dan margin pada tataniaga karet di Provinsi Jambi sebesar 0.10 persen dan 0.25 persen (Napitupulu et al, 2006). Sistem tataniaga jernang di Provinsi Jambi mampu memberikan keuntungan kepada pedagang perantara berkisar antara 4 hingga 4.33 kali biaya yang dikeluarkannya. Margin keuntungan pedagang perantara ini relatif kecil dibanding dengan tataniaga karet sebesar 38 hingga 52 kali biaya yang dikeluarkan (Napitupulu et a, 2006). Kondisi ini berbeda karena dalam tataniaga karet karena harga karet di tingkat petani produsen dapat dikatakan sepenuhnya berada dibawah kontrol pedagang perantara karena keterikatan petani dengan pedagang.

(19)

7 Dari aturan-aturan di atas dapat disimpulkan bahwa aturan mengenai pemanfaatan komoditi khususnya jernang rotan pada kawasan hutan belum dinyatakan secara eksplisit. Kondisi ini dapat berakibat pada situasi perdagangan jernang yang sampai saat ini masih sangat terselubung. Fakta lapangan juga menunjukkan bahwa petani pengolah jernang merasa tidak leluasa membawa komoditi jernang untuk dijual kepada pedagang antara karena adanya informasi bahwa perdagangan jernang yang dilakukan saat ini adalah illegal. Di bidang ekspor, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor, juga tidak juga tidak mencantumkan komoditi jernang secara eksplisit sebagai objek pajak. Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa perdagangan jernang sebagai komoditi ekspor yang diekspor ke berbagai negara tujuan ekspor sering diindikasikan dengan perdagangan ilegal (YGB, 2008).

Deforestasi Hutan

Peraturan perundang‑undangan mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan secara permanen dari kawasan berhutan menjadi tidak berhutan karena kegiatan manusia (Menhut 2009). Menurut definisi tata guna lahan yang digunakan oleh FAO dan diterimaoleh pemerintah, lahan hutan yang telah ditebang, bahkan ditebang habis, tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau ditanami kembali. Deforestasi dilaporkan hanya setelah lahan dikonversi secara permanen untuk kepentingan lain yang bukan hutan. Namun, citra penginderaan jauh digunakan dalam laporan ini untuk menentukan tutupan lahan(ada atau tidak adanya hutan) selama ini tidak memberikanperbedaan seperti ini dan lahan yang ditebang habis telahdilaporkan sebagai kawasan bukan hutan atau kawasan yang dibalak (FAO, 1998).

Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, tentang pemanfaatan hutan desa. Hutan desa adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa, untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Sebagaimana diketahui, tak sedikit desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Sudah selayaknya desa-desa semacam ini mendapatkan akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya, demi kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai area kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang :

 belum dibebani hak dan pengelolaan atau izin pemanfaatan  berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan

(20)

8

Dalam hal ini hak yang dapat diberikan adalah hak pemanfaatan Hutan Desa bukan hak milik dengan status tetap di hutan negara.

Prinsip dasar dari Hutan Desa adalah untuk membuka akses bagi desa-desa tertentu, tepatnya desa hutan, terhadap hutan-hutan negara yang masuk dalam wilayahnya.

Penelitian ini memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian sebelumnya. Persamaan yang dapat diketahui yaitu sama-sama menganalisis sistem tataniaga seperti halnya YGB (2008). Persamaan lainnya terletak pada pendekatan analaisis yang digunakan yaitu struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada tujuan penelitian yang berhubungan dengan topik kehutanan dimana menyangkut deforestasi hutan kaitannya terhadap sistem tataniaga jernang rotan. Selain itu terdapat juga perbedaan dalam metode penelitian yang digunakan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep saluran dan lembaga tataniaga, konsep fungsi tataniaga, konsep struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan tataniaga serta konsep efisiensi tataniaga yang terdiri dari biaya dan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya, serta analisis return to labor.

Pengertian Sistem Tataniaga

Tataniaga adalah suatu kegiatan mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan.

Pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah:

1. Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani produsen (usahatani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga menjembatani jarak antara petani produsen dengan konsumen akhir (Kohls dan Uhl 1985).

(21)

9 suatu perusahaan untuk perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk atau jasa untuk memuaskan konsumen.

Saluran dan Lembaga Tataniaga

Proses penyampaian produk pertanian dari produsen hingga ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Menurut Adnany (2008), Hermansyah (2008), dan Siregar (2010) lembaga tataniaga yang terlibat di dalam proses tataniaga produk pertanian diantaranya pedagang pengumpul, pedagang besar lokal dan luar daerah, pedagang pengecer lokal dan luar daerah. Sembiring (2010) menyatakan bahwa terdapat juga lembaga tataniaga seperti pedagang pengolah dalam saluran tataniaga produk pertanian. Saluran ini disesuaikan dengan kegiatan pemasaran di lokasi penelitian. Saluran tataniaga yang terbentuk bervariasi dan tentunya dipengaruhi oleh daerah tujuan pemasaran yang cukup luas.

Fungsi Tataniaga

Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa serangkaian fungsi yang dipergunakan dalam menggerakan input dari titik produsen sampai konsumen akhir terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi tataniaga tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan), sedangkan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh kelompok perusahaan atau individu yang disebut sebagai lembaga tataniaga. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan fungsi-fungsi tataniaga yang ada sebagai berikut:

1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang/jasa yang dipasarkan, meliputi kegiatan pembelian dan kegiatan penjualan.

2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang dan jasa yang menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu, meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan.

3. Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang berhubungan dengan kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen, meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembayaran dan fungsi informasi pasar.

Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta bentuk usahanya yaitu:

Berdasarkan fungsi yang dilakukan :

 Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya.

 Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan.

 Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga seperti informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa dan lain-lain.

 Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang :

(22)

10

 Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain.

 Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti lembaga pengangkutan pengolahan dan perkreditan. Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar :

 Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras, pengecer rokok dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolistis seperti pedagang bibit dan benih.

 Lembaga tataniaga oligopolis, sepeti importir cengkeh dan lain-lain.

 Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan pos dan giro, dan lain-lain.

Berdasarkan bentuk usahanya :

Berdasarkan hukum seperti perseroan terbatas, firma, dan koperasi.

Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan sebagainya.

Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar

Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Dalam struktur pasar, pasar dikelompokkan berdasarkan jenis yang berkorelasi dengan pembeli dan penjual yang mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar menurut Asmarantaka (2009).

Tabel 2 Karakteristik struktur pasar

Banyak Banyak Homogen Sedikit Rendah Persaingan Murni

Persaingan Murni Banyak Banyak Diferensiasi Sedikit Tinggi Persaingan

Monopolistik

Persaingan Monopolistik Sedikit Sedikit Homogen Banyak Tinggi Oligopoli

Murni

Oligopsoni Murni Sedikit Sedikit Diferensiasi Banyak Tinggi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni Diferensiasi Satu Satu Unik Banyak Tinggi Monopoli Monopsoni

Sumber : Hammond dan Dahl (1977)

(23)

11 mendirikan saluran informasi yang efektif; (4) System for adapting to internal and external change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan bertahan di pasar.

Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian, penjualan penentuan harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku tataniaga sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien. Hubungan yang terjadi pada SCP merupakan pengaruh struktur terhadap perilaku dimana perusahaan yang memiliki kekuatan pasar akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga di atas harga kompetitif.

Keragaan pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) adalah nilai akhir yang diperoleh sebagai akibat dari penyesuaian pasar yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Keragaan pasar timbul akibat adanya perilaku pasar dan tindakan yang tercermin dalam aktivitas pemasaran melalui beberapa variabel ekonomi, mulai dari biaya, harga, dan kapasitas output.

Margin Tataniaga

Margin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian margin tataniaga adalah M = Pr - Pf. Rendahnya nilai margin tataniaga tidak selalu mencerminkan bahwa suatu sistem tataniaga dinilai lebih efisien. Begitu juga sebaliknya, ketika nilai margin tataniaga tinggi sebagai akibat adanya pengolahan dan penanganan produk lebih lanjut dan berdampak pada peningkatan kepuasan konsumen maka tingginya margin tataniaga mengindikasikan sistem tataniaga tersebut berlangsung secara efisien. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.

(24)

12

Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Tingginya margin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran antara lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus 1985).

Menrurut Kohls dan Uhl (2002), terdapat dua hal penting dalam memperbaiki efisiensi tataniaga yaitu transportasi dan pencegahan kehilangan (Preventting loss). Transportasi memiliki peranan yang penting dalam menyalurkan jernang ke tangan konsumen. Umumnya transportasi yang digunakan untuk pengangkutan jernang rotan adalah sepeda motor dan mobil pick up.

Famer’s Share

Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima pencari jernang rotan (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir yang biasanya diukur dalam bentuk persentase. Farmer’s share merupakan rasio antara harga di tingkat pencari terhadap harga di tingkat retail (Hudson 2007). Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa besarnya nilai farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan, biaya transportasi, keawetan produk dan jumlah produk.

Farmer’s share merupakan alat analisis yang digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan pencari jernang rotan. Margin atau biaya tataniaga biasanya dibebankan kepada pencari dan konsumen melalui penetapan harga di tingkat petani yang rendah dan harga di tingkat konsumen yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai margin tataniaga. Semakin tinggi nilai margin tataniaga menunjukkan semakin kecil bagian yang diterima pencari jernang rotan dalam melaksanakan suatu aktivitas tataniaga. Farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa tataniaga berjalan efisisen. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga parantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga

Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga, maka secara teknis sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus 1985).

Efisiensi Tataniaga

(25)

13 produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input.

Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis dalam Asmarantaka (2009) yaitu:

1. Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi atau keuntungan dapat dilakukan melalui tiga kondisi menurut Kohls dan Uhl (2002) yaitu:

a. Menurunkan biaya tanpa menurunkan kepuasan konsumen b. Meningkatkan kepuasan konsumen tan pa meningkatkan biaya c. Meningkatkan kepuasan konsumen dengan peningkatan biaya

dimana tambahan nilai output lebih besar dari tambahan nilai input. 2. Efisiensi harga menekankan kemampuan sistem tataniaga dalam

mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen serta memaksimumkan output ekonomi.

Konsep Return to Labor

Imbalan bagi tenaga kerja dihitung berdasarkan nilai total produksi atau penerimaan dari kegiatan pencarian dikurangi dengan semua biaya produksi kecuali biaya tenaga kerja (Hidayat, 2013).

Sebagai pemilik tenaga kerja yang telah dicurahkan dalam kegiatan pencarian jernang rotan, pencari seyogyanya menerima upah sekurang-kurangnya sama besarnya dengan upah seandainya pencari tadi bekerja sebagai buruh perkebunan karet pada perusahaan setempat. Jika imbalan bagi tenaga kerja dan modal lebih tinggi daripada biaya imbangannya, berarti kegiatan pencarian jernang rotan secara ekonomis menguntungkan karena mampu memberikan imbalan yang wajar bagi faktor-faktor produksi yang telah dipergunakan dalam menyelenggarakan kegiatan pencarian tersebut. Sementara itu apabila imbalan bagi faktor-faktor produksi tersebut lebih rendah dari biaya imbangannya, berarti kegiatan pencarian tersebut secara ekonomis merugikan (Kamiliah W 2009).

Jika keuntungan merupakan keberhasilan dalam kegiatan pencarian jernang rotan secara menyeluruh, maka untuk mengukur keberhasilan kegiatan pencarian secara parsial (per bagian) perlu dihitung imbalan bagi faktor-faktor produksi yaitu imbalan bagi tenaga kerja (return to labor) (Kamiliah W 2009).

Kerangka Pemikiran Operasional

(26)

14

dijual kepada pedagang pengumpul desa atau kecamatan diikuti alur pemasarannya hingga tingkat pedagang kabupaten. Tentunya, terdapat perbedaan saluran pemasaran jernang rotan hingga tingkat pedagang kabupaten. Perbedaan tersebut dapat dianalisis menggunakan analisis pemasaran yang mengidentifikasi saluran, fungsi, margin, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Untuk menghitung efisiensi pemasaran yang telah dilakukan oleh masing-masing saluran, perlu diidentifikasi terlebih dahulu lembaga-lembaga yang terlibat dalam setiap saluran, fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran tersebut dan biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran terkait untuk melakukan fungsi pemasaran. Efisiensi pemasaran dapat dihitung menggunakan perhitungan margin pemasaran dan rasio profit terhadap biaya. Untuk memperoleh hubungan pemanfataan hutan desa dengan sistem tataniaga jernang, digunakan analisis return to labor yang mengidentifikasi tingkat pendapatan upah pencari dalam kegiatan pencarian selama ini telah telah dirasa sudah cukup baik atau belum.

Deforestasi Hutan

Promosi Hasil Hutan Bukan Kayu

Pemanfaatan Hutan Desa Lamban Sigatal

 Bagaimana sistem tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal?

 Apakah sistem tataniaga atau pemasaran tersebut sudah efisien?

 Bagaimana korelasi antara peningkatan pendapatan pencarian dengan upaya melestarikan hutan desa?

Gambaran tataniaga getah jernang

Analisis Kuantitatif 1. Margin Tataniaga 2. Farmer’s Share

3. Risiko keuntungan dan biaya

Analisis Kualitatif

1. Saluran tataniaga dan lembaga tataniaga

2. Fungsi-fungsi tataniaga 3. Struktur Pasar

4. Perilaku Pasar

Rekomendasi solusi kepada pembudidaya serta lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat pada sistem tataniaga getah jernang di Desa Lamban Sigatal, Kecamatan

Pauh, Kabupaten Soolangun, Provinsi Jambi

(27)

15

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2014 di Desa Lamban Sigatal, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Pemilihan Desa Lamban Sigatal sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa desa tersebut merupakan salah satu sentra produksi buah jernang rotan di Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun. Pemilihan responden dilokasi penelitian dengan megikuti alur tataniaga berdasarkan informasi dari pencari buah jenang otan dan lembaga tataniaga menggunakan metode snowball sampling.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung serta melakukan wawancara kepada pencari buah jernang rotan dan lembaga-lembaga tataniaga buah jernang rotan yang terlibat dengan menggunakan kuesioner.

Data sekunder diperoleh melalui literatur studi pustaka yang mendukung penelitian ini. Data-data tersebut bersumber dari laporan penelitian, buku teks, jurnal, dan data-data yang berasal dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Provinsi Jambi serta Perpustakaan LSI IPB.

Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan dua kelompok responden, yaitu pencari dan pembudidaya (produsen) serta pedagang (lembaga pemasaran). Penarikan responden untuk pencari dan pembudidaya dilakukan dengan teknik purposive sampling. Hal ini dilakukan dengan cara memilih pencari dan pembudidaya yang menggunakan saluran tataniaga yang berbeda. Metode pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan panduan kuesioner kepada para responden. Pencari buah jernang rotan yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ditentukan dengan sengaja (purposive) sebanyak 15 orang pencari aktif dimana termasuk 1 orang juga merupakan pembudidaya jernang. Wawancara dilakukan dengan cara mendatangi pencari dan petani langsung ke tempat tinggal mereka hingga ke ladang, karena pada saat penelitian dilakukan sebagian besar responden sedang menjaga hasil panen padi di ladang. Data yang digunakan merupakan data dari aktivitas penjualan buah jernang rotan selama bulan agustus hingga desember 2013. Selain aktivitas pengambilan data melalui wawancara, juga dilakukan pengamatan terhadap aktivitas budidaya, panen dan pascapanen yang dilakukan oleh pencari.

(28)

16

berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya yaitu pencari buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan melakukan penelusuran saluran tataniaga hingga ke konsumen akhir. Berdasarkan hasil penelusuran dari 15 pencari jernang, diperoleh sabanyak 4 pedagang yang terdiri dari 2 pedagang pengumpul desa (tauke desa), 1 pedagang pengumpul kecamatan, dan 1 pedagang pengumpul kabupaten.

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga tataniaga, dan fungsi tataniaga, serta struktur dan perilaku pasar melalui wawancara dan kuesioner. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif. Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengolahan data analisis kuantitatif menggunakan kalkulator dan program microsoft excel.

Metode analisis ini menggambarkan struktur pasar dan tingkah laku pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga. Untuk mengetahui struktur pasar buah jernang rotan dapat dilihat berdasarkan jumlah lembaga tataniaga, mudah tidaknya memasuki pasar, diferensiasi produk, dan informasi pasar. Untuk mengetahui tingkah laku pasar dapat dilakukan dengan mengamati transaksi penjualan dan pembelian melalui sistem penentuan dan pembayaran harga, dan kerjasama diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat.

Keragaan pasar buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dianalisis menggunakan margin pemasaran, farmer’s share dan analisi rasio keuntungan terhadap biaya.

Margin tataniaga merupakan perbedaan harga ditingkat produsen (Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr), dengan demikian margin tataniaga adalah MT=Pr-Pf. Ananlisis margin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga buah jernang rotan. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), perhitungan margin tataniaga secara matematis dapat dilihat sebagai berikut :

MT = Pr – Pf= biaya-biaya + π lembaga = ΣMi

Keterangan :

MT : margin total,

Pr : harga di tingkat konsumen akhir, Pf : harga di tingkat petani produsen,

π lembaga :profit lembaga pemasaran akibat adanya sistem pemasaran, Mi : margin pemasaran di tingkat lembaga ke-i, dimana i=1,2,3,...,n

Selain menggunakan perhitungan margin, efisiensi dapat juga dihitung dihitung menggunakan rumus ⁄ atau profit dibagi dengan biaya. Dengan menghitung margin dan rasio profit terhadap biaya, maka saluran pemasaran buah jernang rotan dapat diketahui apakah sudah efisien atau belum efisien.

Farmer’s share =

x 100%

Keterangan :

Pr : harga di tingkat ritel

(29)

17 Tataniaga yang efisien dapat juga dilihat melalui sebaran nilai rasio terhadap biaya yang merata pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio Keuntungan dan Biaya =

Keterangan:

Keuntungan ke-i : Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Buah) Biaya ke-i : Biaya lembaga tataniaga (Rp/Buah)

Apabila π/c lebih dari nol (π/c > 0), maka usaha tersebut efisien, dan apabila π/c kurang dari nol (π/c < 0), maka usaha tersebut tidak efisien.

Return to Labor dan Return to Capital

Perhitungan return to labor merupakan patokan yang baik untuk menilai penampilan usahatani (Soekartawi, 1986). Jika hasil return to labor lebih tinggi daripada upah rata-rata maka keputusan petani responden sudah tepat untuk mengusahakan sayuran daripada menjadi buruh tani. Adapun rumus return to labor adalah:

Return to labor =

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Berdasarkan data monografi desa, wilayah desa Lamban Sigatal berbatasan langsung dengan empat desa yaitu :

1. Sebelah Utara : Desa Pamusiran

2. Sebelah Selatan : Desa Seko Besar (Trans Lubuk Napal) 3. Sebelah Barat : Desa Lubuk Napal

4. Sebelah Timur : Desa Sepintun

Topografi Desa terletak pada ketinggian 50-150 meter dpl. Suhu harian rata-rata diketahui mencapai 300 C. Jarak Desa Lamban Sigatal dengan ibukota Kabupaten (Sorolangun) adalah sekitar 60 kilometer. Alat transportasi yang digunakan pada umumnya yaitu motor dan mobil, dimana waktu tempuh perjalanan sekitar 1.5 jam saat musim kemarau dimana jalan tanah kering sedangkan saat musim hujan dapat mencapai 4-6 jam karena jalan berlumpur dan sulit dilalui oleh kendaraan.

(30)

18

rentang kelompok umur antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir berimbang. Adapun lebih lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

Kelompok Umur Jumlah Penduduk (Jiwa)

Laki-laki Perempuan

0 – 9 tahun 79 73

10 – 19 tahun 85 73

20 – 29 tahun 75 75

30 – 39 tahun 64 59

40 – 49 tahun 54 39

50 – 59 tahun 33 9

> tahun 60 10 6

Jumlah 401 334

Presentase 54.5% 45.5%

Sumber : Data Primer (2014), diolah

Infrastuktur jalan di Desa Lamban Sigatal sangat buruk. Akses jalan menuju Desa Lamban Sigatal sebagian besar merupakan jalan berbatu dan tanah menyebabkan aksesibilitas dari dan ke desa sangat terbatas. Pada musim hujan diperlukan waktu tempuh 4-6 jam menuju ke Desa Lamban Sigatal dari ibukota kecamatan Pauh. Sarana transportasi berupa kendaraan umum roda empat hanya beroperasi pada musim kemarau. Pada musim hujan, akses menuju desa terbatas pada kendaraan umum roda dua (ojeg).

Desa Lamban Sigatal memiliki 1 unit Sekolah Dasar dan 1 unit Madrasah Tsanawiyah. Terdapat 6 orang pengajar di Sekolah Dasar. Mayoritas penduduk hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar dan program wajib belajar 9 tahun baru dirasakan oleh 9.9 persen dari total warga Desa Lamban Sigatal. Sedangkan penduduk yang merasakan pendidikan hingga perguruan tinggi tidak mencapai 5 persen.

Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk

Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)

SD 509 69.2

SMP 73 9.9

SMA 33 4.5

Diploma 0 0

Sarjana 4 0.5

Tidak Sekolah 116 15.8

Jumlah 735 100

Sumber : Data Primer (2014), diolah

(31)

19 rotan sebagai profesi utama karena buah jernang rotan hanya berbuah pada bulan tertentu.

Tabel 5 Jenis tanaman yang ditanam pada rumah tangga

Jenis Tanaman Jumlah (jiwa) Presentase (%)

Karet 380 96.45

Sawit 7 1.77

Padi 4 1.02

Jernang 3 0.76

Total 394 100

Sumber : Data Primer (2014), diolah

Setiap awal tahun, yaitu pada bulan Januari dan Februari para penduduk memanen hasil tanam padi di ladang, disekitar kawasan hutan desa. Hasil panen padi yang diperoleh tidak untuk dijual melainkan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga selama satu tahun kedepan. Sedangkan sebagian kecil lainnya berprofesi sebagai pegawai negeri dan pedagang.

Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Jumlah (jiwa) Presentase (%)

PNS 0 0

TNI / Polri 0 0

Wiraswasta 2 0.98

Tani 191 93.71

Dagang 8 3.90

Buruh 0 0

Pensiunan 0 0

Karyawan 4 1.95

Pelajar / Mahasiswa 0 0

Total 205 100

Sumber : Laporan Kegiatan PT. Reki dan Pemkab Sarolangun (2012)

Karakteristik Pencari Buah Jernang Rotan Responden

Responden dalam penelitian ini adalah pencari buah jernang rotan yang memanen hasil buah jernang rotan di daerah hutan Kapas, Palembang. Pencari buah jernang rotan yang dipilih sebanyak 15 orang dalam wilayah Desa Lamban Sigatal dengan menggunakan metode penarikan sampel Purposive. Pencari buah jernang rotan menjual langsung kepada pedagang pengumpul desa yang disebut tauke desa. Berdasarkan hasil wawancara dengan pencari diketahui bahwa pencarian buah jernang rotan biasanya dilakukan secara berkelompok. Jumlah anggota dalam satu kelompok umumnya terdiri dari 4,6 dan 8 orang dan tidak boleh ganjil. Hal ini didasari atas dasar kepercayaan masyarakat setempat bila melakukan pencarian dengan jumlah anggota ganjil akan mendapat musibah.

(32)

20

tertinggi terdapat pada usia 31-40 tahun sebanyak 5 pencari atau 31.25 persen. Kelompok usia ini termasuk kedalam usia produktif atau usia kerja. Berikut karakteristik responden pencari berdasarkan usia.

Tabel 7 Karakteristik pencari responden berdasarkan usia

Kel.Umur Jumlah (jiwa) Presentase (%)

≤ 30 4 26.67%

31 – 40 5 33.33%

41 – 50 4 26.67%

≥ 51 2 13.33%

Total 15 100.00%

Sumber : Data Primer (2014), diolah

Tingkat pendidikan pencari responden hanya sebatas Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebanyak 13 orang pencari hanya menempuh pendidikan dasar sedangkan 2 orang lainnya menyelesaikan pendidikannnya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Tabel 8 Karakteristik pencari responden berdasarkan pendidikan

Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)

Tamat SD 13 86.67%

Tamat SMP 2 13.33%

Tamat SMA 0 0.00%

Total 15 100.00%

Sumber : Data Primer (2014), diolah

Pengalaman yang dimiliki oleh pencari dapat mempengaruhi keberhasilan dalam mencari dan memanen buah jernang rotan. Pencari yang sudah lama melakukan pencarian di hutan umumnya dapat membawa hasil buah jernang rotan yang lebih banyak dibandingkan pencari yang belum berpengalaman. Kegiatan mencari buah jernang rotan telah dilakukan secara turun-temurun, namun kondisi hutan yang semakin rusak mengakibatkan buah jernang yang dihasilkan semakin langka sehingga banyak pencari jernang yang beralih profesi menjadi penyadap karet.

Tabel 9 Karakteristik pencari responden berdasarkan pengalaman pencari responden

Pengalaman Pencari jernang (tahun) Jumlah (jiwa) Presentase (%)

6 – 10 0 6.25

11 – 15 5 31.25

16 – 20 3 18.75

> 20 7 43.75

(33)

21 Dari hasil wawancara didapatkan bahwa terdapat 7 orang pencari atau 43,75 persen yang melakukan pencarian buah jernang rotan selama lebih dari 20 tahun. Sebanyak 5 orang yang memiliki pengalaman pencarian jernang rotan selama 11 hingga 15 tahun, sebagian kecil lainnya berpengalaman 16 hingga 20 tahun terdapat 3 orang pencari.

Karakteristik Pedagang Pengumpul (Tauke)

Dalam sistem rantai tataniaga buah jernang rotan, orang yang bertindak sebagai pedagang pengumpul hasil panen pencari dikenal dengan sebutan “tauke”(dengan lafal penyebutan “toke”). Berdasarkan perolehan data hasil wawancara,diperoleh sebanyak empat orang pedagang responden yang terdiri dari dua pedagang pengumpul desa (tauke desa), satu orang pedagang pengumpul kecamatan (tauke kecamatan), dan satu orang pedagang pengumpul kabupaten (tauke kabupaten). Karakteristik yang diperhatikan terhadap pedagang responden diantaranya umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman berdagang buah jernang rotan.

Berdasarkan karakteristik umur, pedagang responden memiliki rentang umur 31-45 tahun. Tiga orang pedagang pengumpul (tauke) berumur 41-45 tahun sedangkan satu orang berumur 31 tahun. Untuk tingkat Pendidikan pedagang hanya, dua orang pedagang pengumpul merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) sedangkan dua orang lainnya menamatkan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan tingkat pengalaman, dua orang pedagang pengumpul memiliki tingkat pengalaman 6-10 tahun sedangkan satu orang lainnya memiliki tingkat pengalaman hingga 15 tahun.

Gambaran Umum Usahatani Jernang

Budidaya tanaman buah jernang rotan terdiri dari beberapa tahapan yaitu pembibitan, pengolahan, penanaman, pemeliharaan, penyiangan dan pemanenan.

Pembibitan dilakukan dengan menggunakan biji, dengan presentase daya berkecambah mencapai 80 persen jika dilakukan dengan baik. Kendala dari proses ini adalah jenis biji jernang rotan jantan atau betina belum diketahui. Biji diperoleh dari buah yang telah masak baik berasal dari pembudidayaan atau daerah hutan kapas. Pembudidaya yang tidak melakukan kegiatan pencarian membeli biji jernang rotan seharga Rp1 000/biji Adapaun langkah-langkah pembibitan jernang rotan yang dilakukan sebagai berikut.

(34)

22

1. Kulit (luluh) yang masih melekat di buah jernang rotan harus dibuang terlebih dahulu sampai bersih. Biji yang berwarna hitam adalah biji yang paling bagus untuk dijadikan bibit. Jika biji yang akan dijadikan bibit banyak, untuk membuang lulun dapat menggunakan pasir. Pasir dan biji

Gambar 4 Tahap pemberian zat perangsang tumbuh

Gambar 5 Perendaman biji

Gambar 6 Bibit yang telah dipindahkan ke polybag

(35)

23 buah jenang rotan diremas-remas lalu dimasukkan kedalam ambung, kemudian disiram dengan air hingga biji benar-benar bersih dari lulun. 2. Setelah lulun buah jernang rotan bersih, kemudian airnya dibuang dan biji

dijemur sampai agak kering.

3. Biji direndam dengan cairan atonik selama 24 jam (1 liter air ±10 cc cairan atonik 1 000 biji). Biji buah jernang rotan diambil lalu disiram dengan air dan ditiriskan serta dijemur 5 menit. Selain menggunakan atonik, bisa juga menggunakan air kelapa dengan direndam selama 24 jam. Air kelapa yang digunakan harus diganti pada 12 jam pertama dan diganti dengan air kelapa yang baru. Jadi dalam 24 jam perendaman disediakan 2 liter air kelapa. 4. Biji yang telah selesai direndam kemudian dikeringkan dengan cara

ditiriskan dan dijemur selama beberapa jam hingga biji kering dengan sendirinya. Setelah diperoleh biji kering kemudian lakukan pencungkilan pada penutup mata biji jernang, agar mempercepat proses perkecambahan biji. Pada proses ini diperlukan kehati-hatian karena bila mata biji ikut terpotong maka biji tidak akan berkecambah. Selanjutnya biji ditempatkan didalam wadah toples kapasitas 5 liter. Wadah toples terlebih dahulu diisi dengan media tanam serbuk gergaji yang sudah dilembabkan, kemudian biji di tempatkan secara mendatar dan tidak boleh saling tindih. untuk 1 buah toples maksimal jumlah biji yang dapat dimasukkan 200 biji. Toples ditutup rapat dan tidak boleh dibuka-buka selama 27 hari.

5. Setelah berkecambah, buah jernang rotan dapat dipindahkan ke dalam polybag ukuran 25 x 30 cm.

6. Untuk hasil yang lebih baik, ukuran bibit yang dipindahkan sebesar ibu jari dengan posisi kecambah yang berwarna putih diatas.

7. Jika sudah dimasukkan ke dalam polybag, bibit harus dikontrol rutin hingga akar menyatu dengan tanah. Pada musim kemarau bibit disiram pagi dan sore, bila musim ujan penyiraman dapat ditiadakan. Bibit dapat dipindah tanam ke lahan ketika telah berumur 8 bulan.

Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan, bibit yang telah berumur 8 bulan telah siap untuk dipindah tanam ke lahan budidaya. Pengangkutan bibit menggunakan mobil pick up dan dipindahkan secara perlahan. Lepas polybag dan usahakan media tidak hancur. Tanamkan bibit dengan pangkal calon batang sejajar dengan permukaan tanah. Bekas polybag tempatkan pada ujung ajir sebagai tanda bahwa lubang sudah ditanam.

Pemeliharaan intensif hingga mencapai umur 2 tahun, yaitu : 1. Penyiangan

Gulma dibersihkan sekitar radius 0.5 dari rumpun tanaman dan lakukan penggemburan tanah disekitar tanaman rotan agar diperoleh rangsang laju tumbuh yang optimal.

2. Pruning Pohon Perambat

(36)

24

Gangguan yang perlu diperhatikan adalah penyakit busuk leher batang pada semai dan bercak kecoklatan yang cukup serius. Maka dari itu perlu dilakukan proteksi dengan menghindari terjadinya genangan sekitar titik tanam atau lakukan penyemprotan fungisida interval 1 minggu. Hama yang perlu diwaspadai adalah hama penggerek batang (Rynhophorus dan Macrocyrus) dan penggerek pucuk (Artina Catoxantha) serta hama kumbang daun. Bila tanaman rotan Buah rotan Jernangmendapat gangguan penggerek pucuk, dipastikan tanaman akan mati dan atau terhambat tumbuh.

Pemanenan

Langkah – langkah pemanenan buah buah jernang rotan untuk mendapatkan biji adalah sebagai berikut :

1. Proses pengambilan buah jenang rotan adalah dengan menggunakan penyuluh (pengait) dan tidak menebang pohon jernang. Alat pengait yang digunakan terbuat dari batang rotan dengan panjang sekitar 20 cm yang dilitkan dengan tali rotan

2. Setelah buah buah jernang rotan didapat, untuk mendapatkan biji yang akan dijakdikan bibit harus melalui proses pengambilan getah terlebih dahulu. Bahan – bahan yang diperlukan yaitu :

 Ambung merupakan keranjang yang terbuat dari rotan

 Alat pengguncang yang terbuat dari kayu dan berbentuk bintang tiga dibagian bawahnya.

 Kayu pengganjal ambung pada saat proses pengguncangan atau proses pemisahaan getah (lulun) dan biji dari buah.

 Tahapan proses pemisahaan getah buah jernang rotan dengan biji sebagai berikut :

Buah jernang rotan dimasukkan kedalam ambung. Ketika mengguncang, posisi ambung diatas kayu guncangan. Proses pengguncangan seperti halnya menumbuk, sebaiknya dilakukan didalam ruangan tertutup dan pada waktu shubuh dimana hembusan angin sedikit berhembus sehingga perolehan getah (lulun) maksimal. Getah (lulun) yang dihasilkan pada proses ini berupa serbuk, bukan dalam bentuk cairan. Sebaiknya sebelum dilakukan proses pengguncangan buah Buah rotan Jernangyang diambil dari pohon dijemur terlebih dahulu kemudian didinginkan semalam dengan tujuan getah mudah lepas dari biji. Warga Desa Lamban Sigatal menyebut proses ini lesu. Selanjutnya biji yang sudah bersih dari getah (lulun) direndam dengan cairan atonik selama 24 jam atau air kelapa 2x12 jam. 3. Untuk getah (lulun) yang diperoleh dimasukkan kedalam plastik ukuran 1 kg,

(37)

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Jernang rotan sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) berdasarkan kondisi habitatnya terbagi kedalam dua kondisi. Pertama tanaman jernang rotan tumbuh pada kawasan hutan produksi dan kedua tanaman jernang rotan tumbuh pada kawasan area penggunaan lain atau milik pribadi. Hutan produksi merupakan hutan desa yang pemanfaatan dan pengelolaannya dilakukan secara swadaya masyarakat. Sedangkan lahan milik pribadi merupakan area yang dimiliki oleh perorangan atau perusahaan perkebunan setempat.

Dalam mendukung promosi produk hasil hutan buka kayu (HHBK) berupa jernang rotan perlu diketahui terlebih dahulu analisis kelayakan usaha sebagai bentuk gambaran dalam upaya pengembangan jernang dijadikan komoditi unggulan masyarakat Desa Lamban Sigatal. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Efendi (2009) diketahui bahwa NPV, BCR, dan IRR dimana masing-masing untuk jernang rotan kualias 1 sebesar Rp 51 258 856/ha/tahun, 11.9 dan 49 persen pada tingkat suku bunga 12 persen, maka jernang rotan kualitas 1 (meson) di desa Lamban Sigatal layak dikembangkan. Sedangkan jernang rotan kualitas 2 diperoleh NPV, BCR, IRR masing-masing sebesar Rp 20 725 284/ha/tahun, 5.4 dan 32 persen. Dari informasi diatas, maka budidaya jernang rotan sangat layak dan menarik bagi investor dalam upaya pengembangan HHBK khususnya sebagai komoditi ekspor yang dapat mengimbangi laju pertumbuhan kelapa sawit di provinsi Jambi maupun provinsi Riau.

Untuk memporeh jernang rotan, umumnya para pencari berburu hingga ke daerah Sungai Kapas yang terletak di Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi yang berjarak sekitar 135 km dari Desa Lamban Sigatal. Berdasarkan wawancara dengan para pencari, diketahui bahwa untuk menuju lokasi pemanenan jernang di Sungai Kapas membutuhkan waktu perjalanan selama 7 hari berjalan kaki. Apabila sedang beruntung, selama perjalanan para pencari juga dapat menemukan buah jernang yang siap panen. Pencarian dilakukan dengan jumlah anggota kelompok genap semisal 2 orang, 4 orang, atau 6 orang, hal ini berdasarkan kepercayaan masyarakat bila perjalanan pencarian dilakukan dengan jumlah anggota kelompok ganjil maka akan mendapat kesulitan atau musibah.

Periode 1997-1998, Jambi mengalami kebakaran hutan yang hebat. Pada periode tersebut, untuk mendapatkan jernang rotan para pencari hanya berburu disekitar kawasan hutan desa dan hasilnya yang diperoleh cukup banyak. Saat ini untuk mendapatkan 1-2 kg getah perlu waktu 2-4 pekan pencarian. Bandingkan dengan 10-15 tahun silam, pencari jernang hanya perlu 1 pekan di hutan untuk memperoleh 7-10 kg getah (lulun), sedangkan untuk pendapatkan 1 kg getahnya diperlukan sekitar 10-12 kg buah jernang. Lulun campuran yang saat ini juga diperdagangkan merupakan campuran lulun (meson) dengan bahan-bahan lain seperti dammar, biji buah jernang dan pasir, adapun lulun (meson) 1 kg dapat menghasilkan 5 kg lulun campuran.

(38)

26

labor). Penilaian hasil retun to labor pencari jernang akan dibandingkan dengan upah rata-rata buruh sadap karet yang bekerja diperusahaan perkebunan di kawasan sekitar hutan desa. Jika hasil return to labor pencari jernanglebih tinggi daripada upah rata-rata buruh sadap maka keputusan melakukan kegiatan pencarian sudah tepat bila dibandingkan menjadi buruh sadap karet. Selain itu adanya variasi bentuk jual jernang saat ini menjadi lulun (meson), lulun campuran dan buah jernang akan diperlihatkan manakah yang dapat dikatakan efisein dalam kegiatan pencarian jernang rotan yang dilakukan.

Berikut disajikan pada tabel 10 perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan upah rata-rata buruh sadap karet periode tahun 1998-2013.

Tabel 10 Perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan upah rata-rata buruh sadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013

Komponen Satuan Periode (tahun)

1998 2003 2008 2013

Return to labor Rp 105,333 6,688,333 850,000 2,954,000

Upah rata-rata Rp 170,000 478,333 1,003,333 1,980,000

Sumber : Data Primer (2014), diolah

Gambar 8 Grafik perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan penyadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013

Penilaian return to labor berdasarkan periode dua kali periode pencarian jernang dalam satu tahun, yaitu pada panen sela dan panen besar. Berdasarkan informasi tabel 10 diketahui bahwa, return to labor dalam bentuk jual lulun (meson) pada rentang periode 1998-2013 mengalai fluktuasi. Sedangkan upah rata tenaga kerja karet di Desa Lamban Sigatal cenderung terus mengalami peningkatan. Tahun 1998, menunjukkan nilai upah rata tenaga kerja lebih besar yaitu Rp170 000 bila dibandingkan return to labor yang hanya sebesar Rp105 333. Berbeda pada tahun 2003, pada tahun ini transaksi penjualan jernang rotan cukup besar sehingga return to labor yang diperoleh mengalami puncaknya selama rentang periode tahun 1998-2013. Return to labor yakni mencapai Rp 6 688 333 dengan perbandingan nilai upah rata-rata Rp 478 333. Sedangkan pada tahun 2008, harga jernang rotan dipasaran anjlok dikisiran Rp 400 000-Rp 500 000, hal tersebut akibat dari menurunnya aktivitas kegiatan pencarian jernang rotan, hal tersebut berakibat pada penurunan jumlah hasil produksi jernang rotan. Tahun 2013, pencari jernang mengeluhkan hasil pencarian yang semakin jauh berkurang.

Gambar

Tabel 1 Prediksi hasil perkebunan getah (lulun) tahun 2009
Tabel 2 Karakteristik struktur pasar
Gambaran tataniaga getah  jernang
Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

b. Menetapkan Kriteria dalam merekomendasikan langkah terbaik Kriteria yang digunakan dalam memilih langkah terbaik adalah disesuaikan dengan nilai-nilai yang

[r]

Adapun dari hasil bahwa pelanggaran hak siar dalam penyelesian perkara pidana dianggap sah karena pada hakikatnya yang terpenting dalam tindak pidana pelanggaran hak siar

Akibat hukum yang timbul dalam pembiayaan musyarakah adalah nasabah yang menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 2 Perjanjian ini, bank berhak untuk

Hal ini menjadi penting karena konteks kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini antaranlain (1) keterampilan berpikir kritis siswa menggunakan model pembelajaran Group Investigation meningkat dengan

Dakwah kelas bayangan, perkuliahan gabung dengan kelas Filsafat Islam (BP-A2).. 11 KPI-11027 Metodologi Penelitian Komunikasi 2

(S1) Fakultas Hukum USU Medan, adapun judul penelitan ini adalah “ Penyelesaian Pembagian Harta Warisan menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan, di Kecamatan Angkola Barat ”